Anda di halaman 1dari 27

PENANGANAN KESEHATAN GIGI DAN MULUT

PADA USIA LANJUT

Makalah ini Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Akreditasi

Untuk Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil

Dari golongan IV/b ke IV/c

Oleh

drg. Dian Infadita

NIP. 19710619 200604 2 012

DINAS KESEHATAN KOTA SURABAYA

PUSKESMAS MOROKREMBANGAN

2022

i
LEMBAR PENGESAHAN

Makalah ini telah disahkan pada tanggal ……………………………………….

Mengesahkan,

Atasan Langsung Penulis

dr. Fitriah Wahyuningsih drg. Dian Infadita


Pembina Pembina Tk I
NIP. 19731025 200604 2 014 NIP. 19710619 200604 2 012

Surabaya, ………………

Tim Akreditasi Tanda Tangan

1. Dicky Rianda Perdana, S.Ars 1. ..............................................

2. drg. Ilfin Martiana 2. ..............................................


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhaahu wata’ala, karena berkat
RahmatNya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Penanganan
kesehatan gigi dan mulut pada usia lanjut”. Makalah ini diajukan guna memenuhi
persyaratan kenaikan pangkat jenjang kepegawaian Pegawai Negeri Sipil dari
golongan IV/b ke Golongan IV/c.

Terima kasih juga saya sampaikan kepada :

1. Yth. Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya

2. Yth. Kepala Puskesmas Morokrembangan

3. Yth. Staf Bagian Akreditasi Dinas Kesehatan Kota Surabaya

4. Yth. Staf Bagian Perpustakaan Dinas Kesehatan Kota Surabaya

5. Serta rekan-rekan di Puskesmas Morokrembangan yang telah memberi

dorongan, masukkan maupun bantuan atas terselesainya makalah ini.

Makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharap kritik

dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ ii

KATA PENGANTAR ................................................................................ iii

DAFTAR ISI ........................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................ 4

2.1 Kesehatan Gigi ............................................................... 4


2.2 Lanjut Usia .................................................................... 14

2.3 Tanda-tanda penuaan pada lanjut usia........................... 16

2.4 Fungsi Gigi pada lansia.................................................. 21

2.5 Tindakan pencegahan kerusakan gigi pada lanjut usia..... 22

2.6 Perawatan gigi pada lanjut usia ..................................... 22

2.7 Posyandu Paripurna Lansia............................................ 24

BAB III PENUTUP................................................................................ 25

3.1 Kesimpulan ..................................................................... 25

3.2 Saran ................................................................................ 25

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik

Indonesia tahun 1945. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan

oleh semua komponen bangsa dalam rangka meningkatkan kesadaran, kemauan,

dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan

masyarakat yang setinggi-tingginya (Depkes RI, 2009).

Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi permasalahan gigi

dan mulut pada kelompok umur 45-54 tahun tergolong paling tinggi dibandingkan

dengan kelompok umur lainnya yaitu 31,9%. Prevalensi pada kelompok umur 55-

64 tahun sejumlah 28,3% dan pada kelompok usia ≥ 65 tahun sebanyak 19,2%

(Kemenkes RI, 2013). Meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut (usila)

menimbulkan masalah terutama dari segi kesehatan dan kesejahteraan usia lanjut.

Masalah tersebut jika tidak segera ditangani akan menjadi kompleks. Masalah

kompleks pada usia lanjut baik dari segi fisik, mental, dan sosial berkaitan dengan

kesehatan dan kesejahteraan usia lanjut sehingga menyebabkan kebutuhan

terhadap pelayanan kesehatan meningkat. Usia yang bertambah dan fungsi

fisiologis dari tubuh akan mengalami penurunan akibat proses degeneratife

(penuaan).
Kriteria usia lanjut berdasar WHO adalah usia 60-74 tahun disebut

usia lanjut (elderly). Usia lanjut sebagai tahap akhir siklus kehidupan merupakan

suatu tahap akhir siklus kehidupan merupakan kenyataan yang tidak dapat

dihindari (Agnes, 2013). Masalah gizi yang dihadapi usia lanjut berhubungan

dengan menurunnya aktivitas fisiologis tubuhnya. Dengan bertambahnya usia,

kemampuan usus untuk menyerap zat-zat gizi dari makanan yang dikonsumsi

menurun. Perubahan fisiologis lainnya yang terjadi pada usia lanjut adalah

menurunnya fungsi ginjal, dan meningkatnya jumlah mineral yang hilang dari

jaringan keras yaitu tulang dan gigi (Muchtadi, 2009) . Menurut Adriani (2012)

Perubahan yang lazim terjadi dalam rongga mulut adalah gusi, gigi dan lidah.

Sekresi ludah berkurang sampai +75% sehingga mengakibatkan pengeringan

rongga mulut dan kemungkinan menurunkan cita rasa. Penyakit periodontal yang

80% terjadi pada orang tua dan kehilangan gigi sehingga menyebabkan kesulitan

makan dan pilihan makanan yang terbatas.

Permasalahan umum yang sering terjadi di rongga mulut adalah akibat

dari penyakit karies dan periodontal. Secara umum kedua penyakit tersebut dapat

menyebabkan kehilangan gigi (Sihombing, 2015). Kehilangan gigi merupakan

masalah kesehatan gigi dan mulut yang banyak muncul di masyarakat. Kehilangan

gigi sebagian akan mempengaruhi banyak hal dalam diri seseorang, baik estetis

maupun fungsi pengunyahan, bicara, dan hubungan sosial (Siagian, 2016).

Kehilangan gigi dapat diklasifikasikan berdasarkan daerahnya yaitu anterior,

posterior, serta anterior dan posterior. Kehilangan gigi anterior mencakup

hilangnya minimal 1 gigi anterior dan memerlukan perbaikan estetik. Kehilangan


gigi posterior mencakup hilangnya minimal 3 gigi dan memerlukan perbaikan

fungsional karena kehilangan gigi posterior akan mempengaruhi kemampuan

individu untuk mengunyah (Manik, 2012). Menurut Thalib (2008) kehilangan gigi

merupakan masalah kesehatan mulut yang umum terjadi pada usia lanjut, hal ini

menimbulkan dampak yang buruk diantaranya terhadap status gizi seseorang.

Kehilangan gigi akibat pencabutan, gigi berlubang, dan trauma dapat

mempengaruhi tulang alveolar sehingga menimbulkan ruang kosong pada gigi

yang hilang dan menyebabkan hilangnya oklusi antara gigi atas dan bawah.

Kehilangan banyak gigi akan mempengaruhi kemampuan pengunyahan

(mastikasi) yang memiliki dampak negatif terhadap kesehatan umum dengan

menyebabkan terjadinya pembatasan diet tertentu dan asupan nutritient yang

sangat dibutuhkan tubuh. Kehilangan gigi telah dihubungkan dengan perubahan

dalam pemilihan makanan dan gangguan nutrisi pada usia lanjut (Bertha, 2014).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah penulis lakukan di

Klinik Swasta yaitu dengan target 10 orang usila. Dari hasil kajian berupa

wawancara kepada sejumlah usila yang mengalami kasus kesehatan gigi dan

mulut yaitu tentang kehilangan gigi ada 8 orang banyak diantara mereka yang

mengalami kesulitan bebicara, kesulitan ketika mengunyah makanan, hanya

makan makanan yang yang bertekstur lembut, halus dan mudah dicerna dengan

status gizi. Usila dengan keadaan gizi diatas normal atau gemuk sebanyak 2

orang, dengan gizi normal sebanyak 2 orang, dan yang dengan status gizi dibawah

normal atau kurus sebanyak 6 orang. Berdasarkan data hasil wawancara yang

diperoleh tentang permasalahan kesehatan gigi dan mulut pada usia lanjut, maka
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan permasalahan

jumlah kehilangan gigi dan status gizi pada usila. Karena, pada masa ini

merupakan masa persiapan untuk mencapai usia lanjut yang sehat, aktif, dan

produktif.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kesehatan Gigi

Pengertian kesehatan gigi Kesehatan gigi atau sering disebut dengan

kesehatan rongga mulut adalah keadaan rongga mulut, termasuk gigi geligi dan

struktur jaringan pendukungnya bebas dari penyakit dan rasa sakit, berfungsi

secara optimal, yang akan menjadikan percaya diri serta hubungan interpersonal

dalam tingkatan paling tinggi (Sriyono, 2009).

Kesehatan gigi merupakan salah satu aspek dari seluruh kesehatan yang

merupakan hasil dari interaksi antara kondisi fisik, mental, dan sosial. Aspek fisik

yaitu keadaan kebersihan gigi dan mulut, bentuk gigi, dan air liur yang dapat

mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut.

Kebersihan gigi dan mulut adalah keadaan gigi geligi yang berada di

dalam rongga mulut dalam keadaan bersih bebas dari plak dan kotoran lain yang

berada di atas permukaan gigi seperti debris, karang gigi, dan sisa makanan

(Setyaningsih, 2007).

Pemeliharaan kesehatan gigi Upaya memelihara kesehatan gigi yang

utama harus ditujukan untuk mengendalikan pertumbuhan bakteri di dalam

rongga mulut karena pertumbuhan bakteri mulut yang tidak terkontrol merupakan

penyebab utama terjadinya permasalahan gigi dan mulut (Maitra, 2012). Lapisan

pada gigi yang terdiri atas kumpulan bakteri yang berkembang biak dalam suatu

matrik, disebut dengan lapisan plak. Lapisan plak akan terbentuk dan melekat

8
erat pada permukaan gigi bila seseorang mengabaikan kebersihan giginya (Be,

1987). Menurut Tarigan (1989), beberapa hal yang bisa dilakukan untuk

mengurangi pertumbuhan plak adalah sebagai berikut:

a. Menggosok gigi minimal dua kali sehari dengan pasta gigi yang

mengandung fluoride, pagi setelah sarapan dan malam sebelum tidur.

Sikat gigi dengan baik dan benar, yaitu dengan menjangkau ke seluruh

permukaan gigi dengan arah dari gusi ke gigi.

b. Mempergunakan benang gigi untuk membersihkan sisa makanan di sela-

sela gigi.

c. Berkumur setelah makan atau setelah menyikat gigi dengan obat kumur

yang tidak mengiritasi.

d. Kurangi mengonsumsi makanan yang mengandung gula seperti permen,

atau makanan bertepung karena sisa makanan tersebut dapat melekat pada

gigi.

e. Perbanyak konsumsi buah dan sayur yang dapat membersihkan gigi

seperti apel, wortel, dan seledri.

Akibat pemeliharaan kesehatan gigi yang tidak tepat Pemeliharaan

kesehatan gigi khususnya pencegahan pertumbuhan plak yang tidak tepat

menyebabkan timbulnya berbagai penyakit gigi dan jaringan pendukungnya (Be,

1987). Plak pada gigi yang tidak dihilangkan secara cermat akan mengalami

pengapuran dan menjadi keras, sehingga terbentuk karang gigi (Boedihardjo,

1985).

9
Menurut Forrest (1995), plak gigi juga berdampak pada patogenitas dari

karies dan penyakit periodontal. Adapun akibat dari pemeliharaan kesehatan gigi

yang tidak tepat, adalah:

a. Kalkulus atau karang gigi

Menurut Tarigan (1989), karang gigi merupakan jaringan keras

yang melekat erat pada gigi yang terdiri dari bahan-bahan

mineral seperti: Calcium, Ferum, Zink, Cu, Ni, dan lain

sebagainya. Karang gigi dapat melekat pada permukaan gigi

yang terletak di atas gusi, sehingga disebut supra gingival, atau

pada permukaan yang terletak di bawah gusi dan disebut sub

gingival. Karang gigi supra gingival berwarna kuning

sedangkan karang gigi sub gingival berwarna coklat kehitaman,

melekat erat di bawah gusi dan amat sukar dibersihkan. Karang

gigi supra gingival berasal dari endapan-endapan mineral ludah

yang bereaksi dengan bakteri-bakteri mulut serta sisa-sisa

makanan, sedangkan karang gigi sub gingival berasal dari sel-

sel darah yang pecah dan mengendap ke sela-sela gigi dan gusi.

Hal-hal yang dapat memudahkan terjadinya karang gigi antara

lain keadaan ludah, permukaan gigi yang kasar atau licin,

keadaan gigi yang tidak teratur, serta resesi dari gusi. Karang

gigi hanya dapat dihilangkan oleh dokter gigi atau perawat gigi

dengan alat khusus. Karang gigi juga menyebabkan radang

gusi, sehingga gusi bengkak dan mudah berdarah bila terkena

10
sikat gigi. Bila karang gigi tidak dihilangkan maka lama

kelamaan gigi akan menjadi goyang dan lepas dengan

sendirinya (Tarigan, 1990).

b. Karies gigi atau gigi berlubang

Karies gigi adalah penyakit jaringan gigi yang ditandai dengan

kerusakan jaringan, dimulai dari permukaan gigi (pit, fissure,

dan daerah interproximal) hingga meluas ke arah pulpa. Karies

dapat timbul pada satu permukaan gigi atau 10 lebih dan dapat

meluas ke bagian yang lebih dalam dari gigi, misalnya dari

email ke dentin atau ke pulpa. Adapun penyebab karies antara

lain karbohidrat, mikroorganisme dan air ludah, serta

permukaan dan bentuk gigi (Tarigan, 1990). Karbohidrat yang

tertinggal di dalam mulut dan mikroorganisme merupakan

penyebab langsung dari karies gigi, sementara permukaan dan

bentuk gigi merupakan penyebab karies gigi yang tidak

langsung. Gigi dengan fissure yang dalam mengakibatkan sisa-

sisa makanan mudah melekat dan bertahan, sehingga produksi

asam oleh bakteri akan berlangsung dengan cepat dan

menimbulkan karies gigi (Brauer, dalam Tarigan, 1990).

11
c. Penyakit periodontal atau penyakit jaringan penyangga gigi

Menurut Fedi, Vernino, dan Gray (2004), penyakit periodontal

dapat diklasifikasikan menjadi gingivitis dan periodontitis.

d. Gingivitis atau gusi berdarah Gingivitis atau gusi berdarah.

Merupakan keradangan atau inflamasi yang mengenai gingiva

(Fedi, Vernino, dan Gray, 2004). Menurut Tarigan (1990),

penyebab dari gusi berdarah adalah karena kebersihan gigi

yang kurang baik, sehingga terbentuk plak pada permukaan

gigi dan gusi. Bakteri-bakteri pada plak menghasilkan racun

yang merangsang gusi sehingga terjadi radang gusi, dan gusi

menjadi mudah berdarah. Selain itu, peradangan gusi dapat

juga terjadi karena kekurangan vitamin, yaitu vitamin C. Putri,

Eliza, dan Neneng (2010) mengklasifikasikan penyebab

gingivitis dalam dua faktor, yaitu faktor lokal dan faktor

sistemik. Faktor lokal penyebab gingivitis antara lain material

alba, karang gigi, over hanging filling (tambalan berlebihan),

dan obat-obatan pada gigi (misalnya arsen). Faktor sistemik

penyebab 11 gingivitis antara lain ketidakseimbangan

hormonal (penyakit diabetes mellitus, pubertas, kehamilan),

kelainan darah, malnutrisi, dan obat-obatan (misalnya dilantin

sodium). Menurut Fedi, Vernino, dan Gray (2004), gingivitis

12
merupakan tahap awal dari proses penyakit periodontal.

Gingivitis biasanya disertai dengan tanda-tanda berikut:

1. Adanya perdarahan pada gingiva tanpa ada

penyebab.

2. Adanya pembengkakan pada gingiva.

3. Hilangnya tonus gingiva. d) Hilangnya

stippling pada gingival

4. Konsistensi gingiva lunak disertai adanya

gingival pocket.

d. Periodontitis atau radang jaringan penyangga gigi

Periodontitis adalah inflamasi jaringan periodontal yang

ditandai dengan migrasi epitel jungsional ke arah apikal,

kehilangan perlekatan tulang dan resorpsi tulang alveolar

(Fedi, Vernino, dan Gray, 2004). Periodontitis merupakan

penyakit infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme dalam

plak (Putri, Eliza, dan Neneng, 2010). Secara klinis,

periodontitis ditandai dengan perubahan bentuk gingiva,

perdarahan pada gingiva, nyeri dan sakit, kerusakan tulang

alveolar, serta adanya halitosis (Putri, Eliza, dan Neneng,

2010). Gingivitis merupakan bentuk dari penyakit periodontal

yaitu terjadi peradangan gingiva, tetapi kerusakan jaringan

ringan dan dapat kembali normal. Gingivitis yang tidak

13
ditangani dapat berlanjut ke Periodontitis. Periodontitis

merupakan respon inflamasi kronis terhadap bakteri sub

gingiva, mengakibatkan 12 kerusakan jaringan periodontal

irreversible, sehingga dapat berakibat kehilangan gigi

(Ekaputri dan Masulili, dalam Virtika, 2014).

2.2. Lanjut Usia

Pengertian lanjut usia Lanjut usia adalah suatu proses menghilangnya

secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan

mempertahankan fungsi normalnya, sehingga lebih rentan terhadap infeksi dan

tidak dapat memperbaiki kerusakan yang dideritanya (Soemitro, 2006). Srigupta

(2004) menyebutkan bahwa lansia adalah proses seseorang bertambah tua, yang

memiliki interaksi komplek dari segi biologis, psikologis, dan sosiologis yang

berproses melalui waktu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), lanjut

usia adalah tahap masa tua dalam perkembangan individu dengan batas usia 60

tahun ke atas. Menurut Maryam dkk. (dalam Rusdi, 2011), lansia dibagi menjadi

lima klasifikasi, yaitu:

a. Pralansia yang berusia antara 45-59 tahun,

b. Lanjut usia berusia 60 tahun atau lebih,

c. Lanjut usia resiko tinggi berusia 70 tahun atau lebih,

d. Lanjut usia potensial yaitu lansia yang masih mampu melakukan

pekerjaan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa

14
e. Lanjut usia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari

nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

Klasifikasi World Health Organization (WHO) mengelompokkan lanjut

usia atas empat kelompok, yaitu:

a. Usia pertengahan (middle age), yaitu usia 45-59 tahun.

b. Lanjut usia (elderly age), yaitu usia 60-74 tahun.

c. Lanjut usia tua (old age), yaitu usia 75-90 tahun.

d. Usia sangat tua (very old), yaitu usia diatas 90 tahun.

Menurut Depkes R.I (dalam Soemitro, 2006), bahwa berdasarkan

kelompok usia, lanjut usia dibagi menjadi tiga yaitu:

a. Kelompok pertama adalah kelompok usia dalam masa virilitas (45-54

tahun), yang merupakan kelompok yang berada dalam keluarga dan

masyarakat luas.

b. Kelompok kedua adalah kelompok usia dalam masa prasenium (55-64

tahun), yang merupakan kelompok yang berada dalam keluarga,

organisasi usia lanjut dan masyarakat pada umumnya.

c. Kelompok ketiga adalah kelompok usia dalam masa senium (>65

tahun) dan usia lanjut dengan resiko tinggi (>70 tahun), merupakan

kelompok yang umumnya hidup sendiri, terpencil, hidup dalam panti,

dan penderita penyakit berat.

15
2.3. Tanda-tanda penuaan pada lanjut usia

Menurut Maryam dkk. (dalam Rusdi, 2011), penuaan adalah suatu proses

alami yang tidak dapat dihindari, berjalan terus menerus dan berkesinambungan

yang tentu akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia pada

tubuh, sehingga akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara

keseluruhan. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses

berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan baik dari dalam

maupun luar tubuh. Tidak ada batasan yang tegas pada usia berapa penampilan

seseorang mulai menurun dan pada setiap orang fungsi fisiologis alat tubuhnya

sangat berbeda baik dalam hal pencapaian puncak maupun saat menurunnya

(Nugroho, dalam Rusdi, 2011).

Menurut Maryam dkk. (dalam Rusdi, 2011), proses menua pada lansia

menyebabkan tanda-tanda penuaan pada lansia, diantaranya adalah:

a. Perubahan sistem integumen

Perubahan sistem integumen terjadi pada kulit lansia, sehingga

mengakibatkan kulit menjadi lebih mudah rusak, kulit mengerut atau

keriput akibat kehilangan jaringan lemak. Permukaan kulit kasar dan

bersisik karena kehilangan proses kreatinisasi serta perubahan ukuran

dan bentuk sel-sel epidermis. Kulit kepala dan rambut menipis

berwarna kelabu, rambut dalam hidung dan telinga menebal,

berkurangnya elastisitas akibat menurunnya cairan dan vaskularisasi,

pertumbuhan kuku menjadi lambat, adanya kuku jari yang keras dan

16
rapuh, pudar dan tampak kurang bercahaya, begitu pun dengan

kelenjar keringat yang berkurang baik jumlah dan fungsinya.

b. Perubahan sistem muskuluskeletal

Tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh sehingga

menyebabkan pergerakan pinggang, lutut, dan jari-jari terbatas, begitu

pun dengan persendian yang menjadi kaku dan membesar. Tendon

mengerut dan mengalami sklerosis, juga adanya atrofi serabut otot,

sehingga menyebabkan seseorang bergerak menjadi lambat, otot-otot

dapat mudah menjadi kram dan tremor, tetapi pada otot polos tidak

begitu terpengaruh.

c. Perubahan sistem kardiopulmonal

Sistem kardiovaskuler mengalami perubahan seperti arteri yang

kehilangan elastisitasnya dan aorta yang elastisitasnya menurun, tetapi

pada katup jantung justru menebal dan menjadi kaku. Hal ini dapat

menyebabkan kemampuan jantung memompa darah menurun,

sehingga menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya,

peningkatan nadi dan tekanan sistolik darah. Tekanan darah meninggi

biasanya akibat meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer.

d. Perubahan sistem pencernaan dan metabolisme

Kehilangan gigi disebabkan oleh periodontal disease, penyebab

lainnya meliputi kesehatan gigi yang buruk (karies gigi) dan gizi yang

buruk, serta berkurangnya kekuatan otot rahang sehingga sering kali

menyebabkan lansia kelelahan pada saat mengunyah makanan. Indra

17
pengecap menurun, adanya iritasi yang kronis dari selaput lendir, atrofi

indra pengecap (± 80%), hilangnya sensitifitas dari syaraf pengecap di

lidah terutama rasa manis, asin, asam, dan pahit, sehingga

menyebabkan penurunan nafsu makan yang dapat mengakibatkan

kondisi defisiensi nutrisi pada lansia.

e. Perubahan sistem neurologis

Gangguan neurologis pada lansia disebabkan karena perubahan

struktur dan fungsi syaraf. Perubahan ini disebabkan oleh banyak

faktor, termasuk genetik yang dimiliki seseorang serta area otak yang

terkena kerusakan. Perubahan terbesar yang terjadi pada lansia

meliputi lemahnya ingatan, menurunnya proses kognitif, perubahan

pola tidur, penglihatan, pendengaran, kemampuan berjalan dan postur.

Perubahan anatomi seperti hilangnya sinaps dan komposisi otak serta

sel saraf. Perubahan tersebut bisa dikarenakan penyakit dan

lingkungan yang merugikan, sehingga mempercepat perubahan

metabolisme dan kebutuhan oksigen.

f. Perubahan sistem pendengaran

Perubahan pada organ pendengaran yang berhubungan dengan

penambahan usia dapat terlihat dari daun telinga yang nampak lebih

besar dikarenakan formasi tulang rawan yang berlanjut dan penurunan

elastisitas kulit. Saluran telinga pada lansia lebih menyempit dan

rambut yang melapisi saluran telinga lebih kasar dan kaku.

18
g. Perubahan sistem pengelihatan

Beberapa perubahan pada sistem penglihatan antara lain penglihatan

menjadi kurang jelas akibat penuaan jaringan lemak yang melindungi

bola mata. Alis mata menjadi abu-abu dan lebih kasar pada laki-laki,

dengan alis di bagian pelipis semakin menipis. Membran mukosa

konjungtiva menjadi kering karena berkurangnya kualitas dan

kuantitas air mata, sklera menjadi kecoklatan, ukuran pupil dan iris

menjadi lebih kecil dan mengalami penurunan kemampuan untuk

kontriksi, sehingga membatasi sejumlah cahaya yang masuk ke mata.

Timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih

berbentuk sferis (bola). Kekeruhan pada lensa menyebabkan katarak.

Ambang pengamatan sinar lebih meningkat, daya adapsi terhadap

kegelapan lebih lambat, dan susah melihat dalam cahaya gelap.

Hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapangan pandang dan

berkurangnya luas pandangannya, serta menurunnya daya

membedakan warna biru dan hijau.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan gigi lanjut usia Menurunnya

berbagai fungsi organ pada lansia secara tidak langsung juga berpengaruh pada

status kesehatan gigi para lansia.

Menurut Kamso (dalam Rahardjo, 1996), status kesehatan gigi lansia

dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi, antara lain:

a. Faktor dari diri lansia sendiri, seperti jenis kelamin, usia, gaya hidup

baik yang menyangkut gaya hidup sehat, pendidikan, pekerjaan, status

19
perkawinan, perumahan dan status ekonomi yang dapat mempengaruhi

kesehatan giginya.

b. Faktor keluarga, seperti jumlah generasi, pola tinggal, pengetahuan,

sikap dan praktek keluarga dalam menjaga kesehatan gigi lansia.

c. Faktor lingkungan, seperti lingkungan sosial budaya, biologis, maupun

fisik.

d. Faktor pelayanan kesehatan gigi, menyangkut kebijakan tentang

program kesehatan gigi lansia, sarana, dana, sikap, dan praktek petugas

kesehatan dalam pelayanan kesehatan gigi.

Permasalahan kesehatan gigi lanjut usia Masalah yang sering terjadi akibat

dari kurangnya kebersihan gigi dan mulut pada lansia menurut Hidayat (dalam

Cahyo, 2011), antara lain:

a. Halitosis atau bau nafas yang tidak sedap, dapat disebabkan oleh

kuman atau sisa-sisa makanan yang menempel pada gigi.

b. Cheilosis atau bibir yang pecah-pecah.

c. Glositis atau radang pada lidah.

d. Stomatitis atau radang pada daerah mukosa atau rongga mulut.

e. Karies atau gigi berlubang.

f. Kalkulus atau karang gigi.

g. Gingivitis atau radang pada daerah gusi.

h. Periodontal desease atau periodontitis, yaitu radang pada jaringan

penyangga gigi.

i. Kehilangan gigi atau tanggalnya gigi pada lansia.

20
2.4. Fungsi Gigi pada lansia

Indikator Derajat Kesehatan Gigi dan Mulut 2010 (dalam Kemenkes RI,

2012), pada kelompok usia 65 tahun keatas harus memiliki minimal 20 gigi

berfungsi sebesar 75% dan penduduk tanpa gigi 5%. Gigi berfungsi pada lansia

adalah 20 gigi utuh tidak goyang yang masih dapat digunakan untuk mengunyah,

memotong, merobek, berbicara, dan fungsi estetika.

Menurut Depkes RI (1994), pada kelompok lansia diharapkan minimal

mempunyai 20 gigi berfungsi, hal ini berarti bahwa fungsi pengunyahan masih

mendekati normal, walaupun sedikit berkurang. Fungsi estetik dan berbicara

masih dapat dianggap normal dengan jumlah gigi minimal 20 buah.

Menurut Witter dkk. (dalam Dwidjayanti, 2012), kondisi gigi geligi yang

dapat berperan secara fungsional ditentukan berdasarkan banyaknya gigi di dalam

rongga mulut, apabila terdapat 10 pasang gigi berkontak di dalam rongga mulut

atau terdapat 20 gigi yang tersusun berpasangan di dalam rongga mulut (shortened

dental arch), maka memungkinkan lansia untuk melakukan proses pengunyahan.

Posisi dan kontak atau oklusi gigi berperan penting dalam fungsi kunyah, proses

menelan makanan, dan berbicara. Oklusi gigi anterior berfungsi untuk 19

memotong dan menyobek makanan, sedangkan oklusi gigi posterior berfungsi

untuk menggiling dan menghaluskan makanan (Purwasih, 2014). Kehilangan gigi

posterior pada lansia menyebabkan hilangnya dukungan oklusi pada gigi

posterior, sehingga terjadi atrisi pada permukaan incisal dan palatal gigi anterior

serta overbite atau gigitan dalam sebagai akibat bertambahnya beban kunyah pada

gigi anterior (Burhan, 1996).

21
2.5. Tindakan pencegahan kerusakan gigi pada lanjut usia

Menurut Kamso (dalam Rahardjo, 1996) kesehatan gigi dan mulut

khususnya untuk lansia aktif merupakan urutan pertama. Untuk itu, berbagai

kegiatan pencegahan kerusakan gigi pada lansia yang perlu diperhatikan baik oleh

lansia maupun keluarga/petugas yang melaksanakan adalah:

a. Upaya promotif , yaitu memberikan penyuluhan tentang:

1) Cara pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut.

2) Pentingnya protesa untuk mengembalikan fungsi kunyah.

3) Pemeriksaan secara berkala.

b. Upaya preventif, yaitu mengupayakan tindakan pencegahan seperti:

1) Pemeliharaan gigi dan mulut termasuk protesanya.

2) Pemilihan jenis makanan yang mudah dikunyah dan dicerna.

3) Deteksi dini bila ada kelainan mukosa untuk mencegah

keganasan, sehingga segera melakukan pemeriksaan.

4) Pemeriksaan berkala oleh dokter gigi.

c. Upaya kuratif dan rehabilitatif, yaitu memberikan pelayanan tingkat

sederhana, dalam pelayanan dilakukan di poliklinik di mana terdapat

seorang ahli penyakit 20 dalam yang telah mendalami masalah geriatri,

seorang perawat dan seorang tenaga sosial medik.

2.6. Perawatan gigi pada lanjut usia

Menurut Boedi Darmoyo (dalam Rahardjo, 1996), perawatan yang

diberikan pada lansia sebenarnya sama seperti perawatan pada masyarakat umum,

22
hanya saja tenaga kesehatan terkait perlu mendapat pelatihan untuk merawat

lansia. Adapun perawatan yang diberikan antara lain:

a. Perawatan sederhana konservasi gigi, periodontik, pengobatan

penyakit mulut yang dilakukan secara integrasi dengan perawatan

kesehatan umum.

b. Penyuluhan tetap harus diberikan baik kepada lansia maupun

keluarganya.

c. Melakukan rujukan untuk perawatan kasus sulit.

Menurut Cahyo (2011), cara-cara perawatan gigi pada lansia antara lain:

a. Kebersihan gigi dan mulut pada lansia yang masih mempunyai gigi

dapat dilakukan dengan cara menyikat giginya sendiri, yaitu pagi

setelah sarapan dan malam sebelum tidur.

b. Bila terdapat gigi berlubang dan endapan warna kuning sampai

kecoklatan segera diperiksakan di Puskesmas/ dokter gigi terdekat

(Hardywinoto, dalam Cahyo, 2011).

c. Bagi lansia yang menggunakan gigi palsu, gigi dibersihkan dengan

sikat gigi dan pasta gigi perlahan-lahan di bawah air yang mengalir.

Pada saat tidur, gigi palsu sebaiknya dilepas.

d. Bagi lansia yang tidak mempunyai gigi, setiap selesai makan harus

rajin gosok gigi.

23
2.6. Posyandu Paripurna Lansia

Menurut Kemenkes RI (dalam Zulfikar, t.t.), Posyandu lansia merupakan

suatu wadah untuk memberikan pelayanan kesehatan dan pembinaan kepada

kelompok usia lanjut di suatu wilayah dengan melibatkan peran serta aktif

masyarakat melalui kader kesehatan dan kerjasama lintas program dan lintas

sektor dalam rangka untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat pada

umumya dan khususnya kelompok lansia. Menurut Zulfikar (t.t.), kegiatan yang

dilaksanakan pada Posyandu Paripurna lansia antara lain:

a. Pelayanan kesehatan setiap bulan selama 3 bulan, yang mencakup

kesehatan umum dan kesehatan gigi dan mulut.

b. Kegiatan kelompok lansia, seperti pemberian makanan tambahan

(PMT), kunjungan rumah oleh petugas dan kader Posyandu, serta

kegiatan olahraga seperti senam lansia.

24
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

Pada orang lanjut usia permasalahan kesehatan gigi dan mulut menjadi

lebih kompleks. Banyak orang lanjut usia yang mengalami permasalahan dalam

kesehatan gigi dan mulut, termasuk kehilangan gigi. Kurangnya kesadaran para

usia lanjut dalam menjaga kesehatan gigi dan mulutnya menimbulkan

permasalahan tersendiri. Hal ini bisa terjadi karena pada orang lanjut usia banyak

yang memiliki penyakit kronis sehingga memperparah kesehatan gigi dan

mulutnya.

3.2. Saran

Perlu adanya perhatian dari tenaga kesehatan gigi untuk memberikan

penyuluhan tentang pengetahuan kesehatan gigi dan mulut secara sederhana dan

mudah dimengerti lansia serta pelayanan konseling, kontrol plak dan pemeriksaan

gigi secara berkala dengan harapan penyakit gigi dan mulut pada kelompok usia

lanjut dapat menurun. Lansia diharapkan untuk menjaga kesehatan gigi dan

mulutnya dengan cara menyikat gigi dengan waktu dan teknik yang tepat,

mengurangi konsumsi makanan dan minuman yang manis dan lengket, serta rutin

mengontrol kesehatan gigi dan mulutnya ke tenaga medis gigi.

25
DAFTAR PUSTAKA

Dignan, M.B., Carr, P.A., 1992, Program Planning for Health Education and

Promotion, Second Edition, Philadelphia, Lea & Febiger

Glanz, K., Lewis, F.M., Rimer, B.K., 1997, Health Behavior and Health

Education, Theory, Research, and Practice, Second Edition, San Fransisco,

Jossey-Bass Publishers

Notoatmodjo, S., 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Cetakan Pertama,

Jakarta, Penerbit : PT Rineka Cipta

Robbins, S.P., 1997, Organizational Behavior, Concepts – Controversies –

Application, Seventh Edition, Prentice Hall International Editions

Anda mungkin juga menyukai