Anda di halaman 1dari 13

TEORI ASURANSI

Dalam teori ini pemungutan Pajak dianalogikan dengan sistem


asuransi. Dimana Pajak ini wajib dibayar oleh orang-orang yang
ingin haknya dilindungi bahkan ditanggung oleh pemerintah.
Dalam sistem asuransi, pihak tertanggung diwajibkan untuk
membayar premi kepada pihak penanggung, dimana dalam
pengertian ini syarat dengan Kontraprestasi langsung.
Kontraprestasi dapat berupa pembangunan fasilitas Pendidikan,
kesehatan, keamanan dan faslitias umum lainnya

TEORI KEPENTINGAN

Dalam teori ini, hubungan antara pemerintah dan masyarakat


adalah dua pihak yang saling bergantung.
Masyarakat butuh pemerintah atas penyediaan layanan publik,
pemerintah butuh masyarakat untuk mengumpulkan dana/sumber
daya
Makin Besar kepentingan seseorang terhadap perlindungan atau
pelayanan dari pemerintah, maka makin besar beban pajaknya

TEORI DAYA PIKUL

TEORI PEMUNGUTAN Pengenaan pajak kepada masyarakat harus sama beratnya.


Sedangkan ukuran berat itu relative (seperti tampak pada ilustrasi
PAJAK gambar di atas).
Sehingga pengenaan pajak menurut teori ini, pembebanan pajak
harus disesuaikan dengan kemampuan gaya pikul masing-masing
warga negara >> makin besar penghasilan atau kekayaan
seseorang maka makin besar kemampuan daya pikulnya.

TEORI DAYA BELI

Menurut teori ini, pengenaan pajak didasarkan pada daya beli


seseorang, tanpa memperhatikan besar penghasilannya. Teori ini
beranggapan bahwa besarnya daya beli seseorang tidak
Contoh penerapan teori ini dapat kita temui pada Sistem
Pemungutan PPN.

TEORI KEWAJIBAN PAJAK


MUTLAK (BHAKTI

Dalam setiap organisasi, ada kewajiban setiap anggotanya untuk


membayar iuran organisasinya.
Rakyat melalui wakilnya di DPR menentukan besarnya kewajiban
warganya kepada Negara.
Pembayaran pajak sebagai kewajiban yang bersifat memaksa
kepada Negara dianggap sebagai pengabdian (bhakti) seseorang
warga terhadap Negara nya.
PPH Final dan Tidak Final
Berdasarkan sifat pemotongan atau pemungutannya, PPh dibedakan menjadi dua,
yakni PPh Final dan Tidak Final. Pajak Final merupakan pajak yang dikenakan
dengan tarif dan dasar pengenaan pajak tertentu atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh selama tahun berjalan. Secara sederhana, perbedaan PPh Final berarti
pajak yang sudah selesai atau dikenakan langsung saat wajib pajak menerima
penghasilan. Sedangkan PPh Tidak Final adalah pajak yang belum selesai atau
pajak yang diperhitungkan kembali dengan penghasilan lainnya untuk
dikenakan tarif umum dalam pelaporan SPT Tahunan.

PERBEDAAN PAJAK FINAL DAN TIDAK FINAL

FINAL TIDAK FINAL


Pada pajak penghasilan final, ada PPh Tidak Final penghasilan
penghasilan tidak digabungkan dengan digabungkan dengan penghasilan lain
penghasilan lain yang dikenai tarif yang dikenai tarif umum
umum dalam SPT Tahunan PPh
Badan.
Pada pajak penghasilan final, biaya pada PPh Tidak Final biaya tersebut
sehubungan untuk menghasilkan, dapat dikurangkan
menagih, dan memelihara penghasilan
yang dikenai PPh tidak dapat
dikurangi.
Pada pajak penghasilan final, bukti pada PPh Tidak Final bukti potong
potong PPh tidak dapat diperhitungkan dapat diperhitungkan sebagai kredit
sebagai kredit pajak bagi pihak yang pajak bagi pihak yang dipotong atau
dipotong dan atau dipungut. dipungut
Tarif PPh final diatur berdasarkan tarif pajak PPh tidak
Peraturan Pemerintah (PP) atau final menggunakan tarif umum Pasal
Keputusan Menteri Keuangan (KMK) 17 Undang-undang Nomor 36 Tahun
2008 Tentang tentang Pajak
Penghasilan
OBJEK PAJAK PPH FINAL
• Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia
• Bunga Obligasi
• Diskonto Surat Perbendaharaan Negara (SPN)
• Hadiah Undian
• Transaksi Penjualan Saham dan sekuritas lainnya
• Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham
atau Pengalihan Penyertaan Modal pada Perusahaan Pasangan Usahanya
• Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah
objek pajak PPh final
• Penghasilan dari Pengalihan Real Estate dalam Skema Kontrak Investasi
• Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi
• Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
• Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri
• Penghasilan Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri
• Penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri yang Mempunyai Kantor Perwakilan
Dagang di Indonesia.
• Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap.

OBJEK PAJAK TIDAK FINAL


• Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh
• Hadiah dari pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan
• Laba usaha
• Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
• Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak
• Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang
• Dividen
• Royalti atau imbalan atas penggunaan hak
• Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
• Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
• Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan Peraturan Pemerintah
• Keuntungan selisih kurs mata uang asing
• Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva
• Premi asuransi
• Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
• Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak
• Penghasilan dari usaha berbasis syariah
• Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan
• Surplus Bank Indonesia.

PEMBERLAKUAN PRINSIP TAAT ASAS DALAM PEMBUKUAN


MENURUT TUJUAN FISKAL

Pasal 28 ayat (5) UU KUP mengatur bahwa pembukuan diselenggarakan dengan


prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.

Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan
dengan tahun-tahun sebelumnya, untuk mencegah penggeseran laba atau rugi.
misalnya dalam penerapan : Stelsel pengakuan penghasilan; Tahun buku; Metode
penilaian persediaan; Metode penyusutan dan amortisasi

Stelsel akrual: suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti
penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi
tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar tunai

Stelsel kas: suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan yang
diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Menurut stelsel ini, penghasilan baru
dianggap sebagai penghasilan, bila benar-benar telah diterima tunai dalam suatu
periode tertentu, serta biaya baru dianggap sebagai biaya, bila benar-benar telah
dibayar tunai dalam suatu periode tertentu.

Stelsel kas untuk penghitungan PPH


dapat mengaburkan penghasilan  besarnya penghasilan dari tahun ke tahun
disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas.
Untuk penghitungan PPh stelsel kas harus memperhatikan:
1. Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi
seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam
menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh
pembelian dan persediaan.
2. Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang
dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan
hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi.
3. Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten).
PENGHITUNGAN PPH 21 ATAS KARYAWAN TETAP SELAIN MASA
PAJAK DESEMBER
Penghitungan PPh 21 untuk pegawai tetap dan penerima pension berkala dibedakan
menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Masa per Masa (selain masa pajak Desember), dilaporkan melalui SPT
Masa tiap bulannya
2. Pada Masa Desember atau masa pajak ketika pegawai berhenti bekerja,
dibuatkan 1721A1/1721A2
Secara umum penghitungan PPh 21 untuk
1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap baik teratur maupun
tidak teratur Dasar Pengenaan adalah
PhKP = Penghasilan Neto* - Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
2. Untuk pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang diperlakukan
sebagai pegawai tetap, penghitungan PPh pasal 21 sama dengan pegawai
tetap.

*Penghasilan Neto = Penghasilan Bruto – Jumlah Pengurang (Biaya Jabatan dan


Pengurang lain)
ILUSTRASI PENGHITUNGAN

Link Referensi : https://www.online-pajak.com/tentang-pph21/cara-perhitungan-


pph-21
PPH 22 Atas Impor Barang

Pasal 22 Undang-undang PPh memberikan dasar pemungutan PPh dan kewenangan


kepada Menteri Keuangan untuk menunjuk pemungut pajak sehubungan dengan
transaksi pembayaran atas penyerahan barang, kegiatan impor dan kegiatan usaha
di bidang lain, serta kegiatan pejualan barang yang tergolong sangat mewah.
PPH 23 DASAR PENGENAAN PAJAK DARI KEGIATAN JASA (JASA
KATERING DAN SELAIN JASA KATERING)
PPH FINAL (PP 23 TAHUN 2018 UNTUK UMKM 0,5%)

Khusus untuk UMKM, tarif PPh Final adalah 0,5% seperti tertuang
dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan
atas Penghasilan Dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
PP 23 Tahun 2018 efektif berlaku per 1 Juli 2018. Pemberlakuan PP ini sekaligus
mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.

Tarif PPh Final UMKM


PPh Final untuk pajak UMKM dikenakan pada wajib pajak pribadi dan badan yang
memiliki omzet usaha kurang dari Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak.
Adapun, pokok-pokok perubahan PP No 46/2013 menjadi PP No 23/2018 adalah
sebagai berikut:
1. Penurunan tarif PPh Final 1% menjadi 0,5% dari omzet, yang wajib
dibayarkan setiap bulannya;
2. Wajib Pajak dapat memilih untuk mengikuti tarif dengan skema final 0,5%,
atau menggunakan skema normal yang mengacu pada pasal 17 Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
3. Mengatur jangka waktu pengenaan tarif PPh Final 0,5% sebagai berikut:

o Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yaitu selama 7 tahun;


o Bagi Wajib Pajak Badan berbentuk Koperasi, Persekutuan
Komanditer, atau Firma selama 4 tahun;
o Bagi Wajib Pajak Badan berbentuk Perseroan Terbatas selama 3
tahun.

Pemberian relaksasi ini untuk mendorong kegiatan perekonomian masyarakat


sehingga kewajiban perpajakan yang ditanggung UMKM lebih kecil.
Apalagi, keberadaan UMKM telah mendominasi sektor usaha di Indonesia dengan
jumlah 62,92 juta unit usaha di dalam negeri.
Namun, kontribusi mereka terhadap penerimaan pajak belum maksimal, yakni baru
sebesar Rp5,8 triliun dari total penerimaan pajak yang sebesar RP1.315,9 triliun,
tahun 2018.

Anda mungkin juga menyukai