Anda di halaman 1dari 5

Kedokteran Gigi Kini Mengarah pada Bahan Nontoksik

Rabu, 12 Mar 2008 10:59:05

Pdpersi, Jakarta - Seiring dengan perkembangan zaman, berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan
ilmu dan teknologi kedokteran gigi. Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) pun kembali
menyelenggarakan Kongres Nasional PDGI 2008 bertema Promoting Excellence and Inovation entistry
Through The People, sebagai kegiatan tiga tahunan yang diisi dengan berbagai kegiatan ilmiah,
menampilkan pembicara dari dalam dan luar negeri.

“Berbagai perkembangan ilmu kedokteran gigi Indonesia dan dunia akan dibahas dalam berbagai sesi
ilmiah kongres yang tahun ini akan diselenggarakan di Surabaya,” ujar Ketua PDGI Emmyr F Moeis pada
sebuah perbincangan yang digelar PDGI dan Oral-B di Jakarta, kemarin.

Menanggapi upaya mewujudkan peningkatan ilmu dan teknologi kedokteran gigi, Prof Siti Mardewi dari
Dewan Pembina PDGI memaparkan konsep green dentistry pada praktik dokter gigi dengan
memerhatikan pemeliharaan lingkungan. “Konsep green dentistry adalah hasil dari riset mendalam, yang
memang bermanfaat dalam meningkatkan taraf hidup orang banyak,” papar Siti Mardewi.

Green dentistry merupakan suatu pendekatan yang menggabungkan praktik kedokteran gigi dengan
pemeliharaan lingkungan. Prof Siti Mardewi menuturkan bahwa untuk mendukung kegiatan tersebut,
dokter gigi perlu menggunakan bahan kedokteran gigi nontoksik, dalam mengurangi limbah dan tindakan
invasive.

Kebanyakan masyarakat tidak menyadari bahwa tempat praktik dokter gigi dapat berpotensi sebagai asal
limbah yang membahayakan lingkungan. Limbah berbagaya yang dimaksud adalah limbah merkuri
dalam amalgam, air pembuangan, alat tajam, darah, jaringan, cairan X-rays dan lead foils, serta cairan
pembersih atau cairan disinfectans.

“Para dokter gigi diharapkan memiliki tanggung jawab dalam pemeliharaan dan perlindungan tempat
praktiknya, mulai dari perlindungan terhadap pasien, klinik, maupun alam sekitarnya,” papar Prof Siti
Mardewi.

Di Amerika Serikat (AS), masalah limbah ini sudah mendapatkan penanganan secara komprehensif. Para
mahasiswa kedokeran gigi sejak dini telah mendapatkan pengetahuan tentang limbah terkait
menjalankan praktik sebagai dokter gigi yang dapat mengganggu kesehatan lingkungan. Instansi terkait
juga dilibatkan guna mendukung upaya menjaga kesehatan lingkungan.

Pada dasarnya masalah pemeliharaan lingkungan di Indonesia telah diatur dalam Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Prof Siti Mardewi mengatakan,
undang-undang tersebut merupakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang
meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan dan pengendalian
lingkungan hidup. “Namun, hal itu belum diterjemahkan ke seluruh lembaga terkait,” kata Siti Mardewi.

Kedokteran Gigi sebagai salah satu lembaga yang terkait dalam masalah limbah, turut memiliki tanggung
jawab dengan mengantisipasi pemeliharaan lingkungan. Hal-hal yang terkait pembinaan serta
pengawasan praktik kedokteran gigi juga telah diatur Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran (UUPK), dalam Bab IX Pasal 71 dan 72. Turut mendukung upaya pembinaan, Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) bertugas mengawasi praktik
kedokteran sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing. (izn)

Cakrawala Lainnya :
Tren Kanker Payudara Menyerang Kaum Remaja
Satu Balita Meninggal Tiap 2,5 Menit Akibat Infeksi
UU Kesehatan Jiwa Mendesak Diterbitkan
Sering Disalahgunakan, Penjualan Pil Dekstro Perlu Diawasi Ketat
Pria Juga Berperan Penting dalam Penularan Kanker Leher Rahim

Lihat Arsip Cakrawala

Manajemen Limbah Rumah Sakit


Oleh : Drs. Ketut Kusminarno, MM
Senin, 20 Dec 2004 15:38:30

Pdpersi, Jakarta - Pelayanan kesehatan dikembangkan dengan terus mendorong peran serta aktif
masyarakat termasuk dunia usaha. Usaha perbaikan kesehatan masyarakat terus dikembangkan antara
lain melalui pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi,
penyediaan air bersih, penyukuhan kesehatan serta pelayanan kesehataan ibu dan anak. Perlindungan
terhadap bahaya pencemaran darimanapun juga perlu diberi perhatian khusus.

Sehubungan dengan hal tersebut, pengelolaan limbah rumah sakit yang merupakan bagian dari
penyehatan lingkungan di rumah sait juga mempunyai tujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya
pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah rumah sakit serta mencegah infeksi nosoknomial di
lingkungan rumah sakit, perlu diupayakan bersama oleh unsur-unsur yang terkait dengan
penyelenggaraan kegiatan pelayanan rumah sakit. Unsur-unsur terebut meliputi antara lain yang berikut :

* Pemrakarsa atau penanggung jawab rumah sakit


* Pengguna jasa pelayanan rumah sakit
* para ahli, pakar dan lembaga yang dapat memberikan saran-saran
* Para pengusaha dan swasta yang dapat menyediakan sarana dan fasilitas yang diperlukan

Pengelolaan limbah rumah sakit yang sudah lama diupayakan dengan menyiapkan perangkat lunaknya
yang berupa peraturan-peraturan, pedoman-pedoman dan kebijakan-kebijakan yang mengatur
pengelolaan dan peningkatan kesehatan di lingkungan rumah sakit.

Disamping peraturan-peraturan tersebut secara bertahap dan berkesinambungan Departemen


Kesehatan terus mengupayakan dan menyediakan dan untuk pembangunan instalasi pengelolaan limbah
rumah sakit melalui anggaran pembangunan maupun dari sumber bantuan dana lainnya. Dengan
demikian sampai saat ini sebagian rumah sakit pemerintah telah dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan
limbah, meskipun perlu untuk disempurnakan. Namun disadari bahwa pengelolaan limbah rumah sakit
masih perlu ditingkatkan pemasyrakatan terutama dilingkungan masyarakat rumah sakit.

Pembuangan Limbah
Dalam profil kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan, 1997 diungkapkan seluruh RS di Indonesia
berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil kajian terhadap 100 RS di Jawa dan Bali
menunjukkan bahwa rata-rata produksi sampah sebesar 3,2 Kg per tempat tidur per hari. Sedangkan
produksi limabh cair sebesar 416,8 liter per tempat tidur per hari. Analisa lebih jauh menunjukkan,
produksi sampah (limbah padat) berupa limbah domestik sebesar 76,8 persen dan berupa limbah
infektius sebesar 23,2 persen. Diperkirakan secara nasional produksi sampah (limbah padat) RS sebesar
376.089 ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari. Dari gambaran tersebut
dapat dibayangkan betapa besar potensi RS untuk mencemari lingkungan dan kemungkinannya
menimbulkan kecelakaan serta penularan penyakit.

Rumah sakit menghasilkan limbah dalam jumlah besar, beberapa diantaranya membahyakan kesehatan
di lingkungannya. Di negara maju, jumlah limbah diperkirakan 0,5 - 0,6 kilogram per tempat tidur rumah
sakit per hari. Pembuangan limbah yang berjumlah cukup besar ini paling baik jika dilakukan dengan
memilah-milah limbah ke dalam pelbagai kategori. Untuk masing-masing jenis kategori diterapkan cara
pembuangan limbah yang berbeda. Prinsip umum pembuangan limbah rumah sakit adalah sejauh
mungkin menghindari resiko kontaminsai dan trauma (injury). jenis-jenis limbah rumah sakit meliputi
bagian berikut ini :

* Limbah Klinik
Limbah dihasilkan selama pelayanan pasien secara rutin, pembedahan dan di unit-unit resiko tinggi.
Limbah ini mungkin berbahaya dan mengakibatkan resiko tinggi infeksi kuman dan populasi umum dan
staff rumah sakit. Oleh karena itu perlu diberi label yang jelas sebagai resiko tinggi. contoh limbah jenis
tersebut ialah perban atau pembungkus yang kotor, cairan badan, anggota badan yang diamputasi,
jarum-jarum dan semprit bekas, kantung urin dan produk darah.
* Limbah Patologi
Limbah ini juga dianggap beresiko tinggi dan sebaiknya diotoklaf sebelum keluar dari unit patologi.
Limbah tersebut harus diberi label Biohazard
* Limbah Bukan Klinik
Limbah ini meliputi kertas-kertas pembungkus atau kantong dan plastik yang tidak berkontak dengan
cairan badan. Meskipun tidak menimbulkan resiko sakit, limbah tersebut cukup merepotkan karena
memerlukan tempat yang besar untuk mengangkut dan mambuangnya
* Limbah Dapur
Limbah ini mencakup sisa-sisa makanan dan air kotor. Berbagai serangga seperti kecoa, kutu dan
hewan mengerat seperti tikus merupakan gangguan bagi staff maupun pasien di rumah sakit
* Limbah Radioaktif
Walaupun limbah ini tidak menimbulkan persoalan pengendalian infeksi di rumah sakit,
pembuangannya secara aman perlu diatur dengan baik

Pemberian kode warna yang berbeda untuk masing-masing sangat membantu pengelolaan limbah
tersebut. Tabel 1 menyajikan contoh sistem kodisifikasi limbah rumah sakit dengan menggunakan warna.

JENIS LIMBAH

WARNA
Bangsal / Unit
Klinik Kuning

Bukan Klinik
Hitam
Kamar Cuci Rumah Sakit
Kotor / terinfeksi Merah
Habis dipakai Putih
Dari kamar operasi Hijau / biru
Dapur
Sarung tangan dengan warna yang
berbeda untuk memasak dan
membersihkan badan

Agar kebijakan kodifikasikan menggunakan warna dapat dilaksanakan dengan baik, tempat limbah di
seluruh rumah sakit harus memiliki warna yang sesuai, sehingga limbah dapat dipisah-pisahkan di tempat
sumbernya.

1. Bangsal harus memiliki dua macam tempat limbah dengan dua warna, satu untuk limbah klinik dan
yang lain untuk bukan klinik
2. Semua limbah dari kamar operasi dianggap sebagai limbah klinik
3. Limbah dari kantor, biasanya berupa alat-alat tulis, dianggap sebagai limbah klinik.
4. Semua limbah yang keluar dari unit patologi harus dianggap sebagai limbah klinik dan perlu
dinyatakan aman sebelum dibuang.

Beberapa hal perlu dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan kodifikasi dengan warna yang
menyangkut hal-hal berikut :

1. Pemisahan limbah
* Limbah harus dipisahkan dari sumbernya
* Semua limbah beresiko tinggi hendaknya diberi label jelas
* Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna yang berbeda, yang menunjukkan ke mana
plastik harus diangkut untuk insinerasi atau dibuang
2. Di beberapa negara, kantung plastik cukup mahal sehingga sebagai ganti dapat digunakan kantung
kertas yang tahan bocor (dibuat secara lokal sehingga dapat diperoleh dengan mudah). Kantung kertas
ini dapat ditempeli dengan strip berwarna, kemudian ditempatkan di tong dengan kode warna dibangsal
dan unit-unit lain
3. Penyimpanan limbah
* Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah berisi 2/3 bagian. Kemudian diikat
bagian atasnya dan diberi label yang jelas
* Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga kalau dibawa mengayun
menjauhi badan, dan diletakkan di tempat-temapt tertentu untuk dikumpulkan
* Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan warna yang sama telah
dijadikan satu dan dikirim ke tempat yang sesuai
* Kantung harus disimpan di kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan hewan perusak sebelum
diangkut ke tempat pembuangannya
4. Penanganan limbah
* Kantung-kantung dengan kode warna hanya boleh diangkut bile telah ditutup
* Kantung dipegang pada lehernya
* Petugas harus mengenakan pakaian pelindung, misalnya dengan memakai sarung tangan yang
kuat dan pakaian terusan (overal), pada waktu mengangkut kantong tersebut
* Jika terjadi kontaminasi diluar kantung diperlukan kantung baru yang bersih untuk membungkus
kantung baru yang kotor tersebut seisinya (double bagging)
* Petugas diharuskan melapor jika menemukan benda-benda tajam yang dapat mencederainya di
dalma kantung yang salah
* Tidak ada seorang pun yang boleh memasukkan tangannya kedalam kantung limbah
5. Pengangkutan limbah
Kantung limbah dikumpulkan dan seklaigus dipisahkan menurut kode warnanya. Limbah bagian
bukan klinik misalnya dibawa ke kompaktor, limbah bagian klinik dibawa ke insinerator. Pengankutan
dengan kendaran khusus (mungkin ada kerjasama dengan Dinas Pekerjaan Umum) kendaraan yang
digunakan untuk mengankut limbah tersebut sebaiknya dikosongkan dan dibersihkan tiap hari, kalau
perlu (misalnya bila ada kebocoran kantung limbah) dibersihkan dengan menggunakan larutan klorin.
6. Pembuangan limbah
Setelah dimanfaatkan dengan kompaktor, limbah bukan klinik dapat dibuang ditempat penimbunan
sampah (land-fill site), limbah klinik harus dibakar (insinerasi), jika tidak mungkin harus ditimbun dengan
kapur dan ditanam limbah dapur sebaiknya dibuang pada hari yang sama sehingga tidak sampai
membusuk

Rumah sakit yang besar mungkin mampu membeli insinerator sendiri. insinerator berukuran kecil atau
menengah dapat membakar pada suhu 1300 - 1500 oC atau lebih tinggi dan mungkin dapat mendaur
ulang sampai 60% panas yang dihasilkan untuk kebutuhan energi rumah sakit. Suatu rumah sakit dapat
pula memperoleh penghasilan tambahan dengan melayani insinerasi limbah rumah sakit yang berasal
dari rumah sakit lain. Insinerator modern yang baik tentu saja memiliki beberapa keuntungan antara lain
kemampuannya menampung limbah klinik maupun bukan klinik, termasuk benda tajam dan produk
farmasi yang tidak terpakai.

Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun dengan kapur dan ditanam. Langkah-
langkah pengapuran (liming) tersebut meliputi yang berikut.

1. Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter


2. Tebarkan limbah klinik didasar lubang sampai setinggi 75 cm
3. Tambahkan lapisan kapur
4. Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa ditambahkan sampai ketinggian 0,5 meter
dibawah permukaan tanah
5. Akhirnya lubang tersebut harus dituutup dengan tanah
Perlu diingat, bahan yang tidak dapat dicerna secara biologi (nonbiodegradable), misalnya kantung
plastik tidak perlu ikut ditimbun. Oleh karenanya limbah yang ditimbun dengan kapur ini harus dibungkus
kertas. Limbah-limbah tajam harus ditanam.

Limbah bukan klinik tidak usah ditimbun dengan kapur dan mungkin ditangani oleh DPU atau kontraktor
swasta dan dibuang di tempat tersendiri atau tempat pembuangan sampah umum. Limbah klinik, jarum,
semprit tidak boleh dibuang dengan di tempat pembuangan sampah umum.

Semua petugas yang menangani limbah klinik perlu dilatih secara memadai dan mengetahui langkah-
langkah apa yang harus dilakukan jika mengalami inokulasi atau kontaminasi badan. Semua petugas
harus mengenakan pakaian pelindng yang memadai, imunisasi terhadap hepatitis B sangat dianjurkan
dan catatan mengenai imunisasi tersebut sebaiknya tersimpan di bagian kesehatan kerja.

Penutup
Kegiatan rumah sakit yang sangat kompleks tidak saja memberikan dampak positif bagi masyarakat
sekitarnya, tetapi juga mungkin dampak negatif. Dampak negatif itu berupa cemaran akibat proses
kegiatan maupun limbah yang dibuang tanpa pengelolaan yang benar. Pengelolaan limbah rumah sakit
yang tidak baik akan memicu resiko terjadinya kecelakaan kerja dan penularan penyakit darin pasien ke
pekerja, dari pasien ke pasien dari pekerja ke pasien maupun dari dan kepada masyarakat pengunjung
rumah sakit. Oleh sebab itu untuk menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja maupun orang lain
yang berada di lingkungan rumah sakit dana sekitarnya, perlu penerapan kebijakan sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja, dengan melaksanakan kegiatan pengelolaan dan monitoring limbah
rumah sakit sebagai salah astu indikator penting yang perlu diperhatikan. Rumah sakit sebagai institusi
yang sosioekonomis karena tugasnya memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, tidak
terlepas dari tanggung jawab pengelolaan limbah yang dihasilkan

Anda mungkin juga menyukai