Anda di halaman 1dari 38

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Deskripsi Teori

1. Definisi Novel

a. Pengertian Novel

(Tarigan, 1991: 164-165). Novel atau sering disebut sebagai roman adalah

suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang yang tertentu, yang melukiskan para

tokoh, gerak serta adegan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu

keadaan yang agak kacau atau kusut. Novel memunyai ciri bergantung pada tokoh,

menyajikan lebih dari satu impresi, menyajikan lebih dari satu efek, menyajikan lebih

dari satu emosi.

(Nurgiyantoro, 2010:10). Mengemukakan bahwa novel merupakan karya

fiksi yang dibangun oleh unsur-unsur pembangun, yakni unsur intrinsik dan unsur

ekstrinsik. Novel juga diartikan sebagai suatu karangan berbentuk prosa yang

mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang lain di sekelilingnya

dengan menonjolkan watak dan sifat pelaku. Novel juga merupakan jenis karya sastra

yang ditulis dalam bentuk naratif yang mengandung konflik tertentu dalam kisah

kehidupan tokoh-tokoh dalam ceritanya.

Biasanya novel kerap disebut sebagai suatu karya yang hanya

menceritakan bagian kehidupan seseorang. Hal ini didukung oleh pendapat


(Sumardjo, 1984: 65) . Sedangkan novel sering diartikan sebagai hanya bercerita

tentan kehidupan seseorang saja, seperti masa menjelang perkawinan setelah

mengalami masa percintaan; atau bagian kehidupan waktu seseorang tokoh mengalami

krisis dalam jiwanya, dan sebagainya.

Kehidupan seseorang saja, seperti masa menjelang perkawinan setelah

mengalami masa percintaan; atau bagian kehidupan waktu seseorang tokoh mengalami

krisis dalam jiwanya, dan sebagainya.

Novel ialah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu

kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang (tokoh cerita; pen.), luar

biasa karena dari kejadian ini terlahir konflik, suatu pertikaian, yang mengalihkan

jurusan nasib mereka.

Berdasarkan beberapa pendapat pakar mengenai pengertian novel di atas, peneti

mengacu pada pendapat (Nurgiyantoro, 2010:10) karena pengertian novel tersebut

berkaitan dengan unsur intrinsik karya fiksi. Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian

yaitu mengidentifikasi salah satu unsur intrinsik, yakni perilaku tokoh. Selain itu,

pengertian novel yang dikemukakan oleh Nurgiyantoro lebih jelas dan mudah

dipahami.

b. Unsur Intrinsik Novel

Novel sebagai karya fiksi dibangun oleh sebuah unsur yang disebut unsur

intrinsik. Unsur pembangun sebuah novel tersebut meliputi tema, alur, latar, tokoh dan

penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. Unsur intrinsik sebuah novel

adalah unsur-unsur yang secara langsung ikut serta dalam membangun cerita. Hal
ini didukung oleh pendapat (Nurgiyantoro 2010 : 23). Unsur intrinsik (intrinsic) adalah

unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang

menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual

akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah

unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita.

Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel

berwujud. Atau, sebaliknya, jika dilihat dari sudut kita pembaca, unsur-unsur (cerita)

inilah yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah novel. Unsur yang dimaksud,

untuk menyebut sebagian saja, misalnya, peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar,

sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain.

Unsur intrinsik suatu karya fiksi disebut juga sebagai unsur struktur cerita-rekaan

(fiksi). Unsur tersebut meliputi lima hal, yaitu (1) alur, (2) penokohan, (3) latar, (4)

pusat pengisahan, dan (5) gaya bahasa. Hal ini sesuai oleh pendapat (Esten 2013: 25)

berikut.

Beberapa unsur struktur cerita-rekaan sebagai berikut.

1. Alur

2. Penokohan/Perwatakan

3. Latar

4. Pusat Pengisahan (Point Of View)

5. Gaya Bahasa
(Sukada, 2013: 62) menyebut unsur-unsur penting struktur sebuah cerita rekaan

meliputi (a) tema, (b) penokohan, (c) latar, dan (d) pusat pegisahan. Sedangkan

(Sumardjo, 1984: 54) mengemukakan unsur-unsur fiksi meliputi tujuh hal. Hal-hal

yang dimaksud yakni

1) plot (alur cerita),

2) karakter (perwatakan),

3) tema (pokok pembicaraan),

4) setting (tempat terjadinya cerita),

5) suasana cerita,

6) gaya cerita,

7) sudut pandangan pencerita.

c. Penjelasan Mengenai Unsur-Unsur Intrinsik

Tema

Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan

yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik dan yang menyangkut

persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Nurgiyantoro, 2010: 68). Tema

dipandang sebagai dasar cerita atau gagasan umum dalam sebuah karya fiksi. Tema

dalam sebuah karya fiksi sebelumnya telah ditentukan oleh pengarang untuk

mengembangkan ceritanya.
Alur

Alur atau plot adalah jalinan peristiwa atau kejadian dalam suatu karya sastra

untuk mencapai efek tertentu. Alur merupakan urutan peristiwa atau kejadian dalam

suatu cerita yang dihubungkan secara sebab-akibat. Alur juga dapat diartikan

sebagai peristiwa-peristiwa dalam suatu cerita yang memiliki penekanan pada

hubungan kausalitas. Alur juga disebut sebagai urutan-urutan kejadian dalam sebuah

cerita. Hal ini sesuai dengan pendapat (Stanton 1965: 14). Plot adalah cerita yang berisi

urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat,

peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.

Tokoh dan Penokohan

Istilah tokoh merujuk pada orang atau pelaku dalam sebuah cerita, sedangkan

penokohan adalah cara seorang penulis menampilkan sifat dan watak dari suatu tokoh.

Penokohan juga dapat disebut sebagai pelukisan gambaran yang jelas mengenai

seseorang yang ditampilkan dalam suatu cerita. (Abrams 1981: 20).

Mengemukakan tokoh cerita (character) adalah orang-orang yang ditampilkan

dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas

moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa

yang dilakukan dalam tindakan.


Latar

Latar disebut juga setting. Latar adalah segala keterangan, pengacuan, atau

petunjuk yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan situasi terjadinya peristiwa dalam

suatu cerita. Latar berfungsi sebagai pemberi kesan realistis kepada pembaca. Selain

itu, latar digunakan untuk menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada

dan terjadi. Hal ini didukung oleh pendapat (Abrams 1981: 175) . Latar atau setting

yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan

waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Sudut Pandang

Yang dimaksud sudut pandang di sini adalah kedudukan atau posisi pengarang

dalam cerita tersebut. Dengan kata lain posisi pengarang menempatkan dirinya dalam

cerita tersebut. Apakah ia ikut terlibat langsung dalam cerita itu atau hanya sebagai

pengamat yang berdiri di luar cerita (Suroto, 1989: 96).

Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah alat atau sarana utama pengarang untuk melukiskan,

menggambarkan, dan menghidupkan cerita secara estetika. Gaya bahasa juga

dapat diartikan sebagai cara pengarang mengungkapkan ceritanya melalui bahasa yang

digunakan dalam cerita untuk memunculkan nilai keindahan. Contohnya gaya bahasa

personifikasi yang digunakan untuk mendeskripsikan benda-benda mati dengan cara


memberikan sifat-sifat seperti manusia atau mengubah benda mati menjadi benda yang

seolah-olah hidup.

Amanat

Amanat adalah pesan moral yang disampaikan seorang pengarang melalui cerita.

Amanat juga disebut sebagai pesan yang mendasari cerita yang ingin disampaikan

pengarang kepada para pembaca.

Tokoh

Dalam pengkajian unsur-unsur fiksi sering ditemukan istilah “tokoh” dan

“penokohan”, “watak”/”karakter”, dan “penokohan.”. perbedaan istilah-istilah tersebut

perlu dipahami. (Nurgiyantoro, 2007: 165) tokoh cerita adalah orang (-orang) yang

ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan

memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam

ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

(Aminuddin, 2013: 79) peristiwa dalam karya sastra fiksi seperti halnya peristiwa

dalam kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku- pelaku tertentu.

Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu

menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah orang

atau pelaku yang ditampilkan dalam sebuah cerita atau karya sastra yang memiliki

peranan yang sangat penting. Karena tanpa adanya tokoh dalam suatu cerita bisa

dikatakan cerita tersebut tidak akan hidup dan tidak akan menarik untuk dibaca. Dalam
kaitannya dengan keseluruhan cerita, peranan setiap tokoh tidak sama. Ada tokoh yang

dapat digolongkan sebagai tokoh sentral atau tokoh utama dan tokoh yang dapat

digolongkan sebagai tokoh tambahan.

Penokohan

Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang

ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2010: 166). Cara pengarang

menampilkan tokoh atau pelaku disebut dengan penokohan. Cara pengarang

menggambarkan atau memunculkan tokohnya itu dapat berbagai macam. Mungkin

pengarang menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya hidup di alam mimpi,

pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidup dan

lain sebagainya (Aminuddin (2013: 79).

(Thobroni, 2008: 66) juga mengungkapkan bahwa penokohan menunjuk pada

penempatan tokoh-tokoh tertentu di dalam cerita. Pendeknya, penokohan adalah

penggambaran yang jelas tentang diri seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita,

dengan kata lain penokohan atau perwatakan ialah teknik atau cara-cara menampilkan

tokoh.

Pengkajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh disebut penokohan.

Pengkajian tersebut dapat berupa pemberian nama yang menyiratkan arti, uraian

pengarang secara ekspilisit mengenai tokoh, maupun percakapan atau pendapat tokoh-

tokoh lain dalam cerita. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah cara

pengarang menggambarkan atau menampilkan tokoh dalam sebuah cerita. Penokohan

menunjuk kepada penempatan tokoh-tokoh tertentu dan watak-watak tertentu pula


dalam sebuah cerita. Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalam karya fiksi

dibedakan ke dalam dua cara, yaitu pelukisan secara langsung dan pelukisan secara

tidak langsung. Pelukisan secara langsung atau disebut juga dengan teknik analisis

adalah pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian,

atau penjelasan secara langsung. Pelukisan tokoh secara tidak langsung adalah

pengarang mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh.

Watak atau karakter menunjuk pada sifat dan sikap dari para tokoh seperti yang

ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh

Tokoh-tokoh yang ada dalam karya sastra kebanyakan berupa manusia,

atau makhluk lain yang mempunyai sifat seperti manusia. Artinya, tokoh cerita itu

haruslah hidup secara wajar mempunyai unsur pikiran atau perasaan yang dapat

membentuk tokoh-tokoh fiktif secara meyakinkan sehingga pembaca merasa

seolah-olah berhadapan dengan manusia sebenarnya. Dengan demikian, istilah

“penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia

sekaligus mencap masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan

bagaimana penempatan dan pelukisan dalam sebuah cerita sehingga sanggup

memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2010: 165-166).

c. Penggambaran Tokoh dalam Karya Fiksi

Meskipun kata tokoh dan penokohan sering digunakan orang untuk menyebut hal yang

sama atau kurang lebih sama, sebenarnya keduanya tidaklah mengacu pada hal yang

sama persis. Kata tokoh menyaran pada pengertian orang atau pelaku yang ditampilkan

dalam sebuah karya fiksi. Adapun penokohan ialah pelukisan gambaran yang jelas
tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones melalui Nurgiyantoro,

2010: 84). Tokoh dapat pula diartikan sebagai

Orang-orang yang ditampilkan dalam sebuah cerita naratif atau drama, yang oleh

pembaca ditampilkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang

diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam perbuatan

(Nurgiyantoro, 2010: 85). Ia adalah pelaku yang mengembangkan peristiwa

dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin sebuah cerita. Dengan

demikian, penokohan memiliki cakupan orang yang ditampilkan dalam sebuah

cerita fiksi dan penggambarannya (Aminuddin, 2013: 79).

Di samping kedua istilah di atas, sering pula digunakan kata watak dan

perwatakan mengarah pada sifat dan sikap tokoh cerita. Watak lebih mengacu pada

gambaran kualitas pribadi tokoh yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Pelaku

pelukisan rupa, watak atau pribadi tokoh dalam sebuah karya fiksi disebut perwatakan

atau penokohan. Sedangkan karakterisasi, atau dalam bahasa Inggris characterization,

berarti pemeranan, pelukisan watak.

(Minderop, 2005:2) berpendapat bahwa karakterisasi adalah metode melukiskan

watak para tokoh yang terdapat dalam suatu karya fiksi. Dengan kata lain, penokohan,

perwatakan ataupun karakterisasi menyaran pada hal yang sama, cara melukiskan

watak tokoh. Pelukisan karakter atau perwatakan yang baik adalah menggambarkan

watak dalam setiap ceritanya, sehingga pembaca melihat dengan jelas watak pelakunya

melalui semua tingkah laku, semua yang diucapkannya, semua sikapnya dan semua

yang dikatakan orang lain tentang tokoh ini dalam seluruh cerita.
(Subandi, 1978: 12), mengatakan karakterisasi merupakan pola pelukisan image

seseorang yang dapat dipandang dari segi fisik, psikis dan sosiologi. Segi fisik,

pengarang melukiskan karakter pelaku misalnya, tampang, umur, raut muka,

rambut, bibir, hidung, bentuk kepala, warna kulit dan lain-lain. Segi psikis,

pengarang melukiskan karakter pelaku melalui pelukisan gejala-gejala pikiran,

perasaan dan kemauannya. Dengan jalan ini pembaca dapat mengetahui

bagaimana watak pelaku. Segi sosiologis, pengarang melukiskan watak pelaku melalui

lingkungan hidup kemasyarakatan.

2. Definisi Sastra

a. Pengertian Sastra

Apabila mendengar kata “sastra”, Ada dua kemungkinan pengertian yang

muncul dalam benak kita. Pertama, sastra adalah hasil karya seni para pengarang atau

sastrawan, yang antara lain berupa prosa (cerita pendek dan novel), puisi, dan drama,

(naskah drama atau pementasan drama). Sastra yang masuk dalam pengertian pertama

ini disebut karya sastra atau sastra kreatif. Kedua, sastra adalah ilmu pengetahuan atau

bidang ilmu yang mempelajari karya-karya sastra (prosa, puisi, drama), yang dikenal

dengan nama ilmu sastra atau sastra ilmiah. Pengertian sastra dalam Bahasa Indonesia

tidak jauh berbeda dengan Bahasa eropa, seperti literature (Inggris), literatur (jerman),

literatuur (Belanda), litteratura (perancis), yang semuanya diturunkan dari litteratura

(latin). Secara umum dalam Bahasa- Bahasa eropa modern, kata yang diturunkan dari
litteratura (Latin) itu menunjukan arti : “ segala sesuatu yang tertulis, pemakaian

Bahasa dalam bentuk tertulis” (Teeuw, 1984:22)

Selain itu, sastra juga dapat berarti pengungkapan fakta artistik dan imajinatif

sebagai manifestasi kehidupan manusia melalui bahasa sebagai medium dan punya

efek positif terhadap kehidupan manusia (Esten, 2013:3) . Pengertian ini menegaskan

hal lain dari karya sastra, yakni imajinasi sebagai gambaran kehidupan manusia.

Dengan pengertian ini, tentu karya sastra sedekat apapun hubungannya dengan realitas

(intensitas alur, sudut pandang, latar peristiwa) harus dianggap sebagai karya imajinati.

Mendekatkan realitas dengan sastra sah-sah saja, tapi mendikotomi sastra sebagai fakta

peristiwa adalah hal yang keliru.

Sebuah cipta sastra mengungkapkan tentang masalah-masalah manusia dan

kemanusiaan. Tentang makna hidup dan kehidupan. Ia melukiskan penderitaan –

penderitaan manusia, perjuangannya kasih sayang dan kebencian, nafsu dan segala yang

dialami manusia. Dengan cipta sastra pengarang hendak menampilkan nilai-nilai yang

lebih tinggi dan lebih agung. Mau menafsirkan tentang makna hidup dan hakekat hidup.

Sebuah cipta sastra yang baik, mengajak orang untuk merenungkan masalah-

masalah hidup yang sulit. Mengajak orang untuk merenung dan berpikir dengan

sepenuh perhatian, menyadarkan dan membebaskannya dari segala belenggu – belenggu

pikiran jahat dan keliru.

(Kurniawan, 2012: 12) Sastra dalam sansekerta yaitu sas- yang berarti

mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, atau intruksi. Dalam bahasa Indonesia,

sastra dikenal dengan istilah susastra, suku kata su- pada kata tersebut bermakna baik

dan indah atau dalam kata lain susastra dapat dimaknai sebagai alat untuk mengajarkan
sesuatu yang indah. Selain itu sastra juga mempunyai nilai seni atau mempunyai bakat

dalam kesenian dan imajinasi sebagai perwujudan dalam kehidupan manusia melalui

bahasa sebagai ukuran dan punya efek positif terhadap kehidupan manusia. Pengertian

ini menegaskan hal lain dari karya sastra, yakni imajinasi sebagai gambaran kehidupan

manusia.

Dengan pengertian ini, tentu karya sastra sedekat apapun hubungannya dengan

realitas (intensitas alur, sudut pandang, latar peristiwa) harus dianggap sebagai karya

imajinasi. Mendekatkan realitas dengan sastra sah-sah saja, tapi membuat sastra sebagai

fakta peristiwa adalah hal yang keliru.

Sebagai bagian dari masyarakat, manusia tidak terlepas dari realitas moral dan

sosial dalam kehidupan sehari-hari. Menurut (Wiyatmi, 2006), karya sastra tidak jatuh

begitu saja dari langit, tetapi selalu ada hubungan antara sastrawan, sastra, dan

masyarakat. Dibandingkan dengan jenis karya sastra lainnya, novel merupakan suatu

keunggulan karena dapat mengembangkan unsur-unsur pembangunnya dalam menulis

sebuah karya sastra. Novel juga merupakan pengungkapan dari sebuah cerita kehidupan

manusia (dalam jangka yang telah panjang) dimana terjadi konflik yang akhirnya

menyebabkan terjadinya perubahan jalan hidup antara para pelakunya.

(Damono,1979:8), sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat, usaha

manusia untuk menyesuaikan diri, dan usahanya untuk mengubah masyarakat tersebut.

Wujud kreativitas seorang pengarang dapat digambarkan dengan sebuah tulisan seperti

puisi, cerpen atau bahkan novel. Tulisan itu dapat diwujudkan sebagai ungkapan yang

ingin disampaikan oleh seorang pengarang kepada orang lain. Tentunya hasil karya

sastra yang satu dengan yang lainnya mamiliki perbedaan, misalnya dalam karya
sastra yang berupa novel, dari segi isi, karya sastra ini lebih panjang daripada cerpen

atau puisi.

Karya sastra yang dihasilkan sastrawan selalu menampilkan tokoh yang

memiliki karakter sehingga karya sastra juga menggambarkan kejiwaan. Dengan

kenyataan tersebut karya sastra selalu terlibat dalam segala aspek hidup dan kehidupan

tidak terkecuali aspek kejiwaan atau psikologi. Hal ini tidak terlepas dari pandangan

dualisme yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya terdiri atas jiwa dan raga.

Oleh karena itu penelitian yang menggunakan pendekatan psikologi pada karya

sastra merupakan bentuk pemahaman dan penafsiran karya sastra dari sisi psikologi.

Pendekatan psikologi pada karya sastra merupakan bentuk pemahaman dan penafsiran

karya sastra dari sisi psikologi

b. Fungsi sastra

Sastra dengan berbagai jenis karyanya telah dibaca oleh banyak orang. Keadaan

membcanya beragam, ada yang sering, ada yang sesekali. Peran karya sastra dalam

tradisi umat manusia memang sebuah lintasan pemikiran. Sajian alur dan penokohan

didalam karya sastra mampu membangun keyakinan atau mitos tertentu untuk

dijadikan pelajaran. Misalnya cerita tentang Malin Kundang, oleh masyarakat cerita ini

dianggap sebagai sebuah kejadian nyata untuk dijadikan pelajaran agar tidak durhaka

kepada orang tua. Di sisi lain, karya sastra dianggap keadaan kehidupan nyata.

Anggapan kehidupan Buya Hamka sewaktu muda adalah seperti tercermin pada

novelnya Di Bawah Lindungan Ka’bah atau Tenggelamnya Kapal Vanderwijk.


Pandangan-pandangan demikian menunjukan bagaimana sebuah karya sastra

membentuk tanggapan penikmatnya, sehingga karya sastra bukan hanya sebuah benda

yang mati setelah ditulis, namun justru hidup setelah tulisan itu berakhir. Hidupnya

sastra itu ketika ia berfungsi kepada pembacanya.

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa fungsi sastra berikut

ini :

Fungsi Estetik

Karya sastra memiliki fungsi estetik yang artinya bahwa karya sastra

memberikan keindahan kepada pembacanya. Hal ini diungkap oleh Horace dalam

Wellek dan Warren bahwa karya sastra itu harus indah (Wellek dan Warren, 2014:23).

Dalam karya fiksi, keindahan terdapat pada ekspresi dan narasi yang dibangun

pengarang. Pembaca seakan berada di dalam alur cerita atau tempat peristiwa entah

berantah yang disajikan pengarangnya.

Fungsi Hiburan Fenomena

Pemuatan karya sastra dikoran maupun di majalah tidak lain adalah untuk

memberikan hiburan kepada pembaca setia koran tersebut. Lewat keindahan kata-kata

di dalam puisi serta rangkaian alur yang menyentuh hati dalam karya fiksi, sastra

menjadi bacaan alternatif yang ditunggu tiap minggu. Berkaitan dengan hal itu, sastra

itu berfungsi untuk menghibur (Poe dalam Wellek dan Warren, 2014: 23). Dengan

demikian, penciptaan karya sastra pada dasarnya bukan hanya untuk tujuan mendidik

saja, namun bertujuan untuk menghibur pula.

Fungsi Ekspresi
Karya sastra pada dasarnya merupakan bentuk ekspresi para pengarangnya.

Endapan pikiran dan perasaan yang kemudian dirangkai menjadi berbagai bentuk karya

sastra. Kegelisahan terhadap apa ysng terjadi di lingkungan masyrakatnya yang

kemudian di tuangkan dalam bentuk narasi yang puitis atau penuh pendapat seseorang .

Intinya, sastra merupakan alat untuk mengekspresikan gagasan penulis.

Karya sastra misalnya dijadikan sebagai alat untuk mengungkapkan perasaan

cinta. Ekspresi seperti ini lazim dilakukan oleh mudi-mudi dengan membuat puisi.

Selain itu, puisi juga kadang dijadikan sebagai ekspresi kritik sosial. Misalnya seperti

puisinya berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia yang mengeritik tentang fenomena

keruntuhan akhlak masyarakat Indonesia.

c. Jenis – Jenis Karya Sastra

Dalam membagi karya sastra menjadi jenis-jenis tertentu, tentu saja hal ini akan

berkaitan erat dengan sejarah panjang kesustraan dunia. Dalam buku Wallek dan

Warren berjudul Teori Kesusastraan menegaskan bagaimana perbedaan pendapat yang

terjadi tentang pembagian jenis karya sastra itu sendiri. Misalnya pendapat Aristoteles

dan Horace yang membagi jenis sastra menjadi tragedi dan epik. Namun perkembangan

teori modern hanya membaginya menjadi tiga, yakni fiksi, drama dan puisi. Penjabaran

tersebut menunjukkan perbedaan mendasar pembagian jenis sastra.

Namun, menyimak fakta perkembangan kesustraan saat ini, umumnya

masyarakat mengenal karya sastra menjadi empat jenis, yakni puisi, cerpen, novel, dan

drama. Untuk cerpen dalam novel, Nurgiyantoro dalam bukunya pengkajian fiksi,

menggolongkannya menjadi satu genre, yakni fiksi, sementara Esten dalam bukunya
kesustraan: Pengantar Teori dan Sejarah. Menyebutnya sebagai cerita rekaan. Masih

dalam bukunya, (Esten, 2013:6). Oleh karena itu, genre sastra dikatagorikan oleh Esten

menjadi empat bagian, yakni puisi, cerita rekaan, esai dan kritik, dan drama.

Selain penggolongan sastra berdasarkan bentuknya tersebut, sastra juga dapat

digolongkan berdasarkan medianya. Berdasarkan medianya, sastra terbagi menjadi dua,

yakni sastra lisan dan sastra tulis.

Sastra lisan adalah karya sastra yang menyebar dari mulut ke mulut. Umumnya

sastra lisan tumbuh dan berkembang pada saat lingkungan sastra peradaban budaya

tulis-menulis belum meyentuh lingkungan masyarakat tersebut. Dalam budaya kita

sastra lisan ini terlihat pada karya puisi. Misalnya pantun, talibun, dan seloka. Adapun

dalam karya fiksi, kita mengenalnya melalui legenda, cerita rakyat, dan fabel. Sifatnya

yang menyebar dari mulut ke mulut ini, membuat sumber pengarangnya tidak

ditemukan sehingga disebut anonim.

Sastra tulis adalah sastra yang penyebarannya melalui media tertulis. Jenis sastra

inilah yang sampai sekarang bertahan. Dengan ditulisnya teks sastra, maka membuat

teks tersebut dapat dibaca secara berulang dalam jangka waktu yang panjang. Selama

bukti tertulisnya ada, maka karya itu akan terus ada. Hal ini berbeda dengan sastra lisan,

yang tentu saja akan hilang jika tidak diceritakan kembali. Selain itu, dikumentasi

situasinya pun jelas. Mulai dari nama pengarang, penerbit, dan tahun akan dengan

mudah ditemukan di sastra tulis.

Sastra cetak adalah karya sastra yang dicetak dalam bentuk buku. Sastra cetak

ini berkembang cukup pesat dan berperan penting dalam menyebarkan karya sastra di
tengah masyarakat. Umumnya dalam bentuk novel yang lebih laris dibandingkan

dengan bentuk lainnya, misalnya Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal

Van Der Wijk, Laskar Pelangi, Negeri 5 Menara, dan lain sebagainya yang dicetak

berulang-ulang.

d. Fungsi – Fungsi Sastra

Pada umumnya sifat dan fungsi sastra, tidak berubah sepanjang sejarah, sejauh

konsep-konsep tersebut dituangkan dalam istilah konseptual yang umum. Menurut

teoritikus fungsi sastra adalah untuk membebaskan pembaca dan penulisnya dari

tekanan emosinya. Munculnya sastra biasanya disebabkan adanya penumpukan ide,

imajenasi, dan emosi penulis yang mana kepuasannya hanya bisa terealisasikan melalui

kegiatan menulis sastra/bersastra. Sedangkan fungsi sastra yang lainnya adalah (1)

sebagai alat komunikasi; (2) sebagai alat penulis tradisi pelestarian budaya; (3) sebagai

pembentuk nilai humaniora; dan (4) sebagai pelipur lara.

Fungsi sastra yang pertama adalah sebagai alat komunikasi artinya didalam

sastra itu sendiri media utamanya dalam usaha penyampaian ide adalah bahasa, dimana

pada sebuah bahasa memiliki tujuan sebagai alat komunikasi, bertukar pikiran,

menyampaikan ide, informasi dan juga perasaan kita kepada orang lain. Sesungguhnya

inilah yang sedang dilakukan oleh sastra. Kalau musisi media komunikasinya adalah

musik yang di dalamnya termuat lirik-lirik lagu berisikan luapan perasaan musisi, lain

halnya dengan sastrawan, mereka menyampaikan ide dan pemikirannya dengan media

komunikasi utamanya adalah melalui sastra.


Kedua, sastra fungsi sebagai alat penulis tradisi dan pelestarian budaya, artinya

peranan sastra dalam pelestarian sejarah yang ada di indonesia sangat dominan.

Pendokumentasian sastra pada zamannya selalu membawa dampak positif bagi

perkembangan dunia sastra itu sendiri khususnya, umumnya untuk kemajuan bangsa

kita. Bisa kita bayangkan bagaimana jadinya kalau tidak ada sastra, maka sejarah-

sejarah besar daerah Negara Indonesia, peradaban manusia, budaya, agama, tatanan

nilai, dan juga berbagai macam kejadian lainnya tidak bisa diketahui oleh generasi

penerus bangsa khususnya kaum muda.

Ketiga, sastra berfungsi sebagai pembentukan nilai humaniora. Di dalam sastra

itu sendiri sarat akan nilai-nilai kehidupan yang sengaja di ciptakan penulis melalui

tokoh, perwatakan tokoh, dan perilaku yang ditampilkan oleh tokoh dalam sebuah

cerita. Nilai-nilai yang terkandung dalam sastra meliputi berbagai hal mulai dari nilai

yang dianggap sesuai dengan harapan pembaca (nilai baik) atau bahkan nilai-nilai yang

dianggap tidak sesuai dengan harapan pembaca (nilai-nilai buruk). Baik nilai baik

maupun nilai buruk keduanya bisa diambil sisi positifnya untuk kebaikan kehidupan

pembaca.

Keempat, sastra berfungsi sebagai pelipur lara. Dalam hal ini posisi sastra

dianggap sebagai penghibur. Bagi kalangan umum ketika seseorang membaca sastra

masing-masing memiliki tujuan dan maksud tertentu, sedangkan salah satu tujuan dari

membaca sastra pada taraf rendah adalah mencari hiburan. Walaupun kedudukan

pembaca pada level ini sekedar mencari hiburan tapi bukan berarti isi dan amanat sastra

tidak bisa ditangkap secara maksimal. Setidaknya dengan membaca sastra waktu kita
tidak terbuang sia-sia, pikiran kita bisa hidup, dan yang utama pembaca bisa

mendapatkan pengalaman baru sesuai dengan karya sastra yang kita baca.

e. Pembelajaran Novel di Sekolah Menengah Atas (SMA)

(Purba, 2001: 2), “Kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa

Sankerta. Akar katanya adalah cas yang berarti memberi petunjuk, mengarahkan, dan

mengajar. Oleh karena itu, sastra dapat diartikan sebagai alat untuk mengajar, buku

petunjuk, instruksi atau pengajaran”. (Wellek dan Warren ,1995 : 3) mengatakan,

“Sastra adalah suatu 2004: 63) mengatakan, “Menciptakan dan mengapresiasi

karya sastra merupakan pengalaman intelektual dan emosional yang tinggi

derajatnya yang akan lebih memanusiakan manusia”.

Sehubungan dengan nilai-nilai dalam pengembangan pendidikan budaya

dan karakter bangsa yang mulai diberlakukan Diknas mulai tahun ajaran 2011,

pembelajaran sastra dianggap penting karena pembelajaran sastra dapat

membantu pembentukan watak. Dalam nilai pembelajaran sastra ada dua

tuntutan yang dapat diungkapkan sehubungan dengan pembentukan watak ini. Pertama,

pembelajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam. Seseorang

yang telah banyak mendalami berbagai karya sastra biasanya memiliki perasaan yang

lebih peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai.
Tuntutan kedua, bahwa pembelajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan

dalam usaha mengembagkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang antara

lain meliputi ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan.

Sastra dianggap kurang penting dan kurang berperan dalam masyarakat

Indonesia hari ini. Hal ini terjadi karena masyarakat kita saat ini sedang

mengarah ke masyarakat industri sehingga konsep-konsep yang berkaitan dengan

sains, teknologi, dan kebutuhan fisik dianggap lebih penting dan mendesak untuk

digapai. Sedikitnya perhatian anggota masyarakat terhadap kegiatan kesastraan

(dan kebudayaan pada umumnya) merupakan salah satu indikasi adanya

kecenderungan tersebut. Kegiatan kesastraan dianggap hanya memberi manfaat

nonmaterial, batiniah, sehingga dianggap kurang mendesak dan masih dapat ditunda.

Istilah apresiasi berasal dari bahasa Latin apreciatio yang berarti

“mengindahkan”atau “menghargai”. Konteks yang lebih luas, istilah apresiasi menurut

(Aminuddin, 2014: 34) mengandung makna (1) pengenalan melalui perasaan

ataukepekaan batin dan (2) pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai

keindahanyang diungkapkan pengarang.

(Aminuddin, 2014: 37) mengungkapkan bahwa pada saat ia membaca suatu

karya sastra, dalam kegiatan tersebut ia selalu berusaha menciptakan sikap serius,

tetapi dengan suasana batin riang. Penumbuhan sikap serius dalam membaca cipta

sastra itu terjadi karena sastra bagaimanapun lahir dari daya kontemplasi batin

pengarang sehingga untuk memahaminya juga membutuhkan pemilikan daya

kontemplatif pembacanya. Sementara pada sisi lain, sastra merupakan bagian dari seni
yang berusaha menampilkan nilai-nilai keindahan yang bersifat aktual dan imajinatif

sehingga mampu memberikanhiburan dan kepuasan rohaniah pembacanya.

Pembelajaran merupakan suatu proses yang dilakukan oleh guru dan siswa

untuk mencapai tujuan belajar tertentu. Proses pembelajaran, guru bertindak sebagai

fasilitator bagi siswa. Pembelajaran merupakan suatu proses yang mengarahkan siswa

untuk membangun pengetahuan dan mampu mengembangkan kreativitasnya.

Pembelajaran Bahasa Indonesia merupakan salah satu proses belajar agar siswa dapat

mengembangkan keterampilan berbahasa yang dimilikinya. Keterampilan berbahasa

tersebut terdiri atas empat aspek, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan

menulis. Pembelajaran Bahasa Indonesia terdiri atas dua aspek, yaitu aspek kebahasaan

dan aspek kesastraan.

f. Tujuan Pembelajaran Novel

Proses pembelajaran Bahasa Indonesia siswa diharapkan mampu

mengembangkan kreativitasnya dalam bidang kesastraan. Namun masalah yang kita

hadapi sekarang adalah menentukan pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan

yang maksimal untuk memberikan sumbangan secara utuh. Pembelajaran sastra dapat

membantu pendidikan secara utuh, apabila cangkupannya meliputi 4 manfaat, yaitu:

membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya,

mengembangkan cipta danrasa yang menunjang pembentukan watak.

- Membantu Keterampilan Berbahasa

Seperti kita ketahui ada 4 keterampilan berbahasa, yaitu: menyimak, wicara,

membaca, dan menulis. Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti


akan membantu siswa berlatih keterampilan membaca. Dalam pengajaran sastra, siswa

dapat melatih keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya sastra.

Dalam pengajaran sastra siswa juga dapat melatih keterampilan berbicara dengan cara

mengikuti pementasan drama.

- Meningkatkan Keterampilan Budaya

Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam dengan

keseluruhannya. Setiap karya sastra selalu menghadirkan ‘sesuatu’ dan kerap

menyajikan banyak hal yang apabila dihayati sungguh-sungguh akan semakin

menambah pengetahuan orang yang mengahayatinya. Apabila kita dapat merangsang

siswa-siswa untuk memahami fakta-fakta dalam karya sastra, lama-kelamaan siswa itu

akan sampai pada realisasi bahwa fakta-fakta itu sendiri tidak lebih penting dibanding

dengan keterkaitannya satu sama lain sehingga dapat saling menopang dan

memperjelas apa yang ingin disampaikan lewat karya sastra itu.

- Mengembangkan Cipta dan Rasa

Pengajaran sastra, hal yang dapat dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat

indra, penalaran, bersifat efektif, bersifat sosial dan juga sifat religius.

- Menunjang Pembentukan Watak

Pengajaran sastra mampu membina perasaan yang lebih tajam. Sastra dapat

membantu mengenal seluruh rangkaian hidup manusia seperti misalnya: kebahagian,

kebebasan, kesetiaan, kebanggaan diri sampai kelemahan, kekalahan, keputusasaan,


kebencian, perceraian, dan kematian. Pembelajaran sastra juga dapat membantu

mengembangkan kualitas kepribadian siswa yang antara lain meliputi: ketekunan,

kepandaian, pengimajian, dan penciptaan. (Rahmanto, 2005: 16--25).

g. Strategi Pembelajaran Novel

- Pemilihan Edisi Buku

Apabila unuk satu judul buku tersedia lebih dari satu terbitan di took maupun di

perpustakaan, hendaknya dipilih yang lebih baik cetakannya maupun olahannya meski

harganya sedikit lebih tinggi. Buku-buku yang dicetak dengan kertas yang baik dan

cetakan yang bermutu biasanya lebih enak untuk dibaca.

- Mengawali Pembicaraan dengan Menyenangkan

Agar siswa sejak awal dapat tertarik pada buku yang sedang dibahas, guru

hendaknya menunjukkan atau membacakan bagian-bagian yang menarik dari buku itu

sebelum siswa membaca dan memilikinya.

- Memberikan Pentahapan Belajar

Puisi pendek dapat kita berikan sekaligus dalam satu atau dua jam pelajaran, tetapi

untuk menyajikan novel kadang memerlukan waktu yang jauh lebih panjang. Oleh
karena itu, guru hendaknya membantu siswa memberikan pentahapan bab-bab yang

akan dipelajari.

- Membuat Cerita Lebih Hidup

Salah satu tugas utama guru dalam memberikan pengajaran novel ini adalah

membantu siswa menemukan konsep atau pemikiran fundamental yang benar tentang

novel itu. Agar siswa betah menikmati sampai akhir, hendaknya guru dapat membuat

cerita itu menjadi lebih hidup. Guru tidak perlu membahas istilah-istilah teknis tentang

latar belakang, tapi yang penting siswa dapat asyik menikmati cerita itu sehingga hidup

dan mengesan dalam diri siswa.

- Metode yang Bervariasi

Membaca dan mempelajari novel memakan waktu yang lama, guru dapat menolong

mengurangi rasa kejemuan dengan jalan menterapkan berbagai variasi pengajaran.

Kegiatan membaca novel sebagian besar harus dilakukan oleh siswa secara individual.

Namun guru dapat juga sesekali membacakan kegiatan tertentu, terutama bagian yang

mengandung unsur dramatik dan lucu.

- Membuat Catatan Ringkas

Sebuah novel biasanya panjang dan kompleks, hendaknya para siswa dianjurkan

membuat catatan ringkas untuk membantu mengingat kesan kesan yang telah

didapatkannya dari apa yang telah dibacanya. Catatan ini dapat berwujud daftar nama

tokoh yang penting dalam novel tersebut dengan memberikan komentar seperlunya.

- Pengkajian Ulang
Setelah seluruh novel dibaca, perlu diadakan pengkajian ulang tentang apa yang

telah dibacanya. Ini penting, terutama untuk memperjelas kesan para siswa tentang

novel yang mereka pelajari dan bila perlu untuk memperbaiki kesan-kesan yang keliru.

Pengkajian ulang ini dilaksanakan dengan cara diskusi (Rahmanto, 2005: 75--81).

h. Rancangan Pembelajaran di Sekolah Menengah Atas (SMA)

Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor

20, 21, 22, 23, dan 24 Tahun 2016, telah terjadi beberapa perubahan terhadap

kurikulum 2013 yang sebelumnya. Sejak bulan Juli 2016, perubahan tersebut mulai

diberlakukan secara nasional. Dalam Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan

Menengah, disebutkan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan

diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi

peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi

prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan

fisik serta psikologis peserta didik. Untuk itu setiap satuan pendidikan melakukan

perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian proses

pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi

lulusan.

Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi yang ditetapkan

Permendikbud Nomor 20 dan 21 Tahun 2016, maka prinsip pembelajaran yang

digunakan adalah:
1. dari peserta didik diberi tahu menuju peserta didik mencari tahu;

2. dari guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka

sumber belajar;

3. dari pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan

pendekatan ilmiah;

4. dari pembelajaran berbasis konten menuju pembelajaran berbasis kompetensi;

5. dari pembelajaran parsial menuju pembelajaran terpadu;

6. dari pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menuju pembelajaran dengan

jawaban yang kebenarannya multi dimensi;

7. dari pembelajaran verbalisme menuju keterampilan aplikatif;

8. peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal (hardskills) dan

keterampilan mental (softskills);

9. pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik

sebagai pembelajar sepanjang hayat;

10. pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan (ingngarso

sung tulodo), membangun kemauan (ing madyo mangun karso), dan mengembangkan

kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran (tutwuri handayani);

11. pembelajaran yang berlangsung di rumah di sekolah, dan di masyarakat;


12. pembelajaran yang menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah guru, siap saja

adalah peserta didik, dan di mana saja adalah kelas;

13. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi

dan efektivitas pembelajaran; dan

14. pengakuan atas perbedaan individual dan latar belakang budaya peserta didik.

Sebagaimana tertulis dalam lampiran Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016, terkait

dengan prinsip di atas, dikembangkan standar proses yang mencakup perencanaan

proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran,

dan pengawasan proses pembelajaran.

3. Definisi Pikologi Sastra

a. Psikologi Sastra

Pada awal perkembangannya, pendekatan dalam kritik sastra ada dua macam,

yaitu pendekatan moral dan pendekatan formal. Seiring dengan pesatnya perkembangan

zaman, terutama karena adanya sumbangan ilmu/ pengaruh dari dunia kemasyarakatan

dan psikologi dalam studi sastra mengakibatkan munculnyadua pendekatan baru,

yaitu: 1) pendekatan ilmu sosiologi yang memanfaatkan ilmu sosiologi, dan 2)

pendekatan ilmu psikologi yang memanfaatkan ilmu psikologi, termasuk

didalamnya pendekatan mitos ( Harjana, 1995: 59).

Psikologi sastra merupakan gabungan antara ilmu sastra dan psikologi. Secara

definitif, psikologi sastra adalah analisis terhadap karya sastra dengan

mempertimbangkan relevansi aspek-aspek psikologi atau kejiwaan yang terkandung

didalamnya. Psikologi tokoh-tokoh dalam karya sastra, dan psikologi pembaca sastra.
Sebagai ilmu yang berkaitan dengan cukup besar terhadap hakikat psikologi sekaligus

memanfaatkannya dalam memahami berbagai permasalahan kehidupan manusia.

(Ratna, 2009 : 343) ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami

hubungan antara psikologi dengan sastra, yakni (1) memahami unsur - unsur kejiwaan

pengarang sebagai penulis, (2) memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional

dalam karya sastra, (3) memahamai unsur-unsur kejiwaan para pembaca. Unsur

kejiwaan pengarang dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni (1) studi psikologi yang

khusus berkaitan dengan pengarang, seperti kelainan jiwa, gejala neorosis, dan lain-lain,

(2) studi psikologi pengarang berkaitan dengan inspirasi, ilham, dan kekuatan-kekuatan

supranatural lainnya.

Psikologi sastra jelas tidak bermaksud untuk membuktikan keabsahan teori

psikologi, misalnya dengan menyesuaikan apa yang dilakukan oleh teks sastra dengan

apa yang dilakukan oleh teori psikologi. Psikologi sastra adalah analisis teks dengan

mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologi. Dengan memutuskan

perhatian pada tokoh-tokoh maka akan dapat dianalisis konflik-konflik batin para tokoh

yang mungkin saja bertentangan dengan teori psikologi. Karya- karya sastra yang

memberikan intensitas pada aspek kejiwaan, karya sastra arus kesadaran.

Berdasarkan etimologi “psikologi” berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari

dua kata, Psychedan Logos. Kata psyche berarti “jiwa” dan “ruh”, dan kata logos

berarti “ilmu pengetahuan”.Dari kedua makna tersebut, kata psikologi kemudian

diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang jiwa atau sering disebut dengan istilah

ilmu jiwa (Walgito, 1997:1). Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari dan
menyelidiki aktivitas dan tingkah laku manusia.Aktivitas dan tingkah laku

tersebut merupakan manifestasi kehidupan jiwanya.Jadi, jiwa manusia terdiri dari

dua alam, yaitu alam sadar (kesadaran) dan alam tak sadar (ketidaksadaran).

Kedua alam tidak hanya saling menyesuaikan atau alam sadar menyesuaikan

terhadap dunia luar, sedangkan alam tak sadar penyesuaian terhadap dunia dalam

(Walgito 1997:7).

Pendekatan psikologi merupakan kritik yang ingin memperlihatkan proses

kejiwaan pengarang pada saat menciptakan karya sastra dan proses kejiwaan

tokoh-tokoh dalam karya sastra. Dengan menggunakan pendekatan psikologi, dapat

diamati tingkah laku tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra (novel). Apabila tingkah

laku tokoh-tokoh dalam novel sesuai dengan aspek kejiwaan manusia, hal tersebut

menunjukkan bahwa penggunaan teori-teori psikologi dapat dikatakan berhasil

karena dapat menjelaskan dan menafsirkan karya sastra (Hardjana, 1985:66).

Pada dasarnya analisis psikologi sastra memberi perhatian pada masalah kedua,

yakni memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra.

Sebagai dunia dalam kata, karya sastra memasukkan berbagai aspek kehidupan

kedalamnya, khususnya manusia. Pada umunya, aspek-aspek kemanusiaan inilah yang

merupakan objek utama psikologi sastra, sebab semaata-mata didalam diri manusia

itulah sebagai tokoh-tokoh, aspek kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan. Dalam

analisis, yang menjadi tujuan adalah tokoh utama, tokoh kedua, tokoh ketiga, dan
seterusnya. Studi psikologi sastra yang ketiga berkaitan dengan sosiologi sastra dan

resepsi sastra para pembaca sebagai psikologi sosial (Ratna, 2009: 343-344).

(Endraswara, 2013: 96) Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang

karya sastra sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan

karya dalam berkarya. Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis, akan

menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh. (Endraswara (2013:97)

berpendapat bahwa karya sastra dan psikologi memang memiliki pertautan yang erat,

secara tak langsung dan fungsional. Pertautan secara tak langsung, karena baik karya

sastra maupun psikologi memiliki objek yang sama yaitu kehidupan manusia.

(Endraswara (2013:97)

Psikologi dan sastra memiliki hubungan fungsional karena sama-sama untuk

mempelajari keadaan kejiwaan orang lain, bedanya dalam psikologi gejala tersebut

riil atau nyata, sedangkan dalam sastra bersifat imajinatif. Meskipun karya sastra

bersifat kreatif atau imajiner, pencipta tetap sering memanfaatkan hukum-hukum

psikologi untuk menghidupkan karakter tokoh-tokohnya.

Konteks demikian dapat dapat diartikan bahwa sastra tak mampu melepaskan

diri dari aspek psikis. Jiwa pula yang berkecamuk dalam sastra. Pendek kata, memasuki

sastra akan terkait dengan psikologi sastra dalam penelitian sastra. Sastra adalah

fenomena yang tepat didekati secara psikologis. Seperti wawasan yang telah lama

menjadi pegangan umum dalam dunia sastra, psikologis sastra juga memandang bahwa

sastra merupakan hasil kreativitas pengarang yang menggunakan media bahasa, yang

diabadikan untuk kepentingan estetis. Sastra merupakan hasil ungkapan kejiwaan


seorang pengarang, yang berarti didalamnya ternuansakan suasana kejiwaan sang

pengarang, baik suasana pikir maupun suasana rasa (emosi)

Pendekatan psikologi dalam studi sastra adalah suatu pendekatan yang

berlandaskan pada teori-teori psikologi (Hardjana, 1985:59).Munculnya pendekatan

psikologi dalam kritik sastra berawal dari semakin meluasnya teori psikoanalisis

Freud yang muncul pada tahun 1905, yang kemudian diikuti oleh murid-muridnya

seperti Jung dengan teori psikoanalisis, dan Richarddengan teori psikologi

kepribadian. (Endraswara 2004:96), psikologi sastra adalah kajian sastra yang

memandang karya sebagai aktifitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta,

rasa, dan karsa dalam berkarya.

Begitu pula pembaca dalam menanggapi karya,juga tak lepas dari

kejiwaan masing-masing.Bahkan sosiologi, refleksi, psikologi sastra pun mengenal

karya sastra sebagai pantulan kejiwaan. Pengarang akan menangkap gejala jiwa

kemudian diolah kedalm teks dan dilengkapi dengan kejiwaannya. Proyeksi

pengalaman sendiri dan pengalaman hidup disekitar pengarang, akan terproyeks

secara imajiner kedalamtekssastra.

Psikologi dan sastra mempunyai hubungan yang fungsional, sehingga

prinsip psikologi dapat diterapkan dalam analisis sastra. Penerapan prinsip psikologi

dalam sastra dapat dilakukan dengan empat macam cara. Pertama,diterapkan pada

pembahasan tentang pengarang sebagai penghasil suatu karya.Kedua, diterapkan

pada proses pembahasan tentang penciptaan karya sastra. Ketiga,diterapkan dalam


menganalisiskarya sastra.Keempat, diterapkan pada pembahasan tentang pengaruh

karya sastra terhadap pembaca.

(Wellek dan Warren 1989:106), menyatakan bahwa kadang-kadang adateori

psikologi tertentu yang dianut pengarang secara sadar atau samar-samar oleh

pengarang, dan teori ini cocok untuk menjelaskan tokoh dan situasi cerita.Hal tersebut

selaras dengan pendapat (Roekhan 1987:148-149), bahwa kajian yang menekankan

pada karya sastra mencoba menangkap dan menyimpulkan aspek-aspek psikologi

yang tercermin dalam perwatakan tokoh-tokoh dalam karya sastra dengan tanpa

mempertimbangkan aspek biografi pengarangnya. Dalam hal ini penelaahan dapat

menganalisis psikologi para tokoh melalui dialog dan perilakuunya dengan

menggunakan sumbangan pemikiran, hukum-hukum psikologi dan aliran psikologi

tertentu. Dengan demikian, apa yang dilakukan para penelaah sastra dalam kajian

ini lebih merupakan mencari kesejajaran aspek-aspek psikologi dalam perwatakan

tokoh-tokoh dalam suatu karya sastra dengan pandangan psikologi manusia menurut

aliran psikologi tertentu.

b. Pengertian Konflik

Dalam suatu kehidupan sosial, manusia tidak dapat melepaskan eksistensinya

dari jalinan hubungan dengan manusia lain. Suatu struktur sosial yang dibentuk oleh

kelompok masyarakat tertentu akan memberlakukan satu nilai sosial tertentu pula.

Adanya perbedaan kepentingan antar individu yang menghuni suatu masyarakat akan

menimbulkanbentrokan atau konflik. (KBBI 2002:512) konflik merupakan suatu

ketegangan atau pertentangan didalam suatu cerita rekaan atau drama (pertentangan
antara dua kekuatan, pertentangan dalam diri suatu tokoh, pertentangan antara dua

tokoh, dan sebagainya).

Konflik mengarah pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak

menyenangkan yang terjadi dan dialami oleh tokoh -tokoh cerita yang jika tokoh-tokoh

itu mempunyai kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memilih peristiwa

itu menimpa dirinya, sebagaimana diungkap oleh Meredith dan Fitzgerald (via

Nurgiyantoro, 1995:122). Sementara itu (Wellek dan Warren, 1989:285) menyatakan

bahwa konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertentangan antara

dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan. Dengan

demikian konflik adalah sesuatu yang tidak menyenangkan dan menyebabkan suatu aksi

dan reaksi dari hal yang dipertentangkan tokoh dalam suatu peristiwa.

c. Wujud Konflik

(Nurgiyantoro, 1995: 61) membagi konflik dalam dua kategori yaitu

konflik fisik dan konflik batin, konflik internal dan eksternal. Konflik fisik melibatkan

aktivitas fisik, ada interaksi antara seorang tokoh dengan sesuatu yang diluar

dirinya: tokoh lain atau lingkungan. Konflik batin adalah sesuatu yang terjadi

dalam batin, hati seorang tokoh. Kedua bentuk peristiwa tersebut saling berkaitan,

saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain. Konflik eksternal adalah

konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu diluar dirinya, dapat

disebabkan karena budaya, hukum, etika, dan sebagainya.Konflik internal pada

umumnya dialami, (dan atau ditimpakan kepada) tokoh utama cerita yaitu tokoh
protagonis, sedangkan konflik eksternal juga dialami dan disebabkan oleh adanya

pertentangan antar tokoh atau antara tokoh protagonist dan antagonis.

Konflik internal dan eksternal yang terdapat dalam sebuah fiksi dapat

terdiri dari bermacam-macam wujud, tingkat dan kefungsiannya. Konflik itu dapat

berfungsi sebagai konflik utama atau sub-sub konflik (konflik-konflik tambahan). Tiap

konflik tambahan haruslah bersifat mendukung, karenanya mungkin dapat juga

disebut sebagai konflik pendukung dan mempertegas kehadiran dan eksistensi

konflik utama, konflik sentral (central conflict), yang sendiri dapat berupa konflik

internal atau eksternal atau keduanya sekaligus. Konflik inilah yang merupakan inti

plot, inti struktur cerita dan sekaligus merupakan pusat pengembangan plot karya yang

bersangkutan, (Nurgiyantoro, 2002:125-126).

d. Faktor Penyebab Terjadinya Konflik

Tingkat kompleksitan konflik yang ditampilkan dalam sebuah karya fiksi, dalam

banyak hal, menentukan kualitas, intensitas dan kemenarikan karya itu bahkan tak

berlebihan jika dikatakan bahwa menulis cerita sebenarnya tak lain adalah

membangun dan mengembangkan berdasarkan konflik yang dapat ditemui dari dunia

nyata. (Nurgiyantoro 1995:20) menyatakan bahwa tokoh penyebab konflik disebut

tokoh antagonis. Tokoh antagonis tersebut beroposisi dengan tokoh protagonis

secara langsung atau tidak langsung, bersifat fisik maupun batin. Dengan demikian

dapat dinyatakan bahwa hubungan antar tokoh yang memiliki perbedaan watak,

sikap, kepentingan, cita-cita dan harapan menjadi penyebab konflik dalam cerita.

3.1.2 Bentuk Penyelesaian Konflik


Bentuk penyelesaian konflik menurut (Sayuti, 2000:48) dikategorikan dalam

dua macam, yaitu penyelesaian bahagia (happy end) dan penyelesaian sedih (sad

end). Penyelesaian sebuah cerita dikategorikan ke dalam dua golongan, yaitu

penyelesaian terbuka dan penyelesaian tertutup. Penyelesaian tertutup dan terbuka

menunjukkan pada keadaan akhir sebuah karya fiksi yang memang sudah selesai,

cerita sudah habis sesuai dengan tuntutan logika cerita yang dikembangkan.

Sementara itu, penyelesaian terbuka memberi kesempatan kepada pembaca untuk

ikut-ikut memikirkan, mengimajinasikan dan mengekspresikan bagaimana kira-

kira penyelesaiannya. Pembaca diberi kebebasan untuk mengisi sendiri “tempat

kosong” sesuia dengan pemahamannya. Pembaca bebas untuk mengekspresikan

penyelesaian cerita itu, walaupun semestinya tidak bertentangan dengan tuntutan logika

cerita yang telah dikembangkan.

B. Penelitian Relevan

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut.

Pertama : Penelitian yang dilakukan oleh Septiana (1999) Universitas Negeri

Yogyakarta yang berjudul ”Konflik Psikologis Tokoh Naskah Drama Dor Karya Putu

Wijaya (Sebuah Pendekatan Psikoanalisis)”. Penelitian ini membahas tentang konflik

yang dialami oleh tokoh . Hasil yang diperoleh menyatakan bahwa konflik tokoh

terdiri atas konflik internal dan konflik eksternal. Konflik eksternal berpengaruh

pada psikis tokoh yang berakibat terjadinya konflik internal. Konflik internal

disebabkan oleh adanya tekanan, pengkhianatan, ketakutan, dan keputusasaan,

sedangkan konflik eksternal disebabkan oleh adanya ancaman, status sosial, pemaksaan
kehendak, dan kekecewaan. Konflik eksternal diselesaikan dengan cara penetapan

individuasi, balas dendam, dan kejujuran. Sedangkan konflik internal diselesaikan

dengan cara pengambilan keputusan yang dipusatkan pada ide.

Kedua : Penelitian yang dilakukan oleh Listiya Apriyani (2019) Universitas

Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka yang berjudul ” Konflik Psikologis Tokoh Ben Barata

dalam Novel Dirty Little Secret Karya Aliazalea (Kajian Psikologis Sastra) ”.

Penelitian ini membahas tentang konflik yang dialami oleh tokoh. Hasil yang diperoleh

menyatakan bahwa konflik tokoh terdiri atas konflik internal dan konflik

eksternal. Konflik eksternal berpengaruh pada psikis tokoh yang berakibat terjadinya

konflik internal. Konflik internal disebabkan oleh adanya penyesalan, kecemasan,

ketakutan, dan keputusasaan, sedangkan konflik eksternal disebabkan oleh adanya ,

status sosial, , dan kekecewaan. Konflik eksternal diselesaikan dengan cara penetapan

individuasi, minta maaf, dan kejujuran. Sedangkan konflik internal diselesaikan dengan

cara pengambilan keputusan.

Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama melakukan penelitian

konflik tokoh meskipun cakupannya lebih luas. Sedangkan teori yang digunakan

berbeda dengan penelitian ini. Dalam skripsi yang ditulis oleh Septiana digunakan

pendekatan Psikoanalisis Sastra, sedangkan penelitian ini menggunakan Kajian

Psikologi Sastra.

Anda mungkin juga menyukai