Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

HADIST SHAHIH DAN SYARAT-SYARATNYA

MATA KULIAH : STUDI HADIST


DOSEN : RAHMAD KURNIADI S.Pd.I M.Kom

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 3
1. FENI ANGARIA
2. SABRINA RISKY AMALI

INSTITUT AGAMA ISLAM NUSANTARA

BATANG HARI TAHUN 2021/2022


xdgdfhgfj
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat


dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah
yang berjudul “Hadits Shahih dan Syarat-syaratnya“ ini tepat pada
waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk


memenuhi tugas dari bapak RAHMAD KURNIADI, S. Pd.i M. Kom
yang telah membantu kami baik secara moral maupun materi.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang


telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan
saya terima demi kesempurnaan makalah ini. Terima Kasih
HADITS SHAHIH DAN SYARAT-
SYARATNYA

Mengenal Hadis Shahih


Para ulama biasa menyebut kata shahih ini sebagai lawan dari kata
saqim (sakit). Maka hadits Shahih secara bahasa adalah hadits yang sehat,
selamat, benar, sah, sempurna dan yang tidak sakit. Secara istilah menurut
Shubhi al-Shalih, hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dhâbith hingga bersambung
kepada Rasulullah atau pada sanad terakhir berasal dari kalangan sahabat
tanpa mengandung syâdz (kejanggalan) ataupun ‘illat (cacat).
Imam Ibn al-Shalah dalam kitabnya ‘Ulûm al-Hadits yang dikenal
juga dengan Muqaddimah Ibn al-Shalah, mendefinisikan hadits shahih
dengan “Hadits yang disandarkan kepada Nabi yang sanadnya
bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dhâbith hingga
sampai akhir sanad, tidak ada syâdz (kejanggalan) dan tidak mengandung
‘illat (cacat)”. Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Nuzhah al-Nazhâr Syarh
Nukhbah al-Fikâr lebih ringkas mendefinisikan hadits shahih yaitu “Hadits
yang diriwayatkan oleh orang yang ‘adil, sempurna ke- dhâbith-annya,
bersambung sanadnya, tidak ber-‘illat dan tidak ber- syâdz”. Pengertian
tersebut mulai terbentuk setelah Imam Syafii memberikan ketentuan
bahwa riwayat suatu hadis dapat dijadikan hujjah, apabila:
1. Diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya

pengalaman agamanya; dikenal sebagai orang yang jujur,


memahami dengan baik hadis yang diriwayatkannya,
mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi perubahan
pelafadzannya; terpelihara hafalannya, bila meriwayatkan hadis
secara lafadz, bunyi hadis yang diriwayatkan sama dengan bunyi
hadis yang diriwayatakan oleh orang lain; dan terlepas dari tadlis
(penyembunyian cacat).
2. Rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW.

atau dapat juga tidak sampai pada nabi.

Syarat-Syaratnya

1. Sanadnya Bersambung

Yang dimaksud dengan sanad bersambung ialah setiap periwayat


hadis dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat yang
terdekat sebelumnya; keadaan semacam itu terus berlangsung demikian
sampai akhir sanad hadis. Artinya adalah sanad tersambung mulai dari
mukharrij hadis sampai pada periwayat pertama (kalangan sahabat) yang
memang lansung bersangkutan dengan nabi. Dalam istilah lain, sanad
bersambung sejak sanad pertama hingga sanad yang terakhir (kalangan
sahabat) hingga nabi, atau dibalik, sanad pertama sejak dari Nabi sebagai
periwayat pertama hingga berakhir pada periwayat terakhir (mukharrij
hadist).
Namun atas bersambungnya sanad masih belum bisa serta-merta
dikatakan hadis shahih. Sebab ada yang mengistilahkan hadis yang
bersambung sanadnya tersebut dengan istilah hadis musnad, sanad hadis
musnad ada yang bersambung (muttashil) dan ada pula yang terputus
(munqathi). Hadis ini bisa dijadikan patokan menetukan keshahihan
hadis, para ulama hadis bersepakat bahwa hadis musnad pasti marfu‟
dan bersambung sanadnya, tapi hadis marfu‟ belum tentu hadis musnad.
Ada pula yang mengistilahkan dengan sebutan hadis muttashil
atau mawshul. Ibn al-Shalah dan al-Nawawi memberikan pengertian
bahwa hadis muttashil atau mawshul adalah hadis yang bersambung
sanadnya, baik bersambung sampai kepada Nabi (marfu‟) maupun hanya
mentok pada sahabat Nabi (mawquf) saja. Selain keterputasan terdapat
pada sahabat Nabi hadis muttashil atau mawshul ada juga yang maqthu‟
(disandarkan pada tabi‟in). Dengan demikian hadis ini tidak bisa dijadikan
patokan untuk menentukan keshahihan hadis beda dengan hadis
musnad. Dari keterputasan tersebut di khawatirkan adanya keterputusan
informasi dari Nabi

2. Perawinya Bersifat Adil (Adalat Al-Rawi)

Tentang perawi yang bersifat adil ini ada banyak pandangan


dikalangan para ulama hadis. Dan banyak pandangan ini sudah biasa
dalam menetapkan suatu ketentuan, Diantara beda pandangan itu ialah
pendapat dari AlHakim ia menyatakan bahwa seorang bisa dikatakan adil
ketika ia beragama Islam, tidak berbuat bid‟ah, dan tidak berbuat
maksiat. Beda dengan Al-Irsyad katanya yang dimaksud adil ialah orang
yang berpegang teguh terhadap pedoman adab-adab syara. Beda pula
yang keluar dari kepala seorang Ar-Razi, adil baginya adalah tenaga jiwa
yang mendorong untuk selalu bertaqwa, menjauhi dosa-dosa besar,
menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil, dan meninggalkan
perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muru‟ah; makan sambil
berdiri di jalanan, buang air kecil di tempat yang bukan disediakan
untuknya, dan bergurau yang berlebih-lebihan. Ada pula yang
menyatakan bahwa „adil itu ُ ‫ن ْ ي ِ د َ ام َ ق َ ت ْ ِن اس َ م ْ س ِ ْالف َ ن ِ م َ م ِ ل َ س َ و‬
‫ُ ُو لُق ُ خ َ ن ُ َس َح و ُ و ِ ة َ ء ْ و ُ ر ُ ْالم ِ ا ِرم َ و َ َخ ِق و‬
Adil adalah orang yang konsisten (istiqamah) dalam
beragama, baik akhlaknya, tidak fasik dan tidak melakukan cacat
muruah Dari sekian pandangan tersebut M. Syuhudi Ismail dalam
buku yang diramu oleh Kasman yang berjudul Hadits dalam
Pandangan Muhammadiyah meringkas semuanya menjadi empat
kriteria perawi yang adil diantaranya adalah:
a. Beragama Islam
b. Mukallaf
c. Melakukan ketentuan agama
d. Memelihara mur‟ah

3. Perawinya Bersifat Dhabit (Dhabth Al-Rawi)

Dhabit menurut bahasa mempunyai makna kokoh, yang kuat,


yang hafal secara sempurna. Seorang perawi mempunyai daya ingat yang
kuat dan sempurna terhadap hadis yang diriwayatkan. Ibn Hajar
AlAsqolani berkomentar bahwa perawi yang dhabit itu adalah dia yang
kuat hafalannya terhadap apa yang pernah di dengarnya, kemudian
mampu menyampaikan hafalan tersebut pada saat dibutuhkan. Artinya,
seorang perawi mempunyai kualitas kesehatan yang maksimal mulai dari
kesehatan pendengaran, otak, psikis, dan moral. Hal ini sangat menjadi
bagian penting bagi perawi sebab dengan pendengaran yang kuat ia
mampu mendengarkan secara utuh isi apa yang didengar, mampu
memahami dengan baik, tersimpan dalam memori otaknya, kemudian
mampu menyampaikan dengan fasih dan benar kepada orang lain
Lebih spesifik lagi dhabit dibelah menjadi dua macam diantaranya
adalah dhabit hati dan dhabit kitab. Dhabit hati maksudnya ialan seorang
perawi mampu menghafal setiap hadis yang di dengarnya dan sewaktu-
waktu dia bisa mengungkapnya atau sederhanya terpelihara periwayatan
dalam ingatan sejak menerima hadis sampai menyampaikan kembali
kepada orang lain, sedangkan dhabit kitab ialah seorang perawi yang
ketika meriwayatkan hadis secara tertulis, tulisannya sudah mendapatkan
tashhih dan selalu terjaga. Sifat-sifat kedhabitan itu bisa dideteksi
melalui; kesaksian para ulama dan berdasarkan kesesuaian riwayatnya
dengan riwayat orang lain yang telah dikenal kedhabitannya.

4. Tidak Terdapat Syadz


Syadz disini berarti hadis yang diriwayatkan tidak mengalami
kerancuan atau terjadi sangsi dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang
lain yang tingkat adil dan dhabitnya lebih tinggi. Mukhalafat altsiqah li
man huwa awtsaq minhu. Para ulama sepakat berikut adalah syarat
syudzudz: a. Periwayat hadis tersebut harus tsiqah; b. Orang tsiqah
meriwayatkan hadis yang berbeda dengan yang lebih tsiqah baik dari segi
hafalan, jumlah orang yang diriwayatkan atau yang lainnya; c. Perbedaan
tersebut bisa berupa penambahan atau mengurangi dalam hal sanad dan
matn; d. Periwayat tersebut menimbulkan kerancuan yang begitu pelik
sehingga tidak bisa dikompromikan; e. Adanya kesamaan guru dari hadis
yang diriwayatkan.

5. Tidak Terdapat Ilat


Maksudnya adalah bahwa hadis yang bersangkutan terbebas dari
cacat kesahihannya. Yakni hadis tersebut terbebas dari sifat-sifat samar
yang membuatnya cacat, meskipun secara kasat mata hadis tersebut
tidak menujukkan adanya cacat. Menurut Ibn al-Shalah, an-Nawawi, dan
Nur al-Din Itr menyatakan bahwa illat merupakan sebab yang
tersembunyi yang menjadi benalu (merusak) kualitas hadis, yang
menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak berkualitas shahih
menjadi tidak shahih.
Menurut Mahmud al-Thahhan, hadis yang mengandung „illat bisa
di lacak ketika mengandung kriteria berikut:
a. Periwayatnya menyendiri;
b. Periwayat lain bertentangan dengannya;
c. Qarinahqarinah lain yang berkaitan dengan keduanya.

Detailnya untuk mengetahui adanya „illat hadis bisa melakukan:

a. Menghimpun seluruh sanad, dengan maksud untuk mengetahui ada


tidaknya tawabi‟ dan/atau syawahid;
b. Melihat perbedaan di antara para periwayatnya; dan
c. Memerhatikan status kualitas para periwayat baik berkenaan dengan
keadilan, maupun ke-dhabitan masing-masing periwayat.

Titik Akhir

Hadis shahih merupakan hadis yang di klasifikasikan berdasarkan


kualitasnya memberikan peran yang cukup besar dalam sumber hukum dan ajaran
Islam. Dengan cara penyeleksiannya yang cukup berat hadis ini memang
menyajikan kebenaran yang tidak bisa diragukan. Mulai dari sanadnya yang
bersambung, perawinya yang „adil, dhabit, terhindar dari kerancuan, dan terhindar
dari cacat.
Sehingga hadis shahih tidak sembarangan keluar dari kepala orang-orang
yang tidak bertanggun jawab. Semunya keluar dari kepala orang yang mendekat
dan menrindukan ridha Allah serta mencintai Rasulullah Saw. hidupnya
terpelihara dari barang-barang yang membawa dirinya pada perbuatan dosa,
sekecil apapun. Kebenaran yang tidak diragukan itu menjadikan hadis shahih
wajib untuk diterima dan dilaksanakan. Hadis shahih mengajak pembaca
sekaligus pengamalnya agar mempunyai kualitas intelektual yang luas, dilihat dari
periwayat hadis shahih yang harus dhabit.
Demikian tulisan ini penulis buat semoga bermanfaat, apabila ada kesalah
dan kritik silahkan di tegur dengan kritik membangun

Anda mungkin juga menyukai