Anda di halaman 1dari 46

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/327756107

Perilaku Prososial

Chapter · September 2018

CITATIONS READS

0 70,140

1 author:

Muhammad Abdan Shadiqi


Universitas Lambung Mangkurat
38 PUBLICATIONS   123 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

the article part of 'national identity' project View project

Enviromental Psychology View project

All content following this page was uploaded by Muhammad Abdan Shadiqi on 01 December 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Cara sitasi (APA): Shadiqi, M. A. (2018). Perilaku Prososial. Dalam A. Pitaloka, Z. Abidin,
& M. N. Milla (Eds.), Buku psikologi sosial, pengantar teori dan penelitian (227-260).
Jakarta: Salemba Humanika.
Bab 8
Perilaku Prososial
Muhammad Abdan Shadiqi

Fokus Utama
a. Fenomena perilaku prososial di Indonesia dan global

n
b. Definisi perilaku prososial
c. Penelitian klasik dalam perilaku prososial
d. Perkembangan penelitian perilaku prososial
t i o
e. Tokoh psikologi dalam perilaku prososial
f. Kesimpulan
il c a
b
g. Diskusi

A. Fenomena perilaku prososial


P u
o r
Selama dua bulan berturut-turut, yaitu di bulan Agustus dan September 2017, ada dua
aparatur negara dari dua institusi berbeda mendapat penghargaan karena tindakan ‘heroik’

F
yang mereka lakukan. Virus virtual atau viral yang berasal dari jejaring sosial di internet

t
f
mengantarkan Aipda Ismet Ishak dan Serka Darwis mendapatkan penghargaan dari institusi

r a
masing-masing, yaitu Kepolisian Republik Indonesia dan TNI. (Indrawan, 2017; Harlina,
2017). Penghargaan tersebut diberikan berkat ketulusan mereka menolong anak-anak SD,

D
yaitu menyeberangkan anak-anak SD melintasi sungai arus deras di dua lokasi yang berbeda.
Pada video viral tersebut, Aipda Ismet terlihat menggandeng dua tangan siswa dan
menggendong satu anak melintasi sebuah sungai di Kabupaten Bone, Gorontalo. Sementara,
Serka Darwis tertangkap kamera dan fotonya viral di dunia maya sedang menolong tiga siswa
SD melintasi sungai dengan tali bergelantungan di Kendari. Keduanya tidak hanya sekali
melakukan hal tersebut, melainkan menolong anak-anak menyebrang sungani telah menjadi
rutinitas mereka.
Apakah Anda pernah menjumpai orang-orang serupa yang ikhlas membantu
orang lain, bahkan tanpa saling kenal sebelumnya? Atau apakah Anda pernah
mengalami sendiri menolong atau menjadi orang yang ditolong oleh orang lain?

1
Begitu banyak orang di dunia ini yang bersedia memberikan pertolongan kepada
sesama, akan tetapi tidak semua perbuatan baik tersebut diketahui orang banyak. Beberapa
diantaranya diketahui secara luas karena tersebar di dunia maya. Seperti kasus yang terjadi
pada tahun 2016, terkait dengan gambar seorang wanita bertato yang sedang memberi minum
seorang bocah Afrika yang sangat kurus karena kekurangan gizi (Gandhi, 2016). Foto bocah
kurus tersebut berdiri tanpa mengenakan pakaian, menurut cerita ia dituduh sebagai penyihir
oleh penduduk lokal. Wanita yang menolong bocah itu adalah pekerja bantuan kemanusiaan,
Anja Ringgren Loven, pendiri Yayasan Pembangunan dan Pendidikan Anak Afrika. Anja
mengatakan bahwa ribuan anak disiksa, meninggal atau ketakutan karena dituduh penyihir,

n
Anja rela menjual semua hartanya dan pindah ke daerah terpencil tersebut. Menariknya,

i o
setahun kemudian kembali viral foto yang memperlihatkan perbandingan antara foto anak

t
tersebut pada tahun 2016 dan 2017. Anak itu tumbuh gemuk mengenakan pakaian sekolah

il c a
rapi dengan fose yang sama seperti tahun lalu, sungguh menyentuh apa yang dilakukan Anja
pada anak tersebut (Edward, 2017). Selain relawan kemanusian, menurut Anda pekerjaan

b
apa saja yang berkaitan dengan usaha menolong tanpa mengharap imbalan dan

P u
berkorban untuk orang lain? Menurut Anda, apa latar belakang atau penyebab orang-
orang seperti Aipda Ismet, Serka Darwis, dan Anja menolong anak-anak tersebut?

o r
Anak-anak tersebut adalah orang asing yang tidak mereka kenal sebelumnya, namun
mereka tetap bersedia memberikan pertolongan.

t F
f
Pada bab ini akan dibahas kajian teori dan empiris yang menjelaskan tiga contoh

r a
fenomena tersebut. Dalam literatur Psikologi Sosial perilaku menolong ini dikenal dengan
konsep perilaku prososial. Fokus pembahasan meliputi topik berikut:

D
a. Apa yang dimaksud dengan perilaku prososial
b. Apa faktor penyebab seseorang melakukan perilaku prososial?
c. Mengapa seseorang melakukan perilaku prososial pada kondisi darurat, berbahaya,
dan tidak terkontrol?
d. Bagaimana tahap perkembangan perilaku prososial pada kehidupan manusia?
e. Bagaimana penjelasan teori-teori dan temuan-temuan empiris terkait dengan perilaku
prososial?

2
B. Definisi
B.1. Definisi Perilaku Prososial
Perilaku prososial adalah tindakan individu untuk menolong orang lain yang
seringkali tanpa memberi manfaat langsung pada si penolong (Baron dan Branscombe, 2012).
Perilaku ini memberi manfaat bagi orang lain (Irwin, 2009), bertentangan dengan
kepentingan egois seseorang dan berpotensi dapat memberikan hasil bagi orang lain (Kline,
Bankert, Levitan, & Kraft, 2017). Eisenberg dan Mussen (1989) mendefinisikan perilaku
prososial sebagai tindakan sukarela yang dimaksudkan untuk membantu atau memberi
manfaat bagi orang lain atau kelompok individu. Perilaku prososial juga diartikan sebagai

n
setiap kesukarelaan, tindakan yang disengaja untuk memberikan hasil yang positif atau

i o
bermanfaat bagi penerima (the recipient), terlepas apakah tindakan tersebut memiliki nilai

t
harga, tidak berdampak apapun atau malah menguntungkan bagi pemberi (the donor)
(Grusec, Davidov, & Lundell, 2002).

il c a
Istilah prososial dan altruisme sering kali digunakan secara bergantian, akan tetapi

b
pengertian keduanya tidaklah sama. Para peneliti menggunakan istilah perilaku prososial

P u
untuk menjelaskan perilaku membantu, berbagi, dan perilaku positif lainnya yang terlihat
disengaja dan sukarela, serta dapat memiliki motif yang tidak ditentukan, tidak diketahui,

o r
atau tidak altruistik (Eisenberg, 1982). Sementara alturisme merupakan salah satu bentuk
spesifik dari perilaku prososial (Batson & Powel, 2003; Eisenberg & Mussen, 1989),

F
merupakan tindakan sukarela untuk memberi manfaat bagi orang lain, dimana altruisme lebih

t
f
dimotivasi secara instrinsik (internal). Seperti perhatian dan simpati kepada orang lain, serta

r a
nilai dan penghargaan diri (Eisenberg & Mussen, 1989). Menurut Grusec dkk. (2002), pada
altruisme terdapat kesukarelaan dalam membantu orang lain yang memunculkan biaya (cost)

D
atau pengorbanan tertentu pada pemberi. Meskipun demikian, pada altruisme, penolong
berkorban tanpa mengharapkan imbalan atas kesukarelaannya dan ini berasal dari motivasi
dalam diri. Altruisme salah satu faktor motivasional dari perilaku prososial (lihat pada B.3.
domain faktor di level mikro dan meso). Selain itu, perbedaan lainnya adalah perilaku
prososial terkadang mengharapkan imbalan psikologis atau sosial (misalnya saja ucapan
terima kasih, harga diri, dan kepercayaan dari orang lain), hal ini tidak berlaku saat seseorang
melakukan altruisme.
Contoh perilaku menolong dari polisi dan anggota TNI, maupun wartawan seperti
dijelaskan sebelumnya (pada bagian A), dapat menggambarkan bahwa Aipda Ismet, Serka
Darwis, dan Anja secara sukarela bertindak untuk menolong anak-anak tanpa mengharap
imbalan dan tanpa memikirkan dampaknya bagi mereka. Berdasarkan beberapa definisi yang
3
telah dipaparkan, dapat disimpulkan pengertian perilaku prososial sebagai setiap bentuk
tindakan sukarela untuk menolong orang lain sehingga memberi manfaat positif bagi si
penerima bantuan dan mungkin tidak memberi manfaat langsung pada si pemberi
pertolongan.

B.2. Jenis dan Tahapan dalam Perilaku Prososial


Tindakan yang menampilkan perilaku prososial dapat berupa menolong, berbagi,
menampilkan pertimbangan, memberi perhatian, melakukan pembelaan, dan melakukan

n
pemulihan setelah adanya penyimpangan (Batson & Powel, 2003; Grusec dkk., 2002; Grusec

i o
& Sherman, 2011). Studi yang dilakukan McGuire (1994), berhasil mengidentifkasi 72 jenis

t
perilaku menolong pada mahasiswa. Setelah dilakukan analisis faktor, McGuire mendapatkan

il c a
bahwa perilaku menolong dapat dibedakan menjadi empat jenis: (1) causal helping adalah
bantuan kecil pada perkenalan biasa, contohnya berbagi makanan ringan, memberi petunjuk

b
arah lokasi pada orang yang baru dikenal, dan meminjamkan pulpen; (2) subtantial personal

P u
helping adalah bantuan dengan manfaat nyata yang diberikan oleh teman, memberi layanan
personal dan memberi/meminjamkan barang berharga, contohnya meminjamkan sepeda

o r
motor dan mempersiapkan kencan pertama; (3) emotional helping adalah menawarkan
bantuan/dukungan masalah personal, contohnya memberi rasa aman dengan berada di dekat

F
teman, memberikan dukungan moral saat teman kesusahan, dan mendengarkan curahan hati;

t
f
(4) emergency helping adalah bantuan yang diberikan pada situasi bahaya atau situasi yang

r
hilang ke pemiliknya. a
tidak terkontrol, contohnya menolong korban kecelakaan dan mengembalikan dompet yang

D
Pada situasi bahaya atau darurat, perilaku prososial dapat terjadi kompleks (Baron dan
Branscombe, 2012). Kita mengambil contoh sebuah kasus kriminal tragis yang terkenal di
New York tahun 1964, yaitu kasus pembunuhan Kitty Genovese. Kitty diserang ketika
pulang ke apartemennya, saat kejadian banyak orang yang menyaksikan dan mendengar Kitty
diserang, akan tetapi 38 tentangga yang mengetahui langsung kejadian tersebuy tidak
melakukan apapun (Merry, 2016). Kitty akhirnya meninggal dan tidak ada satu orang pun
yang melaporkan kejadian tersebut ke polisi atau bahkan mencari bantuan dengan menelpon
layanan darurat 911.
Menelaah kasus pembunuhan Kitty Genovese, dua orang ahli Psikologi Sosial, yakni
John Darley dan Bibb Latane berpikir keras untuk mengurai kasus ini. Muncul pertanyaan
dalam benak mereka mengapa sebanyak 38 orang tetangga Kitty tidak tergerak untuk
4
melakukan apapun (Baron & Branscombe, 2012). Kesimpulan mereka mengarah ke diffusion
of responsibility, yakni semakin banyak jumlah bystander (pengamat atau penonton),
semakin kecil proporsi orang yang menolong korban (Baron & Branscombe, 2012; lihat studi
Darley & Latané, 1968). Berdasarkan contoh tersebut, Baron dan Branscombe (2012)
menjelaskan bahwa semakin banyak jumlah penolong potensial, orang akan merasakan
kurang bertanggung jawab, hal ini disebabkan karena mereka berasumsi bahwa “ada orang
lain akan melakukan pertolongan”. Hal ini sangat mungkin terjadi pada orang yang tidak
saling kenal, akan tetapi hal yang sama kurang bekerja pada sesama anggota kelompok yang
saling mengenal.

n
Kasus Kitty Genovese ini dapat diklasifikasikan sebagai kondisi darurat. Dimana pada

i o
kondisi darurat tersebut, dijelaskan oleh Latané and Darley (lihat Baron dan Branscombe,

t
2012) terdapat lima tahapan seseorang memutuskan untuk menolong atau tidak, keputusan
yang tidak sederhana ini melewati tahapan berikut:

il c a
Tahap pertama: Memperhatikan sesuatu atau peristiwa yang janggal atau tidak biasa terjadi.

b
Terdapat beberapa kondisi yang dapat memengaruhi perhatian kita pada peristiwa yang

P u
janggal, seperti mengantuk, terlalu berpikir mendalam, dan konsentrasi penuh pada satu hal.
Dalam kondisi tersebut kita mungkin gagal untuk memperhatikan peristiwa janggal di sekitar
kita.

o r
Tahap kedua: Menginterpretasikan peristiwa sebagai suatu kondisi darurat. Terdapat situasi

F
yang mungkin memengaruhi proses dalam interpretasi peristiwa. Ketika individu dikelilingi

t
f
orang yang tidak dikenal, maka akan mungkin terjadi pluralistic ignorance, yaitu kenyataan

r a
yang terjadi saat tidak ada yang merespon adanya kondisi genting, keadaan darurat dipikir
tidak begitu serius, saat tidak ada yang tahu pasti apa yang sedang terjadi dan masing-masing

D
bergantung pada orang lain untuk menafsirkan kondisi.
Tahap ketiga: Memutuskan apakah kita mengambil tanggung jawab untuk menolong. Saat
tidak ada kejelasan siapa yang memiliki tanggung jawab menolong, maka orang cenderung
memilih seseorang yang memiliki peran sebagai pemimpin untuk mengambil tanggung jawab
tersebut, misalnya mahasiswa-profesor.
Tahap keempat: Memutuskan apakah kita memiliki pengetahuan dan/atau kemampuan untuk
menangani kondisi ini. Misalnya saat ada orang yang tenggelam, maka orang yang bisa
berenang yang akan menolong.
Tahap kelima: Membuat keputusan akhir untuk memberikan pertolongan. Meskipun
bystander telah melewati empat tahapan sebelumnya, belum tentu seseorang akan melakukan

5
tindakan menolong. Keputusan untuk membantu orang lain bisa terhambat karena adanya
rasa takut.
Kembali ke kasus Kitty Genovese, banyak bystander (38 orang tetangga) tidak
melakukan apapun, hal ini mungkin disebabkan mereka tertahan pada salah satu dari empat
tahapan keputusan menolong dalam kondisi darurat. Atau meskipun ada bystander telah
melewati empat tahapan tersebut, mereka bisa saja belum memutuskan melakukan
pertolongan, yang disebabkan terhambat oleh rasa takut (Baron & Branscombe, 2012).
B.3. Domain faktor penyebab perilaku prososial berdasarkan level unit analisis
Penner, Dovidio, Piliavin, dan Schroeder (2005) menjelaskan faktor-faktor penyebab

n
perilaku yang ditulis ulang oleh Schroeder dan Graziano (2018). Struktur elemen perilaku

i o
prososial dapat dilihat berdasarkan domain hirarki pada tiga tingkat unit analisis, yakni level

t
mikro (tingkat individu, internal), meso (antara dua individu atau dyadic), dan makro

il c a
(kelompok). Penjelasan domain-domain ini dapat memberi wawasan mengenai faktor-faktor
apa saja yang memengaruhi perilaku prososial. Penjelasan faktor-faktor ini dapat menjadi

b
pertimbangan untuk diteliti lebih jauh dalam konteks Indonesia.

1. Level Mikro
P u
o r
Pada level mikro dijelaskan fungsi disposisional yang membuat individu cenderung
melakuan perilaku prososial (Schroeder & Graziano, 2018), serta adanya perbedaan

F
individual yang dapat menjelaskan permulaan munculnya kecenderungan prososial pada

t
f
manusia (Penner et al., 2005).

a.
r a
Pendekatan evolusioner dari perilaku prososial

D
1. Inclusive fitness dan kin selection
Melalui pendekatan evolusi Darwinian, Hamilton (1964) menjelaskan model
matematis genetis dimana spesies (organisme secara umum, tidak hanya manusia) yang
mengikuti model ini cenderung untuk melakukan evolusi perilaku untuk memaksimalkan
kesesuaian/kecocokan inklusi atau inclusive fitness. Schroeder dan Graziano (2018)
menjelaskan konsep inclusive fitness lebih lanjut dibagi menjadi, yaitu; (1)
menyelamatkan diri sendiri dan menjaga kelangsungan genetik ke generasi yang akan
datang dengan melakukan kecocokan langsung (direct fitness), dan (2) menyelamatkan
salah satu bagian keluarga (misalnya saudara, keturunan, keponakan, sepupu, dll) dengan
membuat individu “maju dan berkembang biak” sehingga membuat kemungkinan gen

6
seseorang diturunkan ke generasi selanjutnya. Hal ini oleh Hamilton dinamakan sebagai
kecocokan tidak langsung (indirect fitness).
Inclusive fitness memunculkan proses kin selection (seleksi keluarga), yaitu proses
selektif yang menguntungkan pihak-pihak yang memiliki satu materi genetik yang sama
(Schroeder & Graziano, 2018; Grusec dkk., 2002). Melalui teori kin selection ini, prososial
terjadi karena adanya tujuan untuk mempertahankan gen kita ke generasi selanjutnya
(Baron & Branscombe, 2012). Ini membuat individu memiliki keinginan lebih kuat untuk
menolong orang lain yang memiliki ikatan dekat daripada yang tidak terhubung dengan
individu itu sama sekali.

n
Berdasarkan perspektif evolusi ini, perilaku prososial dilakukan karena (Eisenberg,

i o
Fabes, & Spinrad, 2006): (1) meningkatkan keberlangsungan individu agar usia lebih

t
produktif; (2) meningkatkan kapasitas reproduksi dari individu; (3) meningkatkan

il c a
kencerungan untuk melakukan satu atau dua hal sebelumnya (poin 1 dan 2) pada anggota
lain yang membawa gen yang sama.

2. Altruisme resiprokal (timbal balik)


u b
r P
Selain adanya kecenderungan membantu orang yang dekat dengan kita, kita juga
sering kali melihat orang membantu orang yang tak dikenal. Hal ini dapat dijelaskan oleh

F o
reciprocal altruism theory, yakni adanya anggapan bahwa kita menolong seseorang karena
nanti mereka juga akan menolong kita, sehingga kita juga akan mendapatkan keuntungan

f t
(Baron & Branscombe, 2012).

r a
Berdasarkan penjelasan teori evolusi, pada awal sejarah evolusi, manusia bekerja
bersama sebagai kelompok untuk saling melidungi dari predator dan mengamankan

D
sumber makanan serta menyediakan tepat berlindung untuk bertahan hidup (Schroeder &
Graziano, 2018). Perspektif evolusi pada altruisme resiprokal dapat dijelaskan dari
penjelasan Trivers (1971) yang membedakan menjadi resiprokal langsung (direct) dan
tidak langsung (indirect). Selama proses pertukaran barang atau jasa terjadi, individu akan
menerima imbalan yang setara dengan apa yang mereka keluarkan, hubungan ini berlanjut
menjadi timbal balik atau resiprokal langung (direct reciprocity). Sementara itu, pada
kondisi lain mungkin akan menerima imbalan secara tidak langsung dari orang yang
dibantu, mungkin saja berasal dari orang lain. Ini yang memunculkan resiprokal tidak
langsung (indirect reciprocity) dan jenis timbal balik ini berdampak pada peningkatan
kohesivitas kelompok dan kepedulian pada orang lain (Schroeder & Graziano, 2018).

7
Orang-orang dalam kelompok akan saling berbagi, meski ia menerima imbalan dari orang
lain yang tidak ia bantu secara langsung.

b. Faktor biologis: Struktur neurologis dan heriditas


1. Struktur syaraf dan Mirror System
Pada fungsi sistem syarat, Lieberman (2013 dalam Schroeder & Graziano, 2018)
menjelaskan dua sistem yang mendukung perilaku prososial (meskipun juga memiliki
fungsi selain prososial), yakni mirror system dan Theory of Mind (ToM). Fungsi sistem ini
berkaitan dengan salah satu fungsi sistem syaraf di otak manusia seperti lobus frontal,

n
sistem limbik, dan amigdala. Mirror system aktif ketika manusia melakukan observasi

i o
terhadap orang lain yang terlibat pada beberapa aktivitas. Sementara itu ToM aktif ketika
individu menentukan pemaknaan pada tindakan.
t
il c a
Pembahasan mengenai faktor biologis ini menjadi area studi yang menarik hingga
saat ini, karena studi neuropsikologi mencoba mengaitkan antara keterkaitan fungsi tubuh

b
(fisiologis, seperti sistem kerja otak) dengan perilaku, motif, sikap, pengetahuan, dan hal

P u
lain terkait dengan psikologis manusia. Namun, perlu diketahui studi-studi di bidang
neuropsikologi membutuhkan pengukuran yang mutakhir seperti bantuan alat FMRI

gambar otak secara real-time.


o r
(Fungsional Magnetic Resonance Imaging) untuk memetakan kerja sistem otak melalui

t F
f
2. Fungsi hormon: Oksitosin

r a
Selain fungsi sistem otak tersebut, terdapat pula sistem hormonal, khususnya
hormon oksitosin (dihasilkan oleh kalenjar hipotalamus) yang terkait dengan sejumlah

D
tindakan prososial termasuk diantaranya adalah aktivitas positif seperti ikatan ibu, laktasi
(menyusui), aktivitas seksual, dan hubungan sosial dasar (Schroeder & Graziano, 2018).

3. Hereditas (warisan genetik)


Kontribusi genetis pada perbedaan respon prososial (heritabilitas) diteliti pada studi
anak kembar (Eisenberg dkk., 2015; lihat Davis, Luce, & Kraus, 1994). Pemilihan studi
anak kembar ini karena mereka diasumsikan memiliki umur yang identik, tumbuh di
lingkungan rumah yang sama, atau setidaknya berbagi lingkungan hidup yang sama
(Grusec & Sherman, 2011). Karena mereka dibagikan lingkungan yang sama, suatu
perbedaan seharusnya disebabkan oleh faktor mediator lain. Hasil studi Davis dkk., (1994)
menemukan bahwa skor prososial yang lebih tinggi pada kembar identik (monozigotik,
8
satu indung telur yang dibuahi menjadi satu zigot) dibandingkan kembar fraternal
(dizigotik). Pada studi anak kembar dan prososial berkaitan pula dengan faktor
lingkungan, khususnya pada non-shared environmental atau kondisi saat anak tidak
melakukan proses berbagi dengan keluarga (misalnya ia lebih berbagi dengan teman-
teman di penitipan anak) saat anak-anak yang tumbuh bersama (Knafo & Plomin, 2006).

c. Empati
Empati termasuk sebagai proses di level mikro, beberapa hal yang termasuk dalam
penjelasan faktor empati adalah proses kognitif empati, perspective-taking, fantasi, proses

n
afektif pada empati, distres personal, dan perhatian empati (empathic concern) (Schroeder

i o
& Graziano, 2018). Untuk diketahui, konsep empati berbeda dengan simpati (Grusec dkk.,

t
2002), empati dijelaskan sebagai cara merespon distres orang lain dengan emosi yang

il c a
sama. Sementara simpati adalah cara merespon distres orang lain dengan perasaan
kesedihan atau kepedulian.

b
Grusec dkk. (2002) memaparkan bahwa anak-anak yang memiliki empati dan

P u
simpati yang tinggi sebagai reaksi terhadap orang lain yang tertekan/membutuhkan akan
cenderung lebih melakukan perilaku prososial untuk menolong orang lain yang

o r
membutuhkan. Sebaliknya, ketika anak merespon orang lain yang tertekan (distres)
dengan distres personal yang terfokus pada diri sendiri (misalnya, dilihat dari ekspresi

F
kecemasan dan indikasi distres) cenderung kurang melakukan perilaku prososial.

t
f
Empati adalah reaksi emosional yang terfokus/terorientasi pada orang lain dan ini

r a
menyangkut perasaan belas kasih, simpati, dan kepedulian (Baron & Branscombe, 2012).
Baron dan Branscombe (2012) menyebutkan bahwa empati terdiri dari 3 komponen yang

D
berbeda: (1) aspek emosional (empati emosional) pembagian perasaan dan emosional
orang lain; (2) komponen kognitif, persepsi terhadap pikiran dan perasaan yang akurat
(akurasi empati), hal ini penting untuk mendapatkan penyesuaian sosial yang baik pada
pergaulan. (3) perhatian empati, perasaan perhatian/peduli pada kesejahteraan orang lain.
Terdapat hipotesa emphatic joy, teori ini didasarkan dari Smith, Keating, dan
Stotland tahun 1989. Menurut Baron dan Branscombe (2012), hipotesa ini berpendapat
bahwa penolong senang akan reaksi positif (misalnya hadiah, senyuman dan ucapan
terima kasih) yang ditampilkan oleh orang yang mereka tolong. Sehingga penting bagi
individu bahwa pertolongan mereka memiliki dampak positif bagi yang ditolong.

9
d. Proses perkembangan individu
Keterkaitan antara perilaku prososial dengan proses perkembangan adalah pada
peran temperamen, sosialisasi, sosial kognitif, perubahan usia, dan program intervensi
untuk memengaruhi perilaku prososial (Schroeder & Graziano, 2018). Gagasan utama
yang menjelaskan temperamen dengan perilaku prososial adalah adanya asumsi bahwa
setiap manusia mewarisi emotional core atau dasar emosional (temperamen) yang
membentuk kepribadian seseorang (Schroeder & Graziano, 2018). Dasar emosional ini
terdiri dari sejumlah kecil trait, seperti kerahaman (sociability) dan kecemasan (anxiety).
Menurut Schroeder dan Graziano (2018), pada perspektif ini perilaku prososial dianggap

n
sebagai turunan dari proses regulasi dan kontrol emosi.

i o
Beberapa temuan empiris menjelaskan bahwa perkembangan perilaku prososial dan

t
empati/simpati ditingkatkan oleh perasaan terhubung dengan orang lain (seperti kelekatan,

il c a
paparan kehangatan orang tua), disiplin dan pedoman hidup yang positif, dan partisipasi
pada aktivitas prososial (Eisenberg dkk., 2015). Proses sosialisasi ini juga terkait dengan

b
gaya pengasuhan yang penting bagi perkembangan perilaku prososial, terutama pola asuh

P u
otoritatif (pola asuh yang tetap memiliki kontrol sekaligus sensitif dan responsif dengan
kebutuhan anak) lebih menghasilkan perilaku prososial (Grusec dkk., 2002). Lebih lanjut

o r
lagi menurut Grusec dkk., teman sebaya dan saudara juga memegang peran seperti orang
tua dalam memberi pelajaran untuk memberikan respon emosional demi menolong orang

F
lain. Pada penelitian yang dilakukan oleh Eisenberg dkk. (2009), mereka menemukan

t
f
bahwa remaja minoritas di Bandung yang memiliki teman dekat berbeda agama dinilai

r a
lebih prososial oleh guru mereka, ini artinya remaja tersebut memiliki keterampilan sosial
yang lebih baik. Remaja minoritas yang populer akan lebih berperilaku prososial dan

D
memiliki kesempatan berteman dengan remaja lain yang berbeda agama.
Pendekatan perkembangan sosial kognisi berkaitan langsung dengan perilaku sosial
pada perkembangan moralitas Piaget (Schroeder & Graziano, 2018). Pada perkembangan
kognitif anak-anak jika mengambil teori Piaget, maka menurut Schroeder dan Graziano
anaka-anak berada pada tahap egosentris dan dominasi terpusat pada diri sendiri. Setelah
melakukan interaksi berulang-ulang dengan orang lain, anak akan terlibat pada proses
akomodasi (proses penyesuaian sosial pada perkembangan kognitif), dan ini akan
membuat anak membuat pengambilan perspektif (perpective taking) dan empati yang
akhirnya berujung pada pembentukan perilaku prososial.
Meta analisis yang dilakukan oleh Eisenberg dan Fabes (lihat Eisenberg dkk., 2006)
menjelaskan bahwa remaja cenderung lebih tinggi perilaku prososialnya daripada anak-
10
anak usia 7-12 tahun, tetapi hanya pada perilaku prososial dengan jenis berbagi/donasi.
Remaja (13-15 tahun) dan remaja tua (16-18 tahun) lebih tinggi kecenderungan perilaku
prososialnya daripada anak sekolah dasar. Orang dewasa memiliki tingkat prososial yang
menetap, tidak jauh berbeda dengan usia remaja (Eisenberg dkk., 2006). Jenis perilaku
prososial yang lebih umum terjadi pada remaja adalah kegiatan sukarela/relawan (aktivitas
layanan), hal ini karena remaja berusaha untuk mencari pengalaman.
Jika penelitian perilaku prososial mampu memprediksi antiseden (penyebab), maka
perlu juga dikembangkan program intervensi untuk meningkatkan tindakan prososial
(Schroeder & Graziano, 2018). Program pendidikan berbasis sekolah digunakan untuk

n
meningkatkan nilai, perilaku dan sikap prososial pada anak yang dapat efektif pada

i o
pemeliharaan sikap dan perilaku prososial (Eisenberg dkk., 2015). Akan tetapi kebijakan

t
pemerintah juga menentukan, karena sistem pendidikan kadang berfokus pada ujian

il c a
akademik daripada belajar meningkatkan kemampuan sosioemosional anak.

b
e. Kepribadian

P u
Aspek temperamen/kepribadian dan perbedaan individual pada perilaku dan nilai
sosial cenderung konsisten berhubungan dengan perilaku prososial anak dan remaja dan

o r
respon lain terkait empati (Eisenberg dkk., 2015). Namun, menurut Eisenberg dkk.,
hubungan ini akan tidak konsisten saat dimoderasi oleh sejumlah faktor lain, seperti jenis

F
perilaku prososial (contoh: kerelaan, spontanitas, termotivasi secara egoistik, atau

t
f
altruistik) atau respon empati (contoh: simpati, empati atau distres personal), konteks

r a
(contoh: situasi tertentu dan kondisi penerima pertolongan, budaya), dan karakteristik lain
pada anak (contoh: usia, kemampuan sosiokognitf, dan jenis kelamin) dan sejarah dari

D
perkembangan proses sosialisasi anak.
Studi di bidang psikometrik yang dilakukan oleh Penner, Fritzsche, Craiger, dan
Freifeld (1995) mengonstruksi pengukuran kepribadian prososial dengan nama Prosocial
Personality Battery. Schroeder dan Graziano (2018) merangkum hasil penelitian Penner
dan kolega, hasilnya diperoleh orientasi kepribadian prososial yang terdiri dari empati
yang terorientasi pada orang lain atau other-oriented empathy (seperti tanggung jawab
sosial, empati afektif, empati kognitif, dan penalaran moral) dan dimensi menolong atau
helfulness (seperti menolong pada masa lalu, distres personal egoistik).
Selain itu, Schroeder dan Graziano (2018) mencatat beberapa studi dari Graziano
dan kolega (lihat Graziano & Habashi, 2010) yang mengaitkan kepribadian dengan
perilaku prososial menggunakan dimensi big five personality, hasilnya terdapat hubungan
11
antara agreeableness dengan perilaku prososial (dan juga prasangka). Meta analisis yang
dilakukan oleh Kline dkk., (2017) melaliui analisis Bayesian multilevel meta-analisi dari
15 studi dan sekitar 2.500 partisipan menemukan bahwa dimensi agreeableness dan
openness signfikan dan positif berhubungan dengan perilaku prososial, sedangkan tiga
dimensi yang lain tidak signifikan. Hal ini menjelaskan bahwa orang-orang yang mudah
bekerjasama dan bersifat baik (agrreabeleness) dan terbuka/memiliki ketertarikan pada
hal-hal baru (openness) lebih cenderung melakukan perilaku prososial.
Selain aspek kepribadian, perilaku prososial juga berkaitan dengan jenis kelamin.
Anak perempuan lebih prososial daripada laki-laki dan meningkat seiring perkembangan

n
usia (Eisenberg dkk., 2015). Studi terkait jenis kelamin lebih banyak menggunakan studi

i o
self reported (kuesioner/skala pengukuran) daripada metode observasional. Schroeder dan

t
Graziano (2018) menjelaskan mengapa perempuan lebih tinggi prososialnya karena peran

il c a
tradisional jenis kelamin. Wanita memiliki peran tradisional yang lebih mendorong belas
kasih, perhatian, dan pengasuhan sehingga lebih menawarkan kenyaman dan dukungan

b
sosial. Sementara itu, laki-laki menurut Schroeder dan Graziano (2018) memiliki peran

situasi yang berbahaya.


P u
tradisional yang menekankan pada aksi dan pengambilan risiko fisik guna menghadapi

o r
Terdapat studi yang menjelaskan bagaimana perbedaan perilaku prososial jenis
kelamin pada anak-anak di Indonesia. Eisenberg, Liew, dan Pidada (2004) melakukan

F
studi longitudinal pada 112 anak kelas 6 sekolah dasar di Bandung. Hasil yang menarik

t
f
adalah anak laki-laki yang pemalu dinilai memiliki prososial yang rendah, sedangkan hal

r a
ini tidak terjadi pada anak perempuan. Hal ini mungkin saja berkaitan dengan orang
Indonesia lebih menerima rasa malu pada anak perempuan daripada anak laki-laki,

D
sementara peran jenis kelamin laki-laki adalah lebih tegas dibandingkan anak perempuan.
Hal ini berbeda dengan, studi yang dilakukan di Yogyakarta (Purnamasari, Ekowarni, dan
Fadhila, 2004). Tidak ditemukan perbedaan intensi perilaku prososial antara siswa laki-
laki dan perempuan di tingkat sekolah menengah atas, dengan total sampel 214 siswa
SMA/MAN di Yogyakarta. Menurut Eisenberg dkk. (2006) ketika mencapai dewasa
perilaku prososial lebih menetap daripada remaja. Untuk itu penelitian lanjutan perlu
kiranya memperhatikan faktor lain yang diperkirakan menjadi faktor mediator atau
moderator yang dapat menjelaskan perilaku prososial.

12
f. Kelekatan dan Hubungan
Orang cenderung berusaha memenuhi permintaan dan kewajiban terhadap orang
lain. Pemenuhan kewajiban dapat dijelaskan melalui sejarah hubungan relasional individu
(Schroeder & Graziano, 2018). Selama proses relasi, individu akan membangun model
kerja internal ketika menghadapi suatu kewajiban, ada yang memiliki sistem kerja positif
ada pula yang negatif sesuai dengan pengalaman hidup. Model kerja internal yang
dibangun dari teori kelekatan membuat relasi sosial mewakili karakteristik level mikro
(individual) yang memengaruhi perilaku prososial para tingkat level yang lebih tinggi
(meso dan makro) (Schroeder & Graziano, 2018).

n
Salah satu teori yang didasarkan pada hubungan relasional untuk menjelaskan

i o
perilaku menolong adalah teori communal (and exchange) relationship (Clark & Mills,

t
2012). Penjelasan mengenai teori Clark dan Mills ini diuraikan kembali oleh Schroeder

il c a
dan Graziano (2018), yaitu orang-orang yang memandang diri mereka berada pada
hubungan pertukaran (exchange) memiliki dasar keseimbangan dari biaya (cost) dan

b
imbalan (reward) yang dibagikan dengan orang lain. Meskipun hubungan pertukaran ini

P u
dapat stabil, akan tetapi jika tidak ada kekuatan faktor interpersonal dan kedekatan, maka
apabila terjadi kondisi tidak diuntungkan, hubungan dapat hancur hanya dengan sedikit
perasaan kehilangan (dirugikan).

o r
Alternatif lain, dua individu mungkin saja merasa lebih senang dengan hubungan

F
komunal (communal) (Schroeder & Graziano, 2018) dengan ciri berkebalikan dengan

t
f
hubungan pertukaran, yakni kurang pentingnya biaya dan imbalan. Contoh hubungan ini

r a
terjadi pada keluarga dan teman dekat. Menurut Schroeder dan Graziano (2018) adanya
kepedulian/perhatian, akan membuat perilaku prososial lebih mungkin terjadi. Selain itu,

D
perasaan empatik akan meningkatkan perasaan diperhatikan dan ketika berhasil
mengurangi distres orang lain maka akan merasa sangat dihargai. Ini artinya, perilaku
prososial dan tingkat responsif akan lebih muncul pada hubungan komunal dibandingkan
kondisi hubungan pertukaran (Clark & Mills, 2012; lihat studi 1, Clark, Oullette, Powell,
& Milberg, 1987).
Namun demikian tidak selalu pada masyarakat komunal, perilaku prososial lebih
baik. Terdapat sebuah studi yang membandingkan perilaku prososial anak-anak terhadap
orang yang lebih dewasa di Jerman, Israel, Indonesia, dan Malaysia (Trommsdorff,
Friedlmeier, & Mayer, 2007), hasilnya ternyata perilaku prososial anak-anak di Jerman
dan Israel lebih tinggi daripada Indonesia dan Malaysia. Mengapa demikian? Padahal
Indonesia dan Malaysia adalah negara yang memiliki landasan pergaulan dan relasi sosial
13
komunal. Lebih lanjut lagi Trommsdorff dkk. (2007) menjelaskan bahwa di budaya
dengan nilai interdependensi (saling ketergantungan) dan menghormati hirarki sosial (anak
dengan orang dewasa, atau murid dengan guru), anak-anak mungkin menahan diri untuk
tidak melakukan prososial, karena berusaha mempertahankan nilai penyelamatan harga
diri (face-saving). Gaya hubungan relasi pada anak-anak seperti di Indonesia dan
Malaysia, cenderung sungkan dan merasa “tidak enak” membantu orang yang lebih
dewasa (terlebih pada figur otoritas), anak-anak menilai dan berusaha agar orang dewasa
tersebut tidak kehilangan muka (face-saving) karena ditolong mereka. Ini artinya, untuk
memahami peran kelekatan dan relasi sosial dikaitkan dengan jenis hubungan (komunal vs

n
pertukaran) perlu melibatkan faktor lainnya, seperti target orang yang ditolong dan
budaya.

t i o
Face-saving merupakan salah satu contoh faktor penghambat keinginan menolong.

il c a
Baron dan Branscombe (2012) menjelaskan ada faktor lain yang menurunka keinginan
menolong seseorang, yakni (1) social exclusion atau pengucilan sosial, pengalaman pernah

b
dikucilkan membuat orang hati-hati untuk bertindak, ia memiliki empati yang lemah.

P u
Karena ingin membina hubungan baik dan berusaha agar tidak ditolak secara sosial, maka
individu kurang berusaha beraksi prososial untuk mendapat teman baru dan dukungan

o r
baru. (2) Kesuraman atau kegelapan (darkness), individu merasa pada kondisi anonim, dan
ini membuat mereka kurang ingin menolong orang lain. (3) Menempatkan nilai ekonomis

F
pada tiap waktu, salah satu faktor menilai waktu yang digunakan untuk menolong orang

t
f
lain tidak dapat digunakan untuk aktivitas lain yang menciptakan penghasilan.

r
2. Level Meso a
D
Pada level meso, prososial berfokus pada tingkah laku antara dua orang (dyadic) atau
satu orang menolong satu orang yang lain (Penner dkk., 2005). Schroeder dan Graziano
(2018) menjelaskan faktor penyebab orang melakukan perilaku prososial pada level ini
berdasarkan pada faktor situasional, motivasi menolong, dan reaksi penerima yang
mendapat bantuan.

a. Faktor situasional
Faktor situasional dan sosial adalah salah satu penjelasan yang menentukan keinginan
menolong melalui intervensi bystander (pengamat). Seperti dalam kasus Kitty Gevonese
tahun 1964 (lihat penjelasan di bagian A). Adanya kehadiran simbolik dari contoh model
pertolongan dapat meningkatkan perilaku menolong (Baron & Branscombe, 2012).
14
Misalnya, saat kita keluar mini market, kemudian samping pintu keluar ada kotak amal
yang di dalamnya terdapat uang, maka kita mungkin akan berdonasi. Hal ini terjadi karena
kita berpikir bahwa “orang lain berdonasi, jadi saya juga semestinya melakukannya”.

b. Motivasi menolong: egoistik, alturisme, dan kolektivisme dan prinsipisme melalui


pendekatan Batson
1. Egoistik
Motivasi perilaku prososial ini berasal dari Batson (2011), yakni memberikan bantuan
kepada orang lain tetapi penolong memiliki tujuan utama untuk mendapatkan keuntungan

n
pribadi. Jika membantu seseorang dapat memberi konsekuensi positif (hadiah, pujian,

i o
perasaan baik) dan akan mengurangi konsekuensi negatif (tidak menyenangkan dan afek

t
negatif), maka akan cenderung kembali membantu di waktu yang akan datang (Schroeder

il c a
dan Graziano, 2018). Faktor instrumental yang membuat kita melakukan perilaku
prososial ini lah yang disebut dengan motivasi egoistik.

b
Model cost-reward merupakan salah satu penjelasan motif egoistik dengan kombinasi

P u
antara (1) pengorbanan (biaya) untuk menolong dan (2) pengorbanan (biaya) yang
diterima korban ketika tidak ditolong, melalui model ini dapat dibuat persilangan antara

o r
“tinggi vs rendahnya pengorbanan (biaya) untuk menolong” dan “tinggi vs rendahnya
pengorbanan (biaya) yang didapat korban ketika tidak mendapat pertolongan” yang akan

F
menghasilkan empat respon (Schroeder & Graziano, 2018). Empat respon yang didasarkan

t
f
dari model cost-reward Batson ini dapat disimulasikan melalui 4 kuadran (lihat gambar 1)

r a
untuk memudahkan penjelasan interaksi antara kuadrannya. Gambar kuadran ini disusun
berdasarkan penjelasan Schroeder dan Graziano (2018).

D (1)
tingginya biaya
untuk penolong
(2)
rendahnya biaya
untuk penolong

tingginya biaya (3) (4) rendahnya biaya


korban jika tidak ditolong korban jika tidak ditolong

Gambar 1. Empat respon persilangan model cost-reward

Berdasarkan penjelasan Schroeder dan Graziano (2018) keempat respon dari


persilangan adalah (a) antara 2-3: akan menolong; (b) antara 2-4: menggunakan standar
normatif, karakter diposisional (bawaan) dan kondisi lain saat itu; (c) antara 1-3: memilih
15
pertolongan tidak langsung (memanggil otoritas) agar mengurangi biaya personal, tetapi
tetap membantu korban; (d) antara 1-4: keinginan memberi bantuan menjadi rendah,
karena merasa bantuan tidak begitu dibutuhkan atau diharapkan.
Selain pendekatan model cost-reward, terdapat model lain terkait motivasi egoistik
yang ditawarkan Cialdini, yakni negative state relief model (Schroeder & Graziano, 2018).
Saat melakukan pertolongan, kadang orang dapat mengurangi perasaan yang tidak
menyenangkan (Baron & Branscombe, 2012). Penjelasannya, individu akan merasa
jengkel ketika dinilai buruk, atau terlihat buruk dengan membiarkan orang lain terluka.
Untuk memperbaiki mood negatif tersebut, maka individu akan berperilaku prososial

n
(Baron & Branscombe, 2012; lihat Cialdini, Baumann, & Kenrick, 1981).

2. Altruisme
t i o
il c a
Seperti halnya model cost-reward dan negative state relief, hipotesis empati-alturisme
berpendapat bahwa mengamati orang lain yang membutuhkan pertolongan atau distres

b
mungkin akan menimbulkan reaksi emosi negatif (Schroeder & Graziano, 2018). Batson,

P u
Duncan, Ackerman, Buckley, dan Birch (1981) memperkenalkan hipotesis empati-
altruisme, yakni gagasan bahwa beberapa aksi prososial termotivasi hanya oleh keinginan

o r
menolong orang lain yang membutuhkan. Ada kalanya menolong karena untuk
meningkatkan kesejateraan orang lain (Batson, 2011; Schroeder & Graziano, 2018). Bagi

F
Batson perbedaan utama motivasi altruistik dengan motivasi egoistik adalah pada siapa

t
f
sasaran utama yang mendapat manfaat, bukan sifat dari tindakan. Studi yang dilakukan

r a
terhadap relawan Tsunami Aceh oleh Safrilsyah, Jusoff, dan Fadhil (2009), menguji
hipotesis empati-altruisme ini. Safrilsyah dkk., melakukan studi pada 147 mahasiswa di

D
Banda Aceh dan Aceh Besar (86 laki-laki dan 91 perempuan) pada Juli 2005 sampai
Februari 2006. Berdasarkan hasil analisis regresi berganda pada 3 model motivasi perilaku
pro-sosial (Empathy-Altruism Hypothesis, Negative State Relief Hypothesis dan Empathic
Joy Hypothesis) dengan beberapa jenis karakteristik demografi responden (umur, latar
belakang pendidikan, domisili dan jenis kelamin), ditemukan bahwa hanya motivasi
Hipotesis Empati-Altruisme dan jenis kelamin secara signifikan berkorelasi dengan
perilaku pro-sosial relawan dalam kegiatan kemanusiaan dalam membantu korban
Tsunami di Aceh. Ini menjelaskan bahwa pada kondisi darurat bencana alam, para relawan
lebih termotivasi melakukan perilaku prososial dengan tujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan orang lain berdasarkan perbedaan jenis kelamin individu.

16
3. Kolektivisme
Motivasi prososial kolektivisme adalah motivasi ketiga yang dikemukakan oleh
Batson, yang memiliki tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok atau
kolektif (Batson, 2011; Schroeder & Graziano, 2018). Motivasi ini berkaitan dengan
kerjasama antara intra-grup dan inter-grup, dengan tujuan untuk memaksimalkan
keuntungan bersama bagi orang-orang yang terlibat (Schroeder & Graziano, 2018). Pada
konteks Indonesia dikenal istilah “gotong royong”, ini merupakan salah satu bentuk model
perilaku prososial yang tertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok melalui
bekerjasama. Kondisi lingkungan mempengaruhi perubahan intensitas gotong royong,

n
seperti dijelaskan oleh Suprihatin (2014). Ia menemukan perubahan perilaku bergotong

i o
royong masyarakat terjadi seiring dengan perubahan lingkungan tempat tinggalnya,

t
sebagai contoh perubahan lingkungan karena hadirnya pertambangan batubara (Suprihatin,

il c a
2014). Guna mendapatkan penjelasan yang lebih komprehensif terkait dengan faktor di
level meso ini, sebaiknya dilakukan penelitian-penelitian perilaku menolong/prososial

b
dengan faktor kolektivisme ini, mengingat budaya di Indonesia sangat variatif dan

P u
beberapa kearifan lokal dapat dikaitkan dengan model perilaku prososial. Dari penelurusan
literatur Psikologi untuk studi perilaku prososial di Indonesia, lebih banyak membahas

r
pada level mikro atau di level individual.

o
4. Prinsipisme

t F
f
Motivasi prososial terakhir dari Batson adalah prinsipisme yang memberikan tujuan

r a
utama untuk menegakkan prinsip moral (Batson, 2011). Motif ini konsisten dengan
standar moral yang berlaku luas, sehingga selain adanya motivasi yang memberi manfaat

D
bagi orang (egoisme, bagi penolong; altruisme, bagi korban; kolektisme, bagi kelompok)
juga ada motivasi yang berasal dari pinsip universal untuk mempertahankan dan
mendukung prinsip moral kebajikan (Schroeder & Graziano, 2018). Sebuah studi yang
dilakukan oleh Septianto dan Soegianto (2017), pada 140 pengunjung (konsumen/pasien)
di Rumah Sakit, Ridogalih, Sukabumi, Jawa Barat, menemukan bahwa penilaian moral,
emosi moral, dan identitas moral menyebabkan tingginya intensi untuk berperilaku
prososial. Lebih lanjut lagi Septianto dan Soegianto (2017) juga menjelaskan implikasi
dari hasil ini pada rumah sakit, seperti untuk meningkatkan perilaku prososial (kegiatan
relawan, donasi) dapat dipertontonkan video iklan dengan konten moral dan belas kasih.

17
c. Reaksi penerima terhadap pertolongan
Pencarian bantuan (help-seeking) membutuhkan tiga hal, yaitu individu yang
membutuhkan pertolongan, penolong, dan spesifik bentuk pertolongan yang dibutuhkan.
Nadler (lihat Schroeder & Graziano, 2018) menjelaskan lebih rinci ke dalam; (1)
karakteristik dari orang yang membutuhkan pertolongan, misalnya jenis kelamin
(perempuan lebih membutuhkan pertolongan), usia (semakin tua semakin ingin ditolong),
dan tingkat harga diri (rendahnya harga diri semakin cenderung meminta pertolongan); (2)
penolong, penolong biasanya melindungi citra diri mereka, sehingga cenderung akan
berusaha menolong. Penolong juga biasanya orang yang dekat secara komunal, seperti

n
sahabat dan anggota keluarga lebih mungkin akan menolong daripada teman biasa, (3)

i o
sifat dari pertolongan yang dibutuhkan, misalnya orang-orang lebih cenderung meminta

t
bantuan untuk masalah psikologis jika merasa semakin serius. Bagi orang-orang dengan

il c a
ego-sentralitas yang kuat (mementingkan aspek dari diri sendiri, seperti karakter,
kepribadian, dan gambaran diri) akan kurang berminat untuk meminta pertolongan kepada

b
orang lain.

P u
Atribusi juga dapat menjelaskan perilaku menolong. Melalui proses atribusi yang
dilakukan, kita mungkin tidak menolong orang yang tak sadarkan diri di tepi jalan dan

o r
sedang memegang botol anggur (alkohol) dengan pakaian kotor dan sobek (Baron &
Branscombe, 2012). Hal ini karena kita memiliki penilaian buruk melalui proses atribusi

F
pada orang tersebut, kita mungkin memiliki persepsi kalau dia adalah orang mabuk, jahat,

t
f
dan lain sebagainya. Menurut Baron dan Branscombe (2012), kita akan cenderung kurang

r a
menolong pada orang yang tidak peduli dengan masalah mereka sendiri. Hal ini berbeda
jika orang yang tergeletak di jalanan mengenakan pakaian rapi seperti berjas dan dasi. Kita

D
mungkin akan memilih menolong dia. Persepsi orang bisa jadi berkebalikan dengan
penjelasan pertama. Orang melakukan atribusi dan menilai bahwa orang yang terlihat rapi
ini mungkin saja korban kejahatan, dan sedang tidak sadarkan diri.
Baron dan Branscombe (2012) juga menjelaskan bahwa orang cenderung akan
menolong orang yang memiliki kemiripan dengan kita (umur, kewarganegaraan, atau
faktor lain). Dalam hal menolong, empati sangat menentukan, dimana komponen
emosional dari empati lebih berpengaruh dibandingkan komponen kognitif (akurasi
empati) dalam perilaku menolong.
Ucapan terima kasih juga dapat meningkatkan keinginan menolong (Baron &
Branscombe, 2012). Pada penelitian eksperimen Grant dan Gino (2010) menemukan
bahwa ucapan terima kasih dapat meningkatkan keinginan menolong saat individu merasa
18
lebih bernilai secara sosial. Hal ini dapat dijelaskan karena dua hal (Grant & Gino, 2010),
yakni (1) ucapan terima kasih menambahkan perasaan harga diri, merasa mampu dan
kompeten dan melakukan aksi secara efektif (2) adanya perasaan bernilai bagi orang lain
(self-worth), dan kondisi ini akan lebih meningkatkan kecenderungan keterlibatan pada
aksi prososial lebih lanjut.

3. Level Makro

Perilaku prososial pada level makro adalah penjelasan pada perilaku prososial level
kelompok (Schroeder & Graziano, 2018). Pada pembahasan sub bab ini akan dijelaskan

n
mengenai kegiatan sukarela, dan kerjasama dalam satu kelompok serta antar-beberapa

o
kelompok.

t i
a. Sukarela (volunteerism)

il c a
Kegiatan sukarela biasanya melibatkan satu orang yang memberi sumber daya yang

u b
mereka miliki (misalnya waktu, keahlian, harta benda) untuk organiassi yang melayani
sekelompok orang yang membutuhkan (Schroeder & Graziano, 2018). Tidak seperti aksi

r P
pada kondisi darurat, aksi sukarela adalah jenis perilaku prososial yang terencana. Clary
dkk. (1998) dalam enam studinya mengenai aksi sukarela menentukan enam motif

F o
melakukan aksi sukarela yang dapat dijelaskan sebagai berikut (Clary dkk., 1998;

t
Schroeder & Graziano, 2018): (1) value, ekspresi nilai kemanusian terhadap orang lain;

f
(2) enhancement, meningkatkan perkembangan diri dan gambaran diri seseorang; (3)

a
r
understanding, para relawan memiliki kesempatan untuk belajar dari pengalaman,
mempraktikkan kemampuan dan keahlian mereka; (4) protective, memiliki fungsi proteksi

D
dengan melindungi diri dari rasa bersalah karena menjadi lebih beruntung daripada orang
lain; (5) social, memiliki interaksi sosial dengan teman atau orang lain yang mungkin
terkesan dengan partisipasi mereka; (6) career, memiliki keuntungan atau manfaat bagi
karir pribadi. Enam motif ini mengantarkan Clary dkk. (1998) dalam mengonstruksi alat
ukur Volunteer Functions Inventory.
Kegiatan sukarela dilakukan berdasarkan motif-motif tertentu dan memiliki dampak
bagi relawan (Clary dkk., 1998). Schroeder dan Graziano (2018) mencoba menguraikan
konsekuensi-konsekuensi menjadi relawan, seperti memiliki perasaan efikasi yang lebih
tinggi, harga diri yang positif, dan memiliki apresiasi/menghormati adanya perbedaan
umur, ras, dan budaya. Selain itu, mengacu dari studi longitudinal Piliavin tahun 2005,

19
Schroeder dan Graziano (2018) menambahkan bahwa para relawan mendapatkan manfaat
positif khususnya pada mereka yang memiliki kendala kontak sosial dan dukungan sosial.
Bahkan kegiatan sukarela ini berdampak positif pada kesehatan dengan turut dipengaruhi
oleh mediasi kesejahteraan psikologis dan perasaan akan tujuan hidup.

b. Kerjasama
1. Kerjasama intrakelompok
Untuk menjelaskan bagaimana kerjasama intra (dalam) kelompok, Schroeder dan
Graziano (2018) mengilustrasikan “Tragedy of the Commons” dari Garret Hardin tahun

n
1986. Tragedi kepemilikan bersama ini terjadi ketika di suatu desa kecil yang memiliki

i o
akses bebas ke kota dan dapat mencari rumput sesuka hati mereka. Suatu ketika, dilema

t
terjadi ketika masing-masing individu melakukan tindakan yang berusaha memaksimalkan

il c a
keuntungan bagi dirinya sendiri tetapi bertentangan dengan kesejahteraan jangka panjang
bagi semua orang. Ketika semua orang merumput sebanyak yang mereka inginkan, maka

b
padang rumput akan menipis dan semua akan kehilangan sumber daya. Untuk mengindari

melakukan kerjasama.
P u
tragedi ini, semua warga desa berkumpul, menahan diri atas keinginan pribadi mereka, dan

o r
Komunikasi membuat anggota kelompok dapat mengkoordinasikan tindakan mereka
dan hal ini dapat meningkatkan kepercayaan pada anggota kelompok lain (Schroeder &

F
Graziano, 2018). Setelah komunikasi terjalin, anggota akan memahami berbagai

t
f
kepentingan yang ada dari berbagai pihak. Demi menjaga keberlanjutan hubungan maka

r a
tiap anggota akan menginternalisasi kepentingan bersama menjadi keputusan pribadi. Pada
bagian akhir komunikasi seperti ini akan membentuk kerjasama intrakelompok (Schroeder

D
& Graziano, 2018).
Selain komunikasi, orientasi nilai sosial juga dapat menentukan strategi menghadapi
situasi dilema (Schroeder & Graziano, 2018). Ada tiga kategori dasar orientasi nilai sosial,
yakni (1) “competitors” (sekitar 10-15%), yaitu keinginan yang kuat dalam
memaksimalkan manfaat dari mereka sendiri dan sekaligus manfaat yang berasal dari
orang lain. (2) “individualist” (sekitar 30-35%) hanya memperhatikan manfaat hasil bagi
diri sendiri tanpa memperhatikan hasil dari orang lain. (3) “cooperators” (sekitar 55%),
disebut juga prososial, yaitu memaksimalkan keuntungan bersama.

20
2. Kerjasama antarkelompok
Jika terjadi konflik antar kelompok, maka dibutuhkan solusi untuk mengatasinya.
Schroeder dan Graziano (2018) menjelaskan kembali Hipotesis Kontak (contact
hypothesis) yang berasal dari Buku Allport “The Nature of Prejudice”. Hipotesis ini
menjelaskan bahwa ketika dua kelompok disatukan untuk mencapai tujuan bersama,
batasan/hambatan di antara kedua kelompok akan berkurang, dan tiap anggota kelompok
akan membentuk perasaan positif dan lebih bertindak prososial (kerjasama).
Pettigrew (lihat Schroeder & Graziano, 2018) memberikan penjelasan tambahan
terkait hipotesis kontak, yakni (1) anggota kelompok mesti mendapatkan waktu tambahan

n
untuk berinteraksi; (2) memunculkan dekategorisasi pada kontak awal, ini akan membuat

i o
pandangan sebagai bagian kelompok tertentu menurun dan lebih menganggap diri mereka

t
sebagai individu yang berinteraksi dengan individu lain; (3) individu akan rekategorisasi

il c a
dan menggabungkan diri mereka dengan kelompok superordinat (kelompok yang memiliki
kedudukan lebih tinggi).

b
Proses kategorisasi sosial orang-orang sebagai ingroup dan outgroup dapat diubah

P u
dengan membuat individu sadar akan kategori yang lebih tinggi (Pinner dkk., 2005).
Melanjutkan penjelasan Pettigrew pada proses dekategorisasi kelompok, maka teori

o r
identitas ingroup bersama menjadi penting untuk dibahas. Menurut Schroeder dan
Graziano (2018), teori yang dikembangkan oleh Dovidio dan Gaertner dapat menjelaskan

F
langkah-langah yang harus diambil oleh individu sebagai anggota kelompok untuk

t
f
mengalihkan/memindahkan identitas mereka dari identitas ingroup/kategori outgroup ke

r a
identitas ingroup yang lebih tinggi.
Bentuk kerjasama antar-kelompok yang lain adalah toleransi, yakni bentuk kerjasama

D
yang meminta tiap pihak menawan diri dari agresi dalam menghadapi perbedaan sikap dan
tujuan (Schroeder & Graziano, 2018). Para level praktis, toleransi dapat menghadirkan
kedamaian, harmoni sosial, dan pertumbungan ekonomi. Tiap orang menurut Schroeder
dan Graziano (2018) tidak harus memiliki tujuan yang sama dan saling menyukai, tujuan
utama adalah membina kerukunan antar kelompok dan menghambat agresi. Di Indonesia,
semangat toleransi dapat menumbuhkan perilaku prososial. Perbedaan agama tidak
menghambat toleransi, sebagai contoh saat tahun 2015, saat perayaan hari besar umat
Islam dan Kristen berlangsung hampir bersamaan. Di Cirebon, para pemuda Kristen
membantu persiapan acara Maulid Nabi Muhammad, sebaliknya pemuda Islam juga
membantu persiapan acara Natal dengan mengangkut kursi, soundsystem dan

21
perlengkapan lain seperti dekorasi (Wisharti, 2015). Topik toleransi ini menjadi topik yang
baru dalam studi prososial.

B.4. Tahap perkembangan perilaku prososial


Perkembangan perilaku prososial telah terjadi pada, masa anak-anak. Eisenberg dkk.
(2015) menggunakan teori perkembangan empati dari Hoffman (2000) untuk merumuskan
lima model teoritik yang menggambarkan peran dari afeksi dan kognitif bayi dan anak-anak

n
terhadap kesadaran diri dan diferensiasi diri untuk membentuk perilaku prososial.

i o
1. Tahap 1: Global Empathy. Bayi yang baru lahir akan menampilkan respon empati yang

t
merupakan manisfestasi sebagai “empati global”, karena bayi tidak bisa melakukan

il c a
pembedaan antara distres (tekanan/kondisi tidak mengenakkan) diri mereka dengan
orang lain (Eisenberg dkk., 2015). Maka biasanya pengalaman distres ditunjukkan

b
melalui respon dari distres orang lain. Contohnya, bayi secara reaktif akan menangis

P u
mendengar dan merespon tangisan bayi lain, ini yang disebut dengan empati global.
2. Tahap 2: egosentric empathic distress. Sekitar akhir umur 1 tahun, bayi akan mengalami

o r
egocentric empathic distress (Hoofman, 2006) dan berpikir untuk mencapai kenyamanan
bagi mereka sendiri (egosentris atau berpusat pada diri sendiri) ketika dihadapkan

F
dengan distres orang lain (Eisenberg dkk., 2015). Pada kondisi ini, bayi akan

t
f
mengembangkan perasaan diri yang terpisah dengan orang lain, meskipun belum matang,

r a
mereka belum mampu dengan jelas membedakan antara diri dan orang lain (Eisenberg
dkk., 2015). Bayi merespon distres orang lain seakan-akan mereka sendiri yang berada

D
pada distres tersebut. Hoffman (2006) menjelaskan contoh pada tahap ini, bayi akan
merespon kesedihan bayi lain dengan terlihat sedih, mengerutkan bibir mereka, hingga
menangis, tetapi tangisan mereka mungkin disertai dengan mengamati temannya sesama
bayi.
3. Tahap 3: quasi-egocentric empathic distress. Awal tahun kedua, bayi mulai membantu
korban yang mengalami distres lebih dari tahap kedua (Eisenberg dkk., 2015; Hoofman,
2006). Misalnya menyentuh, memeluk, hingga meminta bantuan orang lain (Hoofman,
2006). Level ini dinamakan quasi-egocentric empathic distress, mereka dapat
membedakan antara diri dan orang lain, meskipun mereka tetap belum bisa membedakan
dengan baik antara kondisi internal mereka dan orang lain (Eisenberg dkk., 2015). Lebih
lanjut lagi menurut Eisenberg dan kolega, bayi masih mengalami kebingungan untuk
22
memahami kondisi batin orang lain dengan kondisi mereka dan mencoba untuk
menolong dengan melakukan sesuatu yang nyaman bagi orang lain. Mereka terkadang
juga dapat menghibur orang lain, meskipun perlu melibatkan kehadiran orang lain yang
menenangkan bagi si bayi. Empati tahapan ini berbeda dengan empati tahap sebelumnya,
mereka tidak egosentris lagi dan cenderung merespon dengan afek empati yang tepat
(Eisenberg dkk., 2015).
4. Tahap 4: veridical empatic distress. Bayi memasuki periode veridical empatic distress
pada saat memasuki umur tahun kedua (Hoofman, 2006). Kesadaran mereka terhadap
perasaan orang lain mulai meningkat. Mereka mulai mampu memahami perspektif

n
orang-orang dan perasaan yang mungkin berbeda dengan bayi tersebut (Eisenberg dkk.,

i o
2015; Hoffman, 2006). Tindakan prososial sudah merefleksikan kesadaran akan

t
kebutuhan orang lain (vs egoentric empathic distress), dan anak-anak lebih akurat

il c a
membuat respon empatik dan menolong orang lain dengan mengurangi cara yang
egosentris (Eisenberg dkk., 2015). Hoffman (2006) mengilustrasikan dengan contoh

b
David (2 tahun) membawa boneka beruang miliknya untuk diberikan pada temannya

P u
yang menangis karena terluka memperebutkan mainan (masih tahap quasi-eqocentric
empatic distress), kemudian David melihat temannya masih menangis saat diberi boneka

o r
milik David. Melihat kondisi ini, David berlari ke kamar sebelah, melakukan tindakan
refleks untuk mencari boneka milik temannya sendiri. Saat ini lah tahap 4 ini terjadi,

F
yakni melakukan koreksi atas tindakannya sendiri dan memahami perspektif orang lain.

t
f
5. Tahap 5: Berempati untuk pengalaman orang lain melalui situasi yang dialami secara

r a
langsung (seperti empati terhadap orang dengan penyakit kronis, kesulitan ekonomi,
kekurangan) (Hoffman, 2000). Ketika anak menyadari bahwa hidup orang lain lebih

D
menyedihkan atau menyenangkan, dan ketika anak-anak berempati pada sebuah
kelompok (misalnya kelompok tunawisma).

C. Penelitian klasik
Sejarah perkembangan studi perilaku prososial pernah ditulis oleh Balton (2012).
Menurut Balton, ahli Psikologi Sosial pertama yang mempertanyakan “mengapa ada orang
yang melakukan dan tidak melakukan aksi prososial?” adalah Willam McDougall tahun
1908. McDougall menjelaskan bahwa masalah dasar dalam Psikologi Sosial adalah moral
individu karena manusia lebih cenderung sebagai makhluk yang non-moral dan egoistik
daripada altruistik. Balton (2012) kemudian memusatkan pada tiga hal, yaitu (1) memusatkan
perhatian ke insting dan/atau sosialisasi untuk menjelaskan apa yang membuat orang
23
prososial, (2) memusatkan perhatian ke faktor situasional untuk menjelaskan kapan seseorang
melakukan perilaku prososial; (3) memusatkan perhatian pada proses psikologis proksimal
(proses yang mendekati suatu titik), baik kognitif atau afektif.
Setelah tahun 1910-an pembahasan prososial menggunakan pendekatan psikoanalisis,
behaviorisme, dan teori belajar sosial (Batson, 2012; Eisenberg dkk., 2006). Topik prososial
menjadi populer pada studi 1970an dan awal 1980an (Eisenberg dkk., 2006; 2015). Setelah
itu, popularitasnya menurun hingga akhir 1980an sampai 1990an. Pada akhir 1990an topik
prososial kembali diminati sejalan dengan berkembangan pergerakan psikologi positif, yakni
ketertarikan pada aspek positif dari perkembangan manusia (Eisenberg dkk., 2006). Menurut

n
Eisenberg dkk. (2006), pada tahun1990an, studi perilaku prososial dikaitkan dengan

i o
pergerakan psikologi positif, seperti kekuatan interpersonal dan relasional, empati, simpati,
belas kasih, kerjasama, toleransi, dan altruisme.
t
il c a
Untuk melacak studi-studi klasik terkait perilaku prososial, penulis telah melakukan
penelusuran online untuk mencari studi awal pengembangan perilaku prososial. Pencarian

b
artikel ilmiah, tesis, disertasi, bab buku, ebook dan referensi ilmiah lainnya disediakan

P u
banyak mesin pencarian online. Salah satunya adalah PsycInfo, yakni database abstrak dan
indeksasi yang ekspansif dengan lebih dari tiga juta tulisan ilmiah sejak 1800an pada ilmu

o r
perilaku dan kesehatan mental (APA, 2017). PsycInfo merupakan salah satu produk dari
American Psychological Association (APA), selain PsycArticle, PsycBooks, PsycExtra (berisi

F
seperti materi konferensi, newsletter), PsycCritiques (riviu buku dan film), PsycTest (alat

t
f
ukur psikologi), PsycTherapy (video demonstrasi terapi) dan produk-produk lain berkaitan
dengan Psikologi.

r a
Pencarian di PsycInfo khusus hanya artikel ilmiah jurnal dengan kata kunci

D
“prosocial”, batasan tahun adalah 1963 hingga 1980, sesuai dengan penjelasan Eisenberg
dkk. (2006) tentang periode populernya studi prososial. Dari hasil pencarian diperoleh 222
artikel ilmiah terkait perilaku prososial. Selain berdasarkan pencarian online, dari buku
rujukan untuk menulis bab ini juga mengarahkan pemilihan artikel yang mesti dijelaskan.
Penulis memilih setidaknya ada 3 artikel yang menarik untuk dikupas, semuanya berkaitan
dengan perilaku menolong baik pada situasi darurat atau situasi biasa.
Artikel pertama berjudul “Bystander intervention in emergencies: Diffusion of
responsibility” yang ditulis oleh Bibb Latanè dan John Darley tahun 1968, mengungkap
mengapa banyak bystander (pengamat) berdiam diri tidak melakukan pertolongan di kasus
pembunuhan Kitty Genovese. Penelitian eksperimen ini melibatkan 56 mahasiswi dan 13
mahasiswa sarjana di New York University. Penelitian ini menggunakan cover story atau
24
manipulasi agar tidak diketahui apa maksud sebenarnya dilakukannya studi ini. Yaitu, semua
partisipan diundang mengikuti diskusi mengenai permasalahan personal. Namun diskusi
dilakukan dengan sejumlah orang dimana salah satunya adalah partisipan, selebihnya adalah
confederate (eksperimenter yang berpura-pura sebagai partisipan). Mereka berdiskusi pada
ruang terpisah menggunakan alat komunikasi interkom. Kemudian partisipan akan
mendengar orang yang diajak bicara mengalami serangan seperti epilepsi, berbicara terbata-
bata disertai suara tersedak. Saat kondisi darurat ini hanya partisipan yang mendengar suara
interkom, sedangkan yang lainnya tidak mendengar (kondisi off).
Untuk variabel bebas partisipan di penelitian Latanè dan Darley (1968), partisipan

n
diatur untuk berdiskusi dengan dua orang (terdiri dari korban yang berpura-pura terkena

i o
serangan sakit dan partisipan), kelompok tiga orang (terdiri dari korban, partisipan, dan satu

t
suara konfederasi), atau kelompok enam orang (terdiri dari korban, subjek partisipan, dan

il c a
empat suara konfederasi). Perilaku menolong diukur dengan kecepatan partisipan melaporkan
kondisi darurat pada eksperimenter utama (yang mengundang ke studi dengan cover story

b
diskusi masalah personal). Hasilnya, kehadiran orang lain mengurangi perasaan individual

P u
dari tanggung jawab pribadi dan menurunkan kecepatan melaporkan (menolong). Pada
kelompok dengan jumlah tiga orang, laki-laki lebih lamban melaporkan situasi darurat

o r
(menolong) daripada perempuan, dan perempuan di kelompok tiga orang ini lebih lamban
melaporkan situasi darurat ketika satu orang bystander-nya adalah laki-laki dan lebih cepat

F
ketika bystander-nya perempuan juga. Ketidaknyamanan partisipan (bystander) ini pada

t
f
kehidupan nyata sering diklasifikasikan sebagai “apatis”, “alineasi/keterasingan”, dan

r a
“anomie”. Dua hal yang menyebabkan seseorang tidak menolong orang lain pada kondisi
darurat dan berkelompok adalah diffusion of responsibility dan pluralistic ignorance (lihat

D
kembali B.2. Jenis dan Tahapan dalam Perilaku Prososial)
Penelitian ini kemudian k diulang kembali setahun kemudian oleh Latanè dan Rodin
(1969) dengan cover story studi riset pasar. Partisipan mengikuti riset pasar dimana terdapat
peneliti (eksperimenter) perempuan. Suatu ketika peneliti perempuan mempersiapkan riset
pasar di ruangan sebelah, sedang partisipan menunggu sendiran vs bersama teman vs bersama
orang tak dikenal (eksperimenter lain/confiderate) vs bersama orang yang benar-benar tak
dikenal di depan pintu ruang. Peneliti perempuan ceritanya terjatuh dan terluka kaki hingga
berteriak, menangis, dan mengerang kesakitan, kemudian dilihat reaksinya, apakah partisipan
menolong si perempuan. Hasilnya (1) kelompok dua orang cenderung kurang menawarkan
bantuan pada perempuan yang terluka (peneliti riset pasar) daripada saat seseorang sendirian,

25
(2) bersama teman, maka orang akan cenderung lebih mau melakukan intervensi daripada
dengan orang asing, dan cenderung lebih cepat menolong.
Artikel kedua masih menjelaskan tentang bystender effect. Ditulis oleh Liebert, R. M.,
Fernandez, L. E., dan Gill, L. (1969) di jurnal Psychonomic Science. Penelitian ini menarik
karena menggunakan pendekatan behaviorisme klasik, yakni pendekatan Bandura-modeling
dan imitasi melalui tayangan film (Liebert, Fernandez, & Gill, 1969). Studi dengan desain
eksperimen dilakukan pada 36 anak laki-laki pada perkemahan musim panas di wilayah
Neshville. Kelompok dibedakan menjadi kelompok friendless (tanpa teman), netral
(kelompok) dan kontrol. Prosedurnya, pada sesi 1, sebanyak 36 partisipan (usia 6-11 tahun)

n
diajak oleh eksperimenter ke karavan (trailer) satu per satu (untuk kelompok “friendless”)

i o
dan berkelompok (kelompok netral) dan saat di dalam karavan ditanya “apa saja hal-hal yang

t
disukai anak?” dan meminta tiap anak membantu menjawabnya dengan memilih 12 tayangan

il c a
gambar di proyektor, seperti gambar puzze kuda vs sapi, mainan gitar vs robot, dst.
Di sesi 2, anak-anak kembali di ajak ke karavan, kemudian dipertontonkan tayangan

b
film yang isinya mengenai seorang anak (Mike) berumur 9 tahun yang disuruh memilih hal

P u
yang ia suka melalui tayangan gambar diproyektor, seperti seperti yang dilakukan oleh
partisipan di sesi 1. Kemudian pada kelompok friendless diberi tahu bahwa “Mike tidak

o r
begitu disukai, ia tidak punya banyak teman”. Sementara pada kelompok netral
(berkelompok), diberi tahui bahwa “sangat sulit untuk mengingat apa yang dipilih Mike pada

F
tayangan film”. Kemudian semua anak (baik kelompok friendless dan netral) akan diberi tahu

t
f
peraturan bahwa mereka menerima token untuk tiap jawaban benar (sesuai dengan pilihan

r
yang akan didapat. a
Mike), token dapat ditukar dengan hadiah, dan semakin banyak token semakin banyak hadiah

D
Setelah tayangan dan partisipan menjawab gambar-gambar yang dipilih Mike
(sebanyak 3 kali penayangan slide gambar), maka sebelum diberi hadiah, dua orang
eksperimenter berbicara di depan anak (masing-masing kondisi tiap kedua kelompok pada
waktu berbeda) bahwa “Mike tidak mendapatkan satupun token dan dia tidak mendapatkan
hadiah”. Kemudian eskperimenter membawa kotak donasi dan memberi tahu ke partisipan
bahwa mereka boleh tidak memberikan token yang didapat jika mereka tidak mau.
Hasilnya diperoleh bahwa kelompok partisipan pada manipulasi “friendlessness” atau
tanpa teman (sendirian mendapat paparan model simbolik melalui tayangan film) signifikan
meningkatkan perilaku prososial mereka (F=8,46; p<0.1) (Liebert dkk., 1969). Ini artinya
ketika individu dihadapkan pada kondisi tidak menguntungkan orang lain (distres) dimana ia
menghadapinya sendirian akan cenderung lebih menolong orang tersebut. Kondisi seperti ini
26
tidak terjadi jika para pengamat (bystander) berkelompok atau merasa ada orang lain dari
kelompok mereka yang mungkin akan membantu orang lain yang kesusahan.

D. Perkembangan Penelitian Prososial


D.1. Studi-studi perilaku prososial di Indonesia
Melakukan pencarian studi-studi periaku prososial di pencarian online seperti Google
Scholar tidak lah sulit. Begitu banyak studi-studi dari hasil tugas akhir mahasiswa dan artikel
jurnal ilmiah yang muncul dengan kata kunci “perilaku prososial”. Namun untuk memahami
studi-studi perilaku prososial dibutuhkan referensi yang berkualitas dengan tujuan untuk

n
menggambarkan studi mungkin dapat menjadi acuan bagi para mahasiswa dan peneliti
Indonesia secara umum.

t i o
Seperti halnya pencarian studi klasik, perncarian studi prososial Indonesia juga

il c a
menggunakan PsycInfo dengan kata kunci “prosocial” dan “Indonesia” ditemukan hanya ada
15 artikel ilmiah jurnal yang berasal dari jurnal ilmiah yang bereputasi bagus. Di antara 15

b
artikel tersebut kemudian dikerucutkan kembali menjadi sejumlah 6 artikel yang dianggap

P u
relevan untuk pembahasan perilaku prososial di Indonesia. Kriteria yang digunakan untuk
menentukan relevansi artikel adalah topik penelitian, terdiri dari peneliti Indonesia (baik

o r
penulis utama atau bukan utama), dan/atau studi yang dilakukan oleh peneliti luar Indonesia
dengan menggunakan data yang berasal dari Indonesia. Kemudian dari 6 artikel dipilih

F
sebanyak 3 artikel yang terbit 5 tahun terakhir (2013-2017), tujuannya adalah untuk memberi

t
f
gambaran perkembangan terbaru studi perilaku prososial di Indonesia.

r a
Studi pertama dengan topik keagamaan (religiusitas) dikaitkan dengan alasan orang
menjadi relawan. Arli dan Lasmono (2015) melakukan studi survei pada data 258 partisipan

D
mahasiswa S1 dari universitas swasta di Surabaya. Peneliti menggunakan alat ukur yang
diadaptasi ke Bahasa Indonesia, seperti alat ukur religiusitas dari skala Religious Orientation
Scale (ROS) dari Allport (versi revisi oleh Krikpatrick tahun1989), alat ukur alasan menjadi
relawan dari skala Volunteer Fuctions Inventory dari Clary dkk. tahun 1998 dan pengukuran
sikap prososial menggunakan alat ukur dari Webb dkk. tahun 2000 terdiri dari sikap terhadap
menolong orang lain dan sikap terhadap organisasi amal. Salah satu kekuatan studi ini adalah
melakukan pengujian Structural Equation Modeling (SEM), yakni uji statistik yang
menggabungkan model struktural (regresi) dengan model pengukuran (alat ukur) (Ghozali &
Fuad, 2012). Maka tidak salah jika penelitian masuk ke jurnal yang terindeks internasional
seperti Scopus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu dengan tingkat religiusitas
personal instrinsik dan ekstrinsik (dua dimensi dari tiga dimensi alat ukur religiusitas,
27
dimensi yang lain adalah religiusitas sosial ekstrinsik) yang tinggi cenderung memiliki alasan
“other-oriented” atau berorientasi pada keuntungan bagi orang lain, ketika mereka terlibat
pada aktivitas filantropi (relawan). Meski demikian religuisitas tidak memengaruhi sikap
menolong orang lain.
Masih dengan topik religiusitas, French dkk (2013) melakukan studi survei mengenai
hubungan orangtua dan anak, religiusitas, dan penyesuaian sosial pada remaja Muslim
Indonesia. Salah satu peneliti adalah pengajar Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran, Urip
Purwono. Studi survei untuk menguji model melalui SEM pada 296 remaja 13,3-16,9 tahun
Indonesia. Alat ukur yang digunakan ada yang diadaptasi dari studi sebelumnya dan ada pula

n
yang dikembangkan langsung oleh Purwono tahun 2010, yakni pengukuran religiusitas.

i o
Khusus untuk nilai perilaku prososial berasal dari hasil alat ukur yang dikembangkan oleh

t
Eisenberg dkk., tahun 2001. Hasil studi ini dapat menjelaskan bagaimana relasi sosial antara

il c a
anak dan orang tua dapat memengaruhi religiusitas anak yang kemudian dapat memengaruhi
pula perilaku prososial anak. Jika kita bandingkan dengan hasil studi dari Arli dan Lasmono

b
(2015) ternyata terbukti bahwa religuisitas dapat memengaruhi perilaku prososial tetapi

P u
bertindak sebagai faktor mediator dari relasi sosial antara anak dan orang tua. Untuk itu,
melakukan studi perilaku prososial semestinya memperhatikan faktor atau variabel lain yang

hubungan antar-varabel)
o r
mungkin menjadi variabel mediator (perantara) atau moderator (memengaruhi garis

F
Artikel ketiga berjudul “Popularity of Indonesian Adolescents: Do the Findings from

t
f
the USA Generalize to a Muslim Majority Developing Country?” oleh French, Niu, dan

r a
Purwono (2016). Artikel ini menyajikan studi replikasi yang dilakukan di Amerika Serikat
(USA) mengenai popularitas remaja. Data diambil dengan metode survei berjumlah 452

D
siswa muslim kelas 7 (13 tahun) dan kelas 10 (16 tahun) di Bandung, Jawa Barat, Indonesia.
Pada penelitian diuji beberapa hal seperti preferensi dan popularitas sosial untuk variabel
bebas (independent variables) dan sejumlah variabel terikat (dependent variabel), yakni
penggunaan rokok dan alkohol, agresivitas dan perilaku prososial (dari penilaian teman
sebaya dan guru), prestasi akademik dan jumlah teman. Hasilnya ditemukan bahwa preferensi
dan popularitas sosial berhubungan positif dengan perilaku prososial dan jumlah teman. Ini
artinya semakin disukai (preferensi) dan semakin populer seorang remaja di kalangan teman-
temannya, maka semakin tinggi perilaku prososial dan jumlah teman mereka.
Berdasarkan tiga studi perilaku prososial yang dilakukan di Indonesia dapat dipahami
beberapa hal: (1) kebanyakan studi mengambil data di Indonesia, tetapi hanya sedikit penulis
pertama yang berasal dari Indonesia, ini artinya banyak para peneliti Indonesia melakukan
28
kolaborasi riset dengan peneliti luar Indonesia untuk melakukan penelitian berkualitas; (2)
studi prososial di Indonesia lebih banyak dilakukan dengan survei korelasional, sehingga
sangat memungkinkan untuk dilakukan studi longitudinal seperti yang dilakukan Eisenberg,
Liew, dan Pidada (2009). Rancangan penelitian lain yang dapat dipertimbangkan adalah
ekperimental; (3) diantara 3 studi yang dijelaskan, ada yang melakukan dua pengujian SEM
yang artinya melibatkan banyak variabel. Salah satunya menggunakan efek mediasi.
Pengembangan studi perilaku prososial ke depan dapat mempertimbangkan efek variabel
mediator dan moderator. Dengan begitu dibutuhkan pula analisis statistik yang lebih
mutakhir, tidak hanya menggunakan pengujian statistik sederhana. Untuk saran penelitian di

n
masa yang akan datang dijelaskan khusus pada bagian D.4. Arah pengembangan studi
perilaku prososial.

t i o
D.4. Perkembangan studi perilaku prososial terkini

il c a
Pencarian juga dilakukan dengan PsycInfo, melalui kata kunci “prosocial” pada abstrak

b
diperoleh 6.347 artikel ilmiah di bidang Psikologi. Kemudian angka pencarian dikecilkan

P u
menjadi 416 artikel hanya pada tahun 2017 dan dipilih 2 artikel yang relevan dengan studi
prososial. Artikel pertama yang dipilih adalah studi dari Nicolas Ruth (2017), berjudul “Heal

o r
the world”: A field experiment on the effects of music with prosocial lyrics on prosocial
behavior” yang terbit dijurnal Psychology of Music. Pemilihan artikel ini berlandaskan bahwa

F
tidak semua penelitian harus kaku, tetapi juga bisa kreatif dan menghibur. Apalagi menurut

t
f
artikel ini, masih sedikit studi yang menunjukkan bahwa musik dengan lirik prososial dapat

r a
meningkatkan perilaku prososial.
Penelitian Ruth (2017) adalah eksprimen lapangan pada setting kehidupan sehari-hari

D
dengan desain 2x1 between subjek dengan pemilihan secara acak untuk pengelompokkan
partisipan. Variabel bebasnya adalah versi program musik (lagu prososial vs netral) yang
diputar di cafe. Data diambil dengan observasi selama 8 hari, dimana playlist lagu prososial
pada minggu 1 dimainkan pada hari Jumat dan Minggu, sedangkan musik netral dimainkan
pada Sabtu dan Senin. Pada minggu 2, pemutaran musik ditukar (dibalik) antara jadwal
pemutaran jenis lagu. Manajemen cafe memperbolehkan penelitian pada jam padat, yakni
pukul 10.00 hingga 12.00 siang. Variabel terikat diukur dengan perilaku prososial global
dengan membeli kopi organik (memperlihatkan kesadaran lingkungan dan sosial) pada
penjualan yang adil (lebih mahal 0,3 euro daripada kopi biasa). Variabel terikat juga diukur
dengan melihat perilaku menolong langsung dengan menghitung jumlah tip yang diberikan

29
pengunjung cafe. Agar partisipan lebih terbawa pada suasana penelitian, pengunjung cafe
diperkenalkan pada tawaran akan kopi yang dijual secara adil dan manfaat jika membeli.
Sementara itu, lagu yang digunakan pada studi Ruth (2017) telah melewati prosedur
studi pilot dan dari 152 lagu dipilih 18 lagu yang sering diputar dan dikomplasi menjadi
kurang lebih 1 jam. Satu artis/penyanyi/grup musik terdiri dari 1 lagu prososial dan 1 lagu
netral sebagai variabel kontrol. Contoh beberapa lagu prososial yang diputar adalah The
Earth Song dan Heal the World dari Michael Jackson, Imagine dari Jonh Lennon, hingga See
you Again dari Wizz Khalifa. Sementara lagu netral adalah Thriller dari Michael Jackson,
Stand by Me dari John Lennon, dan Genie in a Bottle dari Cristina Aguilera.

n
Sebanyak 256 partisipan (87 pria dan 169 wanita) dengan usia 21-30 tahun sebanyak

i o
43%. Untuk kelompok lagu prososial terdiri dari 123 orang (67% wanita, sisanya pria) dan

t
kelompok musik netral sebanyak 133 (65% wanita, sisanya pria). Hasilnya ditemukan bahwa

il c a
ternyata partisipan yang mendengar musik prososial signifikan lebih memilih kopi dengan
penjualan adil (38%) daripada pada musik netral (18.4%). Sementara pada pemberian tip,

b
tidak signifikan berbeda antara kelompok partisipan musik prososial dengan netral. Ini

sehari-hari.
P u
artinya musik dengan lirik prososial dapat memengaruhi perilaku prososial pada kehidupan

o r
D.5. Arah pengembangan studi perilaku prososial

F
Perkembangan terakhir studi perilaku prososial dapat dideskripsikan dari penelitian

t
f
Eisenberg dkk. (2015) yang secara komprehensif menjelaskan topik prososial pada ranah

r a
psikologi perkembangan. Mereka memberikan beberapa arah pengembangan studi-studi
perilaku prososial. Berikut beberapa rangkuman penjelasan Eisenberg dkk. (2015),

D
1. Banyak studi prososial adalah korelasional, peneliti perlu melakukan pengembangan
pada pengujian kausalitas melalui metode eksperimen. Seperti, pada studi dengan topik
sosiokognitif, melakukan manipulasi perkembangan atau ketersediaan tingkatan tertentu
dari penilaian moral atau kognisi untuk membuktikan hubungan kausalitasnya dengan
perilaku prososial.
2. Peningkatan studi pada perbedaan budaya, khususnya untuk mengetahui peran budaya
pada variasi jenis perilaku prososial dan nilai serta keanggotan ingroup vs outgroup.
Dapat pula studi non-Barat untuk membangun peran budaya sebagai moderator potensial
dari peran faktor biologis (neurosains) pada prososial dan empati.
3. Mempertimbangkan penelitian longitudinal (studi yang berlangsung sepanjang waktu
periode tertentu) dan mengkombinasikannya dengan metode lain seperti korelasional.
30
Mengontrol level titik awal dari perilaku prososial. Menguji alur perkembangan dari
perbedaan jenis kelamin dan untuk menguji perbedaan jenis kelamin pada perbedaan
respon perilaku prososial.
4. Riset dengan menggunakan proses moderasi dan mediasi dan bagaimana berubahnya
perilaku prososial sepanjang usia. Tidak hanya mengidentifikasi hubungan kausal, faktor
hereditas dan lingkungan (pengasuhan, pengalaman dengan teman sebaya) nungkin akan
berdampak pada kecenderungan prososial anak dan fungsi dari domain lainnya.
5. Penelitian intervensi untuk menjelaskan program-program yang cocok yang digunakan
untuk meningkatkan perilaku prososial.

o n
i
E. Tokoh Psikologi

t
Untuk menentukan tokoh psikologi kontemporer yang hingga sekarang masih aktif

a
il c
meneliti tentang perilaku prososial dilakukan pencarian melalui scopus. Melalui kata kunci
“prosocial” dan “altruism” dua nama penulis dengan publikasi terbesar yang muncul adalah

b
Nancy Eisenberg. Selain Eisenberg, dipilih pula tokoh pengembang teori perilaku prososial

P u
yang lebih klasik, yakni Bibb Latenè dan John Darley. Pemilihan 1 tokoh kontemporer dan 3
tokoh klasik penelitian perilaku prososial dapat digunakan acuan untuk menelusuri studi-studi

o r
prososial berdasarkan tokoh yang banyak berkecimpung di topik ini. Dua tokoh klasik
penting untuk dikenal karena berjasa memberikan penjelasan tentang efek bystander

F
(pengamat) pada kasus pembunuhan Kitty Genoverse. Sementara itu, dengan mengetahui

t
f
tokoh kontemporer saat ini, diharapkan para lulusan sarjana psikologi Indonesia yang

r a
memiliki kesempatan menempuh pendidikan di luar negeri dapat mengetahui siapa ahli yang
harus dijadikan guru untuk mempelajari topik perilaku prososial.

D
E.1. Bibb Latanè
Bibb Latané (Lahir: July 19th, 1937) adalah profesor Psikologi yang pernah mengajar
dibeberapa universitas seperti University Columbia (1961), Ohio State University (1968-
1981), University of North Carolina (1982–1989), dan Florida Atlantic University (1989–
2000). Saat ini ia bekerja bekerja di Center for Human Science. Seorang penulis besar dengan
lebih dari 140 artikel, bab buku, dan buku mengenai penelitiannya terkait dengan intervensi
bystander (pengamat) pada kondisi darurat, dampak sosial dan pengaruh kelompok, penyebab
dan konsekuensi “social loafing”, dll. Bukunya yang berjudul "The Unresponsive Bystander"
(dengan John Darley) membawa pembahasan klasisk pada Psikologi Kontemporer. Dia
adalah ahli psikologi sosial dengan sitasi terbesar pada buku teks. Area risetnya terkait
31
dengan demam panggung, tip di restoran, perbedaan jenis kelamin pada sosiabilitas,
perbandingan sosial, dan ketertarikan sosial pada hewan. Latané memenangkan penghargaan
sebanyak dua kali pada Behavioral Science Award yang diberikan oleh American Association
untuk the Advancement of Science, saat ia meneliti tentang intervensi bystander pada kondisi
darurat dan social loafing. Dia juga menerima penghargaan pada karir risetnya dari Society of
Experimental Social Psychology dan dari Society for Personality and Social Psychology.
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian awal bab perilaku prososial ini, Latanè bersama
John Darley berhasil memecahkan masalah bystander (pengamat) di kasus pembunuhan Kitte
Genovese tahun 1964, melalui studinya yang dibahas pada penelitian klasik (lihat C.

n
Penelitian Klasik) berjudul “Bystander intervention in emergencies: Diffusion of
responsibility”.

t i o
E.1. John Darley

il c a
John Darley (Lahir: 3 April 1938) adalah Profesor bidang psikolog di Princeton

b
University. Darlen dulu adalah presiden the American Psychological Society. Ia pernah

P u
mendapatkan beberapa penghargaan nasional dari Amerika Serikat, seperti the American
Association for the Advancement of Science Socio-Psychological Essay Prize (dengan Bibb

o r
Latané), the Society of Experimental Social Psychology Distinguished Scientist Award, dan
the American Psychological Foundation Media Award untuk kontribusinya dalam

F
mengkomunikasikan Psikologi ke Publik. Untuk sumbangan terbesar Darley pada penelitian

t
f
perilaku prososial adalah keberhasilannya menjelaskan efek bystander pada kasus

r a
pembunuhan Kitty Genovese dengan Bibb Latané. Area penelitian Darley mengenai
keputusan dan aksi yang memiliki komponen moral atau implikasinya (misalnya memutuskan

D
apakah menghukum orang yang bersalah). Selain itu, ia juga tertarik pada kekuatan
interpersonal dalam memainkan peran apda interaksi sosial dan bagaimana orang-orang
mencoba mengendalikan orang lain dengan sistem insentif. (John Darley, n.d.). John Darley
memiliki murid yang tidak kalah terkenal, seperti Dan Balton penenemu hipotesis empati-
altruisme (lihat pembahasan altruisme, bagian B.5).
E.3. Nancy Eisenberg
Nancy Eisenberg adalah profesor wanita psikologi perkembangan dari Arizona State
University. Dipilihnya Eisenberg ke ulasan tokoh Psikologi, karena dia banyak melakukan
riset kolaborasi dengan peneliti Indonesia. Ia menyelesaikan studi doktoral pada tahun 1976
di University of California, Berkley. Minat risetnya adalah regulasi terkait emosi dan relasi
dengan penyesuaian dan kompetensi sosio-emosional. Pada bidang perkembangan moral dan
32
emosional terfokus pada altruism, empati. Serta studi-studi terkait dengan faktor sosialisasi
dan budaya. Salah satu proyek risetnya adalah peran perbedaan individu pada emosi dna
regulasi pada penyesuaian diri anak dan kompetensi sosial, proyek dilakukan di Indonesia,
Cina, Francis, dan Amerika Serikat Nancy Eisenberg (n.d). Pada profile scopus (ID:
7102540176), Eisenberg memiliki 337 dokumen publikasi dan terdapat lebih dari 76 studi
perilaku prososial, dengan total pengutipan sebanyak 10.662 kali untuk semua artikel
publikasinya. Khusus pada penelitian perilaku prososial pengutipan terbesar pada naskah
(862 kali) di Psychology Bulliten tahun 1987 berjudul “The Relation of Empathy to Prosocial
and Related Behaviors”. Jika kita amati melalui profil google scholar, Eisenberg pengutipan

n
terbesar pada bab buku yang ia tulis tahun 2006, berjudul “prosocial behavior” dari

i o
Handbook of child psychology: Vol. 3. Social, emotional, and personality development (total

t
pengutipan 3.025 kali). Sumbangan Eisenberg pada pengembangan studi perilaku prososial
sangatlah besar.

il c a
b
F. Kesimpulan

u
Perilaku prososial dapat diartikan sebagai setiap bentuk tindakan sukarela untuk

P
menolong orang lain sehingga memberi manfaat positif bagi si penerima bantuan


o r
dan mungkin tidak memberi manfaat langsung pada si pemberi pertolongan.
Perilaku menolong pada kondisi biasa dengan kondisi darurat memiliki

F
perbedaan, saat peristiwa berbahaya (darurat) orang akan memiliki pertimbangan

t
f
panjang yang tidak sederhana untuk bertindak. Salah satu faktor yang berperan

r a
penting yang dapat menghambat perilaku prososial dalam kondisi darurat adalah
rasa takut.

D
Terdapat banyak faktor yang menjelaskan perilaku prososial. Terdapat tiga level
unit analisis untuk menjelaskan faktor-faktor ini, yakni level mikro (internal),
meso (dua orang), dan makro (kelompok).
• Pada level mikro, faktor-faktor penyebab perilaku prososial adalah faktor
evolusioner, biologis, neuron, empati, proses perkembangan, kepribadian, dan
kelekatan dan hubungan.
• Pada level meso terdiri dari faktor situasional, motivasi egosentris, altruisme,
colektivisme, dan prinsipalisme, serta respon dari orang yang ditolong.

33
• Pada level makro terdiri dari penjelasan mengenai mengapa orang mengikuti
kegiatan sukarela (voulenter), proses kerjasama intrakelompok, dan kerjasama
antarkelompok.
• Berdasarkan beberapa paparan hasil-hasil empiris dari studi klasik, studi di
Indonesia, dan terkini dapat ditarik kesimpulan tentang arah pengembangan studi
prososial, yaitu (1) menggunakan metode-metode penelitian yang bervariasi
(korelasional, eksprimental, longitudinal); (2) menggunakan pengujian statistik
yang lebih baik (seperti SEM); dan (3) melakukan studi perbandingan budaya
serta intervensi sosial.

o n
H. Diskusi
t i
il c a
Lakukan diskusi dengan kelompok atau teman Anda untuk menjelaskan beberapa hal
berikut:

u b
1. Jelaskan perbedaan dan persamaan antara perilaku prososial dan altruisme?
2. Pada bagian awal pemaparan fenomena yang terjadi di Indonesia dan global,

r P
diskusikan apa saja faktor-faktor yang menyebabkan tiap orang-orang (Aipda Ismet,
Serka Darwis, dan Anja) di kasus fenomena melakukan perilaku prososial? Analisis

F o
berdasarkan penjelasan teori dan kajian empiris yang telah kalian baca pada bab ini!
3. Diantara beberapa contoh studi-studi yang telah dijelaskan (bagian D. Perkembangan

f t
Penelitian), studi yang mana yang menurut Anda paling menarik? Diskusikan, apakah

a
ada faktor atau variabel lain yang mungkin dapat cocok diteliti di studi tersebut?

r
Daftar Pustaka
D
American Psychological Association (APA). (2017). APA Databases: Creating Value for
Libraries. Retrieved from http://www.apa.org/pubs/marketing/value.aspx
Arli, D., & Lasmono, H. (2015). Are religious people more caring? Exploring the impact of
religiosity on charitable organizations in a developing country. International Journal
of Nonprofit and Voluntary Sector Marketing, 20(1), 38-51.
Baron, R. A., & Branscombe, N. R. (2012). Social psychology 13th edition. Unites States of
America: Pearson Educati

34
Batson, C. D. (2012). The history of prosocial behavior research. In A. W. Kruglanski & W.
Stroebe (Eds.), Handbook of the History of Social Psychology, (243-264). New
York: Psychology Press.
Batson, C. D. (2011). Altruism in humans. Oxford University Press, USA.
Batson, C. D., & Powel, A. A. (2003). Altruism and prosocial behavior. In T. Millon & M. J.
Lerner, Handbook of psychology, volume 5: personality and social psychology (463-
479). New Jersey: John Wiley & Son.
Batson, C. D., Duncan, B. D., Ackerman, P., Buckley, T., & Birch, K. (1981). Is empathic
emotion a source of altruistic motivation? Journal of personality and Social

n
Psychology, 40(2), 290
Bibb Latanè. (n.d). Retrieved from http://latane.socialpsychology.org

t i o
Cialdini, R. B., Baumann, D. J., & Kenrick, D. T. (1981). Insights from sadness: A three-step

il c a
model of the development of altruism as hedonism. Developmental review, 1(3),
207-223.

b
Clark, M. S., & Mills, J. R. (2012). A theory of communal (and exchange) relationships. In:

P
psychology Vol. 2, (232-250). London: Sage.u
P. van Lange, A. Kruglanski, & T. Higgins (Eds.). Handbook of theories of social

o r
Clark, M. S., Oullette, R., Powell, M. C., & Milberg, S. (1987). Recipient's mood,
relationship type, and helping. Journal of Personality and Social Psychology, 53(1),
94-103

t F
f
Clary, E. G., Snyder, M., Ridge, R. D., Copeland, J., Stukas, A. A., Haugen, J., & Miene, P.

r a
(1998). Understanding and assessing the motivations of volunteers: a functional
approach. Journal of personality and social psychology, 74(6), 1516.

D
Darley, J. M., & Latané, B. (1968). Bystander intervention in emergencies: Diffusion of
responsibility. Journal of Personality and Social Psychology, 8, 377–383.
Davis, M. H., Luce, C., & Kraus, S. J. (1994). The heritability of characteristics associated
with dispositional empathy. Journal of personality, 62(3), 369-391.
Edward, M. (2017, Februari 04). Ingat dengan Bocah yang Ditolong Bule Bertatto Ini?
Kondisinya Sekarang Mengejutkan. Tribun Sumsel. Retrieved from
http://sumsel.tribunnews.com/2017/02/04/ingat-dengan-bocah-yang-ditolong-bule-
bertatto-ini-kondisinya-sekarang-mengejutkan?page=2
Eisenberg, N. (1982). Introduction. In N. Eisenberg, The developmental of rosocial behavior
(1-21). New York: Academic Press.

35
Eisenberg, N., & Mussen, P. H. (1989). The roots of prosocial behavior in children.
Cambridge University Press.
Eisenberg, N., Fabes, R. A., & Spinrad T.R. (2006). Prosocial development. In N. Eisenberg,
W. Damon, R.M., Lerner (eds). Handbook of child psychology: Vol. 3. Social,
emotional, and personality development. 6th ed. (pp. 646-702). New York: Wiley.
Eisenberg, N., Spinrad T.R., & Knafo-Noam, A. (2015). Prosocial development. In N.
Eisenberg, W. Damon, R.M., Lerner (eds). Handbook of child psychology: Vol. 3.
Social, emotional, and personality development. 7th ed, pp. 646-702. New York:
Wiley.

n
Eisenberg, N., Liew, J., & Pidada, S. U. (2004). The longitudinal relations of regulation and
emotionality to quality of Indonesian
functioning. Developmental psychology, 40(5), 790.
i
children's

t osocioemotional

il c a
Eisenberg, N., Sallquist, J., French, D. C., Purwono, U., Suryanti, T. A., & Pidada, S. (2009).
The relations of majority-minority group status and having an other-religion friend

b
to Indonesian youths' socioemotional functioning. Developmental Psychology, 45(1),
248.

P u
Fishman, J. R., & Solomon, F. (1963). Youth and social action: Perspectives on the student

o r
sit-in movement. American Journal of Orthopsychiatry, 33(5), 872.
French, D. C., Niu, L., & Purwono, U. (2016). Popularity of Indonesian Adolescents: Do the

F
Findings from the USA Generalize to a Muslim Majority Developing

t
f
Country? Social Development, 25(2), 405-421.

r a
French, D. C., Eisenberg, N., Sallquist, J., Purwono, U., Lu, T., & Christ, S. (2013). Parent−
adolescent relationships, religiosity, and the social adjustment of Indonesian Muslim

D
adolescents. Journal of Family Psychology, 27(3), 421.
Gandhi, G. (2016, Februari 16). Kisah Sedih di Balik Foto Anak Afrika & Wanita Bertato.
Tempo.co. Retrieved from https://dunia.tempo.co/read/745252/kisah-sedih-di-balik-
foto-anak-afrika
Ghozali, I., & Fuad. (2012). Structural Equation Modeling: Teori, Konsep, dan Aplikasi
dengan Program Lisrel 8.80, Edisi III. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro
Grant, A. M., & Gino, F. (2010). A little thanks goes a long way: Explaining why gratitude
expressions motivate prosocial behavior. Journal of personality and social
psychology, 98(6), 946.

36
Graziano, W. G., & Habashi, M. M. (2010). Motivational processes underlying both
prejudice and helping. Personality and Social Psychology Review, 14(3), 313-331.
Grusec, J. E., & Sherman A. (2011). Prosocial Behavior. In M. K. Underwood & L. H. Rosen
(Eds.), Social development: Relationship infancy, childhood, and adolescence (pp.
263-288). New York: Guilford.
Grusec, J. E., Davidov, M., & Lundell. (2002). Prosocial and helping behavior. In P. K.
Smith & C. H. Hart (Eds.), Blackwell Handbook of Childhood Social Development
(pp 457-474). Great Britain: Blackwell Publishers.
Harlina, S. (2017, Agustus 08). Dapat Penghargaan, Serka Darwis Makin Tertantang Bantu

n
Masyarakat. detikNews. Retrieved from https://news.detik.com/berita/d-
3590581/dapat-penghargaan-serka-darwis-makin-tertantang-bantu-

t i o
masyarakat?_ga=2.150282302.982737220.1507392987-760677338.1496497144.

il c a
Hamilton, W. D. (1964). The genetical evolution of social behaviour. I. Journal of theoretical
biology, 7(1), 1-16.

b
Indrawan, A. F. (2017, September 07). Salut, Polisi Bantu Bocah SD Seberangi Sungai di

P
polisi-bantu-bocah-sd-seberangi-sungai-di- u
Gorontalo. detikNews. Retrived from https://news.detik.com/berita/d-3631838/salut-

o r
gorontalo?_ga=2.154496816.982737220.1507392987-760677338.1496497144
Irwin, K. (2009). Prosocial behavior across cultures: The effects of institutional versus

F
generalized trust. In S. R. Thye & E. J. Lawyer (Eds.), Altruism and prosocial

t
f
behavior in groups, vol 26 (pp. 165-198). Emerald Group Publishing Limited.

r a
John Darley. (n.d.). Retrieved from http://darley.socialpsychology.org
Kline, R., Bankert, A., Levitan, L., & Kraft, P. (2017). Personality and Prosocial Behavior: A

D
Multilevel Meta-Analysis. Political Science Research and Methods, 1-18.
Knafo, A., & Plomin, R. (2006). Prosocial behavior from early to middle childhood: Genetic
and environmental influences on stability and change. Developmental Psychology,
42(5), 771-786.
Latané, B., & Rodin, J. (1969). A lady in distress: Inhibiting effects of friends and strangers
on bystander intervention. Journal of Experimental Social Psychology, 5(2), 189-
202.
Liebert, R. M., Fernandez, L. E., & Gill, L. (1969). Effects of a “friendless” model on
imitation and prosocial behavior. Psychonomic Science, 16(2), 81-82.
Meery, S. (2016, Juli 4). Kitty Genovese murder: The real story of the woman killed 'in front
of 38 witnesses' in Queens in 1964. The Washington Post. Retrieved from
37
http://www.independent.co.uk/news/world/americas/kitty-genovese-murder-the-real-
story-of-the-woman-killed-in-front-of-38-witnesses-in-queens-in-1964-
a7118876.html
McGuire, A. M. (1994). Helping behaviors in the natural environment: Dimensions and
correlates of helping. Personality and Social Psychology Bulletin, 20(1), 45-56
Nadler, A. (1991). Help-seeking behavior: Psychological costs and instrumental benefits. In
M. S. Clark (Ed.), Review of personality and social psychology, Vol. 12. Prosocial
behavior (pp. 290-311). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Nancy Eisenberg. (n.d). Retrieved from https://psychology.clas.asu.edu/content/nancy-

n
eisenberg.

i o
Penner, L. A., Fritzsche, B. A., Craiger, J. P., & Freifeld, T. R. (1995). Measuring the

t
prosocial personality. Advances in personality assessment, 10, 147-163.

il c a
Penner, L. A., Dovidio, J. F., Piliavin, J. A., & Schroeder, D. A. (2005). Prosocial behavior:
Multilevel perspectives. Annu. Rev. Psychol., 56, 365-39

b
Purnamasari, A., Ekowarni, E., & Fadhila, A. (2004). Perbedaan intensi prososial siswa
SMUN dan MAN
Journal, 1(1), 32-42.
di
u
Yogyakarta. Humanitas

P
Indonesian Psychological

o r
Ruth, N. (2017). “Heal the World”: A field experiment on the effects of music with prosocial
lyrics on prosocial behavior. Psychology of Music, 45(2), 298-304.

F
Safrilsyah, S., Jusoff, K., & Fadhil, R. (2009). Prosocial Behavior Motivation of Acheness

t
f
Volunteers in Helping Tsunami Disaster Victims. Canadian Social Science, 5(3),
50-55.

r a
Septianto, F., & Soegianto, B. (2017). Being moral and doing good to others: Re-examining

D
the role of emotion, judgment, and identity on prosocial behavior. Marketing
Intelligence & Planning, 35(2), 180-191.
Schroeder, D. A., & Graziano, W. G. (2018). Prosocial behavior. In T. D. Nelson (Eds.),
Getting grounded in social psychology: The essential literature of beginning
researcher. (pp 245-285) New York: Routledge.
Suprihatin, I. (2014). Perubahan perilaku bergotong royong masyarakat sekitar perusahaan
tambang batu bara di Desa Mulawarman, Kecamatan Tenggarong
Seberang. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman, Kutai
Kartanegara.

38
Trommsdorff, G., Friedlmeier, W., & Mayer, B. (2007). Sympathy, distress, and prosocial
behavior of preschool children in four cultures. International Journal of Behavioral
Development, 31(3), 284-293.
Trivers, R. L. (1971). The evolution of reciprocal altruism. The Quarterly review of
biology, 46(1), 35-57.
Wisharti, R. (2015, Desember 24). Umat Islam dan Kristen tunjukkan toleransi di hari raya.
BBC Indonesia. Retrieved http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/
12/151224_indonesia_toleransi_agama

o n
t i
il c a
u b
r P
F o
f t
r a
D

39
Glosari:
Altruisme: bentuk atau motivasi dari perilaku prososial, ditandai dengan tindakan sukarela
tanpa mengharap imbalan, lebih disebabkan oleh faktor internal.
Altruisme resiprokal: anggapan bahwa saat kita menolong orang lain, maka mereka suatu
ketika juga akan menolong kita.
Causal helping: bentuk pertolongan/bantuan kecil dan sederhana yang sering kali dilakukan
pada pada perkenalan biasa.
Diffusion of responsibility: suatu kondisi yang terjadi pada saat peritiwa genting/darurat
dimana semakin banyak orang yang melihat kejadian (bystander atau penonton)

n
maka semakin kecil kemungkinan keinginan menolong terjadi.

i o
Egoistik: motivasi dari perilaku prososial, membantu orang lain karena adanya usaha untuk

t
mencapai keuntungan pribadi, terdapat pertimbangan cost-reward.

il c a
Egosentric empathic distress: tahap kedua perkembangan empati-prososial, ditandai dengan
empati yang berpusat pada diri sendiri ketika dihadapkan dengan distres orang lain,

b
misalnya merepon kesedihan bayi lain dengan ikut terlihat sedih (mengerutkan bibir,
hingga menangis).

P u
Emotional helping: bentuk pertolongan/bantuan yang biasanya ditawarkan untuk

o r
menyelesaikan masalah emosi personal.
Emergency helping: bantuan pertolongan/bantuan yang biasanya diberikan pada suatu kondisi

F
yang berbahaya dan tak terkontrol.

t
f
Empati: cara merespon distres (tekanan) orang lain dengan memiliki emosi yang sama

r a
dengan orang tersebut
Empati global: tahap pertama perkembangan empati-prososial, respon emosi pada bayi yang

D
baru lahir ditandai dengan respon reaktif terhadap tangisan bayi lain.
Face-saving: usaha untuk menutupi rasa malu, agar tidak kehilangan muka.
Hereditas: faktor keturunan, genetik.
Hubungan komunal (communal relationship): kebalikan dari hubungan pertukaran, hubungan
yang didasarkan pada pentingnya komunal, kolektif, dan berkelompok, kurang
mementingkan cost dan rewad, teori Clark dan Mills.
Hubungan pertukaran (exchange relationship): hubungan yang didasarkan pada pertukaran
untuk kesimbangan cost (biaya) dan reward (imbalan), teori Clark dan Mills.
Inclusive fitness atau kecocokan inklusif: kondisi dimana orang-orang melakukan perilaku
prososial untuk menyelamatkan kelangsungan gen ke generasi baik dengan

40
melakukan kecocokan/kesesuaian secara langsung (menyelamatkan diri sendiri) atau
tidak langsung (menyelamatkan keluarga).
Kin selection (seleksi keluarga): proses yang muncul dari kecocokan inklusif, berusaha
menguntungkan pihak tertentu yang memiliki kesamaan genetik (satu keluarga).
Mirror system: kegiatan observasi terhadap orang lain yang melakukan aktivitas.
Negative state relief: hipotesis yang menjelaskan orang melakukan pertolongan agar
mengurangi perasaan negatif atau tidak menyenangkan, sehingga setelah menolong
mood-nya akan berubah.
Quasi-egocentric empathic distress: tahap ketiga perkembangan empati-prososial, bayi

n
berusaha membantu bayi lain yang mengalami kondisi distres, sudah dapat
membedakan antara respon diri dan orang lain.

t i o
Pluralistic ignorance: kondisi yang membuat orang-orang membiarkan suatu peristiwa

il c a
darurat terjadi, karena semua orang merasa tidak mengerti tentang apa yang terjadi,
pikiran bahwa keadaan darurat tidaklah serius dan masing-masing orang

b
menafsirkan kondisi tergantung pada orang lain.

P u
Perilaku prososial: setiap bentuk tindakan sukarela untuk menolong orang lain sehingga
memberi manfaat positif bagi si penerima bantuan dan mungkin tidak memberi

o r
manfaat langsung pada si pemberi pertolongan.
Perspective-taking: pengambilan perspektif atau sudut pandang dari orang lain.

F
Reciprocal altruism theory: altruisme timbal-balik, terjadi ketika ketika menolong atau

t
f
keuntungan orang lain, maka kita juga akan mendapat pertolongan atau keuntungan

r a
dari orang yang ditolong.
Simpati: cara merespon distres (tekanan) orang lain dengan merasakan kesedihan atau

D
kepedulian orang lain.
Subtantial personal helping: bentuk pertolongan/bantuan yang biasanya memberi manfaat
nyata, contohnya bantuan dari teman.
Sukarela (Volunterism): kegiatan menolong yang ditujukan pada orang atau kelompok yang
mengalami kesusahan, disertai dengan pengorbanan akan sumber daya yang dimiliki
penolong.
Theory of Mind: kegiatan untuk memberikan pemaknaan akan tindakan.
Tragedy of the Commons: tragedi kepemilikan bersama, Garret Hardin, cerita tentang warga
desa yang mengalami dilema konflik kepentingan.

41
Veridical empatic distress: tahap keempat perkembangan empati-prososial, bayi mempunyai
kepekaan terhadap perasaan orang lain lebih baik, dapat memahami perspektif orang
lain.

o n
t i
il c a
u b
r P
F o
f t
r a
D

42
Indeks:
Altruisme 3, 7, 16
Amigdala 8
Big five personality 11
Bystander 4, 5, 14, 24, 32
Causal helping 4
Egoistik 11, 15
Egosentric empathic distress 22
Emotional helping 4

n
Emotional core 9
Emergency helping 4
Empati 11, 18, 22-23
t i o
Global empati, 22
Face-saving 13
il c a
b
FMRI 8
Friendless 26
Hereditas 8
P u
Help-seeking 17
Hipolamus 8
o r
Hipotesis kontak 20

t F
f
Hubungan pertukaran (exchange relationship) 13

r
Inclusive fitness 6 a
Hubungan komunal (communal relationship) 13

D
Kin selection 6
Kolektivisme 16
Laktasi 8
Lobus frontal 8
Oksitosin 8
Quasi-egocentric empathic distress 22
Perilaku prososial 1
Pluralistic ignorance 5, 25
Perspective taking 9
Prinsipisme 17
Reciprocal altruism theory 7
43
Indirect reciprocity 7
Direct reciprocity 7
Religiusitas 27-28
Simpati 3, 9
Sukarela (Volunteerism) 3, 19
Social exclusion (pengucilan sosial) 14
Mirror system 7
Subtantial personal helping 4
Theory of Mind 7

n
Tragedy of the Commons 20
Veridical empatic distress 23
Zigot 8
t i o
Monozigot 8
Dizigot 8
il c a
u b
r P
F o
f t
r a
D

44
Muhammad Abdan Shadiqi lahir di Angkinang (Kalimantan Selatan) pada 23 Februari 1991.
Pada tahun 2012, menyelesaikan S1 Psikologi di Universitas Lambung Mangkurat (ULM),
Banjarmasin. Setelah lulus, bekerja di Prodi Psikologi (ULM) sebagai tenaga pengajar dan
tenaga kependidikan, kemudian pada 2015 mendapatkan beasiswa percepatan S2 ke S3 dari
Menristekdikti, yakni PMDSU (Program Magister menuju Doktoral untuk Sarjana Unggul).
Pada tahun 2017 telah menyelesaikan kulah S2 bidang Psikologi Sosial, Fakultas Psikologi,
Universitas Indonesia, dan saat ini masih melanjutkan studi S3-nya di Universitas Indonesia
(UI), Depok. Saat ini aktif sebagai pengurus Ikatan Psikologi Sosial – Himpunan Psikologi
Indonesia (IPS-HIMPSI) bagian publikasi dan komunikasi, serta menjadi peneliti di
Laboratorium Psikologi Politik F. Psikologi UI. Selain itu, ia menjadi asisten editor di Jurnal
Makara Hubs-Asia UI; administrator di Jurnal Psikologi Sosial IPS-HIMPSI; dan editor di
Jurnal Ecopsy ULM. Minat studinya adalah berkaitan dengan psikologi sosial dan politik,
khususnya pada tema penelitian pergerakan sosial dan aksi kolektif, perilaku politik, dan isu
politik-keagamaan. Untuk kebutuhan korespondensi dapat menghubungi penulis melalui
email: m.abdan_shadiqi@yahoo.co.id.

o n
t i
il c a
u b
r P
F o
f t
r a
D

45

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai