Anda di halaman 1dari 11

EPISTEMOLOGI ISLAM

A. Pengertian Epistemologi Islam


Secara estimologi, kata “epistemologi” berasal dari bahasa yunani” episteme” dan
“logos”. “Episteme” berarti pengetahuan sedangkan “logos” berarti teori, uraian, atau
alasan. Jadi epistemologi berarti sebuah teori tentang pengetahuan. Dalam bahasa inggris
dikenal dengan istilah “Theori Of Knowledge“. Secara terminologi, menurut Dagobert D.
Runes dalam bukunya “Dictionary Of Philosophy” mengatakan bahwa Epistemologi sebagai
cabang filsafat yang menyelidiki tentang keaslian pengertian, struktur, mode, dan validitas
pengetahuan. Menurut Harun Nasution dalam bukunya “Filsafat Agama” mengatakan,
bahwa yang dimaksud dengan epistemologi adalah “Ilmu yang membahas apa pengetahuan
itu dan bagaimana memeperolehnya”. Fudyartanto mengatakan bahwa epistemologi
berarti ilmu filsafat tentang pengetahuan atau dengan kata lain filsafat pengetahuan.
Rumusan lain diberikan oleh Anton Suhono mengatakan bahwa epistemologi adalah teori
mengenai refleksi manusia atas kenyataan. Menurut The Liang Gie, epistemologi adalah
sebagai cabang filsafat yang bersangkutan dengan sifat dasar dan ruang lingkup
pengetahuan, pra anggapan-pra anggapan dan dasar-dasarnya serta reabilitas umum dari
tuntutan akan pengetahuan.
Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa epistemologi adalah sebuah ilmu yang
mempelajari hal-hal yang bersangkutan dengan pengetahuan dan dipelajari secara
substantif. Hal ini selaras dengan definisi epistemologi yang terdapat didalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, epistemologi adalah: “Cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar dan
batas-batas pengetahuan”.
Oleh karena itu, epistemologi bersangkutan dengan masalah-masalah yang meliputi:
1. Filsafat, yaitu sebagai cabang ilmu dalam mencari hakikat dan kebenaran pengetahuan.
2. Metode, memiliki tujuan untuk mengantarkan manusia mencapai pengetahuan.
3. Sistem, bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.
Secara etimologis dan menurut Al-Quran, al-Islam berarti penyerahan diri dan kepatuhan.
Allah swt berfirman:
“Maka apakah mereka mencari agama Allah, padahal hanya kepada-Nya menyerahkan
diri segala yang dilangit dan dibumi, baik dengan suka maupun terpaksa, dan hanya
kepada Allah mereka dikembalikan”.  (Q.S. 3 Al Imran: 83)
Kemudian kata al-Islam di gunakan di dalam al-Quran sebagai nama agama dan tatanan
kehidupan yang di bawa oleh Muhammad saw, dari Allah. Allah menjelaskan, bahwa barang
siapa membuat atau mengikuti selain agama-Nya, meskipun itu agama samawi yang dahulu,
maka Allah tidak akan menerimanya.
“Sesungguhnya Agama (yang diridlai) di sisi Allah adalah Islam....”  (Q.S. 3 Ali Imran: 19)
“... Pada hari ini tellah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalain dan telah
Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah kuridlai Islam jadi agama bagi kalian...”
(Q.S. 5 AL Maidah: 3)
“Barang siapa yang mencari agama lain selain Agama Islam, maka sekali-kali tidak akan
di terima (gama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”    (Q.S.
3 Ali ‘imran: 85)
Allah swt. telah menyatukan lafadh ad-Din dengan al-Islam di dalam firman-Nya berikut:
Katakanlah, “Sesungguhnya aku di perintahknan supaya beribadah kepada Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama, dan aku di perintahkan
supaya menjadi orang-orang pertama-tama berserah diri.”     (Q.S. 39 Az-Zumar: 11-12)

Jadi, Islam adalah tatanan Ilahi yang selain di jadikan oleh Allah sebagai penutup segala
syari’at, juga sebagai sebuah tatanan kehidupan yang paripurna dan meliputi seluruh
aspeknya. Allah telah meridlai islam untuk menata hubungan anatara manusia dengan al-
Khalik, alam, makhluk, dunia, akhirat, masyarakat, istri, anak, pemerintah dan rakyat. Juga
untuk menata seluruh hubungan yang di butuhkan oleh manusia. Penataan ini didasarkan
atas ketaatan dan keikhlasan beribadah kepada Allah semata, serta pelaksanaan segala
yang dibawa oleh Rasulullah saw.
Epistemologi adalah cabang dari ilmu filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu
pengetahuan, yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan.
Epistemologi berasal dari bahasa yunani yaitu   episteme, yang berarti pengetahuan 1 dan
logos (kata/pembicaraaan atau ilmu). Adapun pengertian Islam itu sendiri secara bahasa
(etimologi), berasal dari bahasa Arab, dari kata salima yang berarti selamat sentosa, Secara
istilah (terminologi), Islam berarti ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia
melalui seorang Rasul atau lebih tegas lagi Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya
diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW. jadi epistemologi islam
adalah pengetahuan islam berdasarkan pemikiran, akal manusia. Epistemologi menjangkau
permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika, selain itu ia
merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam
kehidupan sehari-hari.2      
Epistemologi itu disebut teori pengetahuan (theory of knowledge), di mana dalam
bahasa Arab disebut Nazhriyah al-Ma’rifah. Robert Audi dalam The Cambridge Dictionary of
Philosophy menyatakan epistemologi sebagai studi tentang pengetahuan dan kebenaran,
paling tidak secara khusus mempelajari tentang tiga bagian penting:       penegasan ciri-ciri
pengetahuan kondisi sumber-sumber pengetahuan yang sesungguhnya. batasan-batasan
pengetahuan dan kebenaran. Apa yang dapat kita ketahui? dan bagaimana kita dapat
mengetahui itu? adalah pertanyaan-pertanyaan filosofis dan  bentuk-bentuk pengetahuan 
menjadi topik utama epistemologi, secara bersamaan dihubungkan kepada gagasan
kesadaran lain seperti kepercayaan (belief), pemahaman (understanding), akal Budi
(reason), keputusan (judgement), perasaan (sensation), penglihatan atau tanggapan daya
memahami/menanggapi sesuatu (perception), intuisi/gerak hati (intuition), dugaan
(guessing) dan pengetahuan/pelajaran (learning).
Epistemologi membahas tentang hakikat pengetahuan dan dalam hal ini terbagi kepada
dua aliran yakni, realisme dan idealisme. Namun ada beberapa penjelasan tentang hakikat
pengetahuan ini sendiri   Realisme menyatakan hakikat pengetahuan adalah apa yang ada
dalam gambar. Pengetahuan menurut teori ini sesuai dengan kenyataan. Sedangkan

1
M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, 243
2
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006, 4-6.
idealisme menganggap pengetahuan itu adalah gambar menurut pendapat
atau penglihatan.
Epistemologi atau Teori Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu
pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan
tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode,
diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis
dan metode dialektis.

B. Sumber Pengetahuan
1. Wahyu
Wahyu berasal dari bahasa arab al-wahy, artinya suara, api, dan kecepatan. Disamping
itu, wahyu mengandung makna bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab.
Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh tuhan kepada manusia.
Pengetahuan ini disampaikan oleh nabi-nabi yang di utusnya sepanjang zaman. Agama
merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau
pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang
bersifat trasendental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di
akhirat nanti. Pengetahuan ini di dasarkan pada kepercayaan akan hal-hal gaib
(supranatural). Kepercayaan kepada tuhan yang merupakan sumber pengetahuan,
kepercayaan sebagai nabi sebagai perantara dan kepercayaan terhadap wahyu sebagai
cara penyampaian, merupakan dasar dari pengetahuan ini. Kepercayaan adalah titik
tolak dalam agama. Suatu pernyataan harus dipercaya dulu untuk dapat diterima,
pernyataan ini selanjutnya bisa saja dikaji dengan metode lain.
2. Akal
Dalam pandangan islam akal manusia mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi, hal ini
dapat di lihat dari ayat-ayat al quran. Pengetahuan lewat akal disebut pengetahuan
‘aqli’ , akal dengan indra dalam  kaitan ilmu pengetahuan satu debngan yang lain tidak
dipisahkan dengan tajam, bahkan sering berhubungan.
Dalam pandangan islam, akal mempunyai pengertian tersendiridan berbeda dengan
pengertian pada umumnya. Dalam pengertian islam, akal berbeda dengan otak, akal
dalam pandangan islam bukan otak, melainkan daya pikir yang terdapat dalam jiwa
manusia.
Akal dalam islam merupakan tiga unsur, yakni: pikiran, perasaan, dan kemauan. Dalam
pengertian biasanya pikiran terdapat pada otak, sedangkan perasaan terdapat pada
indra, dan kemauan terdapat pada jiwa. Tiga unsur tersebut satu dengan yang lain tidak
dapat dipisahkan. Apabila satu diantaranya pisah maka tidak lagi berfungsi sebagai akal.
3. Rasa
Rasa merupakan daya yang peting dalam pengetahuan manusia. Karena begitu
pentingnya, ini anggap atau dityakini sebagai satu-satunya tolak ukur pengetahuan,
pandangan inilah yang disebut sebagai empirisisme. Dalam epistimologi islam, fakultas
indriawi terdiri dari dua bnetu, yaitu panca indra lahir dan panca indra batin.
Panca indra lahir terdiri dari lima dimensi, yaitu:
1.      Pendengaran (audio)
2.      Penglihatan (visual)
3.      Rasa
4.      Pencium
5.      Peraba

C. Kriteria Kebenaran Dalam Epistimologi Islam


Diantara kriteria yang di penuhi adalah:
1. Berdasarkan fakta
2. Bebas dari prasangka
3. Menggunakan prinsip-prinsip analisis
4. Menggunakan hipotesa
5. Mengunakan ukuran yang objektif
6. Menggunakan teknik kuantifikasi.
Pandangan Islam akan ukuran kebenaran menunjukkan kepada landasan keimanan dan
keyakinan terhadap keadilan yang bersumber pada Al-Qur’an. Sebagaiman yang diutarakan
oleh Fazrur Rahman: Bahwa semangat dasar dari AlQur’an adalah semangat moral, ide-ide
keadilan sosial dan ekonomi. Hukum moral adalah abadi, Ia adalah “perintah Allah”.
Manusia tak dapat membuat atau memusnahkan hokum moral: ia harus menyerahkan diri
kepadannya. Pernyataan ini dinamakan Islam dan implementasinnya dalam kehidupan
disebut ibadah atau pengabdiaan kepada Allah. Tetapi hukum moral dan nilai-nilai spiritual,
untuk bisa dilaksanakan haruslah diketahui kajian epistimologi Islam dijumpai beberapa
teori tentang kebenaran: Teori Korespondensi Menurut teori ini suatu posisi atau
pengertian itu benar adalah apabila terdapat suatu fakta bersesuaian, yang beralasan
dengan realistis, yang serasi dengan situasi aktual, maka kebenaran adalah sesuai dengan
fakta dan sesuatu yang selaras dengan situasi akal.
Teori Konsistensi Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara
putusan (judgement) dengan suatu yang lain yaitu fakta atau realistis, tetapi atas hubungan
antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan kata lain, kebenaran ditegakkan atas hubungan
antara putusan-putusan yang baik dengan putusan lainnya. Yang telah kita ketahui dan
diakui benar terlebih dahulu, jadi sesuatu itu benar jika hubungan itu saling berkaitan
dengan kebenaran sebelumnya. Teori Prakmatis Teori ini mengemukakan benar tidaknya
suatu ucapan, dalil atau sematamata tergantung kepada berfaedah tidaknya ucapan, dalil
atau teori tersebut bagi manusia untuk berfaedah dalam kehidupannya.

D. Peranan Dan Fungsi Pengetahuan Dalam Islam


Fungsi pengetahuan dalam Islam disini dapat menjadi inspirasi dan pemberi kekuatan
mental yang akan menjadi bentuk moral yang mengawasi segala tingkah laku dan petunjuk
jalan hidupnya serta menjadi obat anti penyakit gangguan jiwa. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa fungsi pengetahuan dalam islam adalah:
1. Membuktikan secara otentik sumber dasar, pokok- pokok dan prinsip-prinsip ajaran
islam sebagai wahyu dari Allah yang tertuang dalam Al-Qur’an.
2. Memberikan penjelasan, contoh dan teladan pelaksanaan Agama Islam secara
operational dalam sosial budaya umatnya, yang kemudian di kenal dengan sebutan as-
sunnah/al-hadist.
3. Memberikan cara atau metode untuk mengembangkan ajaran Islam secara terpadu
dalam kehidupan sosial budaya umat manusia sepanjang sejarah dengan sistem ijtihad.
Secara rinci dapat digambarkan empat fungsi ilmu pengetahuan Islam:
1. Fungsi deskriptif yaitu menggamarkan/melukiskan dan memaparkan suatu masalah
sehingga mudah dipelajari.
2. Fungsi pengembangan yaitu melanjutkan hasil penemuan yang lalu dan menemuka hasil
penemuan yang baru.
3. Fungsi prediksi yaitu meramalkan kejadian-kejadian yang besar kemungkinan terjadi
sehingga manusia dapat mengambil tindakan-tindakan yang perlu usaha menghadapi.
4. Fungsi kontrol yaitu berusaha mengendalikan peristiwa-peristiwa yang tidak
dikehendaki.

E. Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan


Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan antara lain:
a. Empirisme Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara
memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman.
b. Rasionalisme Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal.
Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman
paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran.
c. Fenomenalisme Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian
tentang pengalaman. Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri
merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk
pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran.
d. Intusionisme Menurut Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara
langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan
pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari
pengetahuan intuitif
e. Dialektis Yaitu tahap logika yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode penuturan
serta analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam
pandangan. Dalam kehidupan sehari-hari dialektika berarti kecakapan untuk melekukan
perdebatan. Dalam teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak
tersusun dari satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan, bertolak paling
kurang dua kutub.

1. Epistemologi Bayani     


Pengertian bayani, Secara etimologi, Bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Al-Jabiri
berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus lisan al Arab mengartikan sebagai al
fashl wa infishal (memisahkan dan terpisah) dalam kaitannya dengan metodologi dan al
dhuhur wa al idhar (jelas dan penjelasan) berkaitan dengan visi dari metode bayani. 3
Sementara itu, secara terminology bayan mempunyai dua arti (1) sebagai aturan penafsiran
wacana, (2) sebagai syarat-syarat memproduksi wacana. Berbeda dengan makna etimologi
yang telah ada sejak awal peradaban Islam, makna etimologis ini baru lahir belakangan,
yakni pada masa kodifikasi (tadwin). Bayani adalah metode pemikiran
khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung.
Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung
mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks
sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini
bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap
harus bersandar pada teks.
1. Sumber Pengetahuan Bayani Meski menggunakan metode rasional filsafat seperti
digagas Syathibi, epistemologi bayani tetap berpijak pada teks (nash). Dalam ushûl al-
fiqh, yang dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan bayani adalah al-Qur`an dan As-
Sunnah.
2. Metode dan Pendekatan yang Digunakan dalam Bayani. Metode Qiyas, Untuk
memperoleh pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan, diantaranya
adalah: 1) Berpegang pada redaksi (lafazh) teks dengan menggunakan kaidah bahasa
Arab:2) Menggunakan metode qiyas (analogi) dan inilah prinsip utama epistemologi
bayani.
3. Pendukung dan Validitas Keilmuan Bayani
Pendukung Keilmuan Bayani Corak epistemologi bayani didukung oleh pola pikir kaum
teolog/ahli kalam, ahli fiqih dan ahli bahasa. Pola pikir tekstual bayani lebih dominan
secara politis dan membentuk corak pemikiran keislaman yang hegemonik. Validitas
Keilmuan Bayani Validitas keilmuan bayani tergantung pada kedekatan dan keserupaan
teks atau nash dan realitas. Otoritas teks dan otoritas salaf yang dibakukan dalam
kaidah-kaidah metodologi ushul fiqih klasik lebih diunggulkan daripada sumber otoritas
keilmuan yang lain seperti ilmu-ilmu kealaman (kauniyah), akal (aqliyah), dan intuisi
(wijdaniyah). Dominasi pola pikir tekstual ijtihadiyah menjadikan sistem epistemologi
keagamaan Islam kurang begitu peduli terhada isu-isu keagamaan yang bersifat
kontekstual-bahtsiyyah. Pola pikir bayani lebih mendahulukanqiyas (qiyas al-illah untuk
fiqih, dan qiyas dalalah untuk kalam. Di samping itu, nalar epistemologi bayani selalu
mencurigai akal pikiran, karena dianggap akan menjauhi kebenaran tekstual.
2. Epistemologi burhani     

3
Muhammad Abid al-Jabiri, Post Tradisionalism Islam, Terj. Ahmad Baso, Yogyakarta: LKiS, 2000, hlm. 60
Dalam bahasa Arab, al-burhan berarti argument (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah; clear)
dan distinc (al-fashl), yang dalam bahasa inggris adalah demonstration, yang mempunyai
akar bahasa Latin: demonstration (berarti member isyarat, sifat, keterangan, dan
penjelasan) Dalam perspektif logika (al-mantiq), burhani adalah aktivitas berpikir untuk
menetapkan kebenaran suatu premis melalui metode penyimpulan (al-istintaj), dengan
menghubungkan premis tersebut dengan premis yang lain yang oleh nalar dibenarkan atau
telah terbukti kebenarannya (badlihiyyah). Sedang dalam pengertian umum, burhani adalah
aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis. Jika dibandingkan dengan kedua
epistemology yang lain; bayani dan irfani, dimana bayani menjadikan teks (nash), ijma’, dan
ijtihad sebagai otoritas dasar dan bertujuan
untuk membangun konsepsi tentang alam untuk memperkuat akidah agama, yang dalam
hal ini Islam. Sedang irfani menjadikan al-kasyf sebagai satu-satunya jalan di dalam
memperoleh pengetahuan dan sekaligus bertujuan mencapai maqam bersatu dengan
Tuhan. Maka burhani   lebih bersandar pada kekuatan natural manusia berupa indra,
pengalaman, dan akal di dalam mencapai pengetahuan.

Karakteristik Epistemologi Burhani


Dalam memandang proses keilmuan, kaum Burhaniyun bertolak dari cara filsafat di mana
hakikat sebenarnya adalah universal. Hal ini akan menempatkan ‘makna” dari realitas pada
posisi otoritatif, sedangkan ”bahasa” yang bersifat particular hanya sebagai penegasan atau
ekspresinya. Hal ini nampak sejalan dengan penjelasan al-Farabi bahwa “makna/’ datang
lebih dahulu dari pada “kata”, sebab makna datang dari sebuah pengkopsesian intelektual
yang berada dalam tataran pemikiran atau rasio yang diaktualisasikan dalam kata-kata. Al-
Farabi memberikan pengandaian bahwa seandainya konsepsi intelektual itu letaknya dalam
kata-kata itu sendiri maka yang lahir selanjutnya bukanlah makna-makna dan pemikiran-
pemikiran baru tetapi kata-kata yang baru.
Jadi setiap ilmu burhani berpola dari nalar burhani dan nalar burhan bermula dari proses
abstraksi yang bersifat akali terhadap realitas sehingga muncul makna, sedang makna
sendiri butuh aktualisasi sebagai upaya untuk bisa dipahami dan dimengerti, sehingga di
sinilah ditempatkan kata-kata; dengan redaksi lain, kata-kata adalah sebagai alat
komunikasi dan sarana berpikir di samping sebagai sibol pernyataan makna. Mengikuti
Aristoteles, Al-Jabiri dalam hal ini menegaskan bahwa setiap yang burhani pasti silogisme,
tetapi belum tentu yang silogisme itu burhani. Silogisme yang burhani (silogisme
demonstrative atau qiyah burhani) selalu bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan,
bukan untuk tujuan tertentu seperti yang dilakukan oleh kaum sufistaiyah (sophis).Silogisme
(al-qiyas) dapat disebut sebagai burhani, jika memenuhi tiga syarat: pertama, mengetahui
sebab yang Secara structural, proses yang dimaksud di atas terdiri dari tiga hal, pertama
proses eksperimentasi yakni pengamatan terhadap realitas; kedua proses abstraksi, yakni
terjadinya gambaran atas realitas tersebut dalam pikiran; ketiga, ekspresi yaitu
mengungkapkan realitas dalam katakata.
Aplikasi dari bentukan silogisme ini haruslah melewati tiga tahapan yaitu tahap pengertian
(ma’qulat), tahap pernyataan (ibarat) dan tahap penalaran (tahlilat). Dalam perspektif tiga
teori kebenaran, maka kebenaran yang dihasilkan oleh pola piker burhani tampak ada
kedekatannya dengan teori kebenaran koherensi atau konsistensi. Dalam burhani menuntut
penalaran yang sistematis, logis, saling berhubungan dan konsisten antara premis-
premisnya, juga secara benar koheren dengan pengalaman yang ada, begitu pula tesis
kebenaran konsistensi atau koherensi.

STRUKTUR FUNDAMENTAL EPISTEMOLOGI BURHANI


1 Origin (sumber) Nash/ Teks/ Wahyu (Otoritas Teks) Al-
Akhbar, al-Ijma’ (Otoritas Salaf) Al-’Ilm
al-Tauqifi
2 Methode (proses dan prosedur)   Ijtihadiyyah Istinbathiyyah/ Istintajiyyah/
Istidlaliyyah/
qiyasQiyas (Qiyas al-ghahib ‘ala al-
syahid)
3 Approach Lughawiyyah (bahasa), Dalalah
Lughawiyyah
4 Fungsi dan Peran Akal  Akal sebagai pengekang / pengatur
hawa nafsu (lihat Lisan al-‘Arab Ibn Man-
dzur), Justifikasi-Repeetitif-Taqlidi
(pengukuh kebenaran/ otoritas teks),
Al-‘Aql al-Diniy
5 Type of Argument  Dialektik (Jadaliyyah); al-‘Uqul al
Mtanafisah Defensif – Apologetik –
Polemik – Dogmatik Pengaruh pola
Logika Stonic (bukan logika Aristoteles)
6 Tolok Ukur Validitas Keilmuan   Keserupaan/ kedekatan antara teks
(nash) dengan realitas

7 Prinsip-Prinsip Dasar  Infishal (discontinue) = Atomistik Tajwiz


(keserbabolehan) = tidak ada hokum
kausalitas, Muqarabah (kedekatan,
keserupaan), Analogi deduktif; Qiyas

8 Kelompok Ilmu-ilmu Pendukung  Kalam (Teologi), Fiqih (Jurisprudensi)/


Fuqaha; Ushuliyyun, Nahwu (Grammar);
Balaghah

Logika Dalam Epistemologi Burhani


Menurut sejarah munculnya metode pemikiran burhani. dasar logika yang paling
berpengaruh di dalamnya adalah logika Aristoteles. Istilah logika ini sebenarnya muncul
belakangan dan tidak pernah disebut oleh Aristoteles. Aristoteles sendiri memperkenalkan
metode berpikirnya ini sebagai metode berpikir analitik. Logika Aristoteles sering disebut
sebagai logika tradisionalis, logika formal, atau logika deduktif. Salah satu ajaran penting
dalam logika Aristoteles adalah silogisme. Dengan landasan logika Aristoteles, beberapa
metode yang dipakai dalam epistemologi burhani adalah metode deduksi (istintaj,
qiyasjami), induksi (istiqrd), konsep universalisme (al-kulli). universalitas-universalitas
induktif, prinsip kausalitas dan historitas. serta tujuan syariah (al-maqashid). Perbedaan
mendasar antara penalaran dengan epistemologi bayani dan burhani adalah inferensi pada
bayani didasarkan atas lafal, sedangkan pada epistemologi burhani didasarkan pada makna.
Dalam perkembangan selanjutnya, metode burhani yang dianggap lebih unggul dibanding
dua epistemologi yang lain ternyata mengandung kekurangan, bahwa ia tidak bisa sampai
seluruh realitas wujud. Ada sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh penalaran rasional, meski
rasio telah mengklaim sesuai dengan prinsip-prinsip segala sesuatu, bahkan silogisme
rasional sendiri pada saat tertentu tidak bisa mejelaskan atau mendefinisikan sesuatu yang
diketahuinya.
3. Epistemologi Irfani
a. Pengertian Epistemologi Irfani Secara etimologis, kata Irfani berasal dari bahsa arab
adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui. Seakar
pula dengan kata Ma’ruf (Keba-jikan) dan Ma’rifat (pengetahuan).4
Irfan dari kata dasar bahasa Arab semakna dengan makrifat, berarti pengetahuan.
Tetapi ia berbeda dengan ilmu (`ilm). Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan
yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman (experience), sedang ilmu menunjuk
pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (aql).
Karena itu, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh
lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya setelah adanya olah ruhani
yang dilakukan atas dasar cinta. Kebalikan dari epistemologi bayani, sasaran bidik irfani
adalah aspek esoterik syareat, apa yang ada dibalik teks. Sedangkan secara
epistemologis, irfani merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan cara pengolahan
batin/ruhani, yang kemudian diung-kapkan secara logis
b. Sumber Asal Irfani Para ahli berbeda pendapat tentang asal sumber irfan.      
kelompok yang menganggap bahwa irfan Islam berasal dari sumber Persia dan Majusi,
seperti yang disampaikan Dozy dan Thoulk. Alasannya, sejumlah besar orang-orang
Majusi di Iran utara tetap memeluk agama mereka setelah penaklukan Islam dan banyak
tokoh sufi yang berasal dari daerah Khurasan. Di samping itu, sebagian pendiri aliran-
aliran sufi berasal dari keturunan orang Majusi, seperti Ma`ruf al-Kharki dan Bayazid
Busthami.
kelompok yang beranggapan bahwa irfan berasal dari sumber-sumber Kristen, seperti
dikatakan Von Kramer, Ignaz Goldziher, Nicholson, Asin Palacios dan O'lery. Alasannya,
(1) adanya interaksi antara orang-orang Arab dan kaum Nasrani pada masa jahiliyah
maupun zaman Islam; (2) adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para Sufi, dalam
soal ajaran, tata cara melatih jiwa (riyâdlah) dan mengasingkan diri (khalwât), dengan
kehidupan Yesus dan ajarannya, juga dengan para rahib dalam soal pakaian dan cara
bersembahyang.      kelompok yang beranggapan bahwa irfan ditimba dari India, seperti
pendapat Horten dan Hartman. Alasannya, kemunculan dan penyebaran irfan (tasawuf)
pertama kali adalah di Khurasan, kebanyakan dari para sufi angkatan pertama bukan
dari kalangan Arab, seperti Ibrahim ibn Adham, Syaqiq al-Balkh dan Yahya ibn Muadz.
4
Noorsyam, filsafat Pendidikan dasar dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya: 1984, hal
34
Pada masa sebelum Islam, Turkistan adalah pusat agama dan kebudayaan Timur serta
Barat.Mereka memberi warna mistisisme lama ketika memeluk Islam.Konsep dan
metode tasauf seperti keluasan hati dan pemakaian tasbih adalah praktek-praktek dari
India. kelompok yang menganggap irfan berasal dari sumber-sumber Yunani, khususnya
NeoPlatonisme dan Hermes, seperti disampaikan O'leary dan Nicholson.Alasannya,
‘Theologi Aristoteles' yang merupakan paduan antara sistem Porphiry dan Proclus telah
dikenal baik dalam filsafat Islam.Kenyataannya, Dzun al-Nun al-Misri (796-861 M),
seorang tokoh sufisme dikenal sebagai filosof dan pengikut sains Hellenistik.Jabiri
agaknya termasuk kelompok ini. Menurutnya, irfan diadopsi dari ajaran Hermes, sedang
pengambilan dari teks-teks al-Qur`an lebih dikarenakan tendensi politik. Sebagai contoh,
istilah maqâmat yang secara lafzi dan maknawi diambil dari al-Qur`an (QS. Al-Fusilat
164), identik dengan konsep Hermes tentang mi` raj, yakni kenaikan jiwa manusia
setelah berpisah dengan raga untuk menyatu dengan Tuhan. Memang ada kata
maqâmat dalam al-Qur`an tetapi dimaksudkan sebagai ungkapan tentang pelaksanaan
hak-hak Tuhan dengan segenap usaha dan niat yang benar, bukan dalam arti tingkatan
atau tahapan seperti dalam istilah al-Hujwiri.
c. Konsep Epistemologi Irfani            
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak juga
didasarkan pada rasio seperti halnya burhani, tetapi pada kasyf, yakni tersingkapnya
rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui
tiga tahapan.
a. Persiapan
Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh
jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus
dijalani, mulai dari bawah menuju puncak; Taubat, Wara` menjauhkan diri dari
segala sesuatu yang subhat, Zuhud (tidak tamak dan tidak mengutamakan
kehidupan dunia, Faqir (mengosongkan seluruh pikiran, tidak menghendaki apapun
kecuali Tuhan SWT), Sabar, Tawakkal, Ridla (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam
hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan suka cita).
b. Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan
limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada
tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak
(kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri
(musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Pengetahuan semacam ini di dunia
islam sering disebut dengan ilham, disebut ilham.
c. Pengungkapan
Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain,
lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan
konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan
dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan,
maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.             
Epistemologi Irfani merupakan sebuah cabang ilmu filsafat Islam yang kemudian
membentuk disiplin ilmu secara otonom. Irfani (bentuk infinitif dari kata ‘arafa yang
berarti tahu/mengetahui) ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf: ma'rifat.
Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi
dengan olah ruhani, yang setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan; Persiapan,
Penerimaan (ilham), dan Pengungkapan. Ungkapan-ungkapan yang dihasilkan oleh
pemikiran secara irfani sering kali menjadi tidak beraturan dan di luar kesadaran,
karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat
mendalam yang disebut gnosis, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis
maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu cenderung pula ia sering
dihujat dan dinilai menyimpang. Pendekatan irfani secara epistemologis, menjadikan
pengalaman ruhani bisa dijelaskan secara rasional dan masuk akal.

Daftar pustaka
M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002,
Abuddin Nata, Metodologi studi islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006, 4-6. Muhammad Abid al-Jabiri,
Post Tradisionalism Islam, Terj. Ahmad Baso, Yogyakarta: LKiS, 200o.
Noorsyam, filsafat Pendidikan dasar dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Usaha Nasional,
Surabaya: 1984
Arief Amai, Pengantar Ilmu Dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers, 2002
An Nahlawi Abdurrahman, Prinsip-Prinsip Dan Metoda, Bandung: CV. Diponegoro, 1996.
Daud Ali Mohammad, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010
Sulaiman Al hamid Abu, Permasalahan Metodologis dalam Pemikiran Islam, Jakarta: Media
Dakwah, 1994
Sulaiman Al hamid Abu, Permasalahan Metodologis dalam Pemikiran Islam, Jakarta: Media
Dakwah, 1994
Juhaya S. Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam, Jaksel: Teraju, 2002
Rosihan Anwar, Pengantar Studi Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009

Anda mungkin juga menyukai