Anda di halaman 1dari 32

1

PENGANTAR PERJANJIAN LAMA


I. PENTINGNYA PERJANJIAN LAMA
1. PENDAHULUAN
Sebuah buku mengenai Perjanjian Lama sekarang ini tidak akan menjadi buku yang laris. Bahkan di
antara mereka yang berhasrat besar mempelajari Alkitab dan terus- menerus menjadikannya buku terlaris
sepanjang zaman, konferensi- konferensi tentang Perjanjian lama tidak akan menarik perhatian. Sebabnya
sederhana saja. Sering kali orang- orang Kristen memberikan waktu terbanyak untuk mempelajari Perjanjian
Baru, dan hanya sekali- sekali menyelidiki kitab Mazmur dan Amsal, atau kadang-kadang ditambah dengan
kitab nabi-nabi. Akibatnya ialah bahwa banyak orang Kristen gagal untuk memahami keseluruhan wawasan
pengungkapan Allah tentang diri-Nya sendiri gambaran mereka tentang maksud-maksud Allah tidak
sempurna.
Bahkan Perjanjan Lama tidak diterjemahkan ke dalam semua bahasa di dunia. Tentu saja dapat
dipahami mengapa Perjanjian Baru merupakan bagian pertama yang diterjemahkan kalau dana yang
tersedia terbatas, tetapi kalau para misionaris dan pendeta mendasarkan seluruh pengajaran mereka pada
Perjanjian Baru saja maka mereka tidak akan dapat mengajarkan Firman Allah seutuhnya. Hal ini sangat
penting dalam situasi- situasi penginjilan, di mana sering kali terdapat jembatan alamiah di antara Perjanjian
Lama dengan kebanyakan orang, terutama yang berasal dari kebudayaan bukan Barat. Ajaran Perjanjian
Lama berlatarkan rumah tangga dan pasar, kasih setia Allah disampaikan dalam bentuk konkret. Jelaslah
sudah bahwa Perjanjian Baru tidak dapat berdiri sendiri.
Tidaklah sulit untuk mendaftarkan contoh-contoh keadaan ini dalam kepustakaan misionaris. Di China,
misalnya, para misionaris zaman dahulu sering kali hanya memakai Perjanjian Baru dalam khotbah- khotbah
mereka. Ketika membahas kelemahan misi-misi di China, Arthur Glasser mencatat: Kekurangan yang nyata
dalam pergerakan misionaris adalah penggunaan Firman Allah yang tidak memadai. Ia hanya
menitikberatkan ajarannya pada sebagian dari Alkitab, yaitu Perjanjian Baru dan Mazmur....
Alkitab tidak hanya berisi mandat pekabaran Injil dari Perjanjian Baru, tetapi juga mengandung
panggilan Allah kepada tanggung jawab kebudayaan: suatu alur kewajiban yang mengalir sepanjang
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kalau Perjanjian Baru terutama berfokus pada seorang pribadi di
hadapan Allah, maka Perjanjian Lama menekankan hubungan yang bersifat umum (keluarga, masyarakat,
dan negara). Di Sinai Allah memberikan kepada umatNya suatu gaya hidup yang egalitarian (sederajat) dan
manusiawi.... Pendek kata, Perjanjian Lama mengajarkan suatu cara hidup di mana hak-hak setiap orang
dilindungi.
Maksud penulisan buku ini ialah memberikan penerangan tentang Perjanjian Lama bagi orang Kristen.
Buku ini pantas disebut sebagai buku teologi Perjanjian Lama, dan penting sekali untuk memahami arti
istilah tersebut. Semua teologi yang benar, pastilah lebih kurang bersifat alkitabiah, tetapi teologi alkitabiah
(Biblika) ialah mata pelajaran khusus yang berusaha mempelajari pokok- pokok Alkitab berdasarkan warna-
warninya sendiri. Berbeda dengan teologia sistematika yang berusaha memahami hubungan timbal balik
antara pokok- pokok Alkitab dengan implikasi-implikasi historis dan filosofisnya, teologi Biblika mempelajari
tema pokok Alkitab menurut perkembangannya selama Allah berurusan dengan manusia dalam periode
alkitabiah. Teologi Biblika bersifat historis dan berkesinambungan atau progresif. Teologi Biblika berpusat
pada penyingkapan diri Allah Penyelamat, yang terwujud dalam kejadian- kejadian tertentu, di mana Allah
memanggil bagi diri-Nya sendiri suatu bangsa yang akan mencerminkan sifat- Nya serta melanjutkan
maksud- maksud-Nya yang penuh kasih. Teologi Biblika melihat perkembangan-perkembanga ini dengan
latar belakang dunia yang diciptakan Allah sebagai wahana bagi maksud tujuan serta nlai-nilai- Nya.
Akhirnya, teologi Biblika melihat bagaimana Allah menolak meninggalkan maksud tujuan-Nya,
sekalipun umat-Nya tidak setia sehingga allah bekerja terus untuk menciptakan umat yang lebih sempurna
dan utuh sebagai umat kepunyaan-Nya sendiri. Jika kita dapat senantiasa mengingat pemikiran ini dan
membaca Perjanjian Baru (dan sebenarnya juga keseluruhan sejarah) dari sudut pemikiran tersebut, kita
telah engambil langkah awal yang penting dalam berpikir secara teologis - dan dengan agak nekad dengan
cara Allah sendiri memandang dunia ini. Yang pasti ialah bahwa pokok-pokok pikiran ini diungkapkan secara
khusus dalam Perjanjian Lama. Hal ini bukan berarti tidak mengakui adanya perbedaaan di antara keduanya.
Maksud-maksud Allah terlihat lebih nyata di dalam Perjanjian Baru. Perjanjian ini telah dimeteraikan sekali
2

untuk selamanya dengan kematian Kristus, dan bukan lagi berkali-kali seperti hanya dalam upacara kurban
Perjanjian Lama. Perjanjian Lama lebih berurusan dengan bangsa Israel sedangkan Perjanjian Baru menaruh
perhatian yang lebih besar kepada seluruh dunia. Akan Tetapi, kesamaan di antara kedua perjanjian itu lebih
penting daripada perbedaannya. Kedua perjanjian secara serempak mencatat sejarah tindakan-tindakan
Allah terhadap umat manusia secara tahap demi tahap. Pekerjaan Kristus lebih merupakan puncak daripada
sanggahan atas kebenaran Perjanjian Lama.
Meskipun Perjanjian Baru menyajikan sesuatu yang baru, sebenarnya itu bukanlah sesuatu yang
samasekali baru. Ada kesinambungan penting yang menghubungkan kedua perjanjian tersebut, baik dalam
cara maupun hakikat dari ungkapan Allah dan di dalam cara manusia menanggapi ungkapan tsb. Seperti
dikatakan Yohanes Calvin, "Saya mengakui adanya perbedaan- perbedaan dalam Alkitab... namun
sedemikian rupa sehingga tidak mengurangi keutuhannya yang telah ditetapkan.... Semua ini berkenaan
dengan cara penyalurannya dan bukan isi pokok" (Institusio II, II, I).
Pendekatan pada studi Alkitab yang telah terbukti berhasil dalam menggambarkan kesatuan yang
menyeluruh ini ialah tipologi atau ajaran tentang lambang-lambang, suatu studi persesuaian di antara
unsur-unsur tertentu dari kedua perjanjian. Meski cara ini sering kali menjadi bahan olok-olok dan
mengakibatkan penafsiran yang berlebihan terhadap hal-hal kecil, tetapi kalau dapat dipahami dengan
benar maka pendekatan ini akan menolong dalam menggarisbawahi perkembangan dari ungkapan Allah
yang konsisten dan historis. Suatu tipe atau lambang ialah "suatu peristiwa, seorang tokoh, atau suatu
lembaga dalam Alkitab yang berlaku sebagai contoh atau pola untuk peristiwa- peristiwa, tokoh-tokoh atau
lembaga- lembaga lainnya", dan didasarkan pada konsistensi sifat dan aktivitas Allah (Baker 1977, 267).
Artinya, peristiwa atau objek dalam Perjanjian Lama meskipun tetap memiliki makna yang utuh dalam
keseluruhan konteks Alkitab, namun artinya diperluas melalui tampilnya padanan (dan penggenapan) dalam
Perjanjian Baru, yang boleh kita sebut sebagai konteks Perjanjian Baru. Jalan pemikiran ini melatarbelakangi
banyak diskusi dalam buku ini, apabila saya mengacu kepada Perjanjian baru.
2. MENGAPA PENTING MEMPELAJARI PERJANJIAN LAMA?
Umat Kristen pada umumnya dapat menerima Alkitab Perjanjian Baru (PB) dengan mudah karena
Alkitab PB adalah dokumen yang memberi kesaksian tentang kehidupan, kematian dan kebangkitan dan
pengajaran Kristus yang penuh kuasa serta sejarah pendirian gereja- Nya. Tetapi, bagaimana dengan
Perjanjian Lama? Sering umat Kristen bertanya, apakah gunanya mempelajari kitab- kitab Perjanjian Lama?
Bukankah PL lebih banyak berbicara tentang cerita usang dari sejarah bangsa Yahudi (Israel) dan tentang
raja-raja dan nabi-nabi dan tokoh-tokoh yang tidak ada hubungan langsung dengan kita sekarang? Dapatkah
kita menerima keseluruhan PL sebagai Firman Allah yang berotoritas mutlak dalam hidup kita?
Pertanyan-pertanyaan di atas sangat penting untuk dijawab. Pelajaran pertama dari Kursus Pengantar
Perjanjian Lama (PPL) ini akan menolong kita untuk melihat PL dari sudut pandang keseluruhan kebenaran
Alkitab supaya kita dapat melihat dengan jelas relevansinya bagi kehidupan Kristen kita sekarang.
Marilah kita mulai dengan menjawab pertanyaan, mengapa penting mempelajari Perjanjian Lama?
a. Perjanjian Lama adalah Bagian dari Rencana Allah Cara Allah menyatakan Diri-Nya kepada manusia
adalah dengan memberikan Penyataan Umum dan Penyataan Khusus, yaitu melalui alam, sejarah, hati
nurani manusia dan juga melalui Firman dan Anak-Nya, Yesus Kristus. Di dalam Penyataan- penyataan
inilah Allah menyatakan Diri-Nya dan rencana-Nya kepada manusia (Rom 1:19-20; Yes. 52:10). Dalam
Perjanjian Lama, Allah memakai hamba-hamba-Nya, dengan latar belakang satu bangsa, yaitu bangsa
Israel, untuk menjadi sarana dalam menyampaikan Penyataan-penyataan rencana-Nya kepada manusia
(Yes 49:6). Oleh karena itu sejarah lahirnya bangsa Israel dan bagaimana Allah menyertai, menghukum
dan memberkati bangsa ini (yang kita pelajari melalui kitab-kitab PL) seharusnya menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari kehidupan iman Kristen. Karena melalui sejarah bangsa ini Allah sebenarnya
sedang memberitahukan kepada manusia tentang Diri-Nya; siapakah Dia dan apakah rencana- Nya bagi
umat manusia, termasuk rencana-Nya bagi kita yang hidup sekarang. Dengan mempelajari PL, maka kita
akan melihat bagaimana Allah secara progresif menyatakan Diri-Nya untuk dikenal; pertama melalui
bangsa pilihan-Nya (Israel), lalu selanjutnya melalui orang- orang yang dipilih-Nya pada masa Perjanjian
Baru (Rom 1:16).
b. Perjanjian Lama adalah Bukti akan Kedaulatan dan Kesetiaan Allah Dibalik cerita sejarah bangsa Israel, PL
juga menjadi bukti penting akan kedaulatan Allah atas seluruh alam semesta yang diciptakan- Nya,
termasuk di dalamnya manusia. Dialah yang mengawasi sejarah dan yang akan menyelesaikan rencana-
3

Nya tepat pada waktu yang sudah ditetapkan-Nya (Fil 1:6). Dia juga yang memilih hamba-hamba-Nya
sesuai dengan kedaulatan-Nya untuk melaksanakan rencana kekal-Nya. Di sini sekaligus PL juga menjadi
bukti penyataan progresif akan kesetiaan Allah (Yes. 25:1). Allah turut bekerja dalam sejarah, termasuk
ketika Israel tidak taat, tetapi Allah tetap setia pada janji-Nya (Rom 3:3). Oleh karena itu kitab-kitab PB
tidak mungkin dilepaskan dari PL; Allah PB adalah juga Allah PL yang setia melaksanakan rencana
kedaulatan-Nya (keselamatan) bagi umat pilihan- Nya.
c. Perjanjian Lama adalah Firman Allah Mengakui bahwa PL adalah Firman Allah adalah bagian yang
penting dari iman Kristen, karena apabila kita mengakui otoritasnya maka berarti kita bersedia tunduk
pada otoritas tsb. Namun yang menjadi pertanyaan sekarang, bagaimana kita tahu dan yakin bahwa
kitab- kitab PL adalah Firman Allah yang berotoritas?
Berikut ini adalah beberapa bukti bahwa PL adalah Firman Allah. Pertama, bukti dari dalam Alkitab
sendiri:
1. Yesus mengakui otoritas PL Selama Yesus hidup di dunia Ia mengakui otoritas PL secara penuh. Hal ini
terbukti jelas dalam kitab-kitab Injil bagaimana Yesus selalu mengutip PL untuk menunjukkan dasar
otoritas dan pengajaran-Nya. Misalnya pada waktu Ia dicobai (Matius 4:1-11). Juga ketika Yesus harus
mengklaim kedudukan- Nya sebagai Anak Allah (Yohanes 10:31-36). Sikap Yesus yang menjunjung
tinggi PL cukup menjadi bukti bahwa PL memiliki otoritas sebagai Firman Allah.
2. Para Rasul mengakui otoritas PL Diantara para Rasul tidak ada bukti satupun yang memperlihatkan
bahwa mereka tidak mempercayai PL sebagai inspirasi dari Allah. Di antara para rasul, Paulus adalah
yang paling jelas memberikan pengakuan secara penuh akan otoritas PL. 2 Tim. 3:16, "tulisan" yang
dimaksud pada waktu itu adalah tulisan dari kitab-kitab PL.
3. Para penulis Alkitab mengakui otoritas PL Pola pengakuan otoritas PL juga dijumpai pada penulis-
penulis PB lain, seperti Yakobus atau penulis kitab Ibrani. Mereka melihat PL bukan sebagai rangkaian
sejarah dan peraturan yang mati, tetapi merupakan kisah yang hidup tentang karya Allah yang
menyelamatkan manusia (Yak 1:22-23; Ibr. 4:12). Bukti dari luar Alkitab:
4. Bapak-bapak gereja secara aklamasi menerima pengakuan akan otoritas PL melalui pengkanonan
Alkitab. Dinyatakan bahwa masing-masing Kitab PL menunjukkan sifat yang tidak dapat dipisahkan
dari pengilhaman ilahi.
5. Allahlah yang memberi inspirasi kepada para penulis PL. Itulah sebabnya sekalipun para penulis PL
hidup pada jaman dan latar belakang yang berbeda, berita yang mereka sampaikan tidak ada yang
saling bertentangan, malah sebaliknya memberikan satu benang merah berita yang menunjuk pada
karya keselamatan Allah.
6. Secara praktis terbukti bahwa kitab- kitab PL telah menjadi standard kebenaran dan memberikan
manfaat yang sanggup mengubah kehidupan manusia, karena Allahlah yang ada dibalik penulisan itu.
d. Perjanjian Lama berisi Nubuatan bagi Perjanjian Baru Kitab-kitab dalam PL banyak menunjuk pada
nubuatan-nubuatan yang akhirnya digenapi pada masa PB (Mat. 9:31; Luk 24:44; Rom 10:4). Keseluruhan
dan kelengkapan berita keselamatan harus dimulai dari PL dan diakhiri dengan PB; sehingga jelas
keduanya tidak dapat dipisah- pisahkan. Oleh karena itu PL harus dipelajari sebagai sumber dan landasan
untuk mengerti penggenapan rencana agung Allah. Kitab-kitab dalam PL juga penuh dengan tipologi-
tipologi yang kalau dipelajari akan menolong pembaca kitab-kitab PB untuk mengerti lebih jelas
KEUTUHAN KESELURUHAN KEBENARAN Alkitab.
3. PENTINGNYA MEMPELAJARI PERJANJIAN LAMA
Perjanjian Lama adalah kumpulan buku-buku yang dikarang lebih dari dua ribu tahun yang lalu. Maka
bisa saja dipertanyakan apakah Perjanjian Lama itu masih perlu dipelajari pada zaman yang modern ini.
Kalau kita membeli baju baru, yang lama dapat dibuang. Kalau kita memasuki Orde Baru, yang lama tidak
berlaku lagi. Bagaimana tentang Perjanjian Lama? Apakah masih perlu? Ataukah sudah usang? Apakah
tidak ada buku-buku baru yang lebih penting untuk dibaca dan dihayati pada akhir abad kedua puluh ini?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu dapat dijawab dengan beberapa pokok.
a. Perjanjian lama merupakan Alkitab Yesus Kristus: - Yesus mengenal sejarah Perjanjian Lama (misalnya
Yohanes 3:14; bandingkan Bilangan 21:4-9); - Yesus mendasarkan pengajaranNya pada Perjanjian Lama
(lihat Matius 5:17; bandingkan Markus 11:17); - Yesus menggunakan pengajaranNya untuk menentang
pencobaan (lihat Matius 4:1-11); - Yesus menyatakan bahwa nubuat- nubuat Perjanjian Lama digenapi
dalam diriNya (misalnya Lukas 4:16-21; Yohanes 15:25).
4

b. Perjanjian lama sering dikutip oleh Perjanjian Baru. Ada kurang lebih 2650 kutipan dari Perjanjian Lama
dalam Perjanjian Baru, yaitu kurang lebih 350 kutipan langsung, dan 2300 kutipan tidak langsung, serta
persamaan bahasa. Dengan kata lain, terdapat rata- rata satu kutipan Perjanjian Lama dalam setiap tiga
ayat Perjanjian baru. Kitab Yesaya dan mazmur paling sering dikutip (masing- masing lebih dari 400
kali); dan hanya kitab Kidung Agung yang tidak dikutip dalam Perjanjian Baru.
c. Perjanjian lama merupakan dasar untuk pengertian Perjanjian baru antara lain: - dari segi bahasa
(Perjanjian Baru ditulis dalam sejenis bahasa Yunani yang banyak dipengaruhi oleh bahasa- bahasa
Perjanjian Lama); - dari segi sejarah (sejarah Perjanjian lama dilanjutkan oleh sejarah Perjanjian Baru);
dan - dari segi teologi (tema-tema teologi Perjanjian lama, seperti penciptaan, dosa, hukuman,
pertobatan, kurban, keselamatan dan sebagainya menjadi dasar teologi Perjanjian Baru).
d. Baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru dinyatakan Allah yang Esa. Allah Israel adalah sama
dengan Bapa Yesus Kristus: - sifatNya sama (mahakuasa, mahakudus, mahapengasih, dsb.); -
rencanaNya sama (untuk keselamatan manusia dan penyempurnaan dunia yang diciptakanNya); -
tuntutanNya sama (hidup yang suci; kasih kepada Allah dan sesama manusia).
e. Perjanjian Lama merupakan firman Allah. Allah berbicara (berfirman) melalui Perjanjian lama,
sebagaimana juga melalui Perjanjian Baru, untuk menyatakan kasihNya dan untuk menyampaikan
kehendakNya kepada manusia.
f. Perjanjian Lama mengandung sastra yang indah, termasuk cerita yang termasyur, seperti cerita Yusuf,
Rut, Daud, Elisa, Yunus, Ester dan sebagainya; dan puisi yang bagus seperti dalam Kitab Ayub, Mazmur,
Yesaya dan lain-lain.
4. MENGAPA SULIT MEMPELAJARI PERJANJIAN LAMA?
Dari uraian di atas kita melihat bahwa penting sekali kita mempelajari Penyataan Allah yang bersifat
progresif itu mulai dari masa PL supaya kita mendapatkan konteks lengkap bagaimana Penyataan Allah itu
diberikan. Namun demikian mempelajari kitab-kitab PL tidaklah tanpa halangan. Ada faktor-faktor
penghambat yang kadang menyulitkan kita mengerti maksud sesungguhnya berita dalam PL. Kesulitan-
kesulitan tsb. dapat dijelaskan sbb.:
a. Halangan Bahasa Kitab-kitab asli PL disampaikan dalam bahasa Ibrani kuno yang kadang tidak dapat
secara jelas diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
b. Halangan Budaya Seluruh konteks PL adalah budaya bangsa Israel kuno yang informasi sejarahnya tidak
dapat kita pahami dengan lengkap.
c. Halangan Ketekunan Kurangnya ketekunan dalam mempelajari Alkitab secara menyeluruh dan
berkesinambungan.
d. Halangan Praduga yang Salah Sering kita telah memiliki praduga yang salah tentang PL sehingga kita
cenderung hanya memilih berita yang kita sukai dan mengerti, tapi kemudian mengabaikan isi berita PL
yang lain.
5. PENDEKATAN KEPADA PERJANJIAN LAMA
Mempelajari Perjanjian Lama adalah tugas yang amat besar, tetapi persiapan yang tepat dapat
menolong mahasiswa untuk menuai panen yang melimpah. Allah yang berdaulat yang menciptakan alam
semesta, yang mengawasi sejarah, dan yang akan menyelesaikan rencanaNya tepat pada waktu yang
sudah ditetapkanNya yang telah memutuskan untuk berbicara. Hal itu sendiri telah merupakan tindakan
anugerah, dan kita berkewajiban untuk mendengarkan. Walaupun demikian, mendengarkan dapat
terhalang oleh banyak faktor yang menyulitkan.
Pertama, wahyu atau penyataan Allah tidak disampaikan dalam bahasa atau kebudayaan kita. Sebagai
akibatnya, kita barangkali harus bekerja lebih keras untuk dapat menerima berita yang disampaikan
dengan jelas. Semakin paham akan kebudayaan Timur Dekat purba, khususnya kebudayaan Israel, selama
zaman Perjanjian Lama, semakin mampulah mereka menyingkirkan penghalang-penghalang yang ada.
Faktor kedua yang mempersulit adalah bahwa kendati kita mendengarkan, kita cenderung untuk
memilih-milih apa yang kita dengar atau mencoba untuk menyesuaikan berita itu dengan apa yang kita
ingin dengar.
Jalan keluar untuk ini adalah dengan mengizinkan Alkitab berbicara sendiri. Kita semua mempunyai
berbagai praduga tentang Alkitab. Praduga- praduga ini perlu dievaluasi terus- menerus dan disaring agar
jangan sampai memutarbalikkan ajaran Alkitab. Tujuan para penulis Alkitab tidak boleh ditempatkan lebih
rendah terhadap maksud tujuan kita sendiri, betapapun berguna maksud tujuan kita itu. Banyak hal yang
5

sangat berharga dapat dipelajari dari Perjanjian Lama, tetapi tidak semuanya itu hendak diajarkan oleh
Perjanjian Lama. Jika para mahasiswa berkeinginan untuk memeproleh pengajaran yang absah dari teks
Perjanjian lama, maka harus belajar untuk menambah ide-ide mereka sendiri pada teks tersebut.
Apabila Alkitab diizinkan untuk berbicara dari ketinggiannya sendiri dan menurut agendanya sendiri,
pembaca akan dapat menjadi lebih terbuka untuk memepelajari apa yang hendak diajarkan oleh Alkitab.
PENYATAAN DIRI Sebagai penyataan diri Allah sasaran Perjanjian Lama adalah agar pembaca akan
mengenal Allah dengan lebih baik. Namun, proses ini tidak dimaksudkan untuk sekedar mengetahui
bahwa Allah ada. Sebaliknya pengenalan akan Allah ini tercapai dengan cara mengalami sifat- sifatNya.
Mampu mencatat semua sifat Allah tidak penting. Yang harus kita capai adalah bahwa sifat-sifatNya itu
menjadi kerangka dari pandangan hidup kita. Yang kami maksudkan dengan ini adalah bahwa pandangan
kita terhadap diri sendiri, masyarakat kita, dunia kita, sejarah kita, perilaku kita, keputusan-keputusan kita
- segala sesuatu - harus disatukan dengan pandangan yang jelas dan terpadu tentang Allah.
Sasaran Perjanjian Lama bukanlah kehidupan yang diubah, kendatipun pengenalan akan Allah sudah
seharusnya mengubah kehidupan seseorang. Sasaran Perjanjian Lama bukanlah menyetujui suatu sistem
nilai, kendatipun suatu sistem nilai tentu saja akan merupakan akibat dari mengenal Allah dengan
sungguh- sungguh. Perjanjian Lama bukanlah tempat penyimpan berbagai model peran historis, kidung-
kidung yang berdebu, dan perkataan nubuat yang tidak jelas, tetapi merupakan ajakan Allah untuk
mendengarkan kisahNya. Kisah Allah ini diawali dengan penciptaan. Akan tetapi, yang ditegaskan bukanlah
bagaimana dunia mulai, tetapi bagaimana rencana itu dimulai. Segala sesuatunya sudah tepat untuk
pelaksanaan rencana Allah. Dalam pengertian itu, penciptaan hanya merupakan pendahuluan dari sejarah.
Kedaulatan Allah pada awalnya dijamin oleh kenyataan bahwa Ia menciptakan.
Meskipun kenyataan ini mau tidak mau menyangkal kedaulatan ilah-ilah lain, maksud tujuannya
bukanlah membuka polemik melawan politeisme kafir pada zaman itu. Tetapi daripada mengadakan
pendekatan negatif yang mencela dan membuktikan ketidakbenaran ilah- ilah lain, Perjanjian Lama
mengadakan pendekatan positif dengan memberitahukan seperti apa Allah yang esa dan benar itu dan
apa yang sudah dikerjakanNya. Sewaktu sejarah mulai, akan terlihat bahwa Perjanjian lama tidak
memberikan perhatian utama pada aspek-aspek politik dan sosial dari sejarah. Yang terutama diperhatikan
dari sejarah ini adalah bagaimana Allah sudah menyatakan diriNya kepada orang-orang pada masa lalu.
Hal ini dicerminkan dalam nama- nama Allah yang memenuhi halaman- halaman Perjanjian lama.
Nama-nama ini menggambarkan Dia sebagai Allah yang kudus, mahakuasa, mahatinggi, dan yang
menyebabkan terjadinya segala sesuatu. Akan tetapi, Ia juga adalah Allah yang mendengar, melihat, dan
menyediakan. Pembrontakan dan kelemahan yang biasa terdapat pada umat manusia menunjukkan Dia
sebagai Allah yang penuh kesabaran dan kasih karunia. Sebagaimana halnya penciptaan memasuki
sejarah, demikian juga sejarah memasuki nubuat. Rencana Allah diawali pada permulaan, dijalankan
sepanjang sejarah, dan akan terus berlangsung sampai semua tercapai. Dengan melihat rencana Allah
dijalankan pada masa lalu (Pentateukh dan kitab-kitab sejarah dan dimaksudkan untuk masa depan kitab-
kitab para nabi), kita mulai menghargai hikmat yang tidak terduga dari Allah yang layak dipuji dan
disembah (Mazmur-mazmur dan sastra hikmat). Dengan demikian, Perjanjian Lama harus dilihat sebagai
penyajian sifat-sifat Allah dalam perbuatan. Kita dapat mengetahui siapa Allah itu dan seperti apa Dia
dengan jalan mendengar apa yang sudah ada yang akan dilakukanNya. Sesudah kita mengethui siapa Dia
itu, dan seperti apa Dia, maka tanggapan yang selayaknya adalah penyembahan, komitmen, dan
pelayanan.
PERJANJIAN ALLAH Di bagian inti dari penyataan-diri ini, yang menggambarkan rencana Allah, terdapat
perjanjian Allah (covenant). Bahkan nama "Perjanjian Lama" menunjukkan bahwa covenant itu merupakan
konsep inti dari kumpulan kitab-kitab ini. Melalui covenant atau perjanjian ini Allah menyatakna seperti
apa Dia dan mengharuskan diriNya untuk menuruti kelakukan tertentu. KesetiaanNya (hesed) pada
covenant itu sering kali menyebakan Dia melakukan tindakan kasih karunia dan kemurahan, namun
keadilan juga tercakup dalam covenant untuk memastikan pemberian pertanggungjawaban oleh umatNya.
Karena covenant itu merupakan sarana yang digunakan Allah untuk mengadakan penyataan diri, Perjanjian
Lama sering kali tampil sebagai sejarah covenant, atau dari berbagai aspeknya, lebih dari sekedar sejarah
Israel.
Jadi kitab Kejadian 12-50 adalah sejarah pengadaan perjanjian Abraham (atau Abrahamic Covenant).
Kitab Keluaran sampai dengan kitab Ulangan adalah sejarah mengenai penetapan perjanjian di Sinai. Kitab
6

Yosua adalah catatan mengenai kesetiaan Allah terhadap perjanjian itu, sedangkan kitab Hakim- hakim
adalah catatan mengenai ketidak-setiaan Israel terhadap perjanjian tsb. Kitab Samuel dan Raja- raja adalah
sejarah perjanjian kerajaan (Perjanjian Daud atau Davidic Covenant). Perjanjian itu sebagai rencana Allah
terlihat dengan lebih jelas daripada orang-orang yang terlibat dari generasi ke generasi.
Beberapa pendekatan yang berbeda- beda terhadap Perjanjian Lama dapat dibedakan satu daripada
yang lain melalui paham setiap pendekatan itu mengenai gagasan perjanjian dan kaitan berbagai
perjanjian itu terhadap satu sama lain. Adakah banyak perjanjian yang berbeda-beda yang terlepas dari
yang lain mengatur berbagai periode sejarah, ataukah hanya ada satu atau dua perjanjian yang mengatur
yang memiliki beberapa perjanjian tambahan lainnya yang menawarkan perluasan dan penjelasan?
Adakah satu perjanjian yang tidak bersyarat yang terdiri atas beberapa perjanjian bersyarat sebagai bagian
pelangkapnya, ataukah keseluruhannya merupakan perjanjian bersyarat? Pertanyaan-pertanyaan ini yang
dijawab dalam berbagai cara oleh para sarjana yang berbeda-beda, menjelaskan berbagai kontroversi
teologis tentang Perjanjian Lama, hubungannya dengan Perjanjian Baru dan keterkaitannya dengan kita
dewasa ini.
Namun jawaban-jawaban yang diberikan untuk pertanyaan- pertanyaan ini tidak mengubah citra Allah
yang diberikan oleh perjanjian itu. Hanya bentuk teologinyalah yang dipertaruhkan dalam persoalan ini,
dan bukan sifat Allah sebagaimana Ia dinyatakan dalam Perjanjian Lama. Bahkan, jika seandainya pun ada
yang cenderung untuk membuat garis-garis pemisah yang jelas di antara perjanjian-perjanjian itu,
kesatuan organik dari perjanjian- perjanjian tersebut tidak boleh diabaikan. Ciri kesatuan organik inilah
yang menolong kita untuk melihat rencana Allah sebagai suatu wujud yang konsisten dan menyatu. Dalam
pandangan ini, perjanjian dengan Abraham menetapkan Israel sebagai umat Allah "yang menyatakan
Allah" maksudnya melalui umat Israel Allah berkenan menyatakan diriNya kepada dunia. Taurat yang
diberikan di Sinai merupakan satu bagian utama dari penyataan yang akan diberikan oleh perjanjian yang
ditetapkan sebagai sasarannya.
Pada waktu yang sama, kitab Imamat, Ulangan, dan Yosua berisi pembaharuan perjanjian yang
memperkuat persetujuan itu. Perjanjian Daud (Davidic Covenant) menggenapi beberapa dari janji-janji
mula-mula Allah kepada Abraham (misalnya, raja-raja akan berasal dari dia) dan pada waktu yang sama
memperluas persetujuan itu untuk mencakup suatu garis keturunan dinasti. Para nabi berbicara tentang
perjanjian yang akan datang (bandingkan Yesaya 61:8; Yeremia 31:31-34; Yehezkiel 16:60-63; 34:25- 30;
37:19-28; Hosea 2:18:20), dan semua ini biasanya berhubungan dengan penggenapan yang akan datang
dari aspek-aspek perjanjian terdahulu yang sama sekali tidak terwujud karena kegagalan umat Israel.
OTORITAS Kendatipun tidaklah salah untuk mempelajari Alkitab dari perspektif sastra dan menghargai
sebagai karya sastra yang agung, kita tidak dapat berhenti di situ. Jika Alkitab hendak dikenal sebagai
penyataan diri Allah, maka Alkitab harus dipandang sebagai karya yang tidak sekedar mengetengahkan
pandangan- pandangan umat yang saleh. Dengan kata lain, jika Allah tidak dipahami sebagai sumber
Perjanjian Lama, maka Perjanjian Lama itu bukan penyataan-diri Allah. Jika Allah adalah sumber Perjanjian
Lama, maka dapat dimengerti bahwa Perjanjian Lama memiliki otoritas. Kita menelaah Alkitab karena kita
berharap akan memperoleh firman yang memiliki otoritas dari Allah, bukan berbagai pendapat yang
subjektif dari manusia, betapapun berharga atau benar pendapat-pendapat tersebut. Otoritaslah yang
menjadikan Perjanjian Lama lebih dari sekedar sastra yang bagus. Oleh karena itu Perjanjian Baru mengacu
kepada Perjanjian Lama sebagai tulisan yang dinapaskan Allah, atau "diilhami".
Pengilhaman adalah sifat yang menunjukkan Allah sebagai sumber dan menjamin bahwa karya tulisan
yang dihasilkan memiliki otoritas (II Timotius 3:16). Maka dapat dimengerti bahwa jika kita mengharapkan
Alkitab berisi penyataan yang berkuasa dan absah dari Allah maka otoritas tersebut harus terdapat dalam
apa yang hendak dikomunikasikan oleh Alkitab, bukan dalam apa yang pembaca ingin dengar. Dalam hal
ini pun Alkitab berbeda dari kepustakaan yang lain. Bila kita membaca sebuah novel atau syair, daya atau
kekuatan buku atau tulisan itu dapat diukur melalui kemampuannya untuk membangkitkan tanggapan dari
pembaca dan memadu hal itu dengan gagasan dari pengarangnya untuk menciptakan dan menciptakan
kembali "berbagai arti" baru setiap kali buku itu dibaca. Dalam cara ini sebuah syair dapat berarti satu hal
bagi seorang pembaca, sedangkan bagi pembaca lain syair tersebut mempunyai makna yang lain sama
sekali. Kendatipun dinamika seperti ini dapat merupakan hasil dari proses penerapan ketika membaca
Perjanjian Lama, kenyataan bahwa firman tertulis itu memiliki otoritas sedangkan tanggapan pembaca
tidak, hendaknya menjadi peringatan agar kita tidak dapat merasa pias dengan mempelajari pelajaran-
7

pelajaran kita sendiri dari Alkitab, betapa pun bernilainya pelajaran-pelajaran tersebut. Kita harus
berusaha untuk menemukan apa yang hendak dikumunikasikan oleh penulis, karena disitulah terkandung
otoritas.
Apakah implikasi-implikasi dari otoritas yang dimiliki oleh teks?
Yang pertama adalah bahwa kita menerima apa yang dikatakan teks sebagai kebenaran. Jika Allah tidak
pernah mengadakan perjanjian dengan Abraham atau tidak pernah berfirman kepada Musa di Sinai; jika
penaklukkan negeri perjanjian hanya sekedar suatu polemik khayal bagi Israel untuk memebela ekspansi
wilayahnya; jika perjanjian Daud tidak lebih dari suatu siasat politik yang dilakukan oleh orang-orang Daud
untuk menyatakan bahwa Allah membenarkan keberlangsungan dinasti mereka, maka Alkitab bukanlah
penyataan-diri Allah, melainkan sekedar propaganda dan tidak ada sangkut paut sama sekali dengan kita.
Jika ada pengertian meskipun sedikit, yang menunjukkan bahwa Alkitab adalah firman Allah, maka Alkitab
harus diterima sebagai kebenaran.
Implikasi kedua adalah bahwa kita perlu menanggapinya. Jika Alkitab benar-benar pernyataan-diri Allah
yang berwenang, maka kita tidak boleh mengabaikannya ataupun tidak mengambil peduli. Allah tidak
hanya menghendaki penyembahan, tetapi juga ketaatan, keadilan, kesetiaan, kekudusan, kebenaran, dan
kasih. Singkatnya, Ia ingin agar kita menjadi seperti Dia - itulah salah satu alasan Ia menyatakan diri
sebagaimana adanya itu.

II. LATAR BELAKANG GEOGRAFIS PERJANJIAN LAMA


1. MENGAPA PENTING MEMPELAJARI LATAR BELAKANG GEOGRAFI PL?
Pada pelajaran yang pertama telah kita pelajari bahwa melalui kitab-kitab PL, yang berisi sejarah
bangsa Israel, Allah telah menyatakan Diri-Nya dan rencana-Nya kepada manusia. Untuk itu Allah telah
melibatkan Diri dalam sejarah hidup umat pilihan-Nya yang dibatasi dalam ruang dan waktu. Kisah
sejarah bangsa Israel dalam Kitab- kitab PL bukanlah karya sastra yang direka-reka dan direncanakan oleh
pikiran manusia. Kita patut bersyukur bahwa Alkitab adalah unik dibandingkan dengan kitab suci-kitab
suci agama lain, karena Alkitab menyebutkan banyak sekali nama- nama tempat yang memang pernah
ada di dunia ini. Itulah sebabnya ada dua alasan penting untuk mempelajari latar belakang geografis
dunia PL:
a. untuk menjadi bukti bahwa sejarah umat Allah dalam PL adalah sejarah yang sungguh terjadi di suatu
tempat, di suatu waktu di dunia ini.
b. supaya kita dapat mengerti dan menginterpretasikan teks Alkitab dengan lebih baik; ada ribuan nama
tempat, gunung, sungai, bukit, laut dll. dalam Alkitab sehingga diperlukan pengetahuan yang cukup
tentang data-data geografis tsb. untuk dapat menafsirkan ayat dengan tepat.
2. RUANG LINGKUP GEOGRAFIS PL
Adapun lingkup geografis PL dapat dilihat dari beberapa sisi:
a. Geografi secara fisik; berhubungan dengan bumi secara fisik: gunung, sungai, lembah, dan struktur
tanah, angin dan cuaca dll. Semua ini mempengaruhi bagaimana masyarakat hidup di daerah itu; tipe
bangunan rumahnya, tipe pekerjaannya, gaya hidupnya dll.
b. Geografi secara politis; sehubungan dengan pengaturan kelompok masyarakat yang ada, dari
kelompok masyarakat sederhana yang tinggal berpindah-pindah (nomandi) sampai akhirnya
membentuk suatu daerah pemukiman yang memiliki daerah teritori yang jelas dan bahkan menjadi
kerajaan yang berkuasa atas daerah yang lebih luas.
c. Geografi secara sejarah; berhubungan dengan perkembangan sejarah masyarakat dalam satu tempat
dan satu waktu. Alkitab mencatat bagaimana, di mana dan kapan Allah menyatakan Diri dan rencana-
Nya pada umat pilihan-Nya.
3. MAKNA TEOLOGIS LATAR BELAKANG GEOGRAFIS PL
Tanah Perjanjian Wilayah tanah Kanaan memiliki porsi muatan makna teologis yang sangat besar
dalam seluruh kitab PL, karena tanah Kanaan merupakan komponen utama dalam perjanjian Allah
dengan bangsa pilihan-Nya, Israel. Hal ini dimulai ketika Abraham dipanggil untuk pergi ke tanah yang
akan Tuhan berikan kepadanya dan bangsa keturunannya, yaitu Tanah Perjanjian, (Kej. 11:31 - 12:10).
Wilayah Tanah Perjanjian itu disebutkan "mulai dari sungai Mesir sampai ke sungai yang besar itu, sungai
Efrat" (Kej. 15:18) dan janji itu dikonfirmasi lagi kepada Ishak (Kej. 26:3) dan juga kepada Yakub (Kej.
8

28:13). Luas tanah yang dijanjikan Tuhan kepada Abraham tidaklah jelas batasnya. Namun dapat
dipastikan lebih luas dari negeri Kanaan, karena ketika Lot memilih untuk tinggal di lembah Yordan yang
subur dan banyak air di sebelah timur, Abraham tinggal di tanah Kanaan, dan di situlah Tuhan berkata
kepada Abraham: "Pandanglah sekelilingmu dan lihatlah dari tempat engkau berdiri itu ke timur dan
barat, utara dan selatan, sebab seluruh negeri yang kaulihat itu akan Kuberikan kepadamu dan kepada
keturunanmu untuk selama- lamanya." (Kej. 13:14-15).
Ratusan tahun kemudian ketika Musa mengingatkan bangsa Israel akan Tanah Perjanjian yang Tuhan
telah berikan kepada mereka, maka Musa menjelaskan batas-batas tanah itu sebagai, "Majulah,
berangkatlah, pergilah ke pegunungan orang Amori dan kepada semua tetangga mereka di Araba-Yordan,
di Pegunungan, di Daerah Bukit, di Tanah Negeb dan di tepi pantai laut, yakni negeri orang Kanaan dan
ke gunung Libanon sampai Efrat, sungai besar itu. Ketahuilah, Aku telah menyerahkan negeri itu
kepadamu; masukilah, dudukilah negeri yang dijanjikan Tuhan dengan sumpah kepada nenek
moyangmu, yakni Abraham, Ishak dan Yakub, untuk memberikannya kepada mereka dan kepada
keturunannya." (Ul. 1:7-8). Dan saat itu bangsa Israel telah menduduki tanah bahkan sampai ke
TransJordan, yang lebih luas dari batas Tanah Perjanjian. Pada masa Yosua, Tuhan memberi perintah
kepada Yosua untuk mengambil seluruh teritori seperti yang telah disebutkan oleh Musa (Yos. 1:4).
Namun selama masa itu Israel gagal untuk mendapatkan seluruh tanah yang telah Tuhan janjikan,
sebab utamanya adalah karena ketidaktaatan mereka kepada Tuhan, sehingga Tuhan menghukum
mereka dengan tidak memberikan seluruh tanah itu kepada bangsa Israel. Dan selama masa raja-raja
Israel, tidak ada satu raja pun yang berhasil mendapatkan seluruh Tanah Perjanjian itu kecuali Daud
(itupun masih ada satu bagian tanah, Tanah orang Het yang tidak menjadi kekuasaan Israel). Sebagai
kesimpulan dapat di katakan bahwa konsep Tanah dan Perjanjian dalam PL saling memiliki kaitan yang
erat. Tanah merupakan anugerah Tuhan yang dijamin di atas perjanjian (covenant) yang sah.
Oleh karena itu Tanah Perjanjian merupakan simbol akan ketergantungan mereka pada Tuhan.
Hubungan Israel dengan tanah itu merupakan indikasi hubungan mereka dengan Tuhan. Apabila mereka
taat kepada Tuhan maka kemakmuran yang luar biasa akan terjadi di atas tanah itu (Ul. 22). Sebaliknya,
ketidaktaatan bangsa Israel akan perintah Tuhan akan berakhir dengan dibuangnya mereka dari Tanah
Perjanjian (Ul. 4:25-28; 28:63-68; Yos. 23:13-16; I Raj. 9:6- 9; 2 Raj. 17:22-23; dll.). Dan akibatnya pada
masa-masa itu orang Israel harus hidup di tanah pembuangan dan dijajah bangsa-bangsa lain. Namun
karena janji bahwa Tuhan akan setia menyertai bangsa ini, maka tidak untuk selamanya bangsa Israel
tinggal di tanah pembuangan. Pada jaman Ezra, sejarah PL mulai diwarnai dengan pertobatan dan
perjanjian untuk menjauhkan diri dari pemcemaran dosa dari bangsa kafir (Ez. 9:10-15) sehingga bangsa
Israel akhirnya pulang kembali ke tanah airnya dan tinggal di tanah yang Tuhan janjikan itu.

III. SEJARAH PERJANJIAN LAMA SEJARAH SINGKAT PERJANJIAN LAMA


Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa sebagian besar Kitab-kitab dalam Perjanjian Lama berisi
cerita sejarah, khususnya tentang sejarah bangsa Israel. Cerita- cerita tsb. bukanlah cerita yang sekedar kita
dengar lalu kita lupakan, karena ada makna teologis yang dapat ditarik kalau kita mempelajari dengan teliti
dan dengan tujuan yang benar. Mempelajari sejarah PL harus dimulai dengan kerinduan untuk mengerti
maksud dan rencana Allah berintervensi (turut campur tangan) dalam sejarah manusia. Hal inilah juga yang
mendorong para ahli Alkitab untuk meneliti dan menyusun urutan kejadian-kejadian dalam Alkitab untuk
melihat kembali bagaimana Allah berkarya, menyatakan Diri-Nya dan bagaimana Ia bertindak dan
berhubungan dengan manusia. Tindakan Allah dalam sejarah ciptaan- Nya ini membuktikan akan penyertaan
dan pemeliharaan Allah terhadap ciptaan-Nya. Apa yang Allah kerjakan dan tunjukkan di masa lampau dalam
sejarah Perjanjian Lama, memberikan dampak dan pengharapan bagi kita yang hidup pada masa kini. Untuk
lebih jelasnya di bawah ini adalah hal-hal penting yang perlu diketahui dalam mempelajari sejarah PL ini.
1. HAL-HAL PENTING YANG PERLU DIKETAHUI DALAM MEMPELAJARI SEJARAH PL
a. Sejarah PL adalah Sejarah KEHIDUPAN MANUSIA YANG NYATA Sejarah PL bukanlah cerita-cerita usang
belaka dari suatu bangsa yang hanya rekaan manusia. Sejarah PL adalah kisah dari sebuah bangsa yang
betul-betul ada di dunia, yang telah dipilih Allah untuk menjadi saluran kasih-Nya. Setiap kejadian yang
ada dalam sejarah PL merupakan sebuah mata rantai sejarah Keselamatan Allah yang panjang yang saling
menyambung, karena kisah yang ada dalam PL tsb. satu dengan yang lain memiliki hubungan/kaitan yang
9

sangat erat, baik hubungan sebagai kelanjutan cerita, tapi juga hubungan akan penggenapan atas nubuat
yang telah diberikan sebelumnya.
b. Sejarah PL adalah PEKERJAAN ALLAH Alkitab PL bukan saja meliputi cerita kronologis bangsa Israel dari
permulaan pemilihan sampai jaman Yesus Kristus, tapi adalah sejarah pekerjaan Allah yang terus menerus
dinyatakan di dalam kehidupan orang- orang Israel agar mereka mengerti tujuan pekerjaan dan rencana
karya Allah untuk keselamatan mereka serta menjadikan mereka rekan kerja Allah.
c. Sejarah PL adalah SEJARAH KESELAMATAN Dari peristiwa-peristiwa yang disusun secara kronologis maka
terlihatlah suatu benang merah berita inti dalam seluruh sejarah umat manusia, yaitu Sejarah Keselamatan
yang Allah anugerahkan kepada manusia. Manusia yang telah jatuh dalam dosa dan terputus hubungan
dengan Allah diberikan pengharapan baru; dan pada setiap generasi, sejarah mencatat, Allah selalu
mengulangi panggilan-Nya agar manusia berbalik dan menerima keselamatan yang dari Tuhan.
Dari tiga hal di atas jelaslah bahwa untuk mempelajari sejarah PL kita harus melihat keseluruhan
beritanya dalam konteks yang tepat. Sejarah PL bukan berisi perintah-perintah yang harus kita ikuti atau
cerita yang bisa kita ambil dan mengerti secara terpisah- pisah, karena masing-masing peristiwa memiliki
latarbelakang historis yang menuju ke satu berita utama, yaitu berita Keselamatan. Oleh karena itu
mempelajari sejarah PL akan menolong kita secara langsung untuk mempelajari konteks dalam
menafsirkan berita PL secara benar.
2. KRONOLOGIS SEJARAH PL
Sebelum memberikan garis besar sejarah seluruh PL, perlu terlebih dahulu kita mengerti bagaimana
para ahli Alkitab dan sejarah menentukan waktu terjadinya peristiwa-peristiwa tsb. secara kronologis.
Penentuan waktu kronologis sejarah PL (dari masa penciptaan, Adam dan seterusnya) tidak begitu mudah
untuk dipastikan, karena Alkitab sendiri tidak ditulis untuk maksud memberikan catatan kronologis yang
urut dan lengkap. Tujuan Alkitab mencatat peristiwa-peristiwa penting adalah untuk memberikan
gambaran sehubungan dengan bagaimana Allah bertindak terhadap manusia pada tempat dan waktu saat
itu. Salah satu cara menentukan waktu kejadian penciptaan Adam adalah dengan teori Ussher (sekalipun
sekarang teori ini tidak populer), yaitu dengan cara menjumlahkan kebelakang genealogi- genealogi
(silsilah) dan data-data kronologis lain yang terdapat dalam PL (dengan asumsi bahwa silsilah- silsilah PL
semua lengkap dan berurutan). Dengan cara ini ditentukan bahwa waktu penciptaan Adam adalah thn.
4004 SM (Sebelum Masehi). Banyak orang masih memakai pedoman pentarikhan waktu Ussher ini sebagai
pedoman pengurutan kronologisnya saja, sedangkan penentuan tahunnya tidak diikuti.
Berikut ini adalah garis besar pembagian sejarah PL secara kronologis:
a. Jaman Adam sampai Abraham (kira-kira 5000 - 4000 SM) Jaman ini oleh beberapa sarjana ditempatkan
dalam ruang waktu antara 5000-4000 SM, walaupun ada banyak pandangan yang berbeda- beda
tentang penetapan waktu ini. Dalam jaman ini dicatat dua peristiwa besar:
1. Air bah (Kejadian 6:13; 9:17) - 3000 SM, tahun ini ditentukan dengan memperhatikan kesamaan
antara Air Bah di dalam Alkitab dengan sebuah kisah air bah yang berasal dari Babel.
2. Menara Babel (Kejadian 11:1-9) - 3000-2000 SM, karena kejadiannya ini tidak lama sesudah air bah,
(dimana semua manusia masih tinggal di satu daerah).
b. Jaman Patriakh-Patriakh (kira- kira 2000 - 1400 SM) Kisah pengembaraan Abraham dalam Kejadian 12-
50 dapat diyakinkan dari berbagai keterangan yang cocok sekali dengan lingkungan kebudayaan
periode tahun 2000-1600 SM, dimana cara hidup orang-orang jaman itu adalah mengembara
(nomandik). Tanah Palestina saat itu masih jarang penduduknya sehingga pengembaraan masih dapat
dilakukan dengan bebas di daerah-daerah yang subur, bahkan dari daerah Mesopotamia (tempat asal
Abraham) ke Palestina.
c. Jaman Keluaran/Eksodus dari Mesir (kira-kira 2000 - 1400 SM) Ada dua periode besar pada jaman ini
yang berjalan kira-kira 430 tahun (Kel. 12:40-41). Pertama adalah masa Abraham dipanggil Tuhan
sampai Yakub masuk ke Mesir (Kej. 12:4; 2:15; 25:26; 47:9). Dan kedua adalah masa bgs. Israel di Mesir
sampai keluar dari Mesir. Thn. 1290 SM diperkirakan sebagai tahun keluarnya (Eksodus) bangsa Israel
dari Mesir. Saat itu diperkirakan umur Musa adalah 80 tahun.
d. Jaman Hakim-Hakim (kira-kira 1400-1050 SM) Jaman ini adalah masa sesudah kematian Yosua. Dalam
periode ini ada 13 hakim yang ditunjuk Tuhan untuk memimpin bangsa Israel hidup di Tanah Perjanjian.
(Daftar Hakim- hakim lihat di bahan Referensi). Masa Hakim-hakim ini dianggap sebagai masa gelap
bangsa Israel, diungkapkan sebagai masa dimana "setiap orang berbuat apa yang benar menurut
10

pandangannya sendiri." (Hak. 17:6). Pada masa ini sepertinya Tuhan tidak bekerja, baik melalui mujizat
maupun tanda-tanda lain yang menyertai. Kehidupan bangsa Israel sangat mundur bukan hanya secara
rohani tapi juga dalam hal keamanan dan kesejahteraan jasmani. Mereka sering dikalahkan, dirampok
dan diperlakukan sangat buruk oleh bangsa-bagsa lain yang lebih kuat. Kunci dari masalah ini adalah
karena dosa-dosa yang diperbuat oleh bangsa Israel, sehingga Tuhan meninggalkan mereka.
e. Jaman Kerajaan Bersatu (kira- kira 1050 - 931 SM) Dalam rangkaian sejarah bangsa Israel, periode
jaman ini dapat dikatakan sebagai jaman yang paling gemilang dan makmur. Israel menjadi bangsa yang
memiliki derajat tinggi diantara bangsa- bangsa di sekitarnya. Hal ini ditandai dengan kemajuan-
kemajuan yang dicapai dalam berbagai bidang (ilmu pengetahuan, kesusasteraan, pembangunan dll.)
Tapi pada pihak yang lain sistem pemerintahan "Teokrasi", yaitu kepemimpinan langsung oleh Tuhan,
mulai ditinggalkan oleh bangsa Israel. Tuhan mengijinkan mereka memiliki raja sendiri untuk
memerintah karena kedegilan hati bangsa ini. Tetapi Tuhan memberikan peringatan yang jelas (I Sam.
8) bahwa mereka akan menyesal dikemudian hari.
f. Jaman Kerajaan Terpecah (kira- kira 930 - 586 SM) Kejayaan kerajaan Israel berakhir setelah
pemerintahan raja Salomo, karena kemudian kerajaan ini mulai pecah dan runtuh sedikit demi sedikit
dan akhirnya hancur karena kejahatan mereka di mata Tuhan dan penyembahan-penyembahan mereka
kepada patung- patung berhala. Karena janji dan kesetiaan Tuhan pada bangsa ini maka tak henti-
hentinya Tuhan berbicara dengan mengirimkan utusan-utusan-Nya. Pada jaman ini beberapa nabi
dibangkitkan Tuhan untuk menyampaikan Firman-Nya kepada raja dan rakyat dari kedua kerajaan yang
pecah ini.
g. Jaman pembuangan di Babel dan kembali ke tanah Israel (kira-kira 587 B.C). Periode pertama jaman ini
adalah masa yang sulit bagi bangsa Israel. Mereka berkali-kali jatuh ke tangan bangsa lain, dijajah dan
ditindas, bahkan mereka sempat dibuang ke tanah asing untuk menjadi bangsa tawanan. Hal ini Tuhan
ijinkan terjadi karena Tuhan sedang menghukum bangsa Israel atas dosa dan kejahatan mereka dengan
harapan supaya mereka mengoreksi diri lalu berbalik kepada Tuhan. Pada saat yang sama Tuhan juga
mengirimkan nabi-nabi-Nya untuk berbicara tentang janji kesetiaan Tuhan bahwa Tuhan tidak akan
meninggalkan mereka asal mereka mau berbalik dan mentaati perintah Tuhan. Di tanah pembuangan
inilah bangsa Yahudi dan Yudaisme dilahirkan. Orang-orang yang Tuhan pakai, seperti Ezra dan
Nehemia, berhasil memimpin bangsa ini untuk kembali menegakkan "monotheisme" dan menghargai
Firman Tuhan yang diajarkan oleh nenek moyang dari generasi-generasi sebelumnya, termasuk di
dalamnya adalah Hukum Taurat sebagai pusat pengajaran mereka. Periode kedua dari jaman ini adalah
kembalinya bangsa Yahudi ke tanah Palestina yaitu setelah tahun 539 SM, ketika Raja Koresy dari Persia
menaklukkan Babel dan bangsa Israel pulang ke tempat asal dan membangun bangsa dan tempat
ibadah mereka kembali.
• Rombongan pertama dipimpin oleh seorang yang bernama Sesbazar (Ezra 1:11; 5:14) 538 SM
dimana fondasi Bait Suci diletakkan.
• Rombongan kedua dipimpin oleh Hagai dan Zakharia 520 SM berjumlah 42.360 orang (Ezra 2:64).
Bait Suci selesai dibangun.
• Tahun 458 SM ada pengutusan dilakukan oleh Ezra beserta serombongan besar orang Yahudi (Ezra
7:1-7) dan tahun 445 SM Nehemia datang ke Yerusalem menyelesaikan pembangunannya.
Pada akhir sejarah Perjanjian Lama kita ketahui bahwa orang-orang Yahudi yang pulang ke tanah air
mereka memiliki komitmen untuk menjunjung tinggi Hukum Taurat dan tempat ibadah Bait Suci karena
mereka memiliki keyakinan yang teguh bahwa merekalah umat pilihan Allah. Sampai pada permulaan
sejarah Perjanjian Baru kita masih melihat bahwa bangsa dan agama Yahudi berkembang terus dengan
subur. -----
3. TINJAUAN SEJARAH MASA PERJANJIAN LAMA KRONOLOGI
Sepatah kata tentang kronologi perlu untuk suatu tinjauan sejarah masa Perjanjian Lama. Para
pembaca barangkali bertanya-tanya bagaimana tanggal-tanggal dapat ditetapkan untuk semua peristiwa
dan tokoh dari sejarah dahulu kala bilamana catatan- catatan, paling banter, hanya mengetengahkan
sebuah ungkapan seperti "Dalam tahun ketiga pemerintahan raja X." Ada banyak sumber dari Israel dan
Timur Dekat Kuno yang memberikan kronologi yang relatif (tahun ketiga seorang raja anu adalah tahun
pertama raja yang lain), dan dari data tersebut maka suatu kerangka yang berkenaan dengan berbagai
orang dan peristiwa dapat disusun. Untuk menetapkan suatu kronologi yang pasti (raja mulai
11

pemerintahannya pada thun 465 SM), suatu waktu yang pasti harus ditentukan yang dapat dikaitkan
dengan jaringan kronologi yang relatif itu.
Untuk Timur Dekat Kuno, waktu yang pasti ini disediakan oleh daftar Eponim dari Asyur. Daftar Eponim
setiap tahunnya mencatat pejabat tertentu yang mendapatkan penghargaan dengan menamai tahun itu
menurut nama pejabat tersebut. Dalam daftar tersebut namanya dicatat bersama- sama dengan satu atau
dua peristiwa yang paling penting dari tahun"nya", biasanya aksi militer. Secara kebetulan, dalam tahun
Ishdi- Sagale, gubernur Guzana, daftarnya melaporkan terjadinya gerhana matahari. Para ahli astronomi
dapat menghitung kapan gerhana matahari terjadi, oleh karena itu tahun Ishdi-Sagale dapat ditentukan
dengan pasti sebagai tahun 763 SM. Ini merupakan tautan utama untuk kronologi yang pasti dari Timur
Dekat Kuno, dan hal itu tidak ditentang. Sebagai akibatnya, dapat dipastikan bahwa daftar Eponim meliputi
tahun 893-666 SM.
Karena setiap raja Asyur selama masa ini (sudah dapat dikethaui termasuk diantara orang- orang yang
dihormati, maka tanggal- tanggal kerajaan Asyur dapat ditetapkan untuk masa yang lebih dari dua abad
itu. Ini adalah zaman Kerajaan Neo-Asyur, jadi semua peristiwa dari kebanyakan bangsa Timur Dekat Kuno
disinkronisasikan dengan Asyur pada waktu itu. Dengan demikian Asyur sudah menjadi dasar untuk
kronologi Timur Dekat Kuno. Akan tetapi, kita tidak boleh menganggap bahwa dengan demikian semua
persoalan kronologis terpecahkan. Seringkali data yang bertentangan dengan skema kronologi relatif yang
memperkenalkan ketidakpastian untuk penentuan tanggal yang pasti. Dalam kesempatan lain berbagai
peristiwa atau tokoh tidak berhubungan dalam materi naskah dengan jaringan kronologi relatif - misalnya
kelalaian kitab Keluaran untuk menyebutkan nama firaun yang memerintah waktu itu. Persoalan-persoalan
lain lagi terjadi manakala sumber-sumber kuno tidak mencatat secara memadai kerumitan dari suatu
keadaan - misalnya berbagai kesenjangan dalam kronologi, pemerintahan oleh seorang wali dinasti atau
penguasa yang memerintah dalam waktu yang bersamaan dengan dinasti atau penguasa lain dalam
negara yang sama. Yang terakhir, beberapa sumber menyediakan informasi mengenai jangka waktu yang
lebih panjang.
Misalnya, dalam catatan Tiglat-Pileser I dari Asyur dinyatakan bahwa bait suci yang dibangun oleh
Shamshi- Adad I sudah mau runtuh dalam waktu lebih dari 641 tahun; dalam doa Salomo yang tercatat di I
Raja-raja 6:1 dinyatakan bahwa 480 tahun sudah berlalu antara peristiwa Keluaran dan Penahbisan bait
Allah oleh Salomon. Fakta-fakta ini dapat menimbulkan berbagai masalah jika tidak bertautan dengan
informasi yang disediakan oleh jaringan kronologi relatif. Akibatnya ialah bahwa masih ada banyak
ketidakpastian tentang kronologi yang tepat. Dalam hal raja- raja Israel dan Yehuda, ketidakpastian itu
biasanya hanya sekitar satu atau paling banyak dua tahun, walaupun kadang-kadang sebanyak dua belas
tahun membedakan teori yang satu dari yang lain. Semakin jauh seseorang kembali ke dalam sejarah,
semakin banyaklah ketidakpastian yang terjadi. Peristiwa paling awal dari Perjanjian Lama yang dapat
disinkronkan 2dengan seseorang yang dikenal dari catatan Timur Dekat Kuno adalah serangan yang
dilakukan oleh Sisak (Sheshonk I), raja Mesir, terhadap Yerusalem pada tahun kelima masa pemerintahan
Rehabeam (925 SM, I Raja-raja 14:25-26).
Dengan demikian, maka masa hakim-hakim dan oleh karena itu masa para bapa leluhur, tetap
terselubung dalam misteri kronologis dan karenanya dijadikan sasaran dari banyak penetapan yang
spekulatif. Beberapa orang percaya bahwa Alkitab menyediakan kunci untuk menguak misteri-misteri
kronologis. Teks yang kami kutip dalam I Raja-raja 6:1 tampaknya menentukan tanggal terjadinya peristiwa
Keluaran pada tahun 1446 SM, sedangkan Keluaran 12:40 menunjukkan bahwa Israel tinggal di Mesir
selama 430 tahun. Berdasarkan data ini, Yakub dan keluarganya pindah ke Mesir pada tahun 1876 SM, dan
dengan demikian usia yang diberikan untuk para patriarkh akan menghasilkan suatu tabel kronologis yang
mundur sampai Abraham. Akan tetapi, ahli-ahli yang lain tidak dapat menerima sistem ini, karena mereka
berpendapat bahwa hal itu bertentangan dengan informasi arkheologis yang sudah tersedia selama satu
abad yang terakhir. Jadi, angka-angka dalam I Raja-raja dan Keluaran kadang-kadang dianggap sebagai
perkiraan atau diartikan dalam cara-cara yang tidak harfiah, dan kronologi masih tetap menimbulkan
pertentangan.

IV. BUDAYA PERJANJIAN LAMA


Membicarakan tentang sosio-budaya PL adalah sangat luas, oleh karena itu dalam pelajaran ini pembahasan
12

akan dibatasi hanya pada struktur masyarakat, kehidupan ibadah, dan sistem pendidikan masa PL.
1. STRUKTUR MASYARAKAT PERJANJIAN LAMA
KELUARGA adalah unit utama dalam struktur masyarakat PL, karena memang sejak dari semula Allah
memulai rencana penebusan-Nya melalui satu keluarga, yaitu keluarga Abraham. Dan melalui keluarga
Abraham inilah Allah memanggil keluar umat-Nya untuk membina suatu hubungan yang istimewa dengan
Dia, yang dikokohkan dengan membuat suatu Perjanjian (Covenant). Itu sebabnya anggota yang termasuk
dalam Perjanjian ini adalah mereka yang disebut sebagai "keturunan" (secara jasmani) Abraham - dan
selanjutnya keturunan Ishak dan Yakub (Im. 26:42,45). Kata "keturunan" ini (Ibr. 'ab' artinya bapak) muncul
seribu dua ratus kali dalam PL. Konsep "keturunan" secara fisik sangat penting bagi bangsa Israel, karena
disitulah ikatan keanggotaan dalam Perjanjian didasarkan. Oleh sebab itu tidak heran jika banyak sekali
ditemui catatan silsilah dalam Alkitab, termasuk dalam kitab-kitab PB (Mat. 1 dan Luk. 3). Jika mereka
termasuk dalam silsilah itu maka mereka memiliki hak sebagai anggota masyarakat Yahudi yang terikat
dalam hubungan Perjanjian dengan Allah.
A. Keluarga Dasar pelembagaan keluarga diletakkan oleh Allah sendiri dalam Kej. 2, sebagai kesatuan
ikatan yang permanen antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Istilah Ibrani yang dipakai
untuk keluarga adalah 'misphahah' dan 'bayit' yang arti harafiahnya adalah "rumah" (bhs. Inggris
'household' atau dalam bhs. Indonesia lebih tepat "rumah tangga") yaitu diartikan sebagai mereka yang
tinggal dalam satu atap rumah. Namun demikian, dalam PL sering kali keluarga bukan hanya terdiri dari
suami, istri dan anak-anak, karena (tergantung dari konteksnya) yang dimaksud keluarga dalam PL lebih
cenderung sebagai perluasan keluarga, yaitu suami, istri, anak-anak (sampai dua/tiga generasi), budak-
budaknya dan termasuk juga keluarga dekat lain yang tinggal bersama, bahkan kadang seluruh suku
juga disebut sebagai satu keluarga (1 Taw.13:14). Lembaga Perkawinan Ikatan permanen antara seorang
laki- laki dan seorang perempuan dalam perkawinan yang diresmikan oleh Allah sendiri sebelum
kejatuhan manusia dalam dosa (Kej. 1:26-27). Perkawinan dalam PL diterima sebagai suatu norma
umum (tidak ada kata "bujangan" dalam bahasa Ibrani). Ketika Allah memberikan Hawa kepada Adam,
dikatakan, "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku" (Kej. 2:23) sebagai pengakuan
Adam akan keserupaan dan kesepadanannya dengan Hawa. Hubungan permanen perkawinan/
pernikahan yang harmonis yang diciptakan oleh Allah ini rusak setelah manusia jatuh dalam dosa. Dan
sejak itu, institusi pernikahan menjadi kabur dan akibatnya manusia lebih cenderung untuk merusak
daripada mempertahankannya. Dalam seluruh PL ada ditunjukkan bentuk-bentuk penyelewengan
pernikahan yang dilakukan oleh nenek moyang bangsa Israel, misalnya dalam praktek-praktek poligami
dan perceraian (Baca Referensi 1 - Poligami dan Perceraian PL).
1. Suami Dalam masyarakat PL, suami mempunyai kedudukan sebagai "tuan" yang memerintah atas
istri dan anak-anak dan keluarga anak- anaknya, juga seluruh anggota keluarga yang lain dan budak-
budaknya. Tapi pada sisi yang lain, suami juga menjadi penangungjawab atas semua tindakan yang
dilakukan oleh seluruh anggota keluarganya. Oleh karena itu tidak jarang kepala keluarga akan
menanggung hinaan, bahkan hukuman, untuk tindakan yang dilakukan oleh anak-anaknya
(keluarganya). Suami juga mempunyai tanggungjawab untuk mencarikan istri/suami bagi anak-
anaknya. Untuk itu ia harus paham betul hal-hal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan
sehubungan dengan pernikahan menurut hukum bangsa Israel (Im. 18; Ul. 7; 20). Silsilah keluarga PL
diurutkan dengan mengikuti keturunan dari suami, karena suamilah yang memberi identitas dan
nama bagi keluarganya. Itu sebabnya dalam hukum Israel disebutkan berbagai peraturan untuk
melindungi kelangsungan keluarga (Im. 25:47-49; Yer. 32:68; Ruth 2,3,4). Suami PL juga mempunyai
fungsi sebagai imam bagi keluarganya. Ia diharapkan memimpin seluruh keluarganya dalam
mengikuti perayaan-perayaan keagamaan Yahudi. Seluruh tanggungjawab pendidikan anak-anak,
khususnya anaknya laki-laki juga ada di tangannya. Sebagai negara yang dikelilingi oleh bangsa-
bangsa kafir, tugas ini merupakan tugas yang tidak ringan.
2. Istri Sekalipun kelihatannya tanggungjawab suami lebih besar, namun tidak berarti bahwa istri PL
pasif. Amsal 31 menceritakan secara panjang lebar tentang tugas-tugas seorang istri yang berbudi
dan ideal. Dari tugas yang begitu banyak itu, tugas utama istri adalah untuk menghasilkan
keturunan. Tapi itu bukan berarti tugas satu- satunya. Dari Amsal 31 dapat diambil kesimpulan
bahwa istri PL tidak hanya melakukan tugas yang sehubungan dengan anak-anak dan rumah saja,
Alkitab pada dasarnya memberikan tanggung-jawab yang besar bagi istri PL untuk menguasai
13

bidang- bidang lain di luar rumahnya. Dalam peristiwa-peristiwa khusus, PL juga mencatat istri-istri
menjalankan tugas- tugas yang tidak lazim dilakukan dalam budaya Israel, mis. memimpin perang
(Debora), menjadi nabi (Miryam), bertindak untuk suami (Abigail), dll. Dalam perkawinan Yahudi,
istri dengan kerelaan menundukkan diri di bawah suaminya dan mengambil kedudukan sebagai
"penolong" (Kej, 2:18). Setelah melahirkan anak mereka akan menyusui anak- anaknya sampai usia
dua atau tiga tahun. Pendidikan anak sampai usia lima tahun adalah tanggung jawab ibu, namun
kemudian anak laki-laki akan dididik oleh ayahnya, sedangkan anak perempuan akan diajar oleh
ibunya bagaimana menjadi seorang istri dan ibu yang sukses. Kesuksesan istri menjalankan keluarga
seringkali menjadi ukuran bagaimana suami Yahudi akan dihormati di antara para pemimpin Israel.
3. Anak-anak Anak-anak adalah berkat dari Tuhan, buah yang diharapkan dari perkawinan. Itu
sebabnya keluarga PL selalu mengharapkan sebuah keluarga yang besar. Merupakan suatu dukacita
dan aib bagi keluarga PL yang tidak dikaruniai anak, seperti peristiwa yang menimpa Sara dan Hana.
Sebaliknya banyak puji-pujian yang ditujukan bagi wanita yang melahirkan banyak anak (Maz. 128).
Anak dalam PL diterima sebagai anggota masyarakat Israel secara penuh. Oleh karena itu
tanggungjawab memelihara dan mendidik mereka adalah juga tanggungjawab masyarakat, selain
tentu saja keluarganya. Ul. 6:4-9 merupakan perintah langsung dari Tuhan akan pentingnya
pendidikan anak, untuk itu yang harus diperhatikan adalah: - Orang tua yang mengasihi Tuhan dan
menyimpan Firman Tuhan dalam hatinya menjadi teladan bagi anak- anaknya (ay. 4-6). - Firman
Tuhan harus menjadi percakapan utama dalam keluarga supaya tertanam dalam diri anak-anak (ay.
7). - Firman Tuhan harus dilahirkan dalam tingkah laku sehari-hari (ay. 7-9). Anak laki-laki dalam
keluarga Yahudi adalah tumpuan harapan bagi pemeliharaan masa tua orang tuanya, yaitu supaya
mereka mendapat penguburan yang layak. Anak sulung dalam keluarga Yahudi, baik laki-laki
maupun perempuan, mendapat tempat yang istimewa. Sepanjang hidupnya ia akan dituntut untuk
memiliki tanggung jawab yang lebih besar atas tindakannya dan tindakan saudara- saudaranya yang
lain. Apabila orang tuanya mati, anak sulung akan mendapat bagian warisan dua kali lipat. Jika
ayahnya tidak memiliki anak laki-laki maka anak perempuan akan mewarisi seluruh harta ayahnya
jika ia menikah dengan kaum keluarganya sendiri. Dibandingkan dengan bangsa-bangsa tetangga
Israel, anak perempuan Yahudi mendapatkan perlakukan yang jauh lebih baik. Anak perempuan
Yahudi diijinkan menikah sesudah usia 12 tahun. Pada usia itu diharapkan ia telah mempelajari
semua kecakapan mengurus rumah tangga dan bagaimana menjadi istri dan ibu yang baik. Sebelum
menikah maka ayahnya memiliki hak penuh atas putrinya. Ayah jugalah yang bertanggungjawab
mencarikan suami bagi putrinya. Sesudah menikah maka ibu mertuanya akan mengambil alih
pendidikan selanjutnya. Apabila karena sesuatu hal suaminya mati, maka ia akan dinikahkan dengan
saudara laki-laki dari suaminya untuk menyelamatkan garis keturunan keluarganya. Namun jika
suaminya tidak memiliki saudara laki-laki lain yang dapat menikahinya, maka seringkali ia akan
kembali ke rumah ayahnya lagi (contoh kasus Ruth dalam keluarga Naomi).
B. Strata Dalam Masyarakat PL Sekalipun tidak ditonjolkan, ada perbedaan klas-klas dalam masyarakat PL,
khususnya setelah jaman kerajaan terbentuk. Perbedaan antara mereka yang kaya dan miskin menjadi
sangat nyata. Beberapa orang mendapat penghasilan dari tanah yang berlebihan dan akhirnya menjadi
kaya. Tapi ada juga yang karena melakukan praktik- praktik yang tidak adil sehingga menekan pihak lain
untuk mendapatkan keuntungan, sehingga mereka yang tidak diuntungkan menjadi miskin. Berikut ini
adalah perbedaan strata dalam masyarakat PL secara umum:
a. Kelompok masyarakat yang berpengaruh Mereka adalah para tua-tua agama dan kepala rumah
tangga. Setelah jaman kerajaan, muncul kelompok yang disebut sebagai para pemuka, yaitu
pembantu-pembantu raja dan juga para pahlawan.
b. Penduduk asli setempat Mereka yang memiliki tanah dan tinggal sebagai penduduk asli di Palestina.
c. Penduduk asing Mereka adalah pendatang dan orang bebas (bukan budak) tetapi tidak memiliki hak
penuh sebagai warganegara Palestina.
d. Pekerja upahan Mereka tidak memiliki tanah, hidup sebagai tenaga upahan.
e. Pedagang Mereka adalah orang-orang asing yang datang untuk berdagang.
f. Budak-budak Mereka bukan hanya orang Israel saja (yang miskin), tetapi juga pendatang asing yang
hidup sebagai tawanan perang. Perbudakan adalah salah satu kebiasaan cara hidup pada masa PL
(Baca Referensi 2 - Perbudakan).
14

2. SISTEM IBADAH PL
Israel dikelilingi oleh bangsa-bangsa tetangga yang tidak mengenal Allah (kafir). Itu sebabnya Allah
berkali-kali harus mengingatkan bangsa Israel untuk tidak mengikuti kebiasaan peribadahan bangsa-
bangsa tsb. Namun demikian telah berulang kali terjadi bangsa Israel tidak taat dan selalu jatuh pada dosa
yang sangat dibenci Allah yaitu menyembah kepada ilah yang lain. Tidak jarang Tuhan menghukum
mereka, bahkan dengan menyerahkan mereka untuk dikalahkan dan dijajah oleh bangsa- bangsa lain.
Cara-cara beribadah bagaimanakah yang diikuti bangsa Israel sehingga membuat Allah Yahweh murka dan
menghukum mereka?
Berikut ini adalah beberapa karakteristik penyembahan agama kafir:
a. Mereka memiliki banyak tuhan (dewa), karena kebanyakan agama kafir adalah politheistik.
b. Mereka menyembah kepada patung-patung, atau gambaran- gambaran yang menyerupai binatang,
manusia atau benda-benda lain sebagai simbol akan allah mereka.
c. Keselamatan adalah usaha manusia untuk melepaskan diri dari kecenderungan berbuat dosa.
d. Mereka percaya bahwa persembahan-persembahan yang mereka bawa kepada ilah-ilah mereka dapat
memberikan kekuatan gaib yang akan menghindarkan mereka dari kecelakaan atau bahaya.
Dibandingkan dengan penyembahan yang dilakukan oleh bangsa Israel kepada Allah Yahweh, Israel
sendiri sebenarnya mempunyai cara-cara ritual yang telah dipelihara sejak masa Adam dan Hawa; juga
Kain dan Habel. Dari contoh-contoh itu jelas bahwa Allah menerima penyembahan manusia (Kej. 4:6).
Tidak dikatakan dengan jelas oleh Alkitab mengapa mereka harus memberikan korban persembahan, tapi
dari konteks Kejadian 4, terlihat bahwa persembahan itu diberikan sebagai ucapan syukur atas
pemeliharaan Tuhan yang disertai dengan harapan bahwa Allah akan senantiasa memelihara mereka di
hari-hari kemudian.
Tetapi Alkitab juga tidak menjelaskan mengapa Allah menerima persembahan Habel tetapi Kain tidak.
Tapi inilah pertama kali disebutkan dalam Alkitab korban persembahan memakai binatang. Dan sejak itu
persembahan binatang dipakai sebagai korban bakaran untuk menjadi salah satu tata upacara yang
dilakukan dalam ibadah. Pada masa Musa penyembahan kepada Allah tidak lagi dilakukan di tanah
terbuka, tapi di kemah pertemuan Bait Suci, sedangkan penjelasan secara lengkap diberikan dalam Kel.
27:1-3, sesuai perintah yang diterima Musa dari Allah, dan Musa sendiri bertindak sebagai imam, menjadi
perantara antara Allah dan umat Israel. Pada masa iman-iman, bangsa Israel telah memiliki kelompok
imam yang dipilih dari keturunan keluarga Harun, suku Lewi, yang bertugas untuk mengatur tata ibadah
kepada Allah. Kitab Imamat mencatat berbagai macam peraturan tata ibadah bagi bangsa Israel.
Tidak selalu bangsa Israel melakukan ibadah yang benar, karena ibadah yang sejati bukanlah tergantung
dari tempat dan tata caranya tetapi dari sikap hati yang benar. Tapi sering kali bangsa Israel tidak memiliki
hati yang tertuju kepada Tuhan, sehingga tata ibadahpun tidak ada gunanya. Ketika akhirnya bangsa Israel
dihukum karena telah meninggalkan Tuhan, dan Tuhan menyerahkan mereka sebagai tawanan kepada
bangsa- bangsa lain, barulah bangsa Israel menyadari betapa pentingnya kembali beribadah kepada Tuhan
dan memelihara Taurat- Nya. Oleh karena itu dalam rangka menyelamatkan kehancuran bangsa ini karena
tidak lagi hidup sebagai umat Tuhan, maka Ezra, Bapak Yudaisme, mulai mengembalikan/ membangkitkan
kesukaan untuk beribadah dan memelihara Firman Tuhan agar bangsa ini boleh berjalan sesuai dengan
jalan Tuhan. Tetapi karena di tanah pembuangan mereka tidak dapat lagi pergi beribadah ke Yerusalem
(apalagi Bait Allah di Yerusalem telah dihancurkan musuh), maka didirikanlah tempat ibadah sinagoge di
tanah pembuangan Babel. Di sinilah akhirnya agama Yudaisme lahir dan berkembang. Sekalipun di
sinagoge mereka tidak lagi memberikan korban bakaran seperti di Bait Suci, namun di sinagoge ini bangsa
Israel belajar Taurat Tuhan dengan teliti dan tradisi nenek moyang mereka terpelihara dengan baik sampai
dengan masa Perjanjian baru.
3. SISTEM PENDIDIKAN PL
Keluarga menjadi pusat dimana pendidikan diberikan pada masa PL, khususnya oleh mereka yang telah
berumur. Sumber bijaksana dan pengetahuan, dipercaya oleh bangsa Israel, didapatkan dari pertambahan
umur seseorang. Oleh karena itu orang-orang muda akan belajar segala sesuatu dari orang-orang tua (tua-
tua) yang ada di sekitar mereka. Keluarga memiliki tanggung jawab penuh bagi pendidikan anak-anaknya,
khususnya pendidikan rohani. Tidak ada pilihan untuk mereka menyerahkan pendidikan ini kepada orang
lain karena alasan kesibukan.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, anak-anak Israel pada usia balita dididik oleh ibu mereka. Ketika
15

anak laki-laki cukup besar maka ayah akan memperkenalkan mereka pada pekerjaannya sehari-hari, dan
sejak itu anak akan terus mendengar didikan ayahnya sambil bekerja. Sedangkan ibu akan bertanggung
jawab terhadap pendidikan anak perempuannya, untuk menjadikannya istri dan ibu yang baik. Setiap
makan malam orang tua akan menggunakan waktu berkumpul dengan keluarganya dan mengajarkan nilai-
nilai luhur ajaran nenek moyang mereka, dengan meminta anak-anak yang terkecil dalam keluarga untuk
menanyakan apa saja yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Jika seorang anak Yahudi mendapat
didikan dari orang lain selain ayahnya sendiri, maka ia juga akan memanggilnya "ayah".
Hal pertama yang diajarkan kepada mereka adalah pelajaran tentang sejarah bangsa Israel, dalam
bentuk kredo-kredo dimana inti sari sejarah Israel telah diformulakan. Dan untuk itu anak harus menghafal
luar kepala selama satu tahun. Namun demikian pada dasarnya tidak ada sekolah formal pada masa PL.
Anak belajar bersama dengan orang tuanya dan orang dewasa yang lain dengan terlibat dalam urusan
kehidupan sehari-hari. Mereka bertanya dan belajar sepanjang kehidupan mereka melalui setiap
kesempatan yang datang, dan orang tua akan selalu siap memberikan penjelasan.
4. POLIGAMI DAN PERCERAIAN DALAM PERJANJIAN LAMA
a. POLIGAMI
Walaupun poligami memang ada dalam Perjanjian Lama, namun jangkauannya jangan dilebih-
lebihkan, karena hampir terbatas pada raja-raja atau para pemimpin atau pejabat tinggi. Kecuali
Salomo, umumnya yang sering terdapat adalah bigami, bukan poligami. Monogami tampaknya biasa
terdapat dikalangan rakyat. Bapak-bapak leluhur kadang-kadang dianggap sebagai contoh untuk
poligami. Tetapi poligami harus dibedakan dari perseliran. Pembedaan itu kelihatannya tidak penting
bagi kita, tetapi sangat penting di dunia kuno. Seorang selir adalah budak, sangat berbeda dan jauh
lebih rendah dalam hubungannya dengan tuannya, bila dibandingkan dengan istrinya. Baik Abraham
maupun Ishak membunyai hanya satu istri, sedang Yakub, yang sebenarnya menginginkan hanya satu
istri, mengenal empat perempuan dalam kehidupannya (dua istri dan dua selir) akibat tipu daya dan iri
hati. "Tetapi sejak semula tidaklah demikian" (Mat. 19:18). Kata-kata yang diucapkan Yesus tentang
perceraian itu berlaku juga untuk poligami. Riwayat penciptaan secara jelas berbicara tentang satu
suami satu istri, "satu daging" antara satu laki- laki dan satu perempuan (Kej. 2:24).
Di samping itu, ada bagian-bagian dalam tulisan-tulisan hikmat yang mendorong, atau setidak-
tidaknya menganjurkan, monogami yang kokoh (Ams. 5:15-20; 18:22; 31:10-31, Kidung Agung) dan ada
penggunaan gambaran pernikahan untuk melukiskan hubungan yang eksklusif antara Allah dan Israel.
Meskipun orang sadar bahwa dari segi teologis poligami adalah kurang ideal, namun poligami
ditoleransi di Israel sebagai suatu kebiasaan sosial. Tetapi ada hukum-hukum yang membatasi dampak-
dampaknya yang mungkin menghina pihak perempuan.
Seperti dikatakan di atas, kedudukan seorang selir adalah jauh di bawah kedudukan seorang istri,
tetapi para selir mempunyai hak legal, sebagaimana dinyatakan dalam Keluaran 21:7:11. Ia tidak dapat
dijual kembali oleh tuannya; ia harus diperlakukan sebagai selir satu orang saja, bukan mainan
keluarga. Kalau tuannya mengambil selir lain, ia tidak boleh mengabaikan kewajibanya kepada selir
yang pertama dalam hal materi maupun seksual. Kalau demikian hak-hak selir, maka hak-hak istri dalam
keadaan poligami tentu saja tidak kurang dari itu. Ulangan 21:10-14 juga melindungi hak seorang
perempuan tawanan perang yang diambil menjadi istri. Ia harus diperlakukan secara layak dan
manusiawi dan tidak dapat diperlakukan sebagai budak. Hukum warisan dalam Ulangan 21:15-17
secara tidak langsung mengecam bigami bahwa seorang laki-laki tidak dapat mencintai dua orang
perempuan secara sama, atau pada akhirnya salah seorang sama sekali tidak dicintainya lagi.
Istri yang tidak dicintai itu dilingdungi dari perlakukan yang tidak adil; jika anak laki-lakinya adalah
anak sulung maka anak itu tidak bileh kehilangan warisannya karena ibunya tidak dicintai. Cerita
tentang Elkana dan istri-istrinya yang saling bersaing (1 Sam. 1) memang tidak untuk mengkritik bigami
secara langsung, tetapi bisa menjadi ilustrasi yang hidup tentang kesengsaraan yang dapat ditimbulkan
oleh praktik tersebut.
b. PERCERAIAN
Poligami diterima tanpa persetujuan yang jelas, namun ada hukum yang mengecamnya secara tidak
langsung. Perceraian juga diijinkan, tetapi akhirnya dikecam pula secara langsung. Perceraian hampir
tidak disinggung dalam hukum Perjanjian Lama, sebab pernikahan dan perceraian bukanlah kasus
perdata seperti dalam kebudayaan masa kini. Kedua-duanya termasuk yuridiksi rumah tangga. karena
16

itu, orang tidak harus pergi ke pengadilan untuk bercerai. Hukum-hukum mengenai perceraian
menyebutkan tentang keadaan yang tidak mengijinkan adanya perceraian dan aturan-aturan mengenai
hubungan kedua belah pihak setelah perceraian terjadi.
Dalam kedua kasus ini perlindungan terhadap perempuan rupanya menjadi pokok utama hukum-
hukum tersebut. Dalam, Ulangan 22:28-29 ada larangan untuk menceraikan perempuan yang harus
dinikahi oleh laki-laki yang telah memeperkosanya. Peraturan dalam Ulangan 24:1-4 menjadi pokok
pertentangan antara Yesus dan orang Farisi. Peraturan itu tidak "memerintahkan" perceraian tetapi
mengandaikan bahwa perceraian sudah terjadi. Dalam kasus ini, sang suami diminta menulis surat cerai
untuk melindungi istrinya. Jika tidak, ia atau suami barunya yang kemudian dapat dituduh berzinah.
Suami pertama dilarang mengambil kembali perempuan apabila suaminya yang berikut
menceraikannya atau meninggal dunia. Dapat disebutkan lagi kasus perempuan tawanan yang hendak
diceraikan dan tidak boleh dijual sebagai budak, kalau suaminya tidak merasa puas.
Dalam hal itu perceraian tampaknya lebih baik daripada perbudakan. Setidak- tidaknya martabat
dan kemerdekaan masih dipertahankan, bila dibandingkan dengan perbudakan (Ul 21:4). Dengan
demikian perceraian ditoleransi dalam batas-batas hukum. dibandingkan dengan poligami, perceraian
lebih jauh dari kehendak Allah. Dalam Maleakhi 2:13-16 ada serangan yang tidak mengenal kompromi
terhadap perceraian, yang memuncak dengan kecaman yang terang-terangan: "Aku membenci
perceraian, firman Tuhan, Allah Israel". Tidak ada kecaman atas poligami yang setajam atau dilengkapi
dengan argumen teologis yang kuat seperti itu, barangkali karena poligami hanya merupakan
"perluasan" pernikahan yang melampaui batasan monogami yang dimaksudkan Allah, tetapi perceraian
sama sekali menghancurkan pernikahan. Dalam kata Maleakhi, perceraian berarti "menutup [diri]
dengan kekerasan"". Poligami menggandakan hubungan tunggal yang Allah kehendaki, sedangkan
perceraian menghancurkan hubungan itu atau mengandaikan hubungan itu sudah hancur.
5. PERBUDAKAN
Perjanjian lama, sebagaimana juga Rasul Paulus, sering dikecam karena membiarkan perbudakan.
Dalam dunia kuno pada zaman Perjanjian Lama perbudakan adalah bagian integral dari kehidupan sosial,
ekonomi dan kelembagaan, sehingga sulit membayangkan masyarakat tanpa perbudakan itu atau
bagaimana Israel dapat menghapuskannya secara efektif. Namun demikian, ada dua hal yang dapat
dicatat.
Pertama, perbudakan dalam masyarakat yang relatif kecil seperti Israel sangat berbeda dengan
perbudakan dalam peradapan yang besar, seperti kekaisaran-kekaisaran Timur Tengah kuno sezamannya
dan khususnya kekaisaran-kekaisaran Yunani dan Romawi kemudian. Di sana pasar-pasar budak penuh
dengan tawanan perang dan orang-orang buangan. Para budak diperlakukan sebagai mesin kerja tanpa
perikemanusiaan. Tetapi dalam masyarakat Israel yang bertani dan beternak, budak biasanya melayani dan
tinggal dalam suatu rumah tangga; tenaganya melengkapi tetapi tidak menggantikan tenaga anggota-
anggota rumah tangga yang bebas. Dengan kata lain, tenaga kerja budak tidak melepaskan orang Israel
yang bebas dari kerja fisik, seperti dalam masyarakat Yunani kuno. Sepanjang mereka diperlakukan secara
manusiawi (seperti yang dituntut oleh hukum), perbudakan itu dapat dikatakan tidak begitu berbeda
dengan berbagai jenis pekerjaan upahan. Dan seperti yang kita akan lihat di bawah, budak-budak
mempunyai lebih banyak hak dan perlindungan hukum di Israel daripada di masyarakat lain sezamannya.
Sungguh, budak-budak menikmati lebih banyak jaminan hukum dan ekonomi daripada orang- orang yang
bebas tetapi tidak mempunyai tanah, para pekerja sewaan dan tukang sewaan.
Kedua, perbudakan dalam Perjanjian Lama tidak dibiarkan tanpa kritik. Beberapa segi pemikiran dan
praktik Perjanjian lama dalam bidang ini sebenarnya "menetralkan" perbudakan sebagai suatu lembaga
dan menjadi benih penolakan yang radikal terhadap perbudakan dalam pandangan Kristen kemudian.
Tentu saja segi-segi itu membuat Israel menjadi unik di dunia kuno dalam sikapnya terhadap perbudakan,
suatu hal yang diakui secara bulat oleh para ahli Timur Tengah kuno.
Ada tiga pokok yang perlu diperhatikan.
Faktor pertama dan yang paling berpengaruh dalam pandangan teologis dan perlakukan hukum Israel
terhadap perbudakan adalah sejarah Israel sendiri. Israel tidak pernah melupakan bahwa asal usulnya ialah
sekelompok rakyat miskin dari budak- budak yang dibebaskan. Hal ini memang luar biasa, kalau tidak unik,
di antara cerita- cerita tentang asal usul suatu bangsa. Karena kebanyakan mitos etnis mengagungkan
masa lalu nenek moyang bangsanya. tetapi Israel melihat kembali perbudakan para leluhurnya selama
17

empat abad di negeri asing, yang semakin lama menjadi semakin menindas, tidak manusiawi dan tidak
tertahankan. Pengalaman itu benar-benar mewarnai sikap mereka selanjutnya terhadap perbudakan. Pada
satu pihak, orang Israel tidak diperbolehkan memperbudak atau memaksakan syarat-syarat kerja atas
teman sebangsanya. Perbuatan itu tidak sesuai dengan kedudukan mereka sebagai saudara-saudara yang
sama- sama ditebus Allah, budak- budak Allah sendiri (bdn. Im. 25:42-43, 46, 53, 55). Pada pihak lain,
perlakukan Israel terhadap orang asing dalam masyarakatnya, baik sebagai orang merdeka yang menjadi
pekerja sewaan tanpa memiliki tanah ataupun budak belian, harus ditandai dengan belas kasihan,
mengingat perbudakan di Mesir yang tidak mengenal belas kasihan. Prinsip ini sangat jelas dalam hukum
Perjanjian lama yang tertua, yaitu Kitab Perjanjian dalam Keluaran 21-23: "Orang asing janganlah kamu
tekan, karena kamu sendiri telah mengenal keadaan jiwa orang asing, sebab kamupun dahulu adalah
orang asing di tanah Mesir" (Kel. 23:9; bnd. 22:21; Ul. 15:15).
Kedua, sikap yang lahir dari sejarah itu diterjemahkan ke dalam perundang-undangan khusus yang
memberikan budak-budak di Israel kedudukan, hak, perlindungan yang tidak terdapat pada bangsa-bangsa
lain. Budak-budak pun diikutsertakan dalam kehidupan keagamaan masyarakat. Mereka dapat disunat dan
ikut ambil bagian dalam perjamuan Paskah (Kel. 12:44). Mereka boleh mengikuti perayaan- perayaan
besar (UL. 16:11-14; khususnya ay. 12). Mengingat tugas mereka mungkin yang paling bermanfaat adalah
perintah yang memberi kesempatan bagi budak-budak, laki-laki dan perempuan, untuk ikut beristirahat
pada hari sabat (Kel. 20:10). Bahkan dalam Keluaran 23:12 dikatakan bahwa perintah itu memang
diperuntukkan bagi para budak dan binatang yang bekerja. Tidak hanya dalam bidang sosio-kultis, budak-
budak juga mendapat perlindungan dalam hukum perdata. Ada dua buah hukum dari Kitab Perjanjian (Kel.
21:20-21, 26-27) yang berkenaan dengan perlakukan seorang majikan atas budak-budak sendiri. Itulah
sebabnya hukum- hukum itu bersifat unik di antara hukum-hukum Timur Tengah kuno. Dalam perundang-
undangan yang lain ada banyak hukum mengenai pemukulan atau pembunuhan atas budak-budak orang
lain, tetapi tidak ada hukum mengenai budak sendiri. Dalam hukum Israel, kalau seorang majikan
memukul seorang budak sehingga mati, maka budak itu harus "dibalaskan"". Demikianlah makna harafiah
kata kerja yang dipakai di sini. Dalam konteks lain kata itu berarti pihak yang bersalah akan dibunuh oleh
keluarga korban. Meskipun beberapa penafsir ragu- ragu menerimanya, arti yang wajar dari hukum itu
adalah bahwa majikan yang membunuh budaknya harus dihukum mati oleh masyarakat atas nama budak
itu, yang tidak mempunyai keluarga untuk membalasnya. Hukum yang berikutnya melindungi seorang
budak dari kecelakaan tubuh. Jika ia dilukai oleh tuannya ia harus dibebaskan. Kata "gigi" memperlihatkan
bahwa luka yang dimaksud bukan hanya luka yang mengurangi kemampuan budak untuk bekerja. Di situ
ada keprihatinan yang mendalam atas kemanusiaan budak itu. Perlu dicamkan bahwa peraturan ini adalah
hukum perdata, bukan seruan untuk berbuat baik. Oleh sebab itu dalam keadaan demikian, seorang budak
dapat naik banding kepada peradilan para tua-tua melawan majikannya sendiri. Hal ini juga menjadi hak
yang unik. Kelihatannya Ayub menunjuk pada peraturan ini ketika ia menyatakan tidak pernah berbuat
tidak adil terhadap budak-budaknya ketika mereka beperkara dengannya (Ayb. 31:13). Setelah melayani
selama enam tahun, seorang budak diberi kesempatan untuk bebas pada tahun ketujuh. Karena ia tetap
tidak memiliki tanah, sangat mungkin "kemerdekaan" itu hanya berarti dapat berganti majikan. Dalam
Ulangan 15: 13-14 hukum asli itu diperluas dengan pemberian yang melimpah, yakni suatu bentuk
tunjangan pengangguran pada zaman itu. Perbudakan tidak harus bersifat menindas. Hal ini tampak dari
hukum Taurat yang mengandaikan seorang budak sering lebih suka tinggal dalam rumah tangga tuannya
daripada kebebasan (Ul. 15:16-17). Namun yang paling unik dan mengagumkan ialah hukumt tentang
suaka yang terdapat dalam Ulangan 23:15-16. Budak yang melarikan diri tidak dihukum atau dikembalikan
pada tuannya, tetapi diijinkan hidup bebas di tempat pilihannya. Dalam masyarakat lain pada waktu itu
budak yang melarikan diri dihukum keras dan siapa saja yang membantunya juga dihukum. Tetapi hukum
Israel tidak hanya memberi kebebasan bahkan memerintahkan agar ia dilindungi. "Luar biasa sekali, satu-
satunya masyarakat Timur Tengah kuno yang hukumnya melindungi budak yang melarikan diri adalah
masyarakat yang berasal dari kelompok budak-budak yang melarikan diri dari Mesir! .... Israel telah
mengalami Allah sebagai Allah yang bersimpati kepada budak- budak yang melarikan diri. Jadi peraturan
ini bukanlah hanya suatu prinsip etis atau hukum yang mempertahankan hak-hak asasi manusia saja,
tetapi mencerminkan pengalaman keagamaan Israel sendiri dan itulah ciri khusus etika Alkitab." (Clines:
hal. 8) Sedemikian tajam perbedaan sehingga sebagian ahli berpikir, hukum ini hanya dapat berlaku pada
budak- budak asing yang mencari suaka di Israel. Tetapi hukum tersebut tidak menyatakan demikian.
18

Seandainya pandangan mereka benar, hal ini tetaplah unik dan memperlihatkan bahwa masyarakat Israel
menarik budak-bduak untuk mencari perlindungan di dalamnya. Kalau benar berlaku di Israel, hukum itu
mulai memperlemah perbudakan itu sendiri. Perbudakan tidak dilindungi atau dianggap pranata hakiki
yang tidak boleh diganggu gugat di bawah hukum Israel. Setidak-tidaknya dapat dikatakan bahwa hukum
itu menganggap budak-budak yang melarikan diri adalah kekecualian, yang tidak terus menerus terjadi. Ini
mendukung pandangan bahwa pada umumnya perbudakan di Israel bukanlah penindasan yang kejam.
Tentu saja kalau semangat dari hukum-hukum tentang perbudakan dalam Kitab Keluaran dan Ulangan
diwujudkan dalam praktik.
Hal ketiga yang perlu dikatakan tentang perbudakan dalam Perjanjian Lama muncul dari catatan di atas
bahwa perbudakan tidak dilindungi sebagai pranata Israel yang hakiki. Itu berarti perbudakan tidak pernah
dipandang sebagai hal yang wajar, suatu bagian ciptaan yang diatur secara ilahi seolah-olah budak dan
orang bebas adalah jenis manusia yang berbeda. Bagian pertama yang menyebut tentang budak- budak
dan perbudakan berada dalam konteks kutukan. Dalam Kejadian 9:25-27 status perbudakan Kanaan di
kemudian hari dikaitkan dengan kutukan Nuh. Perbudakan dilihat sebagi hal yang tidak wajar dan terkutuk
akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa. perbudakan sama sekali bukanlah keadaan manusia yang hakiki
dan tidak dapat diubah. Tetapi titik puncak kritik etis Perjanjian lama atas perbudakan ditemukan dalam
ucapan Ayub yang menegaskan kesetaraan majikan dan budak sebagai ciptaan Allah. Berbicara tentang
budak- budaknya sendiri ia berkata: "Bukankah Ia yang membuat aku dalam kandungan, membuat orang
itu juga? Bukankah satu juga yang membentuk kami dalam rahim?" (Ayub 31:15). Ayat nas dari etika
penciptaan dalam Perjanjian lama sangat dekat dengan penegasan Paulus bahwa budak dan orang
merdeka adalah satu di dalam Kristus (Gal. 3:28). Walaupun penegasan Paulus itu cukup jelas, namun
penghapusan perbudakan tidak terselesaikan dalam negeri- negeri Kristen selama berabad-abad, apalagi
oleh jemaat Perjanjian Baru. Mengingat itu, kita tidak dapat mengecam Israel pada zaman Perjanjian Lama
yang memang membiarkan perbudakan tetapi dengan derajat kemanusiaan dan belas kasihan yang tinggi.

V. KANON ALKITAB PERJANJIAN LAMA


1. PENGERTIAN/DEFINISI "KANON"
Untuk mengerti lebih jelas apa yang dimaksud dengan Kanon Alkitab PL, marilah terlebih dahulu kita
mempelajari pengertian kata "Kanon".
a. Arti Etimologis "Kanon" berasal dari kata Yunani 'kanon', artinya "buluh". Karena pemakaian buluh
dalam kehidupan sehari-hari jaman itu adalah untuk mengukur, maka kata "kanon" dipastikan memiliki
arti harafiah sebagai batang tongkat/kayu pengukur atau penggaris. (Yeh. 40:3; 42:16 = tongkat
pengukur)
b. Arti Figuratif Namun demikian kata "kanon" juga memiliki arti figuratif sebagai peraturan atau standard
norma (kaidah) dalam hal etika, sastra, dsb.
c. Arti Teologis Dalam sejarah gereja abad pertama kata "kanon" dipakai untuk menunjuk pada peraturan
atau pengakuan iman. Tetapi pada pertengahan abad keempat (dimulai oleh Athanasius), kata ini lebih
sering dipakai untuk menunjuk pada Alkitab yang memiliki dua arti, yaitu:
1. Daftar naskah kitab-kitab, yang berjumlah 66 kitab, yang telah memenuhi standard peraturan-
peraturan tertentu, yang diterima oleh gereja sebagai kitab kanonik yang diakui diinspirasikan oleh
Allah.
2. Kumpulan kitab-kitab, yang berjumlah 66 kitab, yang diterima sebagai Firman Tuhan yang tertulis,
yang berotoritas penuh (menjadi patokan= Gal. 6:16) bagi iman dan kehidupan manusia.
2. SEJARAH KANON PL
Kanon PL tidak mengalami banyak kesulitan untuk diterima karena pada waktu kita-kitab PL itu selesai
ditulis, saat itu juga langsung diterima sebagai kitab-kitab yang memiliki otoritas yang diinspirasikan oleh
Allah. Kitab-kitab (yang berupa gulungan- gulungan) disimpan bersama-sama dengan Tabut Perjanjian
yaitu di Kemah Tabernakel dan kemudian dibawa ke Bait Allah. Para imam memelihara kitab-kitab itu dan
mereka juga yang membuat salinan- salinannya apabila diperlukan. Ul. 17:18; 31:9; 24:26; 1 Sam. 10:25; 2
Raj. 22:8; 2 Taw. 34:14 Pada waktu bangsa Yahudi dibuang ke tanah Babel, dan Yerusalem dihancurkan
pada tahun 587 SM, kitab-kitab itu dibawa bersama-sama ke tanah pembuangan (Dan. 9:2). Pusat ibadah
mereka kini bukan lagi Bait Allah di Yerusalem, tetapi beralih kepada kitab-kitab yang berotoritas itu.
19

Setelah pembangunan kembali Bait Allah, kitab- kitab itupun tetap dipelihara dan dipindahkan ke tempat
yang baru. (Ezr. 7:6; Neh. 8:1; Yer. 27:21-22).
Penyusunan seluruh kitab-kitab PL selesai pada tahun 430SM. Menurut tradisi diakui bahwa imam
Ezralah yang memainkan peranan penting dalam proses pengumpulan dan penyusunan kitab-kitab PL ini.
Selain kitab-kitab Pentateuk (Kejadian sampai Ulangan) yang sangat dihargai, kitab-kitab para nabi juga
biasa dibaca dalam ibadah Yahudi (di sinagoge), juga pada waktu jaman PB (Luk. 4:16-19). Pada tahun 90M
para ahli Taurat dan pemimpin bangsa Yahudi melakukan persidangan di Yamnia. Salah satu keputusan
yang diambil dalam persidangan itu adalah penerimaan Kanon PL, yaitu 39 kitab sebagai Kanon Alkitab PL
(seperti yang kita pakai sekarang). Jadi penetapan itu sebenarnya hanya memberikan pengakuan akan
kitab- kitab yang memang sudah lama dipakai dalam ibadah orang Yahudi. 3. Pembentukan Kanon PL
Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa pada umumnya kitab-kitab PL langsung diterima sebagai
kitab yang berotoritas. Namun demikian bukan berarti tidak ada proses pembentukan sampai akhirnya
kitab- kitab itu dikanonkan.
Paling tidak ada 4 tahap yang dikenal dalam proses pembentukan kanon kitab PL:
a. Ucapan-ucapan yang Berotoritas Prinsip pengkanonan kitab dimulai ketika bgs. Israel menerima 10
perintah/hukum-hukum dari Tuhan melalui Musa di gunung Sinai. Perintah-perintah itu disampaikan
kepada Musa sebagai perkataan (ucapan) Tuhan yang memiliki otoritas penuh. Dan umat Tuhan yang
menerima Perintah-perintah itu wajib tunduk kepada wewenangnya, bahkan generasi-generasi
berikutnya juga tunduk pada otoritas Perkataan Tuhan itu.
b. Dokumen (Tertulis) yang Berotoritas Agar Perintah/Perkataan Tuhan itu menjadi warisan yang akan
menuntun generasi-generasi berikutnya, maka Musa secara teliti menjabarkannya (memberikan
tambahan penjelasan) dalam bentuk tulisan (Kel. 24:3), lalu umat Lewi diperintahkan untuk
menyimpan tulisan/dokumen itu di samping Tabut Perjanjian Allah (Ul. 31:24- 26). Demikian juga
dengan perkataan-perkataan Tuhan lain yang Tuhan sampaikan sepanjang sejarah bangsa Israel melalui
nabi-nabi-Nya, Tuhan seringkali memerintahkan agar apa yang Tuhan ucapkan itu dituliskan untuk
menjadi peringatan bagi umat- Nya. (Ul. 31:19, Yes. 30:2; Hos. 2:2). Tulisan-tulisan itu menjadi
dokumen- dokumen yang sangat berotoritas, karena di sanalah bangsa Israel telah diikat dalam
perjanjian (covenant) dengan Allah sebagai bangsa umat pilihan-Nya.
c. Kumpulan Tulisan yang Berotoritas Menurut tradisi, selama ratusan tahun, tulisan/dokumen-dokumen
yang berotoritas itu dikumpulkan sebagai kitab-kitab Ibrani, yang dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
1. Kitab-kitab Hukum (5 Kitab Pentateuk)
2. Kitab-kitab Nabi-nabi (Nabi Besar dan Nabi Kecil)
3. Kitab-kitab Mazmur/Ucapan Bijaksana (Mazmur, Amsal, dll.)
Pengelompokan ini mungkin sekaligus menunjukkan bagaimana tahap- tahap pembentukan kanon
itu terjadi, sesuai dgn. pokok bahasannya. Namun demikian prosedur penyortiran tulisan-tulisan itu
memang tidak jelas. Yang dapat diketahui hanyalah bahwa para pemuka agama Yahudi dengan
dipimpin oleh Roh Allah menyepakati pilihan kumpulan tulisan itu sebagai tulisan-tulisan yang
berotoritas yang harus diterima oleh seluruh umat.
d. Kanon yang Diresmikan Sebagian besar Tulisan-tulisan yang berotoritas (yang sudah dikelompokkan di
atas) telah ditulis dan dikumpulkan sesudah masa Pembuangan yaitu kira-kira thn. 550 SM (sebelum
Masehi). Namun Pengesahan pengelompokan "Kanon Ibrani" itu dikenal baru sesudah thn. 150 SM.
Kemungkinan besar Kanon inilah yang juga dikenal oleh masyarakat Yahudi pada jaman Yesus, karena
Yesus menyebutkan: "dalam kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur" (Luk. 24:44).
Suatu Konsili di Yamnia pada thn. 90 M, yang dihadiri oleh tokoh- tokoh utama agama Yahudi (rabi),
melalui suatu konsensus bersama, akhirnya memberikan penetapan terhadap Kanon PL yang terdiri
dari 39 kitab (sama dengan yang dimiliki dalam Alkitab agama Kristen).
4. PENERIMAAN KANON PL
Istilah penerimaan Kanon PL lebih disukai dari pada penetapan Kanon PL, karena memang pada
dasarnya manusia/gereja hanya menerima kitab-kitab PL tsb. sebagai tulisan- tulisan yang berotoritas.
Adapun dasar penerimaan "Kanon PL" adalah sbb.:
a. Adanya bukti dari dalam Alkitab sendiri. Alkitab memberikan kesaksian bahwa perkataan-perkataan
yang ditulis bukan berasal dari manusia, seperti dikatakan: "Beginilah Firman Tuhan......" atau "Tuhan
berkata....."
20

b. Ditulis oleh orang-orang yang hidupnya dipimpin oleh Roh Allah. Pada umumnya penulis-penulis kitab
PL adalah mereka yang ditunjuk oleh Allah dan menduduki jabatan seperti imam, nabi, hakim, dan raja.
c. Pengaruh kuasa Allah dalam tulisan-tulisannya. Perkataan ilahi yang dituliskan mempunyai kuasa untuk
memberikan pengajaran kebenaran yang mengubah hidup manusia.
d. Adanya bukti tentang keaslian naskah dan tulisannya. Bukti-bukti arkeologi memberikan dukungan akan
keotentikannya.
e. Secara aklamasi diterima oleh umat Allah secara luas. Otoritas tulisan tsb. diakui oleh para pemimpin
masyarakat keagamaan Ibrani melalui pimpinan Roh Allah.
5. SUSUNAN KANON KITAB PL PEMBENTUKAN KITAB-KITAB PERJANJIAN LAMA
Perjanjian Lama disusun selama periode seribu tahun lebih yang kira- kira dimulai sekitar pertengahan
milenium kedua sampai ke pertengahan milenium pertama SM. Walaupun Perjanjian Baru menguraikan
bahwa Allah adalah pengarang Perjanjian Lama dengan ilham Roh Kudus (2Timotius 3:16), paling tidak
empat puluh orang telah disebut sebagai penulisnya. Teks Perjanjian Lama semula dicatat dalam dua
bahasa, bahasa Ibrani klasik atau alkitabiah dan bahasa kerajaan Aram (Kejadian 31:47; Yeremia 10:11;
Ezra 4:8 - 6:18; 7:12-26 saja). Di antara para penulis kuno itu terdapat tokoh- tokoh Alkitab yang terkenal
seperti Musa, Daud, dan Salomo. Penulis- penulis yang kurang dikenal termasuk wanita-wanita Ibrani
seperti Debora (bandingkan Hak. 5:1) dan Miriam (bd. Keluaran 15:20-21) serta orang bukan Ibrani seperti
Agur dan Lemuel (bd. Amsal 30:1; 31:1). Perjanjian Lama terdiri atas empat gaya atau jenis sastra dasar,
termasuk hukum, kisah sejarah, syair, dan perkataan nubuat.
TEKS DAN TRANSMISI Tulisan Dalam Masa Timur Dekat Kuno Sistem tulisan paling awal yang dimiliki
oleh manusia telah ada sebelum 3000 SM dan dibuktikan dalam kehidupan masyarakat kuno baik di Mesir
maupun di Mesopotamia. Tingkat awal dalam pengembangan tulisan adalah piktogram, di mana gambar-
gambar melambangkan obyek-obyek material yang sama. Akhirnya piktogram berkembang menjadi
ideogram di mana simbol-simbol gambar mengetengahkan ide-ide juga. Seiring dengan perjalanan waktu,
piktogram dan ideogram ini menjadi lebih abstrak (sejenis steno atau tulisan cepat) dan menandakan kata
(logogram) dan suku kata. Tingkat terakhir dari tulisan merupakan peralihan dari sistem penulisan suku
kata kepada tulisan bersifat abjad, di mana satu simbol melambangkan satu huruf dari sistem penulisan
abjad. Bahasa Ibrani dari Perjanjian Lama adalah suatu sistem penulisan abjad dan tergolong sebagai
bahasa Semit Barat Laut yang berbeda dengan sistem penulisan suku kata dari Asyur dan Babilonia di
Mesopotamia. Bahasa Ibrani dan Fenisia, Moab, Amon Edom, dan Ugarit semuanya adalah dialek abjad
yang diperoleh dari suatu sistem bahasa abjad proto-Semit yang lazim (lihat Yesaya 19:18, di mana nabi
menyebut bahasa Ibrani sebagai suatu dialek orang Kanaan). Bahan-bahan untuk Tulis Berbagai macam
bahan dipergunakan sebagai permukaan untuk menulis oleh bangsa-bangsa dari Timur dekat kuno.
Berbagai inskripsi penting terpelihara di tembok-tembok batu dan lempengan-lempengan batu (lihat
daftar ilustrasi). Misalnya, inskripsi Behistun yang tersohor dalam tiga bahasa dari Raja Darius dari Persia
itu digoreskan ada permukaan batu dari sebuah tebing. Batu Roseta dan batu Moab merupakan contoh-
contoh lain yang terkenal dari dokumen-dokumen yang diukirkan pada batu padat.
Perjanjian Lama menunjukkan bahwa Dekalog (Sepuluh Hukum) dituliskan pada "loh-loh batu"
(Keluaran 32:15-16) dan bahwa kemudian Yosua membuat salinan dari Hukum Musa di atas batu (Yosua
8:32). Bahan-bahan kuno lain untuk tulis menulis termasuk lempengan tanah liat dan kayu (terutama di
Mesopotamia, tetapi juga dikenal di Siro- Palestina di Ebla dan Ugarit, bdg Yesaya 30:8; Habakuk 2:2),
manuskrip dan kitab gulungan dari papirus (dipergunakan mulai dari milenium ketiga sampai milenium
pertama SM, bdg. Ayub 8:11, Yesaya 18:2), dan perkamen kulit binatang yang disamak). (Kitab gulungan
Yeremia yang dibakar oleh Raja Yoyakim mungkin merupakan papirus atau perkamen bdg. Yeremia 36:2).
Ostraka (pecahan-pecahan tembikar) biasanya dipergunakan sebagai bahan untuk tulis yang bukan hanya
berlimpah ruah tetapi juga tidak mahal di seluruh wilayah Timur Dekat Kuno, kendatipun bahan itu tidak
disebut dalam Perjanjian Lama. Kitab gulungan logam yang ditempa kadang- kadang dipergunakan untuk
suatu tujuan khusus. (Sebuah kitab gulungan tembaga ditemukan di antara tulisan-tulisan yang
ditinggalkan dalam gua-gua sepanjang Laut Mati oleh masyarakat Qumran; lihat pasal 5 untuk suatu uraian
tentang kitab-kitab gulungan Laut Mati.
Perjanjian Lama tidak menyebut penggunaan tinta untuk menulis pada kitab gulungan, tetapi menulis
mengenai besi pengukir atau pena besi (Ayub 19:24; Yeremia 17:1), pena buluh (Yeremia 8:8), pisau raut
untuk menajamkan pena (Yeremia 36:23), dan tempat tinta (Yeremia 36:18) sebagai alat-alat yang
21

dipergunakan untuk menulis. Sifat dari proses penyalinan dengan tangan dalam dunia kuno sangat
mengutamakan pendengaran, penghafalan, dan pembacaan dokumen-dokumen di hadapan umum -
karena itu Perjanjian Lama selalu menekankan hal "mendengarkan" firman Tuhan. Menyebarluaskan
perkataan yang tertulis juga menyebabkan diperlukannya pelayan-pelayan seperti pelari cepat pembawa
kabar, bentara yang mengumumkan berita, dan juru tulis (bdg. 2Samuel 18:19- 23; Daniel 3:4). Para Juru
Tulis Perjanjian Lama Pengembangan sistem menulis di Timur Dekat Kuno menyebabkan munculnya
golongan juru tulis yang profesional. Hal ini juga berlaku bagi masyarakat Ibrani pada zaman Perjanjian
Lama. Di Israel pada masa sebelum pembuangan para sekretaris atau panitera negara merupakan tokoh
penting baik di bidang keagamaan maupun di pemerintahan sipil (lihat 2Samuel 8:16-17; 20:23-26).
Selama zaman kerajaan-kerajaan Ibrani para juru tulis sedikit banyak berfungsi sebagai "diplomat"
karena keahlian mereka dalam bahasa- bahasa dan kesusastraan pada waktu itu memudahkan hubungan
surat- menyurat secara internasional (bdg. 2Raja-Raja 18:18-26). Para juru tulis ini juga menulis surat-surat
pribadi dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat umum (misalnya, Yesaya
50:1; Yeremia 36:18) dan mencatat data yang sah mengenai kemiliteran dan keuangan untuk kerajaan
(bdg. 1Raja-Raja 4:3; 2Raja-Raja 22:3-4; 2Tawarikh 24:11; 26:11). Orang -orang Lewi juga melayani sebagai
juru tulis dan pencatat untuk Bait Allah (2Tawarikh 34:13,15). Sesudah kejatuhan kerajaan Ibrani golongan
juru tulis pada masa pasca pembuangan Israel semata-mata dihubungkan dengan Bait Allah dan fokus
pekerjaan mereka lebih dipersempit. Para juru tulis Bait Allah ini pada dasarnya adalah cendekiawan yang
mengabdikan diri mereka untuk menyalin, melestarikan, menerbitkan, dan menafsirkan Hukum Musa. Ezra
sering kali disebut sebagai pelopor dari golongan ahli kitab atau ahli Taurat ini (Ezra 7:1-10).
Pada masa Perjanjian Baru, para ahli Taurat merupakan suatu golongan agama dan politik yang
berpengaruh di kalangan Yudaisme. Mereka merupakan penentang utama dari pelayanan Yesus, menuduh
Dia telah melanggar hukum-hukum Yahudi (bdg. Matius 23:2). Teks dan Berbagai Versi Perjanjian Lama
Naskah-naskah yang paling awal dari Perjanjian Lama ditulis dalam dua puluh dua huruf konsonan dari
abjad Ibrani. Tulisannya diatur dalam baris- baris berlajur tanpa disertai pemisahan kata-kata untuk
menghemat tempat. Para ahli kitab melanjutkan pemindahan teks-teks konsonan itu sampai pada zaman
para Masoret (kira-kira tahun 500-900 TM). Para Mazoret adalah cendekiawan dan ahli kitab Yahudi yang
memperbaiki pembagian kata- kata dan menambahkan huruf hidup atau tanda huruf hidup, tanda baca,
dan pembagian ayat pada Perjanjian Lama Ibrani. Sekarang ini teks Ibrani Perjanjian Lama disebut teks
Masoret (MT), yang menunjukkan pentingnya sumbangan para Masoret pada pemeliharaan Alkitab Ibrani.
Di samping catatan-catatan di pinggir halaman yang dibuat oleh para Masoret yang menunjukkan
peningkatan atau pembetulan versi dari kata- kata atau ayat-ayat, maka perkembangan-perkembangan
yang terjadi kemudian dalam Alkitab Ibrani meliputi pembagian tambahan dari kitab- kitab Perjanjian
Lama ke dalam pasal-pasal. Pertama kalinya diperkenalkan dalam Alkitab bahasa Latin oleh Stephen
Langdon (1150- 1228), pembagian pasal-pasal dipergunakan di Alkitab Ibrani dalam tahun 1518 (Edisi
Bomberg). Pasal- pasal diberi nomor dalam Alkitab Ibrani oleh Arius Montanus (sekitar tahun 1571),
sedangkan cara ini sudah dipakai dalam Perjanjian Lama edisi Latin (sekitar 1555). Perubahan nasib dalam
sejarah dan politik yang dialami bangsa Israel mengharuskan penerjemahan Alkitab Ibrani ke dalam
bahasa- bahasa lain. Beberapa versi kuno ini masih tersedia dalam bentuk manuskrip dan dianggap
sebagai saksi-saksi penting sehubungan dengan teks Perjanjian Lama Ibrani. Versi yang lebih penting lagi
termasuk Pentateukh versi Samaria (Alkitab orang Samaria yang tanggalnya ditentukan sekitar abad
keempat atau kelima SM), Targum versi Aram (saduran pra-Kristen dari Perjanjian Lama dalam bahasa
Aram, bahasa pergaulan dari zaman Babilonia dan awal zaman Persia, bdg. Neh. 8:8). Septuaginta Yunani
(hasil tambahan dari dampak Helenisme pada bangsa Yahudi, sekitar tahun 250 SM), Vulgata Latin dari
Hieronimus (382-405 TM) dan Pesyita Siria (sekitar tahun 400 Tm). Kritik Teks Penyalinan dan
penerjemahan Perjanjian Lama Ibrani selama berabad-abad telah melipatgandakan jumlah naskah yang
tersedia sehingga terdapat beribu-ribu salinan yang masih ada dalam bahasa yang berbeda-beda dari
berbgai periode.
Dengan sendirinya proses penyalinan yang terus dilakukan dengan tangan menyebabkan terjadinya
berbagai kekeliruan transmisi. Kekeliruan- kekeliruan dari penglihatan, pendengaran, tulisan, daya ingat
dan penilaian manusia ini disebut sebagai varian (ejaan atau bunyi yang berbeda-beda dari kata yang
sama) atau bacaan yang berbeda dari teks. Kritik teks, atau kritik rendah terhadap penulisan Alkitab adalah
ilmu pengetahuan perbandingan naskah. Tujuan penelitian naskah adalah menetapkan atau memulihkan
22

teks tertulis Perjanjian Lama sedapat mungkin kepada bacaannya yang asli. Praktik atau metodologi
penelitian naskah termasuk mengumpulkan, menyortir, dan mengevaluasi bacaan- bacaan yang berbeda-
beda dari ayat atau bagian tertentu di Alkitab, kemudian dilanjutkan dengan menilai bukti naskah itu
untuk memilih bacaan yang paling cocok dari teks yang diteliti atas dasar data yang tersedia (bdg. catatan
tepi dalam Alkitab bahasa Inggris modern di 1Samuel 13:1, di mana penelitian naskah digunakan untuk
memperbaiki angka yang menunjukkan lama pemerintahan Raja Saul). Sepatah kata peringatan diperlukan
di sini, agar kita tidak disesatkan oleh orang-orang yang menekankan berbagai varian dalam naskah-naskah
Perjanjian Lama sebagai bukti yang menentang integritas dan kebenaran Alkitab. Mengingat usianya yang
sudah berabad-abad, Perjanjian lama sebenarnya berada dalam keadaan terpelihara yang sangat baik. Hal
ini antara lain disebabkan oleh prosedur penyalinan yang cermat sekali dari para ahli kitab Ibrani dan
Kristen, penyaluran naskah-naskah Alkitab ke mana-mana sejak awal, dan sikap hormat dan komitmen
terhadap Alkitab sebagai "Firman Allah yang diilhami" baik oleh orang Ibrani maupun orang Kristen selama
berabad-abad. Yang sama pentingnya adalah pekerjaan Roh Kudus, yang mengilhami penulis manusia,
menerangi para pembacanya, dan menjadi pengawas dalam proses kanonisasi.
6. SUSUNAN PERJANJIAN LAMA (KANON)
Dalam mempelajari setiap buku, sangat penting kita mengetahui susunan isinya. Demikian juga untuk
Alkitab, dan dalam hal ini perlu diketahui suatu istilah, yaitu "kanon", yang berarti "susunan kitab- kitab
Alkitab" atau "daftar isi Alkitab". Ada dua kanon Perjanjian Lama yang penting, yakni "Kanon Ibrani" dan
"Kanon Yunani". Isinya sebenarnya sama, hanya susunan kitab-kitabnya yang berbeda. Kanon Ibrani ialah
daftar isi yang berlaku untuk Alkitab dalam bahasa Ibrani. Kanon Ibrani itu terdiri dari 24 kitab, yang dibagi
atas tiga kelompok sebagai berikut:
KANON IBRANI = SUSUNAN ALKITAB BAHASA IBRANI
1. TAURAT (bahasa Ibrani: torah)
1. Kejadian
2. Keluaran
3. Imamat
4. Bilangan
5. Ulangan
2. NABI-NABI (bahasa Ibrani: nevi'im)
(a) Nabi-nabi yang dahulu
6. Yosua
7. Hakim-hakim
8. Samuel
9. Raja-raja
(b) Nabi-nabi yang kemudian
10. Yesaya
11. Yeremia
12. Yehezkiel
13. 12 nabi
3. KITAB-KITAB (bahasa Ibrani: ketuvim)
14. Mazmur
15. Amsal
16. Ayub
17. Kidung Agung
18. Rut
19. Ratapan
20. Pengkhotbah
21. Ester
22. Daniel
23. Ezra-Nehemia
24. Tawarikh
Yesus menyebut ketiga bagian kanon Ibrani dalam Lukas 24:44 (bagian ketiga disebut "Mazmur", sesuai
dengan nama kitab yang pertama dan terpenting dalam bagian itu). Dalam Matius 23:35 Dia menyebut
23

dua pembunuhan, yaitu yang pertama dan yang terakhir dilaporkan dalam kanon Ibrani (Kej 4:8; 2Taw
24:20-21). Agaknya Yesus membaca Alkitab dalam bahasa Ibrani dan mengenal Kanon Ibrani, sebagaimana
biasa di antara orang-orang Yahudi di Palestina pada zaman itu.
Kanon Yunani berlaku untuk Alkitab berbahasa Yunani dan juga dipakai untuk Alkitab dalam bahasa
Indonesia. Dalam Kanon Yunani beberapa kitab yang terdiri dari lebih dari satu bagian dihitung sesuai
dengan jumlah bagian tersebut, misalnya Kitab Samuel menjadi 39, yang dibagi atas empat kelompok
sebagai berikut:
KANON YUNANI = SUSUNAN ALKITAB BAHASA YUNANI/ INDONESIA
1. TAURAT
1. Kejadian
2. Keluaran
3. Imamat
4. Bilangan
5. Ulangan
2. SEJARAH
(a) Sejarah yang pertama
6. Yosua
7. Hakim-hakim
8. Rut
9. 1Samuel
10. 2Samuel
11. 1Raja-raja
12. 2Raja-raja
(b) Sejarah yang kedua
13. 1Tawarikh
14. 2Tawarikh
15. Ezra
16. Nehemia
17. Ester
3. SASTRA
18. Ayub
19. Mazmur
20. Amsal
21. Pengkhotbah
22. Kidung Agung
4. NUBUAT
(a) Kitab-kitab nabi besar
23. Yesaya
24. Yeremia
25. Ratapan
26. Yehezkiel
27. Daniel
(b) Kitab-kitab nabi kecil
28. Hosea
29. Yoel
30. Amos
31. Obaja
32. Yunus
33. Mikha
34. Nahum
35. Habakuk
36. Zefanya
37. Hagai
24

38. Zakaria
39. Maleakhi
Kalau kita membandingkan Kanon Ibrani dengan Kanon Yunani, ternyata bahwa urutan kitab-kitab
adalah sama dalam kedua kanon untuk kelompok kitab yang merupakan dasar Perjanjian Lama, yakni
"Taurat". Kitab- kitab yang lain disusun menjadi tiga kelompok, sesuai dengan jenis masing-masing kitab,
yaitu sejarah, sastra dan nubuat. "Nabi-nabi yang dahulu" sebenarnya mengandung lebih banyak sejarah
daripada nubuat, maka digolongkan sebagai sejarah. Sedangkan "Nabi-nabi yang kemudian" kebanyakan
terdiri dari nubuat-nubuat dan digolongkan dalam bagian terakhir sebagai nubuat. Kelompok "Kitab-kitab"
dibagi dalam kanon Yunani menurut jenis masing- masing: Rut, Ester, Ezra-Nehemia dan Tawarikh berjenis
sejarah; Mazmur, Amsal, Ayub, Kidung Agung dan Pengkhotbah dikumpulkan sebagai tulisan-tulisan sastra;
dan Ratapan serta Daniel digolongkan sebagai kitab nubuat. Kanon Yunanilah yang dikenal oleh orang
Kristen pada umumnya, karena diikuti oleh Alkitab dalam bahasa Latin, Inggris, Indonesia dan hampir
semua terjemahan Kristen. Oleh karena itu maka kanon Yunani yang menjadi dasar buku pengantar ini.
Perjanjian Lama boleh dilukisan sebagai suatu perpustakaan kecil, yang terdiri dari 39 kitab pada 6 rak,
sesuai dengan pembagian kanon Yunani,
Kitab-kitab Apokrifa/ Deuterokanonika Kitab-kitab Perjanjian Lama yang disebut di atas adalah kitab-
kitab yang diterima oleh gereja-gereja Protestan (Reformasi). Perlu diketahui bahwa ada juga beberapa
tulisan yang diterima oleh gereja Katolik Romawi dan termuat dalam Alkitab terbitan pihak Katolik dan
dalam beberapa Alkitab terbitan ekumenis, yaitu:
• riwayat Tobit;
• riwayat yudit;
• Kitab I dan II Makabe;
• Kebijaksanaan Salomo;
• hikmat Yesus bin Sirakh;
• Kitab Barukh serta Surat Yeremia;
• tambahan-tambahan pada Kitab Ester dan Daniel.
Tulisan-tulisan tersebut dinamakan "Apokrifa" ('tersembunyi') atau "Deuterokanonika" ('kanon yang
kedua'). Pada umumnya kitab-kitab Apokrifa/ Deuterokanonika dikarang sesudah Perjanjian Lama yang
lain, dan sebagian dikarang dalam bahasa Yunani, sehingga tidak termuat dalam Alkitab bahasa Ibrani.
Sewaktu Alkitab diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani (Septuaginta) maka kitab-kitab tersebut
diikutsertakan, ditambah juga dengan beberapa tulisan lainnya. Agama Yahudi dan gereja-gereja
Prostestan hanya menerima kitab- kitab dari Perjanjian Lama Ibrani sebagai firman Allah, sedangkan gereja
Katolik Romawi menerima juga beberapa kitab dari Septuaginta. Akibatnya, kitab-kitab Aprokifa/
Deuterokanonika dianggap sebagai buku bacaan saja oleh gereja Protestan; sedangkan oleh gereja Katolik
Romawi diakui sebagai kitab suci.
7. KANON PERJANJIAN LAMA
I. Nama dan Konsepsi Kata Yunani kanon, berasal dari bahasa Semit (bnd Ibrani qaneh, Yeh. 40:3 dst).
Pada mulanya berarti alat pengukur, kemudian dalam arti kiasan berarti 'peraturan'. Kata itu mendapat
tempat dalam bahasa gerejawi. Pertama, menunjukan kepada rumusan pengakuan iman, khususnya
simbol (pengakuan) baptis, atau gereja pada umumnya. Kata kanon juga dipakai mengacu pada
peraturaran-peraturan gereja yang sifatnya berbeda-beda, tapi hanya dalam arti 'daftar', 'rentetan'.
Baru pada pertengahan abad 4 kata itu diterapkan kepada Alkitab. Dalam pemakaian Yunani kata
'kanon' agaknya menunjuk hanya kepada daftar tulisan- tulisan kudus, tapi dalam bahasa Latin kata ini
juga menjadi sebutan bagi Alkitab sendiri, jadi menyatakan bahwa Alkitab menjadi patokan bagi
perbuatan yang mempunyai kuasa ilahi. Maksud yang terkandung dalam pemakaian istilah 'Kanon PL'
ialah bahwa PL adalah wujud lengkap dan utuh dari kumpulan Kitab-Kitab yang tak boleh dikutak-kutik
lagi, yaitu Kitab-Kitab yang diilhamkan oleh Roh Allah. Dan Kitab-Kitab itu mempunyai wibawa normatif
serta dipakai sebagai patokan bagi kepercayaan dan kehidupan kita.
II. Sifatnya membuktikan keotentikannya Kitab-kitab PL sama dengan Kitab- kitab PB, yakni dilhamkan
oleh Allah. ILHAM, PENGILHAMAN. Tapi Roh Kudus bekerja dalam hati umat Allah, sehingga mereka
menerima Kitab- kitab itu sebagai Firman Allah, dan menundukkan diri kepada wibaan ilahinya.
Pemeliharaan Allah secara khusus meliputi baik asal usul masing- masing kitab maupun
pengumpulannya, oleh pemeliharaan Allah secara khusus inilah maka bilangan-bilangan Kitab PL
25

seperti yang ada sekarang ini, tidak lebih dan tidak kurang. Inilah kebenaran asasi mengenai Kanon PL
dan asal usulnya. Dan apa yang telah dikatakan di atas mengandung gagasan, bahwa Allah
menyediakan Kanon, Ia memakai manusia sebagai alat-Nya; perbuatan- perbuatan dan pemikiran-
pemikiran manusia turut berperan dalam seluruh proses ini. Karena itu timbul persoalan. Apakah yang
kita ketahui mengenai perbuatan-perbuatan dan penalaran manusia itu? Sejak kapan Kanon ini atau
bagian-bagiannya diakui kanonik? Bagaimana cara pengumpulan Kitab-kitab kudus itu? Pengaruh siapa
yang berperan dan menentukan dalam tahapan-tahapan perkembangannya yang bermacam- macam?
Data-data berikut perlu guna menjawab persoalan-persoalan itu. Tapi baiklah di perhatikan, bahwa
data-data itu sedikit sekali, justru tidak dapat menarik kesimpulan yang pasti berdasarkan data itu.
Penelitian historis hanya menunjukkan sedikit peranan sinode-sinode atau lembaga- lembaga
berwenang mengenai rumusan Kanon PL. Hal ini dapat dimaklumi, sebab tidak dapat menarik
kesimpulan yang pasti berdasarkan data itu. Penelitian historis hanya menunjukkan sedikit peranan
sinode- sinode atau lembaga-lembaga berwenang mengenai rumusan Kanon PL. Hal ini dapat di
maklumi, sebab itu diperlukan badan atau lembaga berwibawa seperti itu yang harus mendapat
peranan besar dalam perumusannya. Alkitab memiliki wibawanya bukan dari pernyataan- pernyataan
gerejawi, juga bukan dari wibawa manusia apa pun. Alkitab bersifat autopistos, 'membuktikan sendiri
keotentikannya' dengan menyinarkan sendiri wibawa ilahinya. Karena kesaksian Roh Kudus maka orang
di mampukan menjadi cakap menangkap terang ini. Seperti dikatakan oleh Confessio Belgica
(Pengakuan Iman Gereja-gereja di Nederland), art 5, 'Kita percaya tanpa sedikit meragukan segala
sesuatu yang tercakup di dalamnya; bukan karena gereja menerimanya dan menganggapnya demikian,
tapi khususnya Roh Kudus memberi kesaksian di dalam hati kita, bahwa kitab-kitab itu datangnya dari
Allah'(bdn Westminster Confession, I, 4, 5). Konsili-konsili gereja dan badan- badan yang berwibawa
lainnya telah mengambil kesimpulan mengenai kanon itu, dan pertimbangan- pertimbangan ini
memang mempunyai fungsi penting dalam menjadikan Kanon itu diakui. Tapi bukan suatu konsili
gereja, juga bukan wibawa manusia apa pun yang lain, yang membuat Kitab-kitab dari Alkitab itu
menjadi Kanon atau yang memberikan wibawa ilahi kepadanya. Kitab-kitab itu pada dirinya memiliki
sendiri dan menggunakan sendiri wibawa ilahinya sebelum badan- badan seperti itu membuat
pernyataan mereka; wibawa kitab- kitab itu diakui dikelompok besar ataupun kelompok kecil. Konsili-
konsili gerejawi tidak memberikan wibawa ilahi kepada Kitab-kitab itu, tapi mereka justru beroleh dan
mengakui bahwa Kitab-kitab itu memiliki wibawa dan menggunakannya.
III. Pengakuan terhadap masing- masing Kitab Kita akan membicarakan data-data yang disajikan sendiri
oleh PL, berkaitan dengan pengumpulan dan pengakuan terhadap Kitab-kitab itu. Dalam rangka ini kita
akan mengikuti urutan Kitab-kitab itu sesuai Alkibar Ibrani. Sambil lalu baiklah mengamati bahwa
kehadiran beberapa dari kitab itu secara tersendiri, berkaitan dengan pekerjaan pengumpulan yang
mendahuluinya. Hal ini menjadi amat jelas, antara lain, dengan Mazmur (lihat ump Mazmur 75:20) dan
Amos (lih ump Amsal 25:1).
a. Taurat Sedini zaman Musa, pengumpulan hukum Taurat disertai pelestariannya dalam bentuk
tertulis. Seperti nampak dari Kel. 24:4-7, Musa membuat 'kitab perjanjian' dan orang-orang
mengakui wibawa ilahinya. Ul.31:9- 13 (lih juga ay 24 dab) memberitakan bahwa Musa menulis
'hukum Taurat itu', yakni inti UI, dan mengambil langkah-langkah untuk memastikan, bahwa wibawa
ilahinya akan diakui sampai jauh di masa depan. Perlu diperhatikan, di sini telah dinubuatkan bahwa
umat itu akan sering gagal untuk mengakui wibawa ilahi itu. Banyak kesaksian menunjukkan bahwa
sepanjang sejarah Israel, Taurat Musa dipandang sebagai tolok ukur ilahi bagi iman dan hidup (ump
Yos 1:7,8; 1Raj 2:3; 2Raja 14:6, dab). Kita tidak tahu pasti bilamana Pentaeukh (Kitab Lima Jilid)
lengkap seutuhnya, tapi boleh dianggap, bahwa sejak awal telah dihormati berwibawa tinggi.
Pentateukh berisi hukum Taurat yang diberikan Allah kepada Israel dengan perantaraan Musa, dan
sebagai tambahan, laporan tentang awal sejarah Israel, yakni perlakuan Allah terhadap umat
pilihanNya. Dua catatan dapat ditambahkan.
1. Pada zaman dahulu orang tidak memperlakukan Kitab-kitab yang dianggap Kudus sebagaimana
kita memperlakukannya sekarang. Dalam beberapa kitab ada bagian-bagian-- kecil atau besar--
yang dianggap tambahan dari zaman yang lebih kemudian. Satu hukum dapat diganti dengan
hukum lain, karena keadaan- keadaan yang berubah mengharuskan kebijaksanaan itu (bnd Bil.
26:52-56 dengan 27:1-11;36; dan bnd Bil. 15:22 dab dengan Im 4). Sekalipun demikian, jelas
26

orang Israel sangat berhati-hati dalam memperlakukan naskah-naskah tertulis yang berisi sejarah
Israel atau hukum-hukum mereka. Penambahan atau perubahan agaknya terbatas dan hanya
dilakukan oleh orang-orang yang berwenang berbuat demikian karena jabatan mereka. Sekedar
catatan bernada lebih umum dapat diberikan: kenyataan bahwa orang Israel sangat hati-hati
memperlakukan tulisan- tulisan kudusnya nampak dari cara para penulis PL memakai sumber-
sumber mereka. Mereka tidak memperlakukan seperti para penulis modern, tapi menyalin
bagian-bagian yang perlu seharafiah mungkin.
2. PL mencatat bahwa pada dua kesempatan, orang Israel dengan tulus berjanji untuk mentaati
kitab Taurat yang diberikan Allah dengan perantaraan Musa, yakni pada pemerintahan Yosua
(2Raj. 22, 23; 2Taw. 34, 35; 'kitab Taurat' mungkin berarti Kitab UI) dan pada zaman Ezra dan
Nehemia (Ezr. 7:6, 14; Neh. 8-10; 'kitab Taurat' di sini mungkin berarti seluruh Pentateukh).
b. Nabi-nabi Tiga faktor khusus memberi sumbangan kepada pengakuan terhadap 'nabi- nabi
terdahulu' (Yos, Hak, Sam, Raj) sebagai Kitab-kitab yang berwibawa. Pertama, Kitab-kitab ini
menguraikan perlakuan Allah terhadap umat-Nya yang telah dipilih- Nya. Kedua, Kitab-kitab ini
menguraikan perlakuan Allah terhadap pilihan-Nya itu dalam jiwa hukum Taurat dan para Nabi-nabi.
Ketiga, para penulis Kitab itu tentu adalah penjabat khusus, dalam arti setidak-tidaknya demikian.
Menarik sekali membaca Yosua 24:26, bahwa beberapa tambahan kemudian diberikan kepada 'kitab
perjanjian Allah', yang anaknya ialah kitab hukum Taurat yang disebutkan dalam Ul. 31:24, dab.
Karena sifatnya khas maka tulisan 'nabi-nabi yang kemudian' (Yes, Yer, Yeh dan ke-12 'Nabi-nabi
kecil') dihormati berwibawa sejak semula oleh kelompok kecil atau besar. Bahwa nubuat-nubuat
mereka mengenai bencana digenapi dalam Pembuangan, secara pasti mendampakkan peluasan
wibawa mereka. Fakta bahwa seorang nabi kadang-kadang mengutip nabi lain, jelas menyatakan
bahwa mereka mengakui wibawa nabi terdahulu itu. Justru lebih dari sekali seorang nabi memarahi
Israel karena mereka tidak mendengarkan para nabi yang mendahuluinya (bnd Za. 1:4 dab; Hosea
6:5, dst). Yesaya 34:16 agaknya menyebut gulungan yang di dalamnya dituliskan nubuat-nubuat
Yesaya dan disebut sebagai 'kitab Tuhan'. Daniel 9:2 menyebut 'kumpulan Kitab' yang dengannya
jelas dimaksudkan kumpulan tulisan nabi-nabi, di antaranya termasuk nubuat- nubuat Yeremia. Dari
hubungannya jelas bahwa tulisan para nabi ini dihormati sebagai memiliki wibawa ilahi.
c. Tulisan-tulisan Bagian ketiga dari Kanon Ibrani berisi Kitab-kitab yang sifatnya berbeda- beda,
sehingga beberapa dari antara kitab itu dihormati sebagai tulisan kudus. Mengenai Kid sering
dikemukakan, bahwa tempatnya di dalam Kanon adalah disebabkan oleh penafsiran alegoris yang
dikenakan kepadanya. Tapi keterangan ini tak dapat dibuktikan. Pertama, penempatan demikian
bermula pada suatu konsepsi yang keliru tentang 'kanonisasi' (lih butir II di atas). Kedua, sekalipun
seandainya Kid belum lengkap seutuhnya sebelum Zaman Pembuangan, namun kitab itu masih
memuat bahan-bahan kuno (ump Kid. 6:4). Tiada alasan untuk menyangkal kemungkinan, bahwa
pada zaman kuno kidung-kidung cinta ini, yang di dalamnya Salomo menjadi salah seorang tokoh
utama, pada dasarnya dipandang tulisan kudus. Akhirnya, seruan bagi pengakuan- pengakuan
formal dalam kepustakaan Yahudi (ump di Aboth de- Rabbi Nathan, 1) adalah lemah, karena
pengakuan-pengakuan formal itu tidak berasal dari zaman. Tak perlu mempersoalkan mengapa
Mazmur dihormati sebagai tulisan kudus. Banyak dari mazmur mungkin berfungsi sebagai rumusan-
rumusan bagi tempat kudus; Daud memberi sumbangan penting dalam penulisan mazmur;
beberapa mazmur bernada nubuat (ump Mazmur 50; 81; 110), mengenai Kitab-kitab hikmat,
diantaranya Amsal dan Pengkotbah dan, sampai taraf tertentu, Ayub, baiklah diingat, bahwa hikmat
dan khususnya kuasa untuk berbuat sebagai guru hikmat, dipandang sebagai kekecualian anugerah
Allah (bnd 1Raj. 3:28; 4:29; Ayb. 38, dab; Mzm. 49:1-4; Ams. 8; Pengkotbah 12:11, dst). Kenyataan
bahwa banyak Amsal berasal dari Salomo tentu telah memberi sumbangan bagi pengakuan amsal.
Pengamatan-pengamatan yang sama seperti di lakukan dibutir (b) di atas, dapat diterapkan atas
Kitab- kitab historis dan nabiah: Ezr, Neh, Rut, Est dan Rat. Halnya sama dengan kedua Kitab
Tawarikh, yang sekalipun dengan cara yang berbeda dengan Kitab Raja-Raja, namun ditulis dalam
jiwa hukum Taurat dan Nabi-nabi. Sajian di atas tentu sama sekali tidak menjawab segala persoalan
yang mungkin timbul. Marilah kita bahas salah satu dari persoalan itu. Mengapa sumber-sumber
yang dipakai bagi penulisan Tawarikh tidak dimasukkan ke dalam Kanon? Benar, bahwa beberapa
kitab yang ada selama waktu penulisan Kitab-kitab PL telah hilang, ump 'Kitab Orang Jujur' (Yos.
27

10:13; 2Sam.1:18). Tapi bertalian dengan sumber-sumber Tawarikh persoalan lebih gawat dan
hangat, karena Kitab-kitab sumber data itu ada selama waktu penyusunan Tawarikh, dan karena
Kitab-kitab sumber itu ditulis, paling sedikit sebagian, oleh nabi-nabi (ump 1 Taw. 29:29; 2Taw. 9:29;
32:32). Kita harus menganggap bahwa kitab-kitab itu - atau apakah itu satu kitab? - diungguli dan
diganti oleh Tawarikh.

VI. HUBUNGAN PERJANJIAN LAMA DAN PERJANJIAN BARU


Satu pertanyaan penting akan timbul ketika kita mulai mempelajari Alkitab Perjanjian Lama secara serius,
yaitu apa hubungan Perjanjian Lama (PL) dengan Perjanjian Baru (PB)? Memang PL adalah bagian dari Alkitab,
yang berotoritas, namun bagaimana menempatkannya dalam KESELURUHAN KEBENARAN Firman Tuhan?
Apakah PL dan PB mempunyai nilai dan arti yang sama? Hal ini bisa membingungkan, karena seringkali
peranan PL dalam iman dan kehidupan tidak begitu ditekankan dan dipahami oleh gereja. Sebaliknya PB
kelihatan lebih sering ditonjolkan karena dianggap maksud-maksud Allah bagi gereja-Nya lebih nyata
diungkapkan di sana. Meskipun alasan di atas tidak seluruhnya salah, namun sangat tidak tepat kalau kita
hanya mendasarkan diri pada pengetahuan PB saja untuk mengerti KESELURUHAN KEBENARAN Alkitab,
karena pengenalan tentang Allah dalam Alkitab dimulai dari PL. Oleh karena itu dalam pelajaran ini kita akan
secara khusus melihat hubungan antara PL dan PB, supaya dalam mempelajari Alkitab kita mengerti
sistematika keutuhan kebenaran berita Alkitab.
1. PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ANTARA PL DAN PB
a. Perbedaan antara PL dan PB Apakah ada perbedaan antara PL dan PB? Ya ada, tetapi ketika kita
membicarakan tentang perbedaan PL dan PB, perlu dimengerti bahwa perbedaan di sini bukan berarti
adanya pertentangan. Kita melihat ada perbedaan dalam hal jangkauan dan keluasan pembahasan
antara PL dan PB, namun demikian hal-hal tsb. tidak saling bertentangan. Misalnya:
- PL bercerita tentang hubungan Allah dengan bangsa Israel, tetapi PB lebih banyak bercerita tentang
hubungan Allah (melalui Yesus dan Para Rasul) dengan jemaat-Nya (gereja-Nya).
- PL menolong kita mengerti sifat-sifat Allah yang suci, adil dan benar, tetapi PB lebih menekankan
kepada sifat- sifat Allah yang kasih, sabar dan pemurah.
- PL memberikan panggilan keselamatan dari satu orang (Abraham) kepada satu bangsa (Israel).
Tetapi PB memberikan panggilan keselamatan dari satu bangsa (Israel) kepada bangsa-bangsa lain.
- PL memberikan gambaran penebusan dosa melalui korban bakaran yang tidak sempurna karena
harus dilakukan berkali-kali, tetapi PB memberikan aplikasi penebusan yang sempurna dalam Yesus
Kristus, yang dilakukan sekali dan untuk selama- lamanya.
b. Persamaan antara PL dan PB
Persamaan antara PL dan PB tidak dimaksudkan untuk mensejajarkan kedudukan dan nilai antara PL
dan PB, namun persamaan di sini untuk menyatakan bahwa tidak ada pertentangan antara PL dan PB.
Sebaliknya kita melihat bahwa PL dan PB adalah dua perjanjian yang kebenarannya saling menguatkan
satu dengan yang lain. Misalnya:
- PL percaya pada Allah sebagai Pencipta alam semesta dan isinya demikian juga PB.
- PL menceritakan tentang kejatuhan manusia ke dalam dosa, PB menegaskan bahwa dosa telah
menguasai manusia.
- PL mencatat bagaimana Allah menyatakan Diri-Nya dan kehendak- Nya dan PB secara konsisten
melihat penyataan Diri Allah itu secara lebih luas dan lengkap.
- PL melihat bayang-bayang janji keselamatan, PB melihat fakta janji keselamatan itu dengan jelas.
- PL membicarakan nubuat Mesias yang akan datang sedangkan PB menggenapkan nubuat datangnya
Mesias di dalam Yesus Kristus.
2. PERJANJIAN LAMA ADALAH BAGIAN DARI KESELURUHAN KEBENARAN ALKITAB
Untuk mengerti hubungan antara PL dan PB, perlu terlebih dahulu dipahami bahwa PL dan PB adalah
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. PL dan PB yang berdiri sendiri adalah seperti satu bagian cerita
yang belum selesai atau seperti satu pembahasan yang tidak memiliki kesimpulan (konklusi). Namun
demikian PL adalah sepenuhnya Firman Allah yang berisi penyataan Allah tentang Diri- Nya dan rencana-
Nya dan yang secara progresif terus menerus dibukakan menjadi lebih dalam dan lebih lengkap sampai
kepada puncaknya yaitu ketika Ia menyatakan Diri-Nya dalam Yesus Kristus di PB. Oleh karena itu sebagai
28

Penyataan Allah yang progresif, baik PL dan PB adalah Firman Allah dan masing-masing adalah bagian dari
Kebenaran Allah. Namun demikian bagian bukanlah keseluruhan. Masing- masing bagian tidak lengkap
tanpa bagian yang lain. PB jelas tidak lengkap tanpa PL. Ketergantungan PB pada PL ditunjukkan bahkan
dari pertama halaman kitab PB dimulai, yaitu Mat. 1:1 "Inilah silsilah Yesus...." Seluruh urutan dan nama-
nama dalam silsilah Tuhan Yesus tsb. hanya akan dipahami kalau kita terlebih dahulu mempelajari PL.
3. PERJANJIAN LAMA ADALAH BAYANG-BAYANG DARI APA YANG AKAN DATANG (PB)
Seperti telah dibahas pada pelajaran sebelumnya bahwa dalam PL Allah telah menyatakan tentang Diri-
Nya dan rencana-Nya kepada manusia melalui sejarah bangsa Israel. Dari bagaimana Allah berhubungan
dengan bangsa Israel kita bisa memahami sifat-sifat Allah. Juga dari hal-hal yang Allah nyatakan kita
melihat kerinduan dan rencana Allah untuk memanggil bangsa Israel dan bangsa-bangsa lain untuk
kembali kepada-Nya dan bersekutu dengan- Nya. Namun demikian tidak mudah memahami secara penuh
PL, baik yang menceritakan sifat-sifat, kerinduan atau rencana Allah, karena PL banyak sekali dipenuhi
dengan simbol-simbol, gambaran-gambaran dan nubuatan-nubuatan yang tidak dapat secara langsung
dimengerti maksudnya. Banyak dari simbol- simbol, gambaran-gambaran, nubuatan- nubuatan, dan
hukum- hukum dan upacara-upacara yang ditujukan sebagai janji dan menjadi bayang-bayang untuk hal-
hal yang akan Allah lakukan dan genapi di masa yang Perjanjian Baru (Ibr. 10:1). Oleh karena itu untuk
mengerti hal-hal yang Allah nyatakan dalam PL kita perlu sekali mendapatkan penerangan dari PB. Tanpa
diterangi oleh PB, maka PL akan selamanya menjadi kitab-kitab yang misterius yang tidak akan dipahami
beritanya.
4. YESUS KRISTUS ADALAH PUNCAK DARI BERITA PL DAN PB
Kemanakah sebenarnya PL ingin memimpin pembacanya? Kepada Kristus! Kristus adalah puncak berita
yang ingin disampaikan oleh Alkitab, karena Ia adalah Pengantara bagi Perjanjian yang baru (Ibr. 9:15).
Seluruh rangkaian peristiwa PL, juga termasuk pengajaran-pengajaran hukum dan nubuatan-nubuatan
yang disampaikan oleh para nabi-nabi PL, semuanya itu (baik secara langsung maupun tidak langsung)
menunjuk kepada gambaran akan kedatangan, hidup dan misi Kristus di dunia ini, yaitu melaksanakan
rencana keselamatan Allah kepada manusia. Bukti-bukti Alkitab
a. Yesus adalah pusat dari sejarah PL Ketika berjalan dengan dua murid di jalan Emaus, Lukas mencatat
bahwa "Ia (Yesus) menjelaskan kepada mereka apa YANG TERTULIS TENTANG DIA dalam SELURUH
KITAB SUCI, mulai dari KITAB-KITAB MUSA dan segala KITAB NABI-NABI."
b. Yesus adalah penggenapan Hukum Taurat Dalam Mat. 5:17 Yesus berkata, "jangan kamu menyangka,
bahwa Aku datang untuk meniadakan HUKUM TAURAT atau KITAB PARA NABI. Aku datang bukan untuk
meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya."
c. Yesus adalah penggenapan dari nubuat-nubuat PL Tuhan Yesus berkata kepada 10 murid-Nya yang
dicatat di Lukas 24:44-47, "Inilah perkataan-Ku, yang telah Kukatakan kepadamu ketika Aku masih
bersama dengan kamu, yakni bahwa harus digenapi semua YANG ADA TERTULIS tentang AKU dalam
KITAB TAURAT MUSA dan KITAB NABI- NABI DAN KITAB MAZMUR. Lalu Ia membuka pikiran mereka,
sehingga mereka mengerti Kitab Suci. Kata-Nya kepada mereka: Áda tertulis demikian: Mesias harus
menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga, dan lagi: dalam nama-Nya berita
tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari
Yerusalem." Namun suatu teguran yang sangat ironis karena sekalipun Allah telah menyatakan maksud
rencana-Nya dalam Yesus Kristus melalui para nabi dan utusan-utusan-Nya, bangsa Israel tetap saja
menolak Yesus dan tidak mau menerima Dia. Seperti yang dikatakan dalam Yoh. 5:39 and 40, ketika
Yesus sedang bercakap-cakap dengan orang-orang Yahudi, Ia berkata: "Kamu menyelidiki KITAB- KITAB
SUCI, sebab kamu menyangka bahwa oleh-Nya kamu mempunyai hidup yang kekal, tetapi walaupun
Kitab- kitab Suci itu memberi kesaksian tentang Aku, namun kamu TIDAK MAU DATANG KEPADA-KU
untuk memperoleh hidup itu." Oleh karena itu pada bahasan yang terakhir ini, marilah kita menyadari
betapa pentingnya menempatkan Kristus sebagai pusat sejarah PL dan PB karena di dalam Kristuslah
kita dapat melihat kepenuhan Allah dinyatakan. Biarlah mulai saat ini kita bisa melihat PL dengan
terang PB untuk kita dapat menggali kekayaan Firman Tuhan (Alkitab) ini dengan sebaik mungkin.
Seperti teladan penulis-penulis PB yang menggunakan PL untuk menjelaskan tentang Yesus dan juga
menggunakan Yesus untuk menjelaskan PL. -----
5. HUBUNGAN PERJANJIAN LAMA DAN PERJANJIAN BARU
Gereja Yesus Kristus hanya dapat hidup apabila dibangun di atas Firman Allah, yaitu Alkitab. Tidak ada
29

hal lain yang dapat menjamin bahwa Gereja secara keseluruhan, atau anggota- anggotanya secara
perorangan, akan dapat berdiri teguh. Setiap orang yang ingin menjadi orang Kristen harus menerima
petunjuk-petunjuk dan petunjuk-petunjuk itu didasarkan pada Alkitab. Iman Kristen dipelihara dengan
pelajaran- pelajaran Alkitab. Tetapi Alkitab tidak selamanya mudah dimengerti. Dan salah pengertian dapat
menimbulkan bidat. Bidat adalah suatu cara berpikir dan kepercayaan yang tidak sesuai dengan ajaran
Firman Allah secara keseluruhan. Bidat mengambil sebagian dari ajaran Alkitab dan menganggap hal itu
sebagai sesuatu yang utama, sedangkan hal-hal yang lain yang tidak kurang pentingnya, sama sekali
dikesampingkan. Misalnya, kita mengambil sebagian dari ajaran Paulus tentang perkawinan (I Korintus 7)
dan mengatakan bahwa perkawinan itu dilarang dan semua orang yang hidup bersama sebagai keluarga,
tidak menaati Firman Allah. Tetapi, itu bukanlah ajaran seluruh Alkitab. Kita harus menempatkan kata-kata
Rasul Paulus itu pada tempat yang sebenarnya dan dalam hubungan dengan ayat-ayat sebelum dan
sesudahnya Jika tidak, kita akan sesat. Alkitab itu terdiri dari dua bagian: Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru. Kita akan mempelajari hubungan antara keduanya. Apakah masing- masing mempunyai nilai dan arti
yang sama? Apakah ada perbedaan- perbedaannya? Jika ada, apakah perbedaannya. Gereja Kristen yang
mula-mula mempunyai dua pedoman Alkitab bangsa Yahudi, yaitu Perjanjian Lama dan ucapan-ucapan
serta ajaran Yesus. Kemudian surat-surat para rasul dan kitab-kitab lain digabungkan dengan Injil sehingga
terbentuklah Perjanjian Baru. Kebanyakan orang Kristen yang mula- mula itu adalah bangsa Yahudi. Tetapi
ada banyak pertentangan antara orang-orang Yahudi dan orang- orang Kristen. Oleh karena itu, dengan
segera orang Kristen harus membuat keputusan tentang sikap mereka terhadap Perjanjian Lama. Mereka
tetap mengakui bahwa Perjanjian lama adalah Firman Allah. Namun mereka bukan lagi orang-orang
Yahudi, mereka adalah murid-murid Mesias, Mesias yang tidak diakui oleh bangsa Yahudi yang masih
kukuh berbegang kepada adatnya.
Ada tiga macam pandangan terhadap Perjanjian Lama:
1. Yang pertama: Gereja itu menyatakan Yesus sebagai Tuhannya, dan hanya Perjanjian Baru yang
menceritakan tentang kehidupanNya dan ajaranNya. Oleh sebab itu, tidak ada gunanya kita berpegang
pada Perjanjian Lama. Pada abad kedua, seseorang bernama Marcion mencoba agar pendapat ini
diterima oleh gereja. Tetapi untung Gereja memutuskan bahwa ia adalah seorang yang sesat dan
ajarannya itu salah serta membahayakan.
2. Yang kedua. Gereja itu didirikan atas dasar Firman Allah dan Yesus selalu emngutip Perjanjian Lama dan
mengakui bahwa Perjanjian Lama adalah sama seperti Perjanjian Baru serta mempunyai wewenang
yang sama. Pendapat ini mungkin nampaknya sangat kuat, tetapi ada bahayanya. Untuk menunjukkan
bahwa Injil terdapat dalam Kitab Imamat, misalnya, maka kitab itu harus ditafsirkan dengan cara yang
sangat aneh. Pada abad yang pertama, tafsiran semacam itu sangat populer dan para cendekiawan,
seperti Origen, membahas Perjanjian Lama dengan cara demikian. Tetapi, baik orang- orang Yahudi
maupun orang-orang kafir merasa berkeberatan sebab cara menafsirkan Alkitab seperti itu tidak jujur.
Anda dapat membuatnya sesuka hati anda. Keberatan yang lebih besar adalah: jika di dalam segala hal
Perjanjian lama itu sama dengan Perjanjian Baru, apa gunanya Yesus datang? Di mana letak nilai berita
yang dibawaNya dan pekerjaan yang dilakukanNya? Apakah Gereja Kristen memiliki alasan yang kuat
untuk hidup?
3. Pandangan yang lain: Perjanjian Lama itu tidak dapat dihilangkan, karena tanpa Perjanjian lama, kita
tidak dapat mengerti Perjanjian Baru. Kedua "Perjanjian" itu tidak sama. Masing-masing merupakan
sebagian dari satu keseluruhan: keduanya seia sekata, karena Alkitab itu satu. Tetapi keduanya berbeda
dalam hal isi dan cara memandang peristiwa-peristiwa.
6. YANG LAMA DAN YANG BARU MASALAHNYA
Bagi orang Kristen, PL senantiasa penting karena kutipannya terdapat pada hampir setiap halaman PB.
Namun, PL juga menjadi masalah bagi kekristenan dan bahkan sejak masa awal gereja makna dan
relevansi PL telah menjadi sumber perdebatan dan kontroversi yang hangat. Hal-hal tersebut merupakan
salah satu isu yang menyebabkan gesekan dan perpecahan dari gereja-gereja muda di tahun-tahun segera
setelah kematian dan kebangkitan Yesus. Yesus sendiri telah mengklaim bahwa hidup-Nya sendiri adalah
penggenapan PL. Namun banyak tindakan-Nya seakan mengabaikan pengajaran-pengajaran utama PL
(Mat. 5:17), terutama pada subjek seperti peraturan Sabat (Mrk 2:23-28), hukum mengenai makanan
(Mrk. 7:14-23), bahkan juga beberapa pengajaran moralnya (Mat. 5:21-48). Jadi, otoritas seperti apakah
seharusnya dimiliki PL dalam kehidupan pengikut-pengikut Yesus? Tidak timbul masalah khusus bagi
30

generasi pertama Kristen yang adalah juga orang Yahudi. Sejauh ini, mereka terus mengikuti cara hidup
yang sudah mereka terima sejak kecil, yang mendasarkan diri kepada PL sesuai yang dimengerti oleh
agama Yahudi abad pertama.
Namun, setelah jelas bahwa berita Kristen ditujukan kepada orang-orang non-Yahudi, dan bahwa orang
Romawi dan Yunani juga bisa menjadi pengikut Yesus, pertanyaan mengenai otoritas PL muncul dalam
bentuk yang lebih mendesak. Apakah orang kafir perlu menjadi Yahudi terlebih dahulu sebelum menjadi
Kristen? Paulus dan penulis PB dengan tegas menjawab: tidak perlu (Gal., lPet., Ibr.). Namun, mereka tetap
menerima PL sebagai kitab suci mereka, dan sering menggunakannya sebagai dasar penjelasan iman
Kristen. Justru di sinilah letak masalahnya. Kalau bagian-bagian tertentu PL bisa diabaikan sebagai tidak
relevan lagi bagi iman dan tindakan Kristen, bagaimana kita bisa membedakannya, dan apa yang harus kita
lakukan dengan bagian sisanya? Mencari Jalan Keluar Pertanyaan mengenai hubungan antara PL dan PB
diungkapkan dengan lantang oleh seorang Kristen abad ke-2, Marcion. Ia bukan hanya melihat sikap para
rasul yang ambigu mengenai masalah ini, tetapi ia juga memperhatikan masalah-masalah lain di dalam
kepercayaan Kristen kepada PL. Yesus telah berbicara tentang kasih Allah yang memedulikan kesejahteraan
semua manusia. Akan tetapi, ketika membaca PL, Marcion sering melihat gambaran Allah yang agak
berbeda, di mana Ia kelihatannya dihubungkan dengan kekejaman dan kebuasan yang ekstrem. Jauh dari
kehendak menyelamatkan manusia, Ia kadang- kadang dihubungkan dengan penghancuran mereka. Tentu
saja, Marcion sedikit melenceng di dalam melihat gambaran itu: penghakiman yang keras merupakan
bagian penting dari pengajaran Yesus, dan kasih Allah tidak pernah absen dari iman PL, seperti yang telah
kita lihat dalam berbagai cara.
Namun, bagaimanapun pembaca modern seringkali merasakan hal yang sama, dan beberapa orang
Kristen sekarang akan mengalami kesulitan untuk mendamaikan beberapa aspek dari pandangan PL
tentang Allah dengan apa yang mereka anggap sebagai pandangan umum Kristen tentang PB. Selain
permasalahan yang diangkat oleh Marcion, mereka juga menunjuk kepada perbedaan antara berita kasih
Allah yang universal dalam Yesaya 40-55 dengan apa yang tampak sebagai suatu nasionalisme sempit dari
kitab seperti Ezra. Bahkan penafsir yang ulung sekalipun sangat kesulitan untuk mendamaikan sikap
sentimentil Mazmur 137:8-9 dengan pernyataan untuk mengasihi musuh di dalam khotbah di bukit Yesus
(Mat. 5:43-48). Juga, banyak orang sekarang ini sulit memahami beberapa aspek ibadah PL, terutama
persembahan korban yang (paling tidak menurut pandangan barat) kelihatannya primitif dan kejam,
bahkan sama sekali tidak masuk akal. Jawaban Marcion terhadap semua ini adalah sederhana: robek PL
dan buang ke dalam tempat sampah! Namun pandangan itu tidak didukung secara luas oleh gereja awal,
terlebih karena Marcion juga ingin menyingkirkan sebagian besar PB. Hal itu kelihatannya menimbulkan
tanda tanya terus akan kesejatian iman Kristennya.
Namun, para pemimpin gereja mula- mula dapat mengerti dengan cukup baik permasalahan yang
dipertanyakan Marcion. Pertanyaan mengenai PL itu sungguh nyata. Kalau kedatangan Yesus adalah
tindakan yang baru dan menentukan dari Allah dalam dunia ini, lalu apa relevansinya yang dapat dimiliki
sejarah umat purba untuk iman di dalam Yesus? Jawaban umum yang diberikan ialah bahwa ketika PL
dimengerti dengan tepat maka PL akan mengatakan hal yang persis sama dengan yang dikatakan PB.
Namun, untuk dapat membuktikan hal ini maka perlulah menafsirkan PL sedemikian sehingga dapat
menunjukkan bahwa arti sebenarnya entah bagaimana tersembunyi bagi pembaca biasa. Secara
kebetulan, sarjana-sarjana Yahudi telah menghadapi pertanyaan ini dalam konteks yang berbeda. Lebih
dari satu abad sebelumnya, penafsir agung Yahudi, Filo (sekitar 20SM-45M), yang tinggal di Aleksandria,
Mesir, telah mencoba menyelaraskan PL dengan pemikiran para filsuf besar Yunani. Ada sedikit kaitan yang
jelas antara PL dengan filsafat Yunani. Namun, dengan menerapkan penafsiran alegoris yang mistis
terhadap PL, Filo berhasil menunjukkan (paling tidak sampai ia merasa puas) bahwa Musa dan para
penulis PL lainnya sebenarnya telah menyatakan kebenaran-kebenaran filsafat Yunani beberapa abad
sebelum para pemikir Yunani memikirkannya! Beberapa pemimpin Kristen awal, terutama mereka yang di
Aleksandria, mengadopsi pendekatan seperti ini dengan penuh semangat. Mereka segera juga
menggunakan teknik yang sama untuk menunjukkan bahwa PL memuat segala sesuatu yang ada dalam
PB, bagi mereka yang memiliki mata untuk melihat. Bahkan hal-hal mendetail yang kelihatannya tidak
penting dari kisah PL dijadikan lambang-lambang bagi Injil Kristen. Apa pun yang berwarna merah dapat
dimengerti sebagai referensi kepada kematian Yesus di kayu Salib (sebagai contoh, lembu betina merah
dari Bil.19, tali kirmizinya Rahab dari Yos. 2:18). Air kemudian menjadi gambaran akan baptisan Kristen.
31

Kisah Keluaran, dengan kombinasi dengan darah (di ambang pintu pada saat Paskah) dan air (ketika
menyeberangi laut Teberau), menghasilkan banyak penjelasan yang kompleks akan hubungan antara salib
dan keselamatan Kristen, juga dengan dua sakramen Kristen, baptisan dan perjamuan kudus! Uskup Hilary
dari Poitiers, Perancis (315-368 M) menjelaskan cara pembacaan PL ini sebagai berikut: "Setiap karya yang
termuat di dalam kitab-kitab suci mengumumkan melalui kata, menjelaskan melalui fakta, dan mensahkan
melalui contoh- contoh kedatangan Tuhan kita Yesus Kristus .... Sejak permulaan dunia ini, Kristus melalui
prafigurasi yang otentik dan mutlak dalam pribadi para patriakh melahirkan, membersihkan,
menguduskan, memilih, memisahkan dan menebus gereja: melalui tidurnya Adam, banjir besar pada masa
Nuh, berkat dari Melkisedek, pembenaran Abraham, kelahiran Ishak, penawanan Yakub ... Tujuan karya ini
adalah untuk menunjukkan bahwa dalam setiap pribadi dalam setiap masa, dan dalam setiap tindakan,
gambaran tentang kedatangan, pengajaran, kebangkitan- Nya, dan tentang gereja kita direfleksikan seperti
pada cermin" (Hilary, Introduction to The Treatise of Mysteries).
Tidak semua pemimpin gereja senang dengan pendekatan terhadap PL di atas: terutama mereka yang
berhubungan dengan pusat Kekristenan besar lainnya di Antiokhia, Siria. Namun, biasanya diterima begitu
saja bahwa PL adalah kitab Kristen, dan dengan satu dan lain cara isinya berkaitan dengan kepercayaan
mendasar teologi Kristen. Selama Reformasi Protestan, keseluruhan pokok pembicaraan ini sekali lagi
dibuka untuk diperiksa. Martin Luther (1483-1546) dan John Calvin (1509-1564) menekankan pentingnya
mengerti iman PL berdasarkan konteks sejarah dan sosialnya. Dalam hal ini, pendekatan mereka tidaklah
berbeda dari pendekatan banyak sarjana modern. Namun, Luther ingin membedakan nilai PL dari PB
dengan melihat PL sebagai Taurat dan PB sebagai Injil. Hal ini memberikan kepadanya alat yang baik untuk
memisahkan gandum Injil sejati (menurut Luther ditemukan pada surat- surat Paulus) dari jerami legalisme
yang sudah diganti (diidentifikasikan dengan PL dan kekristenan Yahudi). Pemikiran ini telah sangat
mempengaruhi kesarjanaan Alkitab sampai masa kini. Akan tetapi, pandangan ini keliru dalam beberapa
hal mendasar:
• Pandangan ini mengabaikan fakta bahwa Taurat bukan dasar iman PL dan juga tidak sama sekali tidak
ada di dalam PB. Di dalam PL maupun PB, Taurat diletakkan di dalam konteks pemahaman perjanjian
dengan kasih Allah sebagai prinsip dasarnya.
• Luther sangat keliru mengidentifikasikan Yudaisme dengan legalisme moralistis. Hal ini sangat tidak adil
bahkan terhadap pandangan Farisi yang jelas-jelas ditolak oleh Paulus. Dalam hal ini, Luther
membiarkan reaksinya sendiri terhadap kekristenan Roma Katholik untuk mewarnai pandangannya
terhadap iman PL. Calvin mengenali beberapa kekurangan ini, dan sebaliknya menekankan kepentingan
dari tema perjanjian di PL dan PB. Dengan perbandingan yang teliti akan hubungan Allah dengan umat
Israel purba dan dengan gereja Kristen, Calvin mampu mengklaim bahwa dua bagian dari Alkitab
Kristen tersebut disatukan oleh suatu pewahyuan yang progresif, di mana janji-janji purba yang
diberikan kepada Israel dalam PL mencapai puncaknya di dalam kehidupan gereja Kristen. Pandangan
ini bukan tidak memiliki kesulitannya sendiri. Namun, paling tidak pandangan ini mencoba untuk
melihat iman PL secara serius. Pandangan Calvin ini masih dipegang oleh banyak orang dari kelompok
Kristen konservatif. Setelah Reformasi, pertanyaan mengenai PL sebagai kitab Kristen tersimpan dengan
rapi sampai pada generasi kita. Zaman pencerahan Eropa, dengan tekanan kepada memahami PL
sebagai koleksi kitab- kitab kuno dalam konteks masanya sendiri, membawa penyelidikan para sarjana
ke arah lain. Namun, dalam 100 tabun terakhir atau lebih ini, pertanyaan teologis tadi telah mencuat ke
permukaan lagi. Hal penting yang mendorongnya adalah gerakan Nazi di negara Jerman modern.
Perasaan anti Yahudi yang diciptakan oleh Nazi telah berdampak pada gereja-gereja Jerman sendiri,
dan kehadiran PL di dalam Alkitab Kristen menjadi isu politis yang membara sekaligus menjadi bahan
kajian teologis. Sejumlah teolog Jerman mulai mengadopsi sikap yang sama seperti Marcion. Namun,
banyak sarjana Kristen Jerman yang memberikan penilaian positif terhadap signifikansi PL, walaupun
mereka menghadapi tekanan secara politik. Sarjana-sarjana seperti Walter Eichrodt dan Gerhard von
Rad bahkan juga teolog Swiss, Karl Barth, justru menghasilkan karya-karya yang paling kreatif pada
masa tersebut. Sekarang ini, umat Kristen mengadopsi berbagai sikap terhadap nilai PL:
• Ada yang ingin memberikan PL nilai dan otoritas yang sama dengan PB, dengan dasar bahwa setiap
kata di dalam keduanya adalah kata-kata Allah sendiri secara langsung. Namun, kita harus cukup
berhati-hati untuk tidak terlalu gampang menerima gambaran seperti ini karena ada sejumlah
pengajaran Yesus sendiri yang dalam berita-Nya jelas menunjukkan sikap penolakan atau perevisian
32

yang sangat radikal terhadap beberapa aspek mendasar dari pengajaran PL.
• Orang lain memperdebatkan bahwa PL digantikan seluruhnya oleh PB, sehingga bisa disingkirkan. Di
sini kita juga harus memelihara suatu keseimbangan yang teliti yang kita temukan pada pengajaran
Yesus sendiri karena Yesus juga menguraikan pelayanan-Nya dalam segi tertentu menggenapi PL. Kita
bisa secara sah mendebatkan artinya, namun ini pastilah harus mengikutsertakan asumsi bahwa PL
memiliki sesuatu untuk kekristenan dan karenanya memiliki tempat yang sah di dalam Alkitab Kristen.
• Beberapa orang mencoba membedakan antara beberapa bagian dari PL. Mereka akan memisahkan hal-
hal seperti hukum-hukum tentang imam, persembahan korban, dan ketahiran (yang tidak lagi dilakukan
oleh Kristen) dari bagian-bagian lain seperti Dekalog dan pengajaran- pengajaran moral dari para nabi
(yang dianggap masih relevan). Calvin melakukan pembagian yang serupa. Namun, jauh lebih mudah
membagi seperti itu daripada membuktikan kebenarannya. Dengan menyingkirkan unsur-unsur yang
kelihatannya tidak relevan itu, kita sebenarnya sedang menggeser beberapa aspek paling dasar dari
iman PL. Sebagai tambahan, PB justru paling sering menemukan korelasi antara iman PL dengan
kepercayaan Kristen tentang Yesus di dalam konsep-konsep seperti persembahan kurban.
• Juga umum bagi orang Kristen untuk berbicara tentang pewahyuan progresif kehendak dan sifat Allah
yang mengaliri kedua perjanjian tersebut. Pandangan ini mengatakan bahwa kehendak Allah dinyatakan
melalui sejumlah tahapan, disesuaikan secara kasar dengan kapasitas manusia untuk memahaminya.
Jadi, beberapa dari bagian yang lebih sulit dari PL dapat dijelaskan sebagai sesuai dengan masa primitif,
yang kemudian diganti dengan pandangan yang lebih maju, dan memuncak pada pengajaran Yesus
tentang Allah yang adalah kasih. Namun ini adalah ide yang tidak menolong karena didasarkan kepada
ide evolusioner yang sudah ketinggalan zaman mengenai perkembangan moral yang tidak terhindarkan
dalam diri manusia. Pandangan ini juga mencampuradukkan pernyataan tentang Allah sebagaimana Dia
adanya dengan pernyataan tentang apa yang manusia, pikirkan tentang Dia. Sebagai tambahan
pandangan ini memuat juga implikasi yang meragukan bahwa orang modern pasti mengetahui lebih
banyak mengenai kehendak Allah dan lebih taat kepadanya daripada para bapa leluhur, nabi-nabi, dan
tokoh- tokoh utama kisah PL.

Anda mungkin juga menyukai