Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH ETIKA PERUNDANG-UNDANGAN

KASUS KOSMETIKA

Disusun Oleh :
Novreny, S. Farm. 118115023
Pascalia Riska P.H., S. Farm. 118115024
Ratna Kartika Dewi, S. Farm. 118115028

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Semua lapisan masyarakat dan golongan usia membutuhkan kosmetik sebagai
sarana untuk membersihkan tubuh dan mempercantik diri. Kosmetik sendiri merupakan
salah satu sediaan farmasi, selain obat, bahan obat, dan obat tradisional (UU No. 36 tahun
2009 tentang Kesehatan), yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh
manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital bagian luar) atau gigi dan
membran mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah
penampilan dan/atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh
pada kondisi baik. Bahan untuk membuat kosmetika adalah bahan atau campuran bahan
yang berasal dari alam dan/atau sintetik yang merupakan komponen kosmetika termasuk
bahan pewarna, bahan pengawet, dan bahan tabir surya (pasal 1 pada Peraturan Kepala
BPOM RI No. HK.03.1.23.08.11.07517 tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis Bahan
Kosmetika).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1175/MENKES/PER/VIII/2010
tentang Izin Produksi Kosmetika, pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa kosmetika yang
beredar harus memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan. Persyaratan
mutu, keamanan, dan kemanfaatan sesuai dengan Kodeks Kosmetika Indonesia dan
persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri (pasal 2 ayat 2). Pembuatan kosmetika
hanya dapat dilakukan oleh industri kosmetika (pasal 3) dan industri kosmetika yang akan
membuat kosmetika harus memiliki izin produksi (pasal 4 ayat 1) yang berlaku selama 5
tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi ketentuan yang berlaku (pasal 5).
Oleh karena mutu, keamanan, dan kemanfaatan kosmetik harus terjaga, maka
pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi
pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan
(UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan) termasuk kosmetik. Pengawasan terhadap
produk kosmetik dan penerapan CPKB dilakukan oleh Kepala Badan (pasal 19 ayat 1
pada Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1175/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Izin
Produksi Kosmetika).
Walaupun sudah ada berbagai peraturan dan undang-undang tentang persyaratan
bahan kosmetik dan prosedur pembuatan kosmetik, tapi tetap saja banyak kosmetik yang
beredar dengan nomor registrasi palsu, mengandung bahan-bahan yang berbahaya, dan
1
tidak ada informasi lengkap pada kemasan kosmetik. Pada 11 Juni 2009, Badan Pengawas
Obat dan Makanan RI mengeluarkan Public Warning atau Peringatan No.
KH.00.01.43.2503 tentang Kosmetik Mengandung Bahan Berbahaya/Bahan Dilarang.
Bahan-bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan kosmetik menurut Public Warning
ini adalah merkuri (Hg), hidrokinon, asam retinoat, bahan pewarna merah K.3 (CI
15585), merah K.10 (Rhodamin B), dan jingga K.1 (CI 12075) yang merupakan zat
warna sintetis untuk zat warna kertas, tekstil atau tinta. Apabila bahan-bahan tersebut
digunakan sebagai bahan kosmetik, maka akan menimbulkan resiko dan efek yang tidak
diinginkan.

2
BAB II
KASUS DAN PEMBAHASAN KASUS

A. KASUS
Awas, Beredar Krim Kosmetik Merusak Kulit
PONTIANAK (7 September 2011) - Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan
Makanan Pontianak Mustafa mengingatkan masyarakat agar berhati-hati dan teliti
menggunakan kosmetik. Dalam empat tahun terakhir, 48 kasus pangan, obat, dan
kosmetik masuk projustisia. ”Untuk kosmetik ada enam kasus dari 2008 hingga 2010,”
ujar Mustafa saat konfrensi pers di ruang kerjanya, Selasa (6/9). Menurut Mustafa,
BBPOM kembali menemukan satu set peralatan kosmetik, dua jenis diantaranya
mengandung bahan berbahaya. Bahkan, pada salah satu jenis menggunakan nomor
registrasi palsu. Temuan ini bermula dari laporan masyarakat yang diterima BBPOM
pada 9 Agustus 2011. Seorang konsumen mengadu dan diterima langsung oleh Unit
Layanan Pengaduan Konsumen BBPOM Pontianak.
Konsumen tersebut membeli satu set rangkaian perawatan wajah seharga Rp 400
ribu. Terdiri atas lima jenis kosmetik yakni lotion 1, krim malam, krim iritasi, sabun
wajah, dan krim pagi. Ketika digunakan, terjadi iritasi pada kulit, kulit terkelupas, dan
kulit wajah memerah. Krim pagi memiliki nomor registrasi CA 18092008627. Setelah
dicek di www.pom.go.id, ternyata nomor tersebut fiktif. BBPOM pun melakukan uji
laboratorium terhadap kelima jenis kosmetik.
Pengujiannya adalah penetapan kadar metanol, kadar asam salisilat, identifikasi
merkuri, dan identifikasi hidrokinon. Hasilnya, pada lotion 1 mengandung kadar metanol
terhadap etanol melebihi batas maksimal diperkenankan.
”Batas maksimalnya 5 persen. Tetapi yang kami temukan lebih dari 5 persen. Dampaknya
bisa luas, bahkan menyebabkan kebutaan,” kata Mustafa.
Ujicoba terhadap krim malam menyatakan positif mengandung merkuri. Pemakaian
merkuri dalam krim pemutih dapat menimbulkan perubahan warna kulit. Akhirnya
menyebabkan bintik hitam, alergi, dan iritasi kulit.
Pada konsentrasi tinggi menyebabkan kerusakan permanen otak, ginjal, dan gangguan
perkembangan janin. Bahkan, dalam dosis tinggi menyebabkan muntah-muntah, diare,
dan kerusakan paru. Mustafa mengimbau masyarakat teliti dan cerdas dalam membeli
kosmetik. Apalagi sekarang ini banyak beredar kosmetik tanpa identitas jelas. Konsumen
harus memastikan kosmetik yang digunakan ternotifikasi di Badan POM RI. Masyarakat
3
juga diminta tidak menggunakan kosmetik tanpa label atau label tidak lengkap.
”Sebelumnya kami juga pernah mendapatkan kasus kosmetik serupa. Sekarang kami
masih menelusuri produsennya. Karena penjualannya dilakukan orang perorang,” katanya
(http://m.jpnn.com/news.php?id=102184).

B. PEMBAHASAN KASUS
Pada kasus di atas, terdapat beberapa pelanggaran yang dilakukan yaitu terdapat
bahan-bahan berbahaya di dalam krim malam dan lotion 1 serta nomor registrasi
pada krim pagi yang ternyata adalah fiktif. Nomor registrasi yang fiktif (yaitu CA
18092008627) membuktikan bahwa produk krim pagi tidak ternotifikasi di website
BPOM, sehingga seharusnya tidak boleh diedarkan di masyarakat. Bahan-bahan
berbahaya yang terdapat di dalam krim malam dan lotion 1 yaitu merkuri dan kandungan
metanol di atas 5% terhadap 5% etanol. Merkuri termasuk logam berat berbahaya, yang
dalam konsentrasi kecil pun dapat bersifat racun. Pemakaian merkuri dapat menimbulkan
berbagai hal, mulai dari perubahan warna kulit, yang akhirnya dapat menyebabkan bintik-
bintik hitam pada kulit, alergi, iritasi kulit, kerusakan permanen pada susunan syaraf,
otak, ginjal dan gangguan perkembangan janin bahkan paparan jangka pendek dalam
dosis tinggi dapat menyebabkan muntah-muntah, diare dan kerusakan ginjal serta
merupakan zat karsinogenik pada manusia (Public Warning atau Peringatan BPOM No.
KH.00.01.43.2503 tentang Kosmetik Mengandung Bahan Berbahaya/Bahan Dilarang).
Bahan-bahan berbahaya yang terdapat di dalam kosmetik tersebut dapat
membahayakan kesehatan manusia sebagai konsumen, sehingga perlindungan konsumen
pun dilanggar. Berikut ini adalah beberapa peraturan dan undang-undang yang berkaitan
dengan pelanggaran yang dilakukan pada kasus beserta sanksi yang berlaku:
1. Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Bab I Ketentuan Umum
Pasal 1
(1) Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
(2) Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

4
Bab III Hak dan Kewajiban
 Pasal 4
Beberapa poin hak konsumen di antaranya:
- Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa.
- Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa.
- Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
 Pasal 7
Beberapa poin kewajiban pelaku usaha di antaranya:
- Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
- Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan;
- Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
- Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
Bab IV Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Pasal 8
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang:
- Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
- Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang dan/atau
jasa tersebut;
- Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya,
mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

5
- Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan
lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
- Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau
bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar
atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan
yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan
informasi secara lengkap dan benar.
Bab XIII Sanksi
Bagian Kedua: Sanksi Pidana
 Pasal 61
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
 Pasal 62
(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp
2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

2. Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan


Bab VI Upaya Kesehatan
Bagian Kelima Belas: Pengamanan dan Penggunaan Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan
 Pasal 98
Ayat (1): Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat,
bermutu, dan terjangkau.
Ayat (3): Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi,
pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu
pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

6
 Pasal 105
(1) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat
kesehatan harus memnuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan.
 Pasal 106
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat
izin edar.
(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi
persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.
Bab XX Ketentuan Pidana
 Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau
persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
 Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar
lima ratus juta rupiah).
 Pasal 198
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan
praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan
pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

7
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1176/MENKES/PER/VIII/2010 tentang
Notifikasi Kosmetika
Bab I Ketentuan Umum
 Pasal 2
Setiap kosmetika yang beredar wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan
mutu, keamanan, dan kemanfaatan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Bab II Notifikasi
 Pasal 3
(1) Setiap kosmetika hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar dari
Menteri.
(2) Izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa notifikasi.
(3) Dikecualikan dari ketentuan notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
bagi kosmetika yang digunakan untuk penelitian dan sampel kosmetika untuk
pameran dalam jumlah terbatas dan tidak diperjualbelikan.
 Pasal 4
(1) Notifikasi dilakukan sebelum kosmetika beredar oleh pemohon kepada Kepala
Badan.
(2) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. industri kosmetika yang berada di wilayah Indonesia yang telah memiliki
izin produksi;
b. importir kosmetika yang mempunyai Angka Pengenal Impor (API) dan
surat penunjukkan keagenan dari produsen negara asal; dan/atau
c. usaha perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak produksi dengan
industri kosmetika yang telah memiliki izin produksi.
 Pasal 5
(1) Kosmetika yang dinotifikasi harus dibuat dengan menerapkan CPKB dan
memenuhi persyaratan teknis.
(2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi persyaratan
keamanan, bahan, penandaan, dan klaim.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman CPKB dan persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Kepala
Badan.

8
Bab III Dokumen Informasi Produk
 Pasal 15
(1) Industri kosmetika, importir kosmetika, atau usaha perorangan/badan usaha
yang melakukan kontrak produksi harus memiliki DIP sebelum kosmetika
dinotifikasi.
(2) Industri kosmetika, importir kosmetika, atau usaha perorangan/badan usaha
yang melakukan kontrak produksr sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
menyimpan DIP dan menunjukkan DIP bila sewaktu-waktu diperiksa/diaudit
oleh Badan POM.
(3) Ketentuan mengenai Pedoman DIP ditetapkan oleh Kepala Badan.
Bab VI Penarikan dan Pemusnahan Kosmetika
Pasal 18
(1) Setiap industri kosmetika, importir kosmetika, atau usaha perorangan/badan
usaha yang melakukan kontrak produksi wajib melakukan penarikan
kosmetika yangtidak memenuhi standar dan/atau persyaratan.
(2) Penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas inisiatif sendiri
atau perintah Kepala Badan.
(3) Kosmetika yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan dapat membahayakan kesehatan dilakukan
pemusnahan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemusnahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) ditetapkan oleh Kepala Badan.
Bab VII Pembinaan dan Pengawasan
Pasal 19
Pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan notifikasi dilakukan oleh
Menteri dan Kepala Badan.
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan ini dapat dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. larangan mengedarkan kosmetika untuk sementara;
c. penarikan kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan,
kemanfaatan, dan penandaan dari peredaran;
d. pemusnahan kosmetika; atau

9
e. penghentian sementara kegiatan produksi dan/atau peredaran kosmetika.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Kepala
Badan.

4. Peraturan Kepala BPOM RI Nomor HK.03.1.23.12.10.11983 tahun 2010 tentang


Kriteria dan Tata Cara Pengajuan Notifikasi Kosmetika
Bab II Kriteria
 Pasal 2
Kosmetika yang diedarkan di wilayah Indonesia harus memenuhi kriteria:
a. Keamanan yang dinilai dari bahan kosmetika yang digunakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang undangan dan kosmetika yang dihasilkan tidak
mengganggu atau membahayakan kesehatan manusia, baik digunakan secara
normal maupun pada kondisi penggunaan yang telah diperkirakan.
b. kemanfaatan yang dinilai dari kesesuaian dengan tujuan penggunaan dan
klaim yang dicantumkan;
c. mutu yang dinilai dari pemenuhan persyaratan sesuai CPKB dan bahan
kosmetika yang digunakan sesuai dengan Kodeks Kosmetika Indonesia,
standar lain yang diakui, dan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
d. penandaan yang berisi informasi lengkap, obyektif, dan tidak menyesatkan.
 Pasal 3
(1) Kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus didokumentasikan dalam
DIP.
(2) DIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah tersedia sebelum
melakukan notifikasi.
 Pasal 4
(1) Kosmetika yang akan diedarkan di wilayah Indonesia harus dilakukan
notifikasi kepada Kepala Badan.
(2) Notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 3
(tiga) tahun.
 Pasal 5
(1) Kosmetika yang dinotifikasi harus sesuai dengan jenis sediaan kosmetika.

10
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1175/MENKES/PER/VIII/2010 tentang
Izin Produksi Kosmetika
Bab I Ketentuan Umum
Pasal 2
(1) Kosmetika yang beredar harus memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan
kemanfaatan.
(2) Persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sesuai dengan Kodeks Kosmetika Indonesia dan persyaratan lain
yang ditetapkan oleh Menteri.
Bab II Izin Produksi
 Pasal 3
Pembuatan kosmetika hanya dapat dilakukan oleh industri kosmetika.
 Pasal 4
Ayat (1): Industri kosmetika yang akan membuat kosmetika harus memiliki izin
produksi.
 Pasal 7
Ayat (1): Industri kosmetika dalam membuat kosmetikawajib menerapkan CPKB.
Bab V Penyelenggaraan Pembuatan Kosmetika
Pasal 16
Industri kosmetika tidak diperbolehkan membuat kosmetika dengan
menggunakan bahan kosmetika yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bab VII Sanksi
Pasal 23
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan ini dapat dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk
penarikan kembali produk dari peredaran bagi kosmetika yang tidak
memenuhi standar dan persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan;
c. perintah pemusnahan produk, jika terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu,
keamanan, dan kemanfaatan;

11
d. penghentian sementara kegiatan;
e. pembekuan izin produksi; atau
f. pencabutan izin produksi.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c
dan huruf d diberikan oleh Kepala Badan.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f
diberikan oleh Direktur Jenderal atas rekomendasi Kepala Badan atau Kepala
Dinas setempat.

6. Schedule B Asean Cosmetic Directive (Pedoman Kosmetik ASEAN)


 Pasal 3 tentang Persyaratan Keamanan
(1) Sebuah produk kosmetik yang dipasarkan tidak boleh menyebabkan kerusakan
pada kesehatan manusia bila diterapkan dalam dosis normal atau penggunaan
jangka pendek, dengan mempertimbangkan, khususnya, presentasi produk,
pelabelan, petunjuk penggunaan dan pembuangan, pernyataan peringatan serta
sebagai indikasi atau informasi yang diberikan oleh produsen atau agen yang
sah atau oleh orang lain yang bertanggung jawab untuk menempatkan produk
pada pasar.
(2) Penyediaan peringatan tersebut tidak akan, dalam setiap peristiwa, setiap
orang dibebaskan dari kepatuhan dengan persyaratan lain yang ditetapkan
dalam Pedoman ini.
 Pasal 8 tentang Informasi Produk
(1) Perusahaan atau orang yang bertanggung jawab untuk menempatkan produk
kosmetik di pasar akan menjaga informasi berikut mudah diakses oleh otoritas
regulasi dari Negara Anggota yang bersangkutan di alamat yang tercantum
pada label sesuai dengan Pasal 6 dari Pedoman ini:
a. komposisi kualitatif dan kuantitatif dari produk, dalam hal komposisi
parfum, nama dan nomor kode dari komposisi dan identitas pemasok;
b. spesifikasi bahan baku dan produk jadi;
c. metode pembuatan sesuai dengan CPKB sebagaimana ditetapkan dalam
Asean Directive untuk pabrik mengenai CPKB yang muncul sebagai
Lampiran VI; orang yang bertanggung jawab untuk pembuatan atau impor
ke pasar harus memiliki pengetahuan atau pengalaman yang memadai

12
sesuai dengan undang-undang dan praktek Negara Anggota yang
merupakan tempat pembuatan atau impor;
d. penilaian keselamatan untuk kesehatan manusia dari produk jadi, bahan,
struktur kimia dan tingkat paparan;
e. data yang ada pada efek yang tidak diinginkan pada kesehatan manusia
akibat penggunaan produk kosmetik, dan
f. data pendukung untuk mengklaim manfaat produk kosmetik harus dibuat
tersedia, untuk membenarkan sifat efeknya.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 Pasal ini harus tersedia dalam
bahasa nasional atau bahasa dari Negara Anggota yang bersangkutan, atau
dalam bahasa mudah dimengerti oleh otoritas regulasi.
(3) Suatu Negara Anggota dapat, untuk tujuan pengobatan medis yang segera dan
tepat dalam hal kesulitan, mengharuskan informasi yang tepat dan memadai
pada bahan yang digunakan dalam produk kosmetik harus dibuat tersedia bagi
otoritas peraturan yang harus memastikan bahwa informasi ini digunakan
hanya untuk tujuan dari pengobatan tersebut.

7. Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.23.07.11.6662 tahun 2011 tentang


Persyaratan Cemaran Mikroba dan Logam Berat dalam Kosmetika
Bab I Ketentuan Umum
Pasal 1
Pada poin kedua: “Cemaran adalah sesuatu yang masuk ke dalam produk
secara tidak disengaja dan tidak dapat dihindari yang berasal dari proses
pengolahan, penyimpanan dan/atau terbawa dari bahan baku.”
Bab II Persyaratan Cemaran Mikroba dan Logam Berat
Pasal 2
(1) Kosmetika yang diproduksi dan atau diedarkan harus memenuhi
persyaratan keamanan, kemanfaatan dan mutu.
(2) Selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
juga harus memenuhi persyaratan cemaran mikroba dan logam berat.
Bab III Tindakan Administratif
Pasal 6
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan ini dapat dikenakan sanksi

13
administratif berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. larangan mengedarkan kosmetika untuk sementara;
c. penarikan kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan keamanan,
kemanfaatan, mutu, penandaan dan atau klaim dari peredaran;
d. pemusnahan kosmetika; dan/atau
e. penghentian sementara kegiatan produksi dan atau impor kosmetika.

Tabel. Persyaratan Cemaran Logam Berat

14
8. Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.23.08.11.07517 tahun 2011 tentang
Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika
Bab II Persyaratan Bahan
Pasal 2
(1) Bahan Kosmetika harus memenuhi persyaratan mutu sebagaimana tercantum
dalam Kodeks Kosmetika Indonesia atau standar lain yang diakui atau sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bab III Sanksi Administratif
Pasal 6
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan ini dapat dikenai sanksi
administratif berupa:
1. Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan ini dapat dikenai sanksi
administratif berupa:
2. Peringatan tertulis;
3. Larangan mengedarkan kosmetika untuk sementara;
4. Penarikan kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan keamanan,
kemanfaatan, mutu dan penandaan dari peredaran;
5. Pemusnahan kosmetika;
6. Pembatalan notifikasi; dan/atau
7. Penghentian sementara kegiatan produksi dan/atau peredaran kosmetika.

15
BAB III
PENUTUP

Pada kasus kosmetik yang terjadi di Pontianak, terdapat banyak pelanggaran yang
dilakukan oleh produsen yang bersangkutan. Pelanggaran yang dilakukan mulai dari
penggunaan bahan kosmetik yang dilarang, tidak terdaftarnya (ternotifikasi) produk kosmetik
ke BPOM, serta tidak jelasnya informasi yang ada pada kemasan produk kosmetik. Akibat
beberapa pelanggaran tersebut, produsen kosmetik pada kasus dapat dikenakan sanksi
berlapis yaitu sanksi administatif dan sanksi pidana sesuai peraturan yang berlaku.
Hendaknya pemerintah lebih meningkatkan pembinaan mengenai CPKB kepada
produsen-produsen kosmetik, terutama produsen perseorangan yang tidak mempunyai
keahlian khusus dalam memproduksi sediaan farmasi yaitu kosmetik. Pembinaan ini
hendaknya dilakukan oleh Farmasis yang notabene mempunyai keahlian dan pengetahuan
khusus tentang CPKB.

16

Anda mungkin juga menyukai