Anda di halaman 1dari 18

KAFALAH ATAU DHAMMAN

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur

Mata Perkuliahan Ilmu Pendidikan Islam

Pada Program Studi Pendidikan Agama Islam Semester 3

Dosen Pengampu Siti Maryam Munjiat, S.S., M.Pd.I.

Disusun Oleh:

Devi Fitriyani 2108101081


Rizki Imam Purnama 21081010
Herlambang Wicaksono Putro 2108101110

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SYEKH NURJATI CIREBON

2022 M / 1443 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT tak lupa Shalawat serta
salam selalu tercurah limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW., yang
telah membimbing kita dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang. Tak lupa
kami bersyukur atas berkah dan hidayahNya yang telah diberikan kepada kami
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Maryam Munjiat, S.S.,
M.Pd.I.yang telah membimbing kami sehingga kami dapat menyusun makalah ini
dengan baik.

Untuk pembaca apabila makalah kami terdapat kekurangan atau kesalahan


dalam pengetikan saya memohon maaf, karena kelebihan hanya milik Allah SWT dan
kekurangan itu datangnya dari diri kami pribadi. Kami meminta kepada pembaca
kritik yang tidak menjatuhkan dan saran yang membangun untuk pembuatan makalah
selanjutnya.

Majalengka, April 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Cover
KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
BAB I.............................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................1
BAB II...........................................................................................................................2
PEMBAHASAN............................................................................................................2
1. Pengertian Kafalah dan/atau Dhamman......................................................2
2. Hukum Dhāmān atau Kafalah.....................................................................3
3. Dasar Hukum Kafalah dan/atau Dhamman.................................................4
4. Rukun dan Syarat Kafalah dan/atau Dhamman..........................................5
5. Macam-macam Kafalah dan/atau Dhamman..............................................9
6. Hikmah Kafalah dan/atau Dhamman........................................................10
BAB III........................................................................................................................11
PENUTUP...................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang tumbuh dan berkembang. Ia ingin
mencapai suatu kehidupan yang optimal. Selama manusia berusaha untuk
meningkatkan kehidupannya, baik dalam meningkatkan dan mengembangkan
pengetahuan, kepribadian, maupun keterampilannya, secara sadar atau tidak
sadar, maka selama itulah pendidikan terus berlangsung.

Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang didasarkan pada nilai-


nilai ajaran Islam sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits serta
dalam pemikiran para ulama dan dalam praktik sejarah umat Islam. 12 Dalam
prosesnya, pendidikan Islam menjadikan tujuan sebagai sasaran ideal yang
hendak dicapai dalam program dan diproses dalam produk kependidikan Islam
atau output kependidikan Islam.

Adagium ushuliyah menyatakan bahwa: “al-umûr bi maqâshidika”,


bahwa setiap tindakan dan aktivitas harus berorientasi pada tujuan atau rencana
yang telah ditetapkan.

Untuk mengetahui ketercapaian suatu tujuan kegiatan yaitu evaluasi.


Dengan evaluasi, maka suatu kegiatan dapat diketahui atau ditentukan taraf
kemajuannya. Berhasil atau tidaknya pendidikan Islam dalam mencapai
tujuannya dapat dilihat setelah dilakukan evaluasi terhadap output yang
dihasilkannya. Abdul Mujib dkk mengungkapkan bahwa untuk mengetahui
pencapaian tujuan pembelajaran atau kompetensi yang diharapkan oleh peserta
didik diperoleh melalui evaluasi.3 Dengan kata lain penilaian atau evaluasi
1
Abudin Nata, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan
Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group,
2
), cet ke.3, 173.10
3
Ramayulis. 2008. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:Kalam Mulia, cet. ke 10,
hal: 220. 5 Ibid. h. 221

1
digunakan sebagai alat untuk menentukan suatu tujuan pendidikan dicapai atau
tidak. Atau untuk melihat sejauhmana hasil belajar siswa sudah mencapai
tujuannya.

Dalam pendidikan Islam evaluasi merupakan salah satu komponen


dari sistem pendidikan Islam yang harus dilakukan secara sistematis dan
terencana sebagai alat untuk mengukur keberhasilan atau target yang akan
dicapai dalam proses pendidikan Islam dan proses pembelajaran.

B. Rumusan Masalah
Dari apa yang sudah kami paparkan sedikit pada latar belakang kami
memutuskan untuk merumuskan masalah menjadi sebagai berikut:

1. Apa pengertian Evaluasi Pendidikan Islam?


2. Apa saja Bentuk dan Ragam Evaluasi Pendidikan?

C. Tujuan Penulisan
Kami mengambil kesimpulan atas latar belakang dan rumusan masalah
di atas sebagai tujuan penulisannya makalah ini. Oleh sebab itu tujuan
penulisan makalah ini kami putuskan sebagai berikut

1. Mengetahui apa itu Evaluasi Pendidikan Islam


2. Mengetahui apa saja Bentuk dan Ragam Evaluasi Pendidikan Islam

2
BAB II

PEMBAHASAN
D. Pengertian Kafalah dan/atau Dhamman
Evaluasi berasal dari kata to evaluate yang berarti menilai. Nilai
dalam bahasa arab disebut al qimat. istilah nilai ini mulanya dipopulerkan
oleh para filsuf. Dalam hal ini, plato merupakan filsuf yang pertama kali
mengemukakannya.

Pembahasan ’’nilai’’ secara khusus di perdalam dalam diskursus


filsafat, terutama pada aspek oksiologinya. 5 Begitu penting kedudukan nilai
dalam filsafat sehingga para filsuf meletakan nilai sebagai muara bagi
epistemologi dan antologi filsafat. Kata nilai menurut filsuf adalah idea of
worth.

Meskipun kini memiliki makna yang lebih luas, namun pada awalnya
pengertian evaluasi pendidikan selalu dikaitkan dengan prestasi belajar siswa.
Definisi yang pertama dikembangkan oleh Ralph Tyler (1950), mengatakan
bahwa evaluasi merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan
sejauh mana, dalam hal apa, bagian mana tujuan pendidikan sudah tercapai.
Jika belum, bagaimana yang belum dan apa sebabnya. Definisi yang lebih luas
dikemukakan oleh dua orang ahli lain, yakni Cronbach dan Stufflebeam,
mendefinisikan bahwa proses evaluasi bukan sekedar mengukur sejauh mana
tujuan tercapai, tetapi digunakan untuk membuat keputusan.

Evaluasi pendidikan dalam Islam dapat diberi batasan sebagai suatu


kegiatan untuk menentukan kemajuan suatu pekerjaan dalam proses pendidikan
Islam. Dalam ruang lingkup terbatas, evaluasi dilakukan dalam rangka
mengetahui tingkat keberhasilan pendidik dalam menyampaikan materi
pendidikan Islam pada peserta didik, sedangkan dalam ruang lingkup luas,
evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan tingkat
kelemahan suatu proses pendidikan Islam (dengan seluruh komponen yang
terlibat didalamnya) dalam mencapai tujuan pendidikan yang dicita-
citakan.Menurut Madzhab syafi’i, dhāmān adalah membebankan diri dengan
menanggung hutang orang lain, atau menghadirkan benda yang dibebankan
atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkanya.

3
Penilaian dalam pendidikan dimaksudkan untuk menetapkan berbagai
keputusan kependidikan, baik yang menyangkut perencanaan pengelolaan,
proses dan tindak lanjut pendidikan, baik yang menyangkut perorangan,
kelompok maupun kelembagaan.

Disamping evaluasi terdapat pula istilah measurement, measurement


berasal dari kata to measure yang berarti mengukur, measurement berarti
perbandingan data kualitif dengan data kuantitatif yang lainnya yang sesuai
dalam kerangka mendapatkan nilai (angka). Pengukuran dalam pendidikan
adalah usaha untuk memahami kondisikondisi objektif tentang sesuatu yang
akan dinilai. Dalam pendidikan islam, evaluasi akan objektif apabila didasarkan
dengan tolak ukur Al-Qur’an atau Hadits.

Suharsimi Arikunto (1955) membedakan tiga istilah tersebut, yaitu


pengukuran, penilaian, dan evaluasi. Pengukuran adalah membandingkan
sesuatu dengan suatu ukuran. Pengukuran ini bersifat kuantitatif. penilaian
adalah mengambilan suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik dan
buruk secara kualitatif. Sementara evaluasi adalah mencakup pengukuran dan
penilaian secara kuantitatif.

Dalam al-qur’an atau hadits, banyak sekali ditemui tolak ukur evaluasi
dalam pendidikan islam misalnya tolak ukur sholat yang baik dan sempurna
adalah mencegah orang dari perbuatan keji dan munkar, tolak ukur watak
seseorang yang beriman adalah bila melaksanakan sholat secara khusyuk,
membayar zakat (Qs. alNisa:162) menjaga kemaluan terhadap wanita yang
bukan istri. Tolak ukur perilaku seseorang yg beriman adalah mencintai
saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri (Qs. al-Baqorah:148). Tolak ukur
seseorang yang munafik disebutkan oleh Nabi dalam tiga indikasi, yaitu dusta
dalam berbicara, ingkar dalam berjanji, dan khianat apabila diberi kepercayaan
(amanah).

Term evaluasi dalam wacana keislaman tidak dapat ditemukan


padanan yang pasti, tetapi terdapat term-term tertentu yang mengarah pada
makna evaluasi. Berikut ini penjelasan term-term tersebut: (1) AlHisab,
memiliki makna mengira, menafsirkan dan menghitung; (2) Al-bala, makna
cobaan, ujian; (3) Al-hukm, memiliki makna putusan atau vonis; (4) Al-qodha,
memiliki makna putusan; (5) Al-nazhr, memiliki arti melihat.

4
Dalam pendidikan islam, tujuan evaluasi lebih ditekankan pada
penguasaan sikap (afektif dan psikomotor) ketimbangan aspek kognitif).
Penekanan ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan peserta didik yang
secara garis besar meliputi 4 hal yaitu sebagai berikut:

1. Sikap dan pengalaman terhadap hubungan pribadinya dengan


tuhannya.
2. Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan dirinya dengan
masyarakat.
3. Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan kehidupannya
dengan alam sekitarnya.
4. Sikap dan pandangan terhadap dirinya sendiri selaku hamba
allah, anggota masyarakat, serta khalifah allah.

E. Hukum Dhāmān atau Kafalah


Menurut Sayyid Sabiq hukum dhāmān yakni:4

1. Apabila orang yang dijamin tidak ada atau gaib, penjamin berkewajiban
untuk menjamin. Dan tidak dapat keluar dari perjanjian kecuali dengan
jalan memenuhi hutang yang telah dijamin. Atau dengan jalan orang yang
menghutangkan menyatakan pembebasan dari hutang.
2. Adapun menjadi hak orang yang menghutangkan memfasakh akad
dhāmān dari pihaknya, meskipun pihak lain tidak rela.

Sedangkan dalam bukunya, Ismail Nawawi mengmukakan pendapat


AlJazairi (2005:529), hukum dhāmān yakni:5

1. Dalam dhāmān disyaratkan adanya kerelaan dhāmin,


2. Hutang madhmūn ‘anhu tidak lunas kecuali dhāmin telah melunasinya.
Jika dhāmin telah melunasi maka tugasnya dianggap selesai.
3. Dalam dhāmān, pengenalan terhadap madhmūn ‘anhu tidak diperlukan
karena seseorang diperbolehkan menanggung orang yang tidak dikenal,
karena dāmān dapat dianggap sebagai sumbangan.
4. d. Dhāmān tidak terjadi kecuali pada hutang yang pasti, atau sesuatu yang
mengarah kepada kepastian.

4
Sayyid Sabiq, 164.
5
Ismail Nawawi, 197.

5
5. Tidak dilarang bila dhāmin terdiri dari banyak orang dan juga tidak
dilarang bila dhāmin ditanggung orang lain.

F. Dasar Hukum Kafalah dan/atau Dhamman


Dasar hukum al-dhāmān atau kāfalah dapat dilihat dalam Al-Quran
atau berasal dari kesepakatan para ulama.

 QS. Yusuf ayat 2

‫ص َوا َع ْال َملِ ِك َولِ َم ْن َج ۤا َء بِ ٖه ِح ْم ُل بَ ِعي ٍْر َّواَن َ۠ا بِ ٖه َز ِع ْي ٌم‬


ُ ‫قَالُوْ ا نَ ْفقِ ُد‬
Artinya: “Mereka menjawab, Kami kehilangan piala raja, dan siapa
yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat)
beban unta, dan aku jamin itu.” (QS. Yusuf: 2)

 QS. Al-Maidah ayat 2


‫هّٰللا‬
َ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تُ ِحلُّوْ ا َش َع ۤا ِٕى َر ِ َواَل ال َّش ْه َر ْال َح َرا َم َواَل ْالهَ ْد‬
‫ي َواَل ْالقَاَل ۤ ِٕى َد َوٓاَل‬
ۤ
ُ‫ٰا ِّم ْينَ ْالبَيْتَ ْال َح َرا َم يَ ْبتَ ُغوْ نَ فَضْ اًل ِّم ْن َّربِّ ِه ْم َو ِرضْ َوانًا ۗ َواِ َذا َحلَ ْلتُ ْم فَاصْ طَا ُدوْ ا ۗ َواَل يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم َشن َٰان‬
‫ص ُّدوْ ُك ْم ع َِن ْال َمس ِْج ِد ْال َح َر ِام اَ ْن تَ ْعتَ ُد ۘوْ ا َوتَ َعا َونُوْ ا َعلَى ْالبِرِّ َوالتَّ ْق ٰو ۖى َواَل تَ َعا َونُوْ ا َعلَى‬ َ ‫قَوْ ٍم اَ ْن‬
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
ِ ‫ان ۖ َواتَّقُوا َ ۗاِ َّن َ َش ِد ْي ُد ْال ِعقَا‬
‫ب‬ ِ ‫ااْل ِ ْث ِم َو ْال ُع ْد َو‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu
melanggar syiar-syiar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan)
bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan
qala'id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari
karunia dan keridaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan
ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada
suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam,
mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada
Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2)

 Hadits Riwayat Bukhari

“Telah dihadapkan kepada Rasulullah SAW jenazah seorang laki-laki


untuk disalatkan. Rasulullah saw bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’
Sahabat menjawab, ‘Tidak’. Maka, beliau mensalatkannya. Kemudian

6
dihadapkan lagi jenazah lain, Rasulullah pun bertanya, ‘Apakah ia mempunyai
utang?’ Sahabat menjawab, ‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Salatkanlah temanmu
itu’ (beliau sendiri tidak mau mensalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata,
‘Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah’. Maka Rasulullah pun menshalatkan
jenazah tersebut.” (HR. Bukhari dari Salamah bin Akwa’).

G. Rukun dan Syarat Kafalah dan/atau Dhamman


Rukun kafalah terdiri atas sighat kafalah (ijab qabul), makful bih
(objek tanggungan), kafil (penjamin), makful’anhu (tertanggung), makful lahu
(penerima hak tanggungan).6

1) Sighat Kafalah, bisa diekspresikan dengan ungkapan yang menyatakan


adanya kesanggupan untuk menanggung sesuatu, sebuah kesanggupan
untuk menunaikan kewajiban. Seperti ungkapan “aku akan menjadi
penjagamu” atau “saya akan menjadi penjamin atas kewajibanmu atas
seseorang” atau ungkapan lain yang sejenis. Ulama tidak mensyaratkan
kalimat verbal yang harus diungkapkan dalam akad kafalah, semuanya
dikembalikan pada akad kebiasaan. Intinya, ungkapan tersebut
menyatakan kesanggupan untuk menjamin sebuah kewajiban.
2) Makful bih, objek pertanggungan harus bersifat mengikat terhadap diri
tertanggung, dan tidak bisa dibatalkan tanpa adanya sebab syar’i. selain
itu objek tersebut harus merupakan tanggung jawab penuh pihak
tertanggung. Seperti menjamin harga atas pihak transaksi barang sebelum
serah terima, menanggung beban hutang yang bersifat mengikat terhadap
diri seseorang. Selain itu, nominal objek tertanggung harus jelas, tidak
diperbolehkan menanggung sesuatu yang tidak jelas (majhul). Namun
demikian sebagian ulama fiqh membolehkan menanggung objek
pertanggungan yang dijamin oleh Rasulullah, “barang siapa dari orang-
orang mukmin yang meninggalkan tanggungan hutang, maka
pembayarannya menjadi kewajibanku”. Berdasarkan hadits ini, nilai
objek pertanggungan yang dijamin oleh Rasulullah bersifat majhul,
dengan demikian diperbolehkan.
3) Kafil, Ulama fiqh mensyaratkan seorang kafil haruslah orang yang
berjiwa filantropi, orang yang terbiasa berbuat baik demi kemaslahatan
orang lain. Selain itu, ia juga orang yang baligh dan berakal. Akad
6
Hendi Suhendi, fiqh muamalah, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.191

7
kafalah tidak boleh dilakukan olehh anak kecil, orang-orang safih ataupun
orang yang terhalang untuk melakukan transaksi. Karena bersifat charity,
akad kafalah harus dilakukan oleh seorang kafil dengan penuh kebebasan,
tanpa adanya paksaan. Ia memiliki kebebasan penuh guna menjalankan
pertanggungan. Karena dalam akad ini, kafil tidak memiliki hak untuk
merujuk pertanggungan yang telah ditetapkan.
4) Makful ‘anhu, Syarat utama yang harus melekat pada diri tertanggung
(makful’anhu) adalah kemampuannya untuk menerima objek
pertanggungan, baik dilakukan oleh diri pribadinya atau orang lain yang
mewakilinya. Selain itu makful‟anhu harus dikenal baik oleh pihak kafil.
5) Makful lahu, Ulama mensyaratkan makful lahu harus dikenali oleh kafil,
guna meyakinkan pertanggungan yang menjadi bebannya dan mudah
untuk memenuhinya. Selain itu, ia juga disyaratkan untuk menghadiri
majlis akad. Ia adalah orang yang baligh dan berakal, tidak boleh orang
gila atau anak kecil yang belum berakal.
6) Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidak
digantungkan pada sesuatu yang berarti sementara.

Dalam kafalah ada beberapa syarat yang berkenaan dengan Kafiil


(penjamin), Ashil/Makfulanhu (yang berhutang), Makful Lahu (yang
memberikan utang/berpiutang) dan Makful Bih (harta/batang yang dijamin).

1) Syarat-syarat penjamin (Kafiil)

Fatwa DSN (Dewan Syari’at Nasional)

a. Kemampuan akal dan dewasa (Baligh)


b. Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan
hartanya dan rela (ridho) dengan tanggungan kafalah tersebut .

Fiqh Klasik

a. Kafil diminta makful ‘anhu dan ia meridhoi permintaan tersebut


b. Ketika menjamin utang makful ‘anhu, si kafil menyatakan jaminan
itu atas nama makful ‘anhu
c. Kafil tidak mempunyai utang kepada makful ‘anhu
d. Kafil mampu melunasi (membayar) kewajiban utang tersebut

8
e. Tanggung jawab kafil tetap eksis, selama makful ‘anhu memiliki
utang kepada makful lahu. Jika makful ‘anhu sudah terbebas dari
utang, barulah kafil bebas tanggung jawab
f. Kafiil boleh lebih dari satu
g. Jika dalam kafalah bil mal (jaminan berupa harta), lalu makful
‘anhu meninggal, maka kafil bertanggung jawab
2) Syarat-syarat Orang yang Terutang (Makful ‘Anhu/Ashiil)

Ada dua syarat makful ‘anhu (Ashiil)7

a. Sanggup untuk menyerahkan tanggungannya (utang), adakalanya


dengan dirinya atau penggantinya. Dan syarat ini khusus menurut
Abu Hanifah, maka tidak sah kafalah utang dari mayat yang
bangkrut dan tidak meninggalkan sesuatu untuk melunasi utangnya,
karena dia adalah utang yang gugur, maka tidak sah menjaminnya,
seperti jatuhnya tanggungan dengan kebebasan dank arena
tanggungan mayit hilang karena mati. Menurut dua sahabat Abu
Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad As-Syabani, dan Jumhur
Fuqaha8 sah menjamin utang dari mayit yang bangkrut dan arena
utang si mayit adalah utang yang tetap ada, maka sah menjaminnya
seperti kalau dia mundur melunasi utangnya karena tidak sanggup.
Dan atas adanya utang-utang ini sesungguhnya kalau tabarru‟
seseorang dalam melunasinya maka boleh bagi pemilik utang
menerimanya. begitu juga kalau dijaminnya ketika masih hidup,
kemudian mati, tidaklah lepas tanggungan penjamin, dari apa yang
menunjukan bahwa dia tidak lepas dari tanggungan orang yang
dijaminnya.
b. Yang terutang adalah orang yang dikenal oleh penjamin. Maka
apabila penjamin berkata, “saya menjamin salah seorang dari
manusia”, tidak sah kafalahnya, karena manusia tidak mengenalnya,
dan syarat ini adalah untuk mengenal yang berutang (makful
‘anhu).9
3) Syarat-syarat orang yang berpiutang (Makful lahu)
a. Diketahui identitas dirinya, tidak boleh memberikan jaminan
terhadap orang yang tidak diketahui identitasnya, karena hal
7
Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer (Bogor : Ghalia Indonesia, 2012) hlm 217-
218
8
Hendi Suhendi, fiqh muamalah, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.192
9
Hendi Suhendi, fiqh muamalah, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.192

9
tersebut tidak mencerminkan tujuan utama dari kafalah (jaminan),
yaitu memberikan rasa saling mempercayai diantara pihak-pihak
yang terkait. Hal ini sesuai dengan pendapat yang terkuat dalam
madzhab Syafi‟I, karena orang-orang yang berpiutang biasanya
memiliki cara-cara tersendiri dalam menagih hutangnya, ada yang
kasar dan adapula yang lemah lembut.

Sedangkan madzhab Maliki dan Hambali membolehkan jaminan


terhadap orang yang tidak diketahui identitasnya, misalnya “saya
jamin utang si zaid terhadap siapa saja”.

b. Orang yang berpiutang hadir di tempat akad. Menurut pendapat


Abu Hanifah dan Muhammad, ini merupakan syarat untuk
diterimanya akad kafalah.
c. Berakal sehat
d. Makful lahu mempunyai hak (misalnya: piutang atau tanggung
jawab) kepada makful ‘anhu
4) Syarat-syarat Barang yang Akan Dijadikan Barang Jaminan (Makful Bih)
menurut fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional)10
a. Merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang, baik berupa
uang, benda, maupun pekerjaan
b. Bisa dilaksanakan oleh penjamin
c. Harus merupakan pitang mengikat (lazim), yang tidak mungkin
hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan
d. Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya
e. Tidak bertentangan dengan syari’ah (yang tidak diharamkan)

H. Macam-macam Kafalah dan/atau Dhamman


Menurut Sayyid Sabiq, dhāmān atau kafalah dibagi menjadi dua
bentuk yakni:

1. Jiwa, dikenal dengan jaminan muka yakni adanya kemestian pada pihak
dhāmin untuk menghadirkan orang yang dijamin kepada yang harus diberi
jaminan dan sah dengan mengatakan ijab qobul.

10
Himpunan Fatwa Keuangan Syariah

10
2. Harta, adalah kewajiban yang harus dipenuhi dengan pemenuhan berupa
harta.11

M. Syafi'i Antonio memberikan penjelasan tentang pembagian dhāmān atau


kāfalah sebagai berikut:12

1. Dhāmān bi al-mal, adalah jaminan pembayaran barang atau pelunasan


utang. Bentuk ini merupakan sarana yang paling luas bagi bank untuk
memberikan jaminan kepada para nasabahnya dengan imbalan/fee
tertentu.
2. Dhāmān bi al-nāfs, adalah jaminan diri dari si penjamin. Dalam hal ini,
bank dapat bertindak sebagai juridical personality yang dapat
memberikan jaminan untuk tujuan tertentu.
3. Dhāmān bi al-taslim, adalah jaminan yang diberikan untuk menjamin
pengembalian barang sewaan pada saat masa sewanya berakhir. Jenis
pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk keperluan
nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan, leasing
company. Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa
deposito/tabungan, dan pihak bank diperbolehkan memungut uang
jasa/fee kepada nasabah tersebut.
4. Dhāmān al-munjāzah, adalah jaminan yang tidak dibatasi oleh waktu
tertentu dan untuk tujuan/kepentingan tertentu. Dalam dunia perbankan,
jaminan model ini dikenal dengan bentuk performance bond (jaminan
prestasi).
5. Dhāmān al-mu’allaqah, Bentuk jaminan ini merupakan penyederhanaan
dari dhāman al-munjāzah, di mana jaminan dibatasi oleh kurun waktu
tertentu dan tujuan tertentu pula.

I. Hikmah Kafalah dan/atau Dhamman


Kafalah ( jaminan) merupakan salah satu ajaran Islam. Jaminan pada
hakikatnya usaha untuk memberikan kenyamanan dan keamanan bagi semua
orang yang melakukan sebuah transaksi. Untuk era sekarang ini kafalah adalah
asuaransi. Jaminan atau asuaransi telah disyariatkan oleh Islam ribuan tahun
silam. Ternyata, untuk masa sekarang ini kafalah (jaminan) sangat penting,
11
Sayyid Sabiq, Fikih Sunah, 157.
12
Muhammad Syafi’i Antonio, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syari'ah, (Yogyakarta: UII
Press, 2001), 38.

11
tidak pernah dilepaskan dalam bentuk transaksi seperti uang apalagi transaksi
besar seperti bank dan sebagainya. Hikmah yang dapat diambil adalah kafalah
mendatangkan sikap tolong menolong, keamanan, kenyamanan, dan kepastian
dalam bertransaksi. Wahbah Zuhaily mencatat hikmah tasry dari kafalah untuk
memperkuat hak, merealisasikan sifat tolong menolong, mempermudah
transaksi dalam pembayaran utang, harta dan pinjaman. Supaya orang yang
memiliki hak mendapatkan ketenangan terhadap hutang yang dipinjamkan
kepada orang lain atau benda yang dipinjam.

12
BAB III

PENUTUP

J. Kesimpulan

Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil)


kepada pihak ketiga yang memeneuhi kewajiban pihak kedua atau yang
ditanggung. Dalam pengertian lain kafalah juga berarti mengalihkan tanggung
jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang
lain sebagai penjamin.

Pada asalnya al-dhamman merupakan padanan atau persamaan dari


kafalah yang berarti penjamin. Secara etimologi Takāfūl, Al-Kāfalah menurut
bahasa berarti al-Dhāmān (jaminan), hāmalah (beban) dan za’amah
(tanggungan). Sedangkan menurut istilah yang disebut dengan kāfalah atau al-
Dhāman adalah jaminan yang diberikan oleh kafil (penanggung) kepada pihak
ketiga atas kewajiban yang harus ditunaikan pihak kedua (tertanggung).

Berdasarkan penjelasan paragraf sebelumnya, perbedaan dhaman dan


kafalah hanyalah pada arti dasar katanya saja. Arti kata dhaman adalah
menggabungkan, sedangkan arti kata kafalah adalah menjamin. Akan tetapi,
seperti yang telah diungkapkan Ibnu Arabi, dhaman dan kafalah memiliki
makna yang sama. Oleh sebab itu, sama jugalah dasar hukum, rukun, dan syarat
dhaman dengan kafalah.

Rukun kafalah terdiri atas sighat kafalah (ijab qabul), makful bih
(objek tanggungan), kafil (penjamin), makful’anhu (tertanggung), makful lahu
(penerima hak tanggungan).

Dalam kafalah ada beberapa syarat yang berkenaan dengan Kafiil


(penjamin), Ashil/Makfulanhu (yang berhutang), Makful Lahu (yang
memberikan utang/berpiutang) dan Makful Bih (harta/batang yang dijamin).

Hikmah yang dapat kita ambil dari kafalah atau dhamman adalah
terciptanya rasa aman dari orang yang berhutang. Timbulnya perasaan tenang
dari orang yang memberikan hutang. Terciptanya sikap tolong menolong antar

13
sesama. Dan akan mendapat pahala dari Allah SWT karena dapat melunasi
hutang. Timbulnya unsur tolong menolong sesama manusia.

K. Saran

Setelah membaca makalah kami dan memahami makna dari kafalah


atau dhamman kami selaku penyusun menyarankan kepada pembaca agar:

1. Dapat menerapkan kafalah atau dhamman dalam setiap permasalahan


terkait.
2. Tetap mengikuti syariat dan jangan sampai terbawa oleh arus
menguntungkan terhadap pinjaman penjamin pihak yang tidak jelas.
3. Apabila kita sebagai penjamin janganlah bertindak subjektif atau tidak
adil.
4. Apabila sebagai pemberi hutang janganlah memberi syarat yang
memberatkan si pehutang.
5. Apabila kita sebagai si pehutang alangkah baiknya agar jangan sampai
tidak sadar posisi bahwa kita di sini sebagai yang membutuhkan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: Gema


Insani, 2001),10.

Dimyaudin Djuwaini, pengantar fiqh muamalah, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008,


hlm.247

Dr. Mardani, Hukum Perikatan di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 189.

Hendi Suhendi, fiqh muamalah, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002

Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Bogor: Ghalia


Indonesia,2012)

M. Abdul Mudjieb, et. al., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994)

Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Mandiri Syariah dari Teori ke Praktik,


Jakarta:Gema Insani, 2001. Hlm 123-125
Sayyid Sabiq, Fikih Sunah (Bandung: Al-Ma’arif, 1993)

https://wakalahmu.com/artikel/dunia-islam/apa-perbedaan-dhaman-dan-kafalah

15

Anda mungkin juga menyukai