Anda di halaman 1dari 24

Kesinambungan dan Perubahan dalam Pemikiran

Tentang Asbâb Al-Nuzûl Kontemporer

Akh. Fauzi Aseri (Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari)
M. Zainal Abidin Fakultas Ushuluddin dan Humaniora IAIN Antasari
Wardani (Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari)

Al-Zarkasyi and al-Suyuthi have formulated branches of Alqur’an discourses and among them is asbab al-
nuzul. They were aware that ‘ulum al-Qur’an’ covered a wide range of discussion, could not be limited, and
thus opened the paradigm inside. Likewise, when al-Wahidi explained that asbab al nuzul was purely the case
of history, it did not prevent the development of a new paradigm. From the perspective of continuity, change,
and development, this study is significant to measure the extent of originality of new ideas offered in reform
context in al-Qur’an discourses, specifically on asbab an-nuzul. The paradigms of Syahrur and Abu Zayd
which are the focus of discussion in this study give a fresher and a more critical perspective in response to the
existence of asbab an-nuzul. If Syahrur paradigm is stronger on the changing aspects, which is sometimes very
radical in viewing asbab an-nuzul, then despite the criticism, Abu Zayd paradigm still embodies the spirit of
continuity with the previous study and the changing of a new method of reading which he has proposed.
Key words: asbab al-nuzul, continuity, change, contemporer Islamic paradigm

Al-Zarkasyî dan al-Suyûthî telah merumuskan cabang-cabang bahasan dan di antaranya bahasan asbâb al-
nuzûl, mereka tetap menyadari bahwa ‘ulûm al-Qur`ân memiliki cakupan sangat luas, tidak bisa dibatasi, dan
karenanya membuka pemikiran di dalamnya. Begitu juga, ketika al-Wâhidî menegaskan bahwa asbâb al-
nuzûl adalah murni persoalan riwayat, hal itu tidak menghalangi perkembangan pemikiran baru. Dengan
perspektif kesinambungan, perubahan, dan perkembangan, kajian ini signifikan untuk mengukur sejauh mana
orisinalitas ide-ide baru yang ditawarkan dalam konteks pembaruan dalam ilmu-ilmu al-Qur`an, khususnya
tentang Asbâb Al-Nuzûl. Pemikiran Syahrûr dan Abu Zayd yang menjadi fokus pembahasan dalam kajian
ini memberikan perspektif yang lebih segar dan kritis dalam menyikapi keberadaan ilmu asbâb an-nuzul.
Apabila Syahûr lebih kuat pada aspek perubahan yang terkadang sangat radikal dalam melihat Asbab Al-
Nuzul, maka Abu Zayd meski dengan kritisme yang juga kental, ada tetap semangat kesinambungan dengan
kajian terdahulu dan perubahan cara baca baru yang dia kemukakan.
Kata kunci: asbân alnuzûl, kesinambungan, perubahan, pemikiran Islam kontemporer.

Ulûm al-Qur‘ân, atau ilmu-ilmu yang Hûfî (w. 330) disebut sebagai ulama pertama
digunakan untuk memahami ayat-ayat al- yang secara lengkap menulis di bidang ini
Qur‘an, sebenarnya adalah produk dengan karyanya, al-Burhân fî ‘Ulûm al-
kesejarahan para ulama, karena meski Qur‘ân (30 jilid). Ada yang berpendapat
memiliki dasar-dasarnya dari al-Qur‘an bahwa yang pertama menulis di bidang ini
sendiri dan pratik penafsiran Nabi adalah al-Hârits bin Asad al-Muhâsibî (w.
Muhammad, disiplin ini didesain oleh para 243 dengan karyanya, Fahm al-Qur‘ân. 1
ulama generasi awal, sehingga tumbuh dan
berkembang seperti sekarang. Salah satu 1
Hâzim Sa’îd Haidar, ‘Ulûm al-Qur`ân bayna al-
bukti dari kesejarahan tersebut adalah Burhân wa al-Itqân: Dirâsah Muqâranah
bahwa disiplin ilmu ini baru muncul (Madinah: Dâr al-Zamân, 1420 H), h. 6. Karya al-
beberapa abad pasca masa Nabi Muhâsibî, Fahm al-Qur`ân, diterbitkan bersama
karyanya, al-‘Aql dengan judul al-‘Aql wa Fahm
Muhammad.‘Alî bin Ibrâhîm ibn Sa’îd al- al-Qur`ân (Beirut: Dâr al-Fikr dan Dâr al-Kindî,

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014 1


Kesinambungan dan Perubahan

Setelah itu Ibn al-Jawzî (w. 597H) menulis menunjukkan historisitas perkembangan
Funûnal-Afnân fi ‘Ajâ‘ib ‘Ulûm al-Qur‘ân, disiplin ini.
lalu al-Zarkasyî (w. 794 H) dengan al-Burhân Konsekuensi dari historisitas ‘ulûm al-
fi ‘Ulûm al-Qur‘ân, al-Bulqînî (w. 824 H) Qur`ân adalah bahwa konstruksinya
dengan Mawâqi’ al-’Ulûm min Mawâqi’ al- merupakan hasil susunan ijtihâd para ulama,
Nujûm, dan al-Suyûthî (w. 911 H) dengan meski substansinya memiliki hubungan
al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur‘ân dan al-Tahbîr fî yang inherent dan tak terpisahkan dengan
‘Ilm al-Tafsîr. al-Qur`an. Konsekuensi lain yang terpen-
Historisitas ‘ulûm al-Qur`ân juga bisa ting dari historisitas tersebut adalah bahwa
dilihat bagaimana para ulama berbeda disiplin ini akan tetap berkembang seiring
pendapat dalam mengkategorisasikan dengan perkembangan pemikiran dan
persoalan-persoalan yang menjadi objek zaman. Al-Zarkasyî pernah menggolongkan
kajian disiplin ini. Sebagai contoh, al- ilmu ini sebagai ilmu yang tidak matang dan
Zarkasyî dalam al-Burhân menghimpun tidak gosong (‘ilm lâ nadhija wa lâ`khta-
sebanyak 47 persoalan.Setelah itu, al- raqa). 5 Itu artinya, meski terkait dengan
Suyûthî menulis al-Itqân yang dimaksud- riwayat-riwayat yang diidentikkan dengan
kannya sebagai pengantar karya tafsirnya hanya dirujuk dan ditransmisikan, disiplin
yang monumental, Majma’ al-Bahrain wa ini masih terbuka bagi ide-ide baru.
Mathla’ al-Badrain2 dengan memuat 80 jenis Salah satu persoalan penting ‘ulûm al-
(nau’, genre) persoalan. 3 Namun, ia juga Qur`ân adalah Asbâb Al-Nuzûl (sebab-sebab
menulis al-Tahbîr fî ‘Ilm al-Tafsîr dengan turunnya ayat al-Qur`an). Penulis penting
mengembangkan 52 persoalan yang ilmu ini, al-Wâhidî (w. 468 H), 6 dalam
ditawarkan oleh al-Bulqînî, tokoh yang karyanya, Asbâb Al-Nuzûl, telah memberi
disebutnya sebagai peletak pertama disiplin peringatan bahwa persoalan Asbâb Al-Nuzûl
ini, dalam Mawâqi’ al-‘Ulûm menjadi adalah murni persoalan riwayat:
102persoalan. Di sini, ia menambah 50
persoalan, yang sebagian dianalogikannya
dari persoalan musthalah al-hadîts, karena
ilmu tafsir, menurutnya, sama halnya
dengan ilmu mushthalah al-hadîts. 4
Perkembangan tersebut menunjukkan “Tidak boleh (haram) mengatakan
terjadinya ijtihâd para ulama dalam berkaitan dengan sebab-sebab turunnya
menyusun ‘ulûm al-Qur`ân, sekaligus ayat al-Qur`an, kecuali dengan riwayat dari
orang-orang menyaksikan langsung
peristiwa pewahyuan dan mengetahui
1982). Karya ini dimulai dengan pengantar tentang sebab-sebab tersebut, meneliti ilmunya, dan
tanzîh dan akal, kemudian tujuh bagian bahasan,
sungguh-sungguh dalam mencari.”
yaitu: (1) keutamaan al-Qur`an, (2) fiqh al-Qur`ân,
(3) muhkam dan mutasyâbih, (4) penganuliran
(naskh), (5) kritik terhadap Mu’tazilah, (6) ayat-
ayat hukum yang teranulir dan yang menganulir,
5
dan (7) tentang gaya bahasa (uslûb) al-Qur`an. Sebagaimana dikutip dalam Khâlid bin ‘Utsmân
2
Al-Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân (Beirut: Dâr al-Sabt, Qawâ’id al-Tafsîr: Jam’an wa Dirâsatan
al-Fikr, t.th.), juz 1, h. 6. (Mesir: Dâr Ibn ‘Affân, 1421 H), juz 1, h. 2.
3 6
Diriwayatkan bahwa al-Suyûthî menulis al-Itqân Tentang al-Wâhidî dan peran pentingnya dalam
bertolak dari al-Burhân karya al-Zarkasyî.Lihat al- aliran tafsir di Nisapur (Nisabur), lihat Walid A.
Itqân, juz 1, h. 5-6.Meski begitu, al-Itqân memuat Saleh, “The Last of the Nishapuri School of Tafsir:
tambahan pembahasan yang tidak terdapat al-Wâhidî and His Significance in the History of
dalam al-Burhân. Lihat Haidar, ‘Ulûm al-Qur`ân bayna Quranic Exegesis”, dalam Journal of the American
al-Burhân wa al-Itqân. Oriental Society, vol. 126, no. 2 (2006), h. 1-21.
4 7
Lihat al-Suyûthî, al-Tahbîr fî ‘Ilm al-Tafsîr (Beirut: Dâr Al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl (Beirut: Dâr al-Kutub al-
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), h. 7-13. ‘Ilmiyyah, 2006), h. 6.

2 Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014


Kesinambungan dan Perubahan

Meski Asbâb Al-Nuzûl dianggap Di samping itu, para ulama berbeda


sebagai murni persoalan riwayat, ternyata dalam kadar tertentu dalam mendefinisikan
hal itu tidak menghalangi perkembangan Asbâb Al-Nuzûl. Hal ini berpengaruh pada
disiplin ini, setidaknya mungkin karena dua riwayat atau kejadian historis apa yang
alasan. Pertama, meski murni riwayat, tidak seharusnya dimasukkan ke dalam kategori
berarti bahwa dalam riwayat tidak ada Asbâb Al-Nuzûl. Al-Suyûthî, misalnya,
persoalan sama sekali. Riwayat menghadapi mengkritik al-Wâhidî yang memasukkan
persoalan validitas (kesahihan) riwayat. penyerangan Abrahah dari Yaman ke
Kedua, persoalan akses terhadap riwayat. Al- Makkah yang terjadi sebelum turunnya al-
Wâhidî mengklaim bahwa ia menulisnya Qur‘an sebagai sebab turunnya Sûrat al-Fîl.11
karyanya tersebut karena didorong banyak- Ironisnya, kesalahan yang sama juga
nya riwayat yang tidak shahîh.8 Akan tetapi, dilakukan oleh imam para mufassir, Ibn Jarîr
keshahihan riwayat-riwayat Asbâb Al-Nuzûl al-Thabarî, berkaitan dengan Asbab Al-
dalam karyanya tersebut kemudian juga Nuzûl Q.s. al-Baqarah: 114. 12 Memang,
dipersoalkan oleh penulis belakangan, al- sebagaimana dikatakan oleh Shubhî al-
Suyûthî, dalam Lubâb al-Nuqûl, terutama, Shâlih, karya-karya ulama generasi awal
misalnya, karena al-Wâhidî tidak merujuk banyak menghadapi kritik tajam, seperti
ke kitab-kitab mu’tabar. Merujuk ke kritik al-Suyûthî terhadap al-Wâhidî
sumber-sumber tersebut, menurut al- tersebut. 13
Suyûthî, lebih tepat daripada metode al- Persoalan-persoalan yang menggelayuti
Wâhidî dengan menyebut riwayat tanpa Asbâb Al-Nuzûl tersebut memicu
mengetahui mukharrij-nya. Di samping itu, perkembangan karya-karya di bidang ini.
sebagian riwayat yang dicantumkan oleh al- Sejak asbâb al-nuzûl pertama kali ditulis oleh
Wâhidî, menurut al-Suyûthî, adalah ‘Ikrimah (w. 107 H) dengan karyanya, Nuzûl
maqthû’. 9 al-Qur`ân, telah bermunculan karya-karya
Di samping persoalan riwayat, juga penting, seperti disebutkan di atas, dan
akses setiap ulama terhadap ulama berbeda karya-karya lain, seperti Nuzûl al-Qur`ân
kemampuannya. Ibn Jarîr al-Thabarî dalam karya al-Hasan al-Bashrî (w. 110 H), al-
tafsirnya, Jâmi’ al-Bayân, telah mengum- Qishash wa al-Asbâb allatî Nazala min
pulkan begitu banyak riwayat-riwayat tafsir Ajlihâ al-Qur`ân karya Abû Mutharrif al-
(ahâdîts al-tafsîr, exegetical hadîths) yang Andalusî (w. 402 H), Asmâ` Man Nazala
tersebar dari abad-abad pertama, termasuk Fîhim al-Qur`ân karya Ismâ’îl al-Naisâbûrî
riwayat Asbâb Al-Nuzûl, yang tidak al-Dharîr (w. 430 H), Kitâb Asbâb Nuzûl al-
diketahui oleh para ulama lain.10 Qur`ân karya Abû Ja’far al-Mazandarânî (w.
588 H),Kitâb Asbâb al-Nuzûl karya Ibn al-
Jawzî (w. 597 H), al-‘Ujâb fî Bayân al-Asbâb
karya Ibn Hajar al-‘Asqalânî (w. 852 H),
8
Al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl, h. 6. Asbâb Al-Nuzûl wa al-Qishash al-
9
Al-Suyûthî mengaku ada enam hal yang
Furqâniyyah karya Muhammad bin As’ad
membedakan karyanya, Lubâb al-Nuqûl, berbeda
dan lebih unggul daripada karya al-Wâhidî, Asbâb al-‘Irâqî (w. 667 H).14
Al-Nuzûl. Lihat lebih lanjut al-Suyûthî, Lubâb al-
Nuqûl fî Asbâb al-Nuzûl (Beirut: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, t.th.), h. 5-6. 11
Al-Suyûthî, Lubâb al-Nuqûl, h. 4.Lihat al-Wâhidî,
10
Riwayat-riwayat Asbâb Al-Nuzûl yang ada dalam Asbâb al-Nuzûl, h. 238-239.
kitab Jâmi’ al-Bayân karya al-Thabarî telah 12
Lihat kritik Shubhî al-Shâlih, dalam Mabâhits fî
dikompilasi, ditakhrîj, dan dikaji oleh Hasan ‘Ulûm al-Qur`ân (Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn,
Muhammad ‘Alî dalam disertasinya di Universi- 1988), h. 135-139.
tas Umm al-Qurâ, Makkah, pada 1998 dengan 13
Shubhî al-Shâlih, Mabâhits, h. 135-139.
judul “Asbâb al-Nuzûl al-Wâridah fî Jâmi’ al-Bayân li 14
Lihat Bassâm al-Jamal, Asbâb al-Nuzûl (Beirut dan
al-Imâm Ibn Jarîr al-Thabarî: Jam’an wa Takhrîjan wa al-Dâr al-Baidhâ‘/ Maroko: al-Markaz al-Tsaqâfî
Dirâsatan”. al-‘Arabî, al-Mu‘assasah al-‘Arabiyyah li al-Tahdîts

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014 3


Kesinambungan dan Perubahan

Di era kontemporer, juga muncul Muhammad ‘Alî,24 dan karya al-Shahîh min
sejumlah karya dan pemikiran tentang asbâb Asbâb al-Nuzûl karya ‘Ishâm bin ‘Abd al-
al-nuzûl. Di antara karya-karya tersebut Hamîd al-Humaidân.25
adalah Asbâb al-Nuzûl: Tahdîd Mafâhîm wa Di samping karya-karya kompilatif dan
Radd Syubuhât karya Muhammad Sâlim analitis, juga berkembang pemikiran yang
Abû ‘Âshî,15Asbâb al-Nuzûl ‘an al-Shahâbah mengkritik teori-teori klasik tentang asbâb
wa al-Mufassirîn karya ‘Abd al-Fattâh ‘Abd al-nuzûl dan yang membangun teori baru.
al-Ghanî al-Qâdhî, 16 Asbâb Al-Nuzûl al- Di antara karya-karya yang memiliki
Qur`ânî karya Ghâzî ‘Inâyah,17al-Shahîh al- kecenderungan seperti itu adalah karya-
Musnad min Asbâb al-Nuzûl karya Abû ‘Abd karya yang ditulis oleh Fazlur Rahman
al-Rahmân Muqbil bin Hâdî al-Wâdi’î,18 dalam Islam and Modernity, Nashr Hâmid
Ghâyat al-Ma`mûl fî al-Ta’lîqât ‘alâal- Abû Zayd dalam Mafhûm al-Nash:Dirâsah
Shahîh al-Musnad min Asbâb al-Nuzûl karya fî ‘Ulûm al-Qur`ân, Muhammad Sa’îd al-
Abû ‘Abdillâh ‘Utsmân al-Sâlimî al- ‘Asymâwî dalam Ushûl al-Syarî’ah, dan
‘Atmî,19al-Muharrar fî Asbâb Al-Nuzûl (Min Muhammad Syahrûr dalam al-Kitâb wa al-
Khilâl al-Kutub al-Tis’ah): Dirâsat al-Asbâb Qur`ân:Qirâ`ah Mu’âshirah.
Riwâyatan wa Dirâyatan karya Khâlid bin
Sebagai produk kesejarahan para
Sulaymân al-Muzaynî,20Asbâb al-Nuzûl wa
ulama, karya-karya tersebut tentu saja
Atsaruhâ fî Bayân al-Nushûsh: Dirâsah
merupakan hasil perkembangan sejarah
Muqâranah bayna Ushûl al-Tafsîr wa Ushûl
yang memiliki akar-akarnya (historical roots),
al-Fiqh karya ‘Imâd al-Dîn Muhammad al-
dan karena bersentuhan dengan berbagai
Rasyîd,21Tashîl al-Wushûl ilâ Ma’rifat Asbâb
konteks sosio-historis dan karena alasan
al-Nuzûl al-Jâmi’ bayna Riwâyât al-Thabarî
akademis, juga mengalami perubahan.
wa al-Naisâbûrî wa Ibn al-Jawzî wa al-
Perkembangan karya-karya tersebut
Qurthubî wa Ibn Katsîr wa al-Suyûthî karya
menunjukkan dinamika dalam kajian asbâb
Khâlid ‘Abd al-Rahmân al-‘Akk,22 Asbâb Al-
al-nuzûl, tidak hanya dalam bentuk karya-
Nuzûl Asânîduhâ wa Atsaruhâ fî Tafsîr al-
karya kompilasi riwayat-riwayat yang
Qur`ân al-Karîm karya Jumu’ah Sahl, 23
semakin beragam dan lengkap, melainkan
Asbâb Al-Nuzûl al-Wâridah fî Jâmi’ al-Bayân
juga dalam bentuk pendekatan baru yang
li al-Imâm Ibn Jarîr al-Thabarî: Jam’an wa
ditawarkan. Perkembangan tersebut
Takhrîjan wa Dirâsatan karya Hasan
memuat kesinambungan (continuity) dari
tradisi keilmuan yang sudah ada dan hingga
batas tertentu juga memuat unsur
al-Fikrî, 2005), h. 89-95. Lihat Andrew Rippin, “The
Exegetical Genre Asbâb al-Nuzûl: Bibliographical perubahan (change).
and Terminological Survey”, dalam Bulletin of the Penelitian ini mengambil kajian secara
School of Oriental and African Studies, Vol. 48, No. 1, khusus kepada dua orang pemikir kontem-
h. 1-15.
15
Cairo: Dâr al-Bashâ‘ir, 2002.
porer yang cukup konsern berbicara secara
16
Cairo: Dâr al-Salâm, 2003. analitik tentang ilmu-ilmu al-Qur’an dan
17
Beirut: Dâr al-Jîl, 1991. memberikan komentar yang kritis
18
Shan’a/Yaman: Dâr al-Âtsâr, 2009. terhadapnya, serta pada hal tertentu
19
Shan’a/Yaman: Maktabat Shan’â‘ al-Atsariyyah,
mengambil jalan yang bersebarangan
t.th..
20
Makkah: Dâr Ibn al-Jawzî, 1427 H. dengan pendapat dari para pemikir-pemikir
21
Damaskus: Dâr al-Syihâb, 1999. Karya ini semula sebelumnya. Kedua pemikir tersebut yaitu
adalah disertasi doktor yang diujikan tahun 1419
H di Universitas Damaskus.
22 24
Sebagaimana dikutip dalam al-Muzainî, al- Makkah: Universitas Umm al-Qurâ, 1998. Karya
Muharrar, juz 1, h. 43. ini adalah disertasi doktor di Umm al-Qurâ
23
Makkah: Universitas Umm al-Qurâ, 1982. Karya Makkah tahun 1998.
25
ini adalah disertasi doktor di Umm al-Qurâ Makkah: Mu‘assasat al-Rayyân dan Dâr al-
Makkah tahun 1982. Dzakhâ‘ir, 1999.

4 Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014


Kesinambungan dan Perubahan

Muhammad Syahrur dan Nasr Hamid Abu kontemporer terlahir dari modernitas (al-
Zayd. ‘ashriyah walladat al-hadâtsah). 26 Dengan
Atas dasar latar belakang masalah bahasa lain yang lebih lugas, bahwa
sebagaimana diuraikan, masalah dalam pe- kontemporer merupakan ‘anak kandung’
nelitian ini dirumuskan sebagai berikut:(1) dari modernitas.
Apa saja unsur pokok-pokok pemikiran Secara umum, pemikiran Arab
Muhammad Syahrûr dan Nasr Hamid Abu kontemporer tidak bisa dilepaskan dari
Zayd terkait dengan asbâb al-nuzûl? (2) Apa berbagai pandangan sekitar tradisi dan
saja unsur yang merupakan kesinambungan modernitas,27 serta sikap dan posisi yang
(continuitiy) dan perubahan (change) yang harus diambil terhadapnya.Tradisi atau
menjadi karakteristik penulisan Asbâb Al- turâts lazim dianggap sebagai kata kunci
Nuzûl oleh Muhammad Syahrûr dan Nasr (keyword) dalam memasuki ranah diskursus
Hamid Abu Zayd? pemikiran Arab kontemporer.Istilah ini
merupakan produk asli wacana Arab
kontemporer.Adapun modernitas atau al-
Pembahasan Dinamika Intelektual
hadâtsah, biasanya lebih ditujukan pada era
Pemikiran Arab Kontemporer
modern yang dilewati bangsa Arab sejak
Dalam diskusi seputar pemikiran Arab
dua abad yang lalu.
pasca kebangkitan (‘ashr al-nahdhah),
biasanya selalu dibedakan antara istilah Kebanyakan para pemikir Arab sendiri
modern dan kontemporer. Istilah modern menganggap waktu kontemporer
dan kontemporer merujuk kepada dua era (mu’âshirah) bermula dari kekalahan Arab
yang tidak mempunyai penggalan pasti. oleh Israel tahun 1967, yang karena
Kontemporer adalah kekinian atau kini, kekalahan itu, para pemikir Arab kemudian
sementara modern adalah kini yang sudah mencoba melakukan kritik diri dan refleksi
lewat tapi masih mempunyai citra modern. mendalam terhadap berbagai pemahaman
Karena tidak ada sifat permanen dalam dan keyakinan yang mereka anut serta cara
kekontemporeran, modern yang telah lewat pandang terhadap beberapa problema sosial
dari kekinian biasanya tidak lagi disebut budaya yang dihadapinya. Langkah perta-
kontemporer. ma yang dilakukan oleh para intelektual
Arab adalah menjelaskan sebab-sebab
Istilah modern-kontemporer dalam
kekalahan (tafsîr al-azmah) tersebut. Di
hubungannya dengan pemikiran Arab,
antara sebab yang paling signifikan adalah
biasanya merujuk kepada pemikiran Arab
modern sejak masa kebangkitan, diawali
dengan invasi Napoleon Bonaparte ke Mesir
26
tahun 1798, kemudian dalam berdirinya Lihat Qustantine Zurayq, “al-Nahj al-‘Ashri
Muhtawah wa Huwiyyatuh Ijâbiyyatuh wa
negeri-negeri independen dengan mengatas- Salbiyyatuh,” dalam al-Mustaqbal al-‘Arabi, No. 69,
namakan nasionalisme, dan sejak runtuh- Nopember 1984, h. 105.
nya kekhalifahan Utsmaniyyah di Istanbul, 27
Sejauh menyangkut tradisi dan modernitas, ada
sampai sekarang. Perbedaan yang jelas beberapa idiomatik atau istilah yang biasa
dipergunakan para pemikir Arab kontemporer,
antara yang modern dengan yang yaitu: al-turâts wa al-hadâtsah (Mohammed ‘Abid
kontemporer adalah bahwa yang pertama al- Jâbirî); al-turâts wa al-tajdîd (Hassan Hanafi); al-
merujuk kepada era modernisasi secara ashlah wa al-hadâtsah (A.H. Jidah); al-turâts wa al-
umum, sedangkan kontemporer merujuk mu’âshirah (A.D. Umari); dan dalam bentuk yang
kepada era sekarang atau yang berlaku kini. tidak konsisten dipergunakan juga al-qadîm wa al-
jadîd (Hassan Hanafi). Seluruh istilah yang disebut
Oleh karenanya kontemporer bisa dikata- ini memiliki arti arti tradisi dan modernitas dengan
kan adalah kelanjutan dari modernitas dan seluas-luas makna.Akan tetapi istilah turâts tetap
pada saat yang sama adalah modernitas itu lebih populer digunakan, bahkan seolah menjadi
sendiri. Menurut Qustantine Zurayq kata kunci dalam memasuki wacana pemikiran
Arab kontemporer.

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014 5


Kesinambungan dan Perubahan

masalah cara pandang orang Arab kepada Hanafî, Muhammad Imârah, Muhammad
budaya sendiri dan kepada capaian moder- Ahmad Khalafallâh, Hâsan Sa’ad, dan
nitas.28 Karena itu, pertanyaan yang mereka Muhammad Nuwayhi; (2). Para pemikir
ajukan adalah; bagaimana seharusnya sikap yang memiliki kecenderungan penggunaan
bangsa Arab dalam menghadapi tantangan metode dekonstruktif. Para pemikir
modernitas dan tuntutan tradisi? dekonstruktif umumnya dipengaruhi oleh
Berkenaan dengan pandangan- gerakan post-strukturalis Perancis dan
pandangan para pemikir Arab kontemporer beberapa tokoh post-modernisme lainnya,
terhadap tradisi dan modernitas serta sikap seperti Levi-Strauss, Lacan, Barthes, Fou-
dan posisi yang mereka ambil, secara umum cault, Derrida, dan Gadamer. Pemikir garda
setidaknya ada tiga tipologi besar pemikiran depan kelompok ini, yaitu Muhammad
yang mewarnai dinamika pemikiran Arab Arkoun dan Muhammad ‘Abid al-Jâbirî.
kontemporer.29 Pada prinsipnya kedua kecenderungan
Pertama, tipologi transformatik. dari tipologi reformistik ini mempunyai
Tipologi ini mewakili para pemikir Arab tujuan dan cita-cita yang relatif sama, hanya
kontemporer yang secara radikal menga- saja dalam aplikasinya, metode
jukan proses transformasi masyarakat Arab- penyampaian dan treatment of the problem
Muslim dari budaya tradisional-patriarkal mereka berbeda. Tradisi atau turâts bagi
kepada masyarakat rasional ilmiah. Mereka kelompok reformistik ini tetap relevan
menolak cara pandang agama dan kecende- untuk era modern selama ia dibaca,
rungan mistis yang tidak berdasarkan nalar diinterpretasi, dan dipahami dengan standar
praktis, serta menganggap agama dan tradisi modernitas.
masa lalu sudah tidak relevan lagi dengan Ketiga, tipologi ideal-totalistik. Ciri
tuntutan zaman sekarang. Karena itu, harus utama tipologi ini adalah sikap dan
ditinggalkan. Para pemikir Arab seperti pandangan idealis terhadap ajaran Islam
Thayyîb Tayzini, ‘Abdullâh Laroui, Mahdî yang bersifat totalistik. Kelompok ini sangat
‘Amîl, Fuâd Zakâriyya, Zâkî Nadjîb committed dengan aspek religius budaya Is-
Mahmûd, ‘Adil Daher, dan Qunstantine lam. Proyek peradaban yang hendak
Zurayq, memiliki kecenderungan sebagai mereka garap adalah menghidupkan
representasi tipologi ini dalam karya-karya kembali Islam sebagai agama, budaya, dan
mereka. peradaban. Mereka menolak unsur-unsur
Kedua, tipologi reformistik.Tipologi ini asing yang datang dari Barat, karena Islam
mewakili kelompok pemikir Arab yang sendiri sudah cukup, mencakup tatanan
menghendaki reformasi dengan penafsiran- sosial, politik, dan ekonomi. Para pemikir
penafsiran baru yang lebih hidup dan lebih yang mempunyai kecenderungan berpikir
cocok dengan tuntutan zaman. Pada ideal-totalistik adalah para pemikir seperti
kelompok ini ada dua kecenderungan lagi, Muhammad Ghâzali, Sayyid Quthb, Anwar
yakni: (1). Para pemikir yang menggunakan Jundî, Muhammad Quthb, Sa’id Hawwâ,
pendekatan rekonstruktif, yaitu melihat dan beberapa pemikir Muslim yang
tradisi dengan perspektif pembangunan berorientasi pada gerakan politik Islam.
kembali. Kecenderungan ini misalnya bisa Ketiga tipologi yang dikemukakan di
dilihat pada para pemikir seperti Hâsan atas, serta tokoh-tokoh yang merupakan
representasi dari masing-masing tipologi itu,
tidaklah bisa dilihat secara kaku, hitam di
28
atas putih, karena adakalanya seorang tokoh
Lihat A. Luthfi Assyaukanie, “Tipologi dan
Wacana Pemikiran Arab Kontemporer,” dalam
memiliki kecenderungan pada lebih dari
jurnal Paramadina, Vo. I, No. 1, Juli-Desember 1998, satu tipologi. Namun, secara umum
h. 60-62. konstelasi pemikiran Arab kontemporer,
29
Assyaukanie, “Tipologi dan Wacana, h. 63-65. bisa dijelaskan dalam bentuk tipologi ini.

6 Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014


Kesinambungan dan Perubahan

Pemikiran Muhammad Syahrur pengetahuan ilmiah modern, menyiratkan


Seputar Asbâb Al-Nuzûl bahwa Syahrûr pun cocok pada tipologi
Biografi dan Kecenderungan Pemikiran reformistik. 31 Sedangkan semangat dia
Muhammad Syahrur untuk kembali pada al-Tanzîl sebagai
Muhammad Syahrûr adalah satu dari sumber inspirasi terkuat dalam aktivitas
sekian tokoh intelektual Arab kontemporer, keagamaan dan bermasyarakat, nampaknya
berkebangsaan Syria, yang sedikit banyak bisa menempatkan dia pada kelompok
turut mewarnai dinamika pemikiran Arab ideal-totalistik.32
kontemporer. Namun, cukup sulit untuk Syahrûr sendiri memetakan kecende-
meletakkan posisi Syahrûr pada salah satu rungan pandangan para pemikir Arab
dari ketiga tipologi kecenderungan kontemporer dalam melihat turâts pada dua
pemikiran Arab kontemporer yang telah kelompok utama, yaitu skripturalis-literalis
dikemukakan di atas. Kesulitan ini, karena dan sekularisme-modernisme. Pertama,
pemikiran Syahrûr memiliki nuansa kelompok skripturalis-literalis, yang
kekhasan tersendiri. menurut Syahrûr, sangat ketat dan kaku
Secara selintasan, Syahrûr nampaknya berpegang pada warisan masa lalunya.
bisa dikategorikan pada posisi tipologi yang Khazanah yang telah mereka warisi dari para
pertama, yaitu kelompok yang cenderung pendahulunya dianggap memiliki tingkat
menolak turâts. Hal ini bisa dilihat dari kebenaran yang ‘absolut’. Oleh karenanya,
pernyataan Syahrûr, bahwa dengan menghadirkan masa lalu untuk menyelesai-
pengecualian al-Tanzîl (al-Qur ’ân), maka kan problem saat ini, merupakan sesuatu
semua teks dan literatur agama adalah tidak
lain daripada sebuah warisan, yang mewakili 31
Syahrûr memandang bahwa pada dasarnya al-
pemahaman manusia mengenai wahyu Qur’ân (al-Tanzîl) dan alam semesta ini memiliki
Tuhan di dalam kondisi waktu dan tempat posisi yang sejajar.Menurutnya, jika Tuhan
menciptakan alam semesta, maka kita harus
dari lahirnya pemahaman manusia tersebut. melihatnya pula dalam kitab suci. Artinya, kitab
Kondisi waktu dan tempat ini juga suci ini adalah “kitab tertulis” yang diciptakan oleh
bergantung kepada posisi dan cara dari Tuhan, dan alam semesta adalah “kitab terbuka”
pengetahuan ilmiah. Dan warisan tradisional yang diciptakan oleh Tuhan juga. Jadi pesannya
pun pasti sama. Lebih lanjut, apabila kedua kitab
menurut Syahrûr tidak bisa dipercaya
itu dari Tuhan, maka Tuhan bisa dilihat pada
untuk bisa memberikan sebuah pemaha- keduanya.Lebih lanjut, menurut Syahrûr, manusia
man yang tepat mengenai pesan ketuhanan, tidak bisa mengabaikan elektronik dalam
setidak-tidaknya untuk sekarang ini. Oleh kehidupan, meskipun tidak didapati konsep
karenanya, umat Islam saat ini tidak perlu elektron dalam Qur’an, dan ini harus dijadikan
sebagai bahan pertimbangan. Lihat Muhammad
meminjam kacamata yang lain untuk Syahrûr, “Kita Tidak Memerlukan Hadis”,
melihat realitas sendiri atau untuk meme- wawancara dengan majalah Ummat, No. 4 Thn.
cahkan permasalahan mereka sekarang. IV, 3 Agustus 1998/9 Rabiul Akhir 1419 H.
32
Tapi ini tidak berarti bahwa kaum Muslimin Pemikiran ideal totalistik ini bisa dilihat dari
pandangan yang dikemukakan Syahrûr dalam
harus merasa ‘malu’ karena sejarah dan
melihat al-Tanzîl yang menurutnya, ditujukan
identitas mereka sendiri.Apa yang menjadi untuk seluruh umat manusia, dan bukan hanya
warisan para pendahulu adalah akar, sejarah untuk bangsa Arab, dan memiliki kemampuan
dan identitas umat Islam.30 untuk cocok dengan kebudayaan manusia yang
manapun, pada tingkatan apapun. Al-Tanzîl bagi
Meski demikian, apresiasi dia untuk Syahrûr adalah teks ketuhanan yang telah
melihat al-Tanzîl dalam perspektif diberikan kepada Muhammad, dan semua Mus-
lim menurutnya berkewajiban untuk memahami
warisan ini dan melaksanakan perintahnya,
30
Lihat Muhammad Syahrûr, “Teks Ketuhanan dan seolah-olah Muhammad baru meninggal
Pluralisme pada Masyarakat Muslim” kemarin.Lihat Muhammad Syahrûr, “The Divine
penerjemah Mohamad Zaki Hussein, dalam Text and Pluralism in Muslim Societies”, dalam
www.media.isnet.org. www.19.org.

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014 7


Kesinambungan dan Perubahan

yang niscaya dan hal yang sangat didam- dan modernitas, Syahrûr juga mempunyai
bakan. Kedua, kelompok yang menyerukan pandangan tersendiri tentang dua hal
sekularisme dan modernitas, dan secara ini.Kaitannya dengan turâts, Syahrûr lebih
apriori menolak warisan Islam.Pemimpin memaknainya sebagai produk kesung-
kelompok ini adalah kaum Marxis, Komu- guhan manusia terdahulu dalam realitas
nis, dan beberapa kelompok pengagum sejarahnya yang ditinggalkan untuk
Nasionalisme Arab.Dalam kenyataannya, manusia kemudian (khalaf). Sedangkan al-
kelompok ini gagal memenuhi janjinya mu’âshirah merupakan interaksi manusia
untuk menyediakan modernitas bagi dengan produk pemikiran kontemporer
masyarakatnya, mengingat ungkap yang juga dihasilkan manusia.35 Dalam hal
Syahrûr, persoalan Arab saat ini bukanlah ini, umat Islam harus mampu mengadopsi
sekularisme atau modernitas, melainkan perkembangan-perkembangan pengeta-
demokrasi.Dengan demokrasi diandaikan huan kontemporer, sehingga mereka tidak
tercipta ruang publik (public sphere) yang lagi terjebak dalam pengulangan-pengula-
bebas bagi munculnya bursa gagasan dan ngan kembali pengetahuan masa lalu.36
dengan demikian menghargai pluralitas.33 Syahrûr mengatakan bahwa interpre-
Syahrûr, dalam upayanya menengahi tasi generasi awal Islam tidak mengikat
dua kecenderungan di atas, menawarkan generasi sekarang, karena memang
satu model lagi, sebagai kelompok ketiga, interpretasi itu adalah produk manusia yang
yaitu apa yang disebut sebagai upaya untuk terikat ruang dan waktu. Adanya sakralisasi
kembali kepada al-Tanzîl, yaitu teks asli dalam tradisi pemikiran masa lalu sangatlah
dari wahyu Tuhan yang disampaikan tidak relevan, dan ini merupakan satu
kepada Nabi. Kembali kepada al-Tanzîl kesalahan dalam memahami hakikat turâts,
menurut Syahrûr adalah upaya membaca di samping adanya keengganan untuk
kitab suci dengan perangkat epistemologi berinteraksi dengan pemikiran kontem-
yang diturunkan dari teks suci.34 porer.
Berkenaan dengan kecenderungan Berkenaan dengan turâts, menarik
pemikiran Arab kontemporer sekitar tradisi untuk dikemukakan, apakah fenomena al-
Kitâb termasuk turâts atau bukan?Syahrûr
melihat ini sebagai persoalan yang cukup
33
Muhammad Syahrûr, “The Divine Text and Plu- dilematis. Seandainya dianggap sebagai
ralism. turâts, maka berarti al-Kitâb merupakan
34
Secara garis besar bisa dikatakan dalam mengkaji
karya Muhammad dan hanya bersifat
ayat-ayat al-Qur ’ân, Syahrûr menggunakan
pendekatan filsafat bahasa, dalam arti bahwa dia partikular yang terikat dengan konteks Arab
meneliti secara mendalam kata-kata kunci yang pada masa abad ketujuh serta beberapa
terdapat dalam ayat-ayat al-Qur ’ân yang abad sesudahnya. Dengan demikian, bisa
berkaitan dengan setiap topik bahasan, baik dipastikan tidak relevan lagi dengan situasi
melalui pendekatan sintagmatis maupun paradig-
matik. Pendekatan sintagmatis memandang
dan kondisi manusia modern pada abad ke-
makna setiap kata pasti dipengaruhi oleh kata- 20. Padahal sebagaimana dinyatakan dan
kata sebelum dan sesudahnya yang terdapat diyakini oleh kaum Muslimin, bahwa al-
dalam satu rangkaian ujaran.Dengan pendekatan Kitâb adalah wahyu dari Allah yang bersifat
ini, suatu konsep terma keagamaan tertentu bisa
dideteksi dengan memahami kata-kata
disekeliling terma tersebut.Adapun pendekatan
35
paradigmatik memandang bahwa suatu konsep Lihat Muhammad Syahrûr, 1990, al-Kitâb wa al-
terma tertentu tidak bisa dipahami secara Qur’ân: Qirâ’ah Mu’âshirah, (Damaskus: al-Ahâly
komprehensif, kecuali apabila konsep tersebut Lithibâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî’), h. 32.
36
dihubungkan dengan terma-terma lain, baik yang Lihat Muhammad In’am Esha, “Konstruksi
antonim maupun yang berdekatan maknanya. Historis Metodologis Pemikiran Muhammad
Lihat Sahiran Syamsuddin, “Book Review-1,” Shahrur”, dalam jurnal Al-Huda, Vol. 2, No. 4, 2001,
dalam Al Jami’ah, No. 62/XII/1998, h. 220-221. h. 128.

8 Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014


Kesinambungan dan Perubahan

universal dan akan senantiasa tetap relavan karir intelektualnya pada pendidikan dasar
pada setiap perputaran waktu dan dan menengah di tanah kelahirannya,
perubahan tempat (shâlihun li kulli zamânin tepatnya di lembaga pendidikan Abdurrah-
wa makânin). 37 man al-Kawâkibi, Damaskus. Pendidikan
Al-Kitâb dengan demikian, menurut menengahnya dirampungkan pada tahun
Syahrûr bukan termasuk pada kategori 1957, dan segera setelah menuntaskan pen-
turâts, dalam arti bahwa ia bukanlah hasil didikan menengahnya, Syahrûr melanjut-
cipta rasa atau kejeniusan seorang manusia kan studinya ke Moskow, Uni Soviet
melainkan diwahyukan dari Allah. Oleh (sekarang Rusia) untuk mempelajari teknik
karenanya, ada beberapa karakteristik yang sipil (handasah madaniyah) atas beasiswa
senantiasa melekat padanya, yaitu: (1). pemerintah setempat. 40 Di negara inilah,
Terdapat dimensi kemutlakan di dalamnya, Syahrûr mulai berkenalan dan kemudian
yakni dalam konteks isi, karena ia mengagumi pemikiran Marxisme, sungguh
diturunkan oleh Zat yang Maha Mutlak; (2). pun ia tidak mendakwa sebagai penganut
Allah tidak punya kepentingan untuk aliran tersebut. Namun demikian, sebagai-
mengetahui atau memberi petunjuk diri- mana dikemukakannya pada Peter Clark,
Nya, sehingga al-Kitâb lebih pada sebagai ia mengakui banyak berhutang budi pada
petunjuk bagi manusia yang mengandung sosok Hegel dan Alfred North Whitehead.41
relativisme pemahaman manusia; dan (3). Gelar diploma dalam bidang teknik sipil
Al-Kitâb harus disampaikan melalui bahasa tersebut, ia raih pada tahun 1964.
manusia, sebab pemikiran manusia terikat Setelah meraih gelar diploma, pada
dengan bahasa, walaupun pada fase tahun 1964, Syahrûr kembali ke Syria untuk
berikutnya ternyata mengandung karakter mengabdikan dirinya sebagai dosen pada
kemutlakan ilahi dalam konteks isi dan Fakultas Teknik di Universitas Damaskus.
sekaligus relativitas manusia dalam Pada tahun itu pula, Syahrûr kembali
pemahaman isinya.38 melanjutkan studi ke Irlandia, tepatnya di
Muhammad Syahrûr adalah seorang University College, Dublin dalam bidang
insinyur yang dilahirkan di Damaskus, Syria yang sama. Pada tahun 1967, Syahrûr
pada tanggal 11 April 1938.39 Dia mengawali berhak untuk melakukan penelitian pada
imperial College, London. Pada bulan Juni
tahun itu, terjadilah perang antara Inggris
37
Lihat Syahrûr, 1990, op.cit., h. 35. dan Syria yang mengakibatkan renggangnya
38
Berdasarkan teori ini, Syahrûr memahami bahwa hubungan diplomatik antara dua negara
al-Kitâb memiliki dimensi kemutlakan transenden
dan sekaligus dimensi kenisbian profan. Dimensi
kemutlakan transenden menjadikan al- Kitâb
bersifat shâlihun li kulli zamânin wa makânin dan tidak ayat Jender dalam al-Qur’ân,” Skripsi, Fakultas
berubah. Ia bersifat universal dan senantiasa Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001,
dipelihara oleh Allah sebagaimana disebut pada h. 18; M. Aunul Abied Syah dan Hakim Taufik,
Q.S. 15: 9 dan 21: 107. Sedangkan dialektika “Tafsir Ayat-ayat Gender dalam al-Qur ’ân:
pemaknaan dan penafsiran manusia setiap kurun Tinjauan Terhadap Pemikiran Muhammad
dan tempat tertentu terhadap al-Kitab merupakan Syahrûr dalam Bacaan Kontemporer,” dalam M.
dimensi nisbi profannya. Lihat kembali Syahrûr, Aunul Abied Shah et al (ed.), 2001, Islam Garda
1990, al-Kitâb wa al-Qur’ân,ibid., h. 36; lihat juga Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah,
Muhammad In’am Esha, op.cit., hal. 129 (Bandung: Mizan), h. 237; Ahmad Fawaid Sjadzili,
39
Beberapa pengkaji Syahrûr ada yang secara “M. Shahrur: Figur Fenomenal dari Syria,” dalam
keliru dalam menuliskan bulan kelahiran Syahrûr www.islib.com.
40
pada Maret dan bukannya April. Ini misalnya bisa Lihat Syahrûr, 1990, Al-Kitâb wa Al-Qur’ân, op.cit.,
dilihat pada Mashadin, “Rekonsepsi Muhkam dan h. 823.
41
Mutasyabbih: Telaah Kritis Pemikiran Muhammad Peter Clark, “The Shahrur Phenomenon: a Lib-
Syahrûr,” Skripsi, Fakultas Ushuluddin IAIN eral Islamic Voice from Syria”, dalam Islam and
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001, h. 36; Siti Rohah, Christian-Muslim Relations, Vol. 7, No. 3, 1996, h.
“Pemikiran Muhammad Syahrûr tentang Ayat- 337.

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014 9


Kesinambungan dan Perubahan

tersebut, namun hal tersebut tidak meng- Tahap pertama: 1970-1980. Masa ini
hambatnya untuk segera menyelesaikan diawali ketika ia berada di Universitas
studinya. Terbukti ia segera berangkat Dublin. Masa ini merupakan masa pengka-
kembali ke Dublin untuk menyelesaikan jian (murâja’ât) serta peletakan dasar awal
program master dan doktoralnya di bidang metodologi pemahaman al-Dzikr, al-Kitâb,
mekanika pertanahan (soil mechanics) dan al-Risâlah dan al-Nubuwwah dan sejumlah
teknik bangunan (foundation engineering). kata kunci lainnya.43
Gelar doktornya diperoleh pada tahun 1972. Tahap kedua: 1980-1986. Masa ini
Selanjutnya Syahrûr secara resmi menjadi merupakan masa yang penting dalam
staf pengajar di Universitas Damaskus pembentukan “kesadaran linguistik”nya
hingga sekarang.42 dalam pembacaan kitab suci. Pada masa ini
Di samping posisinya sebagai dosen, ia berjumpa dengan teman se almama-
sebenarnya Syahrûr juga menjadi konsultan ternya, Ja’far Dek al-Bâb, yang menekuni
teknik. Pada tahun 1982-1983, ia dikirim ilmu linguistik di Universitas Moskow.
pihak universitas untuk menjadi staf ahli Melalui Dek al-Bâb itulah, Syahrûr banyak
pada al-Saud Consult, Saudi Arabia. Selain diperkenalkan dengan pemikiran linguis
itu, bersama beberapa rekannya di Fakultas, Arab semisal al-Farra’, Abû Alî al-Fârisi, Ibn
Syahrûr membuka biro konsultan teknik Jinnî, serta al-Jurjâni. Melalui tokoh-tokoh
(an engineering consultancy dâr al-istisyârat tersebut, Syahrûr memperoleh tesis tentang
al-handasiyah) di Damaskus. tidak adanya sinonimitas (‘adamu al-
Meski disiplin utama keilmuannya tarâduf) dalam bahasa.Sejak tahun 1984,
pada bidang teknik, namun itu tidak Syahrûr mulai menulis pikiran-pikiran
menghalanginya untuk mendalami disiplin penting yang diambil dari ayat-ayat yang
yang lain semisal filsafat. Ini terjadi, tertuang dalam kitab suci. Melalui diskusi
terutama setelah pertemuannya dengan bersama Dek al-Bâb, Syahrûr berhasil
Ja’far Dek al-Bâb, rekan sealmamater di mengumpulkan hasil pikirannya yang
Syria dan teman seprofesi di Universitas masih terpisah-pisah.44
Damaskus. Kontaknya itu, telah memberi Tahap ketiga: 1986-1990. Syahrûr mulai
arti yang cukup berarti dalam pemikiran- mengumpulkan hasil pemikirannya yang
nya, yang kemudian tertuang dalam karya masih berserakan. Hingga tahun 1987,
monumentalnya, yaitu al-Kitâb wa al- Syahrûr telah berhasil merampungkan
Qur’ân: Qira’âh Mu’âshirah. bagian pertama yang berisi gagasan-gagasan
Sebagaimana diakuinya, buku tersebut dasarnya. Segera setelah itu, bersama Dek
disusun selama kurang lebih dua puluh al-Bâb, Syahrûr menyusun “hukum
tahun, tepatnya mulai tahun 1970-1990. dialektika umum” (qawânîn al-jadal al-‘âm)
Dalam pengantar buku tersebut, Syahrûr yang dibahas di bagian kedua buku
menjelaskan proses penyusunan buku tersebut.45
tersebut, sekaligus sejauh mana pengaruh Pada tahun 1990, cetakan pertama
rekannya Ja’far Dek al-Bâb dalam peru- buku ini diterbitkan. Buku tersebut, untuk
musan metodologi yang ia tawarkan dalam pertama kali diterbitkan oleh al-Ahali Pub-
buku tersebut. Menurutnya ada tiga lishing House, Damaskus dan mengalami
tahapan yang dilaluinya dalam penyusunan sukses luar biasa dan dinilai sebagai salah
karyanya tersebut, yakni: satu buku terlaris (bestseller) di Timur

42 43
Lihat Syahrûr, 1990, al-Kitâb wa al-Qur’ân,op.cit., hal. Lihat Syahrûr, 1990, al-Kitâb wa al-Qur’ân,op.cit., h.
823; lihat juga Charles Kurzman (ed.), 1989, Liberal 46.
44
Islam: A Sourcebook, (New York-Oxford: Oxford Ibid., h. 47.
45
University Press), h. 139. Ibid., h. 48.

10 Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014


Kesinambungan dan Perubahan

Tengah. Terbukti, buku tersebut mengala- poligami, mas kawin, dan busana
mi cetak ulang dari kurang lebih 20.000 perempuan.49
eksemplar buku yang telah terjual hanya Selain karyanya yang berbentuk buku,
untuk kawasan Syria saja.Bahkan, versi Syahrûr juga banyak menulis artikel yang
bajakan dan foto copy banyak beredar di lebih pendek di beberapa majalah dan
banyak negara semisal Lebanon, Yordania, jurnal, seperti “Islam and the 1995 Beijing
Mesir, Jazirah Arab.46 World Conference on Women,” dalam Ku-
Pada tahun 1994, al-Ahali Publishing waiti Newspaper, yang kemudian diterbitkan
House kembali menerbitkan karya kedua dalam buku Liberal Islam: a Sourcebook
Syahrûr, yaitu “Dirâsât al-Islâmiyât al- (1998); kemudian “The Devine Text and Plu-
Mu’âshirah fi al-Dawlah wa al-Mujtama’.” ralism in Muslim Societies,” dalam Muslim
Buku ini secara spesifik menguraikan tema- Politic Report”, “Mitsâq al-‘Amal al-Islamy”
tema sosial politik yang terkait dengan (1999) yang juga diterbitkan oleh al-Ahali
persoalan warga negara (civil) maupun Publishing House. Dalam edisi Bahasa
negara (state). Secara konsisten, Syahrûr Inggris, buku tersebut diterjemah oleh Dale
menguraikan tema-tema tersebut dengan F. Eickelman dan Ismail S. Abu Shehadeh
senantiasa terikat pada tawaran rumusan dengan judul “Proposal For an Islamic Cov-
teoritis sebagaimana termaktub dalam buku enant” (2000). Selain itu, ia juga sering
pertamanya.47 mempresentasikan pokok-pokok pikiran-
Pada tahun 1996, Syahrûr mengeluar- nya tentang al-Qur’ân kaitannya dengan
kan karyanya dengan tajuk “al-Islâm wa al- masalah-masalah sosial dan politik, seperti
Imân: Manzhûmah al-Qiyâm,” dengan hak-hak wanita, pluralisme dalam banyak
penerbit yang sama. Buku ini mencoba konferensi internasional.50
mendekonstruksi konsep klasik mengenai
pengertian dan pilar-pilar (arkân) Islam dan Metodologi Pemikiran Syahrûr
Iman. Tentunya, kajian-kajiannya diarahkan Latar pendidikan dalam bidang sains
pada penelaahan terhadap ayat-ayat yang yang dimiliki Syahrûr ternyata memiliki
termaktub dalam kitab suci dengan pengaruh kuat, yang membuatnya
senantiasa ‘setia’ pada rumusan teoritis yang senantiasa mengedepankan sifat-sifat
ia bangun.48 empiris, rasional, dan ilmiah. Secara
Selain itu pada tahun 2000, dengan sederhana bisa dijelaskan bahwa metode
penerbit yang tetap sama, Syahrûr yang digunakan Syahrûr adalah analisis
melahirkan lagi karyanya yang berjudul kebahasaan (linguistic analysis) yang
“Nahwa Ushûl Jadîdah Li al-Fiqh al-Islâmy: mencakup kata dalam sebuah teks dan
Fiqh al-Mar’ah.” Sesuai dengan judul buku struktur bahasa, yang disebutnya metode
ini, secara spesifik Syahrûr mengangkat historis ilmiah studi bahasa (al-manhaj al-
tema-tema yang berhubungan dengan târikhy al-ilmy fi al-dirâsah al-lughawiyyah).
perempuan, yaitu wasiat dan harta warisan, Bahwa makna kata dicari dengan mengana-
lisis kaitan atau relasi suatu kata dengan kata
46
lain yang berdekatan atau berlawanan. Kata
Peter Clark, op.cit.,hal. 337; lihat juga Dale F.
Eickelman, “Islamic Liberalism Strikes Back,”
dalam Middle East Studies Association Bulletin 27, 1
49
Desemeber 1993, h. 163. Lebih lanjut, lihat Muhammad Syahrûr,
47
Lebih lanjut, lihat Muhammad Syahrûr, 1994, 2000,Nahwa Ushûl Jadîdah Li al-Fiqh al-Islâmy: Fiqh
Dirâsât al-Islâmiyât al-Mu’âshirah fi al-Dawlah wa al- al-Mar’ah, (Damaskus: Al-Ahâly Lithibâ’ah wa al-
Mujtama’, (Damaskus: Al-Ahâly Lithibâ’ah wa al- Nasyr wa al-Tauzî).
50
Nasyr wa al-Tauzî). Lihat Sahirun Syamsuddin, “Konsep Wahyu Al-
48
Lebih lanjut, lihat Muhammad Syahrûr, 1996, al- Qur ’ân Dalam Perspektif M. Syahrûr,” dalam
Islâm wa al-Imân: Manzhûmah al-Qiyâm, (Damaskus: jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’ân dan Hadis Vol. 1, No.
Al-Ahâly Lithibâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî). 1 Juli 2000, hal. 48.

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014 11


Kesinambungan dan Perubahan

tidak mempunyai sinonim (murâdif). Setiap matis, yaitu memandang makna setiap kata
kata memiliki kekhususan makna, bahkan pasti dipengaruhi oleh kata-kata sebelum
bisa memiliki lebih dari satu makna. Penen- dan sesudahnya yang terdapat dalam satu
tuan makna yang tepat sangat bergantung rangkaian ujaran.Dengan pendekatan ini,
pada konteks logis kata tersebut dalam suatu suatu konsep terma keagamaan tertentu
kalimat (shiyâgh al-kalâm). Dengan kata bisa dideteksi dengan memahami kata-kata
lain, makna kata senantiasa dipengaruhi disekeliling terma tersebut.55
oleh hubungan secara linear dengan kata-
kata yang ada di sekelilingnya.51
Pemikiran Syahrûr tentang Asbâb an
Dengan bahasa yang sedikit berbeda, Nuzûl
bisa dikatakan bahwa Syahrûr dalam Syahrûr ketika berbicara seputar status
mengkaji ayat-ayat al-Qur’ân menggunakan Asbâb An-Nuzûl banyak mengkaitkannya
pendekatan filsafat bahasa, 52 dalam arti dengan persoalan nâsikh wa al-mansûkh.
bahwa dia meneliti secara mendalam kata- Menurutnya kedua ilmu ini dalam bidang
kata kunci yang terdapat pada setiap topik kajian ilmu-ilmu Alquran saling bertalian
bahasan, baik melalui pendekatan dan status keberadaan keduanya pada situasi
paradigmatik dan sintagmatis.53 Pendekatan yang serupa, yakni pada situasi yang
paradigmatik memandang bahwa suatu mendesak, karena ahli-ahli hadis tidak
konsep terma tertentu tidak bisa dipahami sepakat bahwa Rasulullah memberikan
secara komprehensif, kecuali apabila konsep isyarat tentang kedua ilmu tersebut atau
tersebut dihubungkan dengan konsep memerintahkan untuk menyusun keduanya
terma-terma lain, baik yang antonim baik secara eksplisit maupun implisit. Bagi
(berlawanan) maupun yang berdekatan Syahrûr keberadaan kedua ilmu ini dalam
maknanya.54 Sedangkan pendekatan sintag- ilmu-ilmu Alquran penting untuk dikritisi
karena meniscayakan konsekuensi tertentu
51
Ibid., h. 196. yang ‘berbahaya’ terhadap status sakralitas
52
Pendekatan kebahasaan yang dilakukannya ini Alquran itu sendiri.
tercermin jelas pada seluruh bagian
pembahasannya.Di antara pokok pemikiran yang
Sebagai bahan untuk menganalisis sta-
berkenaan dengan pendekatannya, yaitu tus ilmu Asbâb Al Nuzûl, Syahrûr menyebut
usahanya untuk meluruskan persepsi umum dua orang pemikir utama generasi awal
tentang keistimewaan bahasa Arab dengan yang berbicara secara khusus tentang ilmu
mendasarkan pada metode bahasa Abû Alî al-
ini, yakni Imam Jalaluddin As-Suyûthî dan
Fârisi yang ditampilkan oleh ibn Jinnî dan Abd al-
Qâhir al-Jurjâni.Berdasarkan kajiannya terhadap Imam Abu Hasan Ali Ibnu Ahmad al Wahidi
metode bahasa (al-manhaj al-lughawi) dari ketiga an-Naisaburi. Bagi Syahûr, meski ada
tokoh ini, Syahrûr menemukan adanya kekeliruan banyak ulama salaf menulis dan menyusun
persepsi umum yang menyatakan bahwa kitab tentang asbâb an Nuzûl, tetapi hanya
keistimewaan bahasa Arab terletak pada
kekayaan padanan kata (sinonim, tarâduf).Yang
merupakan bagian kecil dari kitab-kitab
benar, menurut Syahrûr, justeru sebaliknya, yakni mereka, tidak seperti yang dilakukan oleh
satu kata dalam bahasa ini memiliki kekayaan dua pemikir yang telah disebutkan di atas.
makna. Lihat Amin Abdullah, “Paradigma
Alternatif,” dalam Ainurrofiq (ed), 2002, op.cit., h.
131.
53
Lihat Sahiron Syamsuddin, “Metode hubungan unsur-unsur bahasa di tingkat tertentu
Intratekstualitas Muhammad Shahrur dalam dengan unsur-unsur lain di luar tingkat itu yang
Penafsiran al-Qur’an”, dalam Abdul Mustaqim dapat dipertukarkan. Lihat Tim Penyusun Kamus
dan Sahiron Syamsuddin (ed), 2002, Studi Al-Qur’an Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana), h. 138. 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
54
Lihat Grant R. Orsbone, 1991, The Hermeneutical Pustaka), h. 729.
55
Spiral, (Illinois: Intervarsity Press), h. 84-87. Lihat juga Syamsudin, “Book Review Al Kitâb wa
Bandingkan dengan penjelasan pada Kamus Besar al-Qur’ân: Qirâ’ah Mu’âshirah”, dalam jurnal Al
Bahasa Indonesia, bahwa paradigmatis, yaitu Jami’ah, No. 62/XII/1998, h. 220-221.

12 Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014


Kesinambungan dan Perubahan

Mengutip pernyataan As-Suyûthî bahwa bersumber dari salah satu sahabat atau
kitab yang paling terkenal dalam bidang tabi’in. Menurutnya, tidak ditemukan dari
Asbâb Al-Nuzûl saat adalah kitab Al-Wahidi, bacaan terhadap Asbâb An Nuzûl, satu
sementara kitab yang ditulis oleh as-Suyûthî pernyataan langsung bahwa nabi telah me-
memiliki kelebihan-kelebihan sebagai beri- ngatakan atau menetukan sebab diturun-
kut: 1) ringkas, dan 2) mencakup banyak kannya satu ayat. Meskipun demikian
(riwayat Asbâb An Nuzûl). Kitab kata as- cerita-cerita yang bersumber dari sahabat
Suyûthi mencakup banyak tambahan atas dan tabi’in mendapatkan tempat di dalam
apa yang telah disebutkan oleh Al-Wahidi. kitab-kitab hadis dan tafsir yang ada di
Secara ringkas, Syahûr menyimpulkan tangan kita saat ini.
tentang argumentasi yang dibangun dari Sumber Asbâb An Nuzûl yang berasal
kedua tokoh yang ditelaahnya tentang sta- dari sahabat dan tabi’in sebenarnya bukan
tus keberadaan asbâb an Nuzûl sebagaimana tidak ada panduan dari Nabi. Mengutip
paparan dalam kitab yang mereka susun perkataan Al Wahidi bahwa tidaklah
melalui tiga bentuk pernyataan: 1) tidak diperkenankan berbicara tentang sebab-
mungkin memahami ayat-ayat Alquran sebab turunnya ayat kecuali berdasarkan
kecuali dengan mengetahui sebab-sebab dengan riwayat dari orang-orang yang
turunnya (al-Wahidi); 2) mengetahui Asbâb menyaksikan turunnya sebuah ayat,
An Nuzûl dapat membantu memahami mengerti tentang sebab-sebab turunnya,
ayat-ayat alqur’an (Ibnu Taimiyah); 3) Sabâb memahami ilmunya dan bersungguh-
an-Nuzûl bukanlah sebab dalam hal sungguh dalam mencarinya. Ancaman api
turunnya ayat, tetapi ia hanyalah bentuk neraka bagi orang yang tidak mengerti ilmu
pengambilan hukum berdasarkan ayat yang ini (tetapi ia berbicara tentangnya) terdapat
dimaksud (Az-Zarkasyi). dalam contoh tuntunan syara’. Dari Said
Syahrûr dengan mengutip pendapat ibnu Zubair dari Ibnu Abbas dia berkata:
az-Zarkasyi dalam kitabnya Al Burhân fi Rasulullah saw bersabda: “Berhatilah-hatilah
Ulûmil Qur’an bahwa Imam Ali pernah dalam menyampaikan hadis kecuali apa
menyebut riwayat-riwayat Asbâb An Nuzûl yang telah kamu ketahui. Sesungguhnya
dengan nama Munâsabât an Nuzûl (hal-hal barang siapa berdusta atas nama saya
yang terkait dengan penurunan wahyu ayat- dengan sengaja, maka hendaknya ia bersiap-
ayat alqur’an) bukan dengan istilah Asbâb siap untuk bertempat tinggal di neraka.
An Nuzûl. Menurut Syahrûr perbedaan Barang siapa berdusta atas nama Alqur’an
antara dua penamaan tersebut sangat jelas (berbicara tentang Alqur ’an tapa ada
bagi orang-orang yang ahli dalam bidang pengetahuan tentangnya) maka bersiap-
Alquran. Bagi Syahrˆur, pendapat yang siaplah ia bertempat tinggal di neraka.
mengatakan adanya sebab-sebab turunnya Ilmu Asbâb An Nuzûl sebagaimana
ayat-ayat Alquran mengindikasikan secara disebutkan di atas adalah saudara kembar
jelas bahwa satu ayat tidaklah turun kecuali ilmu an nâsikh dan mansûkh, sehingga
dengan adanya sebab turunnya ayat yang masing-masing memiliki sebab dan latar
dimaksud. Pandangan ini dikritiknya belakang kemunculan yang tidak jauh
sebagai sikap yang tidak sopan terhadap berbeda. Secara khusus terkait dengan
Allah SWT dan terhadap maksud-maksud Asbâb An Nuzûl, Syahrûr menyebut bahwa
diturunkannya risalah-risalah yang latarbelakang ilmu ini antara lain:
merupakan sebab-sebab Ilahi yang pertama Pertama, penanaman sifat adil dan
dan terakhir bagi turunnya wahyu. kemaksuman para sahabat. Ada anggapan
Syahrûr dengan mengacu pada bahwa apa yang para sahabat riwayatkan
pernyataan Az-Zarkasyi, menyebutkan tentang Asbâb An Nuzûl adalah sakral dan
bahwa semua hadis tentang Asbâb An Nuzûl sama sekali tidak boleh diragukan. Mereka
pada dasarnya kembali pada atau telah menyusun judul tertentu tentang apa-

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014 13


Kesinambungan dan Perubahan

apa yang diriwayatkannya itu dalam kitab- kebenaran klaim kaum Jahmiyah, Murji’ah
kitab hadis nabi yang disebut dengan Al dan Asy’ariyah.
Musnad yang berisi riwayat-riwayat lemah. Menurut Syahrûr keberadaan Asbâb
Sebagai misal as-Suyûthî menyebutkan An Nuzûl telah mencabut kemutlakan dan
bahwa sebab diturunkan ayat: “Dihalalkan universalitas ayat, hukum dan firman tuhan
bagi kamu di malam bulan puasa dan menjadikannya terikat secara khusus
bercampur dengan isteri-isteri kamu” (QS. dengan sebab tertentu dan hanya terbatas
Al Baqarah: 187). Menurutnya sebab pada lingkup satu peristiwa historis. Masa-
diturunkannya ayat itu adalah pada kasus lah inilah yang memberikan kesempatan
Umar ibn Khtathab, yang pada suatu malam kepada kaum muslimin untuk mensakral-
berbuka puasa, lalu tertidur dan ketika kan sejarah dengan menyatakan bahwa teks
terbangun dia melihat isterinya tidak me- Alquran dan periodisasi penyusunannya
ngenakan sarung sehingga Umar dikuasai adalah historis. Konsekuensinya mereka
nafsu syahwat dan menyetubuhinya, dan menolak konsep teks wahyu bagi seluruh
sesudah selesai ia merasa menyesal lalu ia ruang dan waktu. Syahrur mendukung
mandi, lalu shalat hingga waktu subuh. sikap bahwa ilmu Asbâb An Nuzûl dan ilmu
Kemudian pagi-pagi ia menceritakan pada nâsikh wal mansûkh bukan bagian dari ilmu-
Rasulullah peristiwa tersebut. Rasulullah ilmu Alqur’an tetapi ia hanyalah ilmu yang
merasa sedih dan berkata “Kau tidak pantas bersifat historis yang masuk dalam ilmu-
melakukan itu wahai Umar”, lalu turunlah ilmu Alqur’an.
malaikat Jibril membawakan ayat tersebut
Bagi Syahrûr, keberadaan Asbâb An
sebagai penghormatan terhadap Umar dan
Nuzûl (jika benar) hanya membantu untuk
keringanan terhadap umat. Pernyataan
menjelaskan historisitas pemahaman dan
yang dikemukakan oleh As Suyuthi yang
prosses interaksi manusia dengan ayat-ayat
mengkaitkan konteks ayat tersebut dengan
at tanzil pada wakatu ia diturunkan. Adapun
Umar dan bahwa Allah menggunakan
ia pada saat ini sama sekali tidak berke-
lafadz jama’ sebagai penghormatan dan
pentingan dengan Asbâb An Nuzûl tersebut
penghargaan kepadanya adalah bagian dari
karena substansi Alqur ’an memiliki
penanaman keutamaan Umar di atas para
eksistensi pada dirinya, korpus tertutup dan
sahabat yang lain pada masa ketika perlom-
cukup dengan dirinya sendiri, sementara
baan saling mengutamakan kelompok
pemahaman terhadap teks Alquran bersifat
masing-masing berada pada puncaknya.
historis. Teks Alqur’an secara substansial
Kedua, mengunggulkan aliran dan adalah sakral, hidup dan selalu dalam
kelompok dan anggapan bahwa salah satu kondisi berada, artinya bahwa teks Alquran
sahabat lebih utama daripada yang lain. tidak tunduk pada ketetapan (hukum)
Dalam kitab-kitab tentang Asbâb An Nuzûl sejarah yang berada pada poros kondisi
tergambar pertentangan hebat antar berproses, dan tidak tunduk pada ketetapan
berbagai aliran dan kelompok yang hingga keberakhiran yang berada pada poros
sekarang tetap ada. Ada riwayat yang kondisi menjadi sebagaimana dianggap oleh
mendukung ahlu Sunnah sementara ada sebagian orang.
juga riwayat yang mendukung kaum Syiah.
Demikian juga ada riwayat yang membe-
Pemikiran Nashr Hamid Abu Zayd
rikan dalil penguat kepada kaum Zahiri dan
Tentang Asbab Al-Nuzul
pada saat yang lain memberikan dalil
Menurut Abû Zayd, ilmu asbâb al-
kepada kaum Bathini. Terdapat juga riwayat
nuzûl adalah penting, karena ia
yang membuktikan kebenaran klaim
menceminkan hubungan dan “dialektika”
kebenaran kaum Mu’tazilah dan Khawarij
antara teks (nash) dengan realitas, atau “dia-
sementara pada kesempatan yang lain
log” antara keduanya. Ia membandingkan
terdapat riwayat yang membuktikan
antara teks sastra dengan teks suci. Dalam
14 Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014
Kesinambungan dan Perubahan

perspektif sastra, teks berinteraksi dengan Menurut Abû Zayd, ilmu asbâb al-
realitas yang bisa dipahami dari konsep nuzûl sangat terkait dengan dua bahasan
seperti penyerupaan (tasybîh), sedangkan penting. Pertama, dialektika antara teks
dalam asbâb al-nuzûl, teks merespon realitas wahyu dengan realitas sejarah masyarakat
yang ada atau terjadi pada masyarakat Arab Arab tidak berarti bahwa al-Qur‘an hanya
ketika turunnya al-Qur`an, baik menguat- merespon kasus spesifik dan keberlakuan
kan atau menolaknya.56 isi al-Qur‘an menjadi sempit, melainkan
Pandangannya tentang dialektika teks melebar dan menembus batas-batas realitas
dengan realitas tampak sangat terkait tersebut. Problematika ini memunculkan
dengan pandangannya tentang al-Qur‘an diskusi yang panjang di kalangan ulama
sebagai produk manusiawi, baik dalam tentang “yang umum” (‘âmm) dan “yang
term “produk budaya”, “teks linguistik”, khusus” (khâshsh), atau, dengan ungkapan
”teks historis”, dan “teks manusiawi”.57Itu lain, persoalan ini memuat isu universalitas
artinya realitas memiliki peranan dalam dan partikularitas kandungan ayat, terutama
pembentukan teks. Dalam konteks ini, ketika ayat yang turun karena sebab spesifik
Asbâb Al-Nuzûl adalah salah satu bukti dituangkan dalam ungkapan umum.
adanya muatan budaya tersebut dalam Kedua, meskipun dari segi “turunnya”
proses turunnya al-Qur‘an. Dialektika itu (nuzûl), ayat al-Qur‘an secara historis
lebih lanjut terwujud dalam graduasi berkaitan dengan sebab dan realitas yang
(kebertahapan) turunnya wahyu. Al-Qur‘an melatarbelakanginya, dari segi “pembacaan-
diturunkan dalam kurun waktu lebih dari nya” (tilâwah), yaitu urutan sesuai dengan
dua puluh tahun. Dalam kurun waktu itu, mushhaf, melampaui batas-batas historis itu,
setiap ayat, atau sekelompok ayat, karena ayat-ayat al-Qur‘an memiliki
diturunkan karena latar belakang spesifik koherensi dalam kandungannya. 60 Oleh
tertentu. Menurutnya, hanya sedikit sekali karena itu, Asbâb Al-Nuzûl, sebagaimana
ayat al-Qur‘an yang diturunkan murni ditegaskannya, terkait dengan korelasi
tanpa sebab eksternal (ibtidâ‘), atau biasa antarayat (munâsabah bayna al-âyât).
dikenal dengan ayat-ayat ibtidâ‘î. 58 Sebenarnya, tidak semua pakar ‘ulûm al-
Pandangan ini berbeda dengan pandangan
para ulama umumnya yang menganggap
bahwa hanya sedikit ayat-ayat yang turun % (857 ayat) dari total seluruh ayat al-Qur‘an (6236
karena latar belakang historis (sababî), dan ayat). Meskipun begitu, para pakar kontemporer
sebagian besar ayat-ayat al-Qur‘an adalah sebagian berpendapat bahwa anggapan ulama
ibtidâ‘î. 59 klasik tersebut tidak berdasar. Dalam kajian
kontemporer, muncul pendapat bahwa semua
ayat al-Qur‘an memiliki asbâb al-nuzûl. Di antara
56
Nashr Hâmid Abû Zayd, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah pakar kontemporer yang berpendapat demikian
fî ‘Ulûm al-Qur`ân (Maroko, al-Dâr al-Baydhâ`, al- adalah Hasan Hanafî, Wahbah al-Zuhailî, dan al-
Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî, 2005), h. 97. Shâdiq Bal’îd. Lihat Bassâm al-Jamal, Asbâb al-
57
Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al- Nuzûl (Maroko, al-Dâr al-Baydhâ‘: al-Markaz al-
Qur‘an: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd (Jakarta: Tsaqâfî al-‘Arabî, 2005), h. 121-122. Muhammad
Teraju, 2003), h. 71. Pandangannya tentang Sa’îd al-‘Asymâwî juga termasuk ulama yang
historisitas al-Qur‘an ini kemudian dikoreksinya berpendapat demikian. Lihat karyanya, Ushûl al-
dalam beberapa tulisan berbahasa Inggris.Ia Syarî’ah (Cairo: Maktabah Madbûlî dan Beirut: Dâr
mengatakan, “historisitas al-Qur‘an sebagai teks Iqra‘, 1983), h. 70, Memang, para ulama klasik
tidak, dan seharusnya tidak, berarti bahwa ia belum menggali riwayat-riwayat asbâb al-nuzûl
adalah sebuah teks manusiawi”. Ichwan, Meretas, secara maksimal dari sejumlah kitab-kitab hadits.
h. 73. Lihat, misalnya, Khâlid bin Sulaymân al-Muzaynî,
58
Abû Zayd, Mafhûm al-Nashsh, h. 97. al-Muharrar fî Asbâb Nuzûl al-Qur‘ân (Min Khilâl al-
59
Menurut penelitian Bassâm al-Jamal, ayat-ayat Kutub al-Tis’ah): Dirâsat al-Asbâb Riwâyatan wa
sababî tidak lebih dari 14 % dari total keseluruhan Dirâyatan (Makkah: Dâr Ibn al-Jauzî, 1427 H), 2
ayat al-Qur‘an. Jalâl al-Dîn al-Suyûthî dalam Lubâb volume.
60
al-Nuqûl, misalnya, mencantumkan hanya 13,74 Abû Zayd, Mafhûm al-Nashsh, h. 97.

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014 15


Kesinambungan dan Perubahan

Qur‘ân dan tafsir melihat hubungan antara yu, dan tentu memang juga menentukan
keduanya, karena mereka beranggapan makna teks. Namun dalam pandangan Abû
bahwa asbâb al-nuzûl murni merupakan Zayd, hal ini tidak semata terkait dengan
persoalan riwayat, padahal peran analisis makna, melainkan terkait juga dengan
munâsabah mengandaikan penalaran formasi teks (marhalah al-takwîn). Dalam
terhadap korelasi antarayat dan kisah proses ini, budaya dan bahasa menjadi
historis apa yang terkait di dalamnya. Ini subjek, sedangkan teks menjadi objek. Itu
artinya bahwa bagi Abû Zayd, Asbâb Al- artinya, budaya dan bahasa membentuk
Nuzûl tidak murni seluruhnya riwayat, teks.Dalam konteks seperti inilah, Asbâb Al-
melainkan bidang telaah rasional yang Nuzûl memegang peran sebagai pemberi
mengambil andil peran tertentu di muatan konteks sosial bagi teks. mengemu-
dalamnya. Pendapat ini sejalan dengan kakan dua aspek dalam hubungan antara
pendapat beberapa pengkaji al-Qur‘an teks, budaya, dan realitas. Pada tahap
bahwa Asbâb Al-Nuzûl di samping harus selanjutnya, teks tidak lagi menjadi objek,
dicermati secara kritis dengan mengujinya melainkan menjadi subjek membentuk
dengan konteks al-Qur‘an dan konteks budaya dan bahasa (marhalah al-
kesejarahan, juga harus diinteraksikan takawwun). Pada tahap awal, Abû Zayd
dengan penafsiran yang “adil” terhadap menyebut al-Qur`an sebagai “produk
konteks kesejarahan yang terkandung budaya” (muntaj tsaqâfî), karena dibentuk
dalam susunan keserasian ayat.61 oleh budaya selama dua puluh tahun lebih,
Bagi Abû Zayd, asbâb al-nuzûl adalah sedangkan pada tahap kedua, ia menyebut
konteks sosial yang ada pada teks (al-siyâq al-Qur`an sebagai “produser budaya”
al-ijtimâ’î li al-nushûsh) yang bisa didekati (muntij al-tsaqâfah).63 Interaksi subjek-objek
tidak sekadar melalui riwayat di luar teks antara teks dan budaya bisa dijelaskan
(konteks eksternal), melainkan juga melalui sebagai berikut:64
keterangan yang bisa dianalisis dari dalam
teks (konteks internal ayat). Budaya € Teks € Budaya
Dalam ilmu semantik (‘ilm al-dilâlah),
Dalam hermeneutika, Abû Zayd juga
“konteks sosial” (al-siyâq al-ijtimâ’î, atau al-
menyebut istilah lain yang semakna, yaitu
siyâq al-tsaqâfî) adalah konteks yang terkait
“konteks pewahyuan” (siyâq al-tanzîl).
dengan makna sosial (social meaning) yang
Konteks jenis ini adalah salah satu dari lima
terkandung dalam sebuah ungkapan kata
jenis level konteks (mustawâ al-siyâq) yang,
atau kalimat, dan terkait dengan kultur atau
menurutnya, harus dipertimbangkan dalam
masyarakat tertentu (makna kultural),
memahami teks. 65 Konteks pewahyuan
seperti kata “akar” akan berbeda dipahami
oleh ahli matematika dan ahli bahasa. 62
63
Sedangkan, menurut Abû Zayd, konteks Nur Ichwan, Meretas, h. 74.
64
Nur Ichwan, Meretas, h. 74.
sosial adalah konteks kultural atau konteks 65
Lima level konteks dimaksud adalah: (1) konteks
budaya yang menyertai turunnya teks wah- sosio-kultural yang terdiri dari aturan sosial dan
kultural, dengan semua konvensi, adat kebiasaan,
dan tradisinya yang dituangkan dalam bahasa
61
Lihat ‘Imrân Samîh Nazâl, al-Wahdah al-Târîkhiyyah teks, (2) konteks eksternal (konteks percakapan,
li al-Suwar al-Qur`âniyyah (Aman: Dâr al-Qurrâ` dan siyâq al-takhâthub) yang dituangkan dalam struktur
Damakus: Dâr Qutaybah, 2006), h. 75-96; Musthafâ bahasa (bun-yah lughawiyyah) teks, (3) konteks in-
Muslim, Mabâhits fî al-Tafsîr al-Mawdhû’î ternal yang berkaitan dengan “ketidakintegralan”
(Damaskus: Dâr al-Qalam, 1997), h. 41; Taufik stuktur teks (karena perbedaan antara urutan
Adnan Amal, Tafsir Kontekstual al-Qur`an: Sebuah mushhaf dengan urutan turun ayat) dan
Kerangka Konseptual (Bandung: Mizan, 1994), h. 59. keragaman level wacana, (4) konteks linguistik
62
Farîd ‘Iwadh Haydar, ‘Ilm al-Dilâlah: Dirâsah yang berkaitan dengan elemen-elemen
Nazhariyyah wa Tathbîqiyyah (Cairo: Maktabah al- kebahasaan dalam suatu teks, melainkan juga
Âdâb, 2005), h. 162. “yang tak terkatakan” (al-maskût ‘anhu) dengan

16 Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014


Kesinambungan dan Perubahan

adalah konteks percakapan (siyâq al- Qur‘an, kecuali dengan riwayat dari orang-
takhâthub) yang bisa diamati dalam bentuk orang menyaksikan langsung peristiwa
struktur bahasa (bun-yah lughawiyyah). pewahyuan dan mengetahui sebab-sebab
Konteks percakapan berkaitan hubungan tersebut, meneliti ilmunya, dan sungguh-
antara pembicara atau pengirim pesan dan sungguh dalam mencari.
partner bicara atau penerima pesan pada
satu sisi dan otoritas tafsir dan interpretasi Sebagaimana tampak dari kutipan di
pada sisi lain. Konteks pewahyuan didasar- atas, pendekatan yang diusulkan oleh Abû
kan atas kenyataan bahwa al-Qur`an Zayd dalam memahami Asbâb Al-Nuzûl
diturunkan secara berangsur-angsur selama mencakup dua hal.Pertama, sumber ekster-
dua puluh tahun lebih.66 Konteks pewah- nal ayat, yaitu riwayat yang shahîh.Sebagai
yuan sebagai konteks yang dimunculkan sumber eksternal, riwayat memang me-
dalam hubungan pengirim dan penerima muat informasi tentang latar belakang turun
pesan tampaknya lebih luas dari sekadar ayat.Hanya saja, Abû Zayd memandang
Asbâb Al-Nuzûl yang berisi peristiwa yang riwayat Asbâb Al-Nuzûl tetap sebagai
terjadi atau pertanyaan yang diajukan. masalah ijtihâdî, karena persoalan penting
Pandangan Abû Zayd bahwa Asbâb Al- yang dihadapi riwayat adalah persoalan
Nuzûl tidak sekadar riwayat (sumber keshahihan. Di antara riwayat-riwayat
eksternal), melainkan juga analisis terhadap tersebut, terkadang ada yang saling
konteks internal ayat, berbeda dengan kontradiktif, sehingga perlu ditarjîh dengan
pandangan tradisional para ulama yang berbagai media, antara lain, kelogisan isi
selama ini mengklaim (meski dalam riwayat.Persoalan riwayat tersebut menjadi
praktiknya tidak berjalan sesuai dengan masalah utama, karena dalam faktanya,
klaim semula) bahwa Asbâb Al-Nuzûl tegasnya, riwayat-riwayat tersebut
identik dengan riwayat. Al-Wâhidî (w. 468 berkembang tidak pada masa Sahabat Nabi
H), misalnya, menyatakan berikut: Muhammad, melainkan pada masa Tâbi’ûn.
Pada masa Sahabat, kebutuhan akan riwayat
tersebut tidak mendesak, karena mereka
adalah saksi langsung kejadian atau
pertanyaan yang melatarbelakangi turun
suatu ayat. Kebutuhan tersebut dirasakan
Tidak halal (haram) mengatakan berkaitan oleh generasi sesudahnya, yaitu generasi
dengan sebab-sebab turunnya ayat al- Tâbi’ûn. Faktor lain adalah bahwa karena
seiring dengan berjalannya waktu ingatan
Sahabat berkaitan dengan Asbâb Al-Nuzûl
melampaui kata-kata dan masuk ke dalam
struktur kultural teks, dan (5) konteks pembacaan
tidak selalu akurat, atau dalam membatasi
yang merupakan upaya dekonstruksi kode (fakk kejadian atau pertanyaan apa yang sesung-
al-syifrah), baik secara internal dengan guhnya menjadi latar belakang turun ayat.
mengasumsikan bahwa ada “pembaca potensial Oleh karena itu, wajar kemudian Ibn
imajinatif” (al-qâri` al-dhimnî al-mutakhayyal), yaitu
Taymiyah mengingatkan untuk membeda-
Tuhan sebagai pengirim pesan, maupun secara
eksternal (penafsir). Lihat Nur Ichwan, Meretas, h. kan secara jeli antara keterangan Sahabat
90-93. tentang Asbâb Al-Nuzûl dan keterangan
66
Nur Ichwan, Meretas, h. 91. Menurut Abû Zayd, mereka yang sebenarnya adalah penjelasan
mengikuti teori komunikasi Roman Jakobson, atau penafsiran terhadap kandungan
proses pewahyuan melibatkan pembicara atau
pengirim pesan (Tuhan), penerima pesan (Nabi
ayat.Karena ketidakjelasan ungkapan
Muhammad), sebuah kode komunikasi (bahasa), penjelasan Sahabat, bisa terjadi dua orang
dan sebuah canel/ perantara (Jibrîl). Nur Ichwan, Sahabat meriwayatkan dua riwayat yang
Meretas, h. 69-70. kontradiktif tentang latar belakang turun
67
Al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl (Beirut: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2006), h. 6.

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014 17


Kesinambungan dan Perubahan

suatu ayat. 68"Pengetahuan tentang Asbâb riwayat Tâbi’î yang lain. 71 Kritiknya
Al-Nuzûl diperoleh oleh para Sahabat terhadap mekanisme seleksi riwayat karena
melalui indikasi-indikasi yang dikelilingi muatan-muatan ideologi di dalamnya
oleh problema-problema” (ma’rifah sabab menunjukkan bahwa Abû Zayd sangat
al-nuzûl amr yahshulu li al-shahâbah bi selektif dalam menerima riwayat-riwayat
qarâ‘in tahtaffu bi al-qadhâyâ), demikian Asbâb Al-Nuzûl, tapi tidak mencapai seperti
dikemukakan oleh Abû Zayd sebagaimana skeptisisme tokoh Islam, semisal Fazlur
dikutip dari pernyataan para ulama Rahman,72 yang memandang hanya sedikit
terdahulu.69 Seorang Sahabat mungkin saja hadîts yang bisa dianggap shahîh, karena
mengaitkan turunnya suatu ayat dengan kritik kesejarahannya yang kuat. Abû Zayd
kejadian tertentu yang dipahaminya sebagai masih menerima riwayat sebagai sumber
latar belakang turunnya ayat tersebut. Oleh eksternal Asbâb Al-Nuzûl. Kehati-hatiannya
karena itu, Abû Zayd tidak meyakini dalam menerima riwayat tidak hanya
pengakuan Ibn Mas’ûd yang menyatakan disebabkan oleh pandangannya tentang
dirinya mengetahui dalam konteks siapa historisitas teks-teks keagamaan, baik al-
dan di mana turunnya semua ayat al-Qur‘an, Qur`an dan apalagi hadîts Nabi, melainkan
karena harus dibedakan antara “sebab” lebih jauh juga disebabkan oleh kritik
(sabab) dan “indikasi” (qarînah).70 wacana yang diterapkannya. Wacana agama
Selama ini, dalam literatur ‘ulûm al- (al-khithâb al-dînî), baik al-Qur`an maupun
Qur`ân, riwayat-riwayat Asbâb Al-Nuzûl teks keagamaan umumnya, tidak hanya
dari kalangan Tâbi’ûn, seperti Mujâhid, dipahami karakter historisitasnya seperti
‘Ikrimah, dan Sa’îd bin Jubair, yang yang disebut dalam wacana, melainkan
menerima riwayat dari para Sahabat bisa dalam kajian modern terhadap teks
diterima, setingkat hadîts marfû’ jika dipahami dari yang tersembunyi (al-maskût
terbukti jalur riwayat tersebut bersambung. ‘anhu), bisa melalui ungkapan teks secara
Patokan dalam menyeleksi riwayat tersebut
adalah tingkat kredibilitas para rawi. Nah,
menurut Abû Zayd, karena seleksi riwayat
71
tersebut terjadi pada masa Tâbi’ûn, yaitu Abû Zayd, Mafhûm al-Nashsh, h. 111.
72
Rahman menunjukkan bahwa hadîts banyak yang
masa di mana perselisihan politik dan
diragukan keshahihannya karena ideologi yang
pemikiran, “ideologi” aliran politik dan menyusup, seperti hadîts yang dimunculkan oleh
keagamaan tertentu bisa menyusup dalam sekte tertentu dalam kurun waktu belakangan
mengunggulkan riwayat yang berasal dari sesudah fase Nabi untuk mengecam sekte lain,
seorang Tâbi’î tertentu dan menghambat yang disebutnya sebagai fenomena hadîts-pro-
hadîts (hadîts yang digunakan untuk mendukung
hadîts) dan hadîts-anti-hadîts (hadîts yang
digunakan menyerang hadîts lain). Lihat Rahman,
Islamic Methodology in History (New Delhi: Adam
68
Abû Zayd, Mafhûm al-Nashsh, h. 110. Publishers & Distributors, 1994), h. 36. Dengan
69
Abû Zayd, Mafhûm al-Nashsh, h. 111. Ungkapan kritik kesejarahannya yang kuat seperti itu,
yang dikutip Abû Zayd di atas yang dikatakannya banyak hadîts yang dianggap sebagai tidak
sebagai pernyataan ulama terdahulu bisa kita shahîh.Ini menyebabkan pembuktian melalui
temukan dalam Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Itqân fî analisis sanad dianggap tidak memadai lagi.Di
‘Ulûm al-Qur`ân (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), juz I, h. kalangan sebagian orientalis, bahkan, sanad
32. Pernyataan ini disebut di sini sebagai dianggap bisa dipalsukan, sehingga mereka
pernyataan ulama selain al-Wâhidî, karena dia- kemudian mencurahkan kritik terhadap isi (matn)
lah selama ini yang dikenal dengan ungkapannya dari perspektif kesejarahan, sosial, maupun
bahwa asbâb al-nuzûl identik dengan politik. Lihat Fatma Kizil, “The Views of
riwayat.Padahal persoalan riwayat menjadi rumit, Orientalists on the Hadith Literature: A
sebagaimana dilihat oleh ulama lain, karena Cronological Analysis (1848-1950)”, dalam
perbedaan tafsiran Sahabat Nabi terhadap suatu www.academia.edu/1222341/
kejadian dan ungkapan mereka tidak selalu jelas. the_views_of_orientalists_on_the_hadith_literature
70
Abû Zayd, Mafhûm al-Nashsh, h. 111. (23 Agustus 2013).

18 Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014


Kesinambungan dan Perubahan

tersembunyi, atau melalui konteks Zayd, sebagaimana makna suatu ayat bisa
eksternal, seperti ideologi.73 dipahami dari konteks eksternal, seperti
Kedua, sumber internal yang bisa konteks sosio-kultural, begitu juga
dianalisis dari makna ayat.Konteks internal sebaliknya, konteks eksternal ayat bisa
ayat bisa dipahami, baik melalui struktur dipahami dari konteks internal ayat.
khususnya, maupun keterkaitan satu
bagian ayat dengan bagian-bagian lain dari Penutup
teks umum. “Struktur khusus” teks yang Sebagai bagian akhir dari tulisan ini
ia maksudkan adalah struktur bahasa teks dapat disimpulkan sebagai berikut:
yang dieskpresikan dalam menjelaskan Pertama, terkait dengan pandangan Syahûr
kondisi sosio-kultural, karena bisa jadi dan Abu Zayd mengenai Asbâb An-Nuzûl.
kondisi tersebut tercermin dalam ungkapan Menurut Syahûr Asbâb An-Nuzûl yang
bahasa yang digunakan dalam teks. Analisis dipandang sebagai variabel penyebab
internal terhadap suatu bagian ayat turunnya sebuah wahyu dapat dianggap
melibatkan analisis terhadap beberapa melakukan intervensi terhadap nilai
bagian ayat secara umum.Oleh karena itu, keilahian dari al-Kitâb. Asbâb An-Nuzûl
menurut Abû Zayd, Asbâb Al-Nuzûl tidak lebih diposisikan sebagai alat bantu untuk
bisa dipisahkan dari analisis korelasi melihat bagaimana interpretasi sebuah teks
(munâsabah) ayat dan surah. Alasannya pada masa lampau, dan tidak berlaku untuk
adalah bahwa meski ayat-ayat al-Qur`an dari masa kini. Adapun latarbelakang Asbâb An
segi “turun” (nuzûl) terkait secara parsial Nuzûl menurut Syahrûr dikarenakan: (1)
dengan berbagai konteks historis yang penanaman sifat adil dan kemaksuman para
masing-masing berbeda, dari segi sahabat; (2) mengunggulkan aliran dan
“pembacaan” (tilâwah), yaitu urutan dalam kelompok dan anggapan bahwa salah satu
mushhaf, saling terkait sebagai suatu sahabat lebih utama daripada yang lain.
kesatuan dan melampaui sekat-sekat Pemikiran Syahrûr tidak berada pada posisi
historis itu.74 Ketika berbicara tentang level kelompok islamisis, tetapi bukan juga
konteks (mustawâ al-siyâq), sebagaimana kelompok sekularis, ia menyatakan
disinggung, hal ini disebut sebagai posisinya dengan istilah return to the text,
“ketidakintegralan” struktur teks dan
keragaman level wacana. “Ketidakin-
tegralan” tersebut maksudnya adalah karena Muhammad.Sedangkan, tentang susunan surah,
memang urutan ayat al-Qur`an dalam terdapat tiga pendekatan yang berkembang di
mushhaf (tartîb al-tilâwah) memang kalangan para ulama. Pertama, pendapat
mayoritas ulama bahwa susunan surah
berbeda dengan urutan turunnya (tartîb al- berdasarkan ijtihad para sahabat beliau,
tanzîl). 75 Namun, ketika ayat-ayat yang dibuktikan antara lain dengan variasi mushhaf di
turun disusun dalam bentuk finalnya dalam kalangan sahabat. Kedua, pendapat bahwa
mushhaf, keterkaitan antarayat tersebut susunan surah adalah tawqîfî, karena mereka
sepakat terhadap mushhaf ‘Utsmân.Ketiga,
memiliki dimensi kemukjizatan (i’jâz),
pendapat bahwa sebagian surah disusun
karena susunan tersebut atas dasar petunjuk berdasarkan petunjuk Nabi Muhammad,
(tawqîfî), sehingga suatu ayat memiliki sedangkan sebagiannya disusun berdasarkan
korelasi dengan ayat lain.76 Menurut Abû ijtihad sahabat beliau. Lihat lebih lanjut ‘Abd al-
‘Azhîm al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur‘ân
(Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), juz I, h. 346-358. Badr al-
73
Abû Zayd, Naqd al-Khithâb al-Dînî (Beirut: al- Dîn al-Zarkasyî berpendapat bahwa susunan
Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî, 2007), h. 234-235. surah adalah tawqîfî, antara lain, terlihat dari
74
Abû Zayd, Mafhûm al-Nashsh, h. 97-98. korelasi akhir suatu surah dengan awal surah
75
Abû Zayd, Mafhûm al-Nashsh, h. 159. sesudahnya. Lihat Badr al-Dîn al-Zarkasyî, al-
76
Abû Zayd, Mafhûm al-Nashsh, h. 160. Para ulama Burhân fî ‘Ulûm al-Qur‘ân, tahqîq Mushthafâ ‘Abd al-
sepakat bahwa susunan ayat al-Qur‘an adalah Qâdir ‘Athâ‘ (Beirut: Dâr al-Fikr, 2001 M/ 1421 H),
berdasarkan petunjuk (tawqîfî) dari Nabi juz I, h. 329.

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014 19


Kesinambungan dan Perubahan

tetapi dengan pembacaan kontemporer. (khalq al-Qur‘ân) yang menjadi basis


Sementara bagi Abû Zayd, ilmu Asbâb Al- pandangannya tentang historisitas al-
Nuzûl sangat terkait dengan dua bahasan Qur‘an. Dengan mengemas konsep tersebut
penting; (1) dialektika antara teks wahyu dengan teori sastra, ia menjadi wakil neo-
dengan realitas sejarah masyarakat Arab Mu’tazilah dalam konteks modernisasi
tidak berarti bahwa al-Qur‘an hanya tekstualitas al-Qur‘an. Pemikiran Abû Zayd
merespon kasus spesifik dan keberlakuan bahwa Asbâb Al-Nuzûl adalah “pemanu-
isi al-Qur‘an menjadi sempit, melainkan siaan” al-Qur‘an memiliki akar dari
melebar dan menembus batas-batas realitas pandangan Mu’tazilah, meski pandangan
tersebut. Persoalan ini memuat isu Mu’tazilah tersebut telah mengalami
universalitas dan partikularitas kandungan penyesuaian. Adapun perubahan yang dia
ayat, terutama ketika ayat yang turun lakukan, yaitu: (1) hakikat asbâb al-nuzûl
karena sebab spesifik dituangkan dalam adalah hasil dialektika teks dengan realitas;
ungkapan umum( 2) meskipun dari segi (2) Asbâb Al-Nuzûl adalah konteks sosial
“turunnya” (nuzûl), ayat al-Qur‘an secara teks; (3) sumber asbâb al-nuzûl bisa
historis berkaitan dengan sebab dan realitas diperoleh tidak hanya dari riwayat (sumber
yang melatarbelakanginya, dari segi eksternal, khârij al-nashsh), melainkan
“pembacaannya” (tilâwah), yaitu urutan konteks historis dalam teks (sumber inter-
sesuai dengan mushhaf, melampaui batas- nal, dâkhil al-nashsh); (4) metode sirkularitas
batas historis itu, karena ayat-ayat al-Qur‘an (mudâwalah, diwâl). Menurut Abû Zayd,
memiliki koherensi dalam kandungannya. sumber internal dan eksternal dipertim-
Oleh karena itu, Asbâb Al-Nuzûl, bangkan secara sirkular (bolak-balik),
sebagaimana ditegaskannya, terkait dengan seperti gerak kumparan magnet pada alat
korelasi antarayat (munâsabah bayna al- elektronik seperti kipas angin, secara cepat.
âyât). Bagi Abû Zayd, Asbâb Al-Nuzûl tidak Sirkularitas itu tampaknya dimaksudkan
murni seluruhnya riwayat, melainkan oleh Abû Zayd agar kedua sumber
bidang telaah rasional yang mengambil dipertimbangkan secara akurat dan “adil”
andil peran tertentu di dalamnya. dalam pengertian seimbang, tidak satu arah
Kedua, terkait dengan kesinambungan (linear dari sumber internal ke eksternal,
dan perubahan pada pemikiran Syahrûr dan atau sebaliknya).
Abû Zayd dapat disebutkan bahwa pada
Syahrûr, Pandangan Syahrûr terkait dengan
wahyu dan al-Kitâb merupakan kesinam-
Referensi
bungan terhadap pendapat dari para ulama
terdahulu, hanya dia banyak melakukan ‘Asymâwî, Muhammad Sa’îd al-.1983.
pembacaan yang berbeda terhadap teks. Ushûl al-Syarî’ah. Cairo: Maktabah
Namun secara umum pandangannya Madbûlî dan Beirut: Dâr Iqra`.
tentang Asbâb An-Nuzûl banyak dalam Abrahamov, Binyamin. 1998. Islamic Theol-
konteks perubahan, dalam artian dia lebih ogy: Traditionalism and Rationalism.
menempatkannya sebagai model pemba- Edinburgh: Edinburgh University
caan pada masa lampau terhadap al-kitâb, Press.
dan pada masa kini pembacaan menggu-
nakan pendekatan yang berbeda, dan Abû ‘Âshî, Muhammad Sâlim. 2002 M/
tawaran Syahrûr yaitu dengan pendekatan 1423 H. Asbâb al-Nuzûl: Tahdîd
linguistik yang berbasis kepada realitas Mafâhîm wa Radd Syubuhât. Cairo:
manusia. Untuk Abû Zayd, kesinambungan Dâr al-Bashâ`ir.
pemikirannya dapat dilihat dari pemikiran Abû Zayd, Nashr Hâmid.1998. “Inquisition
Mu’tazilah terutama melalui konsep Trial in Egypt”, dalam Recht van de Is-
Mu’tazilah tentang keterciptaan al-Qur‘an lam.

20 Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014


Kesinambungan dan Perubahan

_____. 1996. Al-Ittijâh al-‘Aqlî fî al-Tafsîr: 1914.” dalam International Journal of


Dirâsah fî Qadhiyyah al-Majâz fî al- Middle East Studies.
Qur`ân ‘ind al-Mu’tazilah. Al-Dâr al-
Eickelman, Dale F. 1993. “Islamic Liberal-
Baidhâ`/ Suriah dan Beirut: al-Markaz
ism Strikes Back.” dalam Middle East
al-Tsaqâfî al-‘Arabî.
Studies Association Bulletin 27.
_____. 2000. Al-Khithâb wa al-Ta‘wîl. Al-
Esposito, John L. 1995. et al (eds.). The Ox-
Dâr al-Baydhâ‘: al-Markaz al-Tsaqâfî
ford Encyclopedia of the Modern Islamic
al-‘Arabî.
World, New York & Oxford: Oxford
_____. 1995. Al-Tafkîr fî Zamân al-Takfîr: University Press.
Dhidd al-Jahl wa al-Zayf wa al-
Hallaq, Wael B. 1997. A History of Islamic
Khurâfah. Cairo: Maktabat Madbûlî.
Legal Theories. Cambridge: Cam-
_____. 1996. Isykâliyyât al-Qirâ‘ah wa bridge University Press.
Âliyyât al-Ta‘wîl. Al-Dâr al-Baydhâ‘:
Haydar, Farîd ‘Iwadh. 2005. ‘Ilm al-Dilâlah:
al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî.
Dirâsah Nazhariyyah wa
_____. 2005. Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fî Tathbîqiyyah. Cairo: Maktabah al-
‘Ulûm al-Qur`ân.Maroko, al-Dâr al- Âdâb.
Baydhâ`, al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî.
Ibn ‘Âsyûr, Muhammad al-Thâhir. 1997. Al-
_____. 2007. Naqd al-Khithâb al-Dînî. Beirut: Tahrîr wa al-Tanwîr. Tunis: Dâr
al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî. Suhnûn.
Ainurrofiq (ed.). 2002. Mazhab Jogja Ibn al-‘Arabî, Abû Bakr. 2000. Al-‘Awâshim
Menggagas Paradigma Ushul Fiqh min al-Qawâshim. Cairo: Maktabat al-
Kontemporer. Yogyakarta: Ar Ruzz. Sunnah.
Amal, Taufik Adnan. 1994. Tafsir Kontekstual Ibn Katsîr. 1986. Tafsîr Ibn Katsîr. Beirut: Dâr
al-Qur‘an: Sebuah Kerangka al-Fikr.
Konseptual. Bandung: Mizan.
Iqbal, Sir Mohammad. 1994. The Reconstruc-
Asad, Muhammad. 1980. The Message of the tion of Religious Thought in Islam.edisi
Qur‘ân.Gibraltar: Dâr al-Andalus. V. New Delhi: Kitab Bhavan.
Assyaukanie, A. Luthfi. 1998. “Tipologi dan Ismail, Achmad Syarqawi. 2003.
Wacana Pemikiran Arab Rekonstruksi Konsep Wahyu
Kontemporer.” dalam Jurnal Muhammad Syahrûr. Yogyakarta:
Paramadina.Vol.I, No. 1. elSAQ Press.
Baltâjî, Muhammad. 2003. Manhaj ‘Umar Jâbirî, Muhammad. 1986. ‘Âbid al-Nahnu
bin al-Khaththâb fî al-Tasyrî’: Dirâsah wa al-Turâts: Qirâ`ah Mu’âshirah fî
Mustau’ibah li Fiqh ‘Umar wa Turâtsinâ al-Falsafî. Beirut/ al-Dâr al-
Tanzhîmâtih, terj. Masturi Ilham Baydhâ`: al-Markaz al-Tsaqâfi al-‘Arabî.
dengan judul Metodologi Ijtihad Umar
Jamal, Bassâm. 2005. al-.Asbâb Al-Nuzûl.
bin al-Khaththâb. Jakarta: Khalifa.
Maroko, al-Dâr al-Baydhâ‘: al-Markaz
Clark, Peter. 1996. “The Shahrur Phenom- al-Tsaqâfî al-‘Arabî.
enon: a Liberal Islamic Voice from
Kermani, Navid. 1996. “From Revelation to
Syria.” dalam Islam and Christian-
Interpretation: Nasr Hamid Abu Zayd
Muslim Relations. Vol. 7, No. 3.
and the Literary Study of the Qur`an”.
Commins, David. 1986. “Religious Reform- Dalam Offenbarung als
ers and Arabists in Damascus 1885- Kommunikation, Das Konzept wahy in

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014 21


Kesinambungan dan Perubahan

Nasr Hamid Abu Zays ’Mafhum al- _____.1994. Islamic Methodology in History.
nass’. Frankfurt: Peter Lang. New Delhi: Adam Publishers & Dis-
tributors.
Khalafallâh, Muhammad Ahmad. 1999. Al-
Fann al-Qashashî fî al-Qur‘ân al- Rahman, Yusuf. 2008. “The Qur`an in Egypt
Karîm: Ma’a Syarh wa Ta’lîq Khalîl III: Nasr Abû Zayd’s Literary Ap-
‘Abd al-Karîm. London, Beirut, Cairo: proach”. Dalam Coming to Terms with
Sînâ li al-Nasyr dan al-Intisyâr al- the Qur`ân, ed. Khaleel Mohammed
‘Arabî. dan Andrew Rippin. New Jersey: Is-
lamic Publications International.
Kurzman, Charles (ed.). 1989. Liberal Islam,
A Sourcebook. New York-Oxford: Ox- Rippin, Andrew. 1988. “The Function of
ford University Press. Asbâb al-Nuzûl in Quranic Exegesis”.
Dalam Bulletin of the School of Orien-
Muslim, Musthafâ. 1997. Mabâhits fî al-
tal and African Studies (BSOAS), vol.
Tafsîr al-Mawdhû’î. Damaskus: Dâr al-
51.
Qalam.
Saifuddin. 2011. Arus Tradisi Tadwin Hadis
Mustaqim, Abdul dan Sahiron Syamsuddin
dan Historiografi Islam. Yogyakarta:
(ed.) 2002. Studi al Qur’an
Pustaka Pelajar.
Kontemporer Wacana Baru Berbagai
Metodologi Tafsir. Yogyakarta: Tiara Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah.
Wacana. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Muzaynî, Khâlid bin Sulaymân. 1427 H. al- _____. 2006. Wawasan al-Qur‘an. Bandung:
al-Muharrar fî Asbâb Nuzûl al-Qur‘ân Mizan.
(Min Khilâl al-Kutub al-Tis’ah): Dirâsat
Suyûthî, Jalâl al-Dîn. 1988. al-.Al-Tahbîr fî
al-Asbâb Riwâyatan wa Dirâyatan.
‘Ilm al-Tafsîr. Beirut: Dâr al-Kutub al-
Makkah: Dâr Ibn al-Jauzî.
‘Ilmiyyah.
Nazâl, ‘Imrân Samîh. 2006. Al-Wahdah al-
Sya’râwî, Muhammad Mutawallî al. Tafsîr
Târîkhiyyah li al-Suwar al-
al-Sya’râwî. Khawâthir Fadhîlah al-
Qur`âniyyah. Aman: Dâr al-Qurrâ`
Syaikh Muhammad Mutawallî al-
dan Damakus: Dâr Qutaybah.
Sya’râwî Hawla al-Qur‘ân al-Karîm.
Nur Ichwan, Moch. 2003. Meretas Cairo: Akhbâr al-Yaum, t.th.
Kesarjanaan Kritis al-Qur‘an: Teori
Syahrûr, Muhammad. 1990. Al-Kitâb wa al-
Hermeneutika Nasr Abu Zayd. Jakarta:
Qur’ân: Qirâ’ah Mu’âshirah.
Teraju.
Damaskus: al- Ahaly Lithibâ’ah wa al-
Orsbone, Grant R. 1991. The Hermeneutical Nasyr wa al-Tauzî.
Spiral. Illinois: Intervarsity Press.
_____. 1998. “Kita Tidak Memerlukan
Qalyubi, Syihabuddin. 1997. Stilistika al- Hadis”, wawancara dengan majalah
Qur’an. Jogjakarta: Titian Ilahi Press. Ummat, No. 4 Thn. IV.
Qathân, Mannâ’ al-.Mabâhits fî ‘Ulûm al- _____. 1996. Al-Islâm wa al-Iman
Qur’ân.ttp: tnp, tt. Manzhûmah al-Qiyâm. Damaskus: al-
Ahaly Lithibâ’ah wa al-Nasyr wa al-
Rahman, Fazlur. 1982. Islam and Modernity,
Tauzî.
Transformation of an Intellectual Tra-
dition. Chicago: The University of Chi- _____. 1994. Dirâsât Islâmiyyah Mu’âshirah
cago. fi al-Dawlah wa al-Mujtamâ’.
Damaskus: al-Ahaly Lithibâ’ah wa al-
Nasyr wa al-Tauzî.

22 Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014


Kesinambungan dan Perubahan

_____. 2000. Nahwa Ushûl Jadîdah Li al-Fiqh Wardani. 2011. Ayat Pedang Versus Ayat
al-Islâmy: Fiqh al-Mar’ah. Damaskus: Damai: Menafsir Ulang Teori Naskh
al-Ahaly Lithibâ’ah wa al-Nasyr wa al- dalam al-Qur‘an. Jakarta:
Tauzî. Kementerian Agama RI.
Syamsuddin, Sahirun. 2000. “Konsep Zarkasyî, Badr al-Dîn. 2001. al-Al-Burhân fî
Wahyu Al Qur’an Dalam Perspektif ‘Ulûm al-Qur`ân, tahqîq Mushthafâ
M. Syahrûr.” dalam jurnal Studi Ilmu- ‘Abd al-Qâdir ‘Athâ`. Beirut: Dâr al-
ilmu al Qur’an dan Hadis Vol. 1, No. 1 Fikr.
Syawwâf, Mahâmî Munir Muhammad Zarqânî, ‘Abd al-‘Azhîm.al-Manâhil al-‘Irfân
Thâhir al. 1993. Tahâfut al Qirâ’ah al fî ‘Ulûm al-Qur`ân. Beirut: Dâr al-Fikr,
Mu’âshirah. Cyprus: al-Syawwaf. t.th.
Wâhidî. 2006. alAsbâb al-Nuzûl. Beirut: Dâr Zurayq, Qustantine. 1984. “al-Nahj al-‘Ashri
al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Muhtawah wa Huwiyyatuh
Ijâbiyyatuh wa Salbiyyatuh.” dalam
al-Mustaqbal al-‘Arabi, No. 69.

Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014 23


24 Tashwir Vol. 2 No. 3, Januari – Juni 2014

Anda mungkin juga menyukai