Anda di halaman 1dari 24

INFEKSI ODONTOGEN SUBMANDIBULAR

Makalah ini Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Akreditasi

Untuk Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil

Dari golongan IV/b ke IV/c

Oleh

drg. Dian Infadita

NIP. 19710619 200604 2 012

DINAS KESEHATAN KOTA SURABAYA

PUSKESMAS MOROKREMBANGAN

2022

i
LEMBAR PENGESAHAN

Makalah ini telah disahkan pada tanggal ……………………………………….

Mengesahkan,

Atasan Langsung Penulis

dr. Fitriah Wahyuningsih drg. Dian Infadita


Pembina Pembina Tk I
NIP. 19731025 200604 2 014 NIP. 19710619 200604 2 012

Surabaya, ………………

Tim Akreditasi Tanda Tangan

1. drg. Primayanti,M.Kes 1. ...................................

2. drg. Ilfin Martiana 2. .....................................

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhaahu wata’ala, karena

berkat RahmatNya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Infeksi

Odontogen Submandibular“. Makalah ini diajukan guna memenuhi persyaratan

kenaikan pangkat jenjang kepegawaian Pegawai Negeri Sipil dari golongan IV/b

ke Golongan IV/c.

Terima kasih juga saya sampaikan kepada :

1. Yth. Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya

2. Yth. Kepala Puskesmas Morokrembangan

3. Yth. Staf Bagian Akreditasi Dinas Kesehatan Kota Surabaya

4. Yth. Staf Bagian Perpustakaan Dinas Kesehatan Kota Surabaya

5. Serta rekan-rekan di Puskesmas Morokrembangan yang telah memberi

dorongan, masukkan maupun bantuan atas terselesainya makalah ini.

Makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharap kritik

dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ ii

KATA PENGANTAR ................................................................................ iii

DAFTAR ISI ........................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................ 4

2.1 Pengertian Infeksi Odontogen......................................... 4

2.2 Etiologi............................................................................. 4

2.3 Proses Terjadinya Infeksi Odontogen.............................. 7

2.4 Patofisiologis Infeksi Odontogen.................................... 8

2.5 Patogenesis infeksi Odontogen........................................ 10

2.6 Klasifikasi Infeksi Odontogen........................................ 12

2.7 Infeksi Facial Space........................................................ 13

2.8 Penatalaksanaan dalam Infeksi Odontogen.................... 15

2.9 Prognosis......................................................................... 16

2.10 Pencegahan Infeksi Odontogen..................................... 17

BAB III PENUTUP................................................................................ 19

3.1 Kesimpulan ..................................................................... 19

3.2 Saran ................................................................................ 19

DAFTAR PUSTAKA

iv
5

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi yang berasal dari gigi atau struktur pendukung gigi adalah infeksi

odontogenik, merupakan salah satu infeksi yang seringkali kita jumpai pada

manusia. Infeksi odontogenik disebabkan oleh karies gigi dan penyakit

periodontal dimana penyakit ini bisa menyebar ke jaringan sekitar atau gigi

tetangga ke wajah, rahang dan leher. Menurut penelitian Sanchez dkk di Madrid,

33,8% pencetus infeksi odontogenik berasal dari bakteri. Terdapat beberapa faktor

risiko yang dapat mendorong terjadinya infeksi odontogenik. Faktor tersebut

adalah merokok, alkohol, penyakit sistemik, kebersihan rongga mulut, flora

normal mulut, jenis kelamin dan usia. Berdasarkan sebuah penelitian tentang

faktor risiko terjadinya infeksi odontogenik di West Scotland Oral &

Maxillofacial Service Centres, United Kingdom, dari 25 pasien yang diteliti, 80%

merupakan perokok, 16% mengkonsumsi lebih dari 25 unit alkohol per minggu

dan 24% memiliki penyakit sistemik. Penelitian yang dilakukan oleh Davis B di

Kanada, menemukan bahwa 50% infeksi odontogenik disebabkan oleh bakteri

anaerob serta 44% gabungan bakteri anaerob dan aerob.

Kasus infeksi odontogen yang mengenai fascial space merupakan kasus

yang paling sering dilaporkan dalam bidang kedokteran gigi. Di antara itu infeksi

ruang submandibular merupakan yang paling banyak terjadi. Infeksi odontogen

merupakan penyakit yang paling sering ditangani oleh dokter gigi.


6

Kondisi ini menimbulkan rasa sakit, ketidaknyamanan serta kesulitan

membuka mulut, sehingga menyulitkan aktivitas fungsi rongga mulut.

Peningkatan infeksi odontogen pada negara berkembang disebabkan kekurangan

gizi, kebersihan rongga mulut yang buruk, konsumsi tembakau, mengunyah

pinang dan merokok.

Infeksi odontogen juga dapat menyebar ke ruang di sekitar leher bagian

dalam dan dapat berakibat fatal atau mengancam jiwa sehingga memerlukan

diagnosis awal. Penatalaksanaan infeksi ini meliputi penatalaksanaan jalan nafas,

pemberian antibiotik dan tindakan bedah.

Tindakan pencegahan lebih baik daripada mengobati, pencegahan infeksi

odontogen dapat dicapai dengan menciptakan kesadaran mengenai komplikasi

yang ditimbulkan akibat kebersihan mulut dan gigi yang buruk dengan melakukan

pemeriksaan rutin di tingkat masyarakat.

Penatalaksanaan infeksi pada leher bagian dalam memiliki banyak

kesulitan, hal ini disebabkan karena anatomi leher yang rumit, etiologi

polymicrobial dan timbulnya komplikasi yang dapat mengancam jiwa pasien.

Pemberian antibiotik intravena dosis tinggi (biasanya penisilin atau sefalosporin

dan metronidazol), analgesik dan cairan sebelum tindakan bedah drainase serta

mencegah penyebaran infeksi merupakan rencana perawatan awal dari infeksi

pada facial space.

Selain itu, penggunaan antibiotik, steroid, dan obat antiinflamasi

nonsteroid yang tidak tepat mungkin bisa menghilangkan tanda-tanda infeksi dan

mengubah tampilan klinis sehingga infeksi sulit terdiagnosa dan juga


7

menyebabkan lambatnya perjalanan penyakit, pemulihan yang lama, dan

timbulnya komplikasi. Infeksi odontogen diidentifikasi sebagai sumber utama

infeksi fascial space.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Infeksi Odontogen

Infeksi odontogenik adalah proses infeksi yang terjadi pada gigi atau

struktur penyangganya. Infeksi odontogenik merupakan suatu keadaan dimana

gigi atau jaringan pendukung gigi mengalami infeksi yang meluas dari

periodonsium ke apeks yang melibatkan jaringan tulang periapikal. Infeksi ini

juga dapat meluas dari tulang dan periosteum ke gigi tetangga atau struktur yang

terdekat. Infeksi odontogenik ini dapat membahayakan struktur yang lain karena

dapat meluas melalui aliran darah.

Infeksi odontogen merupakan infeksi rongga mulut yang paling sering

terjadi. Infeksi odontogenik dapat merupakan awal atau kelanjutan penyakit

periodontal, perikoronal, trauma, atau infeksi pasca pembedahan (Wazir dkk,

2013).

2.2. Etiologi

Terdapat beberapa etiologi infeksi odontogenik. Infeksi odontogenik

dapat berasal dari: karies, pulpitis, abses periapikal, gingivitis, perikoronitis,

periimplantitis, periodontitis.8

1. Karies

Karies didefinisikan sebagai infeksi bakteri terlokalisir dan progresif

yang menyebabkan disintegrasi gigi, biasanya berawal dengan

8
9

demineralisasi enamel dan diikuti dengan invasi bakteri. Umumnya

terbentuknya karies memerlukan waktu sekitar 6-12 bulan. Diagnosa dapat

dilakukan dengan inspeksi rutin. Untuk kasuskasus yang sulit, dapat

diperlukan radiografi untuk membantu diagnosa karies.

2.Gingivitis

Gingivitis didiagnosa dengan adanya peradangan, kemerahan, dan

edema pada jaringan gingiva. Mungkin juga terdapat peningkatan

kedalaman poket gingiva tanpa kehilangan perlekatan yang disebabkan oleh

pembesaran gingiva, dan pendarahan pada probing. Perawatan gingivitis

meliputi diagnosa awal, terapi non-bedah sederhana, dan meningkatkan

kebersihan rongga mulut pasien.

3.Periodontitis

Periodontitis didefinisikan sebagai peradangan pada jaringan

pendukung gigi yang disebabkan oleh mikroorganisme spesifik, yang

menyebabkan kerusakan progresif pada ligamen periodontal dan tulang

alveolar dengan peningkatan kedalaman pada saat probing, resesi gingiva,

atau keduanya. Gambaran klinis yang membedakan periodontitis dan

gingivits adalah adanya kehilangan perlekatan yang terlihat secara klinis.

Kehilangan ini sering diikuti dengan pembentukan poket gingiva dan

perubahan pada kepadatan dan tinggi tulang alveolar.

4.Pulpitis

Pulpitis adalah inflamasi yang terjadi pada pulpa. Pulpa terdiri dari

jaringan lunak yaitu syaraf dan pembuluh darah yang ditutupi oleh struktur
10

gigi. Pada mahkota gigi, enamel dan dentin melindungi pulpa. Apabila

integritas enamel dan dentin terganggu, seperti adanya karies atau fraktur

mahkota pulpa akan tersingkap terhadap iritan. Terdapat 2 jenis pulpitis

yiatu: pulpitis reversibel (pulpa dirawat dengan menghilangkan faktor iritasi

dengan melakukan filling) dan pulpitis irreversibel (pulpa tidak dapat

sembuh, harus dilakukan perawatan saluran akar). Pulpitis yang tidak

dirawat dapat menyebabkan nekrosis pulpa. Bakteri yang berada pada

nekrosis pulpa mempunyai potensi untuk menjadi infeksi odontogenik.

5.Perikoronitis

Perikoronitis adalah inflamasi pada jaringan lunak disekitar mahkota

pada gigi yang baru erupsi sebagian. Ini sering terjadi pada impaksi gigi

molar tiga atau gigi molar tiga erupsi sebagian. Apabila gigi molar tiga

erupsi sebagian, bakteri dapat memasuki daerah sekitar gigi sehingga

menyebabkan infeksi. Makanan atau plak yang terperangkap dibawah flep

gingiva sekitar gigi dapat mengiritasi gingiva.

Perikoronitis yang parah dapat menyebabkan pembengkakan yang

meluas pada rahang, pipi, dan leher.

6.Peri-implantitis

Peri-implantitis adalah proses inflamasi yang ditandai dengan

kehilangan tulang disekitar implan secara berlebihan. Peri implantitis

mempunyai persamaan dengan periodontitis, yaitu sama-sama menyebabkan

kehilangan tulang alveolar. Namun, pada peri-implantitis jaringan ikat tidak

terikat pada implan. Peri-implantitis sering meluas ke permukaan tulang


11

karena tidak mempunyai ligamen periodontal. Oleh karena itu, peri

implantitis dapat berlangsung lebih cepat dan berpotensi menjadi penyakit

yang agresif dan sulit untuk diobati.

7.Nekrosis Pulpa

Nekrosis pulpa adalah suatu kondisi irreversibel yang ditandai

dengan adanya destruksi jaringan. Nekrosis pulpa disebut juga dengan

kematian pulpa. Nekrosis pulpa terjadi karena infeksi bakteri dan respon

inflamasi yang berkelanjutan. Nekrosis pulpa dapat terjadi pada saluran

pulpa atau pada seluruh korona pulpa maupun pada keduanya yaitu korona

dan saluran pulpa. Nekrosis pulpa berawal dari pulpitis. Pulpitis yang

berlanjut dan meluas dapat membunuh sel pulpa serta menyebar ke rahang.

Kegagalan merawat nekrosis pulpa dapat menyebabkan komplikasi yang

serius dimana inflamasi dan jaringan nekrosis dapat meluas.

2.3. Proses Terjadinya Infeksi Odontogen

Infeksi odontogen disebabkan oleh bakteri yang merupakan flora normal

dalam mulut, yaitu bakteri dalam plak, dalam sulkus gingiva, dan mukosa mulut.

Bakteri yang utama ditemukan adalah bakteri kokus aerob gram positif, kokus

anaerob gram positif dan batang anaerob gram negatif.

Bakteribakteri tersebut dapat menyebabkan karies, gingivitis, dan

periodontitis jika mencapai jaringan yang lebih dalam melalui nekrosis pulpa

dan pocket periodontal yang dalam sehingga akan terjadi infeksi odontogen

(Ariji dkk, 2002).


12

Infeksi odontogen biasanya disebabkan oleh bakteri endogen. Lebih dari

setengah kasus infeksi odontogen yang ditemukan yaitu sekitar 60% disebabkan

oleh bakteri anaerob.

Organisme penyebab infeksi odontogen yang sering ditemukan pada

pemeriksaan kultur adalah alpha-hemolytic Streptococcus, Peptostreptococcus,

Peptococcus, Eubacterium, Bacteroides (Prevotella) melaninogenicus, dan

Fusobacterium.

Bakteri aerob sendiri jarang menyebabkan infeksi odontogen yaitu hanya

sekitar 5%. Bila infeksi odontogen disebabkan oleh bakteri aerob, biasanya

organisme penyebabnya adalah species Streptococcus. Infeksi odontogen juga

banyak yang disebabkan oleh infeksi campuran bakteri aerob dan anaerob yaitu

sekitar 35% (Ariji dkk, 2002).

Bakteri Streptococcus mutans memiliki 3 macam enzim yang sifatnya

destruktif, salah satunya adalah enzim hyaluronidase. enzim ini merusak

jembatan antar sel yang terbuat dari jaringan ikat (hyalin/hyaluronat). Fungsi

enzim ini adalah transpor nutrisi antar sel, sebagai jalur komunikasi antar sel,

juga sebagai unsur penyusun dan penguat jaringan. Jika jembatan ini rusak

dalam jumlah besar, kelangsungan hidup jaringan yang tersusun atas sel-sel

dapat terancam.

2.4. Patofisiologis Infeksi Odontogen

Respon peradangan merupakan mekanisme pertahanan alami tubuh yang

terjadi apabila terdapat jaringan tubuh yang terinfeksi. Sebagian besar elemen
13

pertahanan tubuh terdapat pada darah. Ini berarti sel dan bahan kimia pertahanan

tubuh akan meninggalkan darah dan memasuki jaringan yang terinfeksi. Selama

terjadi infeksi, pembuluh darah akan mengalami vasodilatasi, peningkatan

permeabilitas vaskular dan migrasi sel darah putih. Sitokin akan merangsang

sistem pertahanan tubuh untuk melepaskan neutrofil, fagosit, dan limfosit yang

berfungsi untuk melawan infeksi. Pembengkakan yang terjadi merupakan akibat

dari eksudasi cairan jaringan dan pengerasan dari polimorfonuklear leukosit,

limfosit, dan makrofag yang bermigrasi dari ruang vaskular ke bagian yang

terinfeksi. Abses yang terjadi disebabkan karena nekrosis sel darah putih dan

jaringan ikat. Proses kematian pulpa, salah satu yang bertanggung jawab adalah

enzim dari S.mutans, akibatnya jaringan pulpa mati, dan menjadi media

perkembangbiakan bakteri yang baik, sebelum akhirnya mereka mampu

merambah ke jaringan yang lebih dalam, yaitu jaringan periapikal. Adanya

keterlibatan bakteri dalam jaringan periapikal, tentunya mengundang respon

inflamasi untuk datang ke jaringan yang terinfeksi tersebut, namun karena

kondisi host tidak terlalu baik, dan virulensi bakteri cukup tinggi akan

menciptakan kondisi abses. Selain S.mutans yang merusak jaringan yang ada di

daerah periapikal, S.aureus dengan enzim koagulasenya mampu mendeposisi

fibrin di sekitar wilayah kerja S.mutans, untuk membentuk sebuah

pseudomembran yang terbuat dari jaringan ikat, yang dikenal sebagai membran

abses. Membran ini melindungi dari reaksi inflamasi dan terapi antibiotika.

Tidak hanya proses destruksi oleh S.mutans dan produksi membran abses saja

yang terjadi pada peristiwa pembentukan abses ini, tetapi ada pembentukan pus
14

oleh bakteri pembuat pus (pyogenik), salah satunya adalah S.aureus. Pus terdiri

dari leukosit yang mati (oleh karena itu pus terlihat putih kekuningan), jaringan

nekrotik, dan bakteri dalam jumlah besar. Secara alamiah, sebenarnya pus yang

terkandung dalam rongga tersebut akan terus berusaha mencari jalan keluar

sendiri, namun pada perjalanannya seringkali menyebabkan timbulnya gejala-

gejala yang cukup mengganggu seperti nyeri, demam, dan malaise.

2.5. Patogenesis Infeksi Odontogen

Infeksi gigi biasanya dimulai dari permukaan gigi yaitu adanya karies

gigi yang sudah mendekati ruang pulpa, kemudian akan berlanjut menjadi

pulpitis dan akhirnya akan terjadi kematian pulpa gigi atau nekrosis pulpa.

Adanya gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri dapat masuk ke ruang

pulpa sampai apeks gigi. Foramen apikalis dentis pada pulpa tidak dapat

mendrainase pulpa yang terinfeksi. Selanjutnya proses infeksi tersebut menyebar

progresif ke ruangan atau jaringan lain yang dekat dengan struktur gigi yang

nekrosis.

Penjalaran infeksi odontogen akibat dari gigi yang nekrosis dapat

menyebabkan abses, abses ini dapat dibagi menjadi dua yaitu penjalaran yang

tidak berat sehingga akan memberikan prognosis yang baik dan penjalaran yang

berat yang akan memberikan prognosis yang tidak baik. Abses merupakan

rongga patologis yang berisi pus yang disebabkan oleh infeksi bakteri campuran.

Bakteri yang berperan dalam proses pembentukan abses ini yaitu

Staphylococcus aureus dan Streptococcus mutans. Staphylococcus aureus dalam


15

proses ini memiliki enzim aktif yang disebut koagulase yang fungsinya untuk

mendeposisi fibrin. Sedangkan Streptococcus mutans memiliki 3 enzim utama

yang berperan dalam penyebaran infeksi gigi, yaitu streptokinase,

streptodornase, dan hyaluronidase. Hyaluronidase adalah enzim yang bersifat

merusak jembatan antar sel.

Adapun yang termasuk penjalaran tidak berat adalah serous periostitis,

abses subperiosteal, abses submukosa, abses subgingiva, dan abses subpalatal,

sedangkan yang termasuk penjalaran yang berat antara lain abses

perimandibular, osteomielitis, dan phlegmon dasar mulut.

Gigi yang nekrosis juga merupakan fokal infeksi penyakit ke organ lain,

misalnya ke otak menjadi meningitis, ke kulit menjadi dermatitis, ke mata

menjadi konjungtivitis dan uveitis, ke sinus maxilla menjadi sinusitis maxillaris,

ke jantung menjadi endokarditis dan perikarditis, ke ginjal menjadi nefritis, dan

ke persendian menjadi arthritis (Green dkk, 2001).

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan penyebaran

infeksi odontogenik adalah: (Green dkk, 2001).

1. Jenis dan virulensi kuman penyebab.

2. Daya tahan tubuh penderita.

3. Jenis dan posisi gigi sumber infeksi.

4. Panjang akar gigi sumber infeksi terhadap perlekatan otot-otot.

5. Adanya tissue space dan potential space


16

2.6. Klasifikasi Infeksi Odontogen

Infeksi odontogenik diklasifikasikan menjadi Group 1 – 4 (Kaneko dkk,

2018):

1. Group 1 (periodontitis):

Sekuen infeksi pulpitis termasuk periodontitis apikal dan periodontitis

marginalis yang dapat menyebabkan penyakit lain seperti abses gingiva,

abses alveolar, dan abses palatal.

2. Group 2 (perikoronitis):

Kondisi ini terutama terkait dengan gigi impaksi molar ketiga. Kemerahan,

bengkak, dan nanah diamati di sekitar mahkota gigi impaksi molar ketiga.

Formasi abses jarang terjadi. Perikoronitis dapat berkembang menjadi

inflamasi rahang dan phlegmon. Jika peradangan meluas ke ruang di

sekitar tulang rahang, diamati akan sulit membuka mulut dan rasa sakit

saat menelan.

3. Group 3 (radang rahang) :

Kondisi termasuk osteitis dan osteomielitis yang dapat berkembang dari

periodontitis (Group 1) dan perikoronitis (Group 2). Kondisi ini lebih

parah daripada Group 1 atau 2 yang memerlukan drainase subperiosteal

dan penggunaan antibiotik yang diberikan dengan suntikan diperlukan.

Osteomielitis dapat menjadi akut, kronis, atau sklerotik dan sering terjadi

pada mandibula.
17

4. Group 4 (phlegmon pada daerah tulang rahang):

Proses peradangan menyebar dari Group 1-3. Ini termasuk infeksi ruang

seperti infeksi sublingual, submandibular, submental, pterygomandibular,

lateral pharyngeal, dan pharyngeal spaces.

Pentingnya drainase di rongga ini. Antibiotik yang diberikan dengan

suntikan banyak digunakan pada pasien. Dilihat dari klasifikasinya, pada

kasus diatas termasuk dalam klasifikasi group 4 (phlegmon pada daerah

tulang rahang).

2.7. Infeksi Facial Space

Fascial adalah jaringan ikat fibrous yang membungkus otot dan

memisahkan suatu otot dengan otot yang lain. Fascia tersusun atas lapisanlapisan

jaringan ikat tipis yang disebut dengan fascial planes.

Ruang antara fascia dan fascial planes ini merupakan potensial spaces

yang sebenarnya tidak ada pada keadaan normal, tetapi bila perlekatan jaringan

ikat ini rusak oleh karena proses penyebaran infeksi, maka ruang ini bisa terisi

dan membesar oleh karena adanya produk radang. Potensial space ini disebut

dengan fascial spaces (Pedersen, 1996). Terdapat fascial space primer dan

sekunder.

Fascial space primer merupakan fascial space yang terlibat dalam

penyebaran infeksi dari gigi dimana daerah yang terlibat letaknya berdekatan

dengan tulang rahang yang menyangga gigi-geligi sehingga pada umumnya

terlibat secara langsung pada infeksi odontogen.


18

Fascial space bisa menjadi tempat penyebaran infeksi odontogen baik

oleh area gigi-gigi rahang atas maupun rahang bawah. Fascial space primer,

terdiri dari Canine space infection, Buccal space infection, Infratemporal space

infection, Submental space infection, Sublingual space infection dan

Submandibular Space Infection.

Sedangkan fascial space sekunder merupakan infeksi yang meluas dari

fascial space primer dimana letak dari fascial space sekunder lebih posterior dari

fascial space primer. Fascial space sekunder meliputi Submasseteric Space

Infection, Pterygomandibular Space Infection, Lateral Pharyngeal Space

Infection, Retro Pharyngeal Space Infection, Prevertebral Space Infection, dan

Temporal Space Infection.

Temporal space adalah kelanjutan dari ruang superior infratemporal.

Ruang ini dibagi menjadi superficial dan deep temporal spaces. Temporal space

superfisial lateral dibatasi oleh fasia temporal dan medial oleh otot temporalis,

temporal spaces dapat ditemukan antara permukaan medial dari otot temporalis

dan tulang temporal.

Infeksi pada temporal space disebabkan oleh penyebaran infeksi dari

infratemporal space, dimana kedua bagian itu berhubungan. Gejala klinis

ditandai dengan nyeri, edema pada fascia temporal, trismus (otot temporalis 11

dan pterygoideus medial yang terlibat), dan nyeri selama palpasi dari edema

(Fragiskos, 2007 ).
19

Penyebaran infeksi kemudian berlanjut, dimana sebelum akhirnya sampai

pada infratemporal space yang terhubung dengan temporal space, beberapa

space yang mungkin dilewati yaitu submasseteric space, pterygomandibular

space, atau lateral pharyngeal space.

2.8. Penatalaksanaan dalam Infeksi Odontogen

Penatalaksanaan infeksi odontogen (termasuk infeksi submandibular

space) meliputi intervensi pembedahan untuk mendrainase pus yang terlokalisir

dan dukungan medis untuk pasien. Penatalaksanaan infeksi meliputi :

1. Insisi dan drainase.

Hal ini dapat dilakukan baik secara intraoral maupun ekstraoral tergantung

pada lokasi infeksi. Aspirasi pus sebelum insisi memungkinkan metode

pengambilan sampel lebih akurat karena mengurangi kontaminasi dan

membantu melindungi dari bakteri anaerob. Pembengkakan yang

berfluktuasi menunjukkan adanya pus dan didefinisikan sebagai transmisi

fluida dengan menggunakan palpasi bi-digital.

2. Pemberian Antibiotik.

Antibiotik dapat diberikan secara empiris atau antibiotik spesifik yang

diberikan berdasarkan tes kultur dan sensitivitas. Penisilin memiliki

potensi untuk menjadi agen lini pertama dalam pengobatan infeksi

odontogenik. Sebagian besar antibiotik beta-laktam lainnya, termasuk

sefalosporin generasi keempat, tidak ditemukan memiliki efektivitas yang

lebih besar daripada penisilin. Amoksisilin adalah obat spektrum luas yang
20

berguna dalam konteks ini walaupun banyak klinisi lebih menyukai efek

anti-anaerobik spesifik dari metronidazol.

3. Pemberian Analgesik.

Analgesik menghilangkan rasa sakit sementara sampai faktor penyebab

infeksi terkendali. Pilihan analgesik harus didasarkan pada kesesuaian

pasien. Obat antiinflamasi nonsteroid digunakan pada nyeri ringan sampai

sedang.

Analgesik opioid, seperti dihidrokodein dan petidin, digunakan untuk rasa

sakit yang parah. Parasetamol, ibuprofen dan aspirin cukup untuk sebagian

besar nyeri ringan akibat infeksi gigi. Analgesik perlu diberikan dengan

hati-hati, terutama apabila menggunakan narkotika, karena membawa

risiko depresi pernapasan.

4. Identifikasi dan eliminasi sumber infeksi.

Identifikasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis dan radiografi.

Eliminasi sumber infeksi adalah dengan terapi saluran akar, ekstraksi atau

operasi periradikular (Andersson dkk, 2010).

2.9. Prognosis

Kunci penentu prognosis infeksi odontogen adalah penanganan yang tepat

sehingga tidak terjadi komplikasi abses. Pada umumnya prognosis infeksi

odontogen baik apabila ditangani secara cepat dan tepat waktu. Tetapi, apabila

pengobatan terlambat dapat mengakibatkan terjadinya komplikasi dan

penyembuhan yang lama (Murry AD dkk, 2017). Kontrol setelah dilakukan insisi
21

dan drainase pada kasus-kasus infeksi odontogen tertentu seringkali

menunjukkan perkembangan yang baik dan memuaskan.

2.10. Pencegahan Infeksi Odontogen

Infeksi facial space yang paling sering terjadi adalah infeksi pada ruang

submandibular atau abses submandibular. Meskipun berpotensi mengancam

nyawa, infeksi ini dapat dicegah (tindakan preventif) dimana lebih baik

mencegah daripada mengobati.

Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan perawatan gigi dan

mulut yang teratur dan dimulai sejak dini. Apabila saat masih berusia muda

kurang menjaga kebersihan gigi dan mulut, maka seiring bertambahnya usia

akan lebih rentan mengalami infeksi gigi yang dapat menyebakan timbulnya

abses.

Selain itu, dapat diberikan edukasi dan motivasi mengenai cara menjaga

kebersihan rongga mulut guna mencegah kebutuhan akan tindakan yang lebih

agresif atau mencegah terjadinya komplikasi (Nawaz, 2016; Wulansari dkk,

2016).

Di negara berkembang, nutrisi yang kurang, kebersihan gigi dan mulut

yang buruk, mengunyah tembakau, merokok, dan mengunyah sirih

meningkatkan prevalensi infeksi ruang submandibular. Infeksi ruang

submandibular dapat disebabkan oleh bakteri campuran dari bakteri aerob dan

anaerob seperti Streptococci atau Staphylococci yang merupakan bakteri

penyebab karies.
22

Pencegahan perluasan infeksi dapat dilakukan dengan pemeriksaan rutin

ke dokter gigi untuk melihat kondisi atau infeksi gigi sehingga dapat dilakukan

pembersihan karang gigi atau penambalan pada gigi bila terjadi karies.

Menyikat gigi secara rutin dan tepat dua kali sehari merupakan cara

pencegahan yang terbaik (Kataria dkk, 2015). Tindakan pemberian edukasi dan

motivasi tidak hanya diberikan kepada pasien, namun perlu melibatkan pihak

keluarga agar tidak hanya pasien melainkan pihak keluarga pun sadar akan

kebersihan gigi dan mulut.

Peran dokter gigi untuk mencegah penyebaran infeksi sangat penting.

Dalam masyarakat kita, perhatian lebih harus diberikan pada kebersihan gigi

terutama pada kelompok sosial ekonomi menengah dan rendah (Kataria dkk,

2015).
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Infeksi odontogen merupakan infeksi rongga mulut yang paling sering

terjadi yang disebabkan oleh bakteri yang merupakan flora normal dalam mulut,

yaitu bakteri dalam plak, dalam sulkus gingiva, dan mukosa mulut. Infeksi facial

space yang paling sering terjadi yaitu infeksi pada ruang submandibular atau

abses submandibular. Fascial spaces merupakan potential spaces yang

sebenarnya tidak ada pada keadaan normal, tetapi bila perlekatan jaringan ikat

ini rusak oleh karena proses penyebaran infeksi, maka ruang ini bisa terisi dan

membesar oleh karena adanya produk radang. Fascial spaces primer yang tidak

ditangani dapat meluas menjadi fascial spaces sekunder. Meskipun berpotensi

mengancam nyawa, infeksi ini dapat dilakukan tindakan pencegahan dimana

lebih baik mencegah daripada mengobati

3.2. Saran

Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan perawatan gigi dan

mulut yang teratur dan dimulai sejak dini. Apabila saat masih berusia muda

kurang menjaga kebersihan gigi dan mulut, maka seiring bertambahnya usia

akan lebih rentan mengalami infeksi gigi yang dapat menyebakan timbulnya

infeksi odontogen.

23
24

DAFTAR PUSTAKA

W. Green, E. A. Flower dan N. E. New. 2001. Mortality Associated with

Odontogenic Infection.British Dental journal.

Andersson, L., Kahnberg, K.E., Pogrel, M.A., 2010. Oral and maxillofacial

surgery. United Kingdom: Wiley-Blackwell

Ariji Y, Gotoh M, Kimura Y, Naitoh M, Kurita K ,Natsume N, Ariji E. 2002.

Odontogenic Infection Pathway to The Submandibular Space: Imaging

Assessment.

Christopher J. H, Robert M. L. 2015. Atlas of Operative Oral and Maxillofacial

Surgery. Hoboken, United States. Chapter 10.

Fachruddin D, Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J eds.2007. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta:

Balai Penerbit FKUI. Hal 226-30

Fachruddin, D. 2008. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar, M. Soepardi, AE.

Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 7. Jakarta: Balai

Penerbit FK-UI.

Fragiskos DF. 2007. Odontogenic infections. In: Fragiskos DF, editor. Oral

Surgery. 2nd. Heidelberg, Germany: Springer-Verlag;. pp. 205–242.

Kaneko, A, Aoki, T & Ikeda, F 2018, 'The 2016 JAID/JSC guidelines for clinical

management of infectious disease −Odontogenic infections', Journal of Infection

and Chemoteraphy, vol. 24

Anda mungkin juga menyukai