Anda di halaman 1dari 210

Kumpulan Esai

Panduan
Membuat Seni
dari
Sampah Masyarakat

A.S. LAKSANA
A.S. Laksana

2
Kumpulan Esai

A. S. Laksana
Sastrawan, jurnalis, dan pegiat pelatihan kepenulisan. Buku Kumcernya:
“Bidadari Yang Mengembara” (2014) dinobatkan sebagai buku sastra terbaik
tahun 2014 versi majalah Tempo. Karya fiksinya yang lain adalah
Murjangkung , Cinta Yang Dungu dan Hantu-Hantu (2013) dan Si Janggut Men-
gencingi Herucakra (2015). Sedangkan karya non fiksinya antara lain: Skandal
Bank Bali: Catatan Si Jempol (1999) dan Creative Writing: Tips dan Strategi
Menulis Cerpen dan Novel (2005).

3
A.S. Laksana

4
Kumpulan Esai

DAFTAR ISI

Cara Mengakses Para Maestro yang Sudah Mati ...................... 7


Sepakbola: Kesedihan dan Kegembiraan yang Aneh ............. 15
1+1=? Tolong Ambilkan Kalkulator!........................................ 24
Melawan Takhayul dengan Scientific Templer........................ 32
Cekcok Tak Ada Ujung dan Perasaan Paling Benar .............. 39
Respek terhadap Kehidupan ....................................................... 44
Pendidikan Bermutu untuk Cebong dan Kampret................. 50
Menguasai Critical Thingking .................................................... 57
Yang Fana adalah Waktu, Kebodohan Abadi ......................... 66
Panduan Membuat Benda Seni dari Sampah Masyarakat...... 71
Dua Kejutan dalam Sepekan...................................................... 75
Para Pencinta Buku ..................................................................... 80
Borges dan Pikiran yang Mudah Dipengaruhi ........................ 88
Membaca “Love Letters from a Father”.................................. 95
Surat Cinta untuk Pembaca Belia ............................................ 103
Risalah tentang Iblis dan Orang Suci yang Terjerumus ........ 109
Melawan Hoaks dengan Sastra ................................................ 119
Tentang Misteri dan Hal-hal Mubazir .................................... 128
Bagaimana Membaca Dua Buku dalam Sepekan .................. 137
Politik: Medan Perjuangan tanpa Respek............................... 144
Lirik Lagu Terburuk .................................................................. 152

5
A.S. Laksana

Cara Melupakan Para Maestro ................................................. 157


Daftar Buku yang Perlu Anda Baca Sebelum Mati ............... 165
Kenapa Jurnalis Kita Menulis Berita Secara Buruk .............. 172
Poligami, Perempuan yang Patuh, dan Tanda Kiamat ......... 180
Apakah Penulis Kita Kalah Bermutu ...................................... 187
Alia dari Basra ............................................................................ 195
Cara Menghindari Rocky Gerung dan Para Ustaz Medsos . 202

6
Kumpulan Esai

Cara Mengakses Para Maestro yang Sudah Mati

Salah satu topik yang selalu menarik perhatian saya


adalah bagaimana pikiran bekerja dan bagaimana seseorang
mewujudkan kehidupan yang dia jalani. Ada orang-orang yang
selalu beruntung, ada orang-orang yang selalu bernasib nahas.
Saya tidak berniat menyampaikan bahwa kelompok pertama
adalah orang-orang yang berhasil, sedangkan yang lain adalah
orang-orang yang gagal.
Mereka sama-sama sukses. Kelompok pertama, Anda
tahu, mengembangkan cara berpikir yang berhasil menjadikan
diri mereka selalu beruntung. Kelompok kedua
mengembangkan cara berpikir yang berhasil menjadikan diri
mereka selalu sial.
Kita bisa mengatakan bahwa memang ada orang-orang
yang ditakdirkan bernasib sial dan, sebaliknya, ada orang-orang
yang ditakdirkan beruntung. Jika kita percaya ada keadilan bagi
semua manusia, kita mestinya percaya bahwa setiap manusia
memiliki potensi yang sama untuk mewujudkan keberhasilan
mereka.
7
A.S. Laksana

Keberuntungan, kesialan, dan cara berpikir yang


mendasari keduanya itulah yang membuat Richard Wiseman
penasaran. Dia kemudian melakukan riset dan melaporkan
hasilnya dalam sebuah buku menarik berjudul The Luck
Factor.
Itu bacaan yang menyenangkan, setidaknya ia memberi
kita inspirasi tentang apa saja yang bisa dilakukan untuk
memperbaiki keberuntungan. Setiap kehidupan yang buruk
(dan kesialan terus-menerus adalah kehidupan yang buruk),
efeknya selalu kita rasakan di level individu. Demikian pula
setiap kualitas kehidupan yang meningkat. Memang, seseorang
yang selalu dirundung nasib sial bisa melakukan tindakan yang
meresahkan para tetangga. Tetapi, efek mula-mula dari
kesialan tersebut dirasakan orang itu sendiri di level individu,
sebelum dia mengembangkan diri menjadi orang yang
meresahkan lingkungan.
Banyak buku yang sudah ditulis orang tentang
bagaimana Anda perlu menggunakan kekuatan pikiran untuk
nasib Anda sendiri. Ada penjelasan-penjelasan simpel yang
coba diberikan tentang bagaimana pikiran mewujudkan
gagasan menjadi materi. Salah satunya begini:
Katakanlah Anda mempunyai gagasan tentang sebuah
rumah yang Anda inginkan, mula-mula Anda merancang baik-

8
Kumpulan Esai

baik bentuk rumah itu di dalam pikiran. Kemudian, Anda


mengubah gagasan tersebut menjadi gambar dua dimensi
melalui bantuan arsitek dan sekarang pemikiran Anda sudah
menjadi bentuk rumah di atas kertas. Langkah selanjutnya
adalah melakukan sesuatu, dengan mengerahkan segala sumber
daya yang Anda miliki, untuk mewujudkan rancangan itu
menjadi rumah betulan.
Selanjutnya, Anda memikirkan mebel, bagaimana
menghias dinding, dan bagaimana mengisi ruangan-ruangan
dengan pernak-pernik seperti yang Anda pikirkan. Sesekali
Anda menggeser-geser letak kursi atau tempat tidur atau lemari
di kamar. Itu semua demi kenyamanan Anda di dunia kecil
yang Anda ciptakan sendiri.
Tentu saja Anda bisa membangun rumah tanpa gagasan
dan mungkin rumah Anda akan berbentuk gubuk penceng.
Tetapi, karena Anda tidak merancangnya, Anda tidak perlu
kecewa.
Hal yang ingin disampaikan dalam perumpamaan itu
adalah kita mewujudkan segala sesuatu mula-mula dari pikiran.
Prinsip pentingnya, kita menyibukkan pikiran kita dengan satu
hal.
Pada masa kampanye pemilihan presiden tahun lalu,
ketika saya menyibukkan pikiran hanya untuk mendukung

9
A.S. Laksana

kandidat yang saya inginkan menang, setiap hari yang ada


dalam pikiran saya hanya urusan itu. Bahkan, Piala Dunia
sepak bola, yang pada masa-masa itu, nyaris tidak saya ingat.
Untuk kali pertama sejak mengikuti siaran Piala Dunia,
pergelaran di Brasil itulah yang paling tidak mampu menarik
perhatian saya dan untuk kali pertama pula saya tidak merasa
sedih saat Brasil kalah.
Pikiran saya hanya dikuasai satu hal, yakni bagaimana
ikut berkampanye—melalui media sosial—untuk mendukung
kandidat pilihan saya. Hanya urusan itulah yang setiap saat ada
di dalam pikiran. Hal-hal rutin sehari-hari tentu saja tetap saya
jalani, tetapi pikiran saya terserap sepenuhnya ke satu hal itu.
Saya mendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla dan
setiap hari sibuk menggunakan pikiran untuk membantu
memenangkan pasangan tersebut. Mereka pun menang. Jika
sekarang Jokowi tidak bisa menjadi presiden yang baik, itu
urusan Pak Presiden dengan dirinya sendiri. Kita berpikir dia
punya keberanian, ternyata tidak. Jika dia tidak mampu
mengembangkan potensi terbaiknya sebagai presiden dan gagal
menggunakan kesempatan yang dimiliki untuk berbuat yang
terbaik bagi bangsanya, itu kegagalannya sendiri.
Begitulah, pikiran kita tampaknya hanya bisa berfokus
pada satu hal. Dan ketika Anda memenuhi pikiran dengan satu

10
Kumpulan Esai

hal itu terus-menerus, Anda tidak memiliki kesempatan untuk


memikirkan hal lainnya, sampai Anda merasa cukup untuk satu
hal itu dan perlu menyibukkan pikiran dengan hal lain.
Saat saya sibuk berpikir tentang pikiran, seorang teman,
yang bertahun-tahun kemudian baru muncul lagi, menelepon
dan mengajak bertemu. Kami pun bertemu hari berikutnya
dan dia menyampaikan ilmu yang sangat memikat, yakni cara
mengakses pengetahuan dari orang-orang yang sudah mati.
“Para ilmuwan menyampaikan hukum tentang kekekalan
energi,” katanya. “Jadi, pengetahuan-pengetahuan dan seluruh
kecakapan yang dimiliki orang-orang yang hidup sebelum kita,
dan sekarang sudah mati, sebetulnya tidak pernah lenyap.
Mereka berubah menjadi energi yang kekal.”
Dia menyukai petualangan-petualangan semacam itu,
yang oleh umum dianggap sebagai klenik dan dia menamainya
dimensi keempat dan seterusnya dari semesta ini. Saya tidak
tahu apa-apa tentang hal tersebut. Jadi, yang bisa saya lakukan
hanya memikat dan menyediakan telinga untuk pertemanan
kami.
Menurut dia, sekarang ada kenalannya yang sedang
mendalami ilmu untuk mengakses pengetahuan dari para
maestro yang sudah mati itu.
“Nanti kita temui dia,” katanya.

11
A.S. Laksana

“Saya mau mengakses John Lennon,” kata saya.


Dia menginginkan Beethoven.
Setelah itu, kami tidak bertemu lagi dan kami juga tidak
pernah mengunjungi kenalannya yang sedang mendalami ilmu
mengakses pengetahuan-pengetahuan purba. Saya berharap
benar-benar ada orang yang bisa mengakses pengetahuan-
pengetahuan semacam itu. Hal itu akan mempermudah dan
mempersingkat waktu pembelajaran.
Untuk memiliki kemampuan bela diri, saya tinggal
menyediakan diri terhadap Wong Fei Hung atau Bruce Lee.
Untuk mendapatkan kegeniusan, kita menghubungi Albert
Einstein. Untuk menjadikan diri penakluk Batavia, kita tinggal
mengakses Jan Pieterszoon Coen.
Hanya, sampai sekarang saya tidak pernah mendapat
kabar ada satu orang Indonesia yang meraih hadiah Nobel atau
penghargaan apa pun yang lain dengan cara mengakses
pengetahuan dari para peraih Nobel yang sudah mati. Maka,
kita anggap saja ilmu semacam itu tidak ada dan kita tetap
harus melakukan setiap upaya dengan pikiran kita sendiri. Kita
perlu menyibukkan pikiran kita untuk membentuk diri kita
sendiri.
Dan salah satu teknik termudah untuk memenuhi
pikiran dengan hal-hal yang kita inginkan adalah sugesti-diri,

12
Kumpulan Esai

yakni kita menanamkan kesadaran tertentu ke dalam benak


kita, terus-menerus selama beberapa waktu, persetan apa pun
hasilnya.
Emile Coue (1857-1926), penyembuh dari Prancis dan
orang pertama yang memelopori teknik ini, telah
menggunakan metode sugesti-diri untuk menolong banyak
orang menyembuhkan diri sendiri dan berbagai macam
penyakit. Dia mengajari setiap pasiennya untuk mengatakan
berulang-ulang, menjelang tidur dan saat baru bangun tidur,
kalimat singkat: “Setiap hari, dalam segala hal, keadaanku
semakin membaik, semakin membaik.”
Anda bisa saja menggunakan kalimat Anda sendiri dan
menyampaikannya berulang-ulang: “Setiap hari, dalam segala
hal, saya semakin sial, semakin sial.” Atau, “Setiap hari, dalam
segala hal, keberuntungan saya membaik, semakin membaik.”
Yang perlu Anda lakukan hanyalah menyampaikannya
berulang-ulang dan tidak usah peduli apa pun hasilnya.
Jika Anda seorang penulis, Anda bisa saja menyugesti
diri dengan kalimat: “Saya bisa menulis sebaik dia atau lebih
baik dari dia.” Terserah siapa “dia” yang Anda maksudkan.
Sugesti-diri adalah cara termudah untuk menyibukkan pikiran
Anda dengan satu hal terus-menerus dalam waktu sekian lama,

13
A.S. Laksana

sampai ua menjadi bagian dari diri Anda, menjadi pemikiran


yang tidak Anda sadari.
Itu juga merupakan cara yang mudah untuk
membebaskan Anda dari kebingungan, dan dari pikiran yang
mengembara ke sana- ke mari. Ia juga memudahkan Anda
menampik ajakan yang menggiurkan untuk membenamkan diri
ke dalam dunia yang ingar-bingar tidak tentu arah.
Pikiran kita, bagaimanapun, adalah satu-satunya barang
ajaib yang kita miliki. Jika kita tidak menyugesti diri kita
sendiri, orang-orang lain yang akan melakukannya. Anda akan
mempercayai saja apa kata orang, Anda akan bergunjing, Anda
akan hanyut di depan televisi dan emosi Anda diaduk-aduk
oleh acara yang sama sekali tidak berhubungan dengan
kehidupan Anda.
Jadi, jika Anda menyepakati Emile Coue, sampaikan saja
menjelang tidur dan saat bangun tidur, hal-hal terbaik tentang
diri Anda dan peduli setan apakah Anda akan menjadi seperti
itu atau tidak. Yang lebih penting di sini adalah Anda telah
menanamkan kesadaran terbaik tentang diri Anda sendiri. []

14
Kumpulan Esai

Sepak Bola: Kesedihan dan Kegembiraan yang Aneh

Piala dunia sepak bola 2018 adalah pegelaran kesepuluh


yang saya ikuti sejak 1978. Mestinya yang kesebelas jika ajek,
tetapi saya absen pada 2014. Tidak ada satu pun siaran
langsung yang saya tonton pada piala dunia empat tahun lalu
karena ada keramaian lain yang lebih menyedot perhatian:
kampanye pemilihan presiden.
Saya merasa sepak bola tidak menarik lagi, tidak
memberi kegembiraan, dan tidal penting sama sekali
dibandingkan situasi keruh pertarungan politik di dalam negeri.
Itu kali kedua politik mengintervensi kegembiraan saya
menikmati sesuatu yang sebelumnya sangat saya cintai.
Intervensi pertama terjadi pada saat saya menjadi
wartawan DeTik, tabloid berita mingguan yang terbit pada
masa-masa ketika kebijakan Glasnost (keterbukaan) dan
Perestroika (restrukturisasi) dari pemimpin terakhir Uni Soviet
Mikhail Gorbachev mengirimkan gemanya ke mana-mana—
termasuk ke Indonesia yang tidak pernah berganti presiden
sejak PaK Harto dilantik secara resmi pada 1968.
15
A.S. Laksana

Dalam satu setengah tahun usia kehidupan tabloid


tersebut (1993-1994), tema-tema politik menguasai percakapan
kami sehari-hari di kantor: manuver dan kasak-kusuk dari
lingkaran kekuasaan, jam tangan Pak Jenderal di pergelangan
kiri atau kanan, apa subteks dari setiap ucapan Pak Harto, dan
sebagainya.
Teman-teman yang meliput berita politik selalu pulang
ke kantor membawa informasi A1; tidak pernah saya
mendengar mereka menyampaikan informasi A2, apalagi A4.
Di tengah kepungan informasi tentang manuver, gosip politik,
dan kabar dari ring satu, saya diam-diam merasa telah
menempuh jalan yang keliru dan tidak bermakna.
Kesukaan terhadap karya-karya Budi Darma, Putu
Wijaya, Danarto, Iwan Simatupang, Chairil Anwar, Rendra,
Sapardi, Goenawan Mohammad, Hemingway, Kafka,
Chekhov, Camus, Steinbeck, Tolstoy, Tagore, Neruda,
Dostoyevsky, Gabriel Garcia Marquez, Borges, dan lain-lain—
atau bisa diringkus dalam satu kata: sastra—saya rasakan
sebagai hal yang mubazir; tidak membanggakan, dan tidak
memungkinkan bagi saya untuk menyumbang satu saja
kosakata dalam pembicaran-pembicaraan yang dipenuhi gairah
terhadap perubahan politik.

16
Kumpulan Esai

Kesastaraan tak bisa dilanjutkan; saya harus memahami


politik agar bisa terlibat dalam pembicaraan kasask-kusuk.
Maka, saya memutuskan berhenti menulis fiksi dan berpikir
bahwa mengarang cerita tak ada bedanya dengan hobi-hobi
lain seperti menyulam atau menjahit atau merangkai bunga. Itu
keputusan patriotik dari seorang amatir yang baru menulis tiga
cerita pendek melodramatis.
Jika arsipnya ada, saya pasti menangis sesenggukan
setiap kali membaca ulang yang mana pun dari ketiga cerita itu.
Lalu tiba hari bersejarah: Tabloid DeTik, bersama
majalah Tempo dan Editor, dibredel pada 21 Juni 1994 atau
empat hari setelah upacara pembukaan PIala Dunia yang pada
tahun itu diselenggarakan selama sebulan (17 Juni-17 Juli) di
Amerika Serikat. Saya menikmati piala dunia dalam keadaan
menganggur setelah pembredelan dan bisa bergembira
sebentar karena Brasil keluar sebagai juara.
Sekarang, kesukaan terhadap sepak bola, yang punah
sejak 2014, pulih lagi pelan-pelan berkat anak saya yang dua
tahun belakangan mulai menyukai sepak bola dan hampir
setiap hari mengajak bercakap-cakap tentang olahraga sialan
tersebut. Bersamaan dengan itu, bangkit lagi emosi-emosi
kuno dan pemihakan yang tak bisa diruntuhkan dengan alasan
apa pun: di level klub, saya melekatkan emosi kepada

17
A.S. Laksana

kesebelasan mana saja yang dilatih oleh Jose Mourinho; di


piala dunia antarnegara, saya hanya ingin melihat Brasil keluar
sebagai juara. Saya menyukai Brasil, tetapi untuk kali ini ada
catatan: mata saya pedih melihat Neymar.
Neymar sangat menggangu kenikmatan menonton
pertandingan sepakbola: ia mempergunakan keterampilannya
bermain bola untuk mengolok-olok dan membuat jengkel
pemain lawan, tetapi ia cengeng dan mudah jatuh dan selalu
meminta diperhatikan. Anda akan kehilangan kesabaran
berhadapan dengan orang yang terus-menerus membuat
gangguan karena ingin diperhatikan.
Jika Messi selalu berusaha tetap tegak di tengah
kepungan pemain-pemain lawan dan sedapat mungkin
mempertahankan bola di kakinya, Neymar selalu ingin jatuh
dan berharap pemain lawan mendapatkan kartu karena
menyenggolnya. Peter Schmeichel, kiper Manchester United
(1991-1999) dan kesebelasan nasional Denmark, memiliki
pemikiran yang baik tentang Neymar: “Satu-satunya yang saya
pikirkan tentang pemain ini adalah bagaimana agar ia tidak
usah bermain.”
Saya setuju dengan pemikirannya. Saya berharap Brasil
menjadi juara piala dunia, tetapi Neymar tidak usah ikut
bermain.

18
Kumpulan Esai

Tetapi apa artinya menjadi pendukung kesebelasan


Brasil? Bagi orang lain, apa artinya kesedihan terhadap
kegagalan Jerman yang gagal lolos dari fase grup? Apa pula
artinya duka nestapa atas kekalahan Argentina?
Untuk semua pertanyaan itu, saya sudah tahu
jawabannya: Tidak ada artinya. Meski demikian, saya
membiarkan diri merasa sedih Lionel Messi gagal lagi dalam
piala dunianya yang keempat, ia tersingkir karena Argentina
kalah oleh Prancis. Saya sedih melihat Messi berdiri mematung
di tengah lapangan seusai pertandingan, dengan sorot mata
kosong dan kepala yang kita tidak tahu sedang memikirkan
apa. Pemain terbaik di dunia ini lagi-lagi terjungkal bersama
kesebelasan negaranya.
Sebenarnya saya tidak tahu apa tepatnya yang saya
sedihkan. Sepak bola adalah olahraga aneh, dengan tingkah
suporter yang aneh, dengan aturan main yang juga aneh.
Manusia memiliki keuntungan besar dibandingkan
spesies-spesies lainnya di muka bumi karena ia berjalan tegak.
Dua tangannya menggelantung bebas dan tidak perlu
menyangga tubuh untuk berjalan. Dengan kedua tangan ini
manusia menciptakan alat-alat dan bisa bekerja lebih terampil.
Namun permainan sepak bola melarang manusia
menggunakan tangan, organ tubuh paling fungsional untuk

19
A.S. Laksana

mengerjakan urusan sehari-hari, dan harus “bekerja” dengan


kaki dan kepala. Hanya kiper yang boleh menggunakan tangan.
Para pemain lain boleh menggunakan tangan hanya untuk
melakukan lemparan ke dalam ketika bola keluar lapangan.
Keharusan bekerja dengan kaki ini akan membuat
sedikit kesalahan bisa berakibat fatal. Kasus-kasus gol bunuh
diri atau salah umpan atau bola diserobot pemain lawan di area
berbahaya, itu semua terjadi karena kaki sering kikuk. Kiper
Argentina Willy Caballero membuktikan bahwa yang ia
lakukan dengan kakinya berbeda dari yang ia pikirkan.
Caballero menghancurkan moral bertanding rekan-
rekannya dengan sapuan, atau umpan, yang terlalu lemah dan
bola kemudian disambar oleh pemain Kroasia Ante Rebic. Gol
Argentina berubah dari kesebelasan yang bermain tidak jelas
pada pertandingan pertama yang berakhir imbang 1-1 melawan
Islandia menjadi kesebelasan awut-awutan yang harus menelan
kekalahan 3-0 pada pertandingan kedua melawan Kroasia.
Hal aneh lainnya dalam sepak bola, kita harus mematuhi
apa pun keputusan wasit, tidak boleh memprotes sekalipun
keputusan itu keliru dan merugikan tim kita dan bisa
mengacaukan suasana hati dan irama permainan. Pada
pertandingan perempat final piala dunia 1986 di Meksiko,
Maradona mencetak gol dengan tangannya ketika berebut bola

20
Kumpulan Esai

di udara dengan kiper Inggris Peter Shilton. Wasit


mengesahkan gol tersebut karena berpikir Maradona
menyundul bola dengan kepalanya. Pemain Inggris memprotes
keputusan wasit, tetapi wasit tetap pada keputusannya.
Dalam sebuah wawancara tentang gol tersebut,
Maradona mengatakan bahwa itu gol “Tangan Tuhan.”
Pada Piala Dunia 2002 di Korea Selatan dan Jepang,
Spanyol dirugikan oleh keputusan wasit yang menganulir dua
gol ke gawang tuan rumah Korea Selatan dalam pertandinga
perempat final dan akhirnya kalah melalui adu penalti.
Orang-orang marah. “Yang terjadi di sini adalah
perampokan,” kata pemain Spanyol Ivan Helguera. “Semua
orang melihat dua gol yang sangat bagus. Spanyol tidak
menang karena mereka tidak ingin kami menang.”
Mengenai kasus ini, surat kabar Argentina, La Nacion,
menulis: “Piala Dunia ini harus dinyatakan batal demi hukum.”
Protes di dalam lapangan tidak ada gunanya, protes-
protes di luar lapangan tidak ada gunanya juga. Hasil akhir
pertandingan tidak pernah berubah sekalipun terbukti wasit
keliru.
Mengerjakan urusan dengan kaki, yang acapkali kikuk,
dan keberadaan wasit mahakuasa yang keputusannya tidak

21
A.S. Laksana

dapat dibatalkan membuat tiap-tiap pertandingan sepak bola


sering sulit diprediksi hasilnya.
Dalam beberapa aspek, ia serupa dengan kehidupan
sehari-hari yang kita jalani: hasil akhir seringkali tidak adil.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang baik bisa celaka, orang
jujur bisa sengsara, dan orang-orang yang serampangan sering
bisa menikmati kehidupan yang menyenangkan, tetapi kita
tetap diharapkan menjadi orang baik dan orang jujur. Dalam
sepak bola, tim-tim terbaik tidak selalu keluar sebagai
pemenang, tetapi orang tetap menginginkan permainan sepak
bola yang indah meskipun yang diperhitungkan dalam setiap
pertandingan adalah siapa yang mencetak gol lebih banyak.
Dalam kehidupan sehari-hari, selalu ada kemungkinan
kita gagal meraih hasil yang kita inginkan. Kita merasa sudah
membuat persiapan yang baik, meyakini bahwa kita cukup
terampil, percaya diri atas kemampuan untuk mewujudkan
tujuan, tetapi kita gagal. Dan itu tidak menyenangkan.
Seperti itu juga di dalam sepak bola. Hanya saja sepak
bola lebih aneh ketimbang kehidupan sehari-hari. Dalam dunia
sepak bola, kita bisa melihat lelaki lima puluh tahun atau enam
puluh tahun mengucurkan air mata di tempat umum, di
tengah-tengah orang banyak, karena kesebelasan yang
didukungnya kalah.

22
Kumpulan Esai

Lelaki itu mungkin bahkan tidak menangis ketika


usahanya merugi atau ia mengalami kemalangan-kemalangan
yang membuat hidupnya mengenaskan. Tetapi ia menangisi
sepak bola.
Di sisi itu, saya merasa celaka kenapa harus kembali
menyukai sepak bola, sebab ia benar-benar menakjubkan: ia
bisa membuat saya mengalami kesedihan yamg aneh. Saya
sudah bersedih untuk Leo Messi. Nanti saya akan bersedih lagi
jika Brasil kalah. Dua-duanya adalah kesedihan atas hal-hal
yang tidak memiliki signifikansi dalam kehidupan pribadi saya.
Tentu saja saya akan bergembira jika Brasil juara. Itu
pun kegembiraan yang tidak memiliki relevansi sama sekali
dengan kehidupan pribadi saya. Ia hanya berguna untuk
berbagi gosip setelah pergelaran usai.

23
A.S. Laksana

1+1 = ? Tolong Ambilkan Kalkulator!

Ada teman memberi tahu, karena saya tidak memiliki


akun media sosial, bahwa tulisan tentang bagaimana
menghindari Rocky Gerung dan para ustaz media sosial
mendapatkan reaksi dari sejumlah penggemar Rocky, dan
mungkin juga para penggemar ustaz medsos. Mereka membuat
komentar dan menarik kesimpulan tentang saya dan tentang
Beritagar, yang menampilkan tulisan itu, dalam berbagai
ekspresi, tetapi apa yang mereka sampaikan bisa dibuat
sederhana: Mereka menempatkan kami sebagai makhluk-
makhluk penghuni kolom cebong.
Mereka sungguh menarik. Dan, di antara sejumlah
kualitas yang mereka miliki, ini yang menurut saya paling
menarik: Kenapa tidak ada rasa sungkan pada mereka untuk
bertindak sembrono? Membuat kesimpulan asal-asalan, kita
tahu, adalah tindakan sembrono. Perlu nyali yang sangat besar
untuk menjalani hidup sesembrono itu.
Dugaan pertama saya, mereka bisa seperti itu karena
melakukannnya di media sosial. Dalam percakapan langsung,
24
Kumpulan Esai

celoteh asal-asaln tidak akan semudah itu disampaikan.


Bertemu muka dengan seseorang akan memberi kita sejumlah
hambatan untuk menyampaikan pendapat yang tidak
menyenangkan—apalagi cemooh.
Kita merasa perlu menata pikiran karena tidak ingin
terlihat bodoh di depan orang. Kita merasa harus berhati-hati
menyampaikan sesuatu karena tidak ingin membuat lawan
bicara kita marah dan menggampar kita atau melemparkan kita
ke comberan. Kita mungkin perlu mengatur napas agar tidak
tersengal-sengal saat menyampaikan sesuatu yang sulit
disampaikan.
Dugaan kedua, kesimpulan keliru lahir dari penalaran
yang keliru. Dan penalaran yang keliru bisa terjadi karena
berbagai sebab: Informasi yang mereka miliki tidak memadai
untuk membuat kesimpulan; mereka memang tidak terlatih
membuat penalaran; mereka hanya ingin membenarkan apa
yang mereka yakini.
Informasi yang tidak memadai jelas tidak mungkin
digunakan untuk membuat kesimpulan. Ia akan melahirkan
premis-premis yang keliru, yang menjerumuskan orang pada
kesimpulan yang keliru.
Situasi ini kian parah jika fakta berikutnya adalah si
pembuat kesimpulan tidak terlatih melakukan penalaran.

25
A.S. Laksana

Orang-orang yang tidak terlatih melakukan penalaran sudah


barang tentu tidak memiliki kecakapan menalar. Keparahan
akan menjadi-jadi jika orang melakukan penalaran dengan
dorongan meluap-luap untuk membenarkan apa yang mereka
yakini.
Saya sedang mengajari anak saya matematika ketika
menerima pemberitahuan tentang reaksi sejumlah orang di
media sosial itu. Kami membicarakan himpunan. Itu materi
pelajaran matematika sekolah dasar yang mengajarkan
bagaimana melakukan pengelompokan secara akurat sehingga
mudah bagi kita untuk mengidentifikasi anggota-anggotannya.
Pada saat itu juga ingin saya menyampaikan kepada
anak-anak: “Sekarang, mari kita buat tiga himpunan baru.
Yang pertama, himpunan orang-orang yang tidak bisa
membedakan fakta dari fiksi. Kedua, himpunan orang-orang
yang hidup sembrono. Ketiga, himpunan orang-orang yang
ngotot membenarkan apa yang mereka yakini.”
Mereka bisa masuk ke dalam semua himpunan itu.
Menghadapi para anggota himpunan yang seperti itu,
saya ingat Yusi Avianto pernah mengatakan: “Itu
membuktikan bahwa manusia memang berasal dari lempung.
Sebagian besar di antaranya masih benar-benar lempung.

26
Kumpulan Esai

Sebagian yang lain sudah lebih baik, tetapi masih menyimpan


lempung di dalam kepala mereka.”
Satu himpunan lagi bisa kita buat dari pernyataan di atas,
ialah himpunan orang-orang yang masih berkerabat dengan
gerabah. Anggotanya orang-orang yang sama.
Dengan memberi perhatian khusus pada lempung yang
tetap bercokol di batok kepala, dan hubungan perkerabatan
mereka dengan gerabah, sebetulnya kita harus maklum
sekiranya mereka membuat penalaran seperti ini: Meja berkaki
empat. Kura-kura berkaki empat. Maka kura-kura adalah meja.
Tentu tidak ada orang waras maupun anak lima tahun
yang akan mengatakan bahwa kura-kura adalah meja. Namun,
model penalaran seperti itu, yang akan melahirkan kesimpulan
setara dengan kalimat itu, lazim dilakukan oleh orang-orang
yang tidak memiliki informasi memadai tetapi ngotot
melakukan tindakan sulit. Membuat kesimpulan tentang kura-
kura adalah tindakan sulit jika yang mereka ketahui tentang
hewan itu hanya jumlah kakinya. Dan, celakanya, satu-satunya
karakteristik yang mereka ketahui tentang kura-kura itu pun
bukan karakteristik khas hewan itu.
Ada pendapat bagus untuk mendefinisikan
kecenderungan seperti ini. Hamid Basyaib yang

27
A.S. Laksana

mengatakannya: “Kelihatannya mereka memerlukan kalkulator


untuk mengetahui berapa 1+1, Kisanak.”
Memiliki teman-teman yang menyenangkan membuat
saya bisa lebih banyak tertawa ketimbang murung atau marah-
marah. Itu fakta yang bagus, dan dengan fakta sebagus itu
kehidupan menjadi bisa dinikmati. Setidaknya saya tahu siapa
yang bisa saya temui atau saya telepon jika saya ingin tertawa,
termasuk untuk menertawakan diri sendiri.
Saya menanyakan kepada pemberi tahu siapa kira-kira
mereka. Apakah mereka pendukung Prabowo? Apakah mereka
penggemar Rocky Gerung? Apakah mereka pendukung
Jokowi yang berbuat seolah-olah mereka pendukung Rocky
Gerung?
Semuanya bukan pertanyaan penting. Terjawab atau
tidak juga tidak penting. Yang lebih penting dari itu adalah
kenapa orang mendedikasikan diri, dengan nafsu yang
berkobar-kobar, dan sanggup meluangkan banyak waktu untuk
memikirkan pertarungan politik dan melibatkan diri dalam
percekcokan.
Mungkin karena di wilayah itu semua orang bisa terlibat
dalam pembicaraan. Setiap orang bisa berpendapat soal
Jokowi, setiap orang bisa berpendapat soal Prabowo, setiap
orang bisa menyampaikan agenda-agenda terselubung atau

28
Kumpulan Esai

bahkan campur tangan kekuatan gaib yang akan


menghancurkan negara, sambil meyakini setiap spekulasi dan
gosip sebagai fakta.
Singkong, ketela rambat, dan koala tidak mungkin
menjadi bahan pembicaraan yang bisa melibatkan semua
orang. Tidak setiap orang mampu berpendapat tentang
singkong dan ketela rambat, jeruk dan wortel, atau cabe
keriting dan kol gepeng. Tidak setiap orang ingin tahu apa
persamaan antara manusia dan burung kutilang dan koala.
Kita memerlukan pengetahuan untuk membicarakan
hal-hal spesifik. Kita memerlukan kesunyian dan sikap
khusyuk untuk menjawab rasa ingin tahu.
Orang yang memiliki rasa ingin tahu tentang apa
persamaan antara manusia dan koala dan angsa mungkin akan
mendorong dirinya untuk melakukan pengamatan sungguh-
sungguh. Menyebutkan perbedaan di antara ketiganya sangat
mudah, tetapi menemukan persamaannnya?
Jawaban yang sudah tersedia adalah mereka sama-sama
ciptaan Tuhan. Tetapi para ilmuwan dan siapa saja yang
menjunjung tinggi perangai ilmiah tidak akan bisa dipuaskan
dengan doktrin. Mereka tidak akan membiarkan doktrin
menumpas rasa ingin tahu.

29
A.S. Laksana

Dan, itulah yang terjadi, misalnya, pada orang seperti


Charles Darwin. Ia menyukai tumbuhan dan hewan-hewan
dan memiliki pertanyaan tentang mereka. Kenapa bisa ada
banyak jenis tumbuhan dan hewan? Dari mana mereka semua
berasal? Bagaimana mereka semua bisa ada sekarang ini?
Itu rasa ingin tahu yang terdengar seperti suara kanak-
kanak, tetapi upaya mencari jawaban atas pertanyaaan-
pertanyaaan sepele itu membawanya ke penjelajahan jauh. Ia
menemukan kerang dan pohon-pohon pantai di daerah
gunung dan menarik kesimpulan bahwa bumi ini berubah,
tetapi perubahan yang menyebabkan kerang dan pohon-pohon
pantai bisa berada di puncak gunung pastilah perubahan yang
sangat lambat. Artinya, bumi ini sudah sangat tua.
Kesimpulan bahwa bumi sudah sangat tua ini subversif
pada masanya, sebab orang-orang saleh di lingkungannya
memiliki keyakinan, berdasarkan doktrin yang mereka terima,
bahwa usia bumi adalah enam ribu tahun atau paling banter
tujuh ribu tahun. Namun yang paling menggangu adalah
jawabannya atas pertanyaan bagaimana bisa ada banyak
tanaman dan hewan di bumi.
Sekarang sudah makin banyak yang menerima kebenaran
teori evolusi, sebab ia mengumumkan jawaban atas rasa ingin
tahunya dengan menyodorkan bukti-bukti yang bisa

30
Kumpulan Esai

ditemukan. Mungkin beberapa aspek pada teori evolusinya


bisa diperdebatkan atau ditantang. Kebenaran dalam ilmu
pengetauan memiliki sifat falsifiable: ia selalu bisa diuji atau
diperiksa ulang melalui eksperimen atau observasi berikutnya.
Beberapa orang berterima kasih karena jawaban yang ia
sodorkan membuka kemungkinan yang tak terbatas untuk
mempelajari kehidupan. Tetapi yang mencemooh Darwin
sampai hari ini masih tetap besar jumlahnya. Kebanyakan di
antara mereka bukan ilmuwan, bukan pula orang-orang yang
senang berpikir sendiri.
Orang-orang yang kurang senang berpikir sendiri
biasanya cenderung menerima begitu saja apa yang orang lain
katakan. Mereka memerlukan kalkulator untuk menjawab
berapa 1+1. Pada waktu-waktu tertentu mereka mudah
digerakkan oleh kepentingan politik.

31
A.S. Laksana

Melawan Takhayul dengan Scientific Temper

Di India, Donald Trump bisa menjadi tuhan yang


disembah dengan takzim: fotonya ditempatkan di sebuah altar
pemujaaan, diagungkan dengan taburan bunga dan sesaji, dan
seorang lelaki duduk bersila di depan foto tersebut melakukan
puja. “Trump adalah tuhan saya, ia ada di hati saya.” Kata
Bussa Krishna, yang sudah tiga tahun membaktikan diri
sebagai penyembah Donald.
Tidak hanya Donald Trump, kera yang bercokol di kuil
bisa juga menjadi hewan suci. Pada 2014, ada seekor kera
penghuni kuil Hanoman yang mati tercebur ke kolam karena
dikejar anjing. Dua ratus lelaki penduduk desa Dekachya di
Negara Bagian Madhya Pradesh, India Tengah, menggunduli
kepala mereka dan tujuh ratus lelaki lainnya mencukur jenggot
sebagai ungkapan dukacita.
Di desa itu, orang-orang percaya bahwa menyembah
Hanoman, kita mengenalnya sebagai tokoh fiksional berwujud
kera putih dalam cerita wayang Ramayana, akan membebaskan
mereka dari segala marabahaya.
32
Kumpulan Esai

Kawanan tikus, sebagimana kera dan Donald Trump,


bisa juga naik derajat menjadi sesembahan. Di Rajasthan,
hewan pengerat ini dianggap sebagai reinkarnasi Dewi Karni
Mata, titisan Dewi Surga, dan orang-orang menyembah
mereka sebagai makhluk suci. Mereka hidup makmur di kuil,
makan dan minum dari sesaji persembahan warga desa, dan
para penyembah akan senang hati membawa pulang sisa-sisa
sesaji. Orang-orang itu percaya bahwa memakan dan
meminum sisa para dewa bisa mendatangkan berkah dan nasib
baik.
Bagi para wisatawan, itu semua adalah pemandangan
eksotik. Bagi wartawan, itu berita menarik. Bagi pemeluk
agama-agama lain, perilaku keagamaan mereka mungkin
terlihat aneh dan tidak masuk akal. Tetapi pada dasarnya setiap
pemeluk agama akan meihat bahwa segala ajaran di luar iman
mereka selalu mengandung hal-hal yang tidak masuk akal.
Dan bagi orang-orang yang skpetis terhadap agama,
semua agama akan terlihat tidak masuk akal.
Jawaharlal Nehru, bapak bangsa India, adalah salah satu
yang berpandangan seperti itu; ia tidak tertarik pada agama. Di
dalam bukunya The Discovery of India, yang ia tulis selama empat
tahun di dalam penjara (1942-1946), Nehru menyatakan bahwa
agama terkait erat dengan praktik-praktik takhayul dan

33
A.S. Laksana

keyakinan dogmatis, dan di belakangnya terdapat metode yang


tidak ilmiah untuk mendekati masalah-masalah kehidupan.
Ada sikap pasrah yang tidak kritis di dalam iman terhadap
agama dan manusia mengembangkan ketergantungan pada
supranatural.
“Negara atau masyarakat yang tunduk kepada dogma
dan terbelenggu oleh mentalitas dogmatis tidak akan pernah
bisa maju,” katanya. “Celakanya, negara dan masyarakat kita
terlampau dogmatis dna berpikiran sempit.”
Kritik Nehru terhadap agama seperti menggemakan
kembali gagasan para pemikir Abad Pencerahan, yang
menggelorakan semangat kebebasan untuk menggunakan nalar
sendiri, yang menolak tunduk pada dogma dan formula—baik
yang dirumuskan oleh agama maupun politik.
Bagi para pemikir Pencerahan, dogma dan formula
hanya akan menjadikan orang nyaman menjalani kehidupan
sebagai anak di bawah umur yang tunduk patuh, sekadar
mengikuti perintah dan larangan. “Jangan begini, jangan
begitu! Lakukan ini, kerjakan itu!”
Itu hidup yang malas dan pengecut, kata Immanuel
Kant.
Pemikir utama Abad Pencerahan itu menyatakan, di
dalam artikelnya What is Enlightenment?, bahwa pencerahan

34
Kumpulan Esai

hanya memerlukan satu hal, ialah kebebasan. Hanya dengan


kebebasan orang bisa keluar dari ketidakdewasaan yang
dihasratkannya sendiri. Hanya dengan berani berpikir, orang
bisa mencerahkan dirinya sendiri. Karena itulah ia menyebut
Sapere Aud sebagai semboyan Pencerahan: Berani tahu, berani
berpikir sendiri.
Dan Nehru mengambil jalan itu. Secara tegas ia
menyampaikan bahwa jalan terbaik untuk keluar dari
kecenderungan-kecenderungan takhayul adalah dengan
mengembangkan scientific temper (perangai ilmiah), yang
meliputi “pencarian kebenaran dn pengetahuan baru, tidak
menerima begitu saja apa pun tanpa proses pengujian ... dan
menyandarkan diri pada fakta yang teramati dan bukan pada
teori-teori yang bersifat prakonsepsi.”
Ia orang pertama yang menggunakan frase scientific temper
dan frase itu kemudian masuk ke dalam konstitusi India,
menjadi salah tugas fundamental setiap warga negara, yaitu:
Mengembangkan perangai ilmiah, humanisme, dan semangat
pencarian dan pembaruan.
Setelah India merdeka, gerakan untuk mempromosikan
perangai ilmiah dimulai dengan pembentukan Asosiasi Pekerja
Ilmiah India dan Nehru menjadi presiden pertama asosiasi
tersebut. Popularitas asosiasi ini meningkat pesat pada

35
A.S. Laksana

mulanya, namun kredibilitasnya merosot pada awal tahun


1960-an. Salah seorang anggota pentingnya, yang kemudian
menjadi menteri utama di negara bagian Andhra Prakesh,
bahkan terjerumus ke dalam takhayul dengan fakta bahwa ia ke
mana-mana selalu membawa tongkat keberuntungan.
Pada 1964 Nehru meninggal dan tahun itu sebuah
organisasi baru dibentuk untuk tujuan memasyarakatkan
perangai ilmiah, yang diberi nama Society for the Promotion of
Sceintific Temper. Demi mencegah para anggotanya dari
kemungkinan terjerumus ke kubangan takhayul, setiap orang
yang melamar menjadi anggota diwajibkan menandatangani
pernyataan yang bunyinya sebagai berikut:
“Saya percaya bahwa pengetahuan hanya bisa diperoleh
melalui usaha manusia dan bukan melalui pewahyuan, dan
bahwa semua masalah dapat dan harus dihadapi dengan
menggunakan sumber daya moral dan intelektual manusia
tanpa melibatkan kekuatan supranatural.”
Masyarakat ilmiah India terbilang gigih dalam
mengkampanyekan perangai ilmiah. Sejak 1987, pada setiap 28
Februari negara itu merayakan Hari Sains Nasional. Mereka
merayakannya dengan ceramah umum, acara bincang-bincang
di radio dan televisi, pemutaran film sains, pameran sains

36
Kumpulan Esai

berdasarkan tema perayaan, demonstrasi penelitian, debat, dan


sebagainya.
Mereka menyebarkan pesan tentang pentingnya ilmu
pengetahuan bagi kehidupan sehari-hari. Mereka membahas
semua masalah dan menerapkan teknologi baru untuk
pengembangan di bidang sains. Mereka menampilkan semua
kegiatan, upaya, dan prestasi di bidang sains untuk
kesejahteraan manusia dan itu adalah fungsi utama sains bagi
masyarakat India.
Namun tantangan terbesar bagi para penyeru scienific
temper di negara itu barangkali adalah kemiskinan. India
menempati posisi di atas Indonesia dalam peringkat 100
negara paling miskin di dunia, artinya lebih miskin. Bagi orang-
orang yang melaratnya keterlaluan, masalah sehari-hari—apa
pun bentuknya—mungkin sudah menjadi terlampau sulit
untuk diatasi dengan pikiran. Dalam kondisi itu, jalan paling
mudah untuk menjalani hidup adalah dengan intuisi, atau
dengan insting saja, dan tentu saja dengan menyandarkan diri
pada kekuatan gaib.
Maka, gejala seaneh apa pun, atau yang dipandang sangat
aneh oleh orang luar, akan merupakan hal yang normal saja di
India. Donald Trump disembah sebagai tuhan, seseorang

37
A.S. Laksana

menjalani hidup 77 tahun tanpa makan dan minum, dan


jangan lupa ada ritual Kumbh Mela.
Itu ritual mandi di sungai tiap dua belas tahun sekali.
Pada 2013 ada seratus juta orang mandi telanjang di Triveni
Sangam, atau pertemuan tiga sungai suci Gangga, Yamuna, da
Saraswati, di Allaabad. Mereka percaya bahwa mandi di
Treveni Sangam akan membersihkan mereka dari dosa,
menghindarkan mereka dari siklus inkarnasi, dan
mempermudah jalan mereka mencapai nirwana.
Setelah mandi, mereka akan melumuri wajah dan tubuh
dengan abu, dan para naga sadhu (orang-orang suci yang
sehari-hari telanjang bulat) akan mempertontonkan atraksi-
atraksi pada perayaan tersebut.
Orang-orang seperti itu tampaknya tidak memerlukan
perangai ilmiah untuk menjalani hidup.

38
Kumpulan Esai

Cekcok Tak Ada Ujung dan Perasaan Paling Benar

Anda mungkin pernah berdebat dengan seseorang dan


meras frustasi kenapa orang itu ngeyel terus dan tidak bisa
diberi tahu sama sekali. Anda sudah menyampaikan semua
fakta pendukung yang Anda miliki untuk memperkuat
argumentasi Anda, sudah menyajikan bukti-bukti ilmiah, fakta
sejarah, temuan-temuan arkeologis, dan sebagainya. Tetapi,
orang itu tidak bergeser sesenti pun dai posisinya dan tetap
merasa benar dengan keyakinannya. Padahal, keyakinan orang
itu sangat aneh dan tidak masuk akal menurut Anda.
Anda, misalnya, bisa frustasi berdebat tentang bentuk
bumi dengan orang yang mengimani bumi datar. Saya
menonton video-video yang mereka unggah di You Tube dan,
melalui video-video itu, mereka menyampaikan alasan-alasan
yang rumit dna terasa mengada-ngada (saya berpendapat
begitu tentu saja karena memercayai bahwa bumi berbentuk
bola), termasuk menyampaikan kejahatan konspiratif yang
melibatkan para ilmuwan NASA demi mengelabui orang-
orang tentang bentuk bumi yang sebenarnya datar.
39
A.S. Laksana

Anda juga bisa jengkel mendebat orang yang meyakini


bahwa Burobudur dibangun oleh Nabi Sulaiman. Dan tentu
saja tidak mungkin Anda bisa menang berdebat melawan
orang yang berpegang teguh pada keyakinan religius bahwa
Tuhan hanya akan memilih 144 ribu orang sebagai penghuni
surga. Kurang satu dia tidak setuju, lebih satu dia tidak setuju.
Dan ia merasa benar, Anda yang keliru—atau setidaknya Anda
belum memahami hakikat.
Dalam situasi seperti itu, Anda akan merasa seperti
sedang menghadapi tembok tebal yang mustahil dirobohkan.
Anda akan putus asa dan bertanyatanya: Kenapa orang-orang
ini hanya mau menang sendiri? Kenapa mereka selalu merasa
paling benar? Kenapa mereka tidak bisa berubah meskipun
keyakinan mereka sangat aneh?
Ada dua istilah untuk memahami perilaku seperti itu:
motivated reasoning (penalaran termotivasi) dan confirmation
bias (bias konfirmasi). Penalaran termotivasi adalah
mekanisme penalaran yang dilakukan untuk mendukung apa
yang sudah diyakini sebagai kebenaran. Ia disebut
“termotivasi” karena orang cenderung menafsirkan informasi
agar cocok dengan keyakinan yang sudah ada sebelumnya.
Dengan kata lain, kita melakukan penalaran hanya untuk

40
Kumpulan Esai

meyakinkan diri sendiri bahwa apa yang kita percayai itu benar
adanya.
Bias konfirmasi adalah kecenderungan kita untuk
mencari apa saja yang bisa menegaskan keyakinan kita dan
mengabaikan segala yang bertentangan dengan apa yang kita
yakini. Para pendukung bumi datar, misalnya, jika dasar
keyakinan mereka adalah teks-teks keagamaan, mereka akan
mencari informasi pendukung supaya ayat-ayat yang bisa
mereka tafsirkan untuk membenarkan keyakinan mereka.
Mereka akan mengabaikan segala macam informasi dan bukti-
bukti yang menyanggah keyakinan mereka, seilmiah dan
sevalid apa pun bukti-bukti itu.
Dari studi-studi yang sudah pernah dilakukan tentang
penalaran termotivasi dan bias konfirmasi, para ilmuwan
membangun landasan bagi psikologi modern, yakni bahwa
penalaran diliputi oleh emosi.
Data, fakta, dan ide menimbulkan perasaan positif dan
negatif. Ketika informasi yang kita terima bertentangan dengan
keyakinan kita, ia akan kita tafsirkan sebagai ancaman bagi
pandangan, keyakinan, dan akhirnya identitas kita—juga harga
diri kita. Maka, kita menjadi mahir dalam memblokir segala
informasi yang kita anggap mengancam. Kita hanya senang

41
A.S. Laksana

menerima informasi yang kita pandang ramah bagi keyakinan


kita.
Orang-orang yang kritis terhadap pemerintahan Jokowi
dan penuh semangat mendukung tagar #2019gantipresiden,
misalnya, akan merasa gelisah jika membaca beritaberita
keberhasilan pemerintahan Jokowi. Mereka akan sibuk
mengumpulkan berbagai informasi yang bisa mereka dapatkan,
lari ke Google dan mengetikkan kata kunci “kegagalan
Jokowi” atau “Jokowi Neolib” atau apa saja yang akan
membuat mereka mendapatkan “bukti-bukti” untuk
mendelegetimasi atau mengecilkan berita tentang keberhasilan
itu.
Sebaliknya, para pendukung fanatik Pak Jokowi akan
berlomba-lomba membagikan berita keberhasilan tersebut
melalui media sosial, sambil meledek para pengkritik, dan
membubuhkan pesan: Viralkan!
Kekuatan motivated reasoning dan confirmation bias itu
sungguh tak terbantahkan. Cekcok tak henti-henti di media
sosial membuktikan kekuatan tersebut dan sekaligus menjadi
pengingat bagi kita bahwa sangat sulit bagi kita untuk
memenangkan perdebatan, apa pun yang diperdebatkan dan
siapa pun lawan debat kita. Celakanya, saat ini apa saja bisa
menjadi perdebatan dan siapa pun bisa menjadi lawan debat

42
Kumpulan Esai

kita di media sosial. Debat itu akan menjadi kian panas jika
topiknya berkaitan dengan ideologi, agama, dan afiliasi politik.
Dalam wilayah-wilayah itu, emosi kita terlibat denga intensitas
yang sangat kuat.
Karena sulit mengubah pandangan atau keyakinan
orang, saya pikir yang terbaik adalah kita menyadari diri
sendiri. Steven Novella, penulis buku Your Deceptive Mind: A
Scientific Guide to Critical Thingking Skills, dan pendukung
gerakan scientific skepticism, mengingatkan dalam
ceramahnya: “Jika Anda meyakini sesuatu secara membuta,
tidak ada ada cara bagi saya untuk menyampaikan informasi
yang bisa membuat Anda keluar dari keyakinan itu. Anda
harus memiliki kesanggupan untuk memeriksa psikologi Anda
sendiri. Jika tidak, Anda akan menggunakan perangkat apa pun
hanya untuk memperkuat keyakinan Anda dan membenarkan
diri sendiri. (*)

43
A.S. Laksana

Respek terhadap Kehidupan

Ke arah mana kehidupan bergerak? Sejumlah orang


percaya bahwa kehidupan bergerak menuju kebobrokan;
manusia berjalan dari tempat yang terang benderang menuju
kegelapan, dengan perangai yang makin bejat untuk
mendorong diri ke arah kehancuran. Para ilmuwan meyakini
sebaliknya: Perangai manusia membaik, pemahaman terhadap
kehidupan membaik, serta pengetahuan dan teknologi terus
meningkat.
Saya lebih condong pada yang kedua dan percaya bahwa
kehidupan bergerak ke arah yang lebih baik. Tentu saja dunia
akan rusak. Segala sesuatu ada masa berlakunya dan benda-
benda bisa aus ketika usia bertambah. Kayu melapuk, makanan
menjadi kedaluawarsa, dan fisik kita menua dari waktu ke
waktu.
Di luar gejala alam tersebut, mutu kehidupan meningkat.
Cara orang tua memperlakukan anak-anak jauh lebih baik saat
ini. Begitu juga cara manusia memahami perbedaan: Rasisme
tak punya tempat lagi di muka bumi, cara berpikir bahwa satu
44
Kumpulan Esai

golongan lebih unggul dibandingkan golongan lain sudah


terasa sangat kuno, dan perempuan tidak lagi menjadi kaum
yang dinomorduakan.
Memang kehidupan yang lebih baik belum tentu
membuat orang-orang bahagia. Tingkat kebahagiaan kita
belum tentu naik ketika semua hal yang kita inginkan bisa
terpenuhi. Di tingkat personal, kehidupan selalu menyediakan
dramanya sendiri. Manusia bisa hancur lebih dan tidak bahagia
justru ketika semua kegiatannya terpenuhi.
Dalam beberapa hal, kita sedang mencicipi situasi
semacam itu sekarang. Kita menjalani kehidupan
bermasyarakat yang terasa mengerikan justru ketika kita
mendapatkan apa yang kita inginkan, ialah kebebasan.
Dulu segalanya dibatasi. Media bisa dibredel oleh
penguasa, suara politisi ditertibkan, kritik oleh para aktivis
dibalas dengan pemenejaraan. Pada masa itu kita mengidam-
idamkan sebuah era baru di mana warga negara benar-benar
memiliki kebebasan. Kita merindukan demokrasi. Kita
merindukan sistem yang mengizinkan kita menyuarakan apa
saja tanpa perasaan terancam.
Kita sudah mendapatkannya sekarang dan sejumlah
orang merindukan masa lalu. Salah satunya adalah sopir taksi
yang saya naiki pada malam lebaran. “Menurut saya, masih

45
A.S. Laksana

jauh lebih enak zaman Pak Harto. Keadaan tidak ruwet seperti
sekarang. Orang-orang tidak berisik,” katanya.
Saya tidak setuju. Dia mengukur hidup enak hanya
dengan satu variabel. Orang-orang tidak berisik.
Tetapi, saya tidak berminat menanggapi pernyataannya.
Saya hanya mengatakan, “Ya, tidak ada orang yang berisik.”
Pada zaman Pak Harto tidak ada tempat untuk orang yang
berisik. Dia seperti orang tua zaman dulu, yang lebih suka
anaknya tidur atau duduk membatu di depan televisi atau tidak
melakukan apa pun. Yang penting, anak itu tidak berisik.
Memang banyak hal yang terasa keterlaluan saat ini. Tiap
saat ada yang melewati batas, tetapi orang seperti itu akan
dihajar oleh orang-orang lain, akan dibela juga oleh orang-
orang lain. Jadi, publik sendiri yang menjadi penghukum bagi
para pelanggar batas, bukan aparat negara yang turun tangan
untuk menggetok mereka. Itu sebabnya situasi menjadi sangat
berisik. Itu sebabnya ada orang-orang merindukan masa tidak
bebas. Sebab, hidup dalam kebebasan ternyata tidak mudah.
Memang begitu kenyataannya. Kebebasan adalah suatu
keadaan yang harus kita persiapkan sejak kita kanak-kanak.
Kita harus mempelajari bagaimana hidup dalam kebebasan.
Kita harus belajar caranya menggunakan kebebasan bersuara.
Kita harus belajar bagaimana menjadi warga negara yang

46
Kumpulan Esai

memiliki kebebasan sepenuhnya. Kita harus belajar bagaimana


bersikap respek terhadap kebebasan.
Tanpa belajar, kita tidak akan tahu apa yang seharusnya
kita lakukan sebagai warga negara yang bebas, sebagai warga di
sebuah negara demokratis. Tanpa pengetahuan memadai,
kebebasan bisa menjadi malapetaka.
Kita tidak bisa memberi kebebasan kepada kanak-kanak
yang baru merangkak. Dia akan memasukkan sampah dan apa
saja ke mulutnya. Jika diperluas, sebetulnya kita tidak bisa
memberikan kebebasan kepada orang-orang dewasa yang
tingkat pemahamannya setara dengan kanak-kanak yang baru
merangkak.
Kita tidak bisa memberi kebebasan kepada simpanse.
Anda tidak mungkin melepaskan seekor simpanse di tengah
pasar dan berbisik di telinganya: Selamat menikmati
kebebasanmu.
Kita tidak bisa memberi kebebasan kepada macan
kumbang. Kita tidak bisa memberi kebebasan mutlak kepada
domba-domba dan mempersilakan mereka membuat pilihan
hidup sendiri. Mereka hidup dengn naluri. Mereka hanya
memerlukan dunia yang tenang dan hamparan rumput, dan
sama sekali tidak memerlukan kebebasan.

47
A.S. Laksana

Sebagian dari spesies-spesies itu, yang hampir punak,


lebih memerlukan kebajikan manusia ketimbang kebebasan.
Sebagian lagi hanya memerlukan situasi tenteram di mana
mereka bisa beranak pinak dan membesarkan anak-anak
mereka tanpa gangguan.
Hanya manusia satu-satunya spesies di muka bumi yang
merindukan kebebasan dan memiliki imajinasi tentang
kebebasan: sebuah situasi di mana setiap orang bisa
bertumbuh dan mengekspresikan diri tanpa rasa cemas dan
boleh mengembangkan secara optimum potensi-potensi
mereka.
Tetapi, sekali lagi, untuk hidup dalam kebebasan, kita
harus mempersiapkan diri sejak kecil. Kita harus memiliki
cukup pengetahuan dan sikap respek terhadap kebebasan
orang lain. Kita perlu menumbuhkan rasa hormat terhadap
kebebasan itu sendiri.
Saya pikir, hanya orang-orang yang memiliki rasa hormat
kepada diri sendiri yang mampu menggunakan kebebasan
secara baik. Hanya orang-orang yang memiliki rasa hormat
kepada diri sendiri yang sanggup bersikap respek kepada
orang-orang lain—siapa pun mereka, apa pun aliran mereka,
dan apa pun keyakinan mereka.

48
Kumpulan Esai

Orang-orang dengan rasa hormat kepada diri sendiri


akan sanggup mensyukuri kehidupan dan menjalani kehidupan
sehari-hari dengan pikiran baik. Dengan pengetahuan yang
membaik dan dengan sikap respek yang kita kembangkan,
kehidupan niscaya bergerak ke arah yang lebih baik. (*)

49
A.S. Laksana

Pendidikan Bermutu untuk Cebong dan Kampret

Ada pernyataan menarik dan tidak terdengar muluk-


muluk tentang pendidikan. Saya membacanya beberapa waktu
lalu:
“Pendidikan anak di Indonesia menekankan rasa hormat
terhadap keunikan tiap-tiap anak dan memberi kesempatan
kepada setiap anak untuk berkembang sebagai pribadi dengan
keunikannya masing-masing. Mereka dibimbing untuk
mengembangkan keterampilan sosial dan kemampuan
berinteraksi, didorong untuk memperhatikan kebutuhan dan
minat orang lain, untuk peduli kepada orang lain, dan memiliki
sikap positif terhadap orang lain, budaya lain, dan lingkungan
yang berbeda. Secara bertahap mereka dibimbing untuk
meningkatkan kemandirian, sehingga setiap anak nantinya
akan menjadi dewasa yang mampu membuat keputusan yang
bertangung jawab, sanggup berpartisipasi secara produktif di
dalam masyarakat sebagai warga negara, dan ringan hati
membantu orang lain yang memerlukan pertolongan.”

50
Kumpulan Esai

Sebagai seorang ayah, saya bersyukur bahwa akhirnya


ada rumusan yang jelas dan lebih kongkret tentang apa yang
hendak kita capai melalui pendidikan. Mudah-mudahan semua
sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah mampu
mewujudkan cita-cita itu.
Mudah-mudahan sudah dipikirkan juga metode yang
tepat dan para pengajar yang mumpuni untuk melahirkan
manusia-manusia dewasa masa depan yang seperti itu. Tanpa
metode yang baik dan guru-guru bermutu, pendidikan kita
niscaya akan begini-begini saja.
Ada pelajaran bahasa Inggris dan diajarkan bertahun-
tahun di sekolah, tetapi tetap tidak mampu membuat para
siswa berbicara bahasa Inggris; ada pelajaran agama, tetapi
hanya menghasilkan manusia-manusia dewasa yang ribut
melulu soal agama; ada pelajaran matematika, tetapi hanya
menimbulkan ketakutan dan trauma pada kebanyakan siswa.
Pelajaran bahasa Indonesia juga tidak berhasil; pelajaran-
pelajaran lain mungkin sama tidak berhasilnya.
Kita belum tahu akan seperti apa nantinya pendidikan
kita setelah ada urusan yang lebih kongkret. Tetapi, paling
tidak, tulisan itu menentramkan hati. Ia memberi saya udara
segar setelah dibuat gelagapan hampir setiap hari oleh

51
A.S. Laksana

semburan informasi yang sama derasnya dengan semprotan


pemadam kebakaran.
Jika kita ikuti semua informasi yang masuk ke ponsel
kita, mungkin waktu 24 jam sehari sangat kurang. Mungkin
kita memerlukan satu hari yang panjangnya 36 atau 48 jam.
Tulisan apa saja masuk sembarang waktu dan semua ingin
dibaca: mulai dari tip hidup sehat, analisa politik, puisi, esai,
puisi esai, pantun, propaganda, parikan, cara memilih buah-
buahan, sampai doa-doa untuk kesembuhan.
Kadang ada topik yang rampung dibicarakan dalam satu
hari, dan tetap tidak rampung dalam dua hari. Di sebuah grup
WA, pernah ada perdebatan perihal masjid di kampus dan
topik itu tidak selesai juga setelah dibicarakan sampai tiga hari.
Ia terhenti sendiri karena para anggota lain bosan dan ia
mandek begitu saja tanpa kesimpulan—masing-masing tetap
pada pendapat semula seolah-olah tidak pernah terjadi diskusi.
Masih ada hal lain dan inilah yang membuat saya selalu
deg-degan, ialah doa semoga khusnul khotimah.
Saya tidak ingin membuka percakapan terakhir sebuah
grup jika di bagian paling ujung terbaca doa, “Semoga khusnul
khotimah.” Tetapi saya harus membukanya untuk mengetahui
siapa gerangan yang didoakan khusnul khotimah itu.
Beberapa waktu lalu ada yang didoakan sepeti itu.

52
Kumpulan Esai

Saya berangkat tidur dengan pikiran tidak enak dan


besoknya, begitu bangun tidur, istri saya menyampaikan kabar
terbaru yang masuk ke ponselnya: Mas, Vanessa Angel
ditangkap polisi.
Ia seperti menyampaikan kabar tentang anggota keluarga
atau kawan dekat yang terkena musibah. Dari cerita yang ia
sampaikan, saya menjadi tahu bahwa, sebelum ditangkap
polisi, Vanessa Angel sempat mengumumkan di media sosial:
Menjemput rezeki awal tahun.
“Siapa dia?” tanya saya.
“Artis,” katanya.
“Artis apa?”
“Kalau dikasih tahu paling-paling juga tidak tahu.”
Percakapan ajaib. Ia menyampaikan kabar tentang
seseorang yang saya tidak kenal, dengan keyakinan bahwa saya
tetap tidak tahu kalaupun diberi tahu.
Sekarang saya tahu siapa Vanessa Angel dan kenapa ia
ditangkap. Yang saya tetap tidak tahu, kenapa media-media
kita senang sekali mengutak-atik berapa harga sekali layanan
Vanessa Angel dan selanjutnya, berapa pendapatan rata-rata
yang ia peroleh dari pekerjaan prostitusinya.
Apa yang diharapkan oleh media-media itu dengan
memberitakan penghasilan Vanessa dari pekerjaan

53
A.S. Laksana

prostitusinya? Apakah mereka sedang mendorong artis-artis


lain agar ikut menceburkan diri ke dunia prostitusi? Saya kira
begitu. Mereka sedang memberi tahu bahwa di dunia ada
pekerjaan yang sangat mudah, terutama jika anda seorang artis,
dan uang yang diterima berlimpah ruah.
Untunglah saya menemukan tulisan tentang pendidikan.
Jika tidak, saya pasti akan menguber terus berita tentang
Vanessa Angel. Atau ikut-ikutan menggeram di tengah
keriuhan kawanan kampret dan cebong (mereka sendiri yang
saling melempar sebutan itu—mula-mula mereka dinamai
cebong, lalu mereka membalas dengan menyebut kampret
kepada kawanan yang telah menamai mereka cebong.)
O, saya harus lari sejauh mungkin agar tidak terseret ke
dalam pertempuran kedua kawanan ini. Saya tidak jijik
terhadap cebong dn alergi terhadap kampret, tetapi jika
jumlahnya banyak, mereka bisa dikategorikan sebagai hama
dan akan sama mengganggunya dengan walang sangit.
Lebih baik saya doakan mereka dari kejauhan: Semoga
khusnul khotimah.
Agar di waktu-waktu mendatang tidak terjadi
pertarungan kampret dan cebong lagi, saya berharap
pemerintah berhasil menyelenggarakan pendidikan bermutu

54
Kumpulan Esai

dan mewujudkan cita-cita mulia yang bunyinya seperti kutipan


di awal tulisan ini.
Itu falsafah pendidikan yang saya merasa cocok sekali.
Dan saya yakin itu juga yang diharapkan oleh para orang tua
Indonesia ketika menyekolahkan anak-anak mereka. Tidak
semua orang tua tahu apa yang mereka inginkan ketika
memasukkan anak-anak mereka ke sekolah, tetapi pasti mereka
setuju dengan falsafah itu.
Pendidikan umum yang bermutu, yang mampu
melahirkan manusia-manusia dewasa seperti itu, sangat
penting terutama bagi anak-anak dari latar belakang yang
kurang beruntung. Bagi mereka, pendidikan yang baik adalah
harapan bahwa mutu kehidupan bisa diperbaiki. Bagi suatu
bangsa, pendidikan yang baik selalu merupakan sarana utama
untuk bisa berdiri sama tinggi sama dengan bangsa-bangsa
lain.
Artinya, pendidikan umum yang bermutu adalah jalan
untuk mewujudkan kesetaraan. Pendidikan umum yang tidak
bermutu hanya memberi jalan bagi komersialisasi pendidikan.
Akan ada pihakk-pihak swasta yang menawarkan
pendidikan sangat bagus atau berstandar internasional atau
berwawasan lingkungan, atau apa pun yang menggiurkan, dan
yang bisa masuk ke sana hanya anak-anak orang kaya. Anak-

55
A.S. Laksana

anak melarat tidak akan sanggup membayar biayanya. Jadi,


mereka harus memasrahkan nasib kepada sekolah-sekolah
umum dengan mutu seadanya dan diajar dengan metode
belajar-mengajar seadanya dan menjadi cebong atau kampret
nanti ketika dewasa.
Tetapi, fajar baru segera tiba dan kita bisa menarik napas
lega sekarang.
Pendidikan yang rendah mutunya akan segera berakhir.
Falsafah pendidikan yang bermutu sudah dirumuskan. Dan—
astaga!—rupanya saya salah mengutip. Kalimat pertama dalam
tulisan itu mestinya bukan “pendidikan anak di Indonesia”,
melainkan “pendidikan anak di Finlandia”.
Kesalahan sudah saya betulkan. Jadi, jika kita ingin
melahirkan manusia-manusia Indonesia yang Pancasilais, yang
mandiri, bertanggung jawab, dan mampu melihat perbedaan
sebagai rahmat dan bisa hidup selaras dengan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika, kita sebaiknya menyekolahkan semua
anak Indonesia ke Finlandia. Sekolah-sekolah di sana tahu
bagaimana mewujudkan manusia seperti itu.

56
Kumpulan Esai

Menguasai Critical Thinking

Mari kita bayangkan seseorang bertanya kepada kita


seperti ini: Siapa dua orang yang menandatangani naskah
proklamasi Indonesia?
Itu pertanyaan mudah. Kita bisa menjawabnya tanpa
berpikir keras, yaitu Soekarno dan Mohammad Hatta. Jika kita
menanyakannya kepada seribu orang yang pernah membaca
informasi tentang hal itu, kita akan mendapatkan jawaban yang
sama.
Sekarang, kita coba pertanyaan yang berbeda. Bagaimana
proklamasi kemerdekaan mempengaruhi kehidupan orang-
orang di kepulauan Nusantara?
Nah, ini bukan pertanyaan mudah. Jika pertanyaan itu
kita ajukan kepada seribu orang, kita akan mendapatkan
jawaban yang berbeda-beda dari mereka. Orang perlu mencari
tahu lebih banyak tentang kehidupan orang-orang di
kepulauan Nusantara, mengumpulkan berbagai informasi yang
relevan, dan menganalisa kehidupan sebelum dan sesudah
proklamasi kemerdekaan. Untuk menjawab pertanyaan
57
A.S. Laksana

semacam itulah kita memerlukan keterampilan critical


thinking. Kita diminta memberikan bukti-bukti dan
menyampaikan penjelasan secara jernih.
Critical thinking adalah sebuah keterampilan. Untuk
menguasainya, kita perlu melatih diri, dan menjadikannya
kebiasaan sehari-hari. Ia akan membantu kita dalam
penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan. Dengan
menguasai critical thinking, kita bisa lebih percaya diri
terhadap keputuasan-keputusan yang kita buat, juga terhadap
kesimpulan-kesimpulan kita, sebab kita memiliki bukti-bukti
yang mendukung penalaran kita untuk membuat keputusan
atau menarik kesimpulan.
Mungkin pada suatu saat kita harus mengevaluasi
pernyataan atau pendapat seseorang. Pada kesempatan lain kita
harus mempertahankan pendapat kita sendiri. Untuk itu, kita
memerlukan critical thinking.
Bahkan kita juga perlu menguji pendapat kita sendiri.
Misalnya: “Menurut saya pelajaran bahasa Indonesia sungguh
membosankan.” Kita perlu menguji pandangan tersebut
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Apakah kita
kesulitan memahaminya, sehingga kita berpikir bahasa
Indonesia membosankan? Apakah ada bagian tertentu dari
pelajaran itu yang sulit dipahami? Atau kita tidak mendapatkan

58
Kumpulan Esai

cukup informasi tentang apa pentingnya mempelajari bahasa


Indonesia?
Dengan menjawab pertanyaaan-pertanyaan itu, kita akan
menemukan penyebab kebosanan kita dan mempunyai alasan
yang masuk akal untuk membuat keputusan: apakah akan terus
mempertahankan kebosanan itu atau akan mempelajari bahasa
Indonesia dengan cara pandang dan kesadaran baru. Ini juga
berlaku untuk hal-hal lain.

Tiga jenis pemikir


Pemikir malas, yaitu orang yang cenderung tidak mau
berpikir keras atau tidak mau berpikir sama sekali. Biasanya
mereka tidak mempertimbangkan berbagai perspektif lain atau
menyadari bahwa mungkin ada yang keliru dengan penalaran
mereka. Mereka biasanya bukan pengambil keputusan.
 Pokoknya gitu, deh.
 Apa alasannya, ya? Pokoknya cocok banget dengan
selera gue.
 Bodo, ah! Gue nggak ngerti caranya.
Pemikir egois, yaitu orang yang cenderung berpikir
mengenai dirinya sendiri. Mereka berpikir bagaimana cara
membujuk orang lain agar mengikuti kemauan mereka, dan
kurang peduli pada akurasi.

59
A.S. Laksana

 Apa yang harus kukatakan agar dia mau mendukung


rencanaku?
 Gimana caranya agar mereka tidak tahu kejadian
sebenarnya?
 Apa yang harus kuceritakan agar terhindar dari
hukuman?
Pemikir mendalam, adalah seorang pemikir kritis. Ia tahu
keterbatasannya sendiri. Ia menyadari bahwa keputusan yang ia
buat pasti dipengaruhi oleh apa yang ia yakini, dan ia akan
mengakui sekiranya ia tidak tahu. Pemikir mendalam selalu
hati-hati dalam berpikir dan mau mempertimbangkan sudut
pandang orang lain. Ia selalu berusaha membuat penilaian
secara adil dan rasional.
 Apa masalahnya dan bagaimana cara terbaik untuk
mengatasinya?
 Apakah informasi ini bisa dipercaya?
 Apakah fakta-faktanya masuk akal?

Lalu, bagaimana kita berpikir dalam kehidupan sehari-


hari?
Disadari atau tidak, kita menggunakan ketiganya dalam
kehidupan sehari-hari. Kadang-kadang kita menggunakan
pemikiran dangkal, kadang-kadang berpikir egois, dan kadang-

60
Kumpulan Esai

kadang menggunakan pemikiran mendalam. Ada waktunya


kita membuat keputusan tanpa berpikir sama sekali, misalnya
untuk memenuhi undangan acara ulang tahun. Ada kalanya
kita berpikir egois, misalnya memutuskan di rumah saja untuk
membaca buku ketimbang memenuhi ajakan makan malam.
Ada waktunya juga kita berpikir mendalam untuk membuat
keputusan-keputusan penting, yang kita pikir akan
mempengaruhi masa depan kita.

Mengapa critical thinking penting?


Sekarang atau nanti, kita pasti akan membuat keputusan;
kita juga akan berhadapan dengan masalah dan harus
menemukan jalan keluar. Jika kita menguasai kecakapan critical
thinking, itu berarti kita alat bantu yang memadai untuk
membuat keputusan dan menyelesaikan masalah.
Dengan critical thinking kita tahu bagaimana
mencermati diri sendiri. Kita bisa mengevaluasi kebiasaan-
kebiasaan kita setiap hari. Apa hal yang kita lakukan setiap
hari? Dengan melakukan hal itu setiap hari, apakah kita akan
menjadi orang yang lebih bermutu nantinya? Kita juga perlu
mempertimbangkan apa implikasi dari keputusan atau
tindakan yang akan kita ambil. Apa yang harus dilakukan
untuk membangun kebiasaan yang baik? Apakah cara kita
belajar sudah tepat?
61
A.S. Laksana

Karena critical thinking adalah keterampilan yang


penting, kita perlu berlatih sejak kecil untuk menguasainya.
Mulai sekarang, ada baiknya kita mulai lebih kritis terhadap diri
sendiri. Ajukan pertanyaan-pertanyaan tentang diri sendiri.

Sokrates dan seni bertanya


Sokrates adalah filsuf Yunani Kuno yang
mengembangkan metode berpikir degnan cara mengajukan
pertanyaan-pertanyaan. Dengan cara itu, ia menguji seberapa
masuk akal sebuah gagasan.
Sokrates mendapati bahwa banyak orang tidak bisa
mempertahankan pernyataan atau kebenaran yang mereka
yakini ketika mereka disodori pertanyaan-pertanyaan. Dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu, Sokrates menyadarkan
pentingnya mencari bukti, melakukan pengujian cermat
terhadap penalaran dan asumsi, mempelajari semua aspek yang
berkaitan dengan apa yang mereka yakini, dan menunjukkan
implikasi dari segala sesuatu yang dinyatakan atau dilakukan.
Implikasi adalah kemungkinan yang bakal terjadi sekiranya kita
mengambil keputusan atau melakukan tindakan tertentu.
Inilah yang sekarang kita namakan critical thingking.
Mungkin ada orang yang beranggapan bahwa critical
thinking adalah cara menemukan kelemahan pada tulisan yang

62
Kumpulan Esai

kita baca, atau pada pernyataan yang kita dengar, atau pada
kebijakan-kebijakan pemerintah.
Critical thinking tidak sama dengan berpikir negatif.
Pemikir kritis mencari jawaban atas masalah-masalah untuk
menemukan solusi terbaik.

Critical thinking di zaman digital dan internet


Era digital mendorong terjadinya perubahan cepat.
Setiap saat muncul hal baru. Setiap saat kita dibujuk
menggunakan teknologi baru. Situasi ini mengharuskan kita
menjadi pembelajar seumur hidup. Sebuah lembaga bernama
The Partnership for 21st Centuty Learning (P21) menyebutkan
empat kecakapan yang perlu kita miliki saat ini, yaitu
komunikasi, kolaborasi (kerjasama), kreativitas, dan critical
thinking. Tulisan tentang empat kecakapan itu bisa dibaca di
artikel ini: A new framework to help integrate 21st Century skills in
programs for children.
Ciri lain abad ke ke-21 adalah terjadinya banjir informasi.
Kita bisa mendapatkan informasi tentang apa saja dengan
mudah, sebagian kita perlukan, sebagian hanya sampah yang
mengapung di permukaan. Tetapi semuanya datang kepada
kita. Karena itu kita perlu memiliki metode atau cara untuk
memilih dan mengevaluasi informasi. Kita memerlukan
informasi yang relevan dan bisa dipercaya untuk membantu
63
A.S. Laksana

kita membuat keputusan. Untuk memilih informasi yang


relevan dan bisa dipercaya inilah kita memerlukan kecakapan
critical thinking.
Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat akan
membantu kita mendapat informasi yang kita perlukan.

Critical thinking membantu kita menulis lebih baik


Pada saat menulis, kita menggunakan hampir semua
proses berpikir. Kita mengingat sesuatu, kita mengamati secara
teliti, kita mengumpulkan informasi, kita membandingkan, kita
membuat persamaan, kita menganalisa, kita melakukan
penalaran, kita memberikan bukti-bukti, dan akhirnya kita
membuat kesimpulan.
Menguasai critical thinking akan membantu kita antara
lain:
 Membangun argumen yang jernih
 Mampu menalar dengan baik
 Menggunakan bukti-bukti untuk mendukung penalaran
 Mampu bersikap kritis terhadap tulisan kita sendiri
 Mengetahui mana yang sudah beres dan mana yang
belum
 Tahu di mana kekurangan tulisan kita dan tahu
bagaimana meningkatkannya.

64
Kumpulan Esai

Jadi, mari kita belajar bertanya. Bertanya adalah cara


alami kita untuk mengembangkan pengetahuan. Bertanya juga
cara kita menjadi lebih kritis terhadap situasi, juga untuk
memeriksa kebiasaan kita sehari-hari.

65
A.S. Laksana

Yang Fana Adalah Waktu, Kebodohan Abadi

Kebodohan abadi! Ia adalah warisan luhur umat


manusia—diturunkan pada mulanya oleh sepasang remaja
yang diciptakan dari gempulan lempung.
Cara terbaik bagi sebuah negeri untuk ancur-ancuran
adalah dengan menjadikan orang-orangnya berantam tiap hari
dan membiarkan mereka tetap bodoh. Di dalam masyarakat
yang seperti itu, seorang kepala pemerintahan bisa bercokol
seperti berhala yang tampan dan kharismatik, dan penyediaan
nasi bungkus adalah sesembahan yang ditaati segala
perintahnya.
Dan kita sudah melakukannya, dengan cara akurat,
untuk menjadi semakin berisik dari waktu ke waktu. Setiap
orang rajin mengurusi semua hal kecuali mengurusi diri
sendiri. Para pengidap paranoia melihat palu-arit di mana-
mana dan berpikir bahwa itu tanda-tanda kiamat.
Banyak dari mereka adalah sarjana teori konspirasi, yaitu
sebuah teori yang mampu menjelaskan bahwa Bruce Lee
sebetulnya tidak mati tetapi diculik UFO, bahwa kaum
66
Kumpulan Esai

komunis dan liberalis dan Yahudi sedang membangun


kerjasama untuk meruntuhkan kesultan Banten, dan bahwa
penemu benua Amerika adalah Tuhan yang Maha Esa.
Di bidang kepubakalaan, para sarjana teori konspirasi
bisa kita minta untuk membuat penjelasan bawah ras manusia
bukan bermula dari Afrika, melainkan dari bumi pertiwi.
Saya senang kepada para pakar teori konspirasi. Mereka
sama dengan mobil tua; semua onderdilnya mengeluarkan
bunyi kecuali klakson.
Tentu saja saya juga bagian dari keriuahan mereka. Saya
senang bercoleteh di media sosial dan kadang-kadang
membikin jengkel orang-orang fanatik garis keras. Anda tahu
orang-orang fanatik garis keras? Mereka adalah kaum yang
gemar mendoakan orang-orang lain agar ditimpa azab dari
Tuhan.
Ada beberapa dari mereka—yang saya kenal hanya di
media sosial—mendoakan semoga saya diazab oleh Tuhan.
Kepada salah seorang, saya pernah mengetik jawaban, “Saya
heram sekali kenapa anda sejahat itu. Padahal saya lebih senang
jika semua orang bisa menjalani kehidupan yang baik, dan
menjadi gemar membaca buku sehingga mampu
mengembangkan kecerdasan.”

67
A.S. Laksana

Tapi mereka memang begitu. Jika tidak senang pada


orang lain, mereka meminta tolong kepada Tuhan agar
menjatuhkan azab kepada orang itu. Kalaupun tidak
mendoakan, mereka biasanya mengungkapkan rasa ingin tahu
mereka: “Saya ingin tahu azab apa yang akan anda terima dari
Allah.”
Apa boleh buat, kita tidak bisa melarang orang-orang
lain mengembangkan hobi. Ada yang punya hobi memancing,
ada yang berkorespondensi, dan ada yang berdoa. Pak Abdul
Mantan Garuda Nusantara mengembangkan hobi bertanya
dan berdoa di media sosial—selain mengingatkan dan
memberi nasihat. Kita tidak bisa melarangnya.
Maka, biarkan saja jika ada orang-orang yang
mengembangkan hobi meminta azab. Mereka warga negara
biasa seperti kita, dengan rasa bahagia yang sepele bentuknya,
yaitu jika Tuhan sudi menghadiahi orang yang mereka benci
penyakit rematik, atau cacingan, atau trakhom. Atau minmal
Tuhan mau mengubahnya menjadi tiang garam.
Yang tidak boleh dibiarkan adalah ketika mereka sudah
mulai melakukan upaya keras untuk mengubah negeri
kepulauan ini menjadi gurun pasir dan ngotot mendirikan
kekhalifaan dan menolak hukum negara karena itu bukan
bikinan Tuhan.

68
Kumpulan Esai

Cukup itu saja yang perlu dilakukan oleh negara. Jika


pengelola administrasi negara ini mau berbuat lebih, misalnya
mengupayakan pelayanan kesehatan yang layak untuk semua
warga, kita bersyukur. Kepala negara membagi-bagikan kartu
pintar untuk warga negara kurang mampu, kita berterima
kasih.
Dengan kartu itu orang-orang miskin bisa bersekolah,
meskipun mungkin sulit menjadi pintar. Negara ini tidak
mampu menyelenggarakan pendidikan yang membuat para
siswanya senang membaca buku. Dan saya tidak yakin Pak
Presiden akan membuat kebijakan politik untuk menjadikan
warga negaranya gemar membaca.
Saya pikir orang sulit menjadi pintar jika tidak memiliki
kegemaran membaca buku. Memang orang tetap bisa terampil
tanpa membaca—misalnya memanjat pinang, menebang
pohon, atau bermain politik—tetapi untuk menjadi pintar
orang perlu membaca, sebab dari sana berlangsung
pemerolehan ilmu dan pengetahuan.
Masalahnya, apakah penting membuat warga negara
menjadi cerdas? Tidak, bodoh dan ancur-ancuran tidak apa-
apa, yang penting NKRI harga mati. Lagipula tidak ada
salahnya mempertahankan kebodohan. Itu mempertahankan
keabadian.

69
A.S. Laksana

Mengutip frase Sapardi Djoko Damono: “Tapi yang


fana adalah waktu, bukan?” tanyamu. Tentu saja, Bos!
Kebodohan abadi. Ia adalah warisan luhur umat manusia—
diturunkan oleh sepasang remaja yang diciptakan dari
gumpalan lempung.

70
Kumpulan Esai

Panduan Membuat Benda Seni dari Sampah Masyarkat

Pada akhir 1970-an, sebelum Pak Harto memerintahkan


tentara untuk melakukan operasi Penembakan Misterius
(Petrus), rumah masa kecil saya di Semarang sering menjadi
tempat berkumpul para gali. Ayah saya menyukai keramaian,
saya menikmati cerita-cerita mereka.
Hanya satu kali mereka membuat saya kurang senang,
ialah pada suatu malam ketika mereka mabuk-mabukan dan
memasak anjing piaran saya untuk merayakan satu orang yang
baru bebas dari penjara. Sedih sekali kehilangan anjing piaraan,
tetapi saya bisa memaafkan mereka.
Bagaimanapun, mereka orang-orang yang
menyenangkan dan selalu memiliki cerita-cerita
menyenangkan: tentang pertarungan gali antarkampung,
tentang para pentolan yang tak mempan dibacok, dan tentang
bagaimana mereka mendapatkan kesaktian.
Ada tetangga yang menyebut mereka sampah
masyarakat. Saya baru pertama kali mendengar istilah itu dan

71
A.S. Laksana

senang mengulang-ulangnya dalam hati: “Sampah Masyarakat


... sampah masyarakat....”
Rasa takjub pada cerita-cerita yang dituturkan oleh para
sampah masyarkat itu membuat saya diam-diam menetapkan
cita-cita luhur untuk menjadi orang sakti. Itu sebabnya buku-
buku pertama yang saya beli adalah buku-buku terbitan
Surabaya, di antaranya bagaimana menguasai jurus ampuh
Bruce Lee, bagaimana memindahkan benda-benda dengan
pandangan mata, dan mahir berbahasa Inggris sistem 24 jam.
Tanpa kesaktian, tidak mungkin kita menguasai bahasa
Inggris dengan sistem 24 jam. Teman-teman saya yang kurang
sakti telah membuktikan kegagalan mereka. Sampai sekarang
mereka tidak kunjung mahir berbahasa Inggris meskipun umur
sudah mendekati sistem 50 tahun.
Ada satu buku lainnya pada masa itu yang paling saya
andalkan, ialah teknik membakar kertas dengan ludah. Itu
buku sangat penting. Jika anda bisa membakar kertas dengan
meludahinya, anda bisa juga membakar kepala negara yang
sewenang-wenang dengan cara yang sama.
Tentu saja anda perlu berpura-pura ramah kepadanya.
Lalu anda sodorkan tangan untuk menyalaminya sambil
menanyakan, “Apa kabar, Pak? Kelihatannya anda baik-baik

72
Kumpulan Esai

saja.” Ia akan tersenyum dan anda meludahinya pada saat ia


tersenyum. Ia terbakar.
Itu cita-cita mulia ketika saya kelas tiga SD dan
bertetangga dengan lelaki tua pemuja Bung Karno.
Pada waktu saya kelas empat, guru prakarya menjelaskan
bahwa kita bisa membuat barang-barang kerajinan dari benalu,
koran bekas, dan sampah. Kemudian ia memberi tugas
membuat prakarya dengan salah satu dari tiga bahan yang ia
sebutkan itu.
Saya memilih membuat prakarya dari bahan sampah dan,
dengan ingatan terhadap istilah sampah masyarakat, saya
membeli buku Membuat Barang Kerajinan dari Sampah Organik.
Sebetulnya yang saya cari adalah bagaimana membuat
benda seni dari sampah masyarakat. Buku itu tidak ada.
Namun sampah organik terdengar sama memukaunya dengan
sampah masyarakat, maka saya beli buku itu.
Sekarang saya tahu bahwa saya membeli buku yang
keliru. Sampah masyarakat tergolong anorganik—mereka
adalah gerombolan dengan kedunguan yang tak bisa
mengalami pelapukan.
Baiklah, sebagai selingan, karena tulisan ini bakalan
panjang sekali, saya akan mengajukan kuis dulu. Pertanyannya:
Siapakah yang disebut sampah masyarakat?

73
A.S. Laksana

Bandot yang suka teriak-teriak dan berak di mana-mana


dan memberi tahu kita bahwa itu tugas mulia dunia akhirat.
Bandot yang suka teriak-teriak dan memiliki agenda
politik sendiri dan akan menghidupkan toa pada saat kita tidur
nyenyak lalu mengumumkan diri sendiri sebagai presiden
Republik Indonesia.
Bandot yang memproklamirkan diri: “Saya dizalimi.”
Seolah-olah kita berpikir bahwa ia hanyalah bayi yang sedang
masa pertumbuhan dan perlu menyedot banyak susu.
Bandot yang memproklamirkan diri: “Saya dizalimi,”
dan mengenakan kerudung pada saat diadili karena menyangka
ia diundang untuk memberikan ceramah agama.
Silakan anda menjawab yang mana saja, atau
menambahkan jawaban-jawaban anda sendiri. Saya pikir negeri
ini tidak akan kekurangan bandot untuk sekadar menambah
jawaban sampai Z.
Saya tidak memasukkan para gali yang sering berkumpul
di rumah saya ke dalam daftar jawaban. Dalam dunia masa
kecil saya, mereka adalah orang-orang yang menyenangkan.
Penembakan Misterius membuat saya kesepian; saya
kehilangan para pencerita yang hampir setiap malam
menuturkan banyak adegan yang sampai hari ini terus hidup di
benak saya. []

74
Kumpulan Esai

Dua Kejutan dalam Sepekan

Ada dua kejutan yang mendatangi saya sepekan


belakangan. Kejutan pertama, iklan kelas poligami nasional
yang diadakan berurutan di berbagai kota. Posternya saya
temukan di internet. Kelas ini menghadirkan para ustad pelaku
poligami sebagai pembicara, dengan salah satu materi pelajaran
adalah “Cara Cepat Dapat Istri Empat dalam Perspektif
Islami” yang akan dibawakan pembicara dengan keterangan:
praktisi 3 istri. Kejutan kedua, kelahiran bayi Bams, vokalis
grup musik Samson.
Di antara sederet ucapan selamat untuk kelahiran
bayinya, ada satu komentar berbeda yang diterima oleh Bams,
yang memajang foto si jabang bayi di media sosial: “Yah...
nambah lagi deh satu orang kafir.” Saya mendapatkan
informasi ini dari sebuah laporan jurnalistik Ahad lalu, dengan
judul yang menyiratkan pertanyaan: Kenapa orang bisa
menjadi sangat jahat di media sosial.
Media sosial membuat orang merasa bisa menyampaikan
apa saja, merasa leluasa karena tidak berhadapan langsung
75
A.S. Laksana

dengan lawan bicara, dan, karena sendirian, tidak ada perasaan


sungkan. Ia bisa mengetik sambil tiduran di kamar atau
mendengarkan musik atau minum kopi di teras. Di luar semua
itu, orang tidak dihadang oleh hambatan-hambatan psikologis
untuk menyampaikan komentar apa pun di media sosial
dibandingkan jika mereka harus menyampaikan pernyataan
secara lisan dan dalam situasi berhadap-hadapan dengan orang
lain.
Mungkin ia tidak merasa ada masalah untuk membuat
komentar seperti itu: ia bukan orang pertama. Sudah banyak
orang lain yang sebelumnya mengumbar ujaran atau
menggunakan kosakata “kafir” dan tidak ada resiko apa-apa.
Pada umumnya orang merasa lebih nyaman menjadi pengekor
ketimbang menjadi pemula.
Jawaban berbeda bisa kita dapatkan dari perpektif
psikologi evolusioner bahwa intorelansi bukanlah gejala baru
bagi manusia atau sekadar efek korosif dari penggunaan media
sosial. Menurut psikologi evolusioner, manusia pada dasarnya
memiliki naluri bawaan tidak toleran terhadap segala yang
asiang atau siapa pun di luar dirinya atau kelompoknya. Pihak
lain adalah ancaman. Yang tidak sejalan dengan kita adalah
lawan yang harus disingkirkan. Punahnya banyak spesies yang

76
Kumpulan Esai

pernah ada di muka bumi dan praktik-praktik genosida adalah


monumen bagi naluri intoleran manusia.
Itu kabar buruk. Kabar baiknya, manusia juga memiliki
simpati sebagai naluri bawaan. Manusia adalah satu-satunya
spesies yang memerlukan pertolongan pihak lain pada saat
melahirkan bayi. Hewan-hewan tidak memerlukannya. Fakta
lain yang berkaitan proses melahirkan, bayi manusia dilahirkan
sangat prematur dibandingkan bayi spesies-spesies lain (yang
kita sebut hewan). Bayi-bayi hewan dilahirkan dalam keadaan
fisik yang cukup matang sehingga hanya memerlukan waktu
pengasuhan yang singkat oleh induk mereka sebelum
dilepaskan hidup mandiri. Bayi manusia, karena dilahirkan
sangat prematur, keadaannya sangat lemah dan memerlukan
waktu pengasuhan yang panjang oleh orang tuanya. Namun,
kelahiran yang sangat prematur itu membawa berkah
tersendiri. Pengasuhan yang sangat panjang secara alami
mendorong terciptanya hubungan emosional yang kuat antara
anak dan orang tua. Sementara itu, kehadiran pihak lain yang
memberikan bantuan pada saat seorang perempuan
melahirkan bayi mendorong tumbuhnya simpati dan
kebutuhan untuk saling menolong. Simpati kepada orang lain
sebagai naluri bawaan itu terus berkembang berkat

77
A.S. Laksana

pengetahuan yang membaik dari waktu ke waktu, menjadi


simpati terhadap kemanusiaan.
Kita beruntung bahwa dengan kemampuan bernalar
yang membaik dan pengetahuan yang meningkat, manusia kian
mampu mempertimbangkan baik-buruk sebuah tindakan,
mengavaluasi terus-menerus pola hubungan demi mewujudkan
relasi ideal antarmanusia. Hubungan antarmanusia
menunjukkan gerak menuju satu kesatuan besar yang dilandasi
prinsip-prinsip kemanusiaan. Karena itu, kita menjadi akrab
dengan berbagai bentuk bantuan kemanusiaan lintas negara.
Bencana di satu tempat adalah dukacita bagi seluruh umat
manusia. Belum sepenuhnya sempurna, tetapi kita bergerak ke
sana.
Dalam prinsip kemanusiaan ini, intoleransi adalah bakat
alam yang tak mungkin lagi dikembangkan dan setiap gejala
intoleransi akan selalu tampak sebagai tindakan kolot oleh
orang yang kurang pengetahuan.
Peradaban bergerak maju dan ukuran bagi kemajuan
adalah ketika kemanusiaan menjadi pertimbangan utama.
Mula-mula adalah penggunaan nalar, kemudian ilmu
pengetahuan, kemudian kemanusiaan, dan kemudiaan
kemajuan. Ilmu pengetahuan tanpa mempertimbangkan
kemanusiaan adalah kemandekan. Beragama dengan

78
Kumpulan Esai

mengabaikan kemanusiaan, apalagi menistakannya, juga tidak


akan membawa kemajuan di dalam peradaban manusia.
Mengenai orang yang membuat komentar terhadap
Bams, kita bisa mengatakan orang itu tidak mampu memahami
bahwa kata-kata bisa menyakiti orang lain, dan rasa sakit oleh
kata-kata itu bisa bertahan sangat lama atau mungkin
selamanya. Dengan kata lain, ia tidak memiliki kepekaan
terhadap rasa sakit. Di masa-masa awal berkembangnya
kriminologi, tidak memiliki kepekaan terhadap rasa sakit
adalah salah satu ciri manusia penjahat.
Adapun tentang kelas poligami nasional, saya tidak
punya pendapat. Saya hanya berpikir: Apakah penting sekali
bagi masyarakat kita untuk menguasai kemahiran berpoligami
sehingga “kelas nasional” semacam itu perlu diadakan?
Kemajuan jenis apa yang ingin dikembangkan dan apa prestasi
tertinggi yang hendak dicapai dengan kemahiran berpoligami?
Saya sedang di Yogyakarta saat menyelesaikan tulisan ini
dan kepada teman-teman perempuan saya tanyakan pendapat
mereka tentang kelas tersebut. Mereka semua menjawab: Kelas
seperti itu membuat kita tampak kuno dan memalukan.

79
A.S. Laksana

Para Pencinta Buku

Kami baru bertemu lagi beberapa tahun kemudian


setelah pertemuan terakhir di klub kami yang bubar begitu
saja. Rizadini, teman saya dalam klub diskusi buku bertahun-
tahun lalu dan penerjemah buku Gabriel Garcia Marquez
Klandestin di Chile, memanggil saya melalui media sosial Twitter
dan mengajak bertemu. Dengan senang hati, saya menyambut
ajakannya dan kami bertemu suatu siang di sebuah tempat
makan. Hari itu dia menyampaikan gagasan:
“Mari kita cari orang kaya yang mau mendanai
perpustakaan untuk menyimpan buku-buku koleksi para tokoh
negeri ini. Di sana nanti orang bisa menemukan buku-buku
koleksi Pramoedya Ananta Toer, Rendra, Usmar Ismail,
Chairil Anwar, Mochtar Lubis, dan lain-lain.”
Dia menyukai buku dan sering mempunyai gagasan
menarik tentang buku karena dia sangat menyukainya. Saya
menanggapi, “Ayo!” Namun, hingga sekarang, saya masih
berpikir apakah akan ada orang kaya yang mau membiayai
perpustakaan semacam itu. Pada waktu dia menyampaikan
80
Kumpulan Esai

gagasannya, saya segera teringat kabar yang beberapa waktu


sebelumnya, sudah agak lama, saya terima dari kawan baik saya
yang lain, seorang penjual buku loak di sekitar Lebak Bulus
bahwa sekian kontainer buku dari perpustakaan pribadi Adam
Malik dijual kiloan.
“Sudah tidak ada yang merawatnya lagi, Bang,” katanya.
“Saya ingin beli semua, tapi tidak ada modal.”
Saya agak melodramatis soal perpustakaan. Desember
tahun lalu, ketika membaca berita bahwa Perpustakaan Karta
Pustaka Yogyakarta ditutup dengan alasan “visi-misinya
menciptakan kerja sama di bidang pendidikan dan kebudayaan
dengan Belanda telah tercapai”, saya merasa sedih dan marah
sekaligus dan ingin berteriak kuat-kuat: “Jangan tutup
perpustakaan itu!” Jumlah perpustakaan umum kita sedikit
sekali dan Karta Pustaka yang didirikan pada 1968 sekarang
sudah tidak ada lagi. Kalaupun benar visi-misinya sudah
tercapai, saya pikir ia tetap perlu ada dengan “visi-misi” yang
lain. Misalnya, menjadi tempat rekreasi orang-orang yang
senang berekreasi di antara buku-buku.
Kita sangat kekurangan perpustakaan sebagai tempat
rekreasi. Sebagai orang yang seumur hidup tinggal di negeri ini,
yang sejak lahir memang jarang bertemu dengan gedung
perpustakaan, saya tentu saja telah beradaptasi sepanjang

81
A.S. Laksana

hidup dan berdamai dengan keadaan. Ada perpustakaan saya


senang, tidak ada tidak apa-apa.
Namun, tidak demikian halnya dengan Yusuf Arifin.
Kami dahulu sekantor dan dia menyeberang ke Inggris setelah
pembredelan 1994, bekerja sebagai wartawan BBC, dan tinggal
di pinggiran London nyaris 20 tahun. Rumahnya dikepung
perpustakaan. Di desanya ada gedung perpustakaan, di desa
sebelah ada gedung perpustakaan, di dekat perempatan sana
ada gedung perpustakaan. Ringkasnya, di balik gerumbul
semak-semak atau di belakang lemari pakaian dia bisa
menjumpai perpustakaan. Tahun lalu dia balik ke Jakarta dan
menjadi pemimpin redaksi CNN Indonesia dan tidak ada
perpustakaan yang bisa dia kunjungi sewaktu-waktu. Di toko
buku dia kesulitan menemukan buku-buku yang dia minati.
Kepadanya saya bilang, “Selamat Menikmati!”
Sekarang saya tidak perlu iri mendengar ceritanya
tentang perpustakaan. Dia menikmati situasi yang sama
dengan saya. Sudah bertahun-tahun saya tidak memasuki
gedung perpustakaan dan tidak tahu di mana saja ada
perpustakaan umum di Jakarta. Saya hanya tahu satu-dua dan
sudah lama tidak pernah lagi mengunjungi tempat tersebut
karena jalanan macet dan waktu yang terasa sempit.

82
Kumpulan Esai

Selain itu, dengan jaringan internet yang sudah lebih baik


ketimbang sepuluh tahun lalu, saya merasa kebutuhan
terhadap buku tercukupi. Selalu ada orang yang memberontak
terhadap tatanan. Mereka tidak memedulikan undang-undang
hak cipta dan memanjakan kita dengan menyediakan ratusan
ribu, bahkan jutaan, buku yang bisa kita dapat secara gratis—
dalam format e-book. Kita bisa mengunduh buku semau kita
di situs-situs web mereka.
Pada awal-awal mengenal situs tersebut, setiap malam
hingga dinihari saya “berbelanja” ratusan buku dan dalam
waktu beberapa minggu saja saya sudah mengoleksi ribuan
buku. Hingga sekarang, saya masih sering “berbelanja” di
situs-situs itu meskipun sudah ada lebih dari 9.000 judul buku
di folder komputer saya dan baru sedikit yang saya baca.
Saya pernah iseng-iseng menghitung berapa buku yang
bisa saya baca sampai hidup saya berakhir nanti. Misalkan, saya
masih punya sisa umur 100 tahun lagi dan sebagai pemalas
saya hanya bisa membaca satu judul sepekan, maka dalam
seratus tahun itu, setelah dikurangi masa-masa tidak berdaya
karena flu berat atau tidak enak badan, saya hanya akan bisa
menyelesaikan paling banter 5.000 judul buku. Itu pun kalau
sisa umur saya 100 tahun dan saya membaca secara ajek.
Padahal, gairah membaca saya sama belaka kondisinya dengan

83
A.S. Laksana

iman seseorang—kadang naik, kadang turun. Tidak apa-apa,


yang penting mengunduh.
Dengan perpustakaan umum yang sedikit jumlahnya dan
tidak terlalu diperhatikan di negara ini, dengan akses terhadap
buku uang semula sangat terbatas, dan dengan maaf sebesar-
besarnya terhadap unsur pelanggaran di dalam kegiatan unduh-
mengunduh itu, saya bersyukur bahwa internet telah
memungkinkan saya mengoleksi karya para penulis yang saya
sukai, nyaris lengkap, dan buku-buku dengan berbagai topik
yang saya ingin baca.
Saya juga bersyukur internet memberikan banyak teman,
melalui media sosial. Dalam waktu cepat, saya bisa
mengumpulkan ribuan teman melalui Facebook. Itu hal yang
tidak mungkin saya lakukan dalam kenyataan sehari-hari.
Sekarang saya mempunyai orang-orang yang berstatus
“teman” di hampir semua provinsi negeri ini.
Beberapa orang mengeluhkan bahwa pergaulan di media
sosial telah menginterupsi dan juga menyabot pergaulan
sehari-hari dengan orang-orang terdekat, dengan teman-teman,
dengan kerabat, juga dengan penumpang yang duduk di
sebelah kita. Berada di mana pun dan kapan pun, orang sibuk
dengan smartphone di tangannya. Dunia menjadi sunyi senyap
karena orang membeku di depan layar, tetapi sekaligus riuh.

84
Kumpulan Esai

Anda tahu, pergaulan di media sosial sangat riuh. Setiap hari


ada pembicaraan menarik. Setiap hari ada topik yang bisa
digunjingkan. Setiap hari ada yang bisa dicaci maki.
Seorang suami menjadi jarang berbicara dengan istrinya.
Seorang ayah menjadi kekurangan waktu untuk anak-anaknya,
dan sebaliknya, anak-anak kekurangan waktu untuk orang tua
mereka karena sebab yang sama. Dan seorang penulis
kekurangan waktu untuk khusyuk untuk menulis karena
dorongan untuk ubyang-ubyung di internet melalui media sosial
begitu tinggi.
Dalam urusan itu, saya merasa baik-baik saja. Hanya ada
satu hal yang sangat terasa bagi saya: internet telah
menjauhkan saya dari seseorang yang sudah menjadi teman
baik sejak 1998, yakni penjual buku loak yang saya sebut di
awal tulisan ini, pemuda Batak yang ramah dan selalu
menawari kopi setiap saya mampir ke kiosnya. Bertahun-tahun
saya setia mengunjungi kios dan rumahnya dan dia selalu
menyimpankan untuk saya buku-buku yang dia pikir pasti saya
sukai—agar tidak dibeli orang lain.
Dari kiosnya saya pernah membawa pulang buku satu
rak, masih bagus-bagus, dengan harga yang sangat murah.
“Dapat dari pembantu di Pondok Indah, Bang,” katanya.
“Majikannya pulang ke negaranya, tidak balik lagi. Ia

85
A.S. Laksana

meninggalkan koleksi bukunya kepada si pembantu. Pembantu


itu menjualnya ke saya.”
Dia tahu bagaimana mencari buku untuk mengisi
kiosnya dan dia sering pula mendapat buku-buku lelang dari
Jakarta International School jika sekolah tersebut hendak
memperbarui koleksi buku di perpustakannya dan harus
menyingkirkan buku-buku yang sudah lama. Beberapa buku di
rak saya adalah lungsuran dari perpustakaan sekolah tersebut.
Saya masih lewat di depan kiosnya setiap hari, tetapi
nyaris tidak pernah mampir lagi. Beberapa hari terakhir saya
lihat kiosnya selalu tutup. Menurut kabar, lahan tempat dia
menyewa kios harus dikosongkan karena di sana hendak
dibangun apartemen. Dia berpindah ke tempat lain, masih di
daerah sekitar tempat tinggal saya. Tetapi, saya belum pernah
ke tempat barunya.
Internet benar-benar telah mencukupi kebutuhan saya
akan buku bacaan yang saya inginkan—yang semula hanya
tersedia dalam harga murah di kios buku loak itu. Saya masih
tetap ke toko buku secara berkala, untuk mendapatkan buku-
buku yang ada di toko buku dan sebagai tempat rekreasi bagi
anak-anak.
Bagaimanapun, saya pikir anak-anak perlu menikmati
pemandangan buku-buku terpajang di rak dan mereka bisa

86
Kumpulan Esai

memilih buku yang mereka sukai. Dan jika ada perpustakaan


yang di dekat rumah, atau perpustakaan tempat menyimpan
koleksi buku-buku para tokoh negeri ini, sebagaimana yang
diangankan oleh Rizadini, saya akan senang sekali mengajak
anak-anak berekreasi ke sana. Sampai sekarang saya masih
memikirkan siapa kira-kira orang kaya yang bersedia
mewujudkan gagasan tersebut. []

87
A.S. Laksana

Borges dan Pikiran yang Mudah Dipengaruhi

Malam belum terlalu larut ketika dia datang dan suara


anak-anak di jalanan masih cukup riuh terdengar. Udara gerah
di bulan yang mestinya sudah musim penghujan. Guru sekolah
pada masa kecil dulu mengatakan bahwa kita hidup di negara
dengan dua musim, yakni musim kemarau dan musim
penghujan. Musim penghujan terjadi pada bulan-bulan
Oktober-Maret dan musim kemarau berlangsung pada April-
September. Namun, malam itu, awal November, kami seperti
bercakap-cakap di mulut tungku dan hujan pertama belum
turun pada bulan kedua musim penghujan.
Tamu saya seorang hipnotis. Kami sudah membuat janji
untuk bertemu beberapa hari sebelumnya. Dia mengatakan
ingin berdiskusi dengan saya.
“Hipnotis bisa bekerja karena pada dasarnya pikiran
manusia mudah dipengaruhi,” katanya ketika pembicaraan
kami mulai memasuki topik serius, seolah-olah dia
menemukan rahasia besar yang belum pernah diungkapkan

88
Kumpulan Esai

orang lain. Saya mendengarkannya sungguh-sungguh. Dia


melanjutkan:
“Jika kita menyampaikan kepada seseorang, „Kau
kelihatan cerah sekali, sedang bahagia tampaknya‟, maka dia
pasti akan membenarkan pernyataan kita dan mungkin
menyampaikan pengalaman yang menyenangkan pada malam
sebelumnya. Jika kita mengatakan, „Kusut sekali mukamu,
sedang ada masalah?” maka dia juga akan membenarkan apa
yang kita katakan sembari menyampaikan alasan kenapa dia
menjadi begitu.”
Saya diam, mengingat-ingat sesuatu, menguji
pernyataannya dengan pengalaman-pengalaman saya sendiri.
Tampaknya memang seperti itu.
Seseorang pernah menyapa saya suatu hari dan
menanyakan kenapa saya tampak awut-awutan. Saya pun
menjelaskan bahwa semalaman saya tidak tidur. Seseorang
yang lain, di waktu lain, mengatakan bahwa paras saya tampak
lebih berseri-seri. Saya pun seketika itu merasa senang dan
meyakini bahwa paras saya memang berseri-seri.
Selanjutnya, ingatan meluncur ke hal-hal lain. Saya kira,
pernyataannya tentang pikiran yang pada dasarnya mudah
dipengaruhi itu mungkin bisa menjelaskan kenapa dulu saya
ingin menulis seperti S.H. Mintardja setelah membaca buku

89
A.S. Laksana

cerita silat Nagasara dan Sabukinten. Atau, mencoba-coba


menulis cerita detektif dengan tokoh utama secerdas Sherlock
Holmes ketika saya menyukai karakter fiksional karangan Sir
Artur Conan Doyle itu. Atau, ingin menjadi seperti Abraham
Lincoln yang keras hati ketika saya membaca biografinya,
termasuk kenapa saya ingin menjadi seperti Rudy Hartono
ketika saya selesai membaca biografi legenda bulu tangkis kita
itu.
Pada masa remaja, ketika saya hampir tiap malam
(kecuali hari hujan) bermain bulu tangkis di lapangan
kampung, saya selalu bermain sambil membayangkan diri
sebagai Rudy Hartono dan di dalam kepala saya berdengung
suara reporter televisi Sambas, orang yang sangat rajin
mengajak kita berdoa setiap kali pemain-pemain bulu tangkis
kita bertanding—terutama jika pemain-pemain kita sedang
tertinggal oleh lawan. Gambaran yang muncul di dalam benak
itu sesungguhnya tidak berkaitan sama sekali dengan
keterampilan saya yang nyaris nihil dalam bermain bulu
tangkis. Saya hanya terpengaruh riwayat hidup seseorang yang
telah menempuh jalannya sendiri untuk menjadi juara. Saya
mengaguminya, terpesona pada pengalaman-pengalamannya,
dan kemudian mengidentifikasi diri dengannya, setidaknya
setiap kali saya beraksi di lapangan bulu tangkis di kampung

90
Kumpulan Esai

saya, menghadapi tetangga-tetangga sendiri yang permainan


bulu tangkisnya tidak lebih baik.
Buku riwayat hidup paling akhir yang saya baca adalah
biografi Jorge Luis Borges, raksasa kesusastraan Argentina.
Dari buku itu, saya memperoleh informasi bahwa dia lebih
banyak menggunakan waktunya untuk bergaul dengan buku-
buku. Borges nyaris tidak pernah keluar rumah ketika kecil dan
hanya mendekam bersama adik perempuannya di
perpustakaan milik ayahnya. Sampai dia berumur 9 tahun,
ayahnya tidak memasukkannya ke sekolah karena alasan,
“Nanti kau bisa tertular berbagai penyakit yang diidap anak-
anak yang suka berkeliaran di jalanan.”
Itu alasan yang dibikin-bikin, untuk memudahkan
komunikasi dengan kanak-kanak. Alasan sesungguhnya sang
ayah, si Borges tua adalah karena dia terpukau pada pemikiran-
pemikiran anarkistis yang tidak mempercayai apa saja yang
diselenggarakan negara, termasuk urusan pendidikan umum.
Dan, Pak Borges tua mengambil alih semua urusan pendidikan
anak-anaknya—dia sendiri yang mendidik anak-anaknya di
rumah. Mereka adalah keluarga yang akrab dengan buku-buku
dan perpustakaan. Borges kecil membaca Don Quixote mula-
mula melalui terjemahan bahasa Inggris. Ketika membaca versi
aslinya dalam bahaya Spanyol, dia menganggap versi Spanyol

91
A.S. Laksana

adalah terjemahan yang buruk dari buku berbahasa Inggris


yang pernah dibacanya.
Sebetulnya, membaca kembali biografi Borges adalah
kelanjutan saja kegiatan saya membaca ulang cerpen-cerpennya
beberapa waktu lalu. Saya sedang menulis cerpen saat itu dan
kemudian diserang perasaan jemu terhadap cerpen saya sendiri
dan kemudian saya merasa perlu membaca karangan orang
lain. Saya pilih kumpulan cerpen Jorge Luis Borges karena
kebetulan buku itulah yang tampak di depan mata begitu saya
bergeser ke rak buku. Pada malam ketika saya membacanya,
saya merasa putus asa karena dia menulis terlalu bagus dan
cerpen-cerpan yang saya baca itu membuat cerpen yang saya
tulis terasa sangat memalukan.
Sampai sekarang, saya masih merasa sengsara.
Bagaimana dia bisa menulis cerita-cerita sepeti itu?
Pertanyaan itulah yang mendorong saya membaca lagi
biografinya, yang pernah saya baca bertahun-tahun lalu.
Borges, Anda tahu, adalah satu di antara beberapa sastrawan
besar yang tidak memperoleh hadiah Nobel Sastra. Mengenai
hal itu, dia mengatakan, “Tidak memberi Hadiah Nobel Sastra
kepada saya adalah tradisi orang Skandinavia. Sejak saya lahir
mereka tidak pernah memberi saya hadiah Nobel.”

92
Kumpulan Esai

Itu kutipan yang lucu dan cerdas dan saya senang


membaca kutipan itu. Borges selalu memiliki cara berpikir
yang melenceng menurut saya. Dia tidak tahan menulis novel.
Jika mempunyai ide yang lebih cocok untuk novel, dia memilih
menulis karangan berbentuk resensi, seolah-olah dia sedang
mengulas buku yang sudah terbit. Itu dia lakukan, antara lain,
dalam cerpennya Pierre Menard, Pengarang Don Quixote.
Karangan tersebut merupakan ulasan “palsu” tentang
pengarang Prancis, yang tak pernah ada, yang berusaha
menulis ulang novel Don Quixote karangan Cervantes persis
seperti aslinya.
Dari membaca biografi tersebut, saya tahu (sesuatu yang
tidak saya sadari pada pembacaan pertama) bahwa inspirasi
untuk menulis Pierre Menard didapatkan dari Thomas Carlyle,
penulis Skotlandia abad ke-19, yang menulis Sartor Resartus
(1836), sebuah novel tentang pemikiran dari kisah hidup tokoh
fiksional Herr Teufelsdrockh. Menurut pengamat, Thomas
Carlyle mendapat inspirasi dari tiga penulis sebelumnya, yakni
Jonathan Swift (The Tale of A Tub), Goethe (The Sorrows of Young
Werther), dan Laurence Sterne (Tristram Shandy).
Jonathan Swift, Goethe, dan Sterne mendapat ilham
untuk karya-karya mereka dari orang-orang sebelum mereka,
dan seterusnya, dan seterusnya.

93
A.S. Laksana

Kepada tamu saya, yang sangat bergairah membicarakan


hipnosis dan pikiran yang mudah dipengaruhi, saya menimpali
penyataannya dengan sebuah truisme: Karena pikiran mudah
dipengaruhi, sebetulnya riwayat kreativitas umat manusia
adalah riwayat tentang orang-orang yang terilhami orang-orang
dari generasi sebelumnya.
“Seperti itulah,” katanya.
Dia pulang agak larut dengan kulit tangan penuh bintik-
bintik merah. Nyamuk di teras rumah saya sungguh ganas.
Namun, tampaknya, dia sendiri mengalami trance ketika
dengan penuh semangat membicarakan hipnosis dan lup pada
nyamuk-nyamuk yang menyerbunya selama kami bercakap-
cakap. Saya selamat karena sudah melapisi kulit dengan lotion
anti nyamuk. []

94
Kumpulan Esai

Membaca “Love Letters from a Father”

Ia mengirimi saya pesan singkat, mengabarkan bahwa


salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden membeli
seribu eksamplar; lima ratus untuk dikirimkan ke kampung
masa kecil Pak Wantimpres, lima ratus ke kampung halaman
istrinya. Beberapa orang lain juga memesan dalam jumlah
besar: 50 eksemplar, 100 eksemplar, 200 eksemplar.
“Berarti dunia bergerak menuju kebaikan, Kisanak,”
jawab saya, ”sebab ada banyak orang tua yang peduli terhadap
bacaan bagus untuk ana-anak mereka dan untuk anak-anak
tetangga.”
Hamid Basyaib mengungkapkan rasa cinta kepada putri
tunggalnya, yang September lalu berusia sepuluh tahun,
dengan menulis buku Love Letter from a Father: 24 Cerita untuk
Alma Sophia sebagai hadiah ulang tahun. Penerbit WahyuMedia
yang menerbitkannya. Sambutan baik terhadap buku itulah
yang ia kabarkan dan saya senang mendapatkan kabar baik
tentang orang-orang yang antusias membeli buku.

95
A.S. Laksana

Kami sering membicarakan buku untuk anak-anak


dengan mutu penulisan yang bagus—dengan kata lain, kami
merindukan buku anak-anak yang ditulis oleh orang-orang
yang mengerti cara menulis bagus—dan ia sudah memulainya.
“Ini cara orang-orang hebat, Ki” katanya. “Pak Nehru menulis
surat untuk putrinya, Indira; Pak Obama menulis surat juga
untuk Malia dan Sasha.”
Saya teringat buku Surat-Surat kepada Karen, ditulis oleh
pendeta Charlie W. Shedd kepada putrinya yang sebentar lagi
menikah. Surat-surat yang bersuara lembut, dari seorang ayah
yang bijak dan berpengetahuan luas. Umur saya dua puluh
tahun ketika membaca buku kumpulan surat itu, di akhir 1980-
an, dan membayangkan kelak, jika waktunya tiba, saya juga
akan menjadi seorang ayah dan akan menulis surat-surat
sebagus itu untuk anak saya.
Hamid mengatakan: Sama!
Kami membicarakan orang tua kami dan orang-orang
tua pada umumnya dan ia menceritakan lelaki tua di dekat
rumahnya yang menggerundel sambil menyapu halaman:
“Anak kayak setan. Dibilang setan, wujudnya manusia.
Dibilang manusia, kelakukannya kayak setan.”

96
Kumpulan Esai

Semoga Pak Tua itu tidak dicemplungkan ke dalam


neraka kelak karena melalaikan kewajibannya melahirkan ank-
anak yang cerdas.
Hamid membaca Surat-Surat kepada Karen dalam waktu
hampir bersamaan dengan saya membacanya ketika kami
masih tinggal di Yogyakarta. Sekarang ia sudah menulis surat-
surat untuk putrinya dan ia sudah menerbitkannya. Seperti
Nehru kepada Indira, ia membicarakan dalam surat-suratnya
kepada Aima tema-tema yang luas, di antaranya tentang buku,
musik, seni, kebajikan ilmiah, kejujuran para saintis, dan
integritas.
Saya menulis surat juga untuk anak-anak, tetapi tidak
rutin dan tidak terpikir menerbitkannya. Jika sedang ingin
menulis surat, saya menulis untuk mereka. Saya pikir itu satu
bentuk komunikasi yang menyenangkan antara orang tua dan
anak-anak.
Setidaknya, lebih mudah bagi saya menyampaikan hal-
hal serius kepada anak-anak dalam kalimat-kalimat tertulis
ketimbang berbicara lisan. Kalimat-kalimat tertulis membuat
pemikiran lebih rapi dan, dengan cara bersurat, saya memiliki
jarak tertentu untuk menyampaikan apa-apa yang saya ingin
sampaikan kepada mereka: tentang ketekunan, tentang
perangai ilmiah, tentang bagaimana merawat kehidupan

97
A.S. Laksana

bersama, tentang perlunya mempertahankan pemikiran besar,


dan lain-lain.
Itu perlu saya lakukan karena kami, saya dan istri saya,
memutuskan tidak memasukkan anak-anak ke sekolah. Mereka
belajar sendiri di rumah dan kelihatannya mereka senang. Saya
senang melihat mereka senang.
Pesan dari Hamid masuk lagi ke ponsel saya pada pagi
berikutnya. Ia menulis bahwa Pak Wantimpres ingin anak-anak
sekolah di sekolah kampung halamannya dan di kampung
halaman istrinya mendengarkan guru setiap hari membacakan
satu cerita, atau setiap hari ada satu siswa yang mendapatkan
giliran maju di depan kelas untuk membacakan cerita dari
buku Love Letter from a Father kepada teman-temannya.
“Persis dengan gagasan yang baru kita bicarakan
semalam, Ki” kata Hamid ketika saya meneleponnya.
Saya di Tulang Bawang Barat (Tubaba), Lampung, ketika
ia mengabarkan pembelian seribu buku oleh Pak Wantimpres.
Dua hari sebelumnya, saya mendapatkan kesempatan
bercakap-cakap seharian dengan Bupati Tubaba Umar Ahmad
dan kami membicarakan cerita dan buku-buku.
Ia sudah lama menaruh perhatian pada cerita sebagai alat
pembelajaran bagi anak-anak sekolah. Saya pikir itu gagasan
menarik. Cerita yang baik membuat pikiran kita nyaman

98
Kumpulan Esai

menerimanya: ia seperti perahu Nuh yang sanggup


mengangkut semua isi kehidupan—sains, matematika, bahasa,
dan sebagainya, selain nilai-nilai—dan menanamkannya ke
benak para pembelajar. Sebagai alat pembelajaran, cerita yang
baik meluaskan imajinasi dan tidak akan terasa menggurui.
Yang juga penting, cerita memberi penikmatnya
pengalaman baru dalam cara yang tidak mengancam. Orang
akan tersentuh oleh kebajikan, orang akan bersimpati kepada
tokoh utama, dan orang bisa mendapatkan ilham dari
tindakan-tindakan yang berlangsung di dalam cerita. George
R.R Martin, penulis A Song of Ice and Fire, novel serial yang
dijadikan film seri televisi Game of Thrones, mengatakan,
“Pembaca yang baik mengalami seribu kehidupan, orang yang
tidak membaca hanya menjalani satu kehidupan.”
Pada sejumlah orang, satu kehidupan itu pun bisa jadi
cuma kehidupan yang membosankan.
Terhadap gagasan tentang pembacaan cerita setiap hari
kepada murid-murid sekolah dasar, saya hanya menambahkan
usul bahwa murid-murid yang sudah bisa membaca mungkin
perlu dimintai bergantian membacakan cerita di depan kelas.
Dengan cara itu para siswa sekaligus mendapatkan pengalaman
berbicara di depan khalayak.

99
A.S. Laksana

Usukan tersebut saya sampaikan berdasarkan


pengalaman dengan anak-anak sendiri di rumah. Setiap malam
menjelang tidur, Raya, Karebet, dan Nara bergiliran membaca
masing-masing satu cerita. Pada mulanya mereka membaca
dengan suara ragu-ragu, mereka seperti malu mendengar suara
mereka sendiri. Sekarang semua sudah bersuara lebih baik dan
sebentar lagi mungkin suara mereka akan selantang toa
sehingga seisi kampung bisa mendengarkan pembacaan cerita
menjelang tidur.
Pak Bupati mendengarkan sungguh-sungguh. Saya tahu
ia tidak hanya memikirkan cerita. Ia memikirkan banyak hal
yang harus ada di daerahnya—termasuk membangun kembali
hutan larangan (orang Tubaba menyebutnya Las Sengoq) yang
pernah mereka miliki. Katanya: Kami masih punya tanah luas
dan kami ingin menyumbangkan sebagian tanah kami sebagai
paru-paru bumi.
Dengan saya, ia membicarakan cerita. Sejak saya
mengenalnya kali pertama, tiga tahun lalu, setiap kali kami
berjumpa atau berbalas pesan, ia selalu menunjukkan hasrat
besar untuk membangun persekolahan di daerahnya dan ia
ingin memasukkan cerita sebagai alat pembelajaran.
Pendidikan di tempat kami harus sebagus mungkin,
katanya, sebab hanya dengan pendidikan yang bagus Tubaba

100
Kumpulan Esai

bisa mengangkat diri setinggi yang bisa diwujudkan. Hanya


dengan membangun fasilitas-fasilitas umum sebaik-baiknya, ia
bisa mempertahankan bakat-bakat terbaik untuk tetap tinggal
di Tubaba dan bekerja untuk tanah mereka. Tanpa itu, Tubaba
akan selalu kehilangan orang-orang terbaik; anak-anak yang
pintar akan terbang ke tempat-tempat yang lebih gemerlap dan
menawarkan lebih banyak peluang.
Tahun lalu, menjelang saya berangkat residensi ke
Finlandia, ia mengirimi pesan: Tolong dilihat-lihat bagaimana
sekolahan di sana, Mas. Negara itu memiliki sistem pendidikan
terbaik, siapa tahu ada yang bisa kita tiru dari mereka.
Saya menjawab dengan cara tahun 1970-an: Oke, Bos!
Gagasan Bupati Tubaba untuk membangun karakter
para siswa sekolah melalui pembacaan cerita, dengan para
siswa bergiliran membacakan cerita di depan kelas, saya
sampaikan kepada Hamid. Sehari berikutnya ia mendengarkan
gagasan serupa dari Pak Wantimpres yang memborong
bukunya.
C’est la vie. Hidup berjalan dengan kehendaknya sendiri
dan gagasan-gagasan baik bisa saling bertemu tanpa
direncanakan.
Pada suatu kesempatan, Umar juga membayangkan
anak-anak di sekolah dasar belajar mengarang dengan cara

101
A.S. Laksana

menulis surat kepada orang tua masing-masing sehingga orang


tua bisa tahu apa yang ada di benak anak-anak mereka.
Berarti para orang tua juga perlu belajar membalas surat
anak-anak, sebab akan timpang komunikasi mereka jika para
orang tua tidak pernah membalas surat dari anak-anak.
Dan menulis surat kepada anak-anak sendiri bukanlah
perkara mudah. Jauh lebih mudah membentak-bentak mereka.
Saya pikir tidak hanya anak-anak yang perlu membaca Love
Letter from a Father, orang-orang tua juga perlu membacanya—
untuk mendapatkan ilham tentang bagaimana seorang ayah
mengungkapkan rasa cinta kepada anaknya melalui surat-surat.
[]

102
Kumpulan Esai

Surat Cinta buat Pembaca Belia

Tiba-tiba kami tertarik kepada buku anak-anak dan


membicarakan buku-buku yang “seharusnya ada” di pasaran
dan dibaca oleh anak-anak Indonesia. Ia sendiri sedang
menulis buku yang ia maksudkan sebagai hadiah ulang tahun,
berisi kumpula surat dari seorang ayah kepada putrinya, seperti
yang pernah dilakukan Jawaharlal Nehru kepada Indira
Gandhi, seperti Barack Obama kepada putri-putrinya, seperti
Maya Angelou kepada putri yang tidak pernah dimilikinya.
Ketiganya adalah tokoh menarik. Nehru adalah bapak
bangsa India yang mengobarkan semangat untuk
meninggalkan takhayul dan menempuh jalan ilmu
pengetahuan. Dalam salah satu suratnya untuk Indira, yang ia
tulis ketika putrinya berulang tahun, Nehru menyampaikan:
“Indira sayang, pada hari ulang tahunmu, kau biasa menerima
hadiah dan ucapan selamat. Ucapan selamat akan kau terima
sepenuh-penuhnya, tetapi apa hadiah yang bisa kukirimkan
dari penjara Naini? Hadiah ulang tahun dariku tidak akan

103
A.S. Laksana

berwujud benda, tetapi semangat dan pemikiran. Itu hadiah


yang tidak mungkin dihalangi oleh tembok penjara.”
“Kau tahu, aku tidak suka berkhotbah atau berpetuah.
Aku selalu berpikir bahwa cara terbaik untuk menemukan apa
yang benar dan tidak benar, apa yang harus dilakukan dan
tidak dilakukan, bukanlah dengan petuah melainkan dengan
percakapan dan diskusi, dan melalui diskusi sering kali kita bisa
mendapatkan secercah kebenaran.”
Nehru menggunakan surat-surat untuk berdiskusi
dengan putrinya. Sebab, mereka tidak bisa bertemu: Nehru
dihukum penjara oleh pemerintah kolonial Inggris karena
aktivitas politiknya. Dalam surat pertamanya, ia menyampaikan
kepada Indira bagaimana kehidupan bermula di jagat raya.
Setelah surat pertama itu, ia membicarakan berbagai topik
melalui surat-surat berikutnya. Di antaranya, bahasa,
perdagangan, sejarah, geografi, sains, cerita kepahlawanan, dan
evolusi. Semua ditulis dalam kalimat yang hangat, dala rasa
cinta seorang ayah kepada putrinya.
Barack Obama menggunakan bentuk surat kepada putri-
putrinya untuk menyamapaikan gagasan kepada pembaca
kanak-kanak—melalui buku bergambar dengan ilustrasi yang
betul-betul memperkuat pesan yang disampaikan. Ia
mengambil bentuk percakapan akrab, melalui pertanyaan-

104
Kumpulan Esai

pertanyaan seorang ayah: “Sudahkah kusampaikan betapa


menakjubkan kalian? Bahwa suara langkah kaki kalian saat
berlari di kejauhan terdengar seperti irama tarian? Bahwa tawa
kalian dan cahaya matahari sama-sama menerangi ruangan
ini?”
“Sudahkah kusampaikan bahwa kalian pintar? Bahwa
kalian merajut pemikiran besar dengan imajinasi? Seorang pria
bernama Albert Einstein mengubah gambar-gambar di dalam
benaknya menjadi kemajuan besar dalam sains, serta
mengubah dunia dengan energi dan cahaya.”
Maya Angelou tidak pernah melahirkan anak
perempuan. Tetapi, ia memiliki banyak sekali anak perempuan
di sekelilingnya, yang menganggapnya ibu atau bibi. Angelou
adalah perempuan penulis dan penyair yang dianggap terdepan
dalam mewakili suara perempuan dan orang-orang kulit hitam.
Kepada anak-anak perempuan, baik putih maupun hitam, ia
berbicara melalui bukunya, Letters to My Daughter.
“Putriku sayang, aku sudah hidup lama...dan mencoba
banyak hal, kadang dengan tubuh gemetar, tetapi selalu dengan
keberanian. Aku hanya akan memasukkan di sini kejadian-
kejadian yang menurutku bermanfaat. Aku tak akan
mengajarimu bagaimana caraku menyelesaikan masalah. Sebab,

105
A.S. Laksana

kau cerdas dan kreatif serta banyak akal. Dan, kau tahu
bagaimana menggunakan kecerdasanmu.”
Teman saya cukup cepat menyelesaikan surat-surat
untuk putrinya. “Enak sekali menulis dalam bentuk surat,”
katanya. “Bisa lancar karena ada sosok di seberang sana yang
kita ajak bercakap-cakap.”
Saya pikir begitu. Saya pernah membaca nasihat tentang
penulisan: Menulislah seperti sedang bercakap-cakap dengan
seseorang yang kita kenal akrab.
Dalam proses ia menyelesaikan buku untuk putrinya
itulah, kami banyak membahas buku anak-anak. Lalu, kepala
kami dihantui kosakata “seharusnya”: Seharusnya anak-anak
Indonesia mendapatkan buku-buku bagus sejak mereka bisa
membaca; seharusnya buku anak-anak kita ditulis oleh orang-
orang yang tahu bagaimana cara mempresentasikan gagasan
secara ketat kepada pembaca belia, dengan ilustrasi yang
menarik, sehingga anak-anak suka membaca; seharusnya ....
Saya sering merasa iri kepada anak-anak di luar negeri.
Di sana ada banyak buku bagus untuk anak-anak—dengan
tema dan subjek yang sangat luas. Bahkan, kita bisa
menemukan buku berjudul Evolution for Babies. Tentu buku
tersebut tidak bermaksud mengajak bayi-bayi membahas teori
Darwin. Ia memperkenalkan secara sangat sederhana prinsip-

106
Kumpulan Esai

prinsip biologi evolusioner. Para bayi (dan juga orang-orang


dewasa) diajak memahami bagaimana organisme bermutasi,
berevolusi, dan bertahan hidup.
Buku-buku dongeng hari ini juga sangat menarik. Ada
dongeng sebelum tidur tentang jagat raya, yang
memperkenalkan kepada pembaca belia bagaimana bumi dan
jagat raya terbentuk. Ada juga dongeng sebelum tidur tentang
para perempuan pemberontak, isinya tentang tokoh-tokoh
perempuan hebat dari semua benua. Ada dongeng sebelum
tidur tentang sains, tentang politik, tentang bumi dan langit,
serta matematika.
Mereka memperkenalkan sains kepada anak-anak dalam
cara yang memikat. Mereka mengarang cerita-cerita detektif
untuk membuat anak-anak senang kepada matematika. Mereka
mengajarkan politik, memberi tahu tentang demokrasi, tentang
kediktatoran, tentang hak dan kewajiban warga negara dan
sebagainya melalui cerita-cerita yang menarik.
Pendeknya, mereka membuat cerita-cerita untuk
memandu anak-anak bagaimana memahami kehidupan dan
bagaimana menjalaninya dalam cara yang lebih bijak. Saya pikir
anak-anak kita juga berhak mendapatkan buku-buku semacam
itu, yang ditulis oleh orang yang mengerti, dalam tuturan yang

107
A.S. Laksana

memancarkan rasa kasih kepada makhluk-makhluk belia yang


kelak menggantikan posisi orang-orang tua hari ini. []

108
Kumpulan Esai

Risalah tentang Iblis dan Orang Suci yang Terjerumus

Salah satu buku yang saya sesali kepunahannya dari rak


buku adalah Iblis dan Para Korbannya: Sejarah tentang Orang-Orang
yang Terjerumus oleh Bisikan Iblis. Buku itu amblas, bersama
buku-buku lain dan dokumen-dokumen, pada saat rumah saya
di Semarang terendam banjir pada 1990.
Itu buku tua, seingat saya keluaran penerbit Surabaya.
Hartanto Ramelan menemukannya di tukang buku belas di
Pasar Ya‟Ik dan memberikannya kepada saya karena ia pikir
saya menyukai buku-buku semacam itu.
Saya kelas dua SMA. Hartanto dua tahun di atas saya. Ia
mahasiswa sekolah pelayaran asal Cirebon dan kami saling
kenal karena ia indekos di rumah teman saya di kampung
sebelah.
Buku itu ditulis oleh Malachi Melech, seorang spritualis
yang lahir pada pertengahan abad kedelapan belas dan
meninggal pada usia 118 di pertengahan abad kesembilan
belas. Menurut Hartanto, dengan buku itu Melech ingin
menunjukkan bahwa hal krusial yang membuat orang-orang
109
A.S. Laksana

beriman sering tersesat adalah mereka berpikir sedang


mengikuti perintah Tuhan, padahal sesungguhnya mereka
mengikuti bisikan iblis.
Saya mengingat-ingat kata krusial yang ia gunakan. Itu
pertama kali saya mendengar kata tersebut diucapkan orang.
Mula-mula saya berpikir Hartanto beragama Kristen:
bau tubuhnya mengingatkan saya pada tetangga masa kecil,
dua anak lelaki kakak beradik yang pergi ke gereja tiap Minggu
dan suka meminjamkan buku-buku. Saya menyukai buku-buku
mereka dan merasa bahwa bau buku-buku itu sama dengan
bau tubuh mereka. Tetapi Hartanto Ramelan tidak pernah ke
gereja.
Kami kemudian menjadi teman dekat. Ia sering
menceritakan kejadian-kejadian mistis di tempat-tempat
peziarahan di kampung halamannya dan, karena kami sudah
menjadi teman dekat, saya senang mendengar ia
memibicarakan apa saja. Itu hal biasa. Jika kita menyukai
seseorang, apa saja yang ia ceritakan akan selalu terdengar
menarik.
Dan saya mengangguk saat ia mengajak pergi berziarah
ke tempat-tempat yang ia ceritakan. Tetapi ia meninggal pada
musim nyamuk demam berdarah, sebulan sebulan hari
keberangkatan, dan saya baru tahu bahwa ia Tionghoa ketika

110
Kumpulan Esai

ayah dan ibu dan kedua adiknya datang dari Cirebon mengurus
jenazahnya.
Warna kulit Hartanto Ramelan segelap warna kulit saya.
Saat kami semakin dekat, saya pikir Hartanto penganut
Kejawen sebab, selain tidak ke gereja pada hari Minggu, ia
tidak ke masjid pada hari Jumat.
Buku pemberiannya belum sempat saya bawa ketika saya
meninggalkan Semarang menuju Yogyakarta dan saya
menyesali kehilangannya ketika banjir besar menggenangi
rumah ayah saya setinggi dada orang dewasa.
Lalu, dengan rasa sesal karena kehilangan buku itu dan
dengan niat mengenang persahabatan dengannya, saya pernah
berencana menulis skripsi tentang pemikiran-pemikiran
Malachi Melech. Saya membayangkan di halaman depan
skripsi itu akan ada tulisan: “Untuk Hartanto Ramelan, dengan
doa yang selamanya kupanjatkan.”
Dengan imajinasi kekanak-kanakan, saya berpikir
mungkin menarik menulis skprisi yang membahas topik
sejarah pewahyuan. Saya kuliah di jurusan komunikasi, saya
ingin membahas bagaimana pesan gaib dikomunikasikan. Pasti
itu akan menjadi skripsi yang bagus sekali, pikir saya.
Namun rencana itu tidak berlanjut dan saya tidak pernah
menulis skripsi sama sekali. Sebetulnya saya sempat setahun

111
A.S. Laksana

lebih mengumpulkan bahan-bahan tentang Melech. Hasilnya


tidak memadai. Bahan-bahan yang saya kumpulkan hanya
sanggup untuk menulis riwayat hidup Malachi Melech, agak
rinci tentang masa kecil dan latar belakang keluarganya, tetapi
tidak banyak tentang pemikirannya.
Malachi Melech adalah satu-satunya anak lelaki dari tiga
bersaudara. Mereka tinggal di sebuah desa di tepi Laut Mati.
Ibunya berpegang teguh pada Taurat dan ayahnya seorang
peternak yang tertarik pada ajaran antik Sarmand Kashani,
seorang Yahudi Armenia yang pergi ke India pada umur 20
dengan niat berdagang tetapi justru terpikat pada segala
macam agama setiba di sana. Setelah berganti-ganti agama,
Samad akhirnya memutuskan hidup meneladani orang-orang
suci dari lereng Himalaya: ia menanggalkan semua kain dari
tubuhnya dan hidup telanjang sebagaimana para Naga Sadhu
menjalani hidup mereka.
Ayah Melech meneladani Sarmand Kashani, dengan rasa
bersalah bahwa ia tidak bisa sepenuhnya telanjang; istinya
memaksanya mengenakan cawat. Ketika Melech berusia tiga
belas, usia di mana anak lelaki Yahudi dianggap sudh
bertanggung jawab atas dirinya sendiri, ayahnya memintanya
menanggalkan kain. Katanya:

112
Kumpulan Esai

“Orang berpakaian untuk menyembunyikan keburukan.


Tubuh telanjang memancarkan kebenaran ilahi dan itulah cara
terbaik untuk menyampaikan terima kasih atas anugerah yang
sempurna.”
“Jangan racuni daia dengan ajaran setan,” kata ibunya.
“Itu ajaran orang suci,” kata ayahnya.
“Pokoknya jangan racuni dia. Satu orang gila di rumah
ini sudah terlalu banyak.”
Sebetulnya ayah Melech tidak keliru. Di dalam tulisan-
tulisan tentang Sarmand Kashani, saya membaca bagaimana ia
dihormati sebagai orang suci. Ia mengajarkan ketelanjangan
dan mengumpulkan banyak pengikut, termasuk Dara Shikoh,
putra mahkota Kesultanan Mughal, anak Syah Jahan si
pembangun Taj Mahal.
Sarmad dihukum mati ketika penguasa berganti. Ia
dianggap menyebarkan ateisme: sambil telanjang ke mana-
mana, ia senang mengulang-ulang hanya frase negatif dari
syahadat orang Islam “tidak ada tuhan,” dan menolak
mengucapkan frase lanjutannya, “selain Allah.” Ketika dipaksa
mengucapkan kalimat tersebut secara lengkap, ia mengatakan:
“Saya sedang asyik dengan bagian penyangkalan.”
Aurangzeb, adik Dara Shikoh yang berhasil merebut
kekuasaan dalam perang saudara dengan kakaknya, memenggal

113
A.S. Laksana

kepala Sarmad. Jenazah Sarmad dimakamkan di dekat Masjid


Jami di Delhi dan sekarang makamnya diziarahi setiap tahun
oleh para penghayat ajaran sufi.
Malachi Melech bersimpati kepada ajaran Sarmad dan
menundukkan kepala saat mendengar apa saja yang
didakwahkan oleh ayahnya, tetapi ia tetap lebih condong
kepada agama ibunya, sampai umur 21. Setelah itu ia
mengikuti dorongan spritualnya sendiri untuk mencari tahu
kenapa orang-orang suci sering gagal mengenali suara Tuhan
dan menjadi begitu mudah terjerumus oleh bisikan iblis.
Pada umur 27 ia menulis risalah tentang tema itu, yang
berisi riwayat orang-orang suci yang terjerumus. Dua tahun
setelah itu ia menghilang, konon untuk melanjutkan penelitian,
tetapi sampai sekarang belum ada yang menemukan risalah-
risalahnya yang lain.
Bagian yang juga menarik berkaitan dengan Malachi
Melech adalah riwayat penemuan risalahnya. Dua peneliti dari
Albania, yang menaruh minat pada agama-agama kuno,
menemukan naskah Melech pada 1919 dan mereka sempat
menduga bahwa itu adalah kitab suci sebuah agama yang
dibawa oleh nabi baru.
Perang dunia pertama baru berakhir dan para cenayang
bermunculan di banyak tempat membawa kabar baik kepada

114
Kumpulan Esai

orang-orang yang berduka: Arwah orang-orang mati tetap bisa


berkomunikasi dengan orang-orang yang masih hidup.
Itu benar-benar kabar baik. Orang-orang yang hidup
sedih setelah perang berakhir, berjuta-juta jumlahnya, kini
memiliki harapan untuk mengetahui kabar suami, anak,
kekasih, atau sahabat mereka yang tewas di medan perang.
Para cenayang itu yang menjadi perantara komunikasi mereka
dengan arwah orang-orang terkasih.
Dan itu juga kabar baik juga bagi peneliti Albania. Demi
memastikan dugaan mereka bahwa Malachi Melech adalah
nabi baru, keduanya menyewa cenanyang untuk menghubungi
arwah Melech dan si cenayang yang mereka sewa
membenarkan dugaan tersebut. “Ia memang nabi.”
Samir dan Adrian, dua peneliti itu, begitu bersemangat
menerima informasi tentang kenabian Melech dan mulai
menerbitkan tulisan-tulisan awal mereka, dalam bahasa
Albania, tentang aliran Melechian. Namun semangat mereka
mengempis setelah Harry Houdini, si tukang sulap,
membongkar praktik-praktik penipuan oleh para cenayang.
Houdini sesungguhnya menaruh harapan bahwa para
cenayang itu betul-betul bisa berhubungan dengan arwah
orang mati: ia kehilangan ibu yang sangat dicintainya dan ingin
tahu segala sesuatu tentang ibunya yang sudah mati.

115
A.S. Laksana

Tetapi, pada saat yang sama, ia tidak percaya pada para


cenayang. Dengan mudah Houdini bisa mengetahui trik
mereka dan dengan itu mereka berusaha mengeduk
keuntungan sebanyak-banyaknya dari orang-orang yang sedang
berduka. Itu membuat Houdini marah dan kemudian
membongkar kebohongan mereka.
Selanjutnya, sambil menyimpan rasa kesal kepada
Houdini, Samir dan Adrian kembali menekuni risalah yang
mereka temukan. Bertahun-tahun mereka bekerja
mengalihbahasakan tulisan Melech ke dalam bahasa mereka
sendiri.
Hasil pekerjaan mereka terbit dalam cetakan terbatas
untuk kepentingan akademis empat tahun setelah berakhirnya
perang dunia kedua atau tiga puluh tahun sejak mereka
pertama kali menemukan risalah.
Adrian sudah meninggal sembilan tahun sebelumnya
dan Samir berusia 92 tahun ketika cetakan terbatas itu terbit.
Versi yang disederhanakan terbit dalam bahasa Inggris pada
pertengahan 1977.
Buku pemberian Hartanto Ramelan adalah terjemahan
Indonesia dari versi Inggris tersebut, memuat hanya riwayat 21
orang saleh yang nama-naamnya sudah banyak dikenal. Di

116
Kumpulan Esai

dalam risalah aslinya, Melech menuliskan 97 riwayat orang


saleh yang terjerumus.
Selain sejarah tentang ular pembujuk yang berhasil
mengelabui ibu para manusia, salah satu riwayat yang paling
saya ingat di dalam buku itu adalah kisah kejatuhan Rabi Isaac
B. Shem. Riwayat ini memperlihatkan kepada kita betapa
kunyuknya si Iblis: ia berani mengelabui hamba Tuhan bahkan
pada hari Jumat.
Si Kunyuk menunggui Isaac pulang. Ia mengubah diri
menjadi sekantung garam dan meletakkan dirinya di tengah
jalan yang biasa dilalui rabi tersebut. Isaac melihat garam itu
dan mengangkutnya ke kereta dan garam itu mengubah diri
menjadi lalat buah ketika kereta memasuki halaman rumah.
Lalu lalat buah itu terbang ke janggut Isaac.
Isaac hanya sedikit heran ketika garam yang ia temukan
tidak ada lagi, tetapi tidak menyadari bahwa sore itu ia masuk
ke dalam rumah membawa iblis di janggut rimbunnya yang
kelabu dan saleh.
Di dalam rumah, si lalat buah mengubah diri menjadi
kutu dan mendekam di ubun-ubun sang rabi. Ia merayap pada
tengah malam ke telinga Isaac dan berbisik. Sang rabi, yang
sehari-harinya khusyuk berdoa, merasa mendapatkan bisikan
Tuhan melalui mimpi.

117
A.S. Laksana

Keesokan harinya, dengan keyakinan sedang


menyampaikan pesan-pesan kerasulan, ia mulai mengeluarkan
fatwa-fatwa yang membingungkan kaumnya. Sejak itu ia
dianggap sesat, dan akhirnya dianggap gila.
Saya berharap bisa menemukan lagi buku Iblis dan Para
Korbannya. Dan itulah keajaiban yang saya harapkan untuk
menyambut tahun baru.

118
Kumpulan Esai

Melawan Hoaks dengan Sastra

Ada tema pembicaraan menarik yang ditawarkan oleh


Dewan Kesenian Jakarta pada awal Desember ini, yaitu
“Hancur Lebur karena Hoaks: Melawan dengan Sastra dan
Humor”. Dari tema itu, kita bisa membuat dugaan bahwa
salah satu musuh kita hari ini, dan mungkin musuh utama,
adalah hoaks: ia membuat kita hancur lebur. Karena itu kita
perlu membuat perlawanan, demi memperbaiki keadaan,
dengan sastra dan humor.
Saya ingin mengambil bagian soal sastra saja sebab saya
tidak memahami humor. Mengikuti tema itu, berarti kita
meyakini bahwa sastra bisa diandalkan sebagai senjata
perang—seperti celurit bagi orang Madura, seperti panah bagi
Arjuna, seperti bambu runcing bagi para pahlawan di gapura-
gapura. Ia menjadi alat memadai untuk menangkal musuh
paling menyeramkan. Saya berdoa semoga ada sastrawan kita
yang mampu melahirkan karya sastra pemusnah bertenaga
nuklir.

119
A.S. Laksana

Sebenarnya sudah lama orang percaya bahwa sastra


memiliku kekuatan untuk menyingkirkan sesuatu atau
memperbaiki apa yang keliru. Di Inggris, antara abad kelima
sampai kesebelas, orang menggunakan puisi atau teks dalam
bentuk puisi sebagai alat untuk menyembuhkan rematik,
menyuburkan tanah, dan mengusir kawanan lebah.
Di kampung masa kecil saya di Semarang, ada teman
masa remaja yang senang menggunakan karya sastra sebagai
alat perjuangan dan ia menggunakannya saat jatuh cinta: ia
menulis puisi, atau sesuatu yang terlihat seperti puisi, untuk
menundukkan gadis pujaan hati. Kami berteman dekat dan
saya membaca semua puisinya, yang ia tulis tangan di buku
bersampul cokelat, da ia sering juga memamerkan surat yang ia
tujukan kepada sasaran tembak. Di dalam surat-suratnya ia
biasa melampirkan puisi. Bentuk puisinya kira-kira seperti
contoh di bawah ini:
Semerbak harum mewangi
Umpama mawar di taman hati
Matamu berbinar indah
O dara jelita
Matahari bagi hidupku
Ombak tenang laut biru
Layar t‟lah terbentang menuju pantaimu

120
Kumpulan Esai

Dengan kesastraan yang seperti itu, saya tahu bahwa


teman saya sedang bertarung untuk memikat seorang gadis
bernama Sumomol, yang huruf-huruf penyusun namanya
digunakan untuk mengawali larik-larik puisi. Atau ia sedang
memuja kekasihnya dan berjuang mempertahankan hubungan
dengan menuliskan rayuan gombal yang dibentuk seperti puisi.
Kecenderungan menggunakan karya sastra sebagai alat
perjuangan, sebagaimana yang dilakukan oleh teman remaja
saya, masih tetap dilakukan orang hingga sekarang. Hanya
berbentuknya berbeda.
Pada masa sekarang, alat yang lazim digunakan adalah
pantun atau parikan. Orang menggunakannya untuk
mengucapkan semangat pagi atau semangat tidur atau
semangat berpuasa (ketika memasuki Ramadhan}, atau
semangat-semangat yang lain. Para pejabat politik dan politisi
senang juga menggunakan pantun untuk merebut hati orang
banyak.
Itu semua hanya bentuk-bentuk perjuangan kecil, upaya-
upaya individual untuk memenangi pertempuran pribadi.
Ketika memasuki pembicaraan tentang melawan hoaks dengan
sastra, saya membayangkan sebuah karya yang memiliki
kekuatan bom atom.

121
A.S. Laksana

Ada beberapa pertanyaan yang bisa diajukan ketika kita


berpikir bahwa sebuah narasi kreatif bisa menjadi alat yang
memadai untuk melakukan perlawanan sosial. Misalnya, siapa
yang memiliki kekuaran besar untuk menulis karya sastra
perlawanan? Apa gerakan pendukung yang akan memperkuat
sastra sebagai alat perlawanan? Apa yang akan membuat
sebuah bentuk ekspresi kreatif—sebuah produk imajinasi—
menjadi lebih bertenaga dibandingkan, misalnya retorika
politik yang menyerang langsung ke jantung sasaran?
Hoaks dan sastra, kita tahu, memiliki satu kesamaan:
dua-duanya produk imajinasi. Bedanya, hoaks lebih menarik
bagi orang banyak dibandingkan karya sastra. Ia lebih
menggugah dan lebih mengaduk-aduk emosi karena
menyampaikan “fakta” yang bersentuhan langsung dengan isu
keseharian orang banyak. Lebih dari itu, ia digarap untuk
memberi alasan pembenar bagi kebencian dan rasa
permusuhan, dan kebencian memberi makna yang signifikan
bagi perasaaan terpinggirkan, tersingkir, dan terzalimi.
Mengingat semua itu, seandainya hoaks dan sastra
dihadapkan di medan pertempuran, saya yakin sastra akan
kalah dari berbagai segi. Dari segi kecepatan produksi, sastra
kalah. Dari segi kemampuan memengaruhi emosi publik,
sastra kalah. Dari segi militansi dukungan publik terhadap

122
Kumpulan Esai

penyebarannya, sastra kalah. Dari segi keterorganisasian, sastra


kalah.
Dan satu hal lagi yang patut diingat tentang hoaks: ia
juga senjata perlawanan bagi orang-orang yang, dengan
alasannya sendiri, merasa sedang terzalimi dan terpinggirkan.
Dengan hoaks, mereka membangun cerita tentang bahaya
yang sedang mengancam kehidupan, mereka mendelegitimasi
kekuasaan, dan mereka mempertahankan kebencian atau
membesarnya dari waktu ke waktu.
Mereka memproduksi hoaks dan menyebarkannya
sebagai bagian dari strategi perlawanan yang terorganisir. Di
belakangnya ada ideologi tertentu, yang didukung oleh para
militan; mereka melakukan mobilisasi dengan memanfaatkan
sentimen dan emosi publik demi mewujudkan apa yang
mereka cita-citakan—apa pun cita-cita mereka.
Karenanya, jika kita ingin menggunakan sastra sebagai
alat perlawanan, mau tidak mau kita harus mempelajari
pengetahuannya dan memikirkannya sebagai sebuah gerakan.
Mungkin diperlukan mata kuliah tersendiri di fakultas
sastra atau setidaknya kursus singkat barang tiga bulan tentang
sastra sebagai alat perlawanan.
Itu usulan serius. Jika kita percaya sastra bisa menjadi
alat perlawanan yang efektif, kita harus memikirkan sungguh-

123
A.S. Laksana

sungguh cara untuk menguasai pengetahuannya. Kita perlu


mengasah pemikiran kritis, melakukan pembacaan dekat (close
reading) terhadap setumpuk karya sasta yang pada masanya
pernah menjadi alat perlawanan (secara luas termasuk film,
biografi, dan karya jurnalistik), mendiskusikannya, dan
memproduksi kajian-kajian akademis untuk mendukung
gerakan perlawanan dengan karya sastra.
Saya pernah membaca di internet pengumuman tentang
kursus semacam ini yang diadakan oleh sebuah perguruan
tinggi di Amerika Serikat, sebuah kursus tiga bulan, dengan
dua atau tiga pertemuan setiap minggu.
Di dalam kursus tersebut mereka melakukan pembacaan
dekat terhadap karya-karya sastra yang menyuarakan
perlawanan kelompok masyarakat tertindas, misalnya Uncle
Tom’s Cabin karya Harriet Beecher-Stowe, karya-karya Nadine
Gordimer yang berlatar Apartheid, kelompok minoritas di
India yang dikenal dengan sebutan kaum “untouchabe”, itu
karena di dalam hierarki perkastaan di India mereka adalah
orang-orang yang tidak boleh disentuh dan tidak boleh
menyentuh, dan lain-lain.
Mereka mendiskusikan buku-buku itu, membuat tulisan
akademis tentang karya-karya sastra yang mereka diskusikan,
dan mencoba mendapatkan pemahaman lebih mendalam

124
Kumpulan Esai

tentang karya sastra sebagai alat perlawanan, termasuk


membahas karya sastra sebagai alat perlawanan, termasuk
membahas situasi sosial dan politik yang mendorong lahirnya
karya-karya tersebut dan apa bentuk dukungan publik terhadap
mereka.
Jika kita memikirkan karya sastra sebagai alat
perlawanan, kita tidak mungkin memikirkan hanya seorang
menulis novel atau kumpulan cerita pendek atau puisi-puisi
perlawanan. Kita perlu juga memikirkannya sebagai bagian dari
sebuah gerakan, yang makin membesar, untuk mencapai
keberhasilan sebagai sebuah perlawanan. Jadi, ia tidak mungkin
berdiri sendiri.
Sekarang, kita coba membicarakan satu pertanyaan:
Siapa yang memiliki kekuatan besar untuk menulis sastra
perlawanan?
Ada beberapa penulis kita yang mendedikasikan diri
sebagai agen perlawanan. Mereka mengkritik praktik-praktik
keberagamaan, menyuarakan pluralisme, menyuarakan
penerimaan terhadap liyan, menyuarakan kepedihan
kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Secara umum, mutu
kesastraannya kurang. Karya-karya perlawanan itu seperti
dikerjakan oleh orang yang memiliki semangat, tetapi kurang
memiliki keterampilan.

125
A.S. Laksana

Di dalam dunia kesenian, termasuk sastra, orang


meyakini satu prinsip. Tidak akan pernah ada pencapaian
artistik tanpa kepengrajinan. Karya oleh orang-orang yang
kurang memiliki kepengrajinan biasanya akan jatuh ke dalam
dua kemungkinan: ia menjadi pamflet atau ia menjadi
melodrama.
Kalaupun ada beberapa yang berhasil menjadi sastra
bermutu, pada kesempatan pertama mereka sudah harus
berbenturan dengan kenyataan bahwa masyarakat kita adalah
kumpulan orang-orang yang kurang senang membaca. Artinya,
dari segi dukungan publik, karya-karya sastra bermutu akan
kalah jauh dibandingkan hoaks.
Sekarang, sambil menanti lahirnya sastra perlawanan
yang benar-benar ampuh, saya pikir agenda terpenting kita
adalah menumbuhkan perangai ilmiah atau scientific temper.
Itu istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Bapak Bangsa
India Jawaharlar Nehru untuk memerangi kecenderungan
masyarakat India terhadap takhayul.
Saya pikir menumbuhkan perangai ilmiah adalah jalan
terbaik untuk memerangi hoaks. Anda tahu bahwa hoaks
seringkali dibuat dengan landasan takhayul. Dengan
menumbuhkan scientific temper, kita mendorong masyarakat
untuk bergairah melakukan pencarian kebenaran dan

126
Kumpulan Esai

pengetahuan baru, berpikir kritis, dan selalu bersandar pada


fakta yang teramati, bukan prakonsepsi, apalagi sekadar otak-
atik gatuk.
Jika kita enggan melakukannya, satu-satunya yang paling
memadai untuk melawan hoaks adalah hoaks juga. Maka, mari
kita duduk saja menyaksikan perng besar antara dua kekuatan
teroganisir yang sama-sama bersenjatakan hoaks. []

127
A.S. Laksana

Tentang Misteri dan Hal-hal Mubazir

Ada banyak misteri di alam semesta ini, mungkin


jumlahnya ratusan ribu, mungkin ratusan juta, atau miliaran,
atau triliunan, atau kita bisa mengatakan dalam cara yang
paling sederhana: Tak terhitung.
Karena jumlahnya tak terhitung, jelas tidak mungkin
bagi kita untuk menaruh perhatian pada semuanya. Beberapa
misteri dalam kehidupan sehari-hari bisa kita abaikan saja
meskipun menurut orang lain mereka penting untuk kita beri
perhatian.
Misalnya, misteri tentang rambut atau kuku. Anda
mungkin menganggap kedua hal itu bisa diabaikan saja, tetapi
ada orang-orang yang memilih memberi perhatian serius pada
rambut atau kuku atau dua-duanya dan bisa menghabiskan
waktu berjam-jam untuk mengurus rambut dan merapikan
kuku.
Misteri lainnya yang bisa anda abaikan adalah Arsenal
dan Liverpool. Sejumlah orang mungkin akan langsung

128
Kumpulan Esai

mendebat jika anda menyampaikan saran kepada mereka:


Sebaiknya kalian abaikan saja Arsenal dan Liverpool.
Saya memiliki sejumlah teman yang memilih
memusatkan perhatian pada Arsenal dan menjadi pendukung
setia klub tersebut—ini seperti memilih kesedihan sebagai
jalan hidup. Sementara itu para pendukung Liverpool
tampaknya adalah orang-orang yang memiliki minat pada
sejarah klub tersebut dan menaruh harapan besar pada pepatah
bahwa sejarah berulang.
Kepada mereka saya tidak memiliki saran apa pun.
Namun, saya pikir ada baiknya para penggemar “sejarah
berulang” itu mempertimbangkan kalimat George Bernard
Shaw: “Sekiranya sejarah berulang, dan yang terjadi berulang-
ulang adalah hal-hal yang tak diharapkan, itu berarti manusia
tidak mampu belajar dari pengalaman.”
Saya sendiri pernah menaruh perhatian serius pada
urusan remeh-remeh, ialah miseri huruf Q dan X dan
keberadaan mereka yang mubazir dalam deretan abjad bahasa
Indonesia. Kenapa kedua huruf itu ada sementara tidak ada
kosakata bahasa Indonesia yang memerlukan huruf-huruf itu?
Dulu, semasa SMA, saya pernah iseng-iseng membuat
catatan tentang hal-hal mubazir di sekeliling kita. Di buku
catatan itu saya menulis kurang lebih seperti ini: “Seharusnya

129
A.S. Laksana

huruf Q dan X dibuang saja dari deretan abjad karena kosakata


bahasa Indonesia tidak ada yang menggunakan kedua huruf
ini.”
Bertahun-bertahun kemudian, saya pikir gagasan untuk
membuang huruf Q dan X harus saya lupakan. Tanpa huruf
Q, kita akan kesulitan menyerap sejumlah kosa kata dari
bahasa Arab, misalnya qori dan qoriah dan Quran. Sebetulnya
bisa saja kita menuliskan ketiga kata itu menjadi kori dan
koriah dan kuran, dengan merujuk pada cara kita menyerap
quality menjadi kualitas, tetapi mengganti “q” dengan “k”
dalam kosakata yang berasal dari Arab tentu akan berisiko
menghasilkan kata-kata serapan yang terasa kurang surgawi.
Di samping itu, jika huruf Q dibuang, kita juga tidak bisa
membuat seminar atau menulis artikel berjudul Quo Vadis
Gerakan Mahasiswa, Quo Vadis Film Indonesia, Quo Vadis
Pendidikan Kita, dan berbagai macam Quo Vadis lainnya.
Jadi, akhirnya saya insyaf bahwa huruf Q harus
dipertahankan. Hanya saja, agar tidak terkesan mubazir, saya
pikir penggunaannya perlu diperluas dalam percakapan sehari-
hari. Mungkin akan terdengar menarik jika ada ayah
mengajukan pertanyaan kepada anaknya: “Quo vadis anjing
kecil berbulu cokelat yang kemarin datang ke rumah kita,
Nak?”

130
Kumpulan Esai

Mengenai huruf X, peluangnya untuk digunakan dalam


kosakata bahasa Indonesia bisa dikatakan nihil. Namun, ia
tetap perlu ada. Tanpa huruf X, anak-anak gaul tidak bisa
membuat komentar: “Pertamax, Gan...!” atau menuliskan
bunyi ketawa: “Xixixixixi....”
Mula-mula saya merasa bahwa ide tentang membuang
huruf Q dan X itu adalah ide yang sangat cemerlang. Rupanya
ide yang saya pikir cemerlang itu tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan gagasan teman saya. Ia dua tahun di atas
saya, saleh dan sering mencengangkan, dan pada suatu hari ia
menyampaikan khayalannya untuk mengumpulkan anak-anak
yatim piatu dan memberi mereka hanya satu urusan, yaitu
berzikir. Mereka tidak perlu mengerjakan urusan lain, cukup
berzikir dua puluh empat jam sehari.
“Tidak mungkin dua puluh empat jam sehari,” kata saya.
“Mereka perlu tidur.”
“Hanya mata mereka yang tidur,” katanya, “tetapi hati
mereka terjaga dan tetap berzikir.”
Saya menunjukkan gestur paham terhadap apa yang ia
maksudkan, meskipun sebetulnya saya tidak paham. Lalu ia
melanjutkan:
“Dua puluh tahun nanti, saat anak-anak itu tumbuh
dewasa, mereka akan menjadi pemuda-pemuda sakti. Mereka

131
A.S. Laksana

bisa membakar apa yang saja dengan air ludah. Itu kesaktian
yang berguna untuk menumbangkan diktator.”
Percakapan kami terjadi pada awal 1990-an. Pada waktu
itu saya indekos di daerah Jeron Beteng, di lingkungan keraton
Yogyakarta, bertetangga dengan orang-orang yang menyimpan
keris, tombak, dan benda-benda lain yang minta dimandikan
setahun sekali pada bulan Suro, dan, tidak jauh dari tempat
kos, ada tetangga yang rumahnya sering dijadikan tempat
berkumpul para peminat ilmu kesaktian.
Sekarang, khayalan tentang para pemuda sakti yang
sanggup membakar seorang diktator dengan ludahnya sudah
tidak relevan lagi. Diktatornya sudah tidak ada.
Yang terasa relevan saat ini adalah memberi perhatian
dua puluh empat jam sehari pada Jokowi atau Prabowo.
Banyak orang melakukannya. Saya tidak tahu apa yang mereka
cita-citakan dengan memberi perhatian berlebih kepada Jokowi
dan Prabowo. Belakangan ada juga orang-orang yang memberi
perhatian khusus pada K.H. Ma‟ruf Amin karena Pak Kiai
dipilih oleh Jokowi untuk mendampinginya sebagai calon wakil
presiden.
Saya pikir memberi perhatian terus menerus kepada
mereka bisa digolongkan ke dalam perbuatan mubazir. Untuk
apa kita mengarahkan perhatian pada Jokowi dan Prabowo

132
Kumpulan Esai

dan K.H. Ma‟ruf Amin? Orang-orang itulah yang seharusnya


memberi perhatian pada orang banyak, bukan orang banyak
memberikan perhatian kepada mereka.
Lebih baik anda memberi perhatian pada urusan-urusan
lain, misalnya pada misteri kehidupan setelah kematian, atau
pada buku-buku yang menarik untuk dibaca, atau pada
permainan catur.
Jika anda memilih memperhatikan catur, dan sekarang
umur anda sudah 50 tahun, itu berarti anda terlambat 47 tahun
untuk menjadi jenius dalam bidang tersebut. Menurut Laszlo
Polgar untuk menjadi jenius dalam bidang apa pun, anda harus
memulainya dari umur tiga tahun dan sudah memilih
spesialisasi pada umur enam.
Pak Polgar adalah pecatur asal Hungaria dan pakar
psikologi pendidikan dan seorang pioner dalam urusan
pengasuhan anak. Ia meyakini bahwa jenius bisa diciptakan
dan bukan bawaan lahir. Menurutnya, setiap bayi yang
dilahirkan sehat memiliki peluang untuk menjadi jenius.
Semasa kuliah, ia menaruh perhatian pada kecerdasan
manusia dan membaca riwayat hidup 400 jenius sejak Socrates
sampai Einstein. Dari sana ia melihat sebuah pola: “Orang-
orang itu memulainya sejak usia belia dan mereka belajar
sangat intensif.”

133
A.S. Laksana

Kemudian ia merencanakan pendidikan untuk anak-


anaknya bahkan ketika masih bujangan dan belum menjadi
ayah. Karena itu ia mencari istri yang bisa bersepakat dengan
rencananya dan ia mendapatkannya.
Ia dan Kiara kemudian membesarkan anak-anak
mereka—Susan, Sofia, dan Judit Polgar—dengan prinsip yang
ia yakini. Jenius bisa diciptakan. Ketiga anak perempuan ini
dididiknya sendiri di rumah. Ia mengajar mereka cara
membaca, menulis, matematika, dan bahasa, dan yang utama
untuk mereka bertiga adalah catur.
Dan itu adalah perjuangan yang melelahkan bagi Pak
Polgar. Ia harus berhadapan dengan induk organisasi catur
yang menginginkan anak-anaknya bermain di turnamen wanita
ketimbang bersaing dengan pecatur pria. Pak Polgar
menginginkan kesetaraaan gender dalam catur. Selain itu, ia
juga harus berhadapan dengan otoritas pendidikan yang
mengirimkan polisi bersenjata untuk menyeret Susan ke
sekolah. Pada masa itu, homeschooling tidak lazim di Hungria
dan setiap orang tua wajib menyekolahkan anak-anaknya.
Para pengkritik Laszlo menyamakannya dengan Victor
Frankestein yang bereksperimen hanya untuk mendapatkan
hasil akhir monster. Tetapi Laszlo teguh dengan jalannya dan
meyakini prinsip hidup yang dirumuskannya sendiri: Jenius

134
Kumpulan Esai

adalah kerja keras plus keberuntungan; sedangkan kebahagiaan


adalah kerja keras, keberuntungan, cinta, dan kebebasan.
“Kuncinya adalah kerja keras,” katanya, “karena kerja
keras menciptakan keberuntungan.”
Sebuah film dokumenter tentang keluarga Polgar
menyebutkan bahwa eksperimen Laszlo merupakan percobaan
yang paling menakjubkan dalam sejarah pendidikan. Susan
menguasai sembilan bahasa dan menjadi grandmaster catur,
Sofia juga seorang poligot dan memenangi banyak trofi catur
internasional, dan Judit adalah puncaknya: Ia menjadi
grandmaster termuda dan pecatur perempuan terhebat
sepanjang sejarah.
Si bungsu dengan mudah menjadi juara dunia catur
wanita dan merasa bosan karena turnamen catur wanita
terlampau mudah baginya. Ia lebih memilih bertanding
melawan raksasa-raksasa catur pria. Sepanjang kariernya ia
telah mengalahkan raksasa catur negaranya Boris Spassky,
bekas juara dunia Anatoly Karpov, Visvanathan Anand, dan
berhasil membalas kekalahan terhadap Gary Kasparov pada
pertemuan mereka yang kesepuluh di tahun 2002.
Dan Judit tidak menjadi monster. Ia berkeluarga,
menjadi ibu, dan tahun ini ia merancang program pendidikan
catur inovatif untuk sekolah-sekolah di Cina—demi

135
A.S. Laksana

mempersiapkan generasi-generasi muda di negara tersebut


menghadapi masa depan.
Mereka meyakini bahwa pada abad-21, catur tidak
sekadar olahraga tetapi juga kesempatan. Setidaknya, menurut
Judit, dengan mempelajari catur kita juga dapat belajar
menangani data yang jumlahnya membludak di era digital.
Tentu saja anda tidak perlu memaksakan diri bermain
catur dan berpikir bisa menjadi jenius di bidang ini jika usia
anda sudah 50 tahun. Ada banyak misteri di alam semesta;
anda bisa memilih satu hal yang menantang dan membuat
anda sanggup bekerja keras untuk menciptakan keberuntungan
anda sendiri. []

136
Kumpulan Esai

Bagaimana Membaca Dua Buku dalam Sepekan

Ada masa-masa sengsara dan ada masa-masa yang lebih


sengsara lagi. Yang pertama terjadi pada masa lalu, ketika
gairah membaca menggebu-gebu dan saya memiliki nyaris
seluruh waktu untuk membaca, tetapi akses terhadap buku
sangat terbatas.
Yang kedua terjadi sekarang: saya bisa mendapatkan
hampir semua buku yang saya inginkan, tetapi pada saat yang
sama urusan sehari-hari sudah bermacam-macam, mulai dari
hal sepele meladeni anak-anak bermain bola sampai ke urusan
yang saya tidak ingin menggubrisnya tetapi tidak bisa, dan itu
semua menyita waktu dan tenaga.
Jadi, dalam setiap masa, membaca buku bagi saya tetap
menjadi urusan yang memerlukan perjuangan sangat keras.
Kadang-kadang saya putus asa melihat buku-buku dan tidak
yakin apakah bisa membaca semua buku yang telanjur saya
miliki. Dan semakin putus asa ketika ada teman memberi tahu
ada buku bagus atau penulis bagus atau menanyakan, “Sudah
baca buku ini?”
137
A.S. Laksana

Selain putus asa, saya juga menaruh perasaan benci


kepada orang seperti Bill Gates: ia kaya raya dan menjadi
raksasa di bidangnya dan masih tetap menantang diri sendiri
untuk membaca buku tiap pekan. Dengan catatan tambahan, ia
rajin menulis di blognya dan merekomendasikan buku-buku
bagus yang baru selesai ia baca.
Kenapa ia masih tetap ngotot menambah pengetahuan?
Kenapa tidak santai-santai-santai saja memancing atau main
game seharian atau berburu makanan-makanan enak di
tempat-tempat eksotik?
Dan kenapa pula saya memikirkan perbuatannya?
Kalaupun ia masih suka membaca buku, itu masalah Pak Bill
sendiri, bukan masalah saya.
Masalah saya adalah bagaimana bisa membaca semua
buku yang saya punya—baik buku-buku cetak yang kian
menguning di rak maupun e-book yang berjubel di komputer.
Masih ditambah lagi dengan koleksi di perpustakaan digital
yang saya mendaftarkan diri sebagai anggotanya. Jumlah
bukunya 25 ribu lebih.
Seandainya saya sanggup membaca sehari satu buku—
dan itu mustahil—saya akan memerlukan waktu sedikitnya 50
tahun untuk menyelesaikan semua buku yang saya miliki. Dan
selama 50 tahun itu saya mungkin tidak sempat mandi, tidak

138
Kumpulan Esai

gosok gigi, tidak menyisir rambut, tidak pergi ke mana pun dan
hanya membaca buku. Jika hanya sanggup membaca satu buku
sepekan, saya memerlukan waktu paling kurang 350 tahun
untuk menyelesaikan semua buku. Baiklah, saya harus
mengulang seruan Chairil Anwar: Aku mau hidup serinbu
tahun lagi.
Jadi, bagaimana bisa membaca semua buku? Atau,
dengan kata lain, bagaimana bisa hidup 350 tahun lagi dan
tetap sehat? Tampaknya tidak ada jalan keluar untuk masalah
itu. Dan karena tidak ada jalan keluarnya, berarti ia bukan
masalah. Anda tahu bahwa selalu ada jalan keluar untuk setiap
masalah. Jika sesuatu tidak memiliki jalan keluar, sudah pasti ia
bukan masalah dan lebih baik tidak dipikirkan.
Tenteram sebentar dengan pikiran seperti itu: setiap
orang punya cara untuk menenteramkan diri sendiri. Bahkan
seumur hidup tidak membaca buku pun tidak jadi masalah.
Banyak orang membuktikan hal itu. Mereka tetap hidup seperti
pohon-pohon: tumbuh tinggi, kadang-kadang
memperdengarkan bunyi berisik pada saat angin bertiup agak
kencang, dan tidak membaca buku.
Saya pikir tidak ada masalah menjalani hidup seperti
pohon-pohon. Tetapi ketenteraman semacam itu berakhir
tepat pada waktu ia harus berakhir. Sebuah iklan

139
A.S. Laksana

mengakhirinya. Ia berbunyi: “Leaders are readers, knowledge


is power, book is powerful.”
Biasanya, jika saya sedang menonton video hewan-
hewan di Youtube, dan video itu didahului iklan, saya akan
secepatnya menutup iklan tersebut begitu muncul tulisan
“skip” pada bagian kanan bawah layar. Tetapi untuk iklan
tersebut saya menontonnya sampai akhir. “Rata-rata orang
membaca dua buku setahun,” kata orang dalam iklan itu.
Saya langsung lupa bahwa beberapa waktu sebelumnya
saya sudah berniat hidup seperti sebatang pohon. Iklan itu
menghasut saya. Hanya dua buku setahun? Alangkah
menyedihkan orang yang hidup seperti itu. Mungkin karena
itulah meraka menjadi orang rata-rata, tidak beda dengan butir-
butir telur di dalam peti.
Tentu saja ada yang lebih menyedihkan, ialah orang-
orang yang tidak membaca satu buku pun selama bertahun-
tahun atau tidak pernah membaca buku selama hidup
meskipun bisa membaca. Mark Twain memliki pendapat
tentang jenis orang ini: “Orang yang tidak pernah membaca
tidak lebih baik sedikit pun dibandingkan orang yang buta
huruf.”

140
Kumpulan Esai

Orang di dalam iklan itu menyampaikan bahwa kita bisa


membaca dua buku dalam sepekan, bahkan jika kita tidak tahu
bagaimana cara membaca cepat.
Ini dia yang saya butuhkan!
Saya tidak tahu cara membaca cepat. Saya membaca
seperti siput kebun yang hanya mampu bergerak secepat-
cepatnya 25 meter per hari (karena ini urusan membaca, anda
bisa mengganti kata meter dengan halaman), atau seperti orang
bertamasya: menikmati kalimat-kalimat, menikmati cara
penulis menyampaikan gagasan, menikmati irama yang lahir
dari susunan kata-kata—dan sering menjumpai, pada pagi hari,
beberapa halaman buku yang sedang saya baca menjadi kusut
tertindih kepala atau tubuh saya karena saya tertidur dei tengah
tamasya menikmati halaman-halaman.
Selanjutnya, orang itu memberikan hitung-hitungan
matematika sederhana. Kecepatan rata-rata orang membaca
adalah 200 per kata per menit, katanya, dan panjang buku rata-
rata adalah 64.000 kata. Waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan buku itu adalah 320 menit atau 5 jam 20 menit.
“Anda hanya perlu meluangkan waktu 45 menit sehari,
membaca dengan kecepatan normal, dan anda bisa
menyelesaikan satu buku dalam sepekan,” katanya.
Matahari bersinar cerah di dalam tempurung kepala saya.

141
A.S. Laksana

Novel The Trial Franz Kafka panjangnya 84.000 kata,


tebalnya 255 halaman (edisi paperback). Dengan kecepatan
200 kata per menit, kita hanya perlu waktu 420 menit atau
tujuh jam untuk menyelesaikannya. Jadi, jika kita punya waktu
dua jam sehari untuk membaca, kita bisa menyelesaikan dua
buku dalam sepekan.
Tujuh jam untuk The Trial dengan kecepatan membaca
normal. Itu sedikit lebih cepat dibandingkan dengan
audiobooknya yang berdurasi 8 jam 50 menit. Mungkin untuk
kenyamanan pendengar, pembaca audiobook tersebut
membawakannya dalam tempo yang sedikit lebih lambat
ketimbang orang membaca dalam hati.
Dan berapa jam anda butuhan untuk menyelesaikan
novel tipis Lelaki Tua dan Laut karya Hemingway? Versi
audiobook novel tersebut, dengan pembaca Charlton Heston,
hanya berdurasi 2 jam 22 menit. Pemeran Ben Hur (1959) itu
membaca dalam cara yang sangat bagus dan saya pikir The Old
Man and The Sea jauh lebih bagus ketika dibacakan oleh
Charlton Heston ketimbang saya baca sendiri.
Berkat iklan tentang membaca buku itu saya merasa
seperti mengalam hidup baru. O, perlu dirayakan dengan
secangkir kopi dan ucapan selamat kepada diri sendiri: Selamat
menempuh hidup baru, ya!

142
Kumpulan Esai

Dua jam setiap hari. Dua buku dalam sepekan.


Kalaupun hanya bisa satu buku, itu tidak buruk juga.
Setidaknya tiap pekan pengetahuan saya bertambah.
Penting menambah pengetahaun tiap pekan sebab,
sejauh ini, ia adalah harta paling berharga yang bisa saya miliki
dengan mudah. Dan ia satu-satunya uang tidak bisa dirampas
dari kita oleh siapa pun.
Anda bisa kehilangan uang, kehilangan jabatan,
kehilangan tanah, kehilangan rumah, kehilangan teman,
kehilangan saudara, tetapi anda tidak mungkin kehilangan
pengetahuan, kecuali suatu hari anda kesurupan dan berubah
menjadi kurang waras. Tetapi itu kasus langka. Secara umum,
pengetahuan yang kita miliki akan abadi dan tetap menjadi
milik kita selama kita hidup dan sehat. []

143
A.S. Laksana

Politik: Medan Pertarungan tanpa Respek

Berkendara di jalan raya lintas timur Sumatra memasuki


Menggala, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, saya melihat
di tepi kiri kanan jalan baliho-baliho pasangan Jokowi-Amin.
Salah satunya memajang tulisan, seperti sebuah janji: “Rakyat
lebih sejahtera.” Di tempat terpisah, baliho kampanye
Prabowo-Sandi menawarkan janji “Indonesia Kuat. Indonesia
Berdaulat. Indonesia Sejahtera.”
Saya ingin sekali mempercayai mereka. Salah satu dari
kedua pasangan itu akan menjadi presiden dan wakil presiden
setelah masa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla berakhir tahun
ini. Saya berharap dua-duanya mampu memenuhi janji yang
sulit diwujudkan itu.
Memenuhi janji kesejahteraan adalah hal yang sangat
sulti karena dua alasan. Pertama, kebanyakan dari politisi kita
tidak memiliki kesanggupan memenuhi janji. Kedua, untuk
menjadi sejahtera orang memerlukan kecakapan memadai
tentang bagaimana menjadi sejahtera. Jika mereka ingin

144
Kumpulan Esai

menjadikan Indonesia sejahtera, mereka harus mendidik orang


banyak untuk mendapatkan kecakapan itu.
Tetapi kedua pasangan itu tidak terlihat menaruh
perhatian pada mutu pendidikan. Tidak ada di antara keduanya
yang berjanji akan memperbaiki mutu pendidikan. Tidak ada di
antara keduanya yang berminat menjadikan anak-anak sekolah
gemar membaca buku.
Mereka tidak tertarik memperbaiki jalan pengetahuan.
Kita tahu bahwa penguasaan terhadap ilmu pengetahuan selalu
begitu jalannya dari waktu ke waktu: mendapatkan akses
seluas-seluasnya terhadap ilmu pengetahuan dan mendorong
setiap orang menjadi pembelajar.
Orang-orang Yunani Kuno berguru kepada bangsa
Mesir Kuno dan pada gilirannya ilmu pengetahuan dari Yunani
Kuno menyebar ke jazirah Arab. Kemudian para ilmuwan
muslim di zaman awal Islam sangat bergairah mengembangkan
ilmu pengetahuan. Bagdad tumbuh dan membangun diri
selama 500 tahun untuk mencapai puncak kegemilangan: Kota
itu menjadi pusat peradaban pada masanya, sampai ia
diruntuhkan oleh serbuan para penunggang kuda dari padang
rumput di bawah pimpinan Hulagu, cucu Jenghis Khan.
Orang-orang berkuda mengeluarkan buku-buku koleksi
perpustakaan dan membuangnya ke sungai Tigris. Peradaban

145
A.S. Laksana

tak punya jejak ketika semua buku dicemplungkan ke sungai.


Orang-orang Islam kehilangan sumber pengetahuan yang
sangat penting. Namun para pembelajar dari Barat lebih
beruntung. Khazanah ilmu pengetahuan dair para ilmuwan
Islam selamat di tangan mereka dalam bentuk karya-karya
terjemahan dan mengilhami kelahiran masa Renaisans, sebuah
masa yang ditandai dengan semangat untuk berani berpikir
sendiri ketimbang tunduk kepada dogma.
Sampai sekarang kita masih mengenali jejaknya. Salah
satu kosakata yang paling sering kita dengar saat ini, ketika
ilmu komputer berkembang menjadi-jadi dan akan makin
menakjubkan di masa-masa mendatang, adalah algoritma
(algorithm). Itu kosakata serapan dari bahasa Arab, tepatnya dari
nama matematikawan muslim Al Khawarizmi. Dari Al
Khawarizmi orang mengenal prosedur langkah demi langkah
untuk menyelesaikan soal matematika. Jika prosedurnya benar,
hasilnya pasti benar. Prosedur langkah demi langkah dalam
matematika dan ilmu komputer itu kemudian dinamai sesuai
dengan nama penemunya, Al Khawarizmi, yang dalam
penulisan Barat menjadi Algorithmi, yang kemudian menjadi
algorithm.
Pada masa yang lebih kemudian, Jepang membangun
jalan pengetahuan dengan Restorasi Meiji. Mereka

146
Kumpulan Esai

bersemangat memboyong sumber-sumber pengetahuan dari


Barat dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Jepang
sehingga akses mereka kepada ilmu pengetahuan terbuka
seluas-luasnya. Kemudian Korea Selatan mengikuti jejak para
pembelajar sebelum mereka. Mereka memacu diri dan
sekarang sistem pendidikan mereka menjadi salah satu yang
terbaik di dunia.
Kita menempuh jalan sendiri (selama pemerintahan
Orde Baru kita diyakinkan bahwa bangsa Indonesia adalah
unik) dan kita gagal menyediakan pendidikan yang bermutu
untuk seluruh warga negara. Sekolah-sekolah di pedalaman
atau di daerah-daerah terluar hampir selalu buruk mutunya.
Proses pembelajaran dijalankan ala kadarnya di tempat-tempat
itu. Tidak ada metode pembelajaran yang menjamin
keberhasilan, tidak ada buku-buku.
Artinya, akses terhadap ilmu pengetahuan hampir buntu
sama sekali. Dan kita memaklumi bahwa memang tidak
mungkin pendidikan di daerah terpencil akan memiliki mutu
dan fasilitas yang sama dengan pendidikan di kota-kota besar
di Jawa. Disadari atau tidak, kita memaklumi ketidakadilan dan
menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar.
Untunglah di antara kita selalu ada orang-orang yang
memiliki kepedulian. Ada kesadaran yang makin meluas di

147
A.S. Laksana

kalangan anak-anak muda ikut terlibat dalam memperbaiki


mutu pendidikan. Mereka menjadi relawan, mereka pergi ke
pelosok-pelosok untuk mengajar, mereka memperkenalkan
metode pembelajaran versi mereka.
Di tempat tinggal saya saat ini, di Tulang Bawang Barat,
pemerintah daerah mengupayakan program sejenis yang
disebut Tubaba Cerdas. Itu perbuatan baik, yang dilandasi
dengan niat baik, tetapi kegiatan-kegiatan ad hoc semacam itu
hanyalah aksi darurat karena pemerintah pusat gagal
menyelenggarakan pendidikan bermutu untuk semua warga
negara.
Sekarang, dua pasangan kandidat menjanjikan kehidupan
yang sejahtera. Dua-duanya didukung oleh para politisi
anggota partai dan para relawan. Dan kita memasuki masa
buram: Setiap bentuk pertarungan politik akan membuat kita
gelap mata dan kehilangan respek kepada orang lain.
Saya selalu ingat bagaimana seseorang, yang umurnya
masih muda dan secara fisik tampak sehat, membuat
tanggapan melalui media sosial terhadap pernyataan Gus Mus,
seorang kiai sepuh yang dihormati karena kesantunan dan
kesalehannya. Dengan enteng ia menanggapi Gus Mus:
“Ndasmu!”

148
Kumpulan Esai

Siapa orang itu, saya tidak kenal. Saya hanya kenal Gus
Mus, kiai di Rembang sana, yang tidak terbuai oleh kekuasaan,
apa pun bentuknya, dan selalu menolak posisi-posisi politis
yang datang kepadanya.
Tentu saja anak muda itu dimaafkan. Mudah bagi Gus
Mus untuk memaafkan perilaku seperti itu, tetapi saya selalu
akan mengingat “Ndasmu!” sebagai sebuah peristiwa paling
menakjubkan tentang orang yang tidak memahami arti respek.
Para politisi adalah teladan dalam hal tidak memedulikan
respek. Mereka ingkar janji, mereka mencemooh orang lain,
mereka mencaci maki secara kasar, mereka melakukan bullying.
Mereka yang kalah dalam perebutan kekuasaan mengubah diri
menjadi pembuli—mungkin untuk menunjukkan bahwa
mereka memiliki kekuatan. Menamai kelompok sendiri sebagai
Partai Allah dan menyebut kelompok Partai Setan adalah
tindakan bullying oleh orang yang tidak memahami respek.
Pembuli melakukan tindakan-tindakan demi menegaskan
kekuatan dan pengaruhnya terhadap orang lain. Dan mereka
melakukannya dengan kekerasan: melalui kata-kata, melalui
cemooh, melalui tekanan-tekanan, melalui ancaman, melalui
hoaks, melalui intimidasi. Yang terakhir, dan terasa tidak
masuk akal, adalah melakukan intimidasi kepada Tuhan. Itu
tindakan intimidatif oleh orang yang sudah putus asa.

149
A.S. Laksana

Ketika seseorang tidak tahu bagaimana bersikap hormat


kepada orang lain, ia sudah pasti tidak tahu bagaimana cara
menghormati dirinya sendiri. Andai tidak bisa mengajarkan
akal sehat dengan cara menjadikan diri mesin yang setiap hari
bekerja, secara mekanis, untuk mengeluarkan dua kata
cemooh: “dungu” dan “cebong”. Itu cara yang kurang sehat
dan mendorong orang lain menjadi mesin juga untuk
mengeluarkan jawaban mekanis: “Aku rapopo.”
Respek hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang
waras, yang mampu mengendalikan diri, dan sanggup bersikap
tenang dalam situasi apa pun. Orang-orang yang kesurupan
tidak mungkin sanggup memperlihatkan respek kepada orang
lain.
Saya tahu orang-orang yang kesurupan kadang sanggup
memperlihatkan berbagai kemampuan di luar nalar.
Pengalaman pertama saya melihat orang kesurupan adalah
pada pertunjukan kuda lumping. Pemain kuda lumping yang
kesurupan bisa memperlihatkan kemampuan yang
mencengangkan: ia makan beling, mengoyak sabuk kelapa
dengan giginya, berguling-guling di comberan, dan sebagainya.
Itu sungguh kemampuan di luar nalar, tetapi tidak memiliki
manfaat lebih selain untuk menghibur orang-orang kampung.

150
Kumpulan Esai

Saya tidak sedang menyarankan orang-orang yang


mudah kesurupan untuk menjadi pemain kuda lumping. Saya
ingin menyarankan agar mereka belajar bersikap tenang dan
menjadi orang-orang yang lebih kalem, tidak perlu
mengancam, tidak usah menyebarkan hoaks tentang segala
macam bahaya laten. Tindakan semacam itu buruk dari
berbagai sisi: ia hanyalah upaya menakut-nakuti diri sendiri
dengan pikiran buruk, ia tidak menunjukkan respek.
Lebih buruk lagi, semua yang menakutkan itu tidak akan
pernah terjadi. Setidaknya begitulah menurut Mark Twain atau
entah siapa: “Saya telah menjalani hal-hal mengerikan
sepanjang hidup. Beberapa di antaranya benar-benar terjadi.
Dan mereka tidak mengerikan sama sekali. Yang lainnya hanya
terjadi dalam pikiran.” []

151
A.S. Laksana

Lirik Lagu Terburuk

Pada suatu hari, dan itu hari baik karena saya baru saja
dibelikan sepeda, saya mengayuh sepeda keliling kampung,
merasa sebgai anak paling berbahagia di dunia ini, sambil
menyanyikan lagu yang saya sangat sukai: Kelelawan, oleh
Koes Plus. Di jalanan sepi, saya menyanyikannya pelan atau
hanya membunyikannya dalam hati: “Kelelawar sayapnya
hitam, terbang rendah di tengah malam. Pagi-pagi mereka
pulang, di bawah dahan bergantungan.
Hitam...hitam...hitam...!”
Hanya seperti itu liriknya, menyampaikan truisme
tentang kelelawar bersayap hitam, yang diulang-ulang empat
kali. Bertahun-tahun kemudian saya baru merasa heran kenapa
untuk memberi tahu bahwa kelelawar sayapnya hitam mereka
harus mengulang-ulangnya sampai empat kali.
Tetapi, ada lagu lain yang liriknya lebih buruk dari itu,
lagu yang dulu saya sukai juga, berjudul Aku Harus Jadi
Superstar, dinyanyikan oleh duet Achmad Albar dan Ucok
Harahap, yang menyebut diri Duo Kribo. Lirik lagu itu tidak
152
Kumpulan Esai

hanya buruk, tetapi salah. Ia dibuka dengan sebuah deklarasi:


“Aku sudah jalan di kotakota dunia. Aku sudah makan semua
makanan dunia.”
Setelah itu, kita disuguhi detail tentang kota-kota mana
saja yang sudah dijelajahi oleh si “aku” di dalam lagu itu:
“Amerika, Inggris, Prancis, dan Brazilia. Semuanya kota-kota
besar di dunia.”
Mereka nekat. Amerika, Inggris, dan Prancis bukanlah
kota. Di antara keempat nama “kota” yang mereka sebut,
mereka hanya betul satu, yaitu Brazilia, Ibu kota negara Brasil.
Saya pikir tidak ada yang lebih buruk dibandingkan lirik
lagu itu, ternyata ada. Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Mardani Ali Sera mengumumkan peluncuran lagu tersebut
melalui akun Twitter pada 6 Juni 2018:
“Bismillah...Alhamdulillah dgn izin Allah Swt, Mas Alang dkk
kemarin launching remake video clip lagu
#2019GantiPresiden hasil kolaborasi para pejuang kebaikan.”
Orang sering tidak sadar bahwa dirinya telah melakukan
tindakan wagu. Mardani Ali Sera, yang ikut menyanyi,
mendaku diri pejuang kebaikan. Saya harus menyadarkannya
bahwa ia hanya politisi, begitu juga teman-temannya yang
bernyanyi, dan mereka berjuang untuk mendapatkan
kekuasaan. Jika mereka pejuang kebaikan, mereka tidak

153
A.S. Laksana

menyebut diri sendiri—orangorang lain yang merasakan


kebaikan di dalam tindakan-tindakan mereka yang akan
menyebutkannya.
Lagu itu dinyanyikan beramai-ramai oleh Ahmad Dhani,
Neno Warisman, Amien Rais, Fadli Zion, dan lain-lain, dan
dibuka dengan keluhan: “Dulu kami hidup tak susah. Mencari
kerja sangat mudah. Tetapi kini, pengangguran, semakin
banyak gak karuan.”
Kita perlu menanyakan kepada mereka, yang dimaksud
dengan “dulu” itu kapan dan pada masa kepresidenan siapa.
Sejak merdeka 1945, negara ini baru memiliki delapan
presiden: Soekarno (diturunkan), Soeharto (didesak turun),
Habibie (meneruskan masa kepresidenan Soeharto),
Abdurrahman Wahid (diturunkan), Megawati (meneruskan
masa kepresidenan Gus Dur), Susilo Bambang Yudhono, dan
Joko Widodo.
Barangkali kata “dulu” itu merujuk ke masa yang lebih
jauh lagi pada zaman pra-Indonesia—ketika Hayam Wuruk
berkuasa atau ketika Batavia baru didirikan oleh Juan
Pieterzoon Coen?
Seandainya ada kesempatan dengan Pak Amien Rais,
saya akan menanyakannya sambil memperkenalkan diri dengan
sopan sekali: “Pak Amien, saya dulu kuliah di kampus Anda

154
Kumpulan Esai

mengajar dan saya memilih Anda dalam pemilu presiden


karena ingin melihat Indonesia dipimpin oleh cendekiawan
dari kampus, tetapi ternyata yang menang waktu itu Pak SBY.
Di antara tujuh presiden sebelum Pak Jokowi, masa
pemerintahan siapakah kiranya yang dirujuk oleh kata „dulu‟ di
dalam lagu yang Bapak ikut nyanyikan?”
Pada bagian reffrain, mereka meneriakkan keinginan-
keinginan, ada yang saya setujui ada yang tidak: Kuingin
presiden yang cinta pada rakyatnya (saya setuju). Kuingin
presiden yang tak pandai berbohong (saya setuju). Kuingin
presiden yang cerdas, gagah, perkasa (kekanakkanakan). Bukan
presiden yang suka memenjarakan ulama dan rakyatnya.
Keinginan yang terakhir itu yang paling saya setujui. Saya
sama sekali tidak mau negara ini dipimpin oleh presiden yang
memiliki kesukaan atau hobi memenjarakan ulama. Seseorang
dengan hobi memenjarakan orang lain, entah itu ulama atau
rakyat jelata, tidak mungkin bisa diharapkan menjadi presiden
yang baik. Dengan presiden seperti itu, orang-orang yang saya
hormati, seperti Gus Mus, Buya Syafii Maarif, Pak Quraish
Shihab, dan bahkan Pak Amien Rais sendiri, akan selalu hidup
dalam ancaman. Mereka tentu akan dipenjarakan, tanpa alasan,
semata-mata karena presiden kita suka memenjarakan ulama.

155
A.S. Laksana

Lalu, siapakah presiden yang mereka sebut gemar


memenjarakan ulama dan siapa saja ulama yang sudah
dipenjarakan olehnya tanpa kesalahan? Kita tidak boleh
memilih orang seperti itu dalam pemilu presiden tahun depan.
Saya setuju memiliki presiden yang mencintai rakyatnya,
jujur dalam menjalankan pemerintahan, dan tahu bagaimana
membuat rakyat cerdas. Ia tidak perlu gagah perkasa. Sebab,
kita tidak akan melepaskannya ke gelanggang aduan untuk
bertarung dengan macan Asia, atau badak Afrika, atau kanguru
Australia.
Saya ingin menambahkan satu keinginan yang tidak
mereka sebut; saya ingin para politisi korup diberantas, melalui
tindakan, dan bukan dengan lirik lagu buruk. []

156
Kumpulan Esai

Cara Melupakan Para Maestro

Dengan pikiran seperti apa mereka bekerja dan


membangun situasi sehingga orang yang tampaknya, biasa-
biasa saja pun bisa menghasilkan karya yang bagus?
Pada 1990, Dance with Wolves yang disutradarai dan
dibintangi oleh Kevin Costner meraih Piala Oscar sebagai film
terbaik dan Kevin dinobatkan sebagai sutradara terbaik. Saya
menonton film itu di gedung bioskop setelah membaca kabar
tersebut. Itu film yang membuat saya tercengang bukan karena
ia memang bagus, melainkan karena disutradarai Kevin
Costner. Jika Francis Ford Coppola yang menyutradarai film
tersebut, saya tidak akan tercengang. Coppola sudah membuat
banyak film bagus dengan The Godfather sebagai puncaknya.
Hingga sekarang, sekadar mendengar theme song film tersebut
saya tetap merinding dna ingin menangis sejadi-jadinya karena
film itu bagus sekali.
Namun, Kevin Costner? Sebagai aktor, dia enak
ditonton meski tidak terlalu istimewa. Dia pernah mendapat
Piala Oscar sebagai pameran pembantu. Namun, saya kira, dia
157
A.S. Laksana

belum bisa disejajarkan dengan Marlon Brando, Robert de


Niro, Anthony Hopkins, Meryl Streep, dan para raksasa akting
yang lain. Maka, hal itulah yang mencengngkan. Rupanya,
aktor yang biasa-biasa saja itu bisa juga membuat film bagus
dan mendapat Oscar sebagai sutradara terbaik dengan film
pertamanya.
Lima tahun kemudian, 1995, muncul lagi film yang
memberi saya efek serupa, yakni Braveheart. Film itu dibintangi
dan disutradarai Mei Gibson. Sama dengan Kevin Costner, si
Mad Max yang di layar suka bertindak brutal dan srudak-sruduk
itu ternyata bisa juga membuat film bagus. Pada tahun itu,
Braveheart dinominasikan untuk sepuluh Oscar. Ia memenangi
separonya, termasuk sebagai film terbaik dan Mei Gibson
menjadi sutradara terbaik.
Satu lagi yang lebih mencengangkan ialah Clint
Eastwood, aktor yang sepanjang hidupnya hanya membintangi
film-film kacangan, yang tidak tahu cara tersenyum, dan hanya
tahu cara menembak. Kena senggol sedikit, dia menembak.
Merasa gatal-gatal di punggung, dia langsung mencabut pistol
dan menembak. Namun, astaga!, ketika menjadi sutradara, dia
ternyata menghasilkan film-film bagus yang sama sekali
berbeda dari film-film kacangan yang dibintanginya. Dua
filmnya memenangi Oscar sebagai film terbaik, yakni Unforgiven

158
Kumpulan Esai

dan Million Dollar Baby. Dari dua film tersebut, dia juga
dinobatkan sebagai sutradara terbaik. Dua filmnya yang lain,
Mystic River dan Letters from Iwo Jima, juga bagus.
Bagaimanapun, itu merupakan hal yang menyenangkan
dalam kehidupan di muka bumi; selalu ada yang mengejutkan,
selalu ada yang luput dari perkiraan. Ketika Madonna
memerankan Eva Peron, ibu negara Argentina, dalam film
musikal Evita, dia ternyata bisa membawakan dengan
sempurna lagu-lagu dalam film itu, yang coraknya sungguh
berbeda dari lagu-lagu yang selama ini dia bawakan.
Pada pergelaran Academy Award 2015, kejutan itu
dihadirkan Lady Gaga. Di panggung dia membawakan lagu-
lagu dari film musikal The Sound of Music dengan cara yang amat
bagus. Dia seperti berubah menjadi Julie Andrews, pemeran
Maria, perempuan yang membawakan kegembiraan kepada
anak-anak dari sebuah keluarga yang semula sangat murung.
“Terima kasih, Lady Gaga,” kata Julie Andrews yang kemudian
muncul di panggung, “kau memberiku rasa bahagia.”
Di sana setiap orang seperti bisa membuat karya yang
bagus. Bintang film kacangan pun bisa menjadi sutradara
terbaik. Di sana, jika menginginkan sesuatu, seseorang rupanya
mengetahui cara melakukannya sebaik mungkin. Di sana pula
orang tahu bagaimana menghargai prestasi seseorang dan

159
A.S. Laksana

bagaimana menghargai karya yang bagus. Mereka pintar


menyampaikan penghormatan dalam kalimat-kalimat singkat
yang bagus. Saya sangat menyukai cara mereka menuturkan
kalimat-kalimat pujian. Mereka bisa memuji dalam cara yang
baik dan tahu pada sisi mana dia harus mengarahkan pujian.
Academy Awards tahun ini digelar sekaligus sebagai
penghargaan untuk film The Sound of Music yang sudah berusia
50 tahun. Ketika menonton acara tersebut, saya menjadi sadar
akan satu hal lagi bahwa masalah di negeri kita bukan hanya
korupsi. Itu masalah besar kita, tentu saja. Tetapi, ada masalah-
masalah lain yang, rupanya, kita abaikan selama ini. Kita tidak
pernah tahu cara menghargai orang-orang yang berprestasi. Di
sana, misalnya, ada Hall of Fame dan ada berbagai macam
penghargaan kepada orang-orang yang telah mendedikasikan
diri dalam bidang-bidang yang dia geluti.
Hall of Fame pastilah tidak ada dalam pikiran kita.
Bahkan, buku-buku riwayat hidup para juara yang pernah kita
miliki pun kita tidak punya. Saya selalu menganggap biografi
adalah sebentuk penghargaan bagi orang-orang yang
pencapaiannya layak dicatat dan dikekalkan dalam bentuk
buku. Dengan begitu, orang-orang dari generasi berikutnya
bisa melacak pencapaian dan belajar dari para pendahulu
mereka.

160
Kumpulan Esai

Kita tidak bisa mendapatkan buku riwayat hidup Bing


Slamet, Rudy Hartono, Liem Swie King, Verawaty, Elyas Pical,
Chris John, Benyamin S, Ronny Paslah, dan lain-lain. Tetapi,
kita memang tidak mungkin mengerjakan itu semua. Industri
perbukuan kita tidak sebaik industri perbukuan di negara-
negara maju yang orang-orangnya tahu cara menghargai
mereka yang berprestasi. Jika ada buku biografi di rak toko
buku kita, itu kebanyakan adalah buku yang didanai sendiri
oleh orang yang bersangkutan.
Jejak mereka hilang hanya beberapa tahun setelah
mereka mundur dan tidak mungkin lagi menggeluti dunia
mereka. Dan kita melupakan mereka. Sesekali kita akan
mendengar tentang mereka, para juara di masa lalu itu, ketika
ada wartawan menulis berita tentang mereka. Ada yang
sekarang menjadi satpam, ada yang bernasib mujur
dipekerjakan sebagai mandor, atau staf administrasi
perkantoran. Ada pula yang apes menjadi penarik becak karena
hanya itu kecakapan yang dia miliki sebagai juara balap sepeda
pada masa lalu.
Tentu saja kita susah menyelenggarakan acara semacam
Academy Award. Kita tidak memiliki gedung yang memadai
untuk itu. Kita tidak memiliki pikiran ke arah sana. Kita tidak
memiliki uang untuk acara-acara semacam itu.

161
A.S. Laksana

Kita tidak melakukan sesuatu yang memungkinkan kita


untuk melacak jejak para maestro yang pernah kita miliki. Kita
tidak memiliki gagasan untuk menghargai orang-orang hebat
yang pernah memberi kita perasaan bahagia pada masa jaya
mereka.
Kita tidak memiliki kepedulian terhadap urusan-urusan
“sepele”: menghargai mereka yang pernah berprestasi. Jadi,
sesungguhnya banyak hal yang tidak kita kerjakan. Sebab, itu
semua tidak ada dalam pikiran kita. Anda tahu, kita tidak akan
pernah mengerjakan apa pun yang tidak ada dalam pikiran kita.
Mal-mal megah ada di mana-mana dan yang baru akan
terus tumbuh di tanah-tanah yang masih bisa dibangun. Sebab,
mal megah ada dalam pikiran kita. Tetapi, bagaimana
memajukan perfilman, bagaimana memajukan kesastraan,
bagaimana memajukan industri perbukuan, misalnya, itu
semua tidak ada dalam pikiran para pengambil kebijakan di
negara ini. Jika sesuatu ada dalam pikiran, mereka akan
memikirkan apa saja yang bisa kita butuhkan, langkah apa yang
perlu ditempuh, dan bagaimana menyiapkan diri ke arah sana.
Memang selalu ada individu yang memiliki kepedulian.
Namun, itu sangat menguras tenaga dan sering tidak tampak
pengaruhnya. Upaya-upaya individu hanya akan berhasil jika
negara ini sejahtera dan kebanyakan warganya sejahtera. Dalam

162
Kumpulan Esai

situasi itu, setiap orang akan mampu membiayai apa saja yang
diinginkan. Seseorang bisa membayar guru catur yang paling
hebat di dunia dan akhirat sekiranya dia memiliki kemampuan
mendatangkan guru catur tersebut dan sanggup membiayai
pembelajarannya. Orang bisa mengirim anaknya ke sekolah-
sekolah terbaik untuk memastikan si anak mendapatkan
pendidikan yang dia kehendaki asalkan dia sanggup membayar
uang sekolah.
Untuk sekarang, ketika banyak hal absen dari pikiran
kita, kita sudah akan sangat berterima kasih sekiranya program
asuransi kesehatan untuk semua warga negara berjalan baik.
Dengan banyak urusan yang masih semrawut, dalam situasi
yang sangat membingungkan, dan setiap hari pikiran kita
dihajar oleh berita-berita kejahatan yang meningkatkan rasa
cemas, serta disibukkan oleh berita-berita buruk di seputar
pengelolaan negara, orang akan mudah sakit.
Karena itu, bersamaan dengan program asuransi
kesehatan untuk semua warga, pemerintah mestinya
memikirkan cara menambah rumah sakit umum. Tanpa
penambahan rumah sakit umum, kegunaan asuransi kesehatan
untuk orang miskin juga tidak akan maksimum. Sebab, rumah
sakit akan terpaksa menolak pasien jika memang sudah penuh.

163
A.S. Laksana

Dan orang melarat sangat sensitif. Mereka akan merasa ditolak


oleh pihak rumah sakit karena melarat.
Kalau hal itu juga tidak ada dalam pikiran kita, kita tidak
tahu apa sebetulnya yang ada dalam pikiran para penyelenggara
negara ini. []

164
Kumpulan Esai

Daftar Buku yang Perlu Anda Baca Sebelum Mati

Untuk pertama kalinya dalam hidup, pada akhir pekan


lalu saya sudah memikirkan artikel apa yang akan saya tulis
untuk akhir tahun berikutnya. Saya berencana menulis catatan
akhir tahun berisi 40 buku yang patut dibaca tahun ini.
Tidak ada alasan spesifik kenapa jumlahnya 40 dan
sebetulnya tidak ada juga kewajiban harus 40. Artinya, terserah
saya. Ia bisa menjadi 30 atau 20 atau hanya 10. Bahkan
sembilan boleh juga dan mungkin malahan lebih baik. Seorang
teman yang saleh pernah mengatakan: “Tuhan menyukai angka
ganjil.”
Sekarang, untuk memilih sembulan pun saya bahkan
kesulitan.
Ayah saya meninggal pada Hari Ibu. Tubuh dan pikiran
saya terasa mogok sejak hari itu. Basuki datang melayat.
Teman SD saya itu mengabarkan kepada Anto, teman SD saya
yang lain, bahwa saya ada di Semarang. Anto mengajak saya
melacak teman-teman dan kami menemukan beberapa.

165
A.S. Laksana

Setelah terkumpul beberapa, kami sibuk membicarakan


berbagai kedunguan di masa kecil dan tertawa mengingat salah
satu teman kami. Ia tahu bahwa 5x2=10, tetapi tidak tahu
berapa jumlah 2x5.
Saya sendiri tidak kurang dungu. Saya pernah
menyalakan petasan di kolong warung rokok pada waktu sahur
untuk mengejutkan pemiliknya yang tidur di warung itu,
pernah melempari pintu gereja pada saat pergi bersama teman-
teman untuk menonton bioskop layar tancap. Kami
melakukannya agar diangga sebagai anak-anak pemberani.
Teman kami yang setiap hari Minggu pergi kebaktian di gereja
itu ikut juga melempari gerejanya sendiri.
Tiga hari kami sibuk menggali untuk mendapati bahwa
kami semua sama-sama bodoh.
Pada Selasa sore, sehari sebelum saya meninggalkan
Semarang, kami bertandang ke rumah Bu Her. Ia guru yang
lembut dan cantik bagi mata kanak-kanak kami; dan dua
kualitas yang ia miliki itu—kelembutan dan kecantikan—
bertahan selamanya di benak saya.
Ketika kami bertemu lagi, ia tetap secantik dan selembut
itu, hanya lebih tua 36 tahun dibandingkan terakhir kali kami
melihatnya. Saya mencium tangannya dan memeluknya. Bu
Her menangis, saya menangis.

166
Kumpulan Esai

Dalam situasi seperti ini, saya pikir tidak mungkin


membuat catatan akhir tentang 40 buku yang patut dibaca
tahun ini. Apa boleh buat, catatan semacam itu harus saya
tunda untuk tahun depan. Tidak apa-apa. Setidaknya, saya
menjadi punya waktu untuk mempertimbangkan secara lebih
baik berbagai kriteria untuk memilih buku-buku apa saja yang
patut direkomendasikan.
Semula saya hanya berpikir buku-buku fiksi. Artinya,
hanya buku-buku yang saya minati dan belum tentu diminati
oleh banyak orang. Dengan penundaan setahun lagi, saya bisa
mempertimbangkan tidak melulu jumlahnya, tetapi juga aspek-
aspek lain, misalnya, apa manfaat yang didapat orang dari
membaca buku tersebut.
Berpikir tentang manfaat membaca buku, mau tidak
mau saya harus membaginya berdasarkan kelompok umur:
anak-anak, remaja, dewasa muda, dan dewasa tua.
Untuk kategori buku anak-anak, tidak ada buku-buku
yang lebih layak disodorkan selain buku-buku tentang
bagaimana cara menjadi anak saleh. Penting bagi setiap anak
untuk mengetahui bagaimana cara menjadi anak saleh sebab
hidup di dunia ini hanya sementara dan hidup di akhiratlah
yang kekal. Menjadi anak saleh adalah bekal untuk menjalani
kehidupan yang kekal di akhirat kelak.

167
A.S. Laksana

Karena negara ini mengakui beberapa agama dan


mengayomi juga aliran-aliran kepercayaaan, daftar buku itu
nanti harus mencakup pelajaran kesalehan dari semua agama
dan aliran kepercayaaan yang diakui oleh pemerintah. Dan saya
harus sangat teliti dalam urusan ini, jangan sampai salah ketik,
jangan sampai melantur.
Keteloderan kecil, yang tentu tidak saya sengaja, sudah
cukup membuat saya sengasa dan orang bisa menuduh saya
sedang melakukan pemurtadan. Mereka akan mengamuk jika
saya keliru menyarankan buku-buku anak saleh versi agama
Budha kepada anak-anak Kristen atau Hindu, atau
menyarankan buku-buku anak saleh versi Katholik untuk
anak-anak Islam dan sebaliknya.
Untuk kategori buku-buku remaja, saya masih akan
berfokus pada buku-buku pembentuk kesalehan. Ini
kelanjutan logis dari daftar pilihan untuk kategori buku anak-
anak. Remaja-remaja yang saleh adalah dambaan para orang
tua. Saya tidak mungkin keliru dalam hal ini. Jika ada anak-
anak atau remaja berulang tahun, para orang tua akan
mengirimkan ucapan selamat ulang tahun melalui media sosial
dan biasanya mereka menyertakan harapan: Semoga menjadi
anak yang saleh.

168
Kumpulan Esai

Buku-buku yang bermanfaat untuk pembaca dewasa


muda adalah buku-buku dengan tema pengendalian hawa
nafsu dan teknik-teknik memilih jodoh berdasarkan iman.
Tentu saja penting untuk mendapatkan jodoh yang cantik atau
tampan, tetapi iman memiliki kualitas di atas segala mutu
duniawi.
Dalam kategori dewasa muda ini, saya berjanji akan
tegas terhadap diri sendiri. Sekiranya ada buku tentang
“bagaimana membujuk kekasih hati agar sukarela
meninggalkan agamanya dan mengikuti agama kita”, saya tidak
akan merekomendasikannya.
Harus diakui bahwa buku semacam itu sangat penting
bagi pembaca dalam kategori ini. Ia akan menjadi bagian dari
persiapan mereka untuk membangun keluarga bahagia dan
mewujudkan cita-cita luhur dunia-akhirat. Mungkin kita sudah
cocok dengan kekasih kita dan yakin bahwa ia bisa menjadi
pasangan yang baik untuk kehidupan di dunia, tetapi, sialnya,
ia berbeda keyakinan.
Melepaskannya begitu saja akan membuat kita suka
melamun, lalu menjadi gemar menangis tanpa alasan, dan
lambat laun tersenyum-senyum sendiri di tiap perempatan
jalan. Itu bukan kehidupan yang baik dan saya harus

169
A.S. Laksana

mengingatkan. Tidak baik menjalani hidup dengan cara


tersenyum-senyum sendiri di tiap perempatan jalan.
Nekat membangun rumah tanggal sambil
mempertahankan perbedaan juga mengandung resiko besar.
Apa gunanya kebahagiaan hidup di dunia jika berantakan dan
tercerai berai di akhirat?
Jalan menuju akhirat begitu licin dan orang bisa dengan
mudah terpeleset di jalanan licin karena membela hal-hal
duniawi. Karena itu tidak bisa dimungkiri bahwa buku
“bagaimana membujuk kekasih hati agar sukarela
meninggalkan agamanya dan mengikuti agama kita” adalah
buku sangat penting. Namun saya tidak ingin
merekomendasikannya semata-mata karena tidak ingin dituduh
sedang melakukan pemurtadan.
Untuk kategori dewasa tua, tidak ada yang lebih cocok
ketimbang buku-buku kumpulan sembarang doa: doa terbebas
dari penyakit prostat dan masuk angin, doa terbebas dari
belitan utang, doa terhindar dari api neraka, doa terhindar dari
bujuk rayu iblis, dan sebagainya. Buku-buku lain yang juga
sangat penting adalah segala jenis buku tentang bagaimana
mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya dalam waktu
singkat.

170
Kumpulan Esai

Buku-buku teknik berpasrah diri dan bagaimana


menikmati pikiran tenteram menjelang ajal juga merupakan
pilihan yang patut dipertimbangkan. Tidak ada kebutuhan yang
lebih hakiki untuk orang-orang dalam kelompok dewasa tua
selain buku-buku panduan menuju surga.
Sebagai penguat iman, buku-buku dialog dengan jin,
baik muslim maupun nonmuslim, atau percakapan dengan
leak, atau wawancara dengan iblis dari India, dan lain-lain yang
semacam itu juga bisa dijadikan rujukan.
Mengikuti ucapan teman saya bahwa Tuhan menyukai
angka ganjil, untuk masing-masing kelompok saya akan
memilih sembilan buku dengan manfaat yang jelas:
membimbing manusia ke jalan menuju akhirat yang bahagia.
Itu berarti jumlah keseluruhannya akan menjadi 36. Ini
angka genap. Tuhan kurang menyukai angka genap. Satu buku
lagi ditambahkan agar menjadi 37. Baiklah, satu buku
tambahan: Kitab Suci.
O, saya pikir, anda malahan tidak perlu membaca buku-
buku lain. Satu buku saja sepanjang hayat sudah cukup. []

171
A.S. Laksana

Kenapa Jurnalis Kita Menulis Berita Secara Buruk

Salah satu siksaan terberat yang harus dihadapi oleh


warga negara Indonesia yang senang membaca berita adalah ia
akan bertemu setiap hari dengan berita-berita yang ditulis
secara buruk.
Karena keburukan itu muncul setiap hari, kita boleh
menyimpulkan bahwa mereka memang tidak mengerti cara
menulis bagus. Orang-orang yang tidak tahu cara menulis
bagus biasanya tidak risau menghasilkan tulisan buruk. Dan
sebagian dari mereka mungkin tidak menyadari bahwa tulisan
mereka buruk.
Jadi, mereka akan terus menyiksa kita dengan tulisan-
tulisan mereka, setiap hari sampai mereka pensiun kelak atau
sampai mereka memutuskan berganti profesi, misalnya
menjadi petani kecambah atau pedagang kuda.
Perhatikan tulisan berikut, penggalan dari sebuah berita
berjudul Industri 4.0 Mendorong Sektor Konstruksi Lebih Efisien.
Saya menemukan berita itu di internet setelah memasukkan
kata kunci “industri 4.0” pada mesin pencari. Berita itu ditulis
172
Kumpulan Esai

dengan dorongan tak tertahankan pada wartawannya untuk


menerapkan prinsip satu paragraf satu kalimat.
Kehadiran teknologi berbasis data dan informasi di
bidang konstruksi memberikan pengaruh pada metode
pembangunan dan sudut pandang para pelakunya.
Para pekerja yang terlibat dalam industri konstruksi
harus memanfaatkan teknologi sebaik-sebaiknya, serta
tetap mempertimbangkan penggunanaan sumber daya
alam secara efektif dan efisien.
Artinya, teknologi harus dimanfaatkan untuk bisa
menghemat energi semaksimal mungkin sehingga
sumber daya alam tidak cepat habis.
Pada saat menulis, hal pertama yang perlu kita
pertimbangkan adalah kita tahu apa saja yang akan kita
sampaikan. Kedua, kita harus membuang truisme jauh-jauh.
Tidak perlu kita menulis: Unggas adalah hewan bersayap;
secara umum mereka bisa terbang, tetapi ada juga yang tidak
bisa terbang.
Tidak ada satu orang pun yang bisa menyangkal
kebenaran pernyataan kita tentang unggas. Tetapi apa gunanya
menyampaikan hal itu? Semua orang sudah tahu bahwa unggas
adalah hewan bersayap dan seterusnya.

173
A.S. Laksana

Kalimat pertama dalam berita tentang indusri 4.0 dan


sektor industri adalah sebuah truisme. “Kehadiran teknologi
berbasis data dan informasi di bidang konstruksi memberikan
pengaruh pada metode pembangunan dan sudut pandang
pelakunya.” Kalimat ini sepenuhnya benar. Kehadiran
teknologi baru, entah itu berbasis uap atau berbasis data, tentu
akan berpengaruh pada sudut pandang para pelakunya.
Kalimat kedua dan ketiga adalah petuah umum yang
juga tidak perlu ditulis karena semua orang sudah tahu.
Jadi, tiga kalimat pertama dalam berita itu harus dibuang.
Itu berarti si wartawan menulis straight news dengan cara
menyalahi prinsip segitiga terbalik: ia mengisi bagian awal
berita, yang semestinya informasi paling penting, dengan
informasi-informasi yang semuanya harus dibuang.
Jika anda membaca utuh berita itu, anda akan mendapati
bahwa semua paragrafnya harus dibuang. Artinya, berita itu
tidak perlu ditulis. Narasumber hanya menyampaikan petuah
umum, wartawannya tidak tahu apa yang harus ditanyakan.
Saya menemukan berita itu karena ingin melihat
bagaimana cara media kita menulis tentang industri 4.0 dan
bagaimana media barat menulis tentang topik itu—apa yang
kita bicarakan dan apa yang mereka bicarakan. Kesimpulan
saya, media kita tidak tahu apa-apa tentang industri 4.0. Kita

174
Kumpulan Esai

hanya ikut bicara: ikut berbunyi tetapi tidak menyampaikan apa


pun, seperti bunyi-bunyian yang keluar dari mulut orang latah.
Contoh lain tentang tulisan buruk adalah penggalan di
bawah ini:
Kejujuran merupakan basis atau orientasi nilai
tindakan yang hasil atau dampaknya memiliki makna
secara personal dan kolektif. Namum, ketika kejujuran
sudah jadi mitos, publik hanya bisa mengenalinya
sebagai kepercayaan yang ada, tetapi sulit dibuktikan.
Kejujuran, kebaikan, dan kebenaran, di dalam masyrakat
yang tidak tulus dan culas, telah diolah jadi ekstrak dan
bibit parfum, lalu dicampur dengan cairan-cairan
kearifan. Selanjutnya dikemas dalam botol-botol parfum
hipokrisi yang disemprotkan pada setiap kebusukan.
Para pemakai parfum hipokrisi merasa dirinya bersih
berkat bau harum yang menguar dari dirinya. Untuk
sementara waktu, bau harum itu mampu memperdaya
masyarakat untuk menaruh kepercayaan sehingga
mereka tetap bisa bertahan pada posisi sosial-politiknya.
Kalimat pertamanya alot sekali dan saya yakin anda tidak
sanggup mencernanya. Saya juga tidak akan memaksakan diri
untuk mencerna sesuatu yang tidak bisa dikunyah.

175
A.S. Laksana

Kenapa ia tidak menuliskannya simpel saja? Ketimbang


dijadikan gelembung sabun, paragraf itu jauh lebih indah
ditulis dalam satu kalimat: Stock orang jujur di negara ini
sudah habis; yang berlimpah hanya orang-orang yang bermanis
muka di depan kita dan merampok di belakang punggung kita.
Satu gelembung sabun lagi:
Meskipun konfigurasi politik mengalami
pembentukan ulang usai Pemilu 2014, dampak polarisasi
politik terus terbawa hingga menjelang Pemilu 2019 ini.
Apalagi dengan dijalankannya politik kebencian berbasis
identitas, perkubuan di kalangan elite merembes hingga
mengarah pada suatu tribalisme politik dengan
pertentangan tajam secara horizontal di kalangan massa.
Ketika politik kebencian tidak mendapatkan antusiame
pemilih dalam Pilkada Serentak 2018, politik nasional
bukan lantas beringsut meningkat kualitasnya.
Kita bisa membuatnya lebih ringkas dan lebih elegan
dalam satu kalimat: Peta dukungan berubah seusai pemilu
2014, namun suasana kebencian, yang dibangun melalui
perkubuan dan doktin agama, tetap terasa hingga sekarang dan
para politisi masih memanfaatkannya untuk kepentingan
mereka.

176
Kumpulan Esai

Orang sering ingin tampak pintar dengan cara


menuliskan kalimat-kalimat yang ruwet, memamerkan
kosakata yang menggelembung, dan mengobral jargon. Dan
mereka tidak akan tampak pintar dengan cara seperti itu.
Mereka hanya tampak pretensius.
Saya pikir mereka perlu menyadari bahwa pembaca tidak
akan sudi meluangkan waktu atau mendedikasikan diri untuk
memahami kalimat-kalimat ruwet. Tetapi, tidak apa-apa juga
jika mereka mau menyadari. Dua penggalan terakhir itu adalah
urusan pribadi para penulis artikel. Tidak ada yang bisa
menghentikan kesukaan orang bermain gelembung sabun.
Yang lebih buruk dari kesukaan tiap-tiap individu adalah
cara wartawan kita menulis buruk.
Pers kita mengalami perubahan besar sejak reformasi 20
tahun lalu. Ada kebebasan, ada kemudahan dalam mendirikan
perusahaan pers, dan ada medium baru yang, secara teoritis,
memungkinkan orang-orang dengan modal kecil menerbitkan
media massa. Semua aspek yang menjadi impian para jurnalis
sudah kita dapatkan saat ini.
Dengan itu semua, kita menghasilkan para wartawan
yang menulis berita dalam gaya yang buruk. Kalimat ini tidak
tepat, sebab keburukan tidak bisa disebut gaya. Ia hanya hasil
dari ketidakcakapan.

177
A.S. Laksana

Dan ketidakcakapan itu sekarang sudah menjadi standar.


Setiap saat kita bisa menjumpai berita yang ditulis dengan
model seperti ini:
Di lokasi kejadian, seorang saksi mata
menceritakan kepada para wartawan yang
mewawancarainya. Menurutnya, pelaku penjambretan
itu seorang pengendara motor berjaket hitam.
“Pelakunya pengendara motor berjaket hitam,”
ujarnya.
Mestinya para redaktur paham bahwa kutipan langsung
dalam sebuah berita adalah alat untuk menyampaikan
informasi, bukan alat untuk menjadikan narasumber terlihat
seperti beo yang senang mengulang informasi yang sudah
disampaikan sebelumnya.
Berita yang ditulis buruk bukan hanya menjengkelkan
untuk dibaca, ia juga tidak membantu pembaca untuk lebih
memahami realitas. Ditambah dengan kegemaran menguber
sensasi, tingkat keburukan itu akan makin bertambah: Media
massa kita, sadar atau tidak, cenderung menjadikan dirinya
corong bagi perangai kasar, percekcokan, dan melodrama.
Untuk semua gejala menakjubkan seperti itu, para
akademisi di jurusan ilmu komunikasi kelihatannya tidak
tergerak menyumbangkan pemikiran yang berarti tentang

178
Kumpulan Esai

jurnalisme kita. Ada kekeliruan, dan tidak ada yang peduli.


Artinya, kita masih akan lama disiksa oleh berita-berita yang
ditulis buruk. []

179
A.S. Laksana

Poligami, Perempuan yang Patuh, dan Tanda Kiamat

Sepotong percakapan di grup WhatsApp antara dua


orang dewasa, sesama penulis (karena grup itu beranggotakan
para penulis), saya jumpai pada pagi hari begitu saya bangun
dan melompat dari tempat tidur dan berjalan tergopoh-gopoh
meraih ponsel di atas meja. Pagi itu seseorang mengabarkan
situasi gelap: “Sepertinya ini era menuju kiamat...apa saja
hancur...terutama di Indonesia.”
“Apanya yang hancur?” satu orang menyangkal. “Saya
menerima banyak job. Jadi sangat optimis dan bahagia.”
Mereka melihat pemandangan yang berbeda, tetapi itu
perbedaan yang mudah dijelaskan: orang yang berkubang
dalam kegelapan memang senang membuat kesimpulan
apokaliptik bahwa sebentar lagi kiamat datang, gunung-gunung
diterbangkan, bumi dan langit dibolak-balik, sementara orang
yang mendapatkan banyak job, apalagi jika situasi banyak job itu
berjalan ajek, tentu akan menganggap hidup ini bahagia. Setiap
hari ia akan merasa berada di taman, memandangi warna-warni
yang indah dan mencium harum bunga-bunga.
180
Kumpulan Esai

Di grup lain lagi, ada teman yang membagikan cerita


berisi pelajaran untuk kaum perempuan. Pesan utama cerita
tersebut dinyatakan dalam kalimat seperti ini: “Jika suamimu
berkenan padamu, maka Allah pun berkenan.”
Syukurlah bahwa saya lahir sebagai laki-laki, tidak ada
perintah kepada saya untuk kepada istri dan tidak ada pesan:
“Jika istrimu berkenan padamu, maka Allah pun berkenan.”
Cerita itu, selain menyampaikan pesan bahwa istri yang
baik adalah yang patuh dan mampu membuat suaminya selalu
berkenan, juga menyampaikan pelajaran lain bahwa cara
mendramatisasi jasa dan pengorbanan orang tua kepada anak.
Saya kurang cocok dengan dramatisasi seperti itu. Menurut
saya anak-anak tidak berutang sama sekali kepada orang tua.
Mereka sudah membuat bahagia orang tua sejak hari pertama
mereka lahir, atau bahkan sejak mereka ada di dalam
kandungan.
Dalam posisi saya sebagai ayah bagi anak-anak, saya
sudah menyampaikan kepada meraka: “Nanti kalian akan
memiliki kehidupan sendiri dan kalian tidak berutang sama
sekali kepada saya. Kalian boleh ingat kepada orang tua, kalian
boleh tidak ingat. Tetapi kalian sudah membuat saya bahagia
dengan kehadiran kalian, dan rasa bahagia yang kalian
datangkan itu tidak ternilai harganya. Saya tidak mampu

181
A.S. Laksana

membayarnya. Jadi, yang paling penting bagi kalian adalah


membangun diri sebaik-baiknya dan mengupayakan kehidupan
kalian sendiri kelak dalam cara terbaik yang bisa kalian
upayakan.”
Kemudian saya bergeser ke grup lain dan mendapati
seseorang membagikan iklan kelas nasional poligami. Sudah
beberapa kali saya menerima kiriman iklan ini, semuanya
disertai komentar meledek.
Sekiranya anda berminat mendapatkan empat istri dalam
waktu singkat, anda perlu mengikuti kelas ini. Ustad Vicky
Abu Syamil akan mengajari anda cara cepat mendapatkan istri
empat. Reputasinya tidak perlu diragukan. Iklan itu
mencantumkan keterangan siapa dirinya secara ringkas:
Konsultan dan praktisi 4 istri. Jadi, anda akan dibimbing oleh
orang yang tepat.
Dari status Facebook Kalis Mardiasih, saya
mendapatkan informasi tambahan mengenai Pak Syamil. Ia
adalah pemilik bisnis terapi seks tahan lama. Untuk
mengiklankan jasanya ia mengelola situs web yang
mencantumkan keterangan “dipimpin oleh saya pribadi
dengan bantuan keempat istri di luar waktu dan tugas utama
mereka sebagai istri dan ibu untuk anak-anak.”

182
Kumpulan Esai

Saya tidak memiliki pendapat tentang kelas tersebut:


apakah ia seharusnya dilarang atau diizinkan. Penyelenggaranya
saya yakini adalah orang-orang yang sangat paham hukum
agama dan jika saya menyerukan, “Kelas seperti ini harus
dilarang karena memalukan dan membuat kita tampak seperti
bangsa kuno!” saya takut seruan seperti itu jangan-jangan
masuk dalam kategori penistaan agama.
“Poligami itu adalah syariat dari Allah dan dicontohkan
oleh Rasulullah. Jadi, jangan main-main dengan poligami,” kata
Arifin Ilham, praktisi 3 istri, dan ia bisa memberi nasihat
kepada kita tentang keutamaan berpoligami.
Tentu saja anda tidak boleh main-main dengan syariat
dari Allah. Saya juga tidak akan bermain-main dan karenanya
hanya berharap semoga para peserta kelas nasional poligami
itu, berapa pun jumlahnya, kelak menjadi lelaki-lelaki ampuh
yang semuanya terampil dalam berpoligami, cepat
mendapatkan istri empat, dan tahan lama dalam bercinta—jika
ada bonus terapi dari Pak Syamil. Saya pikir itu salah satu
ukuran keberhasilan kelas nasional poligami ini.
Dari iklan poligami, saya balik lagi membuka grup yang
membagikan cerita tentang kepatuhan istri, karena ada
sejumlah notifikasi baru yang masuk. Tidak ada yang perlu

183
A.S. Laksana

ditanggapi. Lalu saya baca sekali lagi komentar pertama saya


terhadap cerita itu.
Sungguh, saya akan kagum terhadap kebesaran hati dan
keikhlasan saya dalam merawat anak-anak sekiranya kalimat
yang saya sampaikan itu adalah hasil pemikiran saya sendiri,
sayangnya bukan saya. Saya hanya menuturkan ulang
pemikiran Abraham Lincoln, yang menjelaskan kenapa ia tidak
pernah pulang sejak meninggalkan rumah orang tuanya pada
umur delapan belas.
“Saya sudah berbakti kepada orang tua dan membuat
mereka bahagia sejak hari pertama saya dilahirkan hingga hari
terakhir saya di rumah mereka,” katanya. “Jika saya terus
bertahan di rumah itu, saya tidak akan ke mana-mana dan
hanya akan meneruskan jalan hidup mereka.”
Itu pemikiran yang mengesankan dan saya sepakat pada
pemikirannya, sebab ia membuat saya berpikir. Benar juga,
anak-anak sudah membuat saya berbahagia sejak mereka lahir.
Saya bahagia melihat tingkah laku mereka, saya bahagia
menciumi mereka, saya bahagia mendengar saat mereka
menangis, tertawa, dan belajar bicara. Dalam seluruh tindakan
mereka, anak-anak sudah berbakti kepada saya dengan cara
membuat saya bahagia.

184
Kumpulan Esai

Pernyatan Lincoln itu membuat saya seketika


memutuskan tidak akan mengutuk anak-anak menjadi batu
sekiranya mereak kelak melupakan saya.
Dan seandainya mereka benar-benar melupakan orang
tua, saya tidak akan menyakiti diri sendiri dengan memandang
dunia sebagai kegelapan dan tidak berminat menganggap hal
itu sebagai tanda-tanda kiamat. Saya takut menjadi orang sial.
Menurut Richard Wiseman, di dalam bukunya The Luck
Factor: Changing Your Luck, Changing Your Life—The Four
Essential Principles, orang-orang yang memilih berkubang dalam
kegelapan biasanya memiliki bakat alam sial. Orang-orang yang
beruntung selalu mampu melihat cahaya, bahkan dalam situasi
terburuk yang ia hadapi. Orang-orang sial mengalami kesialan
dalam situasi apa pun. Madhep ngalor sial, madhep ngidul sial.
Mlaku ngulon sial, mlayu ngetan sial.
Itu karena dalam setiap situasi ia hanya melihat tanda-
tanda kiamat. Ia akan menafsirkan gejala apa saja sebagai tanda
bahwa kiamat sudah dekat: mendengar suara bayi menangis
tengah malam, tanda kiamat; ada cecak jatuh dari langit-langit
ruangan menimpa kepalanya, tanda kiamat; kandidat yang
didukungnya kalah dalam pemilihan, besok kiamat.
Jadi, demi mengulangi kesialan, saya menyarankan anda
menimbang berkali-kali untuk menulis kalimat ini: “Sepertinya

185
A.S. Laksana

ini era menuju kiamat...apa saja hancur...terutama di


Indonesia.”
Kalimat seperti itu hanya mengabarkan kegelapan
pikiran anda sendiri. []

186
Kumpulan Esai

Apakah Penulis Kita Kalah Bermutu?

Beberapa pembaca menanyakan perihal Shakespeare


setelah tulisan saya yang terakhir menyebut-nyebut pujangga
Inggris itu. Salah satu terasa seperti menggugat, perlukah kita
mempelajari pujangga dari negara lain dan kenapa kita tidak
mempelajari pujangga kita sendiri. “Apakah Anda menganggap
penulis asing jauh lebih baik dibandingkan penulis kita
sendiri?” tanya dia.
Saya menjawab cukup panjang, tetapi intinya seperti ini.
“Ya, apa boleh buat. Tidak semua penulis asing lebih bagus.
Tetapi, sejumlah nama besar yang kita kenal, baik para
pemenang Nobel Sastra maupun nama-nama lain yang tidak
memenangi Nobel Sastra, jelas lebih bagus ketimbang para
penulis yang kita miliki.”
Membandingkan mutu karya para penulis tentu saja
tidak sama dengan membandingkan kekuatan para petinju di
ring adu jotos. Berbeda juga dengan membandingkan mana
yang lebih enak, tempe atau hamburger. Ketika menyebut-
nyebut Shakespeare dalam tulisan yang lalu, saya hanya ingin
187
A.S. Laksana

menyampaikan bahwa kita sesungguhnya belajar dari siapa


saja, dari penulis mana saja, agar kita memiliki seluruh
kecakapan yang kita perlukan untuk menyampaikan masalah-
masalah kita sendiri.
Pujangga Inggris itu cakap dalam mengolah emosi-emosi
manusia. Dia juga mampu mengangkat dialog antarmanusia ke
level yang lebih tinggi, seperti pertemuan antar pemikiran,
ketimbang obrolan pergunjingan sehari-hari. Dialog dalam
karya sastra, Anda tahu, bukanlah tiruan belaka dari
percakapan sehari-hari. Jika Anda menganggap dialog yang
baik adalah yang seperti kenyataan, silakan Anda merekam
obrolan sehari-hari tetangga Anda dan ubahlah rekaman itu
dalam bentuk tertulis, apa adanya, dan Anda akan mendapati
bentuk percakapan yang membosankan untuk dibaca.
Satu orang menganggap saya terlalu mengagungkan
karya penulis asing dan memandang rendah karya penulis kita
sendiri. Saya tidak ingin membantah hal itu. Bagi saya, karya
sastra tidak mengenal batas-batas geografi. Sebagai pembaca,
urusan saya adalah memilih buku-buku bacaan yang bagus.
Saya akan lebih memilih buku karya penulis dari Somalia atau
Timbuktu, misalnya, jika ia memang bagus dan ada
terjemahannya dalam bahasa yang bisa saya cerna ketimbang

188
Kumpulan Esai

membaca karya tetangga sendiri, anak bangsa dari Desa


Tambaklorok, yang sama sekali tidak bagus.
Karena itu, saya akan sangat senang jika di toko-toko
buku tersedia karya para penulis bagus, dari mana pun asalnya,
dan dalam terjemahan yang baik mutunya. Buku-buku
terjemahan yang baik mutunya akan membuat kita lebih
mudah mengakses karya-karya dari mana saja. Sebab, Anda
tahu, jauh lebih banyak di antara kita yang tidak bisa membaca
buku-buku berbahasa asing. Mereka berhak juga mendapatkan
bacaan-bacaan yang bagus agar tidak kalah terlalu jauh jika
dibandingkan dengan orang-orang yang mampu membaca
buku-buku berbahasa asing.
Namun, masih ada masalah lain seandainya buku-buku
bagus itu ada di rak toko buku. Kebanyakan dari kita tidak
suka membaca dan saya tidak yakin sistem pendidikan kita
akan bisa mengajarkan kesastraan secara lebih baik. Sekolah
kita bahkan gagal melahirkan siswa-siswa yang gemar
membaca buku. Itu masalah serius pendidikan kita. Dengan
sistem pendidikan yang tidak mampu melahirkan orang-orang
yang gemar membaca, perkembangan ilmu pengetahuan akan
tersendat-sendat. Bagaimanapun, para pemikir menyampaikan
pengetahuan mereka melalui buku-buku yang mereka tulis dan
kita menyerap pengetahuan dari mereka melalui tindakan

189
A.S. Laksana

membaca. Rata-rata dari kita tidak cakap dalam dua hal itu:
menulis dan membaca.
Dalam sistem pendidikan yag mengajarkan kecakapan
berbahasa secara bagus, para siswa mungkin sudah
diperkenalkan dengan nama-nama besar sejak kanak-kanak.
Karya-karya Shakespeare, Cervantes, dan berbagai karya klasik
sudah diperkenalkan kepada siswa-siswa SD melalui saduran
untuk pembaca pemula. Beberapa dari kita baru akan
mengenal nama-nama itu bertahun-tahun nanti atas upaya
sendiri karena merasa harus belajar dari berbagai sumber. Dan
itu berarti kita sudah kalah start bertahun-tahun jika
dibandingkan dengan mereka.
Bila dibandingkan dengan anak-anak di sana,
kemampuan berbahasa kita lebih rendah dan itu tampaknya
tidak dianggap sebgai hal yang merisaukan. Padahal, transfer
pengetahuan akan berlangsung beres ketika orang memiliki
kemampuan berbahasa yang baik. Pemikiran disampaikan
melalui bahasa dan sebaliknya, dengan kemampuan berbahasa
yang baik, orang akan mampu mencerna pemikiran.
Secara tidak langsung, dengan mempertahankan sistem
pendidikan yang seperti sekarang, sekolah kita hanya mampu
melahirkan orang-orang yang senang menonton televisi,
senang bergunjing, atau menyukai dunia yang ingar-bingar.

190
Kumpulan Esai

Tetangga atau teman kita mengajak bergunjing, menyampaikan


prasangkanya tentang orang lain dan kita sepakat dengan apa-
apa yang dia katakan, serta kita mengisi pikiran dengan sosok
orang yang kita benci menurut gambaran yang disampaikan
oleh orang lain. Televisi menawarkan kepada kita acara-acara
yang membuat kita terharu oleh hal-hal yang tidak ada sangkut
pautnya dengan kehidupan sehari-hari. Emosi kita diaduk-aduk
oleh acara pemilihan idola cilik. Kita menghabiskan waktu di
depan televisi untuk menyaksikan berita-berita kejahatan di
sekitar kita. Ia memberi tahu kita satu hal: Dunia ini tidak
aman.
Padahal, dunia ini baik-baik dan kehidupan berjalan
baik-baik saja. Orang-orang jahat ada di setiap masa. Orang-
orang baik juga ada di setiap masa. Yang Anda anggap sebagai
kenyataan sesungguhnya adalah proyeksi dari pandangan dunia
Anda. Jika Anda menganggap diri Anda adalah orang yang sial,
begitulah Anda. Jika Anda menganggap diri Anda orang yang
beruntung, begitu pulalah Anda. Itu yang disampaikan Emile
Coue, pelopor teknik sugesti diri, yang menyampaikan kepada
kita bahwa masalah terbesar kita adalah pemikiran kita tentang
diri sendiri.
Kesukaan terhadap keriuhan, Anda tahu, lazim terjadi
pada orang-orang yang tidak gemar membaca dan menulis.

191
A.S. Laksana

Membaca dan menulis adalah tindakan asketis yang


memerlukan kesediaan orang untuk memasuki dunia yang
hening dan sunyi serta menjauhi dunia yang riuh.
Kalau itu semua telanjur, dan memang susah sekali
mendorong orang yang tidak suka membaca menjadi suka
membaca—sebetulnya sangat susah mengubah kebiasaan, apa
pun jenisnya--, yang masih bisa kita syukuri adalah kita
memiliki pikiran. Salah satu topik yang saya sukai adalah
keajaiban pikiran.
Di India, ada orang sakti yang tidak makan dan minum
selama dua belas tahun. Dia makan dan minum hanya dengan
bermeditasi, memfokuskan pikiran di bawah cahaya matahari
pagi serta menjadikan sinar matahari yang diserap dari
keningnya untuk memenuhi kebutuhan makan dan minumnya.
Saya bayangkan jika ingin makan rendang, dia hanya perlu
berjemur sebentar di bawah matahari. Demikian pula jika dia
perlu makan lontong opor atau makan semur jengkol.
Dia bukan tukang sulap dan tidak mencari uang dengan
atraksi-atraksi. Dia seorang pertapa, yang menjalani hidup
dengan menenteramkan pikiran dan mencoba menjalani cara
hidup yang muskil.
India adalah salah satu pusat keajaiban. Di sungai
Gangga, ada ritual yang melibatkan dua belas juta lelaki

192
Kumpulan Esai

telanjang. Mereka melumuri sekujur tubuh, entah dengan


serbuk kapur entah dengan tepung, dan menceburkan diri ke
sungai. Orang-orang suci dari kalangan mereka memperagakan
gerakan-gerakan ajaib. Salah satunya adalah membungkukkan
badan, mengarahkan mulut ke telapak kaki, kemudian
mengisap jempol kaki sendiri.
Itu hanya salah satu cara menghibur diri sendiri—
melalui situs YouTube. Beruntung bahwa sekarang kita bisa
mengembara ke mana saja dengan hanya duduk di depan
komputer. Hiburan lain yang masih saya lakukan hingga
sekarang adalah membaca cerita anak-anak. Saya masih senang
membaca lagi Pippi si Kaus Kaki Panjang, misalnya, membaca
karya H.C. Andersen, membaca dongeng-dongeng dari
berbagai negara. Saya masih senang membaca dongeng-
dongeng yang dikarang Enid Blyton, pengarang Lima Sekawan
yang sangat populer ketika saya remaja. Lalu, saya tahu bahwa
Toni Morrison, pemenang Nobel Sastra, rupanya juga menulis
beberapa cerita anak-anak. Antonio Skarmeta, penulis bagus
dari Cile, juga menulis cerita anak-anak.
Saya membayangkan betapa beruntung anak-anak di
negara-negara lain yang perbukuannya maju serta tradisi
membaca dan menulisnya jauh lebih baik daripada kita. Sejak
kecil, mereka diperkenalkan dengan nama-nama besar di dunia

193
A.S. Laksana

sastra. Jika dibandingkan dengan anak-anak di sana, kita sangat


terlambat dalam mengenal sastra dan kita kalah dalam urusan
membaca. []

194
Kumpulan Esai

Alia dari Basra

Di Basra, Irak, perpustakaan pusat adalah tempat


pertemuan yang menyenangkan dan para pecinta buku
meluangkan waktu tiap sore ke sana. Mereka adalah para
dokter, para pengacara, profeseor, dan seniman. “Kantor saya
bukan ruangan pejabat, ia adalah ruang pertemuan bagi para
sahabat,” kata Alia Muhammad Baker, perempuan yang sudah
14 tahun menjadi kepala perpustakaan Pusat Basra.
Tetapi sore yang nyaman di perpustakaan kemudian
berubah menjadi saat-saat yang menegangkan. Sekutu
menyiapkan penyerbuan dan orang-orang mulai membicarakan
perang yang tampaknya tinggal menunggu waktu.
Sejarah berulang, kata orang, dan Alia cemas bahwa hal
itu benar. Pada waktu kanak-kanak, ia mendengar cerita yang
mencekam dan meninggalkan gambar dukacita di benaknya
tentang penghancuran perpustakaan oleh orang-orang berkuda
dari padang rumput. Pada masa itu, di abad ketiga belas,
pasukan Mongol di bawah komando Hulagu, cucu Jenghis
Khan, menaklukkan Baghdad dan mereka membakar gedung
195
A.S. Laksana

Perpustakaan Nizanmiyah. Sebelum membakar gedung,


mereka mengeluarkan semua buku dan mengangkutnya ke tepi
sungai Tigris dan membenamkannya di sana. Konon, air
sungai berubah warna menjadi biru oleh tinta yang larut di
dalamnya.
“Saya membayangkan sebuah medan pertempuran yang
kejam pada setiap tindakan penghancuran buku-buku,” kata
Alia. “Saya saperti mendengar buku-buku itu meratap:
Mengapa?”
Irak memiliki sejarah panjang dan membanggakan
tentang perpustakaan. Bangsa Sumeria, masyarakat kuno yang
mendiami tempat yang sekarang adalah Irak, menemukan
bahasa tulis pertamanya pada enam ribu tahun lalu. Mereka
menulis dengan cara mengguratkan buluh di permukaan
lempeng tanah liat (tablet) dan perpustakaan pertama di negeri
itu adalah sebuah tempat dengan koleksi lempeng tanah liat
bergurat aksara paku.
Ketika Hulagu merangsek ke Baghdad, kota itu sudah
lima ratus tahun mengembangkan peradaban. Ia dibangun
dalam bentuk lingkaran dan di sana ada istana, rumah sakit,
masjid, perguruan tinggi, dan perpustakaan. Universitas dan
perpustakaan dan rumah sakit di Baghdad adalah yang paling
maju pada masanya dan mewariskan gairah keilmuan dan karya

196
Kumpulan Esai

ilmiah yang menjadi landasan bagi Renaisans Eropa.


Perpustakaan Nizanmiyah yang dibakar oleh pasukan Mongol
adalah satu dari 36 perpustakaan yang ada di Baghdad pada
waktu itu.
Kehancuran yang didatangkan oleh Hulagu hanyalah
awal mula dari kesengsaraan panjang yang menimpa kota itu:
wabah dan perang dan penaklukan demi penaklukan datang
silih berganti hingga sekarang. Dan Baghdad, sebuah lingkaran
besar yang pernah menjadi pusat peradaban, pada 2012
dinyatakan sebagai salah satu dari kota-kota terburuk di dunia
ini sebagai tempat tinggal.
Ingatan tentang penghancuran perpustakaan dan
pemusnahan buku-buku dan runtuhnya peradaban menghantui
Alia pada saat situasi di Basra kian genting. Ia menemui
gubernur dan meminta izin memindahkan buku-buku ke
tempat aman. Gubernur menolak permintaan itu tanpa
menjelaskan alasan penolakannya.
Alia melawan. Ia bukan orang yang mudah dicegah.
Sebetulnya perpustakaan pusat Basra tidak mengizinkan buku-
buku koleksinya dibawa pulang oleh pengunjung, tetapi selama
menjadi kepala perpustakaan, Alia mengizinkan pengunjung
membawa pulang buku-buku untuk dibaca di rumah.

197
A.S. Laksana

“Di dalam Alquran, perintah pertama adalah: Bacalah!”


katanya.
Maka, meskipun gubernur tidak mengizinkan buku-buku
koleksi perpustakaan dipindahkan ke tempat lain, Alia tetap
pada pendiriannya dan tiap petang ia mulai memenuhi
mobilnya dengan buku-buku koleksi perpustakaan dan
membawanya pulang ke rumah.
Pada saat itu, para pegawai pemerintah memindahkan
kantor-kantor mereka ke gedung perpustakaan. Tampaknya ini
sudah direncanakan dengan pertimbangan bahwa pasukan
Sekutu tidak mungkin menjadikan gedung perpustakaan
sebagai target pengeboman, kecuali mereka benar-benar
membabi buta dan sanggup menanggung kecaman karena
menghancurkan perpustakaan.
Senapan antipesawat disiapkan di atap gedung.
Tak lama setelah itu, pada 6 April 2003, pesawat-pesawat
tempur Inggris menyerbu Basra. Orang-orang meninggalkan
gedung perpustakaan yang mereka jadikan kantor dan Alia
bekerja sendirian menyelamatkan buku-buku. Ia melepaskan
tirai-tirai jendela dan menggunakannya untuk mengepak buku-
buku.
Anis Muhammad, pemilik rumah makan Hamdan yang
letaknya di sebelah gedung perpustakaan, memberinya kardus-

198
Kumpulan Esai

kardus dan kantung terigu dan menyediakan ruangan untuk


menampung buku-buku yang diangkut keluar oleh Alia
melewati tembok pagar setinggi tujuh kaki. Anis juga
mengerahkan keluarga dan pegawai rumah makannya untuk
membantu Alia.
Kemudian pemilik toko parfum di seberang rumah
makan juga ikut membantu. Dan akhirnya orang-orang lain
tergerak untuk bekerja bahu-membahu menyelamatkan buku-
buku. “Orang-orang yang membantu kami tidak semuanya
berpendidikan,” kata Husein Muhammad al-Salem al-Zambqa,
si pemilik toko parfum. “Beberapa dari mereka tidak bisa
menulis atau tidak bisa membaca, tetapi mereka tahu bahwa
yang sedang mereka selamatkan itu adalah buku-buku
berharga.”
Bersama orang-orang yang membantunya, Alia berhasil
mengeluarkan buku 30.000 buku atau 70% dari koleksi
perpustakaan. Ada buku-buku berbahasa Inggris, buku-buku
berbahasa Arab, Alquran berbahasa Spanyol, dan biografi
Nabi Muhammad yang sudah berusia 700 tahun.
“Buku-buku tentang Saddam kami tinggalkan,” kata
Hussein Muhammad.
Setelah serbuan Inggris mereda dan situasi agak tenang,
Alia menyewa truk untuk mengangkut buku-buku itu dari

199
A.S. Laksana

rumah makan Anis Muhammad ke rumahnya; sebagian ia


titipkan di rumah kerabat dan teman-temannya karena di
rumahnya sudah tidak ada tempat lagi. Buku-buku sudah
bertumpuk di lemari, berjubel di dalam kulkas tua, menumpuk
tinggi menutup bingkai jendela, dan banyak lagi yang masih
berada di dalam kantung terigu dan kardus-kardus seperti
bantuan pangan untuk para pengungsi.
Sembilan hari kemudian gedung perpustakaan dilumat
api. Alia berduka atas nasib 30 persen buku yang masih
tertinggal di sana dan tak berhasil ia selamatkan.
Ia berduka dan menunggu. Ia menunggu perang usai. Ia
menunggu situasi damai. Ia menunggu dibangunnya gedung
perpustakaan baru.
Mark Alan Stamaty mengabdikan perjuangan Alia ini ke
dalam sebuah novel grafis berjudul Alia’s Mission: Saving the
Books of Iraq. Jeanette Winter, penulis dan ilustrator Amerika
Serikat, menyusul dengan buku anak-anak lainnya The Librarian
of Basra.
Jeanette sudah menulis dan membuat ilustrasi untuk
lebih dari 50 buku anak-anak, dan tentang The Librarian of
Basra ia mengatakan: Buku seperti inilah yang saya ingin baca
ketika kanak-kanak; saya selalu terkesan oleh tindakan-
tindakan hebat orang lain.

200
Kumpulan Esai

Buku bergambar yang ia tulis berdasarkan laporan New


York Times itu oleh Asosiasi Perpustakaan Amerika (ALA)
direkomendasikan sebagai buku bacaan anak-anak yang sangat
penting pada 2006.
“Saya membaca laporan tentang Alia dan terkesan oleh
kutipan ucapannya,” kata Jeanette Winter mengenai proses
pembuatan bukunya. “Alia mengatakan: Orang-orang
memandang heran dan berbisik-bisik mengapa orang ini
mengambil buku-buku? Orang-orang lain menjarah barang-
barang yang lebih berharga ketimbang cuma buku.”
Sebagian orang di lingkungan tempat tinggalnya
memang menganggap Alia juga seorang penjarah, sama dengan
banyak orang lain yang mengambil keuntungan dalam situasi
perang, hanya saja ia tidak menjarah barang berharga.
Dan para tetangga itu keliru dalam dua hal. Pertama,
Alia adalah penyelamat dan bukan penjarah. Kedua, Alia
seorang pustakawan. Sama seperti setiap pustakawan yang
baik, ia tahu bahwa tanpa buku, sejarah dan kebudayaan dan
pertukaran ide-ide tak akan punya jejak di muka bumi. []

201
A.S. Laksana

Cara Menghindari Rocky Gerung dan Para Ustaz Medsos

Setap kali saya membuka Youtube, video-video Indonesia


yang paling sering direkomendasikan di halaman depan adalah
video-video keributan: Rocky Gerung vs. Nusron Wahid,
Rocky Gerung vs. Boni Hargens, Rocky Gerung vs. 200
Cebong, dan sejumlah video lainnya dengan tokoh utama
Rocky Gerung. Yang bukan keributan, masih dengan tokoh
utama Rocky Gerung, adalah klarifikasi tentang kenapa sampai
sekarang ia tidak menikah.
Video-video Zakir Naik juga sering ditawarkan. Saya
pernah satu kali mengklik video ceramahnya dan menonton
Pak Naik menjawab pertanyaaan seseorang dalam gaya
membentak-bentak. Ia seorang pendebat; mungkin itu formula
untuk membuat orang kebingungan, gelagapan, ruwet, dan
akhirnya masuk Islam. Ada banyak petilan video Zakir Naik di
Youtube yang memamerkan judul bagaimana ia membuat
orang-orang lain masuk Islam.
Selain keributan, kategori lain yang kerap
direkomendasikan adalah ceramah agama oleh para ustaz
202
Kumpulan Esai

media sosial. Terakhir kali saya diminta menonton ceramah


agama tentang onani yang dibolehkan dan cara berhubungan
biologis saat haid.
Dari rekomendasi-rekomendasi tersebut, saya
mendapatkan kesan bahwa kebanyakan dari kita menyukai
pertengkaran dan agama. Atau, agar lebih akurat, kita lebih
banyak memanfaatkan Youtube untuk mengunggah video-video
keributan dan ceramah agama yang disengaja untuk
sensasional.
Orang senang berbagi saja apa yang mereka sukai dan
apa yang mendekam terus-menerus di dalam pikiran mereka.
Dan semua video itu, baik keributan maupun ceramah tentang
onani dan sebagainya, adalah bahan terbaik untuk buang-
buang waktu dan menipu diri sendiri bahwa kita sudah berada
di jalur yang benar: pilihan politik kita, cara kita beragama, atau
cara kita meyakini apa saja.
Keributan dan ceramah para ustaz media sosial tidak
menarik untuk saya, tidak bermanfaat juga untuk anak-anak
saya. Bagi anak-anak, saya pikir mereka bahkan akan
membawa dampak korosif—dengan kata lain, merusak akal.
Rekomendasi untuk video-video berbahasa Inggris
hanya mengikuti apa yang terakhir kali saya tonton atau topik

203
A.S. Laksana

apa saja yang pernah saya buka. Tentu saja video hewan-hewan
sering disarankan sebab saya menyukai video hewan-hewan.
Recommended, kata Youtube tentang beberapa video. Saya
klik salah satunya: Kuda laut jantan sedang mengejan dan
menyemburkan bayi-bayi kuda laut yang ia kandung; jumlah
bayinya lebih dari 1.800 ekor dalam satu kali melahirkan.
Menonton perilaku hewan-hewan menurut saya jauh
lebih menggembirakan ketimbang menonton ceramah onani
atau mengikuti perdebatan Rocky Gerung melawan 200
cebong. Adegan kuda laut menyemburkan bayi-bayi lebih
pantas dikenang ketimbang adegan orang memuntahkan caci-
maki.
Youtube sangat menarik sebab ia memberi saya
kesempatan, untuk pertama kalinya dalam hidup,
mendengarkan ceramah Richard Feynman, mengikuti kuliah
satu semester yang membahas detail mikro karya-karya
Hemingway, Faulkner, dan F. Scott Fitzgerald, menyimak
Harold Bloom tentang Shakespeare, dan banyak lagi kuliah
yang menyenangkan.
Di antara sumber-sumber tepercaya untuk mendapatkan
pengetahuan, baik pengetahuan akademis maupun
pengetahuan-pengetahuan praktis, Youtube adalah salah
satunya. Namun, karena video-video yang tersedia dalam

204
Kumpulan Esai

bahasa Indonesia lebih banyak video pertengkaran, mau tidak


mau kita harus berpaling ke sumber-sumber dalam bahasa lain.
Yang paling umum adalah bahasa Inggris. Mampus kita.
Ada banyak situs bagus untuk belajar, banyak di
antaranya gratis, tetapi dalam bahasa Inggris. Itu sama artinya
dengan tidak ada sumber sama sekali, atau serupa dengan anda
mengatakan: Saya punya pacar paling keren, ia tinggal di Planet
Uranus.
Keberlimpahan sumber pengetahuan hanya akan
bermanfaat bagi orang-orang yang bisa mencerna bahasa
Inggris. Namun, sebagus apa pun penguasaan bahasa Inggris
anda, semua sumber pengetahuan itu tetap tidak ada artinya
jika anda tidak memiliki niat, meskipun hanya sebesar upil,
untuk belajar.
Orang yang bisa membaca tetapi tidak pernah membaca
buku-buku bagus tidak memiliki kelebihan apa pun
dibandingkan orang yang buta huruf. Pernyataan itu
disampaikan oleh pada awal abad keduapuluh oleh seorang
pengawas pendidikan umum di AS. Ia mendorong
disediakannya buku-buku bacaan bermutu untuk anak-anak.
Sebaliknya, orang yang buta huruf, meskipun memiliki
semangat menggebu-gebu untuk mempelajari semua
pengetahuan, ketika dihadapkan pada buku resep masakan pun

205
A.S. Laksana

ia akan sama tak berdayanya dengan simpanse memegang Das


Kapital.
Jadi, apa boleh buat, untuk mereka yang memiliki gairah
belajar tetapi buta huruf di hadapan bahasa Inggris, hal
pertama yang perlu mereka miliki adalah kemampuan
mencerna bahasa Inggris. Jika anda emoh mempelajarinya dan
merasa cukup dengan bahasa Indonesia, dengan tingkat
kecakapan seadanya, anda hanya akan mendapatkan luapan
pertengkaran di internet.
Selanjutnya, anda perlu belajar bagaimana cara belajar.
Penting untuk tahu bagaimana cara belajar. Orang bisa belajar
apa saja dan tidak mendapatkan apa-apa jika ia tidak tahu cara
belajar.
Beberapa waktu lalu ada sejumlah orang mengikuti
pelatihan menulis. Separuh dari mereka tidak tahu kapan “di”
harus dipisah dan kapan “di” harus ditulis serangkai dengan
kata yang mengikutinya. Kekeliruan mereka dibahas pada
pertemuan pertama, termasuk kesalahan-kesalahan umum
yang lain, dan mereka tampak serius menyimak. Pada akhir
pelatihan, mereka mengumpulkan tulisan dan tetap melakukan
semua kekeliruan yang sama seolah-olah mereka tidak pernah
mendapatkan apa pun.

206
Kumpulan Esai

Saya pikir lebih baik mereka belajar yang lain. Ada


banyak pelatihan di dunia ini yang bisa mereka ikuti: bertanam
cabai, menjadi montir, menjinakkan ular, atau kecakapan-
kecakapan lain di luar menulis. Lebih baik menjadi pawang
kera nomor satu ketimbang menjadi penulis medioker.
Itu saran sungguh-sungguh dan saya punya alasan untuk
itu. Persaingan di kalangan medioker terlalu ketat. Populasi di
wilayah ini sangat padat dan tingkat sikut-sikutannya akan
tinggi sekali—kurang lebih serupa dengan anda berebut di
kawasan yang padat dan kumuh untuk mendapatkan sesuatu
yang tidak seberapa berharga.
Persaingan di level tinggi tidak akan seketat itu. Wilayah
ini hanya dihuni oleh sedikit orang. Anda akan lebih mudah
mendapatkan tempat di level permainan tertinggi sebab
lahannya masih longgar.
Maka, yang perlu kita pelajari adalah bagaimana
mendapatkan kecakapan yang memadai untuk menjadi
penghuni level tinggi. Anda perlu menyelidikinya. Setiap
bentuk kemahiran, dalam bidang apa pun, selalu merupakan
kumpulan dari keterampilan-keterampilan kecil.
Anda perlu menguasai seluruh aspek detail penulisan
yang dikuasai oleh Garcia Marquez untuk bisa menulis sebagus
tukang sihir dari Kolombia itu. Anda perlu menyelidiki

207
A.S. Laksana

bagaimana ia melatih diri dalam kecakapan membuat kalimat,


memilih kata, membuat perumpamaan, menciptakan karakter,
menulis dialog, membangun plot, melantur, dan sebagainya.
Di Youtube ada seseorang yang mengajarkan bagaimana
cara menguasai keterampilan apa pun dalam waktu 20 jam,
entah itu bermain ukulele atau menulis berita atau
meningkatkan daya ingat atau menjinakkan anjing atau menjadi
pemain gitar yang mampu memukau para penghuni gardu
ronda. Tidak peduli apa pun keterampilan yang anda ingin
kuasai, kata Josh Kaufman, anda bisa menguasainya dalam
waktu 20 jam.
Pertama-tama anda menentukan kecapakan apa yang
anda ingin kuasai dan memecahnya menjadi keterampilan-
keterampilan kecil. Katakanlah, anda ingin terampil bermain
gitar.
Pemain gitar yang hebat bisa melakukan perpindahan
chord secara mudah, jari-jarinya selalu menekan senar pada titik
yang tepat tanpa harus melihat, bisa memainkan melodi, bisa
memainkan bas, tahu kapan berpindah chord, mahir memetik
atau mencabik-cabik senar atau menggenjrengnya, dan
sebagainya.
Anda mengidentifikasi semua detail terlebih dahulu dan
kemudian melakukan riset untuk mendapatkan 3-5 buku dan

208
Kumpulan Esai

video sebagai pemandu anda dalam berlatih. Selanjutnya anda


melakukan latihan-latihan spesifik untuk menguasai masing-
masing detail itu.
Latihan-latihan spesifik inilah yang anda kerjakan satu
demi satu secara fokus selama 20 jam. Mungkin anda
memerlukan tempat sepi untuk berlatih. Anda bisa mengunci
diri di kamar dan menjauhi apa saja yang berpotensi
menggangu: ponsel, laptop, dan saluran internet.
Jika di tengah jalan anda terpikir untuk berlatih sulap,
tunda dulu. Anda berlatih sulap nanti setelah mampu bermain
gitar sambil mengunyah permen karet. Pak Jimi Hendrix selalu
tampak mengunyah sesuatu saat bermain gitar di panggung.
Latihan spesifik dalam 20 jam ini akan memberi anda
keterampilan rata-rata saja. Tetapi setidaknya anda bisa
memainkan lagu-lagu kesukaan dan tahu bagaimana cara
belajar untuk menguasai sesuatu. Anda bisa melanjutkan ke
tingkat semahir apa pun jika anda masih ingin lebih mahir lagi.
Dua puluh jam adalah deadline jangka pendek. Anda
perlu menetapkan deadline, sebab tidak ada urusan yang bisa
anda tuntaskan tanpa deadline.
Saya orang yang tepat untuk membicarakan pentingnya
deadline. Saya memiliki pengalaman amat berharga tentang hal
itu. Empat belas tahun mengedit novel, sekarang memasuki

209
A.S. Laksana

tahun kelima belas, dan sampai sekarang belum rampung.


Karena bosan ditanya orang, akhirnya saya berhasil
mengembangkan alasan cemerlang (ini kemahiran terpenting
para pemalas) untuk menjawab mereka; “O, novel itu terlalu
bagus untuk dibaca orang lain, jadi akan saya baca sendiri
saja.”
Anda tidak perlu ikut-ikutan membuat alasan. Lebih baik
anda belajar bahasa asing.
Silakan mencoba sendiri apakah dalam 20 jam anda
berhasil mencerna informasi dalam bahasa asing yang anda
pelajari. Lalu anda belajar bagaimana cara belajar. Lalu anda
memanfaatkan berkah internet sebagai sumber pengetahuan
yang berlimpah ruah.
Itu cara terbaik untuk menghindari video-video
keributan dan pengajian tentang onani yang dibolehkan dan
cara berhubungan biologis saat haid.

210

Anda mungkin juga menyukai