Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Sinustis Maksilaris
1. Definisi
Sinusitis adalah peradangan pada satu atau lebih mukosa sinus
paranasal. Penyakit sinusitis selalu dimulai dengan penyumbatan daerah
kompleks ostiomeatal (KOM) oleh infeksi, obstruksi mekanis atau alergi,
dan oleh karena penyebaran infeksi gigi. Sinusitis maksilaris adalah suatu
peradangan pada sinus maksilaris yang terjadi karena alergi atau infeksi

virus, bakteri maupun jamur. Sinus maksilaris, yang secara anatomi berada di
pertengahan antara hidung dan rongga mulut merupakan lokasi yang rentan
terinvasi organisme patogen lewat ostium sinus maupun lewat rongga mulut.
Sinusitis dentogen dapat mencapai 10% hingga 12% dari seluruh kasus sinusitis
maksilaris. (Damayanti, 2008).
Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir
sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan

akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. (Saeagih, 2007)


Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial
os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan
infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung,
dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prossesus
alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding
medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan adalah:
a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring
(C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke
dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan
sinusitis.
b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drenase
hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drenase juga harus melalui
infundibulum yang sempit.

1
d. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan
akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalang drenase sinus
maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis (Damayanti dkk, 2007)
e. Sinus maksila disebut juga antrum High more, merupakan sinus yang sering
terinfeksi, oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak
ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase dari
sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila
adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat
menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus
medius , disekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat
(Damayanti, dkk 2007)
Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis. Sinusitis
maksilaris akut berlangsung tidak lebih dari tiga minggu. Sinusitis akut dapat
sembuh sempurna jika diterapi dengan baik, tanpa adanya residu kerusakan
jaringan mukosa. Sinusitis berulang terjadi lebih sering tapi tidak terjadi
kerusakan signifikan pada membran mukosa. Sinusitis kronis berlangsung
selama 3 bulan atau lebih dengan gejala yang terjadi selama lebih dari dua puluh
hari (Saragih, 2007)

2. Etiologi dan Faktor Predisposisi


Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita
hamil, polip hidung, kelaianan anatomi seperti deviasi septum atau
hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio meatal (KOM), infeksi tonsil,
infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma
Kartagener, dan di luar negri adalah penyakit fibrosis kistik (Soepardi,
2007)
1. Infeksi virus
Sinusitis virus biasanya terjadi selama infeksi saluran napas atas;
virus yang lazim menyerang hidung dan nasofaring juga menyerang
sinus karena mukosa sinus paranasalis berjalan kontinu dengan mukosa
hidung. (Soepardi, 2007)

2
2. Bakteri
Edema dan hilangnya fungsi silia normal pada infeksi virus
menciptakan suatu lingkungan yang ideal untuk perkembangan infeksi
bakteri. Infeksi ini sering kali melibatkan lebih dari satu bakteri.
Organisme penyebab sinusitis akut mungkin sama dengan penyebab
otitis media. Yang sering ditemukan dalam frekuensi yang makin
menurun adalah Streptococcus pneumonia (30-50%), Haemophilus
influenza (20-40%), Moraxella catarrhalis (4%), bakteri anerob,
Branhamella catarrhalis, streptokok alfa, Staphyolococcus aureus, dan
Streptococcus pyogenes. Selama suatu fase akut, sinusitis kronik dapat
disebabkan oleh bakteri yang sama seperti yang menyebabkan sinusitis
akut.
Namun, karena sinusitis kronik biasanya berkaitan dengan drainage
yang tidak adekuat ataupun fungsi mukosiliar yang terganggu, maka
agen infeksi yang terlibat cenderung opurtunistik, dimana proporsi
terbesar merupakan bakteri anaerob. Bakteri aerob yang sering
ditemukan dalam frekuensi yang makin menurun antara lain
Staphyolococcus aureus, Streptococcus viridians, Haemophilus
influenza, Neisseria flavus, Staphyolococcus epidermidis, Streptococcus
pneumonia, dan Eischerichia coli. Bakteri anaerob termasuk
Peptostreptococcus, Corynebacterium, Bacteroides, dan Veillonella.
Infeksi campuran antar organisme aerob dan anaerob seringkali terjadi.
(Damayanti, 2007)
3. Infeksi Jamur
Kadang infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut.
Aspergillus merupakan jamur yang bisa menyebabkan sinusitis pada
penderita gangguan sistem kekebalan. Pada orang-orang tertentu,
sinusitis jamur merupakan sejenis reaksi alergi terhadap jamur
(Damayanti, 2007)
4. Infeksi gigi
Infeksi gig yang kronis dapat menimbulkan jaringan granulasi di dalam
mukosa sinus maksilaris, hal ini akan menghambat gerakan silia ke arah
ostium dan berarti menghalangi drainase sinus. Gangguan drainase ini akan

3
mengakibatkan sinus mudah mengalami infeksi. Kejadian sinusitis maksila
akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi bakteri (anaerob)
menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan lunak gigi dan
sekitarnya rusak (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009). Pulpa terbuka maka
kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga
membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput
periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama
sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan
mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar
membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi. Kuman dapat
menyebar secara langsung, hematogen atau limfogen dari granuloma apikal
atau kantong periodontal gigi ke sinus maksila (Damayanti, 2007)

3. Gejala klinis
Gejala khas dari kelainan pada sinus adalah sakit kepala yang
dirasakan ketika penderita bangun pada pagi hari (Ballenger, 1998)
1. Gejala Subyektif
Nyeri Nyeri ini sering disebut sakit kepala oleh pasien.
Secara anatomi, apeks gigi-gigi depan atas (kecuali gigi insisivus)
dipisahkan dari lumen sinus hanya oleh lapisan tipis tulang atau
mungkin tanpa tulang hanya oleh mukosa. Karenanya, sinusitis
maksila sering menimbulkan nyeri hebat pada gigi-gigi ini (Boies,
1994)
Sakit Kepala Sakit kepala merupakan salah satu tanda yang
paling umum dan paling penting pada sinusitis. Wolff menyatakan
bahwa nyeri kepala yang timbul di hidung merupakan akibat adanya
kongesti dan udem di osteum sinus dan sekitarnya. Jika sakit kepala
akibat kelelahan pada mata, maka biasanya bilateral dan makin berat
pada sore hari, sedangkan pada sinusitis sakit kepala lebih sering
unilateral atau lebih terasa pada satu sisi, atau dimulai sebagai nyeri
kepala unilateral dan meluas ke sisi lainnya. Sakit kepala yang
bersumber di sinus akan meningkat jika membungkukan badan ke
depan dan jika badan tiba-tiba digerakan. Sakit kepala ini akan

4
menetap saat menutup mata, saat istirahat, atau saat berada di kamar
yang gelap, sedangkan jika disebabkan oleh kelelahan mata, nyeri
akan menghilang pada keadaan-keadaan tersebut. (Ballenger, 1998)
Gangguan Penghidung Indera penghidung dapat disesatkan
(parosmia), pasien mencium bau yang tidak tercium oleh hidung
normal. Keluhan yang lebih sering adalah hilangnya penghidu
(anosmia). Hal ini terjadi akibat sumbatan pada fisura olfaktorius di
daerah konka media. Oleh karena itu ventilasi pada meatus superior
hidung menghilang, sehingga menyebabkan hilangnya indera
penghidung (Ballenger, 1998)
2. Gejala Obyektif
Pembengkakan dan Udem Terjadi pembengkakan dan
udem kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari
mendapati sensasi seperti ada penebalan ringan atau seperti meraba
beludru (Boies, 1994)
Sekret Nasal Pus dalam rongga hidung dapat berarti
empiema dalam sinus. Mukosa hidung jarang merupakan pusat
fokus peradangan supuratif, sinus-sinuslah yang merupakan pusat
fokus perdangan semacam ini. Adanya pus dalam rongga hidung
seharusnya sudah menimbulkan kecurigaan adanya suatu perdangan
dalam sinus.
Transiluminasi Jika sinus normal, tiga hal harus
diperhatikan 1) refleks pupil merah, 2) bayangan sinar bulan sabit
yang sesuai dengan posisi kelopak mata bawah, dan 3) sensasi sinar
dalam mata. Jika refleks pupil merah dan bayangan sinar bulan sabit
tidak ada, antrum mungkin terkena. Perhatikan kedua sisi sekaligus
dan tentukan sisi yang mana bila salah satu terkena.
Sinusitis akut dan kronis memiliki gejala yang sama, yaitu nyeri
tekan dan pembengkakan pada sinus yang terkena, tetapi ada gejala
tertentu yang timbul berdasarkan sinus yang terkena:
 Sinusitis maksilaris menyebabkan nyeri pipi tepat di bawah mata,
sakit gigi dan sakit kepala.

5
 Sinusitis frontalis menyebabkan sakit kepala di dahi.
 Sinusitis etmoidalis menyebabkan nyeri di belakang dan diantara
mata serta sakit kepala di dahi. Peradangan sinus etmoidalis juga
bisa menyebabkan nyeri bila pinggiran hidung di tekan,
berkurangnya indera penciuman dan hidung tersumbat.
 Sinusitis sfenoidalis menyebabkan nyeri yang lokasinya tidak dapat
dipastikan dan bisa dirasakan di puncak kepala bagian depan ataupun
belakang, atau kadang menyebabkan sakit telinga dan sakit leher.

4. Diagnosis
Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan
posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis
yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius
(pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus
superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sphenoid) (Soepardi, 2007)
Inspeksi Yang diperhatikan ialah adanya pembengkakan pada
muka. Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarana
kemerah-merahan mungkin menunjukkan sinusitis maksila akut,
Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukan sinusitis frontal
akut. Sinusitis etmoid akut jarang menyebabkan pembengkakan di luar,
kecuali bila telah terbentuk abses. Pada rinositis akut, mukosa edema dan
hiperemis. Pada anak sering ada pembengakakan dan kemerahan di
daerah kantus medius (Soepardi, 2007)
Palpasi Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukan
adanya sinusitis maksila. Pada sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di
dasar sinus frontal, yaitu pada bagian medial atap orbita. Sinusitis etmoid
menyebabkan rasa nyeri tekan di daerah kantus medius (Soepardi, 2007)
Transiluminasi Transiluminasi mempunyai manfaat yang terbatas,
hanya dapat dipakai untuk memeriksa sinus maksila dan sinus frontal, bila
pemeriksaan radiologik tidak tersedia. Bila ada pemeriksaan
transiluminasi tampak gelap di daerah infraorbita, mungkin berarti antrum

6
terisi oleh pus atau mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma di
dalam antrum. Bila terdapat kista yang besar di dalam sinus maksila, akan
tampak terang pada pemeriksaan transiluminasi, sedangkan pada foto
Rontgen tampak adanya perselubungan berbatas tegas di dalam sinus
maksila. Transiluminasi pada sinus frontal hasilnya lebih meragukan.
Besar dan bentuk kedua sinus ini seringkali tidak sama. Gambaran yang
terang berarti sinus berkembang dengan baik dan normal, sedangkan
gambaran yang gelap mungkin berarti sinusitis atau hanya menunjukan
sinus yang tidak berkembang (Soepardi, 2007)
Pemeriksaan Radiologik Bila dicurigai adanya kelainan di sinus
paranasal, maka dilakukan pemeriksaan radiologik. Posisi rutin yang
dipakai ialah posisi Waters, PA dan lateral. Posisi Waters terutama untuk
melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal, dan etmoid. Posisi PA
untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal,
sphenoid, dan etmoid. Metode mutakhir yang lebih akurat untuk melihat
kelainan sinus paranasal adalah pemeriksaan CT Scan. Potongan CT Scan
yang rutin dipakai adalah koronal dan aksial. Indikasi utama CT Scan
hidung dan sinus paranasal adalah sinusitis kronik, trauma (fraktur
frontobasal), dan tumor. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas
udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa. CT Scan sinus
merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai
anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara
keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan
sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan
pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan
operasi sinus (Soepardi, 2007)
Sinuskopi Pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan
endoskop. Endoskop dimasukan melalui lubang yang dibuat di meatus
inferior atau di fosa kanina. Dengan sinuskopi dapat dilihat keadaan di
dalam sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau
kista, bagaimana keadaan mukosa dan apakah ostiumnya terbuka.
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus

7
maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi
sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus
untuk terapi (Soepardi, 2007)
Pemeriksaan Mikrobiologik Pemeriksaan mikrobiolgik dan tes
resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus
medius/superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik
lagi diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila (Soepardi, 2007)

B. Diabetes Miletus
1. Pengertian
...........................................Diabetes mellitus adalah penyakit yang disebabkan oleh pe
kadar hormon insulin yang diproduksi oleh kelenjar pankreas yang
mengakibatkan meningkatnya kadar glukosa dalam darah. Penurunan ini
mengakibatkan glukosa yang dikonsumsi oleh tubuh tidak dapat diproses
secara sempurna sehingga konsentrasi glukosa dalam darah akan
meningkat. Diabetes Mellitus terbagi menjadi beberapa tipe, yaitu DM tipe
1, DM tipe 2, DM Sekunder dan DM gestasional. Diabetes adalah penyakit
kronis, metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah
(atau gula darah), yang mengarah dari waktu ke waktu untuk kerusakan
serius pada jantung, pembuluh darah, mata, ginjal, dan saraf (World Health
Organization, 2016). Diabetes merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. DM merupakan penyakit
menahun yang akan disandang seumur hidup (Persatuan Endokrinologi
Indonesia, 2015). Diabetes membutuhkan terapi pengobatan yang lama
untuk mengurangi risiko kejadian komplikasi (American Diabetes
Association, 2011).
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes
melitus tipe 2 merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit
gangguan metabolik yang di tandai oleh kenaikan gula darah akibat

8
penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau ganguan fungsi
insulin (resistensi insulin). Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan
insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan
untuk menghambat produksi glukosa oleh hati sehingga glukosa tidak
dapat masuk ke dalam sel dan akhirnya tertimbun dalam peredaran darah.
Sel β tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya
terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari
berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada
rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti
sel β pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa. (ADA, 2015)
Pada Diabetes Melitus tipe II, pankreas masih dapat membuat
insulin, tetapi kualitas insulin yang dihasilkan buruk dan tidak dapat
berfungsi dengan baik sebagai kunci untuk memasukkan glukosa ke dalam
sel. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi
hiperglikemia. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh,
terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (Gustaviani,
2006). Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka
diabetes mellitus tipe II dianggap sebagai non insulin dependent diabetes
mellitus.
Diabetes tipe 2 biasanya terjadi pada usia dewasa (WHO, 2014).
Biasanya terjadi pada usia 45 tahun, tetapi bisa pula timbul pada usia di
atas 20 tahun. Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-
laki.Wanita lebih berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita
memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar.
Seringkali diabetes tipe 2 didiagnosis beberapa tahun setelah onset, yaitu
setelah komplikasi muncul sehingga tinggi insidensinya sekitar 90% dari
penderita DM di seluruh dunia dan sebagian besar merupakan akibat dari
memburuknya faktor risiko seperti kelebihan berat badan dan kurangnya
aktivitas fisik (WHO, 2014).

9
2. Etiologi
.............................................DM dicirikan dengan peningkatan sirkulasi konsentrasi g
akibat metabolisme karbohidrat, protein dan lemak yang abnormal. Semua
keadaan diabetes merupakan akibat suplai insulin atau respon jaringan
terhadap insulin yang tidak adekuat. Ada bukti yang menunjukkan bahwa
etiologi DM bermacammacam. Meskipun berbagai lesi dan jenis yang
berbeda akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi
determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas
penderita DM (Inzucchi et al, 2005).
Peningkatan jumlah penderita DM yang sebagian besar DM tipe 2,
berkaitan dengan beberapa faktor yaitu faktor risiko yang tidak dapat
diubah, faktor risiko yang dapat diubah dan faktor lain. Menurut American
DiabetesAssociation (ADA) bahwa DM berkaitan dengan faktor risiko
yang tidak dapat diubah meliputi:
1) Riwayat keluarga dengan DM (first degree relative)
Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen
diabetes. Diduga bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya
orang yang bersifat homozigot dengan gen resesif tersebut yang
menderita Diabetes Mellitus.
2) Umur ≥45 tahun
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus
adalah > 45 tahun.
3) Etnik,
4) Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >4000 gram
atau riwayat pernah menderita DM gestasional
5) Riwayat lahir dengan berat badan rendah (<2,5 kg).
(ADA, 2015)
Sedangkan faktor risiko yang dapat diubah pada penyakit Diabetes
Melitus (DM) Tipe 2 meliputi:
1) Obesitas berdasarkan IMT ≥25kg/m2 atau lingkar perut ≥80 cm pada
wanita dan ≥90 cm pada laki-laki.Terdapat korelasi bermakna antara
obesitas dengan kadar glukosa darah, pada derajat kegemukan dengan

10
IMT > 23 dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah
menjadi 200mg%.
2) Kurangnya aktivitas fisik
3) Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah pada hipertensi
berhubungan erat dengan tidak tepatnya penyimpanan garam dan air,
atau meningkatnya tekanan dari dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh
darah perifer.
4) Dislipidemi adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar
lemak darah (Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara
kenaikan plasma insulin dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering
didapat pada pasien Diabetes.
5) Diet tidak sehat.
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes adalah penderita
polycystic ovarysindrome (PCOS), penderita sindrom metabolik memiliki
riwatyat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT) sebelumnya, memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler
seperti stroke, PJK, atau peripheral rrterial Diseases (PAD), konsumsi
alkohol,faktor stres, kebiasaan merokok, jenis kelamin,konsumsi kopi dan
kafein. Alkohol akan menganggu metabolisme gula darah terutama pada
penderita DM, sehingga akan mempersulit regulasi gula darah dan
meningkatkan tekanan darah. Seseorang akan meningkat tekanan darah
apabila mengkonsumsi etil alkohol lebih dari 60ml/hari yang setara dengan
100 ml proof wiski, 240 ml wine atau 720 ml (Harfika, 2014)
3. Tanda dan Gejala
Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala
akut diabetes melitus yaitu poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak
minum), Poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu
makan bertambah namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam
waktu 2-4 minggu), dan mudah lelah. Sedangkan gejala kronik diabetes
melitus yaitu kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk
jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk, pandangan
mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual

11
menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil sering
terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi
berat lahir lebih dari 4kg
Gejala klasik DM seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan
penurunan berat badan tidak selalu tampak pada lansia penderita DM
karena seiring dengan meningkatnya usia terjadi kenaikan ambang batas
ginjal untuk glukosa sehingga glukosa baru dikeluarkan melalui urin bila
glukosa darah sudah cukup tinggi. Selain itu, karena mekanisme haus
terganggu seiring dengan penuaan, maka polidipsi pun tidak terjadi,
sehingga lansia penderita DM mudah mengalami dehidrasi hiperosmolar
akibat hiperglikemia berat. DM pada lansia umumnya bersifat
asimptomatik, kalaupun ada gejala, seringkali berupa gejala tidak khas
seperti kelemahan, letargi, perubahan tingkah laku, menurunnya status
kognitif atau kemampuan fungsional (antara lain delirium, demensia,
depresi, agitasi, mudah jatuh, dan inkontinensia urin). Inilah yang
menyebabkan diagnosis DM pada lansia seringkali agak terlambat.5,6
Bahkan, DM pada lansia seringkali baru terdiagnosis setelah timbul
penyakit lain. (Harfika, 2014)
4. Penatalaksanaan Diabetes Miletus
................................................Tatalaksana DM tipe-2 memerlukan terapi agresif untuk m
kendali glikemik dan kendali faktor risiko kardiovaskular. Hal ini
dilakukan karena banyaknya komplikasi kronik yang terjadi. Dalam
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011,
penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar
penatalaksanaan DM, yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan
intervensi farmakologis (Adi, 2015)
1) Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat
yang memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien.
Upaya edukasi dilakukan secara komphrehensif dan berupaya
meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki perilaku sehat.Tujuan
dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang

12
diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan
pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/ komplikasi yang
mungkin timbul secara dini/ saat masih reversible, ketaatan perilaku
pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan
perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan. Edukasi pada
penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan
kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan
aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak.
(PERKENI, 2011)
2) Terapi Gizi Medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan
yang seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing
individu, dengan memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis dan
jumlah makanan. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari
karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%, Natrium
kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari. (PERKENI, 2011)
3) Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing
selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat
aerobik seperti berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang.
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin.
4) Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan
pengetahuan pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi
farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan insulin (Ndraha,
2014):
Pengobatan DM ditujukan untuk memperbaiki gangguan
patogenesis dan meningkatkan kualitas hidup pasien, bukan hanya
untuk menurunkan kadar gula dalam darah saja. Pengobatan harus
dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau memperlambat

13
progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada penyandang
gangguan toleransi glukosa (Persatuan Endokrinologi Indonesia, 2015)
5. Pemeriksaan Penunjang
...........................................Pemeriksaan Penunjang Untuk penegakan diagnosis DM tip
dengan pemeriksaan glukosa darah dan pemeriksaan glukosa peroral
(TTGO). Sedangkan untuk membedakan DM tipe II dan DM tipe I dengan
pemeriksaan C-peptide. (PB PAPDI, 2009)
1. Pemeriksaan glukosa darah
a) Glukosa Plasma Vena Sewaktu
Pemeriksaan gula darah vena sewaktu pada pasien DM tipe
II dilakukan pada pasien DM tipe II dengan gejala klasik seprti
poliuria, polidipsia dan polifagia. Gula darah sewaktu diartikan
kapanpun tanpa memandang terakhir kali makan. Dengan
pemeriksaan gula darah sewaktu sudah dapat menegakan diagnosis
DM tipe II. Apabila kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl
maka penderita tersebut sudah dapat disebut DM. Pada penderita
ini tidak perlu dilakukan pemeriksaan tes toleransi glukosa (PB
PAPDI, 2009)
b) Glukosa Plasma Vena Puasa
Pada pemeriksaan glukosa plasma vena puasa, penderita
dipuasakan 8-12 jam sebelum tes dengan menghentikan semua obat
yang digunakan, bila ada obat yang harus diberikan perlu ditulis
dalam formulir. Intepretasi pemeriksan gula darah puasa sebagai
berikut : kadar glukosa plasma puasa < 110 mg/dl dinyatakan
normal, ≥126 mg/dl adalah diabetes melitus, sedangkan antara 110-
126 mg/dl disebut glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
Pemeriksaan gula darah puasa lebih efektif dibandingkan dengan
pemeriksaan tes toleransi glukosa oral.
c) Glukosa 2 jam Post Prandial (GD2PP)
Tes dilakukan bila ada kecurigaan DM. Pasien makan makanan
yang mengandung 100gr karbohidrat sebelum puasa dan
menghentikan merokok serta berolahraga. Glukosa 2 jam Post

14
Prandial menunjukkan DM bila kadar glukosa darah ≥ 200 mg/dl,
sedangkan nilai normalnya ≤ 140. Toleransi Glukosa Terganggu
(TGT) apabila kadar glukosa > 140 mg/dl tetapi < 200 mg/dl.
d) Glukosa jam ke-2 pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
Pemeriksan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dilakukan
apabila pada pemeriksaan glukosa sewaktu kadar gula darah
berkisar 140-200 mg/dl untuk memastikan diabetes atau tidak.
Sesuai kesepakatan WHO tahun 2006,tatacara tes TTGO dengan
cara melarutkan 75gram glukosa pada dewasa, dan 1,25 mg pada
anak-anak kemudian dilarutkan dalam air 250-300 ml dan
dihabiskan dalam waktu 5 menit. TTGO dilakukan minimal pasien
telah berpuasa selama minimal 8 jam. Penilaian adalah sebagai
berikut: 1) Toleransi glukosa normal apabila ≤ 140 mg/dl; 2)
Toleransi glukosa terganggu (TGT) apabila kadar glukosa > 140
mg/dl tetapi < 200 mg/dl; dan 3) Toleransi glukosa ≥ 200 mg/dl
disebut diabetes melitus. (PB PAPDI, 2009)
2. Pemeriksaan HbA1c
HbA1c merupakan reaksi antara glukosa dengan hemoglobin, yang
tersimpan dan bertahan dalam sel darah merah selama 120 hari sesuai
dengan umur eritrosit. Kadar HbA1c bergantung dengan kadar
glukosa dalam darah, sehingga HbA1c menggambarkan rata-rata
kadar gula darah selama 3 bulan. Sedangkan pemeriksaan gula darah
hanya mencerminkan saat diperiksa, dan tidak menggambarkan
pengendalian jangka panjang. Pemeriksaan gula darah diperlukan
untuk pengelolaaan diabetes terutama untuk mengatasi komplikasi
akibat perubahan kadar glukosa yang berubah mendadak (PB PAPDI,
2009)

Tabel Kategori HbA1c yaitu :

HbA1c < 6.5 % Kontrol glikemik baik


HbA1c 6.5 -8 % Kontrol glikemik sedang
HbA1c > 8 % Kontrol glikemik buruk

15
6. Indeks Glikemik
.................................................Indeks glikemik pangan merupakan indeks (tingkatan) p
menurut efeknya dalam meningkatkan kadar gula darah. Pangan yang
mempunyai IG tinggi bila dikonsumsi akan meningkatkan kadar gula
dalam darah dengan cepat dan tinggi. Sebaliknya, seseorang yang
mengonsumsi pangan ber-IG rendah maka peningkatan kadar gula dalam
darah berlangsung lambat dan puncak kadar gulanya rendah (Widowati,
2008).
Konsep Indeks Glikemik (IG) pertama-tama dikembangkan tahun
1981 oleh Dr. David Jenkins, seorang Professor Gizi pada Universitas
Toronto, Kanada, untuk membantu menentukan pangan yang paling baik
bagi penderita diabetes. Pada masa itu, diet bagi penderita diabetes
didasarkan pada sistem porsi karbohidrat. Konsep ini menganggap bahwa
semua pangan berkarbohidrat menghasilkan pengaruh yang sama pada
kadar gula darah. Jenkins adalah salah seorang peneliti pertama yang
mempertanyakan hal ini dan menyelidiki bagaimana sebenarnya pangan
bekerja di dalam tubuh (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Kecepatan pencernaan karbohidrat berpengaruh penting dalam
pemahaman peran karbohidrat bagi kesehatan. Konsep IG menjelaskan
bahwa tidak setiap karbohidrat bekerja dengan cara yang sama. IG
memberikan cara yang lebih mudah dan efektif dalam mengendalikan
fluktuasi kadar gula darah (Widowati, 2008).
Konsep indeks glikemik dikembangkan untuk memberikan
klasifikasi numerik pangan sumber karbohidrat. Makanan yang memiliki
indeks glikemik rendah dapat meningkatkan rasa kenyang dan menunda
lapar, sedangkan makanan yang memiliki indeks glikemik tinggi mampu
meningkatkan kadar glukosa darah dengan cepat (Aston, 2006 dalam
Rimbawan dan Nurbayani, 2013).
Konsep indeks glikemik disusun untuk semua orang yaitu orang
yang sehat, penderita obesitas, penderita diabetes dan atlet. Indeks
glikemik membantu penderita diabetes dalam menentukan jenis pangan
karbohidrat yang dapat mengendalikan kadar glukosa darah. Diketahuinya

16
indeks glikemik pangan akan membantu penderita diabetes memilih
makanan yang tidak menaikkan kadar glukosa darah secara drastis
sehingga kadar glukosa darah dapat dikontrol pada tingkat yang aman.
Indeks glikemik juga membantu atlet dalam memilih makanan untuk
menunjang penampilan dan daya tahan tubuhnya. Makanan dengan indeks
glikemik rendah akan dicerna dengan lambat dan akan menyimpan
glikogen otot secara perlahan sehingga glukosa ekstra akan tersedia
sampai akhir pertandingan. Dengan cara ini, pangan ber-IG rendah akan
meningkatkan daya tahan olahragawan (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Berdasarkan respon IG-nya, pangan dikelompokkan menjadi tiga
kelompok, yaitu pangan ber IG rendah dengan rentang nilai IG 70
(Rimbawan dan Siagian, 2004).
7. Faktor-faktor yang Memengaruhi Indeks Glikemik Pangan
Beberapa faktor yang dapat memengaruhi nilai indeks glikemik
pangan adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran
partikel), perbandingan amilosa dengan amilopektin, tingkat keasaman dan
daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar anti-gizi
pangan (Rimbawan dan Siagian, 2004).
a. Proses Pengolahan
...............................................Jenis pangan yang sama belum tentu memiliki nilai ind
glikemik yang sama pula jika proses pengolahannya berbeda.
Rimbawan dan Siagian (2004) dalam Rimbawan dan Nurbayani (2013)
menyebutkan bahwa proses pengolahan dapat menyebabkan nilai
indeks glikemik pangan meningkat karena melalui proses pengolahan,
struktur pangan menjadi lebih mudah dicerna dan diserap sehingga
dapat mengakibatkan kadar glukosa darah meningkat dengan cepat.
Hasil penelitian oleh Amalia, et al. (2011) yang menganalisis nilai
indeks glikemik beberapa jenis pengolahan jagung manis, yaitu rebus,
tumis dan bakar menunjukkan bahwa jagung manis yang ditumis
memiliki nilai IG yang paling rendah. Hal tersebut diduga disebabkan
karena faktor lain yang memengaruhi nilai IG, yaitu kadar lemak
pangan. Pada proses pengolahan jagung manis tumis menggunakan

17
lemak dalam hal ini margarin. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004),
pangan berkadar lemak tinggi cenderung memperlambat proses
pengosongan lambung sehingga menyebabkan laju pencernaan
makanan di usus halus juga diperlambat.
Jagung manis rebus memiliki nilai indeks glikemik yang lebih
tinggi dibandingkan dengan jagung manis tumis. Proses pengolahan
yang menggunakan air dalam waktu yang cukup lama diduga
menyebabkan peningkatkan daya cerna pati yang pada akhirnya akan
meningkatkan nilai IG (Thornburn, et al., 1986 dalam Amalia, et al.,
2011). Sedangkan tingginya nilai indeks glikemik jagung manis bakar
dibandingkan dengan dua olahan lainnya disebabkan karena proses
pengolahannya menggunakan panas yang cukup tinggi dan dalam
waktu yang lama. Proses pengolahan seperti itu diperkirakan
menyebabkan komponen karbohidrat pada jagung manis bakar lebih
mudah dicerna dan diserap oleh tubuh sehingga menyebabkan respon
glikemik yang lebih tinggi (Amalia, et al., 2011). Menurut Cameron
(1985) dalam Amalia, et al. (2011), pemasakan dengan metode panas
kering, seperti pembakaran, menyebabkan karbohidrat pecah dan
membentuk warna gelap (reaksi maillard). Hal ini mengindikasikan
pecahnya pati sehingga membentuk dekstrin, bentuk yang lebih mudah
dicerna.
Tingkat gelatinisasi pati dapat memengaruhi nilai indeks glikemik
pangan karena proses gelatinisasi pati yang terjadi saat pemasakan
dapat menyebabkan granula pati mengembang. Granula yang
mengembang dan molekul pati yang bebas sangat mudah dicerna
karena enzim pencerna pati di dalam usus halus mendapatkan
permukaan yang lebih luas untuk kontak dengan enzim. Reaksi cepat
dari enzim ini mengakibatkan meningkatnya kadar gula darah dengan
cepat (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Ukuran partikel juga memengaruhi indeks glikemik. Semakin
kecil ukuran partikel menyebabkan struktur pangan menjadi halus
sehingga pangan tersebut mudah dicerna dan diserap di dalam tubuh

18
dan mengakibatkan kadar gula darah naik dengan cepat (Rimbawan &
Siagian 2004)
b. Kadar Amilosa dan Amilopektin
Amilosa merupakan struktur pati gula sederhana yang tidak
bercabang. Oleh karena itu, struktur tersebut akan terikat kuat sehingga
sulit tergelatinisasi dan sulit dicerna tubuh. Sedangkan amilopektin
merupakan struktur pati gula sederhana yang bercabang, memiliki
struktur molekul yang terbuka, dan berukuran lebih besar, sehingga
dapat dicerna lebih baik dibanding pangan yang memiliki kandungan
amilosa lebih banyak (Maulana, 2012).
Menurut Rimbawan dan Siagian (2004) yang mengutip pendapat
para ahli (Miller, et al. 1992; dan Behall, et al. 1988), penelitian
terhadap pangan yang memiliki kadar amilosa dan amilopektin berbeda
menunjukkan bahwa kadar glukosa darah dan respon insulin lebih
rendah setelah mengkonsumsi pangan berkadar amilosa tinggi daripada
pangan berkadar amilopektin tinggi. Sebaliknya, bila kadar amilopektin
pangan lebih tinggi daripada kadar amilosa, respon gula darah lebih
tinggi.
c. Kadar Gula dan Daya Osmotik Pangan
Jenis gula yang terdapat dalam pangan mempengaruhi indeks
glikmik pangan tersebut. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004),
pengaruh gula yang secara alami terdapat dalam pangan (laktosa,
sukrosa, glukosa, dan fruktosa) dalam berbagai proporsi, terhadap
respon glukosa darah sangat sulit diprediksi. Hal ini dikarenakan
pengosongan lambung diperlambat oleh peningkatan konsentrasi gula,
apapun strukturnya. Gula meja (sukrosa) memiliki IG 65, hal ini
dikarenakan disakarida terdiri dari satu glukosa dan satu molekul
fruktosa. Fruktosa diserap dan masuk ke dalam hati. Kebanyakan
fruktosa diubah secara perlahan menjadi glukosa di dalam hati. Oleh
karena itu, respon glukosa darah terhadap fruktosa murrni sangat kecil
(IG=23). Artinya, dengan mengkonsumsi sukrosa, kita hanya
mengkonsumsi setengah glukosa (Rusilanti, 2008 dalam Izzati, 2015).

19
Daya osmotik pangan juga memiliki pengaruh terhadap nilai
indeks glikemik pangan. Rimbawan dan Siagian (2004) menyatakan
bahwa tampaknya makin tinggi keasaman dan daya osmotik (jumlah
molekul per milliliter larutan), makin rendah IG-nya. Hal ini dapat
dilihat pada beberapa buah yang memiliki IG rendah, seperti ceri
(IG=22), sedangkan buah lainnya memiliki IG relatif tinggi, seperti
semangka (IG=72).
d. Kadar Serat Pangan
..........................................Serat pangan atau dietary fiber adalah karbohidrat (polisa
dan lignin yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia
sehingga akan sampai di usus besar dalam keadaan utuh. Kandungan
serat dapat memengaruhi nilai indeks glikemik karena dapat
memperlambat respon glikemik. Pengaruh serat terhadap indeks
glikemik pangan tergantung pada jenis seratnya. Bila masih utuh, serat
dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan. Akibatnya,
nilai indeks glikemik akan cenderung lebih rendah (Araya, 2002 dalam
Rimbawan dan Nurbayani, 2013).
Menurut Sulistijani (1999) yang mengutip hasil penelitian Jenkins
(1976), penambahan serat larut air pada diet penderita diabetes melitus
ringan dapat menurunkan kadar gula darah dan menyebabkan respon
terhadap insulin semakin menurun. Serat tersebut dapat memperlambat
penyerapan glukosa dalam usus halus dan meningkatkan kekentalan isi
usus yang secara tidak langsung dapat menurunkan kecepatan difusi
permukaan mukosa usus halus. Akibatnya, kadar gula dalam darah
mengalami penurunan secara perlahan, sehingga kebutuhan akan insulin
juga berkurang.
e. Kadar Lemak dan Protein Pangan
Jumlah zat gizi seperti lemak dan protein yang terkandung dalam
pangan juga memiliki pengaruh terhadap nilai indeks glikemik pangan.
Lemak yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsi akan
meninggalkan lambung secara lambat, sehingga akan memberikan rasa
kenyang. Hal tersebut akan memperlambat laju pengosongan lambung

20
sehingga memperlambat timbulnya rasa lapar (Rimbawan dan
Nurbayani, 2013).
Jagung manis dan kacang hijau diketahui memiliki kadar lemak
masingmasing sebanyak 1 g dan 1,2 g. Menurut Wolever dan Bolognesi
(1996) dalam Rimbawan dan Nurbayani (2013), lemak dalam jumlah
besar (50 g lemak) dapat menurunkan respon glukosa darah dan respon
insulin. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa kadar lemak
yang rendah pada jagung manis dan kacang hijau diduga tidak berperan
besar dalam memperlambat laju pengosongan lambung yang
berpengaruh terhadap penurunan repon glukosa darah.
Pangan berkadar lemak tinggi mempunyai IG lebih rendah
daripada pangan sejenis yang berlemak rendah. Namun, manusia
memerlukan makanan berkadar lemak rendah, bukan berkadar lemak
tinggi. Pangan berkadar lemak tinggi, apapun jenisnya dan ber-IG
rendah atau tinggi harus dikonsumsi secara bijaksana (Rimbawan dan
Siagian, 2004).
Pusat Diabetes dan Lipid RSCM/FKUI dan Instalasi Gizi
RSUPNCM (2003) yang mengutip penelitian Jenkins, et al. menyatakan
bahwa lemak dan protein memiliki hubungan yang negatif (-) dengan
indeks glikemik, artinya masukan protein yang besar kemungkinan
dapat membuat kadar glukosa darah lebih rendah karena protein dapat
menstimulasi sekresi insulin. Namun, menurut Rimbawan dan Siagian
(2004) dalam Rimbawan dan Nurbayani (2013), tidak semua pangan
yang memiliki kadar protein tinggi, nilai indeks glikemiknya rendah.
Menurut Chen, et al. (2010) dalam Rimbawan dan Nurbayani
(2013), protein dan lemak pada makanan yang dikonsumsi umumnya
tidak memengaruhi respon indeks glikemik, sehingga pengaruh kadar
protein terhadap nilai indeks glikemik diabaikan.

f. Kadar Anti-Gizi Pangan


Secara alamiah, beberapa pangan mengandung zat yang dapat
menyebabkan keracunan bila jumlahnya besar. Zat ini disebut zat anti-

21
gizi. Beberapa zat anti-gizi akan tetap aktif walaupun sudah melalui
proses pemasakan. Zat anti-gizi pada bijibijian dapat menghambat
pencernaan karbohidrat di dalam usus halus. Akibatnya, IG pangan
menurun (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Beberapa kacang-kacangan, termasuk kacang hijau, merupakan
sumber zat anti-gizi yang terdiri dari inhibitor enzim, lektin, saponin,
phytat dan tanin. Inhibitor amilase dapat tetap hidup walau melalui
proses pemasakan dan dapat mengurangi daya cerna pati dan respon
glukosa darah. Demikian pula phytat, anti amilosa dan anti sukrosa
(Pusat Diabetes dan Lipid RSCM/FKUI dan Instalasi Gizi RSUPNCM,
2003).
8. Indeks Glikemik
1) Indeks glikemik Rendah (55 atau kurang)
..............................................Sertakan beberapa makanan ini di setiap makanan atau
coba untuk rendah lemak pilihan mana mungkin, seperti susu skim. Jika
Anda ingin menurunkan berat badan, Anda juga akan perlu mengawasi
ukuran porsi Anda. Itu berarti menempel porsi kecil pasta dan mie,
membatasi diri untuk dua potong roti dengan makan, dan hanya memiliki
beberapa kotak coklat atau segenggam kecil kacang!
Tabel 1 - Makanan dgn GI rendah
Makanan GI Apel 38 Jus jeruk 46
Dipanggang dan kacang
14 Pir 38 Kacang polong 48
asin
Rendah lemak yogurt dg Sup tomat, Panggang kacang dlm
14 38 48
pemanis kalengan saus tomat
Jus apel, tanpa
Ceri 22 40 Wortel, rebus 49
pemanis
Jeruk bali 25 Mi 40 Coklat susu 49
Beras Belanda 25 Spaghetti putih 41 Buah kiwi 52
Stoneground roti
Red lentil 26 Bran semuanya 42 53
gandum
Kacang polong
Seluruh susu 27 42 Keripik 54
chick, kaleng
Aprikot 31 Persik 42 Special K 54
Bubur yang
Mentega kacang 31 42 Pisang 55
dibuat dengan air
Fettucine pasta 32 Sup lentil 44 Baku oatbran 55
Susu skim 32 Jeruk 44 Jagung manis 55

22
Rendah lemak yoghurt
33 Makaroni 45
buah
Wholemeal spaghetti 37 Anggur hijau 46

Indeks glikemik Sedang (56-69)


Tabel 2 - Makanan dgn GI Sedang
Muesli, non panggang 56 Kentang baru 62 Melon melon 67
Kentang rebus 56 Coca cola 63 Croissant 67
Sultana 56 Aprikot 64 Gandum giling 67
Roti Pitta 57 Kismis 64 Mars bar 68
Beras Basmati 58 Biskuit shortbread 64 Ryvita 69
Madu 58 Couscous 65 Crumpet panggang 69
59 Roti gandum hitam 65 Weetabix 69
Biskuit yg mudah dicerna
Keju dan pizza tomat 60 Nanas, segar 66 Roti gandum 69

Es krim 61

Indeks glikemik Tinggi (70 atau lebih)

Tabel 3 - Makanan dgn GI tinggi

Kentang tumbuk 70 Cheerios 74 Jaket kentang 85

Roti tawar 70 Kentang goreng 75 Gandum puffed 89

Semangka 72 Coco Pops 77 Baguette 95

Swede 72 Jelly kacang 80 Parsnip direbus 97

Bagel 72 Kue beras 82 Nasi putih, dikukus 98


Branflakes 74 Rice Krispies
Cornflakes
9. Terapi Diet
.................................................Diet diabetes mellitus merupakan pengaturan pola makan
penderita diabetes mellitus berdasarkan jumlah, jenis, dan jadwal
pemberian makanan. Prinsip diet bagi penderita DM adalah mengurangi
dan mengatur konsumsi karbohidrat sehingga tidak menjadi beban bagi
mekanisme pengaturan gula darah.
Pengaturan makan (diet) merupakan komponen utama keberhasilan
pengelolaan Diabetes Mellitus, akan tetapi mempunyai kendala yang

23
sangat besar yaitu kepatuhan seseorang untuk menjalaninya. Prinsip
pengaturan makan pada penderita diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk orang sehat masyarakat umum, yaitu makanan yang beragam
bergizi dan berimbang atau lebih dikenal dengan gizi seimbang
maksudnya adalah sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-
masing individu. Hal yang sangat penting ditekankan adalah pola makan
yang disiplin dalam hal Jadwal makan, Jenis dan Jumlah makanan atau
terkenal dengan istilah 3 J. Pengaturan porsi makanan sedemikian rupa
sehingga asupan zat gizi tersebar sepanjang hari.
1) Tujuan Dan Syarat Diet
Tujuan utama yang diharapkan dari pengaturan diet ini adalah
untuk membantu pasien memperbaiki kebiasaan makan dan olahraga
untuk mendapatkan kontrol metabolik yang lebih baik. Sedangkan
tujuan khusus yang diharapkan dari pengaturan diet pada penderita
diabetes mellitus ini adalah:
a. Mempertahankan kadar Glukosa darah mendekati normal dengan
keseimbangan asupan makanan dengan insulin (endogen atau
eksogen) atau obat hipoglikemik oral dan tingkat aktifitas.
b. Mencapai kadar serum lipid yang optimal.
c. Memberikan energi yang cukup untuk mencapai atau
mempertahankan berat badan yang memadai orang dewasa,
mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang normal pada anak
dan remaja, untuk meningkatkan kebutuhan metabolik selama
kehamilan dan laktasi penyembuhan dari penyakit katabolik. Berat
badan memadai diartikan sebagai berat badan yang dianggap dapat
dicapai dan dipertahankan baik jangka pendek maupun jangka
panjang oleh orang dengan diabetes itu sendiri maupun oleh
petugas kesehatan.
d. Menghindari dan menangani komplikasi akut orang dengan
diabetes yang menggunakan insulin seperti hipoglikemia, penyakit-
penyakit jangka pendek, masalah yang berhubungan dengan

24
kelainan jasmani dan komplikasi kronik diabetes seperti : penyakit
ginjal, neuropati automik, hipertensi dan penyakit jantung.
b. Meningkatkan kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang
optimal.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka diet yang diberikan harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Jumlah energi diberikan sesuai dengan kebutuhan berdasarkan
umur, jenis kelamin, tinggi badan, aktivitas fisik, proses
pertumbuhan, dan kelainan metabolik.
b. Jumlah karbohidrat disesuaikan dengan kesanggupan tubuh untuk
menggunakannya, yaitu berkisar 60 – 70% dari total konsumsi.
Makanan/minuman yang mengandung gula dibatasi, dan digunakan
jenis karbohidrat kompleks/makanan yang berserat.
c. Protein berkisar 12 – 20%, dan digunakan protein yang bernilai
biologi tinggi (nilai cernanya tinggi).
d. Lemak berkisar antara 20 – 25%, dan lemak jenuh serta kolestrol
tidak dikonsumsi.
e. Vitamin dan mineral diberikan sesuai dengan kebutuhannya
(Almatsir, 2010).
Makanan-makanan yang dianjurkan untuk dikonsumsi oleh
penderita Diabetes Mellitus adalah:

a. Sumber Karbohidrat kompleks


Seperti beras/nasi, kentang, singkong, terigu, tapioka, gula, hunkue,
makaroni, mie, bihun, roti, dan biskuit.
b. Protein Hewani
Ayam tanpa kulit, daging tanpa lemak, ikan, dan telur maksimal
2x/minggu.
c. Sayuran
Semua sayuran dianjurkan terutama yang berserat tinggi atau
berwarna hijau seperti bayam, kangkung, daun singkong, dll.
d. Buah

25
Semua buah dianjurkan terutama yang berserat tinggi menurut
jumlah yang sudah ditentukan.
(Almatsir, 2010)
Makanan-makanan yang tidak dianjurkan untuk dikonsumsi oleh
penderita Diabetes Mellitus adalah:
a. Makanan dan minuman yang mengandung gula murni seperti gula
pasir/gula merah, susu kental manis, dodol, cake, selai, sirup, kue
tart, jelly, dll.
b. Makanan yang digoreng dan menggunakan santan kental
(mengandung lemak jenuh).
c. Makanan yang mengandung banyak garam seperti ikan asin, telur
asin, makanan yang diawetkan seperti saus, kecap, abon, sarden
kaleng, buah kalengan, dll.
2) Pengaturan Diet Pada Diabetisi Secara Umum
Pengaturan porsi makanan sedemikian rupa sehingga asupan zat
gizi tersebar sepanjang hari. Penurunan berat badan ringan atau sedang
(5-10 kg) sudah terbukti dapat meningkatkan kontrol diabetes,
walaupun berat badan idaman tidak dicapai. Penurunan berat badan
dapat diusahakan dicapai dengan baik dengan penurunan asupan energi
yang moderat dan peningkatan pengeluaran energi. Dianjurkan
pembatasan kalori sedang yaitu 250-500 kkal lebih rendah dari asupan
rata-rata sehari (Almatsir, 2010)
Komposisi makanan yang dianjurkan meliputi:
1) Karbohidrat
Rekomendasi ADA tahun 1994 lebih memfokuskan pada
jumlah total karbohidrat daripada jenisnya. Rekomendasi untuk
sukrosa lebih liberal. Buah dan susu sudah terbukti mempunyai
respon glikemik yang lebih rendah dari pada sebagian besar
tepung-tepungan. Walaupun berbagai tepung-tepungan
mempunyai respon glikemik yang berbeda, prioritas hendaknya
lebih pada jumlah total karbohidrat yang dikonsumsi daripada
sumber karbohidrat (ADA, 1994)

26
Anjuran konsumsi karbohidrat untuk diabetesi di Indonesia:
a. 45-65% total asupan energi.
b. Pembatasan karbohidrat tidak dianjurkan < 130 g/hari.
c. Makanan harus mengandung lebih banyak karbohidrat
terutama berserat tinggi.
d. Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% sehari ( 3-4 sdm).
e. Makan 3 kali sehari untuk mendistribusikan asupan
karbohidrat dalam sehari.
Penggunaan pemanis alternatif pada diabetesi, aman
digunakan asal tidak melebihi batas aman (Accepted Dialy
Intake).
a. Fruktosa < 50 gr/hr, jika berlebih menyebabkan diare
b. Sorbitol < 30 gr, jika berlebih menyebabkan kembung, diare
c. Manitol < 20 gr/hr
d. Aspartam 0 mg/ kg BB?hr
e. Sakarin 1 gr/hr
f. Acesulfame K 15 mg/kg BB/hr
g. Siklamat 11 mg/kg BB/hr
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa penggunaan sukrosa
sebagai bagian dari perencanaan makan tidak memperburuk
kontrol glukosa darah pada individu dengan diabetes tipe 1 dan 2.
Sukrosa dari makanan harus diperhitungkan sebagai pengganti
karbohidrat makanan lain dan tidak hanya dengan
menambahkannya pada perencanaan makan. Dalam melakukan
subtitusi ini kandungan zat gizi dari makanan-makanan manis
yang pekat dan kandugan zat gizi lain dari makanan yang
mengandung sukrosa harus dipertimbangkan, seperti lemak yang
sering ada bersama sukrosa dalam makanan (Almatsir, 2010)
Fruktosa menaikkan glukosa plasma lebih kecil daripada
sukrosa dan kebanyakan karbohidrat jenis tepung-tepungan.
Dalam hal ini fruktosa dapat memberikan keuntungan sebagai
bahan pemanis pada diet diabetes. Namun pengaruhnya dalam

27
jumlah besar (20% energi) potensial merugikan pada kolesterol
dan LDL. Penderita disiplemia hendaknya menghindari
mengkonsumsi fruktosa dalam jumlah besar, namun tidak ada
alasan untuk menghindari makanan seperti buah-buahan dan
sayuran yang mengandung fruktosa alami maupun konsumsi
sejumlah sedang makanan yang mengandung pemanis fruktosa
(Almatsir, 2010)
Sorbitol, manitol, dan xylitol adalah gula alkohol biasa
mengandung 7 kalori/gram menghasilkan respon glikemik lebih
rendah daripada sukrosa dan karbohidrat lain. Penggunaan
pemanis tersebut secara berlebihan dapat mempunyai pengaruh
laksatif. Sakarin, aspartame adalah pemanis tak bergizi yang
dapat diterima sebagai pemanis pada semua penderita DM
(Almatsir, 2010)
2) Serat
Rekomendasi asupan serat untuk orang dengan diabetes
sama dengan untuk orang yang tidak diabetes yaitu dianjurkan
mengkonsumsi 20-35 gr serat makanan dari berbagai sumber
bahan makanan. Di Indonesia anjurannya adalah kira-kira 25
gr/1000 kalori/ hari dengan mengutamakan serat larut air
(Almatsir, 2010)
3) Protein
Menurut konsensus pengelolaan diabetes di Indonesia tahun
2006 kebutuhan protein untuk diabetisi 15%-20% energi. Perlu
penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg berat badan perhari
atau 10% dari kebutuhan energi dengan timbulnya nefropati pada
orang dewasa dan 65% hendaknya bernilai biologic tinggi.
Sumber protein yang baik adalah ikan, seafood, daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-
kacangan dan tahu-tempe (Almatsir, 2010)
4) Total lemak

28
Anjuran asupan lemak di Indonesia adalah 20-25% energi.
Apabila peningkatan LDL merupakan masalah utama, dapat
diikuti anjuran diet disiplin diet dislipidemia. Tujuan utama
pengurangan konsumsi lemak jenuh dan kolesterol adalah untuk
menurunkan risiko penyakit kardiovaskular (Almatsir, 2010)
5) Garam
Anjuran asupan untuk orang dengan diabetes sama dengan
penduduk biasa yaitu tidak lebih dari 3000 mgr atau sama dengan
6-7 g (1 sdt) garam dapur, sedangkan bagi yang menderita
hipertensi ringan sampai sedang, dianjurkan 2400 mgr natrium
perhari atau sama dengan 6 gr/hari garam dapur. Sumber natrium
antara lain adalah garam dapur, vetsin dan soda. (Almatsir, 2010)
3) Kebutuhan kalori
Kebutuhan kalori sesuai untuk mencapai dan mempertahankan
berat badan ideal. Komposisi energy adalah 45-65% dari karbohidrat,
10-20% dari protein dan 20-25% dari lemak. Ada beberapa cara untuk
menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan orang dengan diabetes. Di
antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25-30 kalori/kg BB ideal, ditambah dan dikurangi bergantung
pada beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas,
kehamilan/laktasi, adanya komplikasi dan berat badan.
Perhitungan berat badan ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang
dimodifikasi:
 BBI = 90% x (TB dalam cm-100) x 1 kg
 Bagi pria dengan TB di bawah 160 cm
 Wanita di bawah 150 cm , rumus modifikasi menjadi: BBI = (TB
dalam cm – 100) x 1 kg
Ket :
 BB Normal : bila BB ideal ± 10%
 Kurus : < BBI - 10%
 Gemuk : > BBI + 10%
(Perkeni, 2006)

29
Faktor-faktor penentu kebutuhan energi yaitu:
a. Jenis kelamin
Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kkal/kg BB ideal dan pria
30 kkal/kg BB ideal
b. Umur
Pasien usia > 40 tahun , kebutuhan kalori :
- 40-59 tahun dikurangi 5% dari energi basal
- 60-69 tahun dikurangi 10 % dari energi basal
- > 70 tahun dikurangi 20% dari energi basal
- Pada bayi dan anak-anak kebutuhan kalori adalah jauh lebih
tinggi daripada orang dewasa, dalam tahun pertama bisa
mencapai 112 kal/kg BB.
- Umur 1 tahun membutuhkan lebih kurang 1000 kalori dan
selanjutnya pada anak-anak lebih daripada 1 tahun mendapat
tambahan 100 kalori untuk tiap tahunnya.
c. Aktifitas fisik atau pekerjaan
Kebutuhan kalori ditambah sesuai dengan intensitas
aktifitas fisik . Penambahan kalori dari aktifitas fisik:
- Keadaan istirahat : ditambah 10% dari kebutuhan basal
- Keadaan aktifitas ringan: ditambahkan 20% dari kebutuhan
basal
- Keadaan aktifitas sedang: ditambahkan 30% dari kebutuhan
basal
- Keadaan aktifitas berat dan sangat berat: ditambahkan 40 &
50% dari kebutuhan basal
Jenis aktifitas dikelompokkan sebagai berikut :
 Keadaan istirahat : berbaring di tempat tidur.
 Ringan : pegawai kantor, pegawai toko, guru, ahli hukum,
ibu rumah tangga dan lain-lain
 Sedang : pegawai di industri ringan, mahasiswa, militer
yang sedang tidak perang.

30
 Berat : petani, buruh, militer dalam keadaan latihan, penari,
atlit.
 Sangat berat : tukang becak, tukang gali, pandai besi.
d. Berat badan
- Bila gemuk: dikurangi 20-30% tergantung dari tingkat
kegemukan.
- Bila kurus: ditambah 20-30% tergantung dari tingkat
kekurusan untuk menambah berat badan.
- Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang
diberikan paling sedikit 1000-1200 kalori perhari untuk
wanita dan 1200-1600 kalori perhari untuk pria.
- Pembagian makanan sejumlah kalori terhitung dibagi dalam
3 porsi besar makan pagi (20%), siang (30%) dan sore
(25%) serta 2-3 porsi makanan ringan (10 -15 % ). Untuk
meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan
dilakukan secara bertahap dan harus disesuaikan dengan
kebiasaan makan (Perkeni, 2006)

31

Anda mungkin juga menyukai