Anda di halaman 1dari 22

AKAD DAN TRANSAKSI YANG DILARANG DALAM

ISLAM
Makalah

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Perbankan Syariah

Dosen Pengampu: Kharis Fadlullah Hana, M.E., RSA

Disusun Oleh:

Kelompok 5-C2PSR

1. Dyah Fitriyani (2250410075)


2. Syahdina Najwa Riza Kusuma (2250410080)
3. Diya Dewi Tista (2250410099)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang dengan ini kami mengucapkan syukur atas kehadiran-Nya yang telah
melimpahkan rahmat-Nya kepada kami.”
Adapun makalah ini kami usahakan semaksimal mungkin tentunya dengan
bantuan dari banyak pihak khususnya dosen mata kuliah Perbankan Syariah Bapak
Kharis Fadlullah Hana, M.E., RSA sehingga dapat melancarkan proses makalah ini.
Oleh karena itu, kami juga ingin menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
“Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk para
pembaca. Mungkin dalam pengerjaan makalah ini terdapat kesalahan yang tidak
kami sadari, dengan segala kerendahan hati, kami mohon kritik dan sarannya dari
dosen dan juga teman teman untuk tercapainya makalah yang lebih sempurna.

Kudus, 22 Maret 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

A. Latar Belakang................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah............................................................................................ 1

C. Tujuan Masalah ............................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 2

A. Transaksi yang dilarang dalam islam .............................................................. 3

B. Tidak sah/lengkap akadnya.............................................................................. 6

C. Gharar dan Maysir dalam Perbankan Syariah ................................................. 7

D. Konsep Akad dalam Fiqih Islam dan dalam Bank Syariah ........................... 10

BAB III PENUTUP ............................................................................................... 16

A. Kesimpulan .................................................................................................... 16

B. Saran .............................................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kita mengenal dua prinsip hukum asli dalam hukum syariah. Hukum
yang berlaku untuk ibadah adalah segala sesuatu yang dilarang kecuali yang
ditentukan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah. Juga, dalam urusan
muamalah, semuanya diperbolehkan selama tidak ada konflik. Artinya,
ketika terjadi transaksi baru yang sebelumnya tidak dikenal dalam hukum
Islam, dianggap dapat diterima jika ada dalil-dalil yang menentangnya,
langsung atau tidak langsung, dari Al-Qur'an dan Hadits.

Oleh karena itu, dalam ranah muamalah, semua transaksi diperbolehkan


kecuali yang dilarang. Perubahan dan perkembangan dewasa ini
menghadirkan tren yang terbilang menakutkan, namun asik untuk dikritisi.
Praktik atau tindakan kemanusiaan di seluruh dunia, khususnya di
Indonesia, menunjukkan kecenderungan untuk menolak nilai atau etika
Islam, terutama dalam kehidupan bisnis yang paling bernilai. Jadi
perdagangan tampaknya menjadi bidang yang paling menguntungkan.
Namun, penting untuk dipahami bahwa menurut ajaran Islam, ada batasan
bisnis yang wajib dilakukan setiap orang, itulah sebabnya Islam
mengkategorikan transaksi yang diperbolehkan (halal) dan dilarang (ilegal).

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja transaksi haram zat-nya dan haram selain zat-nya ?

2. Apa saja yang membuat tidak sah/lengkap akadnya ?

3. Bagaimana gharar dan maysir dalam perbankan ?

4. Bagaimana konsep akad dalam fiqih maupun dalam perbankan syariah?

1
C. Tujuan Masalah

1. Agar pembaca dapat mengetahui transaksi haram zat-nya dan haram


selain zat-nya.
2. Agar pembaca dapat mengetahui yang membuat tidak sah/lengkap
akadnya.
3. Agar pembaca dapat mengetahui gharar dan maysir dalam perbankan.
4. Agar pembaca dapat mengetahui konsep akad dalam fiqih maupun
dalam perbankan syariah

BAB II

2
PEMBAHASAN

A. Transaksi yang dilarang dalam islam.

1. Transaksi haram zat-nya (haram li-zatihi)

Perdagangan dilarang karena komoditas yang dapat diperdagangkan


(barang dan jasa), seperti alkohol, bangkai hewan, daging babi, dll. Oleh
karena itu, meskipun akad jual beli itu sah, dilarang untuk membeli atau
menjual alkohol atau barang yang dilarang oleh Islam. Misalnya, jika
seorang nasabah mengajukan untuk membiayai pembelian alkohol dari
bank melalui akad murabahah, meskipun akad tersebut sah, namun akad
tersebut haram karena objek akadnya haram. Sebagaimana firman Allah
dalam Q.S An-Nahl ayat 115 :

ِ‫ٱْلِن ِزي ِر ومآ أ ُِه مل لِغَ ِْي م‬


‫ٱَّلل بِِهۦ‬ ْ َ َ ْ ‫مم َو ََلْ َم‬ َ ‫إِمَّنَا َحمرَم َعلَْي ُك ُم ٱلْ َمْي تَ َة َوٱلد‬
‫ور مرِح ٌيم‬ ‫ٱضطُمر َغ ْ َْي ََب ٍغ َوَل َع ٍاد فَِإ من م‬
ٌ ‫ٱَّللَ َغ ُف‬ ْ ‫فَ َم ِن‬

Artinya : “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu


bangkai, darah, daging babi, dan (hewan) yang disembelih dengan
(menyebut nama) selain Allah, tetapi barangsiapa terpaksa
(memakannya) bukan karena menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.” (Q.S An-Nahl ayat 115).
2. Transaksi haram selain zat-nya (haram li ghairihi)
1. Pelanggaran dalam prinsip an taradin minkum adalah penipuan
(tadlis). Setiap transaksi dalam Islam harus berdasarkan prinsip
kesepakatan bersama (kedua belah pihak senang). Mereka harus
memiliki informasi yang sama agar tidak ada pihak yang merasa
tertipu karena dalam hal ini salah satu pihak tidak mengetahui apa
yang telah diketahui oleh pihak lain, sehingga dapat disebut tadlis.
(Cahyono, 2020) Tadlis dapat terjadi melalui 4 cara:

3
a. Kuantitas, tadlis dalam kuantitas misalnya seorang
pedagang yang mengurangi takaran (berat) hasil barang
yang dijualnya.
b. Kualitas, tadlis dalam kualitas misalnya penjual yang
menutupi kekurangan barang yang dijualnya.
c. Harga, tadlis dalam harga misalnya memanfaatkan
ketidaktahuan pembeli akan harga pasar dengan menaikkan
harga suatu produk di atas harga pasar.
d. Waktu penyerahan, tadlis dalam waktu penyerahan
misalnya pemimpin proyek berkomitmen untuk
menyelesaikan dan menyerahkan proyeknya setelah 5 bulan
pengerjaan. Padahal proyek tersebut tidak dapat
terselesaikan dalam waktu 5 bulan saja dan tentunya proyek
tersebut tidak dapat diserahkan juga pada pemiliknya.
Adapun dasar hukum tentang larangan tadlis (penipuan) terhadap
bertransaksi salah satunya yaitu dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat
42:
۟ ِ ‫وَل تَ ْلبِسو۟ا ٱ َْل مق بِٱلْب‬
‫َٰط ِل َوتَ ْكتُ ُموا ٱ َْلَ مق َوأَنتُ ْم تَ ْعلَ ُمو َن‬
َ َ ُ َ
Artinya : “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan
yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang
kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah ayat 42)
3. Melanggar prinsip (la tazlimu na wa la tuz lamun)
1. Gharar (penipuan)
Gharar atau penipuan berarti mencurigakan, menipu atau ingin
bertindak merugikan orang lain. Akad itu curang karena tidak ada
kepastian mengenai keberadaan, jumlah, atau penyerahan pokok
akad.
Menurut Imam Nawawi, gharar merupakan bagian dari akad
yang dilarang oleh hukum Islam. Imam Al-Qarwafi mengatakan
bahwa gharar adalah akad yang tidak dapat dijamin akibat

4
akadnya, seperti jual beli ikan yang masih ada di dalam kolam.
(Nova Khairunisa, 2019)
Hukum gharar tidak disyariatkan dalam Al-Qur'an, namun
secara umum dapat dimuat dalam surat An Nisa ayat 29:

‫َٰط ِل إِملٓ أَن تَ ُكو َن‬ ِ ‫ََٰٓيَيُّها ٱلم ِذين ءامنُو۟ا َل ََتْ ُكلُو۟ا أَم َٰولَ ُكم ب ي نَ ُكم بِٱلْب‬
َ َْ َ ْ ٓ ََ َ َ َ
۟
‫اض ِمن ُك ْم ۚ َوَل تَ ْقتُلُٓوا أَن ُف َس ُك ْم ۚ إِ من ٱ مَّللَ َكا َن بِ ُك ْم‬
ٍ ‫ِ َٰتََرًة َعن تََر‬
‫يما‬ ِ
ً ‫َرح‬
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S.
An-Nisa ayat 29)

• Bentuk-bentuk gharar

a. Jual beli gharar yang dilarang

1. Jual beli barang yang tidak dapat diberikan atau tidak


bisa diserah terimakan, seperti budak yang melarikan
diri dari tuannya.
2. Jual beli barang yang sifatnya tidak di ketahui atau bisa
diketahui, tetapi jenis atau kualitasnya tidak jelas.
b. Jual beli gharar yang diperbolehkan

1. Jika barang tersebut merupakan pelengkap

2. Masyarakat memahami hal tersebut karena dianggap


sebagai hal yang sepele
3. Mereka memang membutuhkan transaksi tersebut

c. Gharar yang masih diperselisihkan

5
Maksudnya yaitu gharar berada di antara yang dilarang
dan diperbolehkan, sehingga masih terjadi perbedaan
pendapat dari para ulama. Misalnya menjual kentang,
kacang tanah, bawang, wortel, dll yang masih ada di ladang.
Sebagian ulama tidak membolehkannya, seperti Imam
Syafi'i, namun sebagian ulama memperbolehkannya,
seperti Imam Maliki dan Ibnu Taimiyah.

B. Tidak sah/lengkap akadnya


Larangan dalam Al-Qur'an jelas menunjukkan kesan dan akibat
berbisnis dengan cara yang salah, dalam Islam setiap bisnis harus menjauhi
maysir, riba dan gharar atau ketidakjelasan. Gharar merupakan unsur yang
selalu ada dalam perniagaan, dan kesan hadir dalam transaksi yang
mengandung gharar akan membatalkan jual beli (Syekh Abdurrahman,
2008142).1

Adapun kata al-Gharar dalam bahasa Arab berarti al-kathr (taruhan).


Maka Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa al-Gharar
adalah tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah) dan menurut Syaikh As-
Sa'idi al-gharar adalah al-mukhatharah (taruhan) dan al-jahalah
(ketidakjelasan).

Dan ini juga termasuk dalam kategori perjudian. Menurut Adiwarman


Karim (2010:46), transaksi yang tidak termasuk dalam kategori haram li
dzatihi (haram zatnya) atau haram li ghairihi (haram selain zatnya) belum
tentu halal. Transaksi tidak sah atau akad tidak lengkap, jika terjadi salah
satu faktor berikut, maka transaksi tersebut masih bisa dianggap tidak sah:

a. Rukun dan syarat tidak terpenuhi dengan sempuna;


b. Terjadi ta’alluq;

1
Hartanto, R. (2020). “Peran Tata Kelola Perbankan Syariah Terhadap Risiko Perbankan Syariah
Di Indonesia.” Jurnal Ilmiah Akuntansi Universitas Pamulang, 8(1), 45.

6
Ta’alluq terjadi apabila kita dihadapkan pada dua akad yang
saling dikaitkan, maka berlakunya akad pertama tergantung pada
akad kedua.
c. Terjadi two in one;
Two in one adalah kondisi dimana suatu transaksi diwadahi oleh
dua akad sekaligus, sehingga terjadi ketidakpastian (gharar)
mengenai akad mana yang harus digunakan (berlaku). Dalam
terminologi fiqih, kejadian ini disebut dengan shafqatain fi
alshafqah.

C. Gharar dan Maysir dalam Perbankan Syariah


Maysir dan Gharar dalam perbankan dapat dilihat pada sistem bunga yang
dibebankan pada setiap transaksi, termasuk transaksi pinjaman dan simpanan.2
Berikut merupakan contoh praktik maysir dan gharar dalam perbankan :
a. Perbankan

Gharar dalam perbankan dapat dilihat pada sistem bunga yang


dibebankan pada setiap transaksi, termasuk transaksi pinjaman dan
simpanan. Beban bunga tertentu adalah gharar yang mempertukarkan
kewajiban antara satu pihak dengan pihak lainnya.

b. Asuransi
Gharar terjadi dalam asuransi ketika dua pihak (misalnya: peserta
asuransi, pemegang polis dan perusahaan) tidak saling mengetahui
apa yang akan terjadi dan kapan bencana akan terjadi. Akad yang
dibuat dalam kondisi ini adalah akad yang dibuat berdasarkan asumsi
(ihtimal) saja. Ini disebut gharar "ketidakjelasan", yang dilarang oleh
hukum Islam. Karena bentuk kontrak mengarah pada despotisme
timbal balik.
Meskipun kedua belah pihak saling merestui, akad tersebut tetap
termasuk dalam kategori gharar yang dilarang. Bahkan jika tingkat

2
Nadratuzzaman Hosen, Analisis …, 60-64.

7
pembayaran/persentase atau tarif ditentukan sehingga perusahaan
asuransi/pemilik polis diberitahu, dia tetap tidak tahu kapan bencana
akan terjadi dan disinilah gharar terjadi.
Secara konvensional, kontrak/perjanjian dalam asuransi jiwa dapat
dikategorikan sebagai akad tabaduli atau akad pertukaran, yaitu
pertukaran pembayaran premi dengan imbalan uang pertanggungan.
Dalam hukum Islam, dalam suatu akad tukar harus jelas berapa yang
harus dibayar dan berapa yang harus diterima. Keadaan ini akan
menjadi ketidakjelasan (gharar) karena kita mengetahui berapa yang
akan diterima (nilai pertanggungan) tetapi tidak mengetahui berapa
yang akan dibayarkan (total premi). Di sinilah gharar berperan dalam
asuransi konvensional. Gharar dalam akad asuransi termasuk gharar
katsir karena pada asuransi memiliki tingkat ketidakpastian yang
tinggi, misalnya terjadi kecelakaan. Tidak ada asuransi yang
dilakukan kecuali untuk memprediksi kecelakaan yang akan terjadi di
masa depan.3
c. Bursa Saham
Dalam bursa saham, bentuk gharar banyak ditemukan dalam
setiap transaksinya. Adapun gharar tersebut dapat terjadi disebabkan
oleh:
1. Sebagian besar transaksi berjangka di pasar saham bukanlah
transaksi riil. Karena dalam pasar modal ini tidak ada faktor
serah terima antara kedua belah pihak, sekalipun syarat
penjualannya adalah serah terima barang dan serah terima
pembayaran atau salah satu dari keduanya.
2. Sebagian besar penjualan di pasar ini menjual barang-barang
yang bukan milik Anda, baik itu mata uang, saham, giro atau
barang komersial, Anda ingin membelinya di pasar nyata dan

3
Musthafa Dib al-Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah Menjalin Kerja Sama Bisnis dan
Menyelesaikan Sengketanya Berdasarkan Panduan Islam, Penerjemah Fakhri Ghafur dari buku
Fiqh al-Mu’awadhah, Jakarta: Hikmah, 2010, 88.

8
menyerahkannya dengan harga tertentu. Di kemudian hari,
uang muka pada saat itu tidak akan dikenakan biaya, dan
transaksi akan dilakukan sesuai dengan ketentuan penjualan.
3. Pembeli di pasar ini kebanyakan membeli dan menjual
kembali barang yang mereka beli sebelum menerimanya.
Orang kedua akan menjualnya kembali sebelum
menerimanya. Hal ini terjadi berulang-ulang, untuk tawaran
yang tidak diterima, hingga kesepakatan berakhir di tangan
pembeli yang sebenarnya, atau setidaknya diberi harga sesuai
dengan hari kesepakatan, hari harga penutupan.
4. Apa itu investor besar yang memonopoli pasar saham sejenis
dan barang komersial lainnya untuk menekan penjual yang
menjual barang yang bukan miliknya, dengan harapan akan
membeli barang tersebut dengan harga tertentu pada saat
transaksi, atau segera serahkan Terima kasih telah
mempermalukan penjual lain.
5. Di pasar modal, pasar ini digunakan sebagai market
influencer dalam skala yang lebih besar. Karena harga di
pasar ini tidak bergantung sepenuhnya pada mekanisme
pasar yang sebenarnya dari mereka yang perlu membeli atau
menjual. Namun, sebenarnya dipengaruhi oleh banyak hal,
beberapa di antaranya dilakukan oleh para pengamat pasar,
antara lain karena adanya monopoli komoditas dan nota
saham, atau melalui penyebaran berita bohong, dll. Metode
yang digunakan dapat menyebabkan fluktuasi harga yang
tidak wajar yang dapat berdampak buruk pada
perekonomian.

Perkembangan gharar dan maysir dari zaman jahiliah hingga zaman


ekonomi modern saat ini seringkali mencerminkan ketidakpastian dan untung-
untungan. Refleksi ini dapat dilihat dalam hasil yang tidak jelas dan pro dan
kontra dari keberpihakan. Urusan yang melekat pada unsur gharar dan maysir

9
bekerja pada ketidakadilan dan ketidakrelaan. Oleh karena itu, transaksi
semacam itu dilarang dalam Islam.

D. Konsep Akad dalam Fiqih Islam dan dalam Bank Syariah


a. Konsep Akad dalam Fiqih Islam
Fiqh muamalah Islam membedakan antara wa'ad dan akad. Wa'ad
adalah janji antara satu pihak dengan pihak lainnya. Wa'ad hanya mengikat
satu pihak, yaitu pihak yang berjanji wajib memenuhi kewajibannya. Pihak
yang membuat janji tidak memikul kewajiban apa pun kepada pihak lain.
Dalam wa'ad, syarat dan ketentuannya belum ditetapkan secara detail dan
konkrit (belum terdefinisi dengan baik). Jika pihak yang dijanjikan ingkar
janji, maka sanksi yang diterimanya lebih kepada sanksi sosial. Akad
adalah kontrak antara kedua pihak. Akad mengikat kedua belah pihak
saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat untuk memenuhi
kewajiban masing-masing yang telah disepakati sebelumnya. Dalam akad,
syarat dan ketentuan ditentukan secara rinci dan konkret (terdefinisi
dengan baik). Jika pihak atau pihak-pihak yang terikat kontrak lalai
memenuhi kewajibannya, maka ia atau mereka akan dikenakan sanksi
yang diatur dalam akad. Dalam hal ada tidaknya ganti rugi, fiqh muamalah
membagi akad menjadi dua bagian, yaitu akad tabbaru’ dan akad tijarah.
Pembentukan akad (takwin al-aqd) dapat dilakukan dengan unsur-
unsur akad yakni rukun akad (arkan al-aqd) dan syarat akad (syurut
alaqd):
• Rukun Akad
adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu sehingga sesuatu
dimungkinkan oleh unsur-unsur tersebut. Tulang punggung akad
merupakan unsur yang harus ada dan merupakan inti dari setiap
akad. Menurut kebanyakan ulama, rukun akad adalah:

1. Pelaku akad (Al-aqidani/kedua belah pihak dalam


akad/subjek akad)

10
2. Objek akad (Al-ma’uqud ‘alaih/objek akad) atau al-
mahall (keadaan yang diinginkan)
3. Sighah/pernyataan pelaku akad, yaitu ijab dan qabul.

Keterangan:

1. Pelaku akad haruslah orang yang mampu melakukan akad


untuk dirinya sendiri (ahliyah) dan memiliki otoritas
syariah untuk melaksanakan akad tersebut sebagai wakil
pihak lain (daerah).
2. Subjek kontrak harus ada pada saat akad dibuat, harus
ditetapkan dengan undang-undang, harus dapat
diserahkan pada saat akad dibuat, dan harus ada isi yang
jelas antara para pihak dalam kontrak.
3. Ijab qabul harus jelas maksudnya, sesuai antara ijab dan
qabul dan bersambung antara ijab dan qabul.

Menurut ulama Hanaite, Lawazim al-aqd menambahkan satu


hal lagi, Maudual-aqd (akibat hukum). Ini adalah tujuan atau
tujuan utama di mana akad dibuat. Akad yang berbeda memiliki
tujuan utama yang berbeda. Dalam akad jual beli, tujuan
utamanya adalah mengalihkan barang dari penjual kepada
pembeli dengan cara penggantian. Tujuan akad hibah adalah
mengalihkan barang dari pembeli kepada barang yang diberikan
kepadanya tanpa adanya penggantian (iwadh).

• Syarat Akad
Syarat adalah fitur yang harus ada disetiap rukun, tapi bukan
merupakan esensi. Contoh syarat dalam kontrak jual beli adalah
kesanggupan untuk menyerahkan barang yang dijual.
Kemampuan ini harus ada dalam setiap kontrak penjualan, tetapi
tidak termasuk dalam pembentukan kontrak.

11
1. Syarat berlakunya akad (In'iqod)
2. Syarat sahnya akad (Shihah)
3. Syarat terealisasinya akad (Nafadz)
4. Syarat lazim

Keterangan:

1. Syarat In’iqod memiliki isitilah umum dan istilah khusus.


Syarat umum harus selalu ada dalam setiap akad seperti
pelaku akad, objek akad, dan shighah akad, akad bukanlah
sesuatu yang dilarang melainkan akad yang bermanfaat,
syarat khusus harus ada dalam beberapa hal kontrak.
Misalnya, syarat adanya saksi minimal dua orang dalam
akad nikah.
2. Syarat Shihah, yaitu hukum syariat mensyaratkan sahnya
suatu akad karena dalam akad dagang harus bebas dari
cacat.
3. Nafadz adalah perumusan akibat hukum khusus dari akad
dan segala perjanjian (Iltizamat) yang timbul setelah akad
selesai. Nafadz memiliki dua syarat, kepemilikan (barang
dimiliki oleh pelaku dan memiliki hak untuk
menggunakannya) dan wilayah.
4. Persyaratan yang biasa adalah jika tidak ada cacat, akad
harus dilaksanakan
b. Konsep Akad dalam Perbankan Islam
Akad atau transaksi yang digunakan bank syariah dalam operasionalnya
sebagian besar berasal dari kegiatan mencari keuntungan (tijarah) dan
sebagian lagi dari kegiatan gotong royong (tabarru'). Turunan tijarah
adalah niaga (al-ba'i) berupa akad tukar-menukar dan akad bagi hasil dan
segala variannya. Ruang lingkup akad yang dibahas dalam perbankan
syariah meliputi akad-akad niaga (al-ba'i) yang lazim digunakan untuk

12
produk-produk perbankan syariah. Ditinjau dari ada atau tidaknya ganti
rugi, fikih muamalah membagi akad menjadi dua bagian, yaitu akad
Tijarah atau Mu'awadah dan akad Tabarru'.

1. Akad tijarah

Akad tijarah/mu'awadah (akad ganti rugi) adalah berbagai akad


yang melibatkan transaksi yang menguntungkan. Kontrak ini dibuat
untuk mendapatkan keuntungan karena sifat komersialnya. Contoh
akad tijarah adalah akad investasi, akad jual beli, akad sewa, dll.

Pertama-tama terlebih dahulu membedakan antara wa’ad dengan


akad. Selanjutnya akad ini terbagi menjadi dua kelompok besar, yakni
akad tabarru’ (akad kebaikan) dan akad tijarah (akad bisnis). Akad
tabarru’ dapat berupa memberikan sesuatu atau meminjamkan se-
suatu (uang atau jasa). Kemudian, berdasarkan tingkat kepastian dari
hasil yang diperolehnya, akad tijarah pun dapat kita bagi menjadi dua
kelompok besar, yakni:

1. Natural Uncertainty Contracts


2. Natural Certainty Contracts

Perbankan syariah dengan sistem bagi hasil bertujuan untuk


menggalang solidaritas antara pemilik dana (shahibul mal) yang
menyimpan dananya di lembaga, lembaga sebagai pengelola dana
(mudarib), dan pihak yang membutuhkan dana dan mengambil risiko
komersial atau pengelola usaha. Akad Tijarah adalah berbagai akad
yang melibatkan transaksi yang menguntungkan. Akad ini dibuat
untuk mendapatkan keuntungan karena bersifat komersial. Contoh
akad tijarah antara lain:

• Murabah, jual-beli dengan harga asal dengan tambahan


keuntungan yang disepakati.
• Salam, pembelian barang yang diserahkan kemudian hari,
sementara pembayaran dilakukan dimuka.

13
• Istisna/SPAN, pembelian dengan pesanan
• Ijarah, pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas barang itu sendiri.
• Musyarakah, kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk
usaha tertentu.
• Muzara’ah, bentuk kontrak bagi hasil yang diterapkan pada
tanaman pertanian setahun.
• Mukhabarah, muzara’ah tetapi bibitnya berasal dari pemilik
tanah.
2. Akad Tabarru’
Akad tabarru’ adalah berbagai perjanjian yang melibatkan
transaksi nirlaba yang tidak bersifat komersial untuk keuntungan
komersial. Tujuan dilakukannya akad tabarru' adalah untuk saling
membantu dalam rangka berbuat kebaikan. Tabarru' berasal dari
bahasa arab birr, artinya rahmat. Dalam akad tabarru', pihak yang
melakukan kebaikan tidak berhak menuntut ganti rugi apapun dari
pihak lain. Imbalan akad tabarru datangnya dari Allah SWT, bukan
dari manusia. Namun, pihak yang baik hati dapat meminta pihak lain
untuk menanggung biaya yang dikeluarkan dalam memenuhi akad
tabarru'. Namun dia tidak diperbolehkan mendapatkan keuntungan
sedikitpun dari akad tabarru’. Akad tabarru' pada hakekatnya adalah
akad untuk berbuat kebaikan dengan mengharapkan imbalan hanya
dari Allah SWT. Oleh karena itu, tidak ada keuntungan komersial
yang dimaksudkan dalam kontrak ini. Konsekuensi logisnya, jika akad
tabarru' diberlakukan dengan memanfaatkan keuntungan komersial,
maka akad tersebut bukan akad tabarru' lagi. Ia akan menjadi akad
tijarah, jika ia ingin menjadi akad tabarru', maka ia tidak dapat
memperoleh keuntungan (commercial advantage) dari akad tabarru'
tersebut. Tentu saja, dia tidak wajib menanggung biaya yang
dikeluarkan untuk melaksanakan akad tabarru’. Artinya, ia dapat

14
menuntut biaya penggantian yang dikeluarkan untuk pelaksanaan
akad tabarru. “Memerah susu hanya cukup untuk memberi makan 200
ekor kambing.” Demikian ungkapan yang dikutip dari hadits saat
menjelaskan akad rahn, salah satu akad tabarru’. Akad tabarru' ini
adalah memberikan sesuatu atau meminjamkan sesuatu. Jika akadnya
adalah meminjam sesuatu, maka objek pinjamannya bisa berupa uang
(lending $) atau jasa kita (lending yourself). Jadi kita memiliki 3 (tiga)
bentuk umum tabarru', yaitu:
1. Meminjamkan Uang (lending $)
2. Meminjamkan Jasa Kita (lending yourself)
3. Memberikan Sesuatu (giving something)

Akad tabarru’ ini pada dasarnya adalah akad untuk mencari


keuntungan di akhirat, karena bukan akad niaga. Oleh karena itu,
kontrak ini tidak boleh digunakan untuk tujuan komersial. Bank
syariah sebagai lembaga keuangan yang bertujuan mencari
keuntungan tidak dapat mengandalkan akad tabarru’ untuk
mendapatkan keuntungan, jika tujuan kita adalah mencari keuntungan
maka gunakan akad komersial yaitu akad tijarah. Namun demikian,
bukan berarti akad tabarru' sama sekali tidak dapat digunakan dalam
kegiatan niaga. Padahal, penggunaan akad tabarru' seringkali penting
dalam transaksi bisnis, karena akad tabarru' ini dapat digunakan untuk
menjembatani atau memperlancar akad tijarah. Akad tabbaru’ yaitu
segala Jenis perjanjian yang melibatkan transaksi nirlaba. Transaksi
ini bukan merupakan transaksi komersial untuk kepentingan
komersial. Contoh akad tabbaru’ adalah:

• Qard, menghibahkan harta yang dapat dikumpulkan atau


diperoleh kembali
• Wadi'ah, memelihara harta tertentu dengan cara tertentu atas
nama orang lain

15
• Wakalah, pemberian kuasa kepada orang yang berwenang
untuk melakukan suatu tugas
• Kafalah, jaminan yang diberikan oleh perusahaan asuransi
kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak
kedua
• Rahn, yang memberikan nilai properti pada barang dalam
hukum Syariah sebagai jaminan hutang
• Dhaman, menggabungkan dua beban (ketergantungan)
untuk melunasi hutang
• Hiwalah, akad yang mewajibkan pengalihan utang dari satu
penanggung jawab kepada penanggung jawab lainnya.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Perdagangan dilarang karena komoditas yang dapat diperdagangkan (barang
dan jasa), seperti alkohol, bangkai hewan, daging babi, dll juga dilarang. Oleh
karena itu, meskipun akad jual beli itu sah, dilarang untuk membeli atau menjual
alkohol atau barang yang dilarang oleh Islam. Larangan dalam Al-Qur'an jelas
menunjukkan kesan dan akibat dari melakukan bisnis secara salah, dan dalam
Islam, setiap bisnis harus menjauhi maisyir, riba dan gharar atau ketidakjelasan.
Gharar adalah unsur yang selalu ada dalam urusan bisnis, kesan hadir dalam
transaksi yang mengandung gharar membuat jual beli menjadi tidak sah.

Konsep Akad dalam hukum Islam:

16
Fiqh muamalat Islam membedakan antara wa'ad dan kontrak. Wa'ad adalah
janji antara satu pihak dengan pihak lainnya. Wa'ad hanya mengikat satu pihak,
yaitu pihak yang berjanji wajib memenuhi kewajibannya. Pihak yang membuat
janji tidak memikul kewajiban apa pun kepada pihak lain. Dalam wa'ad, syarat
dan ketentuannya belum ditetapkan secara detail dan konkrit (belum terdefinisi
dengan baik). Jika pihak yang dijanjikan ingkar janji, maka sanksi yang
diterimanya lebih kepada sanksi sosial. Akad adalah akad antara dua pihak.
Suatu kontrak mengikat para pihak yang telah disepakati bersama, yaitu masing-
masing pihak berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya yang telah
disepakati sebelumnya.

Kondisi adalah karakteristik yang harus ada pada setiap pilar, tetapi bukan
esensi. Contoh syarat dalam kontrak jual beli adalah kesanggupan untuk
menyerahkan barang yang dijual. Kemampuan untuk mengesampingkan ini
harus ada dalam setiap kontrak penjualan, tetapi tidak termasuk dalam
pembentukan kontrak.

1. Syarat berlakunya akad (In'iqod)


2. Syarat sahnya akad (Shihah)
3. Syarat terealisasinya akad (Nafadz)
4. Syarat lazim

B. Saran

Walaupun penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam penyusunan


makalah ini, namun tentunya masih banyak kesalahan dan kekurangan, karena
penulis sendiri menyadari bahwa dirinya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
para pembaca. Dengan begitu bisa terus menghasilkan tulisan yang bermanfaat.

17
DAFTAR PUSTAKA

Evan Hamzah Muchtar. “Muamalah Terlarang : Maysir dan Gharar.” Jurnal Asy-
Syukriyyah. Vol. 18 Edisi Oktober (2017) – diakses pada tanggal 21 Maret,
2023. 73-Article Text-99-2-10-20200616.pdf
Hartanto, R. (2020). Peran Tata Kelola Perbankan Syariah Terhadap Risiko
Perbankan Syariah Di Indonesia. Jurnal Ilmiah Akuntansi Universitas
Pamulang, 8(1), 45.

Musthafa Dib al-Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah Menjalin Kerja Sama
Bisnis dan Menyelesaikan Sengketanya Berdasarkan Panduan Islam,
Penerjemah Fakhri Ghafur dari buku Fiqh al-Mu’awadhah, Jakarta:
Hikmah, 2010

Nadratuzzaman Hosen, Analisis Bentuk Gharar dalam Transaksi Ekonomi, Jurnal


Al-Iqtishad Vol.1 No.1 Januari 2009, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah,
2009

Cahyono, H. (2020). Konsep Pasar Syariah Dalam Perspektif Etika Bisnis Islam.
Ecobankers : Journal of Economy and Banking, 1(2),
14. https://doi.org/10.47453/ecobankers.v1i2.171

18
Nova Khairunisa, P. (2019). Etika Bisnis Dalam Islam Terhadap Transaksi
Terlarang Riba Dan Gharar. LABATILA: Jurnal Ilmu Ekonomi Islam, 3(1), 81–
95. https://ejournal.iainukebumen.ac.id/index.php/lab/article/view/233

19

Anda mungkin juga menyukai