025 - Fadjar Galung Ramadhan S
025 - Fadjar Galung Ramadhan S
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Erina Rahmadyanti, S.T., M.T.
Lynda Refnitasari. S.Si., M.URP.
Disusun oleh:
Fadjar Galung Ramadhan S
(21050724025)
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada peneliti sehingga proposal penelitian ini dapat terselesaikan
dengan baik. Berkat limpahan nikmat dan karunia Tuhan, proposal penelitian
“Abu Sekam Padi untuk Menstabilkan Tanah Rawa” ini dapat dilaksanakan
dengan lancar. Proposal penelitian ini membahas mengenai pengaruh pada suatu
tanah jika ditambahkan abu sekam padi dengan prosentase penambahan yang
selalu bertambah. Memang ada kalanya terjadi hambatan pada saat penyusunan
proposal ini yaitu penyuplai abu sekam padi yang akan ditambahkan ke dalam
beberapa sampel tanah, namun pada akhirnya dapat terselesaikan dengan
melakukan pengambila abu sekam padi di daerah Ngingas, Krian, Kabupaten
Sidoarjo. Disusunnya proposal penelitian bertujuan untuk memenuhi tugas mata
kuliah Metodologi Penelitian.
Dalam proposal ini tidak lupa peneliti mengucapkan terima kasih kepada
1. Prof. Dr. Erina Rahmadyanti, S.T., M.T., selaku dosen pengampu mata kuliah
Metodologi Penelitian.
2. Teman-teman S1 Teknik Sipil yang selalu memberikan saran atau masukan
yang sangat bermanfaat tentunya dalam penyusunan proposal penelitian ini.
3. Semua pihak yang terlibat dalam mendukung kelancaran penyusunan proposal
penelitian ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Tanah
2.1.1 Pengertian Tanah
Tanah adalah lapisan terluar dari bumi. Karakteristik dan sifat tanah
bervariasi dari satu tanah ke tanah lainnya. Menurut Apriliandi (2017), tanah
memiliki ikatan antar butir yang relatif lemah, yang dapat disebabkan oleh
karbonat, bahan organik atau oksida yang mengendap antar partikel. Ruang
antar partikel bisa berisi air, udara atau yang lainnya. Pelapukan batuan atau
proses geologi lainnya yang terjadi di dekat permukaan bumi membentuk
tanah. Pembentukan tanah dari batuan induknya dapat berupa proses fisik
atau kimia. Proses fisik pembentukan tanah, yang memecah batuan menjadi
partikel yang lebih kecil, terjadi sebagai akibat dari perubahan suhu atau
cuaca. Pertikel-partikel mungkin berbentuk bulat, bergerigi maupun bentuk-
bentuk diantaranya. Secara umum pelapukan akibat proses kimia dapat
disebabkan oleh pengaruh oksigen, karbondioksida, air (terutama yang
mengandung asam atau alkali) dan proses kimia yang lain. Jika hasil
pelapukan masih pada asalnya, maka tanah ini disebut tanah residual
(residual soil) dan jika tanah berpindah tempat maka disebut tanah terangkut
(transported soil). Menurut Fauizek (2018), tanah adalah campuran partikel
yang terdiri dari satu atau semua jenis berikut :
a. Berangkal (boulders), bongkahan batu yang besar, biasanya lebih besar
dari 250 mm sampai 300 mm. Potongan batu sepanjang 150 mm sampai
250 mm, fragmen batuan ini disebut kerakal (cobbles).
b. Kerikil (gravel), partikel batu dengan dimensi dari 5 mm sampai 150
mm.
c. Pasir (sand), partikel batuan berkisar dari 0,074 mm sampai 5 mm, dari
kondisi kasar (3-5 mm) sampai dengan kondisi halus (kurang dari 1 mm).
d. Lanau (slit), partikel batuan berukuran 0,002 mm sampai 0,074 mm.
Lanau dan lempung dalam jumlah besar ditemukan dalam endapan yang
terendapkan di danau atau di rawa-rawa di sepanjang tepi sungai.
e. Lempung (clay), partikel mineral berukuran kurang dari 0,002 mm.
Partikel ini merupakan sumber utama kohesi pada tanah yang bersifat
kohesif.
Koloid (colloids), partikel mineral bersifat “tenang” memiliki ukuran
kurang dari 0,001 mm.
2.1.2 Tanah Gambut
Tanah Gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dibentuk
oleh adanya penimbunan atau akumulasi bahan organik di hutan yang
berasal dari reruntuhan vegetasi di atasnya dalam kurun waktu lama.
Akumulasi ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan
dengan laju penimbunan organik lantai hutan yang basah atau tergenang.
Tanah gambut di Indonesia dibentuk oleh akumulasi residu vegetasi tropis
yang kaya akan kandungan nitrogen dan lignin (Samosir, 2019).
Tanah gambut yang jauh dari sungai maka akan semakin sedikit
pengaruh tanah mineral dan semakin tinggi kandungan bahan organiknya.
Kandungan bahan organik di lapisan permukaan bisa mendekati 100% dan
dengan demikian kandungan karbon organiknya bisa mencapai 60% dari
berat keringnya. Untuk dapat digolongkan sebagai tanah gambut,
kandungan karbon organiknya minimal 12% dan ketebalan gambutnya
minimal 50 cm (Agus, 2014).
Tanah gambut mempunyai sifat hydrophysical yakni mempunyai daya
serap air yang kuat sebagai bahan terlarut. Tanah Gambut mempunyai
kandungan air yang sangat besar sehingga dapat dikatakan salah satu
struktur utama pembentuk tanah gambut adalah air dan kadar air itu bisa
mencapai 300 – 400 %. Kemampuan tanah gambut menampung air dalam
jumlah yang besar dikarenakan bahwa jenis tanah ini memiliki daya serat
yang membagi ruang pori menjadi makropori dan mikropori yaitu bagian
terkecil yang terdapat di antara pori gambut itu sendiri, dengan kata lain
gambut memiliki dua kali kemampuan untuk menampung air (Nurdin,
2014).
Pembentukan gambut merupakan proses transformasi dan translokasi.
Proses transformasi merupakan proses pembentukan biomassa dengan
dukungan nutrisi terlarut, air, udara, dan radiasi matahari. Proses translokasi
merupakan pemindahan bahan oleh gerakan air dari tempat yang lebih
tinggi ke tempat yang lebih rendah dan oleh gerakan angin akibat perbedaan
tekanan. Akibat dari proses pembentukkan biomassa dan sisa tumbuhan
setempat lebih cepat dari proses perombakannya, maka terbentuklah lapisan
bahan organik dari waktu ke waktu. Proses transformasi merupakan proses
pembentukkan biomassa dari sisa tumbuhan setempat lebih cepat dari
proses perombakannya, maka terbentuklah lapisan bahan organik dari
waktu ke waktu (Anwar dan Susanti, 2017).
2.1.3 Klasifikasi Tanah
Klasifikasi tanah adalah pengelompokan berbagai jenis tanah ke dalam
kelompok-kelompok berdasarkan karakteristiknya. Sistem klasifikasi ini
secara menggambarkan sifat-sifat umum tanah yang sangat bervariasi, tetapi
tidak ada yang memberikan penjelasan yang jelas tentang kemungkinan
kegunaannya (Fauizek, 2018). Tujuan klasifikasi tanah adalah untuk
menentukan kesesuaian untuk penggunaan tertentu dan memberikan
informasi tentang kondisi tanah dari satu daerah ke daerah lain dalam bentuk
informasi dasar seperti sifat pemadatan, kekuatan tanah, berat isi, dan
sebagaianya (Adha, 2014).
Ada dua sistem klasifikasi umum dalam mekanika tanah. Kedua sistem
tersebut mempertimbangkan distribusi ukuran butiran dan batas Atterberg,
sistem-sistem tersebut adalah :
a. Sistem Klasifikasi American Association of State Highway and
Transportation Official (AASHTO)
Sistem ini dikembangkan pada tahun 1929 sebagai Public Road
Administration Classification System. Sistem klasifikasi ASSHTO
berguna untuk menentukan kualitas tanah guna pekerjaan jalan yaitu
lapis datar (subbase) dan tanah dasar (subgrade). Karena sistem ini
ditujukan untuk pekerjaan jalan tersebut, pengunaan praktis dari sistem
ini harus dipertimbangkan terhadap maksud dan tujuan awalnya.
Sistem klasifikasi ASSHTO didasarkan pada kriteria berikut :
1) Ukuran butir
Kerikil : bagian tanah yang lolos ayakan diameter 75 mm (3 in) dan
tetap tertahan di ayakan No. 10 (2 mm). Pasir : tanah yang lolos
ayakan No. 10 (2 mm) dan tetap tertahan di ayakan No. 200 (0.075
mm). Lanau dan lempung : tanah yang lolos ayakan No. 200.
2) Plastisitas
Plastisitas adalah kemampuan tanah untuk beradaptasi terhadap
perubahan bentuk pada volume konstan tanpa retak atau hancur.
Tergantung pada kelembapannya, tanah bisa cair, plastik, semi padat
atau padat. Derajat plastisitas tanah biasanya dinyatakan dengan nilai
indeks plastisitas, yaitu selisih antara nilai batas cair dan nilai batas
plastisitas tanah. Istilah lanau digunakan ketika indeks plastisitas
partikel halus tanah adalah 10 atau kurang. Istilah lempung ketika
indeks plastisitas bagian halus tanah adalah 11 atau lebih.
3) Jika batuan (ukuran lebih besar dari 75 mm) pada sampel tanah yang
akan diklasifikasi, batu tersebut harus dikeluarkan terlebih dahulu,
tetapi persentase tanah yang dikeluarkan harus dicatat.
b. Sistem Klasifikasi Tanah Unifed Soil Classification System (USCS)
Klasifikasi ini diperkenalkan oleh Casagrande pada tahun 1942, untuk
pembangunan lapangan terbang (Fauizek, 2018). Dalam sistem ini pada
garis besarnya membedakan tanah atas tiga kelompok besar, yaitu :
1) Tanah butir kasar (coarse-granied-soil), dibawah 50% lolos saringan
No. 200, merupakan tanah berkerikil dan berpasir. Simbol kelompok
dimulai dari huruf awal G untuk kerikil (gravel) atau tanah berkerikil
dan S untuk pasir (sand) atau tanah berpasir.
2) Tanah butir halus (fine-grained-soil), diatas 50 % lolos saringan No.
200, merupakan tanah berlanau dan berlempung. Simbol kelompok
dimulai dengan huruf awal M untuk lanau anorganik, C untuk
lempung anorganik, dan O untuk lanau organik dan lempung organik.
Penggunaan simbol Pt yaitu untuk gambut (peat), dan tanah yang
mengandung organik tinggi.
3) Tanah organik (Gambut/Humus), secara laboratorium dapat
ditentukan jika selisih antara batas cair tanah contoh yang belum
dioven dengan yang telah dioven sebesar > 25%.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam klasifikasi USCS sebagai
berikut :
1) Persentase lolos ayakan No. 200 dan lolos ayakan No. 4.
2) Koefisien keseragaman (Cu) dan koefisien gradasi tanah (Cc).
3) Batas cair (LL) dan indeks plastisitas (PI) tanah.
2.1.4 Penurunan Daya Dukung Tanah
Penurunan daya dukung tanah atau settlement terjadi ketika beban pada
tanah melebihi daya dukungnya. Penurunan daya dukung tanah dapat
disebabkan oleh berbagai faktor seperti peningkatan beban pada tanah,
perubahan kelembaban tanah, atau pengaruh cuaca.
Pada tanah berpasir dengan permeabilitas tinggi, air dapat mengalir
dengan cepat sehingga air pori keluar sebagai akibat peningkatan tekanan
air pori dapat selesai dengan cepat. Air yang keluar dari pori-pori dibarengi
dengan penurunan volume tanah, penurunan volume tanah dapat
menyebabkan penurunan lapis tanah itu karena air pori di dalam tanah
berpasir dapat mengalir keluar dengan cepat, sehingga menyebabkan
penurunan segera dan penurunan konsolidasi terjadi secara bersamaan
(Fauizek, 2018).
Ini berbeda dari lapisan lempung jenuh air yang dapat dimampatkan.
Koefisien perkolasi lempung sangat kecil dibandingkan dengan koefisien
perkolasi kolom pasir, sehingga peningkatan tekanan air pori akibat
pembebanan perlahan-lahan menurun dalam waktu yang sangat lama. Pada
tanah lempung, perubahan volume yang disebabkan oleh air yang keluar
dari pori-pori (yaitu konsolidasi) akan terjadi sesudah penurunan segera.
Penurunan konsolidasi biasanya jauh lebih besar dan lebih lambat serta lama
dibandingkan dengan penurunan segera (Fauizek, 2018).
Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk memperbaiki tanah
sedemikian rupa sehingga pada saat pembangunan gedung tidak terjadi lagi
penurunan konsolidasi, bahkan setelah selesai pembangunan, sehingga
risiko kerusakan struktur bangunan karena penurunan tanah dapat dihindari.
2.1.5 Stabilisasi Tanah
Stabilisasi tanah didefinisikan sebagai peningkatan material jalan lokal
yang ada melalui stabilisasi mekanis atau penambahan bahan tambahan
pada tanah (Hardiyatmo, 2010). Salah satu faktor penting dalam mendukung
konstruksi yang aman adalah tanah harus memiliki daya dukung yang cukup
untuk menahan beban yang dikenakan oleh struktur. Menurut Jatmiko
(2014), tindakan stabilisasi tanah adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan kepadatan tanah.
2. Menambahkan bahan tidak aktif yang meningkatkan ketahanan kohesi
dan gesekan yang dihasilkan.
3. Penambahan bahan yang menyebabkan perubahan kimia atau fisik tanah.
4. Menurut muka air tanah (drainase tanah).
5. Penggantian tanah yang kurang baik.
2.1.6 Material Penyusun Tanah
Material penyusun tanah yang bersifat heterogen dan non heterogen.
Terdapat 3 material penyusun tanah yaitu :
1. Padat, merupakan bahan organik dan mineral.
2. Cair, berupa air tanah.
3. Gas, berupa udara tanah.
Tanah residual juga berada pada daerah dengan iklim sedang atau
setengah kering. Tanah yang ada pada daerah ini bersifat kaku dan stabil
serta tidak meluas kebagian tanah yang lebih dalam. Tetapi, apabila terjadi
pada iklim lembab dan paans serta mendapat penyinaran matahari yang
cukup lama, tanah residual dapat menjadi luas sampai kedalaman beberapa
meter. Tanah residual dapat menjadi tanah yang sangat stabil dan kuat,
tetapi dapat pula menjadi tanah yang mengandung bahan yang sangat
kompresibel yang terdapat di sekitar bongkahan-bongkahan batuan yang
belum lapuk. Sehingga, pada kondisi seperti ini tanah dapat menyebabkan
sulitnya untuk melakukan pekerjaan pondasi maupun konstruksi lainnya.
2.2 Abu Sekam Padi
2.2.1 Sekam Padi
Padi merupakan salah satu hasil pertanian yang sangat penting, selain
untuk memenuhi kebutuhan pangan, produksi padi juga menghasilkan
limbah berupa sekam padi. Pemanfaatan sekam padi masih sangat sedikit,
sehingga sekam masih menjadi bahan sisa yang mengganggu lingkungan
(Hananta, 2016). Sekam padi adalah kulit yang membungkus butiran beras,
dimana kulit padi terpisah dan menjadi sampah atau limbah. Sekam padi
yang merupakan limbah dari proses penggilingan padi dapat dimanfaatkan
keberadaannya. Sekam padi dapat didaur ulang karena bermanfaat, salah
satu caranya adalah dengan membakar sekam padi menjadi abu.
2.2.2 Kandungan Senyawa Kimia dalam Abu Sekam Padi
Abu sekam padi yang merupakan hasil pembakaran sekam padi
mengandung senyawa kimia. Komposisi kimia sekam padi dapat dilihat
pada Tabel 1 :
86,90 – 97,30
SiO2
0,58 – 2,50
K2O
0,00 – 1,75
Na2O
0,20 – 1,50
CaO
0,12 – 1,96
MgO
0,00 – 0,54
Fe2O3
0,20 – 2,84
P2O5
0,10 – 1,13
SO3
0,00 – 0,42
Cl
Dari tabel di atas terlihat bahwa kadar abu sekam padi yang paling
melimpah adalah SiO2, yaitu sebesar 86,90 – 97,30% berat (Coniwanti,
2008).
Secara kimia, kandungan silika abu sekam padi (campuran amorf dan
kristal) lebih dari 90%, selebihnya merupakan oksida dari beberapa logam.
Kandungan silika yang tinggi menjadikan abu sekam padi sebagai sumber
silika potensial yang sanat baik untuk produksi bahan berbasis silika, yang
biasanya menggunakan pasir kuarsa. Penggunaan abu sekam padi lebih
menguntungkan daripada pasir kuarsa karena mineral kuarsa di dalam pasir
bersifat kristal dan sangat stabil sehingga memerlukan pencairan pada suhu
yang relative tinggi. Abu dari sekam padi yang kandungan silika kurang
lebih sama dengan dalam pasir kuarsa, memiliki struktur amorf sehingga
suhu lelhnya tidak terlalu tinggi dan waktu pemakaiannya tidak lama
(Sulastri 2013).
2.3 Sifat Fisik Tanah
2.3.1 Kadar Air (w)
Lahan gambut mempunyai kemampuan menyerap dan menyimpan air
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral. Komposisi bahan
organik yang dominan menyebabkan tanah gambut mampu menyerap air
dalam jumlah yang relatif tinggi. Kadar air tanah pada kedalaman 100-150
cm memiliki kadar yang lebih besar dibandingkan dengan kadar air tanah
yang memiliki kedalaman 50-100 cm. Sedangkan pada kadar air tanah
terendah adalah pada letak kedalaman 0-50 cm. Jadi kedalaman solum atau
lapisan tanah menentukan volume simpan air tanah dimana semakin dalam
lapisan tanah maka kadar air tanah akan semakin tinggi. Hal ini disebabkan
karena semakin dalam lapisan tanah maka kematangan gambut semakin
rendah, sehingga tanah mampu memegang air lebih banyak. Kemampuan
tanah gambut untuk menyerap dan mengikat air pada gambut fibrik lebih
besar dari gambut hemik dan saprik, sedangkan gambut hemik lebih besar
dari gambut saprik. Ketersediaan air tanah bukan hanya berdasarkan pada
tingkat kematangannya saja, tetapi hal tersebut juga dapat dipengaruhi oleh
curah hujan atau air irigasi, kemampuan tanah menahan air,
evapotranspirasi, dan tinggi muka air tanah. (Susandi, 2015).
Kadar air (w) adalah perbandingan antara berat air yang dikandung
tanah dengan berat kering tanah yang dinyatakan dalam bentuk persen.
Kadar air dapat divari dengan menggunakan rumus :
𝑊2 − 𝑊3
𝑊= 𝑥100%
𝑊3 − 𝑊1
Dengan : w = Kadar air yang dinyatakan dalam persen
W1 = Berat cawan kosong
W2 = Berat cawan + berat tanah basah
W3 = Berat cawan + berat tanah kering
2.3.2 Berat Jenis Tanah (Gs)
Harga berat spesifik dari butiran tanah (bagian padat) sering dibutuhkan
dalam bermacam-macam keperluan perhitungan dalam mekanika tanah.
Berat jenis butiran adalah perbandingan antara berat butrian tanah dengan
berat air suling pada volume yang sama dan suhu tertentu. Berat jenis
butiran dapat dicari dengan menggnakan rumus berikut :
𝑐−𝑎
𝐺𝑠 =
𝐻𝑝 − (𝑑 − 𝑐)𝑡2
Dengan : Gs = Berat spesifik butiran
a = berat piknometer
c = berat piknometer + sampel
d = berat piknometer + aquades + sampel
HAP = harga air piknometer
t2 = temperature setelah 24 jam
2.3.3 Analisa Saringan
Variasi ukuran partikel pada tanah dinyatakan dalam bentuk presentase
dari berat kering total. Ukuran butiran pada tanah menentukan sifat-sifat
tanah tersebut. Besar kecilnya butiran-butiran yang terkandung dalam tanah
yang menjadi dasar pemberian nama dan klasifikasi pada tanah. Oleh karena
itu uji analisa butiran adalah pengujian yang paling sering dilakukan.
Analisa ukuran butiran tanah adalah penentuan presentase berat butiran
dengan ukuran tertentu.
2.3.4 Batas Atterberg
Plastisitas tanah adalah kemampuan tanah dalam penyesuaian
perubahan bentuk pada volume yang konstan tanpa adanya retakan pada
tanah. Plastisitas dapat terjadi karena pada kandungan partikel-partikelnya
terdapat mineral lempung.
Atterbeg (1911), membagi tingkat plastisitas tanah menjadi 4 tingkatan
antara lain :
1. Tingkat plastisitas tanah 0 mempunyai sifat non plastis dan mempunyai
jenis tanah pasir.
2. Tingkat plastisitas tanah < 7 mempnyai sifat plastisitas rendah dan
mempunyai jenis tanah lanau.
3. Tingkat plastisitas tanah 7 – 17 mempunyai sifat plastisitas sedang dan
mempunyai jenis tanah lempung belanau.
4. Tingkat plastisitas > 17 mempunyai sifat plastisitas tinggi dan
mempunyai jenis tanah lempung.
2.3.5 CBR (California Bearing Ratio)
Definisi CBR adalah suatu perbandingan antara beban percobaan
dengan beban standar dan dinyatakan dalam presentase. Dengan rumus
presentase CBR = test load / standart load x 100%. Tujuan dari percobaan
ini adalah untuk menilai kekuatan dasar tanah yang dipadatkan di
laboratorium yang akan digunakan dalam perencanaan tebal suatu
perkerasan. Utnuk menentukan tebal perkerasan secara umum biasanya
kekuatan dasar tanag dinyatakan dalam nilai CBR dimana nilai tersebut
adalah hasil perbandingan kekuatan dasar tanah yang dipakai untuk
pembuatan perkerasan terhadap nilai CBR didapat dari percobaan, baik
untuk contoh asli maupun contoh yang dipadatkan. Percobaan pada CBR
juga dapat dilakukan secara langsug di lapangan. Desain CBR didapat dari
percobaan pada laboratorium dengan memperhitungan dua factor, yaitu :
1. Kadari air tanah serta berat isi kering pada waktu dipadatkan
2. Percobaan pada kadar air yang mungkin terjadi setelah perkerasan
selesai dibuat.
2.4 Penelitian Terdahulu
Salah satu data pendukung yang dijadikan sebagai acuan dan bagian tersendiri
dalam menyusun penelitian ini adalah penelitian terdahulu yang sesuai dengan
permasalahan yang sedang dibahas dalam penelitian ini. Oleh karena itu, pada
penelitian ini dilakukan pengkajian terhadap beberapa hasil penelitian berupa jurnal
ilmiah dan tesis dari internet.
Penelitian mengenai perbaikan tanah rawa/gambut sudah banyak dilakukan
dengan berbagai macam metode yang sudah ada dengan berbagai macam variasi
campuran maupun berbagai macam metode baru. Untuk lebih memudahkan melihat
penelitian terdahulu, dapat dilihat pada tabel berikut.
Mulai
Persiapan Bahan :
1. Tanah Gambut
2. Abu sekam padi
Pembuatan Benda Uji CBR Pembuatan Benda Uji Standart Proctor Test
1. Tanah + 5% Abu Sekam
2. Tanah + 10% Abu Sekam
3. Tanah + 15% Abu Sekam
Membuat Kesimpulan
Selesai