Anda di halaman 1dari 35

Ayatullah Humaeni

Tradisi & Kepercayaan


terhadap Magic, Mantra & Taboo
Ayatullah Humaeni
dalam Budaya Masyarakat Banten
Tradisi & Kepercayaan terhadap Magic, Mantra & Taboo
dalam Budaya Masyarakat Banten
TRADISI DAN KEPERCAYAAN
TERHADAP MAGIC, MANTRA, DAN TABOO
DALAM BUDAYA BANTEN

Dr. Ayatullah Humaeni, MA


TRADISI DAN KEPERCAYAAN
TERHADAP MAGIC, MANTRA, DAN TABOO
DALAM BUDAYA BANTEN

© Dr. Ayatullah Humaeni, MA

viii + 247 halaman


1. Magic2. Mantra 3. Taboo 4. Banten

Editor
Dr. Helmy F.B. Ulumi, M.Hum

Desain sampul dan layout


Dr. Helmy F.B. Ulumi, M.Hum
M. Arif Bachtiar, S.Ud.

Cetakan ke-1: Desember 2015


ISBN: 978-602-6671-10-3

Penerbit:
Laboratorium Bantenologi
IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Jl. Jendral Sudirman No. 30, Serang, 42118
Telp. +62 (0)254-200323
Fax. +62 (0)254-200022
Website: http//www.bantenologi.org
Email: laboratoriumbantenologi@yahoo.co.id
ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji tentang tradisi dan


kepercayaan terhadapap magic, mantra dan taboo dalam
Banten. Bagaimanatradisidankepercayaanterhadap magic,
mantra dan taboo yang adapadabudayamasyarakatBanten
yang hinggasaatinimasihsurvive dan masih ditradisikan dari
generasi ke generasi menjadi salah satu fokus penelitian
ini, disamping juga akan mencoba menganalisa peran,
makna dan fungsi dari ketiganya bagi masyarakat Banten.
Magic, mantra, dan taboo atau pantangan
merupakan suatu hal yang hampir selalu ada dalam setiap
budaya masyarakat di manapun, terutama budaya
masyarakat primitif. Berbagai penelitian, terutama yang
dilakukan oleh orang-orang Barat, menunjukan betapa
magic, mantra, dan taboo-taboo (pantangan-pantangan)
hampir selalu muncul dalam berbagai aktifitas social
keagamaan masyarakat. Dalam melakukan beragam
aktifitas social mereka, orang-orang primitive khususnya
selalu memperhatikan apakah ada taboo berkaitan dengan
aktifitas mereka untuk menghindari hal-hal yang mungkin
dilarang dalam taboo yang ada dalam budaya mereka.
Taboo ini dianggap bisa menjadi/ mengandung pesan-
pesan moral bagi masyarakat yang meyakininya sehingga
seringkali seseorang yang ingin melakukan sesuatu terpaksa
membatalkannya ketika hal itu dianggap bertentangan atau

i
dilarang dalam taboo yang mereka yakini.
Penelitian ini mencoba menjawab beberapa topik
permasalahan berikut ini: Apa alasan yang mendasari
masyarakat Banten mempercayai dan mempraktekan
magis, mantra dan taboo dalam kehidupan social
keagamaan mereka? Bagaimana masyarakat Banten
memanfaatkan magic dan mantra dalam kehidupan
mereka? Jenis - jenis magic dan mantra yang bagaimana
yang umumnya digunakan oleh masyarakat Banten? Jenis-
Jenis taboo apa yang pernah dan masih ada pada
masyarakat Banten?
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
ethnografi yang bersifat deskriptif kualitatif dengan
menggunakan pendekatan antropologis-fenomenologis.
Ethnografi, menurut James P. Spradley, merupakan
pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan
utama etnografi ini adalah untuk memahami suatu
pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli,
sebagaimana dikemukakan oleh Bronislaw Malinowski,
bahwa tujuan etnografi adalah ‘memahami sudut pandang
penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk
mendapatkan pandangannya mengenai dunianya”.
Selanjutnya, Spradley berpendapat bahwa etnografi
bermakna untuk membangun suau pengertian yang
sistemik mengenai semua kebudayaan manusia dari
perspektif orang yang telah mempelajari kebudayaan itu.

ii
Dalam menganalisa data, peneliti akan menggunakan
pendekatan fungsional-struktural (structural-functional
approach). Metode yang digunakan untuk mengumpulkan
data adalah kajian pustaka, observasi, dan wawancara
mendalam.
Dari pembahasan penelitian ini telah menunjukan
kepada kita bahwa tradisi dan budaya magic, mantra, dan
taboo memang masih ada dan tersebar di berbagai tempat
di Banten sampai saat ini. Berbagai jenis magic dan ahli
magic juga bisa ditemukan di beberapa tempat di Banten.
Wajar jika kemudian, Banten terkenal dengan budaya
magisnya, selain juga terkenal dengan religiusannya.

iii
KATA PENGANTAR

Informasi dan tulisan ilmiah tentang tradisi dan


budaya Banten masih jarang sekali ditemukan. Hal ini
barangkali disebabkan karena sangat minimnya informasi
dan data dari sumber-sumber sejarah tentang tradisi dan
budaya Banten, sehingga mungkin peneliti atau penulis
enggan untuk menyentuh aspek ini sebagai topik
penelitian karena kekhawatiran akan hasil yang kurang
ilmiah karena kurangnya data yang bisa diambil sebagai
rujukan. Padahal sebenarnya, kita bisa menggali informasi
sendiri ke lapangan untuk mendapatkan informasi sedetil-
detilnya dari sumber primer yang terpercaya dengan
melakukan penelitian berbasis etnografi atau dengan
menggunakan pendekatan antropologis dengan cara
melihat langsung fenomena sosial yang terjadi dalam
aktifitas keseharian masyarakat Banten.
Isi buku ini sebagian besar mengutip dari
beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti
pada penelitian sebelumnya, dan ditambahkan berbagai
data dan informasi yang belum ada pada hasil-hasil
penelitian sebelumnya.
Penulis menyadari bahwa penelitian dan
penulisan buku ini tidak akan dapat dilaksanakan secara
baik tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, baik secara
langsung maupun tidak. Karena itu sudah sepatutnya

iv
penulis mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT atas
segala taufik dan inayah-Nya, yang telah memberikan
kekuatan kepada kami untuk menyelesaikan penelitian ini.
Peneliti menghaturkan rasa terima kasih kepada
segenap pimpinan Institut Agama Islam Negeri “Sultan
Maulana Hasanuddin” Banten, terutama Prof.Dr.H.
Fauzul Iman, MA, selaku rektor IAIN “SMH” Banten, yang
sudah banyak memberi kesempatan kepada peneliti untuk
mengasah kemampuan intelektual dan pengalaman
penelitian kepada peneliti. Tak lupa juga ucapan terima
kasih kepada Prof.Dr.H.M.A. Tihami, M.A.,M.M., selaku
guru dan pembimbing, yang sudah memberikan
bimbingan dan arahan kepada peneliti dalam melakukan
penelitian. Segenap dosen dan mahasiswa IAIN “SMH”
Banten yang sering melakukan sharing ilmu pengetahuan
dan pengalaman dalam penelitian.
Selanjutnya ucapan terima kasih kepada para
informan di lapangan yang tidak bisa disebutkan satu
persatu dalam tulisan ini, yang telah membantu peneliti
dalam mengumpulkan data. Bantuan dan kerjasamanya
yang baik telah memudahkan penulis untuk
mengeksplorasi dan menggali data-data dan informasi
yang diperlukan. Akan tetapi, apapun hasil penelitian yang
tertulis dalam hasil laporan ini tidak menjadi tanggung
jawab orang-orang yang sudah membantu terlaksananya
hasil penelitian ini. Apapun isi tulisan dan bentuk laporan

v
dan tanggung jawab intelektual hasil penelitian ini
sepenuhnya berada pada para peneliti. Semoga hasil
penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang positif
bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya
pengetahuan akan budaya Banten.
Ucapan terima kasih tak terhingga kepada para
pengurus dan relawan di Bantenologi, terutama Direktur
Bantenologi Dr. Helmy Faizi Bahrul Ulumi, M.Hum, yang
sudah memberi kesempatan kepada penulis untuk terus
bersama-sama membangun dan mengembangkan tradisi
keilmuan dan penelitian, dan juga sudah bersedia
menerbitkan buku-buku hasil penelitan penulis. Terima
kasih layak penulis ucapkan kepada kawan-kawan di Pusat
Penelitian dan Penerbitan, Lembaga Penelitian dan di
Lembaga Pengembangan Masyarakat (LPM) IAIN SMH
Banten, yang sudah membantu mengasah dan
mempertajam imaginasi intelektual peneliti dalam diskusi-
diskusi informal di sela-sela aktifitas mengajar.
Allahu ‘alam bi al-shawab
Serang, Desember 2015
Peneliti

vi
DAFTAR ISI

ABSTRAK - i
KATA PENGANTAR- iv
DAFTAR ISI - vii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah -1
B. Rumusan Masalah -5
C. Tujuan Penelitian - 7
D. Signifikansi Penelitian - 7
E. Kerangka Konseptual - 8
F. TelaahPustaka - 16
G. Metode Penelitian - 20
H. Sistematika Pembahasan – 23

BAB II KONSEP TEORITIS


A. Deskripsi tentang Magic - 25
B. Deskripsi tentang Kebudayaan - 43
C. Deskripsi tentang Mantra - 58
D. Deskripsi tentang Taboo - 64

BAB III TRADISI DAN KEPERCAYAAN TERHADAP


MAGIC PADA MASYARAKAT BANTEN
A. Ahli Magic dan Praktisi Magic di Banten - 78
1. Kyai dan Ahli Hikmah -78

vii
2. Dukun - 92
B. Jenis-Jenis Magic di Banten -106
C. Sumber-Sumber Magic -121

BAB IV MAGIS DALAM TRADISI LOKAL BANTEN


A. Pemanfaatan Magis dalam Proses Demokrasi di
Tingkat Desa - 125
B. Praktek Magis di Pesantren Salafi di Banten -168

BAB V TRADISI MANTRA DAN TABOO DALAM


BUDAYA BANTEN
A. Ragam Mantra dalam Budaya Banten - 199
B. Tradisi Taboo dalam Budaya Banten - 206
B.1. Makna dan Kegunaan Taboo - 206
B.2. Jenis- Jenis Taboo di Banten - 227

BAB VI KESIMPULAN
A. Kesimpulan - 232
B. Saran - 234

Daftar Pustaka - 237

viii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Magic, mantra dan taboo merupakan tiga hal yang
hampir selalu muncul dalam budaya masyarakat
dimanapun, terutama budaya masyarakat primitif.
Berbagai penelitian, terutama yang dilakukan oleh orang-
orang Barat, menunjukan betapa kepercayaan dan praktik
magic, mantra dan taboo muncul dalam berbagai aktifitas
sosial keagamaan masyarakat.
Tradisi dan kepercayaan magic adalah sebuah
fenomena sosial budaya yang memiliki akar sejarah yang
lama di masyarakat Banten. Meskipun ada banyak
tantangan dari bererapa ulama atau organisasi Islam
tertentu yang menganggap bahwa praktik ini bisa
menyebabkan kemusyrikan, akan tetapi praktik magic ini
masih survive sampai saat ini. Ini merefleksikan bahwa
praktik magic di Banten masih memiliki pengikut yang
loyal disebagian masyarakat Muslim di Banten.
Citra Banten sebagai wilayah religius dan sebagai
pusat praktik ilmu-ilmu gaib (magic) sudah dikenal luas
bukan hanya oleh masyarakat Banten pada khususnya, tapi
juga oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Berbagai
literature dan hasil penelitian tentang Banten, sedikit

1
banyak seringkali membahas tentang reputasi Banten
sebagai the central spot of magical practices. Dalam hal ini,
Martin van Bruinessen dalam bukunya Kitab Kuning,
Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia
menyebut Banten sebagai ‘a heaven of the occult sciences’
(tempat bersemayamnya ilmu-ilmu gaib).1 Bahkan
beberapa orang memanfaatkan reputasi ini untuk menipu
orang lain dengan bertindak seolah-olah mereka memiliki
ilmu gaib untuk memperoleh keuntungan material dari
pasien mereka.
Beberapa pesantren di Banten, khususnya
pesantren-pesantren tradisional (salafi), bukan saja menjadi
the central spot bagi santri untuk mempelajari teks-teks Islam
klasik (kitab-kitab kuning) dan berbagai kegiatan Islamis
lainnya, tetapi juga seringkali dijadikan tempat
mempelajari dan mempraktikan beberapa praktik magic
(ngehikmah). Bahkan, ada beberapa santri yang kadang
kadang lebih tertarik mengkaji kitab-kitab hikmat dan
belajar ilmu gaib ketimbang mempelajari kitab kuning.
Oleh karenanya, ketika mereka lulus dari pesantren, ada
beberapa santri yang kemudian memanfaatkan ilmu yang
mereka pelajari ini untuk menjadi ahli hikmat karena
disamping bisa digunakan untuk membantu masyarakat
yang membutuhkan, ilmu ini juga dipandang bisa

1 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat:


Tradisi- Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), 176
2
mendatangkan manfaat secara ekonomi.
Beberapa praktik magic yang paling umum
dilakukan oleh santri di pesantren Banten adalah ilmu
sambatan, ilmu kebal, ilmu kontak, wafak, and hizb. Oleh
karena praktis magic di pesantren berasal dari sumber-
sumber ajaran Islam, yakni beberapa kitab kuning seperti
Samsul Ma’arif, Mambail Ushulu lil al-Hikmah, Abu Basyar al-
Falaqi, and Aufaq Imam al-Ghazali, mereka yakin bahwa
ilmu gaib (magis) yang mereka pelajari dan mereka
praktekan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Dalam konteks budaya Banten, mantra (magical
formula) memiliki fungsi yang sangat penting bagi individu-
individu yang memilki kepercayaan dan keyakinan tentang
kekuatan gaib di dalam mantera tersebut. Ada banyak
ragam mantera yang tersebar dan digunakan oleh
masyarakat Banten. Dari sisi fungsi nya, magic dan mantera
ini ada yang digunakan untuk tujuan baik atau positif
seperti untuk mengobati, untuk kekebalan dan
keselamatan dan sebagainya, ada juga yang dimanfaatkan
untuk tujuan jahat atau negatif seperti untuk mengguna-
guna orang, menyantet atau meneluh seseorang supaya
sakit atau bahkan mati. Ada juga ilmu magic dan mantra-
mantra yang dipergunakan untuk pengasihan atau pelet.
Selanjutnya, dalam melakukan beragam aktifitas
sosial mereka, orang-orang primitif khususnya selalu
memperhatikan apakah ada taboo berkaitan dengan

3
aktifitas mereka untuk menghindari hal-hal yang mungkin
dilarang dalam taboo yang ada dalam budaya mereka.
Taboo ini dianggap bisa menjadi/mengandung pesan-
pesan moral bagi masyarakat yang meyakininya sehingga
seringkali seseorang yang ingin melakukan sesuatu terpaksa
membatalkannya ketika hal itu dianggap bertentangan atau
dilarang dalam taboo yang mereka yakini.
Selain mantra, masyarakat dimanapun juga
mengenal beragam taboo (pantangan/larangan /batasan),
tak terkecuali di Banten. Seringkali orang tua-orang tua
kita melarang anak-anaknya melakukan sesuatu yang secara
logika seringkali nampak tidak logis, seperti: “aja dodok ning
meja, matak akeh utange…aja dodok ning lawang, matak
dilamar balik jalan…aja seserit atawa susuri bengi-bengi, matak
seret rizkine…wong meteng mah aja ilok lulungaan bengi, matak
digawa kuntilanak”. Masih banyak taboo-taboo lain dalam
budaya Banten yang mungkin tak terhitung jumlahnya.
Taboo-taboo tersebut meskipun secara makna kita tidak
memahaminya, tapi karena hal ini di anggap taboo dan
sakral oleh masyarakat Banten, masyarakat sebisa mungkin
akan menghindari melakukan hal-hal yang dilarang dalam
taboo tersebut, karena khawatir kata-kata itu nenggel.
Berdasarkan penjelasan di atas, berbicara tentang
tradisi dan kepercayaan terhadap magic, mantra dan taboo
dalam budaya masyarakat Banten menjadi subjek yang
menarik untuk dikaji karena beberapa alasan. Pertama,

4
Banten sebagai sebuah daerah yang multikultural, yang
mayoritas penduduknya berbahasa sunda dan jawa Banten,
tentu memilki keanekaragaman magic, mantra dan taboo.
Kedua, banyak ilmu magic, mantra dan taboo tersebar
dalam budaya masyarakat Banten hanya tersimpan dalam
memori orang-orang tua yang usianya sudah lanjut, hal ini
dikhawatirkan akan punah oleh arus modernisasi yang
lebih dominan, sehingga budaya ini kalau tidak segera
ditulis dan didokumentasikan niscaya akan hilang dan
tidak berbekas. Ketiga, beragam mantra dan taboo
kadangkala diungkapkan dalam bentuk nyanyian, pantun
atau lirik, hal ini bisa digunakan sebagai karya sastra lokal
Banten untuk bisa dikenang, dipelajari dan dipahami oleh
generasi-generasi Banten yang akan datang.

B. Rumusan Masalah
Tingginya kepercayaan masyarakat Banten
terhadap hal-hal yang bersifat supernatural, tidak saja
menjadikan Banten sebagai the central spot bagi orang-orang
yang mau mencari dan menekuni ilmu-ilmu gaib (occult
sciences), tapi juga seolah-olah telah menjadi identitas
cultural bagi masyarakat Banten dalam pandangan orang-
orang diluar Banten.
Kekuatan magic yang dipercayai mampu
memenuhi keinginan-keinginan dan harapan-harapan
yang bersifat pragmatis, yang tidak bisa dipenuhi dengan

5
cara-cara yang bersifat rasional dan ilmiah, seringkali
dimanfaatkan oleh masyarakat Banten untuk memecahkan
masalah – masalah yang tejadi dalam kehidupan social
mereka. Kekuatan magic tidak hanya digunakan untuk
kepentingan-kepentingan yang bersifat personal, seperti
pengobatan, untuk menyakiti dan membunuh orang lain,
untuk menimbulkan wibawa dan cinta, tapi juga untuk
kepentingan-kepentingan yang bersifat komunal seperti
dalam upacara-upacara adat dan dalam proses pemilihan
kepala desa. Permasalahan penelitian ini adalah
“Bagaimana tradisi dan kepercayaan terhadap magic,
mantra dan taboo yang ada pada budaya masyarakat
Banten?”
Adapun pertanyaan yang akan menjadi fokus
penelitian ini adalah:
1. Apa alasan yang mendasari masyarakat Banten
mempercayai dan mempraktekan magis, mantra
dan taboo dalam kehidupan sosial keagamaan
mereka?
2. Bagaimana masyarakat Banten memanfaatkan
magic dan mantra dalam kehidupan mereka?
3. Jenis - jenis magic dan mantra yang bagaimana yang
umumnya digunakan oleh masyarakat Banten?
4. Jenis-Jenis taboo apa yang pernah dan masih ada
pada masyarakat Banten?

6
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui alasan-alasan mendasar
mengapa masyarakat Banten mempercayai dan
mempraktekan magic, mantra dan taboo dalam
kehidupan sosial keagamaan mereka.
2. Untuk mengetahui proses bagaimana masyarakat
Banten memanfaatkan magic dan mantra dalam
kehidupan mereka.
3. Untuk mengidentifikasi jenis-jenis magic dan
mantra yang bagaimana yang umumnya digunakan
oleh masyarakat Banten.
4. Untuk menelusuri jenis-Jenis taboo yang pernah
dan masih ada pada masyarakat Banten .

D. Signifikansi Penelitian
Penelitian ini setidaknya memiliki signifikansi
sebagai berikut:
1. Memberikan gambaran seputar tradisi dan
kepercayaan terhadap magic, mantra dan taboo di
Banten, khususnya yang masih di praktekan dan
dipercayai oleh masyarakat Banten saat ini,
sehingga bisa menjadi rujukan tambahan bagi
pemerhati social dan budaya Banten bahwa magic
memang betul-betul telah menjadi identitas social
cultural bagi masyarakat Banten, sehingga dalam

7
banyak aktifitas social budaya, mereka masih
memanfaatkan kekuatan-kekuatan supranatural.
2. Memberikan sumbangan nyata bagi ilmu
pengetahuan dan menunjukan kepada masyarakat
Banten pada khususnya, bahwa Banten memiliki
berbagai karakteristik yang khas yang tidak dimiliki
daerah lain dan keunikan-keunikan tersebut masih
banyak yang belum di-explore oleh para peneliti. Hal
ini diharapkan bisa membangkitkan rasa percaya
diri yang tinggi bagi masyarakat Banten dan juga
bisa memacu the curiousity para peneliti dan ahli
antropologi untuk terus meng-explore berbagai
keunikan Banten sehingga bisa menghasilkan satu
gambaran yang utuh tentang Banten dari berbagai
perspektif.
3. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi
peneliti pada khususnya, dan bagi masyarakat luas
yang ingin mengenal lebih jauh budaya Banten,
khususnya yang berkaitan dengan praktik-praktik
magic, mantra, dan taboo serta pemanfaatannya.

E. Kerangka Konseptual
Kata magic bisa ditemukan dalam berbagai bahasa.
Kata ini seringkali dianggap berasal dari kata local ‘mana’
(berasal dari bahasa Maori), sementra dalam bahasa Iroquis
Indian disebut dengan ‘Orenda’ dan dalam bahasa Iran

8
disebut ‘maga’ yang seringkali diartikan sebagai ‘sejenis
kekuatan luar biasa’ dan dalam istilah Weber disebut juga
dengan ‘Karisma’.2Selanjutnya, dalam bebera bahsa yang
lain, kata ‘magic’ dianggap berasal dari akar kata yang
bermakna ‘aksi atau tindakan’. Zauber (bahasa Jerman) dan
Factum (bahasa Latin) adalah dua kata yang bermakna
magic yang berasal dari latar belakang etimologi yang sama.
Di India, kata yang paling berkaitan maknanya dengan
magic adalah ‘karman’ yang juga bermakna
3
‘tindakan/aksi’. Dalam hal ini, Jane Harrison
berpendapat bahwa kata sacra, adalah istilah lain dari magic
yang digunakan di Yunani, yang bermakna ‘melakukan
sesuatu/ tindakan/aksi.4
Banyak peneliti berpendapat bahwa esensi dari
magic adalah tindakan (action), atau proto-aksi (proto-
action). Jane Harrison mengkategorikan magic sebagai
‘tindakan yang sacral/suci’(sacred action).5 Suzanne Langer

2 Max Weber, The Sociology of Religion (London: Methuen &


CO Ltd, 1965), 2
3 Marcel Mauss, A General Theory of Magic (New York:
Routledge Classics, 1972), 24
4 Jane Ellen Harrison, Themis(London, 1927). Harrison
menyatakan bahwa “magic is a thing re-done and pre-done, a thing
enacted or represented. It is sometimes re-done, commemorative,
sometimes pre-done, anticipatory.(p.43)…Language here speaks clearly
enough. The latinfactura is a magical “making,” witchcraft; the Sanskrit
krtya is doing and magic…The German zauber…, Gothic tanyan, to do…
(p.82).”
5 Jane Ellen Harrison, Themis…, xv
9
mendeskripsikan magic sebagai ‘tindakan simbolik’
(symbolic action).6 Malinowski menggambarkannya
sebagai ‘a practical art consisting of acts…, (seni praktik
yang terdiri dari tindakan-tindakan).’7 Sementara menurut
Roheim, magic diartikan sebagai ‘counter-phobic action’.8
Dan menurut Mauss, magic adalah sejenis totalitas dari
tindakan-tindakan (a kind of totality of actions).9 Akan
tetapi, banyak pengikut Freud, sebagaimana dikutip oleh
O’Keefe, menganggap magic sebagai tindakan defensif dan
sakit (a sick, defensive action).10 Sedangkan dalam
pandanagn O’Keefe, magic bermakna sebagai tindakan
social yang real.11
Dari penjelasan diatas, nampaknya beberpa
peneliti memandang magic sebagai tindfakan yang real
yang hadir disetiap kelompok masyarakat. Magic
merupakan suatu fenomena social yang betul-betul nyata
dan ada baik pada masyarakat primitive maupun masyrakat

6 Suzanne Langer, Philosophy in a New Key (N.Y., 1948), 26-52


7 Bronislaw Malinowski, Magic, Science and Religion, and other
Essays(Garden City, N.Y. : Doubleday, 1954), 88
8 Dikutip dari Daniel Lawrence O’Keefe,Stolen Lightning: the
Social Theory of Magic(New York:Continuum,1982), 25. Akan tetapi,
Menurut Roheim sendiri sebenarnya menjelaskan bahwa magic adalah
suatu sikap konter-fobia, transisi dari pasifitas ke aktifitas. Lihat Geza
Roheim, Magic and Schizophrenia(Bloomington, Ind., 1955), 18-19.
9 Marcel Mauss, A General Theory …, 13
10 Daniel Lawrence O’Keefe, Stolen Lightning…, 25
11 Daniel Lawrence O’Keefe,Stolen Lightning…,25,27
10
modern dan mereka memanfaatkannya untuk
memecahkan berbagai masalah yang mereka hadapi dalam
kehidupan social mereka yang tidak bisa diatasi dengan
cara-cara yang rasional. Masyarakat percaya bahwa situasi-
situasi social bisa dipengaruhi, diubah, diobati, diperbaiki
dan di transformasikan dengan cara-cara gaib (magic).
Bahkan, magic seringkali dimanfaatkan untuk tujuan-
tujuan yang jahat, seperti teluh dan tenung, dan ia juga bisa
dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang baik, seperti
pengobatan dan ritual-ritual keagamaan.
Firth, Winick and Koentjaraningrat punya
persamaaan persepsi tentang magic. Mereka memandang
magic sebagai sebuah tehnik paksaan, sebuah ritual dan
jimat (magical formula) yang memproyeksikan keinginan-
keinginan manusia terhadap dunia luar untuk tujuan-
tujuan yang bersifat praktis.12
Tradisi mantra di Banten merupakan bagian dari
tradisi lisan (verbal folklore). Mantra merupakan do’a
sakral kesukuan yang mengandung magi dan berkekuatan
gaib. Mantra Banten ini merupakan produk budaya yang
bersifat sinkretik antara kepercayaan lokal dan tradisi

12 Lihat Raymond Firth, Human Types, an Introduction to


Social Anthropology. (Rev.ed.,), (N.Y.:The New American
Library,Inc.,1958),124; Baca juga Chrales Winick, Dictionary of
Anthropology(New York: Philosophical Library, Inc., 1956), 334; Baca
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial,2nd ed.(Jakarta:
P.T.Dian Rakjat, 1974),276-77
11
agama. Bagi orang Banten, mantra merupakan salah satu
khazanah budaya kelisanan yang integral dengan khazanah
budaya lainnya. Eksistensinya masih dibutuhkan oleh
masyarakat Banten sampai saat ini.
Penduduk Banten, sebagaimana pengamatan
Snouck Hugronje adalah ‘masyarakat yang lebih taat
dibandingkan masyarakat Jawa lainnya dalam
melaksanakan kewajiban-kewajiban agama seperti puasa di
bulan Ramadhan dan dalam membayar Zakat’.13 Akan
tetapi, ritual-ritual keagamaan mereka kadang-kadang
terkontaminasi oleh aspek-aspek sinkretis yang berasal dari
tradisi pra-Islam. Hal ini bisa dibuktikan dari beberapa
praktik magis di pedesaan Banten yang seringkali
menggunakan tehnik-tehnik dan formula-formula magis
yang nampaknya bukan diambil dari sumber-sumber
utama ajaran Islam, yakni Al-Qur’an dan hadits. Penjelasan
ini bisa dilacak dari banyak mantra yang menggunakan
bahasa jangjawokan baik yang berbahasa sunda, jawa, atau
bahasa Jawa kuno yang kadang-kadang maknanya sangat
sulit dipahamai dan seringkali makna dari mantra-mantra
ini mengandung unsure-unsur animism seperti
kepercayaan atas roh-roh halus, jin-jin, roh-roh gaib nenek
moyang dan mahluk gaib lainnya. Selanjutnya, mantra-
mantra ini di’islamisasi’ oleh para ahli magis dengan
menambahkan lafadz-lafadz atau ayat-ayat Al-Qur’an

13Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren..., 246.


12
tertentu pada mantra tersebut sehingga mantra-mantra
tersebut seolah-seolah mantra Islam.
Dalam batas tertentu, tradisi mantra Banten
merupakan alternatif pranata sosial tradisional ketika
pranata formal tidak mampu lagi mengakomodasi
kepentingan mereka. Pemanfaatan mantra ini menjadi
potret pola kehidupan pragmatis masyarakat Banten yang
masih mempercayai hal-hal yang berbau magis.
Dalam penelitian ini, mantra yang peneliti maksud
adalah semua jenis ucapan atau perkataan dan tulisan, baik
dalam bentuk bahasa Arab, bahasa lokal (bahasa
jangjawokan) yang dicampur dengan ayat-ayat Al-Qur’an,
maupun yang hanya menggunakan bahasa lokal saja, yang
dianggap bisa menimbulkan efek magis bagi si
penggunanya untuk berbagai tujuan yang bersifat
supernatural.Tradisi pemanfaatan mantra ini sudah cukup
lama bertahan di Banten yang diturunkan secara turun
temurun dan melalui tradisi lisan. Para dukun dan orang
pinter biasanya banyak yang menggunakan mantra-mantra
dalam ritual magis mereka. Tidak jarang dukun-dukun
yang sedang membacakan mantra tertentu, gesture tubuh
dan mimik mukanya seolah-olah mereka sedang dalam
keadaan dimasuki oleh mahluk gaib. Sehingga seolah-olah
yang berbicara dan yang bertindak bukan dirinya, tetapi
mahluk gaib yang masuk kedalam jasadnya. Hal ini
barangkali dilakukan untuk meyakinkan pasien atau orang

13
lain bahwa dia betul-betul bisa mempengaruhi, menguasai
dan menundukan makhluk gaib sehingga makhluk-mahluk
ini bisa dimintai bantuan untuk melakukan apa yang
diinginkan oleh dukun tersebut dengan cara-cara magis.
Dalam penelitian ini, teori yang akan digunakan
adalah teori fungsionalnya Thomas F. O’Dea. Dalam teori
ini, Thomas memandang magic sebagai
A set of beliefs and practices is, in one form or another,
characteristic of human societies. It shares with religion
the conception of a beyond – the idea of supra-empirical
aspects of reality. It also shares with religion the idea that
men are capable of establishing some kind of contact with
such supra-empirical realities.14
(seperangkat kepercayaan dan praktek-prakteknya,
dalam satu bentuk atau lainnya, merupakan
karakteristik dari masyarakat manusia. Magic
sebagaima agama memiliki konsepsi tentang
sesuatu yang gaib- ide tentang aspek-aspek
supraempiris dari realitas. Magic juga memiliki idea
bahwa manusia mampu membangun suatu
hubungan dengan realitas-realitas supra-empiris)
Selanjutnya, dalam Teori Fungsional manusia
dalam sebuah masyrakat dikarakterisasikan dalam dua
jenis kebutuhan dan dua jenis kecendrungan prilaku

14 Thomas F.O’Dea, The Sociology of Religion(New Jersey:


Prentice-Hall, Inc., 1966), 7
14
untuk bertindak. Manusia harus bertindak atas lingkungan
sekitarnya, baik dengan cara mengubahnya, atau
menguasai dan mengontrolnya, agar mereka bisa survive.15
Teori Fungsional juga memberikan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah yang muncul
dan memberikan akses bagi pemahaman atas signifikansi
social dari fenomena keagamaan. Teori ini juga
memberikan kemungkinan pemahaman yang lain tentang
fenomena alam dan juga tentang magic.16 Dengan
menggunakan teori ini, peneliti akan mencoba
menghubungkan teori ini dengan tema penelitian yang
peneliti usung yakni “penggunaan magic dalam proses
pemilihan kepala desa”. Saya akan mencoba menjelaskan
bagaimana magic difungsikan oleh orang-orang tertentu
sebagai media untuk memenuhi keinginan-keinginan dan
tujuan-tujuan praktis mereka, dalam hal ini magic
dimanfaatkan oleh para calon kepala desa untuk
memenangkan pemilihan Kepala Desa.
Dalam menganalisa data, peneliti akan
menggunakan pendekatan fungsional-struktural
(structural-functional approach). Ini merupakan suatu
pandangan tentang system sosio-kultural yang
menekankan bahwa struktur-struktur yang diamati
menunjukan fungsi-fungsi dalam struktur tertentu atau

15 Thomas F.O’Dea, The Sociology of Religion…, 7


16 Thomas F.O’Dea, The Sociology of Religion…, 7
15
struktur itu menunjukan fungsi dalam system yang lebih
luas. Berkaitan dengan hal ini, Sills berargumen bahwa
pendekatan funsional –structural sebenarnya digunakan
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai:
Struktur apa saja yang muncul? Fungsi-fungsi apa saja yang
bisa ditunjukkan oleh struktur tersebut? Dan fungsi-fungsi
apa saja yang bisa berkontribusi pada struktur tersebut?

F. Telaah Pustaka
Kajian tentang magic, mantra dan taboo sudah
banyak ditulis oleh banyak penulis, baik penulis lndonesia
maupun Non-Indonesia. Akan tetapi, informasi tentang
praktik magic di Banten jarang sekali ditemukan, begitu
juga tentang mantra dan taboo. Beberapa penulis asal
Banten sudah mendiskusikan magic dalam berbagai
perspektif. Akan tetapi, sejauh pengetahuan penulis, tidak
ada satu karya pun yang meneliti tentang tradisi
kepercayaan magic, mantra, dan taboo pada masyarakat
Banten.
Tihami dalam tesisnya Kiyai dan Jawara di Banten:
Studi tentang Agama, Magi, dan Kepemimpinan di desa
Pasanggrahan Serang, Banten membahas tentang kyai dan
jawara sebagai figur-figur karismatik yang memanfaatkan
kekuatan magic mereka sebagai alat untuk melegitimasi

16
kepemimpinan dalam masyarakat.17 Tesis ini juga
membahas bagaimana seorang kyai atau jawara
memanfaatkan kemampuan magic mereka untuk
memperoleh pengakuan dari masyarakat bahwa mereka
memang layak untuk diangkat dan dianggap sebagai
pemimpin masyarakat. Akan tetapi, Tihami tidak
membahas secara spesifik bagaimana mantra dan taboo di
percayai dan dipraktekan oleh masyarakat Banten.
Selanjutnya, Helmy Faizi dalam tesisnya juga
membahas magic dari perspektif ontology.18Helmi lebih
banyak mendiskusikan konsep magi di Banten berdasarkan
pandangan filosofi. Nitibaskara dalam disertasinya
membahas praktik magic focus pada dukun teluh dan dukun
tenung di dua desa di Banten yang menjadi pusat praktik
magi hitam ditinjau dari perspektif antropologi dan
kriminologi.19 Tetapi Nitibaskara tidak menyentuh
sedikitpun tentang mantra dan taboo dalam budaya
masyarakat Banten.

17 Lihat M.A. Tihami, “Kyai dan Jawara di Banten: Studi


tentang Agama, Magi, dan Kepemimpinan di desa Pasanggrahan
Serang, Banten”, (Tesis, Jakarta: Universitas Indonesia, 1992).
18 Lihat Helmy F.B. Ulumi, “Magi Orang Banten dalam
Perspektif Ontologi”, (Tesis, Yogyakarta: UGM, 2004)
19 Lihat Tb. Ronny Nitibaskara,“Reaksi Sosial terhadap
Tersangka Dukun Teluh di Pedesaan Banten Jawa Barat (tahun 1985-
1990): Studi KAsus desa S dan A Kecamatan Sajira dan Bojonegara:
(suatu Kajian Kriminologi-Antropologi)”, (Disertasi, Jakarta:
Universitas Indonesia, 1993).
17
Humaeni dalam tesisnya the phenomenon of magic in
Banten Society secara comprehensive membahas berbagai
praktik magic, baik white magic maupun black magic, yang
ada di Banten dan juga membahas tiga figur masyarakat
Banten yang dikenal memiliki dan mempraktekan magic,
yaitu kyai, jawara dan dukun.20 Akan tetapi, lagi-lagi tesis
ini juga tidak membahas bagaimana magic dimanfaatkan
oleh masyarakat Banten, dan bagaimana mantra dan taboo
dipercaya dan dipraktekan oleh masyarakat Banten.
Selanjutnya, dalam laporan penelitian tahun 2010,
Humaeni juga menulis tentang Mitos dan Taboo dalam
Budaya Banten21, hanya fokus pada mitos dan taboo yang di
yakini oleh masyarakat Banten, sementara penggunaan
magic dan mantra tidak dideskripsikan dalam laporan
tersebut.
Studi tentang magic, mantra dan taboo di
Indonesia telah menjadi topic sentral beberapa penulis,

20 Lihat Ayatullah Humaeni, “The Phenomenon of Magic in


Banten Society”, (MA Thesis, Leiden: Leiden University, 2009)
21 Lihat Ayatullah Humaeni, Mitos dan Taboo dalam Budaya
Banten (Kajian Mitos dan Taboo di Kabupaten Serang dan
Pandeglang,Banten), Laporan Akhir Penelitian Blok Grant Individual,
Lemlit IAIN “SMH” Banten, 2010
18
seperti Cees van Dijk22, Epton23, C.W. Leadbeater24,
Triyogo25, Utomo26, and Nitibaskara27. Selanjutnya,
beberapa penulis luar (non-Indonesia) membahas berbagai
konsep, teori dan praktik-praktik magic di berbagai
belahan dunia seperti Frazer28, Mauss29, Malinowski30,

22 Lihat Cees Van Dijk, Magic and Violence, sebuah makalah


yang dipresentasikan dalam Workshop tahunan ke-13 tentang
"European Social Science Java Network (ESSJN): Youth and Identity",
di Marseilles, 2-4 May 2002.
23 Lihat Nina Epton, Magic and Mystics of Java, London:
Octagon Press, 1974.
24 Lihat C.W. Leadbeater, The Occult Hystory of Java, Adyar
& Madress: Theosophical Publishing House, 1951.
25 Lihat Anan H. Triyogo, Magis dan Kekuatan Gaib,
Yogyakarta: Narasi, 2005.
26 Lihat Cipto Utomo, Mengenal Batas Ilmu Hitam dan Ilmu
Putih, Solo: Aneka, 2000.
27 Lihat Nitibaskara, Tb. Ronny R., Teori, Konsep dan Kasus
Sihir Tenung di Indonesia, Jakarta: Peradaban, 2001.
28 Frazer, telah menulis buku terkenal yang berjudul ‘The
Golden Bough’ sebagai suatu kajian tentang agama dan folklore (cerita
rakyat). Buku ini menjelaskan berbagai berbagai tehnik magi dan
berbagai jenis tabu diseluruh dunia. Lihat J.G.Frazer,The Golden Bough:
the Roots of Religion and Folklore, New Jersey: Gramercy Books, 1993.
29 Mauss membahas teori umum dan konsep-konsep dasar
tentang magic. Lihat Marcell Mauss, A General Theory of Magic.New
York: Routledge Classics, 1972…
30Malinowski membahas hubungan tentang magi, ilmu
pengetahuan, dan agama dan esay-esay yang lain secara teoritis. Lihat
Bronislaw Malinowski, Magic, Science and Religion, and other Essays.
Garden City, N.Y. : Doubleday, 1954
19
Physiannen31, O’Keefe32, Hutton33 dan sebagainya. Karya-
karya mereka kiranya bisa menjadi sumber-sumber yang
layak untuk memahami konsep-konsep dan teori-teori
dasar tentang magic. Karya-karya mereka juga kiranya bisa
digunakan sebagai bahan perbandingan untuk mengetahui
bagaimana praktik magic dalam masyarakat lain diseluruh
dunia.

G. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
metode penelitian Deskriptif Kualitatif dengan
menggunakan pendekatan antropologis. Populasi yang
digunakan adalah penduduk yang tinggal Kabupaten
Serang, Pandeglang, Tangerang, dan Lebak, Banten. Dari
populasi tersebut sampel di ambil dengan cara Purposive

31 Pyysianien dalam bukunya menjelaskan tentang dasar-


dasar teoritis tentang ilmu pengetahuan kognitif dari agama dan
menggunakan bukunya untuk mendekonstruksi sejumlah konsep
dasar dalam kajian agama, seperti mukjizat, magi dan budaya. Lihat
Ilkka Pyysianen, Magic, Miracles, and Religion: a Scientist’s Perspective,
Oxford: AltaMira press, 2004.
32O’Keefe mendiskusikan tentang berbagai teori social
tentang magic berikut jenis-jenis magic dan pemanfaatanya. Lihat
Daniel L. O’Keefe, Stolen Lightning: the Social Theory of Magic, New
York:Continuum,1982.
33 Hutton mengkaji imu gaib sebagai suatu subjek sosiologi,
yang menjelaskan peran dan posisi dukun disetiap tempat di dunia.
Lihat Hutton, Webster, Magic: a Sociological Study, London: Oxford
University Press, 1948
20
Sampling dengan jumlah 30 orang untuk tiap tiap
kabupaten yang berasal dari berbagai elemen masyarakat
baik itu kyai, ahli hikmah, santri, dukun, tokoh
masyarakat, kepala desa, masyarakat biasa dan lain
sebagainya.
Metode yang digunakan untuk mengumpulkan
data adalah dengan menggunakan teknik – teknik berikut
ini:
a. Kajian Pustaka
Kajian pustaka digunakan untuk mengumpulkan
teori –teori yang akan digunakan sebagai landasan dalam
mengkaji penelitian ini, juga untuk mengumpulkan
informasi sebanyak-banyaknya tentang fenomena-
fenomena yang relevan dengan fokus kajian ini untuk
menjadi bahan rujukan dan sebagai bahan perbandingan.
b. Pengamatan Terlibat
Participant observation atau pengamatan terlibat
dilakukan untuk melihat fenomena social yang terjadi pada
kehidupan sehari-hari dari masyarakat, terutama objek
yang akan diteliti. Selanjutnya, akan sulit menggali
informasi tentang praktik magic yang dilakukan oleh ahli
magic, baik kyai hikmah maupun dukun. Apalagi kalau
kita mau mendapatkan sedetil-detilnya informasi yang
berkaitan dengan penggunaan magic untuk hal-hal yang
bersifat individual dan rahasia. Karena masalah ini
dianggap sebagai isu sensitive yang orang lain tidak boleh

21
tahu karena dikhawatirkan akan meruntuhkan prestise
dan nilai seseorang yang sudah menggunakan magic.
Untuk bisa memperoleh informasi yang lengkap tentang
magic yang dipraktikan oleh kyai hikmah dan dukun,
peneliti terlibat secara langsung dengan cara menjadi
pasien yang ingin meminta bantuan ahli magic untuk
membantu.
c. Wawancara.
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan
informasi yang dibutuhkan untuk melengkapi hasil
pengamatan. Karena dari hasil pengamatan tidak terlalu
banyak didapatkan informasi, maka wawancara tidak
terencana (unstandarized interview) dilakukan agar
penggalian informasi bersifat rilex dan informan bisa
memberikan informasi sebanyak-banyaknya secara bebas.
Wawancara utamanya dilakukan kepada informan
kunci, yaitu dukun, kyai hikmah, kyai pesantren, santri.
Sedangkan untuk informasi tambahan, dilakukan
wawancara kepada beberapa tokoh masyarakat, kepala
desa, dan juga warga biasa di emapt kabupaten tersebut.
Adapun topiK-topik yang ditanyakan dalam
wawancara disesuaikan dengan topik inti dari penelitian
ini, yaitu seputar tradisi kepercayaan dan praktek magic,
mantra, dan taboo dalam budaya masyarakat Banten, jenis-
jenis magic yang digunakan, syarat dan ritual yang
dilakukan, pendapat mereka tentang penggunaaan magic,

22
mantra dan taboo, dan pertanyaan-pertanyaan tambahan
lainnya untuk melengkapi hasil penelitian ini.
d. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di tiga kabupaten,
khususnya di Kabupaten Serang, Pandeglang, dan Lebak.
Pemilihan ketiga wilayah ini atas pertimbanngan-
pertimbangan berikut:
1. Ketiga kabupaten tersebut saling berdekatan,
sehingga akan lebih mudah bagi peneliti untuk
melakukan penelitian lapangan guna menggali
informasi yang dibutuhkan dari para informan.
2. Ketiga wilayah ini mewakili budaya Sunda
Banten dan Jawa Banten sebagai dua sub-etnis
paling dominan di Banten, juga terkenal dengan
dengan jawara, dukun, kyai hikmah dan praktek
magisnya. Sehingga akan lebih mudah bagi
peneliti untuk mendapatkan informan kunci
yang mengetahui tentang topik yang sedang
diteliti.

H. Sistematika Pembahasa
Untuk mempermudah dan memperjelas
pembahasan, laporan penelitian ini dibagi dalam beberapa
bab dan tiap-tiap bab terbagi dalam beberapa sub bab. Bab
pertama adalah pendahuluan berisi, latar belakang,
rumusan masalah, tujuan dan signifikansi penelitian,

23
kerangka konseptual, telaah pustaka dan metode
penelitian.
Bab dua membahas tentang konsep teoritis yang
terdiri dari deskripsi tentang magic, kebudayaan, mantra
dan deskripsi tentang taboo. Bab tiga mengkaji tentang
tradisi dan kepercayaan terhadap pada masyarakat Banten
yang akan membahas tentang ahli magis dan praktisi Magic
(Magician) di Banten, jenis-jenis magic di Banten dan
sumber-sumber magic.
Dalam bab empat, laporan ini akan membahas
tentang magis dalam tradisi lokal Banten. Dalam bab ini,
pemanfaatan magis dalam proses demokrasi di tingkat
desa, praktek magis di pesantren salafi di Banten, akan
dibahas secara tuntas. Bab lima mengkaji tentang tradisi
mantra dan taboo dalam budaya banten yang terdiri dari
ragam mantera dalam budaya Banten dan tradisi taboo
dalam budaya Banten.
Bab terakhir adalah penutup yang berisi
kesimpulan dari semua pembahasan yang sudah peneliti
bahas dengan mengacu pada rumusan masalah yang
menjadi inti masalah yang dibahas dalam penelitian ini.

24

Anda mungkin juga menyukai