Anda di halaman 1dari 14

BAGIAN ILMU PSIKIATRI

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT


OKTOBER 2022
UNIVERSITAS KHAIRUN

GANGGUAN PANIK

Oleh:
FARIDHA WARNANGAN
10119220100

Pembimbing Utama:
dr. YAZZIT MAHRI, M. Kes, Sp.KJ

Pembimbing Pendamping:
dr. EVI ELVIRA SAKTI

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN PSIKIATRI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KHAIRUN
TERNATE
2022

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................ 2

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 4

A. Definisi ............................................................................................. 4
B. Etiologi ............................................................................................ 4
C. Epidemiologi .................................................................................... 5
D. Manifestasi Klinis ............................................................................ 6
E. Diagnosis.......................................................................................... 7
F. Diagnosis Banding ........................................................................... 8
G. Pentalaksanaan ................................................................................. 9
H. Prognosis ......................................................................................... 10
BAB III KESIMPULAN ............................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 12

2
BAB I

PENDAHULUAN

Panik berasal dari kata Pan yaitu nama Dewa Yunani yang tinggal
dipergunungan dan hutan serta mempunyai tingkahlaku yang sulit diramalkan.
Riwayat Gangguan Panik ini berasal dari konsep yang dikemukakan oleh Jacob
Mendes DaCosta (1833-1900) gejala-gejala seperti serangan jantung yang
ditemukan pada tentara-prajurit Perang Saudara Amerika. Gejala DaCosta meliputi
gejala psikologik dan somatik.1
Di Indonesia belum dilakukan studi epidemiologi yang dapat
menggambarkan berapa jumlah individu yang mengalami gangguan panik., namun
para profesional merasakan adanya peningkatan jumlah kasus yang datang minta
pertolongan. Prevalensi hidup Gangguan Panik kira-kira 1-4% populasi, sedangkan
Serangan Panik sekitar 3-6%. Wanita 2-3 kali lebih banyak menderita gangguan ini
dibanding laki-laki.1,2
Gangguan Panik bisa terjadi kapan saja sepanjang hidup, onset tertinggi
usia 20-an, ditandai dengan perasaan serangan cemas tiba-tiba dan terus menerus,
sesak nafas, disertai perasaan akan datangnya bahaya, serta ketakutan akan
kehilangan kontrol atau menjadi gila. Bila tidak diobati beresiko terjadinya ide
bunuh diri dan percobaan bunuh diri.
Kondisi gangguan panik sering disalah artikan sebagai suatu kondisi sakit
fisik karena gejala-gejalanya adalah gejala fisik terutama yang melibatkan sistem
saraf autonom, baik simpatis maupun parasimpatis. Karena adanya keluhan fisik
berat pada waktu serangan, pasien menjadi ketakutan mereka akan mendapat
serangan jantung, stroke dan lain-lain. Penatalaksanaan yang tepat kombinasi
farmakoterapi dengan psikoterapi akan memberikan hasil yang lebih baik.3,4

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Gangguan panik mengacu pada serangan panik tak terduga berulang.
Serangan panik adalah gelombang ketakutan yang tiba-tiba atau
ketidaknyamanan yang intens yang mencapai puncaknya dalam beberapa menit,
dan selama waktu itu empat atau lebih dari gejala-gejala fisik dan kognitif
terjadi. Istilah berulang secara harfiah berarti lebih dari satu serangan panik yang
tidak terduga. Istilah tak terduga mengacu pada serangan panik yang tidak ada
isyarat atau pemicu yang jelas pada saat kejadian yaitu, serangan itu muncul tiba-
tiba, seperti ketika individu sedang bersantai atau baru bangun dari tidur
(nocturnal).5,6
Penderita gangguan panik sering merasa cemas bahwa gejala ini
adalah indikasi adanya penyakit parah seperti sakit jantung atau kehilangan
kontrol, dan dengan demikian ia akan mencegah terjadinya serangan panik
dengan menghindari tempat atau situasi tertentu. Penghindaran seperti itu
bisa meningkatkan perasaan ketakutan dan kecemasan yang mengakibatkan
lingkaran setan kepanikan dan kecemasan.7
Gangguan panik ditandai dengan adanya serangan panik yang tidak
diduga dan spontan yang terdiri atas periode rasa takut yang intens dan bervariasi
dari sejumlah serangan sepanjang hari sampai hanya sedikit serangan selama satu
tahun. Setiap episode berlangsung sekitar 15-30 menit, meskipun efek sisa dapat
berlangsung lebih lama. Serangan panik dapat terjadi secara spontan atau sebagai
respon terhadap situasi tertentu.4

B. Etiologi
Sebagaimana gangguan jiwa lainnya, etiologinya belum pasti dan terdiri
dari faktor organobiologik, psikoedukatif (termasuk psikodinamik), serta
sosiokultural:2
1. Faktor Biologik:
Beberapa peneliti menemukan bahwa gangguan panik berhubungan
dengan abnormalitas struktur dan fungsi otak. Dari penelitian juga diperoleh
data bahwa pada otak pasien dengan gangguan panik beberapa
neurotransmiter mengalami gangguan fungsi, yaitu serotonin, GABA (Gama

4
Amino Butiric Acid) dan norepinefrin. Hal ini didukung oleh fakta bahwa,
Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) efektif pada terapi pasien-pasien
dengan gangguan cemas, termasuk gangguan panik.
Berdasarkan hipotesis patofisiologi, terjadi disregulasi baik pada
sistem perifer maupun sistem saraf pusat. Pada beberapa kasus ditemukan
peningkatan tonus simpatetik dalam sistem otonomik. Penelitian pada status
neuroendokrin juga menemukan beberapa abnormalitas, namun hasilnya
belum konsisten.
Serangan panik merupakan respons terhadap rasa takut yang terkondisi
yang ditampilkan oleh fear network yang terlalu sensitif, yaitu amigdala,
korteks prefrontal dan hipokampus, yang berperan terhadap timbulnya panik.
Dalam model ini, seseorang dengan gangguan panik menjadi takut akan
terjadinya serangan panik.
Faktor biologik lain yang berhubungan dengan terjadinya serangan
panik adalah adanya zat panikogen yang digunakan terbatas pada penelitian,
serta perubahan pada tampilan pencitraan dengan MRI (Magnetic Resonance
Imaging).2,8
2. Faktor Genetik :
Pada keturunan pertama pasien dengan gangguan panik dengan
agorafobia mempunyai risiko 4-8 kali mengalami serangan yang sama.
3. Faktor Psikososial :
Analisis penelitian mendapatkan bahwa terdapat pola ansietas akan
sosialisasi saat masa kanak, hubungan dengan orangtua yang tidak
mendukung serta perasaan terperangkap atau terjebak. Pada kebanyakan
pasien, rasa marah dan agresivitas sulit dikendalikan. Pada pasien-pasien
dengan gangguan panik, terdapat kesulitan dalam mengendalikan rasa marah
dan fantasi-fantasi nirsadar yang terkait. Misalnya pasien mempunyai
harapan dapat melakukan balas dendam terhadap orang tertentu. Harapan ini
merupakan suatu ancaman terhadap figur yang melekat.

C. Epidemiologi
Pada populasi umum, perkiraan prevalensi 12 bulan untuk gangguan panik
di seluruh Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa adalah sekitar 2% -3%
pada orang dewasa dan remaja. Di Amerika Serikat, tingkat gangguan panik
yang jauh lebih rendah dilaporkan di antara orang Latin, Afrika Amerika, kulit
hitam Karibia, dan Amerika Asia, dibandingkan dengan kulit putih non-Latin;

5
Orang Indian Amerika, sebaliknya, memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi.
Perkiraan yang lebih rendah telah dilaporkan untuk negara-negara Asia, Afrika,
dan Amerika Latin, mulai dari 0,1% hingga 0,8%.5
Wanita lebih sering terkena daripada pria, dengan kecepatan sekitar 2:1.
Diferensiasi gender terjadi pada masa remaja dan sudah terlihat sebelum usia 14
tahun. Meskipun serangan panik terjadi pada anak-anak, prevalensi keseluruhan
gangguan panik rendah sebelum usia 14 tahun (<0,4%). Tingkat gangguan panik
menunjukkan peningkatan bertahap selama masa remaja, terutama pada wanita,
dan mungkin setelah masa pubertas, dan puncaknya selama masa dewasa.
Tingkat prevalensi menurun pada individu yang lebih tua (yaitu, 0,7% pada
orang dewasa di atas usia 64), mungkin mencerminkan keparahan berkurang ke
tingkat subklinis.5,9
Faktor sosial merupakan salah satu faktor yang diidentifikasi turut berperan
dalam timbulnya gangguan panik adalah riwayat perceraian atau perpisahan yang
baru saja terjadi. Gangguan panik paling sering terjadi pada dewasa muda (rata-
rata usia 25 tahun). Gangguan panik juga dilaporkan terdapat pada anak dan
remaja dan diagnosis kasus ini mungkin belum terdiagnosis pada kelompok usia
tersebut.4

D. Manifestasi Klinis
Jika seseorang yang mengalami periode ketakutan secara tiba-tiba dan
intens atau ketidaknyamanan yang berlangsung selama beberapa menit padahal
tidak ada bahaya yang nyata dengan 4 atau lebih gejala berikut, kemungkinan
orang tersebut mengalami serangan panik. Jika seseorang telah mengalami
serangan berulang-ulang dan cemas tentang kemungkinan terserang lagi di
masa depan, mungkin orang tersebut menderita gangguan panik.10
Gejala serangan panik termasuk:
1. Jantung berdebar-debar
2. Berkeringat
3. Gemetar
4. Kesulitan bernapas
5. Perasaan tercekik
6. Nyeri atau ketidaknyamanan di dada
7. Mual
8. Pusing atau pingsan
9. Rasa panas dan menggigil
10. Sensasi kesemutan atau mati rasa di anggota tubuh

6
11. Derealisasi (merasa dalam keadaan seperti mimpi di mana lingkungan
tampak tidak nyata) atau depersonalisasi (merasa berada di luar diri
sendiri tanpa sensasi pengendalian apapun)
12. Takut mati
13. Takut kehilangan kontrol atau menjadi gila
Setidaknya salah satu serangan telah diikuti oleh 1 bulan (atau lebih) dari
salah satu atau kedua hal berikut:
1. Kekhawatiran atau kekhawatiran yang terus-menerus tentang serangan
panik tambahan atau konsekuensinya (mis., kehilangan kontrol,
mengalami serangan jantung, "menjadi gila").
2. Perubahan maladaptif yang signifikan dalam perilaku yang terkait dengan
serangan (misalnya, perilaku yang dirancang untuk menghindari serangan
panik, seperti menghindari olahraga atau situasi asing).
Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (misalnya
penyalahgunaan obat-obatan) atau kondisi medis lain (misalnya,
hipertiroidisme, gangguan kardiopulmoner).5

E. Diagnosis
Gangguan panik dapat ditegakkan berdasarkan pedoman diagnosis gangguan
panik, yaitu sebagai berikut:
1. Gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis utama bila tidak
ditemukan adanya gangguan anxietas fobik (F40.-)
2. Untuk diagnosis pasti, harus ditemukan adanya beberapa kali serangan
anxietas berat (severe attacks of autonomic anxiety) dalam masa kira-kira 1
bulan:
a. Pada keadaan-keadaan di mana sebenarnya secara objektif tidak ada
bahaya,
b. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga
sebelumnya (unpredictable situations),
c. Dengan keadaan yang relatif bebas dari gejala-gejala anxietas pada
periode di antara serangan-serangan panik (meskipun demikian,
umumnya dapat terjadi juga "anxietas antisipatorik" yaitu anxietas yang
terjadi setelah membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan akan
terjadi).11

7
F. Diagnosis Banding
1. Gangguan kecemasan tertentu lainnya atau gangguan kecemasan tidak
spesifik. Gangguan panik seharusnya tidak didiagnosis jika serangan panik
dengan gejala penuh (tidak terduga) tidak pernah dialami. Dalam kasus hanya
serangan panik tak terduga dengan gejala terbatas, gangguan kecemasan
tertentu lainnya, atau kecemasan tidak spesifik diagnosis gangguan harus
dipertimbangkan.5
2. Gangguan kecemasan karena kondisi medis lain. Gangguan panik tidak
didiagnosis jika panik serangan dinilai sebagai konsekuensi fisiologis
langsung dari kondisi medis lain. Contoh dari kondisi medis yang dapat
menyebabkan serangan panik termasuk hipertiroidisme, hiperparatiroidisme,
pheochromocytoma, disfungsi vestibular, gangguan kejang, dan kondisi
cardiopulmonary (misalnya: aritmia, takikardia supraventrikular, asma,
penyakit paru obstruktif kronik [COPD]).
Tes laboratorium yang sesuai (misalnya, kadar kalsium serum untuk
hiperparatiroidisme; monitor Holter untuk aritmia) atau pemeriksaan fisik
(misalnya, untuk kondisi jantung) dapat membantu dalam menentukan peran
etiologi dari kondisi medis lain.5
3. Gangguan kecemasan akibat zat/obat. Gangguan panik tidak didiagnosis
jika serangan panic dianggap sebagai konsekuensi fisiologis langsung dari
suatu zat. Keracunan dengan saraf pusat stimulan sistem (misalnya, kokain,
amfetamin, kafein) atau ganja dan penarikan dari pusat depresan sistem saraf
(misalnya, alkohol, barbiturat) dapat memicu serangan panik. Namun, jika
serangan panik terus terjadi di luar konteks penggunaan zat (misalnya, lama
setelah efek dari keracunan atau penarikan telah berakhir), diagnosis
gangguan panik harus dipertimbangkan.
Sebagai tambahan, karena gangguan panik dapat mendahului
penggunaan zat pada beberapa individu dan mungkin terkait dengan
peningkatan penggunaan zat, terutama untuk tujuan pengobatan sendiri,
riwayat rinci harus diambil untuk: menentukan apakah individu mengalami
serangan panik sebelum penggunaan zat yang berlebihan. Jika ini
masalahnya, diagnosis gangguan panik harus dipertimbangkan selain
diagnosis gangguan penggunaan zat. Fitur seperti onset setelah usia 45 tahun
atau adanya gejala atipikal selama serangan panik (misalnya, vertigo,
kehilangan kesadaran, kehilangan kontrol kandung kemih atau usus, bicara
cadel, armiesia) menyarankan kemungkinan bahwa kondisi medis lain atau
suatu zat dapat menyebabkan gejala serangan panik.5

8
4. Gangguan mental lain dengan serangan panik sebagai fitur terkait
(misalnya, gangguan kecemasan lainnya dan gangguan psikotik).
Serangan panik yang terjadi sebagai gejala gangguan kecemasan lainnya
adalah: diharapkan (misalnya, dipicu oleh situasi sosial dalam gangguan
kecemasan sosial, oleh objek atau situasi fobia dalam fobia spesifik atau
agorafobia, kecemasan pada gangguan kecemasan umum, perpisahan dari
rumah atau angka lampiran dalam gangguan kecemasan perpisahan) dan
dengan demikian tidak akan memenuhi kriteria untuk gangguan panik.
(Catatan: Kadang-kadang serangan panik yang tidak terduga dikaitkan
dengan timbulnya gangguan kecemasan lain, tetapi kemudian serangan
menjadi diharapkan, sedangkan gangguan panik ditandai dengan kejadian tak
terduga yang berulang serangan panik.)
Jika serangan panik hanya terjadi sebagai respons terhadap pemicu
tertentu, maka hanya yang relevan gangguan kecemasan ditugaskan. Namun,
jika individu tersebut mengalami serangan panik yang tidak terduga juga dan
menunjukkan kekhawatiran yang terus-menerus atau perubahan perilaku
karena serangan, kemudian tambahan diagnosis gangguan panik harus
dipertimbangkan.5

G. Penatalaksanaan
1. Farmakoterapi
a. SSRI (serotonin selective. reuptake inhibitors). Ada beberapa macam,
dapat dipilih salah satu, yaitu sertralin, fluoksetin, fluvoksamin,
escitalopram, dll. Obat diberikan selama 3-6 bulan atau lebih, tergantung
kondisi individu, agar kadarnya stabil dalam darah sehingga dapat
mencegah kekambuhan.
b. Golongan Benzodiazepin; awitan kerjanya cepat, dikonsumsi biasanya
antara 4-6 minggu, setelah itu secara perlahan-lahan diturunkan dosisnya
sampai akhirnya dihentikan. Contoh golongan benzodiazepine yaitu
lorazepam, clonazepam, alprazolam dan diazepam.3,2
c. SNRI (serotonin norepinephrine reuptake inhibitor). Ini merupakan salah
satu golongan antipanik yang terbaru, cara kerja obat ini adalah mencegah
reuptake inhibitor serotonin-neropinefrin sehingga dapat mengatasi
kepanikan. Contoh obat golongan SNRI yaitu Venlafaxine.12

2. Psikoterapi

9
a. Terapi relaksasi
Diberikan pada hampir semua individu yang mengalami gangguan
panik, kecuali pasien yang menolak. Terapi ini bermanfaat meredakan
secara relatif cepat serangan panik dan menenangkan individu, namun itu
dapat dicapai bagi yang telah berlatih setiap hari. Prinsipnya adalah
melatih pernafasan (menarik nafas dalam dan lambat, lalu
mengeluarkannya dengan lambat pula), mengendurkan seluruh otot tubuh
dan melakukan sugesti pikiran ke arah konstruktif atau yang diinginkan
akan dicapai. Dalam proses terapi, dokter akan membimbing individu
melakukan ini secara perlahan lahan, biasanya berlangsung selama 20-30
menit atau lebih lama lagi. Setelah itu, individu diminta untuk
melakukannya sendiri di rumah setiap hari, sehingga bila serangan panik
muncul kembali, tubuh sudah siap untuk relaksasi.
b. Terapi kognitif perilaku
Individu diajak untuk bersama-sama melakukan restrukturisasi
kognitif, yaitu membentuk kembali pola perilaku dan pikiran yang
irasional dan menggantinya dengan yang lebih rasional. Terapi biasanya
berlangsung 30-45 menit. Individu kemudian diberi pekerjaan rumah
yang harus dibuat setiap hari, dan membuat daftar pengalaman harian
dalam menyikapi berbagai peristiwa yang dialami, misalnya yang
mengecewakan dan menyedihkan. Biasanya terapi ini memerlukan 10-15
kali pertemuan, bisa kurang namun dapat pula lebih, tergantung pada
kondisi individu yang mengalaminya.
c. Psikoterapi dinamik
Individu diajak untuk lebih memahami diri dan kepribadiannya,
bukan sekedar menghilangkan gejalanya semata. Pada psikoterapi ini,
biasanya individu lebih banyak berbicara, sedangkan dokter lebih banyak
mendengar, kecuali pada individu yang benar-benar pendiam, maka
dokter yang lebih aktif. Terapi ini memerlukan waktu panjang, dapat
berbulan-bulan bahkan tahun. Hal ini tentu memerlukan kerjasama yang
baik antara individu dengan dokternya, serta kesabaran keduabelah
pihak.3,2

10
G. Prognosis
Kira-kira 30% – 40% pasien sembuh sempurna, 50% masih mempunyai gejala
yang ringan tapi tidak mengganggu aktifitas kehidupan sehari-hari. Sekitar 10%
– 20% masih terus mengalami gejala yang signifikan.4

11
BAB III

KESIMPULAN

Gangguan panik ditandai dengan adanya serangan panik yang tidak diduga
dan spontan yang terdiri atas periode rasa takut yang intens dan bervariasi dari
sejumlah serangan sepanjang hari sampai hanya sedikit serangan selama satu tahun.
Setiap episode berlangsung sekitar 15-30 menit, meskipun efek sisa dapat
berlangsung lebih lama. Serangan panik dapat terjadi secara spontan atau sebagai
respon terhadap situasi tertentu.

Faktor yang berperan penting sebagai penyebab gangguan panik adalah faktor
biologis, faktor genetika, dan faktor psikososial. Seseorang dengan gangguan panik
sebanyak 30% – 40% pasien sembuh dengan sempurna.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Yaunin, Y. Gangguan Panik Dengan Agorafobia. Majalah Kedokteran.


Andalas. 36, 234 (2012).
2. Sylvia, E. D. & Gitayanti, H. Buku Ajar Psikiatri. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2018.
3. Soiza, R. L., Donaldson, A. I. C. & Myint, P. K. Anticonvulsant and
antipsychotic medications in the pharmacotherapy of panic disorder.
Therapeutic Advances in Psychopharmacology. 9, 259–261 (2018).
4. Hadisaputra, Q. A. S. U. S. A. Gangguan Panik. Fakultas Kedokteran
Universitas Riau. (2016).
5. Kosanke, R. M. Desk Reference To The Diagnostic Criteria From Dsm-5.
(2019).
6. Nuryati & Lily, K. Klasifikasi dan Kodefikasi penyakit dan Masalah Terkait
III. Kementrian Kesehat. Republik Indones. 16.
7. Oktamarina, L. et al. Gangguan Kecemasan (Axiety Disorder). Jurnal
Multididipliner Bharasumba. 116–131 (2022).
8. Aryati, K., Fr, C., Kedokteran, F. & Lampung, U. Seorang Laki-Laki Usia 27
Tahun dengan Gangguan Panik. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. 9,
749–753 (2020).
9. Sivanesh, T. Penilaian Keparahan Serta Komorbiditas Gangguan Panik.
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 4, 42–50.
10. Vildayanti, H. et al. Farmakoterapi Gangguan Anxietas. Fakultas Farmasi
Universitas Padjadjaran 16, 196–213 (2015).
11. Rusdi, M. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. (PT. Nuh Jaya, 2013).
12. Tatalaksana Gangguan Ansietas (Kecemasan) Akibat Wabah Covid-19. RSUD
Dr. Soetomo Surabaya.

13
14

Anda mungkin juga menyukai