Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KLASIFIKASI HADIS BERDASARKAN PENYANDARANNYA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadist


Dosen pengampu: Dr. H. HASAN BISRI, M.Ag

Disusun oleh: Kelompok 11


Faiz Saad Ali ( NIM 1219240065 )
Febi

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

UIN SUNAN GUNUNG JATI BANDUNG

2021-2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, atas
rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah " Hadits Dha'if
Karena Cacat Keadilan Rawinya" dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ulumul Hadist oleh dosen
pengampu Bapak Prof. Dr. H. Hasan Bisri, M.Ag. Selain itu, makalah ini bertujuan
menambah wawasan bagi kami dan siapa saja yang membacanya.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. H. Hasan Bisri, M.Ag.
selaku dosen Mata Kuliah Ulumul Hadits Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran
dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 1 Desember 2021

Tim Penulis

DAFTAR ISI
Kata Pengantar.......................................................................................................................
i

Daftar isi..................................................................................................................................
ii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah.....................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................

1.3 Tujuan Makalah..................................................................................................................

1.4 Metodelogi Pembahasan.....................................................................................................

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Klasifikasi hadist berdasarkan penyandarannya................................................................

2.1.1 Hadist Qudsi.............................................................................................................................

2.1.2 Hadist Marfu............................................................................................................................

2.1.3 Hadist Mauquf.........................................................................................................................

2.1.4 Hadist Maqhtu.........................................................................................................................

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan.........................................................................................................................

3.2 Saran dan Kritik..................................................................................................................

Daftar Pustaka........................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Masalah


Berkembangnya periwayatan hadist tidak lepas dari adanya pihak –
pihak yang ingin memanipulasi hadist baik dari segi sanad atau matan. Keaslian
suatu hadist yang terbagi atas golongan ini sangat tergantung atas beberapa
faktor seperti keadaan rantai sanad maupun matanya.
Hadits mempunyai peranan yang sangat besar dalam pembinaan hukum
Islam, sebab disamping berfungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayat yang
masih samar dan global dalam al Qur’an Hadits berfungsi menetapkan hukum
terhadap suatu perkara yang belum ada dalam al qur’an.
Besarnya peranan Hadits ini harus disertai dengan kecermatan dalam
memilah dan memilih Hadits yang benar-benar dari Rasulullah. Sebab suatu
hadits yang diragukan berasal dari Nabi maka akan sulit dipertanggung
jawabkan untuk dijadikan sebagai sumber hukum kedua setelah al qur’an. Maka
jika tersebarnya hadits-hadits semacam itu dapat menimbulkan dampak negatif
yang luar biasa. Di makalah ini akan dibahas mengenai Hadis dhoif karena cacat
keadilan rawinya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Ada berapa macam klasifikasi hadis menurut penyandarannya
2. Siapa yang menjadi sandaran dari hadis hadis tersebut
3. Apa saja kajian yang ada pada hadis tersebut
1.3 Tujuan makalah
1. Mengetahui ada berapa macam klasifikasi hadis menurut penyandarannya
2. Mengetahui siapa saja yang menjadi sandaran dari hadis hadis tersebut
3. Mengetahui Apa saja yang dikajian pada hadis tersebut

1.4 Metodelogi pembahasan


Penulisan makalah ini bersifat deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis
adalah metode atau cara kerja dalam suatu pemecahan masalah dengan cara
mendeskripsikan, menjelaskan dan menganalisis situasi dan kondisi suatu obyek
permasalahan dari sudut pandang penulis.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 KLASIFIKASI HADIS BERDASARKAN


PENYANDARANNYA

Pembagian hadis berdasarkan tempat penyandaran hadis ditinjau dari segi


tempat atau kepada siapa hadis tersebut disandarkan, terbagi kepada empat
macam, yaitu:

2.1.1 Hadis Qudsi

a. Pengertian Hadis Qudsi

Secara etimologi, kata al-qudsi adalah nisbah atau sesuatu yang dihubungkan,
kepada alquds yang berarti "suci". Dengan demikian, al-Hadits al-qudsi berarti Hadis
yang dihubungkan kepada zat yang quds, yang Maha Suci, Yaitu Allah SWT. Secara
istilah bahwa Hadis Qudsi itu adalah perkataan yang bersumber dari Rasul SAW,
namun disandarkan beliau kepada Allah SWT. Akan tetapi, meskipun itu adalah
perkataan atau firman Allah, Hadis Qudsi bukanlah Al-Qur'an dan bahkan keduanya
adalah berbeda.

b. Perbedaan Antara Hadis Qudsi dengan Al-Qur'an

 Al-Qur'an lafaz dan maknanya berasal dari Allah SWT. Sedangkan Hadis Qudsi
maknanya berasal dari Allah SWT, sementara lafaznya berasal dari Rasulullah
SAW.
 Al-Qur'an hukum membacanya adalah ibadah, sedangkan membaca Hadis
Qudsi hukumnya bukanlah ibadah.
 Periwayatan dan keberadaan Al-Qur’an disyaratkan harus mutawatir sementara
Hadis Qudsi, periwayatannya tidak disyaratkan mutawatir.
 Al-Qur'an adalah mukjizat, dan terpelihara dari terjadinya perubahan dan
pertukaran, serta tidak boleh diriwayatkan secara makna. Hadis Qudsi bukanlah
mukjizat, dan lafaz serta susunan kalimatnya bisa saja berubah, karena
dimungkinkan untuk diriwayatkan secara makna.
 Al-Qur'an dapat dibaca di dalam shalat, sementara Hadis Qudsi tidak dapat
dibaca ketika sedang melaksanakan shalat.

c. Perbedaan antara Hadis Qudsi dan Hadis Nabi atau Nabawi

Hadis Qudsi, nisbah atau pembangsaannya adalah kepada Allah SWT, dan
Rasulullah SAW berfungsi sebagai yang menceritakan atau meriwayatkannya dari Allah
SWT oleh karena itu, dihubungkanlah Hadis tersebut dengan Al-Quds (maka dinamai
Hadis Qudsi), atau dengan Al-Ilah (dan dinamai "Hadis Ilahi"). Sedangkan Hadis
Nabawi, nisbah atau pembangsaannya adalah kepada Nabi SAW dan sekaligus
periwayatannya.

d. Contoh Hadis Qudsi

Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shahih-nya, dari Abi Dzar
r.a., dari Nabi SAW menurut apa yang diriwayatkan beliau dari Allah SWT,
bahwasanya Dia berfirman, "Wahai hambaKu, sesungguhnga Aku mengharamkan
kezaliman atas diriKu dan Aku jadikan kezaliman itu di antara kamu sebagai perbuatan
yang haram, maka oleh karena itu janganlah kamu saling berbuat kezaliman .... "

e. Lafaz-lafaz Hadis Qudsi

Di dalam meriwayatkan Hadis Qudsi, ada dua lafaz yang dipergunakan, yaitu: Sabda
Rasulullah SAW menurut apa yang diriwayatkan beliau dari Allah SWT dan firman
Allah SWT menurut yang diriwayatkan dan padaNya oleh Rasulullah SAW.

f. Kitab yang memuat Hadis-Hadis Qudsi

Di antara kitab-kitab yang memuat Hadis Qudsi adalah: Al-Ittihafat, Al- Sunniyyah bi
al-Ahadits al-Qudsiyyah karya 'Abd al-Ra'uf al-Manawi. Di dalam Kitab ini terhimpun
sejumlah 272 buah Hadis Qudsi.

2.1.2 Hadis Marfu


a. Pengertiannya

Hadis Marfu' adalah Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dalam bentuk
perkataan, perbuatan, taqrir (pengalaman / ketetapan), ataupun sifat. Orang yang
menyandarkan itu boleh jadi Sahabat, atau selain Sahabat, seperti Tabi'in dan lainnya.
Dengan demikian, sanad dari Hadis Marfu'ini bisa Muthashil, yaitu berhubungan atau
bersambung dari awal sampai kepada akhir sanad-nya, dan bisa juga Munqathi', Mursal,
atau Mu'dhal dan Mu'allaq.

 Hukum Hadis Marfu

Hukum Hadis Marfu tergantung pada kualitas dan bersambung atau tidaknya sanad,
sehingga dengan demikian memungkinkan suatu Hadis Marfu'itu berstatus Shahih,
Hasan, atau Dha'if.

2.1.3 Hadis Mauquf

a. Pengertian

Hadis Mauquf Al-Nawawi, sebagaimana dikutip oleh Al-Suyuthi, mendefinisikan


Hadis Mauquf sebagai berikut: segala yang diriwayatkan dari Sahabat dalam bentuk
perkataan beliau, perbuatan, atau taqrir, baik sanad-nya mutashil (bersambung) atau
munqathi (terputus).

 Contoh Hadis Mauquf dalam bentuk perkataan, adalah:

Bukhari berkata, "Ali r.a' berkata, “Berbicaralah dengan manusia tentang apa yang
diketahui / dipahaminya, apakah kamu ingin bahwa Allah dan Rasul-Nya didustai"

 Atau, dalam bentuk Perbuatan, Yaitu:

Bukhari berkata, “Dan lbn 'Abbas telah menjadi imam dalam shalat sedangkan dia
bertayamum." Para Fuqaha Khurasan menamai Hadis Mauquf dengan Atsar, dan
Hadis Marfu', yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dengan kabar.
Namun, para ahli Hadis menamai keduanya dengan Atsar, karena kata atsar pada
dasarnya berarti riwayat atau sesuatu yang diriwayatkan.
b. Hadis Mauquf yang berstatuskan Marfu'

Di antara Hadis Mauquf terdapat Hadis yang lafaz dan bentuknya mauquf, namun
setelah dicermati hakikatnya bermakna Marfu', yaitu berhubungan dengan Rasul
SAW. Hadis yang demikian dinamai oleh para Ulama Hadis dengan Al-Mauquf
lafzhan Al-Marfu' ma' nan, yaitu : secara lafaz berstatus Mauquf, namun secara makna
berstatus Marfu'. Di antara bentuk-bentuk Hadis Mauquf yang dihukum-kan, atau
berstatus Marfu', adalah :

1. Perkataan Sahabat mengenai masalah-masalah yang bukan merupakan lapangan


ijtihad dan tidak pula dapat ditelusuri melalui pemahaman secara kebahasaan, serta
tidak pula bersumber dari ahli Kitab, umpamanya:

 Berita tentang masa lalu, seperti tentang awal kejadian manusia.


 Berita tentang masa yang akan datang, seperti huru hara dan kedahsyatan
keadaan yang akan dialami pada hari kiamat.

2) Perbuatan Sahabat mengenai masalah yang bukan merupakan lapangan ijtihad,


seperti shalat kusuf yang dilakukan oleh Ali r.a. dengan cara melakukan lebih dari dua
rukuk pada setiap rakaatnya.

3) Berita dari Sahabat mengenai perkataan atau perbuatan mereka tentang sesuatu serta
tidak adanya sikap keberatan yang muncul mengenai perkataan atau perbuatan tersebut.
Terhadap hal ini ada dua keadaan, yaitu:

 Apabila perkataan atau perbuatan Sahabat tersebut disandarkan kepada masa


Nabi SAW, maka hukumnya adalah Marfu', seperti perkataan Jabir r.a.: Adalah
kami berazal pada masa Rasullah SAW ( Riwayat Bukhari Muslim).
 Namun, apabila perkataan atau perbuatan Sahabat tersebut tidak disandarkan
kepada masa Nabi SAW, maka jumhur Ulama berpendapat bahwa Hadis
tersebut statusnya adalah Mauquf.

4) Perkataan Sahabat: "umirna bikadza," ("kami diperintahkan untuk melakukan ini"),


"nuhina'an kidza," ("kami dilarang begini"), atau "min al-sunnah kadza," ("termasuk
Sunnah adalah begini").
 Perawi Hadis tersebut ketika menyebutkan nama Sahabat mengatakan
"yarfa’uhu"," dia rne-rafa'- kanya".
 Penafsiran Sahabat yang berhubungan dengan sabab nuzul suatu ayat Al-
Qur'an, seperti perkataan Jabir: Orang-orang Yahudi berkata, "Siapa yang
menggauli isterinya dari arah belakang, maka akan lahir anak yang juling matan-
nya”, maka setelah itu turunlah ayat Al-Qur'an yang menyatakan, "isteri-isteri
kamu adalah ibarat lahan perkebunan kamu”, .... Hadis Riwayat Muslim.

c. Hukum Hadis Mauquf

Apabila suatu Hadis Mauquf berstatus hukum Marfu', sebagaimana diuraikan di muka,
dan berkualitas shahih atau Hasan, maka hukumnya adalah sama dengan Hadis Marfu'
yang Shahih dan Hasan, yaitu dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam penetapan
hukum. Akan tetapi, apabila perkataan atau perbuatan Sahabat tersebut tidak berstatus
marfu', maka para Ulama berbeda pendapat tentang kehujjahannya. Apabila perkataan
atau fatwa Sahabat tersebut didukung dan diterima dengan suara bulat oleh para
sahabat melalui suatu konsensus, atau, dengan menggunakan istilah Ibn Qayyim, tidak
ada di antara Sahabat lain yang tidak menyetujuinya, maka para Ulama sepakat bahwa
fatwa tersebut bersifat mengikat dan diterima sebagai ijma'. Namun, terhadap fatwa
seorang Sahabat yang tidak didukung oleh para Sahabat lainnya, para Ulama berbeda
pendapat perbedaan pendapat tersebut dapat dikelompokkan kepada tiga, yaitu:

 Imam Malik, salah satu pendapat dari Imam Syafi,i, salah satu pendapat dari
Imam Ahmad ibn Hanbal, dan sebagian Ulama Hanafiyah, menyatakan bahwa
perkataan atau fatwa seorang Sahabat adalah dalil yang sah dan harus didahulukan
dari qiyas, baik fatwa tersebut sejalan dengan qiyas atau tidak. Untuk mendukung
pendapat mereka, mereka merujuk kepada ayat Al-Qur'an yang berbicara tentang
Sahabat, seperti QS 9: 1OO, yang mengatakan, "Mereka yang merupakan orang-
orang yang pertama dari kalangan Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang
mengikuti jejak mereka dengan baik, Allah meridhai mereka dan mereka juga
ridha terhadap Allah ...." Dari penghargaan yang diberikan oleh ayat ini terhadap
para Sahabat, maka Ulama yang mendukung pendapat ini berkesimpulan bahwa
ayat ini tertuju kepada setiap Sahabat, dan karena itu, fatwa dari seorang Sahabat
adalah dalil Syari'ah. Pendukung pendapat ini juga mendasarkan pendapat mereka
kepada beberapa Hadis Nabi, seperti Sahabatku adalah seperti bintang, siapa saja
yang kamu ikuti di antara mereka, kamu akan memperoleh pertunjuk. Hadis lain
menyatakan bahwa: "Muliakanlah para Sahabatku, karena mereka adalah orang
yang terbaik di antara kamu, kemudian adalah orang-orang sesudah mereka, dan
selanjutnga adalah generasi sesudah mereka dan kemudian sesudah itu
kebohongan pun akan dilakukan di mana-mana”

Berdasarkan Hadis-Hadis tersebut, dapat ditegaskan bahwa mengikuti jejak para


Sahabat sama dengan mengikuti petunjuk yang benar, yang pada gilirannya
mengandung implikasi bahwa fatwa Sahabat adalah merupakan dalil yang harus
diikuti.

 Pendapat lain dari Ahmad ibn Hanbal, ulama Hanafryah Abu al-Hasan al-Karkhi,
para ulama Asy'ariyah dan Mu'tazilah, menyatakan bahwa ijtihad seorang Sahabat
tidaklah merupakan dalil hukum, serta tidak mengikat para mujtahid yang datang
kemudian dan tidak juga yang lain. Para pendukung pendapat ini berdalilkan pada
QS 59: 2, yang menyatakan "...ambillah pelajaran wahai orang-orang yang
melihat/mempunyai pandangan!" Ayat ini, menurut mereka, menerangkan bahwa
ijtihad adalah merupakan kewajiban setiap orang yang mampu untuk itu, tanpa
membedakan apakah mujtahid tersebut seorang Sahabat atau bukan. Jadi, yang
wajib tersebut adalah berijtihad, dan bukan mengikuti ijtihad orang tertentu. Lebih
lanjut ulama kelompok ini menyatakan bahwa ayat tersebut juga mengindikasikan
bahwa seorarng mujtahid haruslah mendasarkan ijtihadnya langsung kepada
sumber Syari'at dan bukan bertaklid kepada orang lain, termasuk kepada Sahabat.
Kelompok ini lebih lanjut beralasan bahwa, karena seorang Sahabat itu adalah
salah seorang dari para mujtahid, maka kemungkinannya untuk melakukan
kesalahan tetap terbuka, dalam karena itu tidaklah merupakan suatu kewajiban
untuk mengikutinya. . Dengan demikian, fatwa seorang Sahabat tidaklah dianggap
sebagai dalil yang mengikat, dan dalil-dalil yang tidak membenarkan bertaklid,
secara umum juga berlaku untuk meniadakan taklid terhadap Sahabat. Al-
Syawkani adalah di antara ulama yang berpendapat bahwa fatwa seorang Sahabat
bukanlah dalil Syari'ah. Umat Islam, menurutnya, dituntut untuk mengikuti Al-
Qur'an dan Sunnah. Disamping itu, menurut alSyawkani, karena Syari'ah
menentukan Sunnah Rasul saja yang mengikat umat yang beriman, dan tidak ada
orang lain, baik dia Sahabat atau bukan, yang memiliki status yang sama dengan
Rasul. Akan tetapi, kesimpulan Syawkani ini telah dikritik dan dibantah oleh Abu
Zahrah yang berkeyakinan bahwa dengan mengutip fatwa seorang Sahabat sebagai
dalil yang mengikat tidaklah berarti bahwa kita telah menciptakan seorang
rival/saingan bagi Rasul SAW. Bahkan sebaliknya,para Sahabat tersebut adalah
orang yang paling rajin mengobservasi Al-Qur'an dan Sunnah, dan karena itulah,
di samping karena dekatnya mereka kepada Rasul, maka fatwa mereka lebih
mempunyai otoritas dari fatwa mujtahid lainnya.
 Pendapat yang ketiga menyatakan bahwa fatwa Sahabat adalah hukum dan dalil
yang mengikat apabila fatwa tersebut bertentangan, atau dan tidak sejalan, dengan
qiyas. Pendapat yang dinisbahkan kepada Abu Hanifah ini menyatakan bahwa,
apabila keputusan seorang Sahabat bertentangan dengan qiyas, hal tersebut
merupakan indikasi tentang lemahnya qiyas dalam masalah itu. Oleh karenanya,
pendapat Sahabat dalam masalah tersebut adalah dalil yang mengikat dan harus
didahulukan dari qiyas. Namun sebaliknya, apabila pendapat Sahabat sejalan
dengan qiyas, maka pendapat tersebut diterima sebagai dalil hanya karena
kesejalanannya dengan qiyas yang sudah merupakan dalil yang sah. Jadi, fatwa
Sahabat disini bukanlah dalil yang berdiri sendiri.

2.1.4 Hadis Maqthu'

a. Pengertiannya

Secara etimologi, kata qatha'a adalah lawan dari washala, yang berarti putus atau
terputus. Sedangkan secara terminologi, Hadis Maqthu' berarti : sesuatu yang terhenti
(sampai) pada Tabi'i, baik perkataan maupun perbuatan Tabi'i tersebut. Atau,
sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Thahhan Sesuatu yang disandarkan kepada
Tabi'i atau generasi yang datang sesudahnya berupa perkataan atau perbuatan Hadis
Maqthu' tidaklah sama dengan Munqathi', karena Maqthu' adalah sifat dari matan, yaitu
berupa perkataan Tabi'in atau Tabi' al-Tabi'in, sementara Munqathi' adalah sifat dari
sanad, yaitu terjadinya keterputusan sanad pada generasi sebelum Sahabat dan tidak
secara berturut-turut, apabila keterputusan sanad tersebut lebih dari satu orang perawi.
sanad pada Hadis Maqthu'bisa saja muttashil (bersambung) sampai kepada Tabi'i, yang
merupakan sumber dari matan-nya.

 Contoh Hadis Maqthu'

Perkataan Hasan Bashri mengenai shalat di belakang ahli bid’ah: “shalatlah dan dia
akan menanggung dosa atas perbuatan bid' ahnya."

 Status Hukum Hadis Maqthu'

Hadis Maqthu' tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau dalil untuk menetapkan sesuatu
hukum, karena status dari perkataan Tabi'in sama dengan perkataan ulama lainnya.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran dan kritik

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai