Anda di halaman 1dari 53

BAB II

METODE ELEMEN HINGGA

PADA STRUKTUR

2.1 Jenis - Jenis Struktur pada Bangunan Teknik Sipil

Struktur 1D (satu dimensi) adalah suatu idealisasi dari bentuk struktur yang

sebenarnya dimana struktur dianggap merupakan gabungan dari elemen 1D (elemen

rangka, balok, grid, dan portal) untuk kemudian dilakukan analisis perhitungan.

Pada dasarnya perilaku semua tipe struktur 1D, 2D, atau 3D

(rangka/balok/portal, pelat/cangkang atau solid) dapat dijabarkan dalam bentuk

persamaan diferensial. Dalam praktiknya, penulisan persamaan diferensial untuk

struktur 1D sering kali tidak perlu karena struktur tersebut dapat diperlakukan

sebagai penggabungan elemen 1D. Solusi eksak untuk persamaan diferensial dapat

dinyatakan dalam bentuk relasi antara gaya dan peralihan pada ujung-ujung elemen.

Kombinasi yang tepat dari relasi ini dengan persamaan keseimbangan dan

kompatibilitas pada simpul dan perletakan menghasilkan sebuah sistem persamaan

aljabar yang menggambarkan perilaku struktur.

2.1.1 Truss (rangka)

Definisi truss (rangka) adalah konstruksi yang tersusun dari batang-batang tarik

dan batang-batang tekan saja, umumnya dari baja, kayu, atau paduan ringan guna

15
mendukung atap atau jembatan, umumnya hanya memperhitungkan pengaruh aksial

saja.

 Truss 2 dimensi : truss yang dapat menahan beban pada arah datar saja

(sumbu x, y) umumnya beban yang bekerja adalah beban terpusat nodal.

 Truss 3 dimensi : truss yang dapat menahan beban pada semua arah (sumbu

x, y dan z) umumnya beban yang bekerja adalah beban terpusat nodal.

2.1.2 Balok

Definisi balok yaitu konstruksi yang tersusun dari batang-batang saling

menyilang dan menyatu pada bidang horizontal dimana gaya-gaya dominan yang

bekerja adalah tegak lurus bidang tersebut sehingga menimbulkan momen lentur

yang menghasilkan putaran sudut pada ujung-ujung batang, dan translasi tegak lurus

pada bidang batang tersebut.

2.1.3 Grid

Definisi grid yaitu balok-balok yang saling menyilang dan menyatu pada

bidang horizontal dimana gaya-gaya dominan yang bekerja adalah tegak lurus bidang

tersebut sehingga menimbulkan momen lentur, momen torsi, dan translasi tegak

lurus pada bidang balok-balok tersebut, umumnya dapat menahan gaya normal

terhadap bidang datarnya.

2.1.4 Frame (portal)

Definisi frame (portal) adalah kerangka yang terdiri dari dua atau lebih bagian

konstruksi yang disambungkan guna stabilitas, umumnya dapat menahan gaya

momen, gaya geser dan aksial.

16
 Frame 2 dimensi : frame yang dapat menahan beban pada arah datar saja

(sumbu x, y) umumnya beban yang bekerja adalah beban terpusat nodal dan beban

batang.

 Frame 3 dimensi : frame yang dapat menahan beban pada semua arah saja

(sumbu x, y dan z) umumnya beban yang bekerja adalah beban terpusat nodal dan

beban batang.

2.2 Konsep Elemen Hingga

Struktur dalam istilah teknik sipil adalah rangkaian elemen-elemen yang

sejenis maupun yang tidak sejenis. Elemen adalah susunan materi yang mempunyai

bentuk relatif teratur. Elemen ini akan mempunyai sifat-sifat tertentu yang

tergantung kepada bentuk fisik dan materi penyusunnya. Bentuk fisik dan materi

penyusun elemen tersebut akan menggambarkan totalitas dari elemen tersebut.

Totalitas sifat elemen inilah yang disebut dengan kekakuan elemen. Jika diperinci

maka sebuah struktur mempunyai Modulus Elastis (E), Modulus Geser (G), Luas

Penampang (A), Panjang (L) dan Inersia (I). Inilah satu hal yang perlu dipahami

didalam pemahaman elemen hingga nantinya, bahwa kekakuan adalah fungsi dari

E,G,A,L,I.

Sebagaimana telah didefinisikan para pendahulu-pendahulu, bahwa energi itu

adalah kekal dan jika aksi (energi) dilakukan terhadap suatu materi, maka materi

akan melakukan suatu reaksi sebesar aksi tersebut. Reaksi dari pada materi ini akan

disebut dengan gaya dalam. ”GAYA DALAM “ yang ada dalam struktur

didefinisikan yaitu: Gaya Normal, Gaya Lintang, dan Gaya Momen yang akan

17
mempengaruhi bentuk fisik materi tersebut. Perubahan bentuk fisik materi ini disebut

dengan peralihan (displacement). Metode elemen hingga adalah suatu metode

pemaparan bagaimana perjalanan aksi hingga timbul reaksi dalam materi, atau

metode untuk memperkirakan besar reaksi dan reaksi apa yang timbul dari materi

tersebut.

Kontinum dibagi-bagi menjadi beberapa bagian yang lebih kecil, maka elemen

kecil ini disebut elemen hingga. Proses pembagian kontinum menjadi elemen hingga

disebut proses “diskretisasi” (pembagian). Dinamakan elemen hingga karena ukuran

elemen kecil ini berhingga (bukannya kecil tak berhingga) dan umumnya

mempunyai bentuk geometri yang lebih sederhana dibanding dengan kontinumnya.

Dengan metode elemen hingga kita dapat mengubah suatu masalah dengan

jumlah derajat kebebasan tertentu sehingga proses pemecahannya akan lebih

sederhana. Misalnya suatu batang panjang yang bentuk fisiknya tidak lurus,

dipotong-potong sependek mungkin sehingga terbentuk batang-batang pendek yang

relatif lurus. Maka pada bentang yang panjang tadi disebut kontinum dan batang

yang pendek disebut elemen hingga.

Suatu bidang yang luas dengan dimensi yang tidak teratur, dipotong-potong

berbentuk segi tiga atau bentuk segi empat yang beraturan. Bidang yang dengan

dimensi tidak beraturan tadi disebut kontinum, bidang segitiga atau segi empat

beraturan disebut elemen hingga. Dan banyak lagi persoalan yang identik dengan hal

diatas. Maka dari sini dapat dikatakan bahwa elemen hingga merupakan elemen

diskrit dari suatu kontinum yang mana perilaku strukturnya masih dapat mewakili

perilaku struktur kontinumnya secara keseluruhan.


18
Pendekatan dengan elemen hingga merupakan suatu analisis pendekatan yang

berdasarkan asumsi peralihan atau asumsi tegangan, bahkan dapat juga berdasarkan

kombinasi dari kedua asumsi tadi dalam setiap elemennya.

E lemen
Elemen Hingga
Hingga

K ontinum
Kontinum
Elemen Hingga
Elemen Hingga
Kontinum
Kontinum

Bidangtidak
Bidang tidak beraturan
beraturanmenjadi bidang-bidang
menjadi bidang-bidang
Batang bengkokBatang
menjadibengkok menjadi batang-batang
batang-batang
pendek yang lurus
segitigaberaturan
segitiga beraturan
pendek yang lurus

Elemen Hingga
Elemen Hingga

Kontinum
Kontinum

Bidang tidak beraturan menjadi


bidang-bidang segiempat beraturan

Bidang tidak beraturan menjadi bidang-bidang Kontinum – Parabolic Dome menjadi bidang-bidang

segiempat beraturan Kontinum


segiempat tiga dimensi – parabolic dome
kuadrilateral

Gambar 2.1 Diskretisasi Suatu Koninum pada Metode Elemen Hingga

Karena pendekatan berdasarkan fungsi peralihan merupakan teknik yang sering

sekali dipakai, maka langkah-langkah berikut ini dapat digunakan sebagai pedoman

bila menggunakan pendekatan berdasarkan asumsi tersebut :

1. Bagilah kontinum menjadi sejumlah elemen (Sub-region) yang berhingga

dengan geometri yang sederhana (segitiga, segiempat, dan lain sebagainya).


19
2. Titik-titik pada elemen yang diperlakukan sebagai titik nodal, dimana syarat

keseimbangan dan kompatibilitas dipenuhi.

3. Asumsikan fungsi peralihan pada setiap elemen sedemikian rupa sehingga

peralihan pada setiap titik sembarangan dipengaruhi oleh nilai-nilai titik

nodalnya.

4. Pada setiap elemen khusus yang dipilih tadi harus dipenuhi persyaratan

hubungan regangan peralihan dan hubungan rengangan-tegangannya.

5. Tentukan kekakuan dan beban titik nodal ekivalen untuk setiap elemen

dengan menggunakan prinsip usaha atau energi.

6. Turunkan persamaan keseimbangan ini untuk mencari peralihan titik nodal.

7. Selesaikan persamaan keseimbangan ini untuk mencari peralihan titik nodal.

8. Hitung tegangan pada titik tertentu pada elemen tadi.

9. Tentukan reaksi perletakan pada titik nodal yang tertahan bila diperlukan.

2.3 Tegangan dan Regangan dalam Kontinum Elastis

Dalam pembahasan ini diasumsikan bahwa kontinum yang dianalisis terdiri

atas material elastis dengan regangan kecil. Hubungan antara regangan dan

tegangannya dapat digambarkan dalam suatu sistem koordinat ortogonal yang

mengikuti kaidah tangan kanan misalnya dalam sebuah koordinat cartesius.

Gambar 2.2 memperlihatkan sebuah elemen yang amat kecil dalam sumbu

koordinat Cartesius yang panjang sisi-sisinya dinyatakan dengan dx, dy, dan dz.

Tegangan normal dan tegangan geser digambarkan dengan anak panah pada
20
permuakaan elemen tadi. Tegangan normal diberi notasi x, y, dan z, sedangkan

tegangan geser diberi notasi xy , yz , dan seterusnya. Dari persamaan keseimbangan

elemen tadi didapatkan hubungan sebagai berikut:

z,w

τ zy τ zx

τ xz dz 
τ yz 
τ xy
x
τ yx

dy x,u
dx
y,v

Gambar 2.2 Tegangan pada sebuah elemen yang sangat kecil

xy = yx yz = zy zx = xz ........................ (2-1)

Tegangan – regangan yang dilukiskan dalam gambar akan menimbulkan regangan

normal dan regangan geser. Regangan normal x, y, dan z didefinisikan sebagai:

x = y = z= ……………….. (2-

2)

21
dimana u, v, dan w merupakan translasi dalam arah x, y, dan z. Regangan geser, γ xy ,

γ yz dan lain-lain dinyatakan dalam rumus berikut ini:

γ xy = + = γ yx ; γ yz = + = γ zy ; γ zx = + = γ xz .…… (2-

3)

Dari persamaan ini dapat dilihat bahwa hanya ada tiga regangan geser yang

bebas. Untuk mempermudah, keenam tegangan bebas beserta keenam regangannya

akan dituliskan dalam bentuk matriks kolom (atau vektor) seperti berikut:

σ= = = = ……………………… (2-4)

Hubungan tegangan – regangan untuk material isotropik diturunkan dari teori

elastisitas seperti berikut ini:

x = =

x = = ……………… (2-5)

x = =

dimana :

G=

22
Dalam persamaan ini E = modulus elastisitas (modulus Young), G = modulus

geser, dan v = rasio Poisson. Dalam bentuk matriks, hubungan yang terdapat pada

persamaan dapat dituliskan sebagai:

= C σ…………………………………………………………..... (2-6)

dimana

C= …………… (2-7)

Matriks C merupakan operator yang menghubungkan vektor regangan dengan

vektor tegangan σ. Dan dengan meng-invers persamaan (2-6) didapatkan hubungan

tegangan – regangan seperti berikut ini:

σ = E …………………………………………………………….. (2-8)

dimana

E = C -1 = … (2-9)

Matriks E adalah operator yang menghubungkan vektor tegangan σ dengan vektor

regangan .

23
2.4 Finite Element Method Berdasarkan Prinsip Usaha Virtual

Dalam pembahasan ini, persamaan-persamaan metode elemen hingga akan

diturunkan dengan menggunakan prinsip usaha virtual. Sebuah elemen hingga tiga

dimensi yang terletak pada salib sumbu cartesius dengan koordinat x, y, dan z.

 Peralihan umum (general displacement) yang terjadi pada sembarang titik

dalam elemen dinyatakan dengan vektor kolom u:

u= …………………………………………….………........ (2-10)

dimana u, v, dan w berturut-turut merupakan translasi dalam arah x, y, dan z.

 Gaya tubuh (body forces) yang bekerja pada elemen, gaya-gaya ini akan

dimasukkan ke dalam vektor b, seperti berikut:

b= ………………………………………………………... (2-11)

Notasi b x , b y , dan b z mewakili komponen-komponen gaya (persatuan voume,

luas atau panjang) yang bekerja pada sembarang titik sesuai dengan arah x, y,

dan z.

 Peralihan titik nodal (nodal displacement) q yang diperhitungkan hanyalah

berupa translasi dalam arah x, y, dan z. Bila n en = jumlah titik nodal elemen,

maka:

q = {q i } (i = 1,2,...,n en )…………………………………….......   (2-12)
24
dimana:

qi = = ……………………………………………........ (2-13)

 Gaya titik nodal (nodal actions) p diambil dalam arah x, y, dan z:

p = {p i } (i = 1,2,...,n en )……………………………………...... (2-14)

dimana:

pi = ………………………………………………………… (2-15)

Hubungan antara peralihan umum dan peralihan titik nodal dinyatakan oleh

fungsi bentuk peralihan (displacement shape function) sebagai berikut:

u = f q………………………………………………………….......  (2-16)

Dalam persamaan ini notasi f adalah matriks segiempat yang menunjukkan bahwa u

sepenuhnya tergantung pada q.

Hubungan regangan-peralihan diperoleh dengan menurunkan matriks peralihan

umum. Proses ini ditunjukkan dalam pembentukan matriks d yang disebut operator

diferensial linier dan dapat dinyatakan dalam bentuk perkalian matriks:

= d u………………………………………………………….....   (2-17)

Dalam persamaan ini operator d menyatakan hubungan antara vektor regangan

dengan vektor peralihan umum (vektor u). Dengan substitusi persamaan (2-16) ke

dalam (2-17) diperoleh:


25
= B q……………………………………………………………. (2-18)

dimana:

B = d f………………………………………………………….....   (2-19)

Matriks B menunjukkan regangan yang terjadi pada sembarang titik dalam elemen

akibat satu satuan peralihan titik nodal.

Dari persamaan (2-8) telah diperoleh hubungan tegangan – regangan dalam

bentuk matriks sebagai berikut:

σ = E ………………………………………………………….....   (2-20)

dimana E adalah matriks yang menghubungkan tegangan σ dan regangan . Dengan

mensubstitusikan persamaan (2-18) ke dalam (2-20) diperoleh:

σ = E B q…………………………………………………………. (2-21)

dimana perkalian E B menunjukkan tegangan pada sembarang titik bila terjadi satu

satuan peralihan titik nodal.

Prinsip usaha virtual: Bila ada suatu struktur dalam keadaan seimbang,

dikerjakan suatu peralihan virtual yang kecil dalam batas-batas deformasi yang

masih dapat diterima, maka usaha virtual dari beban luar tadi sama denan energi

regangan virtual dari tegangan dalamnya. Bila prinsip di atas kita terapkan pada

elemen hingga, akan diperoleh:

δU e = W e …………………………………………………........       

(2-22)

26
dimana δU adalah energi regangan virtual dari tegangan dalam dan δW merupakan

usaha virtual beban luar yang bekerja pada elemen. Untuk memperoleh kedua nilai

tersebut, diasumsikan adanya peralihan virtual kecil yang dinyatakan dalam vektor

δq. Jadi,

δq = { δq i }(i = 1,2,...,n en )...………………………………...….. (2-23)

Kemudian peralihan umum virtual akan menjadi:

δu = f δq……………………………………………………….... (2-24)

Dengan menggunakan hubungan regangan peralihan dalam persamaan (2-18), kita

dapatkan:

δ = B δq………………………………………………….……...     (2-25)

Energi regangan virtual dalam U dapat dituliskan sebagai berikut:

δU e = ………………………………………….…... (2-26)

Usaha virtual luar dari gaya titik nodal dan gaya tubuh menjadi:

We = …………………………………... (2-27)

Dengan substitusi persamaan (2-26) dan (2-27) ke dalam persamaan (2-22) akan

dihasilkan:

= ……………………….....     (2-28)

Kemudian substitusi persamaan (2-20) untuk mengganti , dan dengan menggunakan

transpose dari persamaan (2-24) dan (2-25) akan diperoleh:


27
= ………………...     (2-29)

Selanjutnya, substitusi persamaan (2-18) untuk nilai serta bagilah ruas kiri dan

kanan dengan sehingga persamaan (2-29) akan menjadi :

= ……………………...…..     (2-30)

Persamaan (2-30) dapat dituliskan kembali menjadi:

K q = p + p b ………………………………………..………..…… (2-
31)
dimana

K= …………………………………………........ (2-32)

dan

pb = ……………………………………………........ (2-

33)

Matriks K dalam persamaan (2-32) adalah matriks kekakuan elemen, yaitu

gaya yang terjadi pada titik nodal akibat adanya satu satuan peralihan titik nodal.

Sedangkan vektor p b pada persamaan (2-33) menunjukkan gaya nodal ekuivalen

akibat bekerjanya gaya tubuh dalam vektor b.

Tegangan dan regangan yang diturunkan di atas hanya bergantung pada

peralihan titik nodal. Bila terjadi regangan awal 0, maka regangan total dapat

dituliskan sebagai berikut:

28
= 0 + C …………………………………………………...... (2-

34)

dimana C adalah matriks hubungan regangan – tegangan. Dari persamaan (2-9) telah

kita dapatkan:

-1
C= ……………………………………………………...…....  (2-35)

Dengan menyelesaikan vektor tegangan pada persamaan (2-34) akan diperoleh:

= E( – 0 )……………………………………………………..         (2-

36)

Bila persamaan ini digunakan untuk mengganti dalam persamaan (2-28), maka

akhirnya rumus tersebut akan menghasilkan:

K q = p + p b + p 0 …………………………………………...….....        (2-

37)

dimana

p0 = ……………………………………….….... (2-38)

Kita dapat menganggap vektor p 0 merupakan beban titik nodal ekuivalen akibat

regangan awal, sama halnya dengan yang ditimbulkan oleh perubahan temperatur.

2.5 Fungsi Bentuk Dan Peralihan Umum Dalam Bentuk Operasi Matriks

29
Asumsikan bahwa fungsi peralihan dinyatakan sebagai perkalian antara matriks

geometri q dengan vektor dari konstanta sembarang c sebagai berikut:

u = g c……………………………………………………………. (2-39)

Kemudian dicari operator g untuk setiap titik nodal sehingga:

q = h c…………………………………………………….……… (2-40)

Di mana, h = { g i }(i = 1,2,...,n en )………………………………………….. (2-

41)

dan g 1 menunjukkan matriks g yang dihitung pada titik nodal ke i. Dengan

mengasumsikan bahwa matriks h adalah matriks bujur sangkar dan nonsingular,

carilah konstanta c dalam persamaan (2-40):

c = h-1 q………………………………………………………...... (2-42)

Substitusikan persamaan (2-42) ke dalam (2-39) untuk memperoleh:

u = g h-1 q.................................................................................... (2-43)

f = g h-1………………………………………………………........ (2-44)

Sebagai contoh, untuk elemen aksial 1 dimensi asumsikan bahwa peralihan u di

sembarang titik pada elemen merupakan fungsi linier dari x, seperti berikut ini:

u = c1 + c2 x (fungsi peralihan)………………………….… (2-45)

30
 u 
1 2 x
q1 x q2
q 1  x q 2 
L
  L
(a)

f1
1

(b)

f2 1

(c)

Gambar 2.3 Elemen aksial

dalam bentuk matriks:

u = [1 x] ………………………………………………….. (2-46)

dari persamaan (2-39) diperoleh:

g = [1 x]..................................................................................... (2-47)

fungsi peralihan ini dapat dinyatakan dalam fungsi bentuk peralihan dengan mencari

kedua konstantanya, yaitu c 1 dan c 2 .

Pada x = 0, didapat c 1 = q 1 ; untuk x = L akan diperoleh q 2 = c 1 + c 2 L

Jadi c 2 = (q 2 – q 1 )/L. Bila konstanta ini disubstitusikan ke dalam persamaan (2-23)

akan diperoleh:

31
u = q1+ x………………………………………………........ (2-48)

Persamaan ini bukan lagi merupakan fungsi konstanta, melainkan fungsi dari

peralihan titik nodal. Bila persamaan (2-26) digabungkan dengan (2-16) maka akan

dapat dituliskan kembali menjadi:

u= = f q……………………………….……... (2-49)

dimana fungsi bentuk yang didapat dalam bentuk matriks sebagai berikut:

f = [ f1 f2 ] =

Kedua fungsi bentuk peralihan ini diperlihatkan dalam Gambar 2.3 (b) dan (c).

Fungsi bentuk peralihan (shape function) bisa juga diperoleh dengan menghitung

matriks g pada titik nodal 1 dan 2 [lihat persamaan (2-40)]:

= ……………………………………..……...   (2-50)

sehingga diperoleh:

h= = …………………………………………….. (2-51)

invers dari matriks h adalah:

h-1 = …………………………………………….…….... (2-52)

32
kemudian dari persamaan (2-44) diperoleh:

f = g h-1 = , yang sama dengan persamaan (2-49).

Hubungan regangan peralihan untuk elemen aksial hanya terdiri dari satu turunan

saja sesuai persamaan (2-2) dalam sub-bab 2.3:

= x =du= = =Bq

maka: B= = [-1 1]

Dengan cara yang sama, didapat hubungan tegangan – regangan [persamaan (2-20)

dan (2-21)] sebagai berikut:

σ = σ x = E = E ε x = EB q

Jadi: E=E dan EB= [-1 1]…………………………… (2-53)

Dengan mengasumsikan luas penampang A besarnya konstan, maka kekakuan

elemen dapat dihitung dari persamaan (2-32) seperti berikut ini:

K= = [-1 1]

K= ...................................................... (2-54)

2.6 Grid Element

Grid adalah sebuah struktur 1D yang terbentuk dari rangkaian balok-balok

yang terhubung secara kaku pada nodal, dimana seluruh balok dan nodal tersebut

33
berada pada bidang (X-Y) yang sama. Penggambaran ini identik dengan

penggambaran portal bidang. Perbedaan antara struktur grid dan portal terletak pada

arah beban yang bekerja pada struktur dan respons struktur terhadap beban tersebut.

Pada portal bidang seluruh beban bekerja pada bidang portal dan seluruh peralihan

juga terjadi pada bidang tersebut. Balok-balok portal mengalami lentur dan

deformasi aksial pada arah bidang. Pada struktur grid seluruh beban bekerja pada

arah tegak lurus bidang, demikian juga dengan peralihan yang terjadi. Balok-balok

grid mengalami lentur keluar bidang dan juga puntir.

Sistem koordinat global yang akan dipakai untuk menempatkan struktur grid

adalah pada bidang X-Y. Beban vertikal akan bekerja pada arah Z dan momen nodal

bekerja pada bidang grid seperti tampak pada Gambar 2.4. Pada Gambar 2.5

memperlihatkan sistem koordinat lokal elemen yang digunakan.

Y
Z

M yi
 f zi
M xi

Gambar 2.4 Arah Positif Gaya Nodal Struktur dalam Sistem Global

Pada elemen grid, terdapat efek lentur terhadap sumbu horizontal penampang

seperti halnya balok, dan juga efek puntir terhadap sumbu batang, yang berarti dapat

34
menahan momen torsi. Karenanya, pada setiap nodal terdapat: peralihan vertikal wi,

rotasi terhadap sumbu horizontal penampang (arah y) akibat momen lentur, dan

rotasi terhadap sumbu elemen akibat torsi. Tiap nodal mempunyai 3 derajat

kebebasan (w i , θ xi , θ yi ).

x
z

 y

Gambar 2.5 Sistem Koordinat Lokal Elemen

2.6.1 Efek Lentur

Efek lentur akan terjadi terhadap sumbu y elemen, dan efek puntir terjadi

terhadap sumbu x elemen. Peralihan nodal dan gaya batang dianggap positif bila

bekerja pada arah koordinat positif. Kita gunakan aturan tangan kanan unuk arah

efek lentur dan torsi. Gambar 2.6 menunjukkan arah positif untuk gaya dan peralihan

elemen. θ x1 , θ y1 , θ x2 , dan θ y2 adalah rotasi, sedangkan w 1 dan w 2 adalah translasi

pada arah z
z

f z1
y y
M x1

f z2

M y1
M y2  M x2

35
Gambar 2.6 Gaya dan Peralihan Elemen Positif

Gambar 2.7 melukiskan elemen lentur (flexural element) lurus yang melendut

pada bidang utama x-z. Dalam gambar ditentukan adanya sebuah peralihan umum w,

yaitu translasi dalam arah z. Jadi:

u=w

Gaya tubuh yang ditinjau merupakan komponen tunggal b z (gaya per satuan panjang)

yang bekerja dalam arah z.

Maka:

b = bz

Pada titik nodal 1 [lihat gambar 2.6 (a)]:

q1 : translasi dalam arah z dan rotasi kecil dalam arah y (mata panah tunggal)

q2 : rotasi kecil dalam arah y ( mata panah ganda)

Hal yang sama juga berlaku untuk titik nodal 2 peralihan yang diberi nomor 3

dan 4 berturut-turut merupakan translasi dan rotasi yang kecil. Maka, vektor

peralihan titik nodal akan menjadi:

q = {q 1 , q 2 , q 3 , q 4 } = {w 1 , θ y1 , w 2 , θ y2 }…………………………....

(2-54)

dimana:

36
θ y1 =

θ y2 =

Turunan (putaran sudut) ini dapat dianggap sebagai suatu rotasi yang kecil

walaupun sebenarnya mempengaruhi perubahan translasi pada titik nodal tersebut.

Aksi titik nodal yang terjadi pada titik nodal 1 dan 2 adalah:

p = {p 1 , p 2 , p 3 , p 4 } = {p y1 , M x1 , p y2 , M x2 }

p y1 dan p y2 : gaya dalam arah y pada titik nodal 1 dan 2

M z1 dan M z2 : momen dalam arah y pada titik nodal 1 dan 2

Karena ada empat peralihan titik nodal, fungsi peralihan lengkap untuk elemen lentur

ini dapat diasumsikan sebagai berikut:

w = c 1 + c 2 x + c 3 x2 + c 4 x3………………………………….…….

(2-55)

37
   z 
y

q1 q3

v
1 2  x x
q2 x q4
L
   y z
 (a)

   1 

 (b) 

   1 

 (c) 

   1 

 (d) 

   1

  (e) 
Gambar 2.7 Elemen Lentur dan Fungsi Bentuk (Sumber : Weaver, William JR dan Paul
R. Johnston, Elemen Hingga untuk Analisis Struktur, 1993)

matriks translasi g menjadi:

g=[1 x x2 x3 ]……………………………………………… (2-56)

Peralihan kedua (rotasi) pada setiap titik nodal memiliki hubungan diferensial

dengan peralihan yang pertama (translasi). Matriks rotasi (turunan pertama g

terhadap x)adalah:

38
= [0 1 2x 3x2]………………………………………..…… (2-57)

Bentuk matriks h dari kedua nodal 1 (x = 0) dan nodal 2 (x = L):

h= = ……………………….………. (2-58)

invers dari matriks h adalah:

h-1 = ……………………………….. (2-59)

Dari mengalikan kembali h-1 dengan g akan diperoleh matriks fungsi bentuk

peralihan dalam matriks f sebagai berikut:

f = g h-1 = [ f 1 f 2 f3 f4 ]

f=[1 x x 2 x3 ]

f= [ 2x3 – 3x2 L + L3 x3L – 2x2 L2 + xL3 - 2x3 + 3x2 L x3 L – x2 L2 ]…… (2-60)

dimana fungsi bentuk yang didapat adalah:

f1 = (translasi pada titik 1 terhadap sumbu-z elemen: w z1 )

39
f2 = (rotasi pada titik 1 terhadap sumbu-y elemen: θ y1 )

f3 = (translasi pada titik 2 terhadap sumbu-z elemen: w z2 )

f4 = (rotasi pada titik 2 terhadap sumbu-y elemen: θ y2 )

Keempat fungsi bentuk ini dilukiskan dalam Gambar 2.6 (b), (c), (d), dan (e) yaitu

perubahan w sepanjang elemen akibat dari satu satuan peralihan titik nodal dari

keempat arah peralihan q 1 , q 2 , q 3 , dan q 4 .

Hubungan regangan-peralihan dapat diturunkan untuk elemen lentur dengan

mengasumsikan bahwa penampang yang rata akan tetap rata selama deformasi

seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.8. Translasi u dalam arah x pada setiap

titik dalam penampang adalah:

u=-y ……………………………………………………... (2-61)

dengan menggunakan hubungan ini, kita dapat memperoleh persamaan regangan

lentur:

εx = =-y = - y ø……………………………...……….. (2-62)

dengan ø adalah kelengkungan.

ø= …………………………………...…………….……... (2-63)

40
Dari persamaan (2-62) dapat kita lihat bahwa operator diferensial linier d yang

menghubungkan ε x dengan w adalah:

d=-y …………………………………………………........ (2-64)

z, w
σ x 
y,v
dA
y
x,u
x, u

dx

Gambar 2.8 Deformasi Lentur


(Sumber : Weaver, William JR dan Paul R. Johnston, Elemen Hingga untuk Analisis Struktur, 1993)

Kemudian persamaan (2-19) akan memberikan matriks regangan-peralihan B seperti

di bawah ini:

B=df= [ 12x - 6L 6xL - 4L2 -12x + 6L 6xL - 2L2 ]…… (2-65)

Hubungan antara tegangan lentur x dan regangan lentur x dinyatakan dengan:

x =E x ……………………………………………………….…..

(2-66)

41
Maka:

E = E dan E B = E B……………………………………………….…......... (2-67)

Kekakuan elemen dapat diperoleh dari persamaan (2-32) dan akan memberikan hasil

seperti berikut ini:

K=

K= [ 12x - 6L 6xL - 4L2 -12x + 6L 6xL - 2L2 ]dA dx

Melalui perkalian dan integrasi (dengan EI konstan) maka akan dihasilkan

persamaan (2-68).

2.6.2 Efek Torsi

Gambar 2.9 melukiskan sebuah elemen torsi yang dapat berupa tongkat pada

mesin atau batang pada struktur grid. Element ini juga memiliki peralihan umum

tunggal θ x , yaitu rotasi kecil dalam arah x. Jadi, u = [ θ xi ]. Akibat adanya peralihan

elastis ini (rotasi kecil tadi) akan dihasilkan gaya tubuh b = M x berupa momen

(persatuan panjang) yang bekerja dalam arah sumbu x positif.

Peralihan titik nodal terdiri dari rotasi aksial yang kecil pada titik nodal 1 dan 2.

Maka:

q= = ……………………………………………..… (2-69)

42
u
1 2 x
q1 x q2
L

(a)

f1
1

(b)

f2 1

(c)

Gambar 2.9 Elemen Torsi dan Fungsi Bentuk


(Sumber : Weaver, William JR dan Paul R. Johnston, Elemen Hingga untuk Analisis Struktur, 1993)

Gaya titik nodal yang dihasilkan pada titik 1 dan 2 adalah:

p= =

Karena hanya ada dua peralihan titik nodal pada elemen torsi ini, maka dapat

digunakan fungsi peralihan yang linier, yaitu:

θ x = c 1 + c 2 x……………………………………………………….

(2-70)

Fungsi bentuk peralihan pada elemen torsi ini sama seperti yang diperlihatkan dalam

Gambar 2.9 (b) dan (c).

43
f = g h-1 = [ f 1 f2 ] = ……………………………... (2-

71)

Kemudian turunkan hubungan regangan-peralihan untuk elemen torsi dengan

penampang lingkaran seperti yang terlihat dalam Gambar 2.10. Asumsikan jari-jari

penampang tetap lurus selama terjadi deformasi torsi. Disini dapat disimpulkan

bahwa regangan geser γ akan bervariasi linier terhadap panjang jari-jari r seperti

berikut:

γ=r = rψ…………………………………………….…………… (2-72)

dimana ψ adalah putaran (twist), yaitu besarnya perubahan dari putaran sudut. Jadi:

ψ= ………………………………………………………….. (2-73)

  z 

τ
r

   y 
d

dx

Gambar 2.10 Deformasi Torsi


(Sumber : Weaver, William JR dan Paul R. Johnston, Elemen Hingga untuk Analisis Struktur, 1993)

44
K= dx

dimana: I x = dA menyatakan besarnya momen inersia penampang terhadap garis netral.

K=

K= ................................................................................. (2-68)

44
Dari persamaan dapat dibuktikan bahwa nilai maksimum regangan geser terjadi

pada permukaan.

γ max = Rψ

dimana R adalah jari-jari penampang (lihat gambar). Selanjutnya, pada persamaan

jelas terlihat bahwa operator diferensial linier d yang menghubungkan γ dengan θ x

adalah:

d=r ………………………………………………….………... (2-74)

maka, matriks regangan-peralihan B akan menjadi:

B = d f = [-1 1]……………………………………………...... (2-75)

yang mirip dengan matriks B pada elemen aksial, kecuali muncul nilai r.

Pada elemen torsi, hubungan antara tegangan geser (Gambar 2.10) dengan

regangan gesernya γ dinyatakan dengan:

= G γ…………………………………………………………….... (2-76)

dimana simbol G menunjukkan modulus geser material.

Jadi: E = G dan E B = G B…………………………………………….. (2-77)

Kekakuan torsi sekarang bisa diperoleh dengan menurunkan persamaan (2-32)

sebagai berikut:

K=

45
K= [-1 1] r dr dθ dx

K=

Dengan GJ konstan. Momen inersia polar J didefinisikan sebagai:

J= =

Untuk penampang bukan lingkaran/sembarang, momen inersia polar J

diturunkan dari rumus:

+ = -2 G v’ , dimana: Ԅ = fungsi torsi

Dengan bantuan penyelesaian memakai teori Prand’l (Bahan Kuliah Metode Elemen

Hingga Prof.DR.Ing Johannes Tarigan, 2008), maka:

J=

Khusus untuk tampang persegi maka Inersia Polar:

46
J = α a b 3,

dimana α dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Koefisien Torsi Tampang Persegi

a/b α
1 0.141
1.5 0.196
2 0.229
2.5 0.249  b

3 0.263
4 0.281
 a 
5 0.291
Gambar 2.11 Tampang Persegi 
6 0.299
8 0.307


10 0.312
Jika nilai a/b ≥ 2, maka J dapat pula
~ 0.333
dihitung dengan rumus:

Dengan notasi matriks, persamaan-persamaan dalam elemen yang mengalami

lentur dan torsi pada grid element dapat ditulis sebagai persamaan keseimbangan

elemen pada sistem koordinat lokal sebagai berikut:

47
K lokal =

Bila tidak ada beban nodal ekuivalen yang bekerja pada elemen grid, dan dengan

mengembalikan kembali bentuk persamaan keseimbangan elemen pada persamaan

(2-31), maka:

p=Kq

2.6.3 Transformasi pada sistem koordinat

48
Seperti halnya elemen rangka dan portal, kita harus mentransformasikan

matriks kekakuan elemen yang mengacu pada koordinat elemen ke dalam sistem

koordinat global. Sumbu X dan Y (global) akan terletak pada bidang struktur dan

karenanya berada pada bidang yang sama dengan sumbu x dan y (lokal) elemen.

Sumbu z lokal dan global paralel satu sama lain.

Pada Gambar 2.12, kita harus mentransformasi peralihan dengan memutar

terhadap sumbu z. Bila α adalah sudut antara sumbu x elemen dan sumbu global,

Sumbu (global) berimpit dengan sumbu z (lokal), maka translasi tegak lurus

bidang - maupun x-y adalah W i = w i.

cos α 

 2  sin α 
 cos α  
  1 
 sin α 



α 

Gambar 2.12 Transformasi koordinat lokal ke koordinat global

Σ Mx = 0 = M x2 Cos α + M y2 Sin α + 0

Σ My = 0 = Sin α + M y2 Cos α + 0

49
Σ Fz = 0 = 0 + 0 + w z2

{ }= =

Analog:

{ }= =

Pada titik simpul 1 berlaku juga seperti simpul 2, maka untuk satu elemen berlaku :

{ }=[ ]{ } { }= = ………. (2-78)

Untuk displacement vektor berlaku juga :

=[ ] ………………………………………………… (2-79)

Analog :

=[ ]

-1
{ }= = { }

= [ ]-1

dari persamaan (2-78) dan (2-79) :


‐1 
‐1
[ ] { }= [ ] ……………………………………. (2-80)

50
{ }= [ ] [ ]‐1 = …………..…………… (2-81)

‐1 T
dimana : =[ ] [ ] =[ ] [ ]…………………... (2-82)
T  ‐1

Keterangan : [ ] = [ ] karena [ ] matriks Orthogonal.

Matriks transformasi:

[ ]=


[ ]=

Matriks kekakuan elemen dalam sistem koordinat lokal adalah:

51
=

Jika: Sin α = S

Cos α = C, maka:


=[ ] [ ]

52
Dengan menyelesaikan persamaan diatas, diperoleh matriks kekakuan elemen dalam

sistem koordinat global:

.............................................................................................................................. (2-83)

2.6.4 Kompatibilitas, Keseimbangan, Penentuan Dari Matriks Kekakuan.

Kondisi kompatibilitas mensyaratkan bahwa peralihan untuk semua titik pada

suatu struktur yang terbebani harus kompatibel dengan seluruh peralihan pada

struktur.

Dengan demikian, pada saat struktur dibagi-bagi menjadi elemen-elemen,

kondisi kompatibilitas memerlukan beberapa persyaratan sebagai berikut:

 Peralihan nodal yang merupakan pertemuan beberapa elemen haruslah

kontinu dan pergerakannya selalu bersama.

 Peralihan nodal struktur harus konsisten dengan perilaku nodal yang telah

ditetapkan.

53
 Peralihan nodal pada tumpuan harus memenuhi kondisi batas dari peralihan

yang telah ditentukan sebelumnya.

Sebagai contoh, diketahui konstruksi seperti Gambar 2.13. Tujuannya adalah

untuk mencari matriks kekakuan dari konstruksi tersebut.

MX2 3
b
MY2 2 FZ5
a 6 Z
c d
1
5
e Y
4
X

Gambar 2.13 Penomoran untuk nodal dan batang

Tabel 2.2 Penomoran untuk Nodal dan Batang

Elemen Simpul 1 (awal) Simpul 2 (akhir)


a 1 2
b 2 3
c 2 5
54
d 4 5
e 5 6

, , , sesuai dengan persamaan di atas

 π 
dengan = = = = 2 

dengan = 0, untuk system Koordinat X – Y

berlaku : = = = ……..………... (2-84)

Untuk menjamin kompatibilitas dari perubahan bentuk maka harus ditetapkan :

+ + =

=
……….……………….  (2‐85) 
=

+ + =

Untuk keseragaman maka perlu dibuat definisi arah positif dari gaya-gaya dalam.

 =   ……………………………………………..………………………………….    (2-86) 

55
 

Gambar 2.14 Freebody gaya-gaya dalam

{ }={ }

{ }={ } +{ } +{ }

{ }={ }
 ………………………..………………….   (2‐87) 

{ }={ }

{ }={ } +{ } +{ }

{ }={ }

Dari persamaan f dan g didapat :

{ }= { }+ { }

56
{ }= { }+ { }+ { }+ { }+

{ }+ { }

{ }= { }+ { }
..… (2-88)
{ }= { }+ { }

{ }= { }+ { }+ { }+ { }+

{ }+ { }

{ }= { }+ { }

Persamaan (j) diatas jika disusun dalam bentuk matriks menjadi:

{ }= { }………………………………………………….… (2-89)

dimana :

{ } = vektor dari gaya-gaya luar pada titik simpul

{ } = vektor dari perpindahan (displacement)

= matriks kekakuan simetris

57
=

…………………………………………………………………………….…. (2-90)

2.6.5 Syarat keseimbangan

Pada persamaan (k) banyaknya persamaan sesuai dengan banyaknya yang tidak

diketahui. Untuk contoh Gambar 2.13, maka perpindahan (displacement) adalah:

θ x1 = θ y1 = w z1 = θ x3 = θ y3 = w z3 = θ x4 = θ y4 = w z4 = θ x6 = θ y6 = w z6 = 0 …...

(2-91)

{ }= ;{ }= ;{ }= ;{ }=

{ } = ;{ }=

{ }= ;{ }= ;{ }= ;{ }=

dimana vektor gaya-gaya dalam yang timbul pada simpul 1, 3, 4, 6 akibat

58
pembebanan pada struktur (simpul 2) belum diketahui. Dari persamaan (m) terdapat

18 bilangan anu tidak diketahui diantaranya 6 displacement (perpindahan) dan 12

gaya/momen, lihat pada Gambar 2.15.

FZ3

MX3 MY3 FZ6


wz2
w z2
FZ1 ?x2 3
θ
?y2
x2 b MX6 MY6
2 w
w z5z5
MX1 a ?x5 6
FZ4 c θ x5
?y5 d
MY1 1 5
Z
MX4
e
X Y
MY4 4

Gambar 2.15 Reaksi Tumpuan dan Displacement pada Grid

Untuk Gambar 2.13, matriks keseluruhan 18 x 18 dapat dijadikan matriks 6 x 6.

Dengan kondisi batas yang telah diketahui, maka baris ke 1 s/d 3, 7 s/d 9, 10 s/d 12,

dan 16 s/d 18 dapat dicoreng.

Dengan THEORI – CHOLESKY (Bahan Kuliah Metode Elemen Hingga

Prof.DR.Ing Johannes Tarigan, 2008)

‐1 
{ }= { } ……………………………………………….… (2-92)

persamaan dapat diselesaikan.


59
Setelah displacement pada nodal 2 dan 5 diketahui, maka dengan persamaan (i)

dapat dihitung reaksi tumpuan dan dicek kembali apakah perhitungan sudah benar

atau belum.

2.6.6 Beban Nodal Ekuivalen

Beban-beban yang bekerja di antara nodal elemen (merata, temperatur) yang

bekerja pada elemen harus ditransformasikan menjadi beban nodal sehingga sesuai

dengan tipe peralihan nodal yang didefinisikan.

Dalam metode Beban Nodal Ekuivalen (BNE), kita tetapkan kerja luar atau

kerja eksternal yang dihasilkan oleh beban nodal ekuivalen sama besarnya dengan

kerja yang dihasilkan oleh beban yang bekerja di antara nodal elemen.

Beban titik nodal ekuivalen yang disebabkan oleh beban merata b z per satuan

panjang seperti tampak pada Gambar 2.16 (a) dapat dihitung dari persamaan (2.4 –

14) dengan f mengacu pada persamaan (f) pada sub-bab 2.6.1 seperti berikut ini:

pb = dx = dx = =

60
    z 

   b z

1 2
 q 2     x 
x  q 4
L
    y     q 1   q 3 
 (a)

    z 

b z  x/L    b z

1 2     x 
 q 2 
x  q 4
L
    y     q 1   q 3 
 (b)

Gambar 2.16 Elemen Lentur Dengan Pembebanan Merata

Dengan cara yang sama, dapat diturunkan beban titik nodal ekuivalen untuk

pembebanan segitiga (Gambar 2.16 (b)) seperti yang ditunjukkan oleh persamaan di

bawah ini:

pb = dx = dx = =

Selanjutnya untuk beban titik nodal ekuivalen yang disebabkan oleh berbagai

kondisi pembebanan disusun pada Gambar 2.17

61
   z  ‐b z 
 =     =    

 
 L     =     =    

   =    
‐b z 
=    

 a 
 =    
 L 

=    

‐b z
 =     =    

 L   =     =    

‐b z 
 =     =    

 =     =    
 L 

‐b z 
   =    
 
 a  b  a  = 
 L 
 =      =    

Sumber : I. Katili, Metode Elemen Hingga untuk Skeletal, 2008

Gambar 2.17 Beban Nodal Ekuivalen (BNE) untuk Grid Bag.1


62
   z 
‐P   =     =    

 
 L/2   L/2    =     =    

‐P   
 =      =    

 a  b  =     =    


 L 

 =     =    

 L/2   L/2  =     =    

M   =     =    

 a  b   =     =    

  ‐P  ‐P  =      =    


 

 L/3  L/3  L/3  =     =    

Sumber : I. Katili, Metode Elemen Hingga untuk Skeletal, 2008

Gambar 2.18 Beban Nodal Ekuivalen (BNE) untuk Grid Bag.2

63
2.6.7 Persamaan untuk Gaya Dalam

Dengan notasi matriks, gaya-gaya dalam pada grid element dapat ditulis

sebagai persamaan keseimbangan elemen pada sistem koordinat lokal sebagai

berikut:

Ke =

= [ ]

= [ ]

64
   z  ‐b z 
 =     =    
x

 L   =    =    

 =    
‐b z 
=    


  =    
 L 

=    

‐b z
 =      =    

 L   =    =    

‐b z 
  =      =    

 =    =    
 L 

‐b z 
 =    

 a  b  a  =   
 L 
  =      =    

Sumber : I. Katili, Metode Elemen Hingga untuk Skeletal, 2008


65
Gambar 2.19 Gaya Internal Ekuivalen (GIE) untuk Grid Bag.1

   z 
‐P   =     =    
 x

 L/2   L/2 =     =    

‐P    =       =    

 a  b 
 L  =     =    

 =      =    

 L/2   L/2  =     =    

M    =      =    

 a  b   =     =    

‐P  ‐P   =       =    

 L/3  L/3  L/3 =     =    

Sumber : I. Katili, Metode Elemen Hingga untuk Skeletal, 2008

Gambar 2.20 Gaya Internal Ekuivalen (GIE) untuk Grid Bag.2


66

Anda mungkin juga menyukai