Kelompok 2 Transplantasi Organ
Kelompok 2 Transplantasi Organ
TRANSPLANTASI ORGAN
Disusun Oleh:
Macam-macam Transplantasi
Berdasarkan sifat pemindahan organ atau jaringan tubuh yang dipindahkan ke tubuh
yang lain, transplantasi dibedakan kepada tiga, yaitu:
a) Autograft, yaitu Pemindahan organ jaringan atau organ dari satu tempat ke tempat lain
dalam tubuh pasien sendiri. Misalnya, operasi bibir sumbing;
b) Allograft, yaitu: Pemindahan jaringan atau organ dari tubuh ke tubuh yang lain yang sama
jenis atau spesiesnya, yakni antara manusia dengan manusia. Transplantasi allograft yang
sering terjadi dan tingkat keberhasilannya tinggi antara lain: transplantasi ginjal, dan kornea
mata;
c) Xenograft, yaitu: pemindahan jaringan atau organ dari satu tubuh ke tubuh lain yang tidak
sama spesiesnya, misalnya antara spesies manusia dengan binatang.
Berdasarkan hubungan genetik antara donor dan resipien, Chrisdiono membagi
transplantasi menjadi, yaitu: a) Auto Transplantasi yaitu transplantasi di mana donor
resipiennya satu individu. Misalnya, seorang yang pipinya dioperasi, untuk memulihkan
bentuk, diambilkan daging dari bagian badannya yang lain dalam badannya sendiri; b)
Homo Transplantasi yakni transplantasi itu donor dan resipiennya individu yang sama
jenisnya (jenis di sini bukan jenis kelamin tetapi jenis manusia dengan manusia). Contoh
transplantasi homologous dari donor yang sudah meninggal adalah kornea mata; c) Hetero
Transplantasi ialah donor dan resipiennya dua individu yang berlainan jenisnya, misalnya,
transplantasi yang donornya adalah hewan. Sedangkan resipiennya adalah manusia.
Sementara berdasarkan jenis transplantasi itu sendiri Fathurrahman membagi transplantasi
menjadi 2, yaitu: 1) transplantasi jaringan, seperti pencangkokan cornea mata dan
menambal bibir sumbing dan 2) transplantasi organ, seperti jantung, hati, dan ginjal.
Transplantasi ini dilakukan untuk melangsungkan hidup penderita, karena jika tidak
dilakukan transplantasi maka akan membahayakan kelangsungan hidup penderita
(Soetjipto, 2010).
Secara medis, dalam dunia kedokteran dikenal tiga kategori transplantasi dilihat dari sudut
penerima organ atau resipien, antara lain:
1. Transplantasi autologous Pemindahan organ tubuh dari satu bagian ke bagian tubuh
lainnya pada orang yang sama, dalam hal ini donor dan resipien adalah satu orang
yang sama Contohnya, pemindahan kulit paha ke wajah.
2. Transplantasi homologous Pemindahan organ tubuh dari satu orang kepada orang
lain. Donor biasdalam keadaan hidup atau dalam keadaan meninggal. Contohnya
adalah donor kornea mata dari orang yang sudah meninggal.
3. Transplantasi heterologous Pemindahan organ dari spesies berbeda, misalnya
tulang rawan hewan untuk mengganti katup jantung manusia.
4. Xenotransplantation Pemindahan suatu jaringan atau organ dari spesies bukan
manusia ketubuh manusia. Contohnya pemindahan organ babi ke tubuh manusia
yangtelah rusak atau tidak berfungsi baik.
5. Transplantasi Domino merupakan transplantasi yang telah dilakukan sejak tahun
1987. Cara kerjanya adalah, donor memberikan jantungdan parunya kepada
resipien, kemudian resipien ini memberikan jantungnya kepada resipien lain.
Biasanya dilakukan pada seseorang dalam kondisi dimana kedua parunya perlu
diganti dan secara teknis lebih mudah mengganti jantung dan paru sebagai satu
kesatuan. Biasanya jantung dari penderita ini masih sehat, sehingga jantungnya
dapat didonorkan kepada orang lain yang lebih membutuhkan.
6. Split Transplantation terdapat suatu keadaan dimana seorang donor mati khususnya
donor hati, hatinya dapat dibagi untuk duaresipien khususnya untuk resipien dewasa
dan anak. Namun, transplantasi jenis ini tidak dipilih karena transplantasi
keseluruhan organ akan lebih baik.
Beberapa pihak yang ikut terlibat dalam usaha transplantasi adalah (a) donor hidup,
(b) jenazah dan donor mati, (c) keluarga dan ahli waris, (d) resepien, (e) dokter dan
pelaksana lain, dan (f) masyarakat. Hubungan pihak – pihak itu dengan masalah etik dan
moral dalam transplantasi akan dibicarakan dalam uraian dibawah ini.
a. Donor Hidup
Adalah orang yang memberikan jaringan / organnya kepada orang lain ( resepien ).
Sebelum memutuskan untuk menjadi donor, seseorang harus mengetahui dan mengerti
resiko yang dihadapi, baik resiko di bidang medis, pembedahan, maupun resiko untuk
kehidupannya lebih lanjut sebagai kekurangan jaringan / organ yang telah dipindahkan.
Disamping itu, untuk menjadi donor, sesorang tidak boleh mengalami tekanan psikologis.
Hubungan psikis dan omosi harus sudah dipikirkan oleh donor hidup tersebut untuk
mencegah timbulnya masalah.
b. Jenazah dan donor mati
Adalah orang yang semasa hidupnya telah mengizinkan atau berniat dengan sungguh –
sungguh untuk memberikan jaringan / organ tubuhnya kepada yang memerlukan apabila
ia telah meninggal kapan seorang donor itu dapat dikatakan meninggal secara wajar, dan
apabila sebelum meninggal, donor itu sakit, sudah sejauh mana pertolongan dari dokter
yang merawatnya. Semua itu untuk mencegah adanya tuduhan dari keluarga donor atau
pihak lain bahwa tim pelaksana transplantasi telah melakukan upaya mempercepat
kematian seseorang hanya untuk mengejar organ yang akan ditransplantasikan
c. Keluarga donor dan ahli waris
Kesepakatan keluarga donor dan resipien sangat diperlukan untuk menciptakan saling
pengertian dan menghindari konflik semaksimal mungkin atau pun tekanan psikis dan
emosi di kemudian hari. Dari keluarga resepien sebenarnya hanya dituntut suatu
penghargaan kepada donor dan keluarganya dengan tulus. Alangkah baiknya apabila
dibuat suatu ketentuan untuk mencegah tinmulnya rasa tidak puas kedua belah pihak.
d. Resipien
Adalah orang yang menerima jaringan / organ orang lain. Pada dasarnya, seorang
penderita mempunyai hak untuk mendapatkan perawatan yang dapat memperpanjang
hidup atau meringankan penderitaannya. Seorang resepien harus benar – benar
mengerti semua hal yang dijelaskan oleh tim pelaksana transplantasi. Melalui tindakan
transplantasi diharapkan dapat memberikan nilai yang besar bagi kehidupan resepien.
Akan tetapi, ia harus menyadari bahwa hasil transplantasi terbatas dan ada kemungkinan
gagal. Juga perlu didasari bahwa jika ia menerima untuk transplantasi berarti ia dalam
percobaan yang sangat berguna bagi kepentingan orang banyak di masa yang akan
datang.
e. Dokter dan tenaga pelaksana lain
Untuk melakukan suatu transplantasi, tim pelaksana harus mendapat parsetujuan dari
donor, resepien, maupun keluarga kedua belah pihak. Ia wajib menerangkan hal – hal
yang mungkin akan terjadi setelah dilakukan transplantasi sehingga gangguan psikologis
dan emosi di kemudian hari dapat dihindarkan. Tnaggung jawab tim pelaksana adalah
menolong pasien dan mengembangkan ilmu pengetahuan untuk umat manusia. Dengan
demikian, dalam melaksanakan tugas, tim pelaksana hendaknya tidak dipengaruhi oleh
pertimbangan – pertimbangan kepentingan pribadi.
f. Masyarakat
Secara tidak sengaja masyarakat turut menentukan perkembangan transplantasi.
Kerjasama tim pelaksana dengan cara cendekiawan, pemuka masyarakat, atau pemuka
agama diperlukan unutk mendidik masyarakat agar lebih memahami maksud dan tujuan
luhur usaha transplantasi. Dengan adanya pengertian ini kemungkinan penyediaan organ
yang segera diperlikan, atas tujuan luhur, akan dapat diperoleh.
Kasus
Tn. H usia 38 tahun asal Kota Shannxi, pernah menjadi seorang pekerja tambang di
Provinsi Sichuan sejak ia berusia 21 tahun. Pada bulan Desember 2018, ia tiba-tiba pingsan
pada saat tengah bekerja di pertambangan tersebut. Hasil diagnosa rumah sakit setempat
menyatakan sepertinya dia mengidap radang paru-paru dan dikatakan paru-parunya telah
terkena pulmonary fibrosis.
Sebagai buruh tambang, Tn. H bertahan hidup dengan pendapatan yang minim,
sehingga dia tidak mampu membiayai perawatan medis yang cukup untuk penyakit paru-
paru atau untuk transplantasi paru-paru. Meskipun demikian, personil medis pada Rumah
Sakit Huaxi memutuskan untuk melakukan transplantasi paru-paru untuknya. Setelah
operasi, rumah sakit berkata bahwa suksesnya operasi "mengindikasikan penyakit paru-
paru pasien dengan pulmonary fibrosis kemungkinan dapat disembuhkan." Kesehatan Tn. H
sampai sekarang belum diketahui.
Satu hal penting yang sering terlewatkan dari kasus ini adalah bahwa rumah sakit
tidak pernah menyebutkan sumber organ yang digunakan untuk operasi Tn. H. Karena
industri transplantasi organ di China tidak diawasi, dan dari bukti-bukti yang berlimpah
tentang pengambilan organ dari para praktisi Falun Gong secara besar-besaran, ada
kemungkinan bahwa organ yang digunakan berasal dari seorang pendonor non-sukarela
yang mungkin masih hidup pada saat pembedahan.
Pembahasan
Langkah – langkah pengambilan keputusan etis yang terdiri dari 6 tahap yaitu
(Nelson, 2015; Park & Park, 2015) :
1. Mengumpulkan informasi tambahan untuk mengidentifikasi masalah
Mengidentifikasi semua faktor yang berkontribusi terhadap adanya konflik etika.
Memahami diagnosis, prognosis, pilihan perawatan dan tujuan perawatan pasien.
Indetifikasi preferensi pasien, nilai – nilai pribadi pasien, kapasitas pengambilan
keputusan, apabila pasien memiliki kekurangan dalam kapasitas pengambilan
keputusan tentukan pembuat keputusan. Keluarga dan semua staf tenaga kesehatan
harus mengungkapkan prespektifnya terhadap adanya konflik etika.
Tn. H usia 38 tahun asal Kota Shannxi, pernah menjadi seorang pekerja tambang di
Provinsi Sichuan sejak ia berusia 21 tahun. Pada bulan Desember 2018, ia tiba-tiba
pingsan pada saat tengah bekerja di pertambangan tersebut. Hasil diagnosa rumah
sakit setempat menyatakan sepertinya dia mengidap radang paru-paru dan
dikatakan paru-parunya telah terkena pulmonary fibrosis
2. Mengindentifikasi masalah etika yang terjadi berdasarkan situasi tersebut
Menentukan semua fakta, prespektif nilai, dan isu terkait konflik etis. Pertanyaan
terkait konflik etis harus diidentifikasi dan ditinjau sehingga kesepakatan dapat
diterima oleh semua pihak.
Berdasarkan kasus diatas klien mengalami masalah pada otonominya. Klien tidak
diberikan kesempatan mengambil keputusan pada pelaksanaan transplantasi organ.
Personal medis pada Rumah Sakit memutuskan sendiri tindakan transplantasi organ.
Sumber donor organ juga tidak diketahi secara jelas asalnya, apakah berasal dari
donor sukarela ataupun non sukarela.
3. Mengembangkan alternatif solusi untuk dianalisis dan konsekuensi dari tindakan
tersebut
Dalam tahap ini alternatif solusi harus memperhatikan nilai – nilai organisasi. Apakah
terdapat kebijakan organisasi terkait dengan konflik etika.
Seharusnya tenaga kesehatan melibatkan passien dan keluarga pasien dalam
pengambilan keputusan transplantasi organ. Apabila pasien menolak tindakan,
tenaga kesehatan harus menerima keputusan tersebut. Selain itu, rumah sakit harus
memperhatikan sumber donor organ dengan jelas.
4. Memilih alternatif solusi terbaik dan Menentukan keputusan dan bertindak sesuai
dengan keputusan yang diambil.
Pada langkah ini perawat mengenali semua pilihan dan pembenaran etis untuk
semua pilihan. Hal ini agar pengambilan keputusan yang dilakukan memiliki analisis
kritis yang sesuai. Setelah meninjau ulang semua pilihan, pengambil keputusan
menentukan opsi mana yang secara moral dapat dibenarkan dan konsekuensinya.
Setelah keputusan diambil, keputusan ini harus disampaikan pada semua pihak.
Dalam penyelesaian kasus yang sama kedepannya tenaga kesehatan harus
memperhatikan otonomi dari klien. Kemudian, rumah sakit harus memperhatikan
sumber donor organ dengan jelas.
5. Evaluasi efek dan pengembangan strategi untuk mencegah kejadian serupa. Adanya
konflik etis yang berulang dapat menurunkan kualitas perawatan, efisiensi,
produktivitas, biaya operasional dan budaya organisasi. Perawat dalam hal ini harus
mengeskplorasi mengapa konflik etis terjadi dan bagaimana mencegah agar konflik
etis tidak terulang kembali
Tenaga kesehatan, rumah sakit, dan pemerintah perlu membuat kebijakan tertulis
terkait regulasi transplantasi organ.
Transplantasi Ditinjau dari Aspek Hukum
Pengaturan mengenai transplantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia telah
diatur dalam hukum positif di Indonesia. Dalam peraturan tersebut diatur tentang siapa yang
berwenang melakukan tindakan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia,
bagaimana prosedur pelaksanaan tindakan medis transplantasi organ dan atau jaringan
tubuh manusia, juga tentang sanksi pidana. Dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan bagi pelaku pelanggaran baik yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan,
melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia tanpa persetujuan donor
atau ahli waris, memperjual belikan organ dan atau jaringan tubuh manusia diancam pidana
penjara paling lama 7 (tujuh ) tahun dan denda paling banyak Rp.140.000.000,- (seratus
empat puluh juta) sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (1)a, Pasal 81 ayat (2)a, Pasal
80 ayat (3), dan sanksi administratif terhadap pelaku pelanggaran yang melakukan
transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia yang diatur dalam Pasal 20 ayat (2) PP
No. 81 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Minis dan Bedah Mayat Anatomis serta
Transplantasi Alat dan/atau Jaringan Tubuh Manusia.
Untuk menanggulangi perdagangan gelap organ dan/atau jaringan tubuh manusia
diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang, yang berisi ketentuan mengenai jenis perbuatan dan sanksi pidana bagi pelaku yang
terdapat dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 13, dan Pasal
17, dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 120.000.000, (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 600.000.000, (enam ratus juta rupiah). Sedangkan sebagai bentuk perlindungan
terhadap anak yang juga rentan terhadap tindakan eksploitasi perdagangan gelap
transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh telah diatur dalam Pasal 47 dan Pasal 85 UU
NO. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta yang berisi ketentuan mengenai jenis
tindak pidana dan sanksi pidana yang dapat dikenakan terhadap pelakunya.
Dalam melakukan tindakan medis transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh
manusia seorang dokter harus melakukannya berdasarkan standart profesi serta berpegang
teguh pads Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).
Daftar Pustaka
Utami, Ngesti W., Agustine, Uly, & Happy, Ras E. (2016). Etika Keperawatan dan
Keperawatan Profesional L. Nadia, A. Suryana & H. Junianto (Eds.), Modul Bahan
Ajar Cetak Keperawatan
Husted, J. H. and H. G. L. (2008). Ethical decision making in nursing and health care the
symphonological approach (4th ed.). New York Amerika: Springer Publishing Company.
ANA. (2015). Code of ethics for nurses with interpretive statements. Silver Spring.
Avery, G. (2017). Law and Ethics in Nursing and Healthcare: An Introduction (2nd ed.).
London: SAGE Publications.
Care, N. (2017). IS NURSING ETHICS GOOD ENOUGH ? Australian Nursing & Midwifery
Journal, 25(3), 19. https://doi.org/2202-7114
Husted, J. H., & Husted, G. L. (2008). Ethical Decision Making in Nursing and Health Care
(4th ed.). New York: Springer Publising Company.
Newton, L. (2013). Ethical Decision Making: Introduction to Cases and Concepts in Ethics.
United States of America: Springer US. https://doi.org/10.1007/978-3-319-00167-8
Robbins, K. C., & Ojin, N. (2018). Nurses Address Ethical Issues in Health Care. Nephrology
Nursing Journal, 45(2), 215–220. https://doi.org/10.3912/OJIN.Vol23
Masjfu’ Zuhdi. (1993). Pencangkokan Organ Tubuh dalam Masaail Fiqhiyah. Jakarta: Haji
Mas Agung. hal. 112
Soekidjo Notoatmodjo. (2010). Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.