Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH GUBERNUR PAPUA

LUKAS ENEMBE

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Sosiologi Hukum - Kelas O

Dosen Pengampu :
Ikaningtyas, S.H., LL.M.
Arif Zainuddin, S.H., M.H.

Disusun Oleh :
Kelompok 5 :

Chandra Pratama Pangaribuan 205010107111144


Dian Fortuna Dewi 205010107111143
Muhammad Raihan Aditya 205010107111114
Laila Rachmwati 205010107111118

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 3
A. Kasus Posisi .................................................................................................................... 3
B. Latar Belakang Tindak Pidana Korupsi oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe ............. 3
C. Poin Pelanggaran ............................................................................................................ 4
D. Analisis Kasus ................................................................................................................. 5
E. Analisis Sosiologi Hukum .............................................................................................. 8
BAB III PENUTUP .................................................................................................................. 9
A. Kesimpulan ..................................................................................................................... 9
B. Saran ............................................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 10

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Korupsi dari bahasa latin : corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah
perilaku pejabat publik, baik politis maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan
tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka (Adnan Buyung
Nasution dkk, 1999: 20).1 Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan
merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan
semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk,
jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan
karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan
ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya.2
Korupsi merupakan salah satu jenis kejahatan yang semakin sulit dijangkau oleh
aturan hukum pidana, karena perbuatan korupsi bermuka majemuk yang memerlukan
kemampuan berpikir aparat pemeriksaan dan penegakan hukum disertai pola perbuatan
yang sedemikian rapi. Oleh karena itu, perubahan dan perkembangan hukum merupakan
salah satu untuk mengantisipasi korupsi tersebut. Karena korupsi terkait dengan berbagai
kompleksitas masalah, antara lain masalah moral atau sikap mental, masalah pola hidup
serta budaya, lingkungan sosial, sistem ekonomi, politik dan sebagainya. Dalam
menghadapi karakteristik demikian maka salah satu cara memberantas tindak pidana
korupsi yang selama ini diketahui adalah melalui sarana hukum pidana sebagai alat
kebijakan kriminal dalam mencegah atau mengurangi kejahatan.
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia telah berkembang dalam 3 (tiga) tahap yaitu
elitis, endemic, dan sistematik : pada tahap elitis, korupsi masih menjadi patologi sosial
yang khas di lingkungan para elit/pejabat. Pada tahap endemic, korupsi mewabah
mengjakau lapisan masyarakat luas. Lalu ditahap yang kritis, ketika korupsi menjadi
sistemik, setiap individu di dalam sistem terjangkit penyakit yang serupa. Penyakit korupsi
di Indonesia ini telah sampai pada tahap sistematik. Perbuatan tindak pidana merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak
pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary-crimes).
Dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan “secara biasa”, tetapi dituntut
cara- cara yang “luar biasa “ (extra-ordinary enforcement).
Banyak kasus-kasus korupsi yang akhir-akhir ini mendapatkan putusan bebas,
dalam hal ini kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia dan khususnya kasus-kasus
korupsi yang terjadi di Jayapura, Papua. Korupsi ini dilakukan oleh Gubernur Papua
Tengah yaitu Lukas Enembe yang melakukan gratifikasi sebesar 1 Milyar rupiah.

1 Argiya, V. S. P. M. (2013). Mengupas tuntas budaya korupsi yang mengakar serta pembasmian
mafia koruptor menuju indonesia bersih. Jurnal Hukum Pidana dan penanggulangan Kejahatan, 2(2).
2 Pratama, M.I.W. (2019). Tindak Pidana Korupsi Sebagai Pelanggaran Terhadap Hak Asasi

Manusia. (Doctoral dissertation, Universitas Islam Indonesia).

1
Gratifikasi itu diduga terkait dengan sejumlah proyek pembangunan dari dana APBD
Provinsi Papua. Tidak hanya itu, Lukas diketahui juga memiliki transaksi keuangan
mencurigakan dengan nilai ditaksir mencapai ratusan miliar. Hingga saat ini, proses
pengusutan oleh KPK yang melibatkan politikus Partai Demokrat itu masih berlangsung.
Selain itu, Enembe yang berasal dari Papua Pegunungan sebelumnya juga pernah menjadi
tersangka Pilkada Tolikara pada 2017, diperiksa dalam kasus penyalahgunaan anggaran
Pemprov Papua pada tahun yang sama, dan diperiksa atas dugaan dana beasiswa Papua
2016. Bahkan yang paling miris adalah adanya indikasi dari temuan Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang mengindikasikan Enembe menyetorkan uang
senilai Rp 560 miliar ke kasino.
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah adalah “Analisis Penyelesaian
Kasus Tindak Pidana Korupsi terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah pada penulisan ini
adalah
1. Apa yang melatarbelakangi kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Lukas
Enembe?
2. Apa saja jenis pelanggaran yang dilakukan Lukas Enembe dalam tindak pidana
tersebut?
3. Bagaimana Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi terhadap Gubernur Papua
Lukas Enembe?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah
1. Untuk mengetahui latar belakang Lukas Enembe dalam melakukan tindak pidana
korupsi
2. Untuk mengetahui jenis-jenis pelanggaran yang dilakukan Lukas Enembe
3. Untuk mengetahui penyelesaian kasus tindak pidana korupsi terhadap Gubernur Papua
Lukas Enembe

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kasus Posisi
Gubernur Papua Lukas Enembe telah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka tindak
pidana korupsi. Aliran dana Lukas Enembe dianggap mencurigakan karena menerima
gratifikasi sebesar Rp1 miliar, menyetor USD5 juta dolar ke rumah judi dan menyetor
Rp560 miliar ke kasino. Semua bermula dari laporan PPATK yang mengungkap bahwa
sejak 2017 ada 12 dugaan pengelolaan keuangan yang tidak wajar. Pihak PPATK
meneruskan laporan tersebut ke KPK. Kini PPATK telah memblokir sejumlah rekening
milik Lukas Enembe dengan total uang sebanyak Rp 71 miliar. Sementara itu, ada dua
kasus yang hingga saat ini masih didalami yakni kasus pengelolaan PON Papua dan
manajer pencucian uang yang dimiliki Lukas Enembe. KPK juga telah melakukan dua kali
pemanggilan kepada Lukas Enembe. Namun, tersangka tidak datang dengan alasan sakit
dan ia juga mengajukan permohonan untuk berobat ke Singapura. Lukas Enembe belum
mendapatkan izin untuk berobat ke Singapura karena masih dalam status pencegahan ke
luar negeri hingga Maret 2023. Hal ini dilakukan untuk pelancaran proses penyidikan.3

B. Latar Belakang Tindak Pidana Korupsi oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe
Faktor yang kerap menjadi motif kepala daerah terjerumus praktik korupsi adalah
biaya politik tinggi. Misalnya saja, berdasarkan temuan Kementerian Dalam Negeri
beberapa tahun lalu, anggaran yang harus disediakan calon kepala daerah bisa puluhan
miliar rupiah, bahkan untuk level gubernur mencapai ratusan miliar rupiah. Praktik korupsi
yang dilakukan oleh Lukas juga menjadi pemantik untuk mendesain ulang rekrutmen partai
politik. Selama ini rekrutmen yang dilakukan partai politik tidak transparan dan akuntabel,
serta hanya berorientasi pada kekuasaan. Biaya yang mahal juga menjadi persoalan serius
dalam proses rekrutmen politik. Tak jarang kader partai politik harus mengeluarkan biaya
hingga miliaran untuk mendapat rekomendasi dalam pemilu. Mereka yang telah melewati
proses transaksi haram tersebut pada akhirnya tidak lagi memikirkan kepentingan publik
saat menjabat, melainkan berfokus pada cara-cara agar bisa mengembalikan modal fantastis
yang telah digelontorkan di awal. Proses yang demikianlah yang kemudian menjadi akar
dari praktik korupsi. Rekrutmen politik semestinya sejak awal menitikberatkan pada
kapabilitas, serta nilai-nilai integritas dan antikorupsi. Proses rekrutmen yang transparan
dan akuntabel sejak awal penting untuk mendukung fungsi partai politik berjalan dengan
baik.
Selain itu karena kasus ini masih dalam prose pemeriksaan, maka belum dipastikan
hal yang benar-benar melatarbelakangi perbuatan Lukas Enembe terkait dugaan korupsi
tersebut, namun hal-hal berikut dapat melatarbelakangi tindakan tersebut yaitu, tidak ada
tanggung jawab pada profesinya, moral dan sosial yang rendah, Sanksi yang lemah dan
penerapan hukum yang tidak konsisten dari institusi penegak hukum,Institusi

3https://m.metrotvnews.com/play/kELC1RgZ-kronologi-kasus-lukas-enembe-dari-dugaan-korupsi-

hingga-pencucian-uang diakses pada tanggal 5 Desember 2022

3
pemeriksa/pengawas yang tidak bersih/independen, Kurangnya disiplin dan kepatuhan
terhadap Undanhg-undang dan Peraturan Pemerintah, Kehidupan yang konsumtif, boros
dan serakah (untuk memperkaya diri).

C. Poin Pelanggaran
Dalam kasus tersebut, Lukas Enembe diduga melanggar atau melakukan tindak
pidana korupsi berupa suap dan gratifikasi APBD Provinsi Papua. Dimana tindakan
tersebut merupakan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Karena kasus ini juga masih dalam tahap pemeriksaan sehingga belum
dapat diputuskan terkait hal tersebut. Selain itu juga Lukas Enembe diduga melakukan
tindak pidana pencucian uang (TPPU), dimana Lukas sering bertolak ke luar negeri yang
diduga untuk menyamarkan dan membelanjakan uang hasil suap dan gratifikasi yang telah
diduga dilakukannya. Salah satu yang dilakukan Lukas saat bertolak ke luar negeri yakni
bermain judi kasino. Karena kasus ini masih dalam proses, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) memastikan tak hanya mengusut dugaan korupsi yang menjerat Gubernur Papua
Lukas Enembe. Aset bernilai ekonomis yang diduga didapat dari praktik lancung akan
dikejar. Pengusutan aset ini bisa berujung pada penerapan pasal Tindak Pidana Pencucian
Uang (TPPU). Apalagi, KPK saat ini berupaya mengoptimalkan pengembalian aset atau
asset recovery. Namun, KPK tak mau gegabah menerapkan pasal tersebut. Mereka kini
fokus untuk mencari bukti terlebih dahulu dengan memanggil sejumlah sanksi.4
Dengan demikian, Lukas Enembe diduga melakukan pelanggaran yaitu suap,
gratifikasi yang mana Lukas Enembe dapat dikenakan hukuman sesuai Pasal 12 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyebut penerima gratifikasi dapat dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) 5 dan/atau Suap,
Uang Pelicin, dan Pemerasan terkait jabatan diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dengan pidana
maksimal 5 tahun dan atau denda maksimal Rp250.000.000.6 Namun dalam proses
pemeriksaan terkait dugaan korupsi tersebut, Lukas Enembe juga diduga melakukan
Tindak Pidana pencucian uang yang telah diatur dala Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Proses
penyidikan dan penyelidikan terus dilakukan seperti penelusuran proyek, geledah rumah,
kantor, menelusuri aset, pemeriksaan saksi, dll yang dilakukan untuk mendapatkan fakta
terkait kasus tersebut.

4 https://voi.id/berita/232773/kpk-kejar-aset-milik-lukas-enembe-yang-diduga-hasil-korupsi diakses
pada tanggal 5 Desember 2022
5 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
6 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

4
D. Analisis Kasus
Analisis Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi terhadap Gubernur Papua
Lukas Enembe: Mengacu pada UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, pada
dasarnya terdapat 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Dari 30 bentuk/jenis tersebut,
terbagi dalam 7 kelompok besar, yaitu
(1) perbuatan yang menimbulkan kerugian keuangan negara,
(2) suap menyuap,
(3) penggelapan dalam jabatan,
(4) pemerasan,
(5) perbuatan curang,
(6) benturan kepentingan dalam pengadaan, dan
(7) gratifikasi.7
Berdasarkan Pasal 12 a UU PTPK pada dasarnya mengatur tentang perbuatan
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang bertentangan dengan tugas atau
kewajibannya. Adapun tugas dan kewajiban masing-masing pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut bermacam-macam dan perbuatan yang bertentangan dengan
tugas dan kewajiban itu beragam pula, misalnya ada yang bermaksud memperkaya diri
sendiri, orang lain atau korporasi. 8Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan tugas dan kewajibannya diancam dengan
pidana sebagaimana dimaksud di dalam pasal ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan Gubernur Papua Lukas Enembe
sebagai tersangka dalam dugaan gratifikasi terkait proyek di Pemerintah Provinsi Papua.
Menurut KPK, nilai gratifikasi yang diterima Enembe sebesar Rp 1 miliar. Gratifikasi itu
disebut KPK diterima dari seseorang bernama Prijatono Lakka. Dugaan praktik korupsi
yang dilakukan oleh Lukas ini juga menjadi pemantik untuk mendesain ulang rekrutmen
partai politik. Selama ini rekrutmen yang dilakukan partai politik tidak transparan dan
akuntabel, serta hanya berorientasi pada kekuasaan. Biaya yang mahal juga menjadi
persoalan serius dalam proses rekrutmen politik. Tak jarang kader partai politik harus
mengeluarkan biaya hingga miliaran untuk mendapat rekomendasi dalam pemilu. Mereka
yang telah melewati proses transaksi haram tersebut pada akhirnya tidak lagi memikirkan
kepentingan publik saat menjabat, melainkan berfokus pada cara-cara agar bisa
mengembalikan modal fantastis yang telah digelontorkan di awal. Proses yang demikianlah
yang kemudian menjadi akar dari praktik korupsi. Rekrutmen politik semestinya sejak awal
menitikberatkan pada kapabilitas, serta nilai-nilai integritas dan antikorupsi. Proses
rekrutmen yang transparan dan akuntabel sejak awal penting untuk mendukung fungsi
partai politik berjalan dengan baik.9

7 Evi Hartanti. 2007. Tindak Pidana Korupsi, edisi kedua, sinar grafika, Jakarta, hlm. 9
8 Surachim dan Suhandi Cahaya. 2011. Strategi dan Teknik Korupsi, cetakan pertama, sinar grafika,
Jakarta, hlm.11
9 https://nasional.tempo.co/amp/1653302/fakta-fakta-kasus-korupsi-gubernur-papua-lukas-enembe

diakses pada tanggal 5 Desember 2022

5
Menyangkut perkembangan penanganan perkaranya sendiri, Indonesia Corruption
Watch (ICW) memiliki catatan khusus. Pertama, sebagai warga negara, terlebih menduduki
jabatan sebagai kepala daerah, Lukas semestinya memberikan contoh baik kepada
masyarakat dengan memenuhi panggilan KPK. Sebagaimana dipahami berdasarkan Pasal
112 KUHAP, seseorang yang dipanggil sebagai saksi maupun tersangka memiliki
kewajiban hukum untuk menghadirinya. Jadi, jika Lukas terus menerus mangkir, sudah
selayaknya KPK segera melakukan upaya hukum berupa penjemputan paksa. Hal ini pun
sejalan dengan Pasal 50 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa tersangka berhak
mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut
umum.
Opsi lain yang juga mungkin dilakukan oleh KPK adalah menangkap dan menahan
Lukas. Pasal 17 KUHAP mensyaratkan dua hal kepada aparat penegak hukum yang ingin
melakukan penangkapan, yakni, perkara sudah naik ke tahap penyidikan dan status orang
tersebut sebagai tersangka. Bahkan, jika kemudian Lukas ditangkap, KPK pun dapat
langsung melakukan penahanan seperti diatur dalam Pasal 21 KUHAP dengan alasan-
alasan tertentu, misalnya, kekhawatiran tersangka akan melarikan diri. Dengan itu diyakini
proses hukum terhadap Lukas dapat berjalan lancar dan siap untuk segera disidangkan di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Melansir sejumlah pemberitaan disebutkan bahwa Lukas saat ini diduga dalam
keadaan sakit sehingga tidak dapat menghadiri pemeriksaan di KPK. Menanggapi hal itu,
untuk memastikan objektivitas keterangan tersebut, KPK dapat meminta second opinion
dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Ini bukan pertama kali KPK lakukan, sebelumnya
lembaga antirasuah itu juga pernah meminta bantuan IDI saat menangani perkara korupsi
KTP-Elektronik dengan tersangka mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto. Kala itu terbukti
bahwa alasan sakit yang diutarakan oleh Setya terlalu mengada-ngada. Maka dari itu,
penting bagi KPK untuk segera mengulangi tindakan tersebut dalam konteks perkara
Lukas.10
Dalam hal kondisi kesehatan Lukas terbukti benar sedang sakit, itupun tidak bisa
menghentikan langkah KPK menyidik perkara tersebut. Sebab, berdasarkan peraturan
perundang-undangan, KPK diperkenankan menerapkan pembantaran terhadap Lukas
hingga yang bersangkutan dianggap layak diperhadapkan dengan proses hukum. Sama
seperti situasi di atas, pembantaran juga pernah dilakukan KPK saat menangani perkara
yang melibatkan mantan Ketua Umum PPP, Romahurmuziy.
Kedua, penanganan perkara yang diduga melibatkan Lukas harus menitikberatkan
pada pengembalian aset hasil kejahatan. Perkembangan terkini, merujuk pada pernyataan
Pimpinan KPK, Alexander Marwata, Menkopolhukam, dan PPATK, Lukas diduga terlibat
dalam dua kejahatan sekaligus, diantaranya, tindak pidana korupsi berupa gratifikasi dan
pencucian uang. Dua delik ini terbilang mudah secara pembuktian, sebab turut mengatur
mekanisme pembalikan beban pembuktian. Sederhananya, seluruh sangkaan atau dakwaan
KPK, kewajiban untuk membuktikan adanya aliran dana tidak wajar bukan berada pada
ranah penuntut umum, melainkan terdakwa sendiri. Sederhananya, jika terdakwa tidak bisa

10https://antikorupsi.org/id/menyoal-dugaan-perkara-hukum-lukas-enembe-sengkarut-korupsi-politik-
dan-menguji-nyali-kpk

6
membuktikan penerimaan itu didapatkan dari hal wajar, maka aparat penegak hukum
melalui putusan pengadilan dapat langsung merampas aset-aset tersebut.11
Dalam konstruksi dugaan pencucian uang yang dilakukan oleh Lukas, ada
fenomena menarik, yakni penggunaan nominee dan pengakuan dari Menkopolhukam
berkaitan staf Gubernur Papua yang bertugas menjadi manajer pencucian uang. Selain itu,
keterangan tersebut turut menyebutkan penggunaan sarana perjudian sebagai modus
pencucian uang. Sebagaimana diketahui, PPATK menemukan transaksi perjudian dengan
bentuk setoran melalui beberapa pihak lain (nominee) dengan nominal dari satu hingga
ratusan miliar. Secara konseptual, nominee kerap digunakan sebagai alat untuk
memfasilitasi korupsi maupun illicit enrichment dengan mengaburkan keterkaitan langsung
pelaku dengan tindakan bersangkutan. Di Indonesia, penggunaan nominee dalam konteks
memuluskan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang bukanlah isu baru.
Meskipun dalam konteks berbeda, dalam kasus korupsi Jiwasraya misalnya, Direktur PT
Himalaya Energi Perkasa yang divonis 20 tahun penjara dan denda satu miliar subsider 2
bulan kurungan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta terbukti telah mendirikan sejumlah
perusahaan nominee dan membuat beberapa nominee perseorangan untuk melancarkan
kejahatannya.
Lebih lanjut, apabila memang terbukti bahwa terdapat pemanfaatan sarana
perjudian sebagai modus pencucian uang dalam dugaan kasus yang melibatkan Lukas, ICW
menilai bahwa hal tersebut bukanlah hal yang mengejutkan. Sebab, sarana perjudian seperti
kasino memiliki risiko dan kerentanan inheren untuk terjadinya pencucian uang. Sebagai
bagian dari operasi bisnisnya, kasino mengelola dana dengan jumlah yang sangat besar dan
dalam frekuensi waktu yang cukup rutin. Tidak adanya pemeriksaan dan pengawasan ketat
terhadap sirkulasi dana dalam transaksi perjudian dapat memperkuat kerentanan-
kerentanan untuk adanya praktik pencucian uang.
Ketiga, KPK harus membuka celah untuk menjerat pihak-pihak yang berupaya
menghalang-halangi proses hukum dengan memanfaatkan Pasal 21 Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi. Ada pola yang biasanya digunakan oleh pelaku korupsi untuk
menghindar dari proses hukum, salah satunya melalui pengerahan massa untuk
menghalangi aparat penegak hukum. Jika itu dilakukan, maka, baik pihak yang memerintah
maupun yang diperintah dapat diproses hukum atas sangkaan obstruction of justice.
Ancaman pidananya pun cukup tinggi, yakni mencapai 12 tahun penjara.
Keempat, narasi yang dibangun oleh KPK terkait dengan kelanjutan proses hukum
Lukas terlalu berlebihan. Betapa tidak, Alexander sampai mengutarakan mengenai
penghentian penyidikan kepada pihak Lukas agar kemudian Gubernur Papua itu bisa
menghadiri panggilan KPK. Ini menimbulkan kesan diskriminasi terhadap pihak-pihak lain
yang sedang diproses hukum oleh lembaga antirasuah itu. Mestinya ada pesan tegas, bukan
malah seperti memohon kepada terduga pelaku agar kooperatif. Untuk itu, atas
permasalahan hukum Lukas, ICW mendesak agar:
1. Lukas Enembe bersikap kooperatif dengan menghadiri pemeriksaan dirinya sebagai
tersangka di KPK;

11 Ibid., diakses pada tanggal 5 Desember 2022

7
2. KPK bersikap tegas terhadap permasalahan hukum Lukas Enembe, misalnya,
mengambil tindakan berupa penjemputan paksa dan menjerat pihak-pihak yang
menghalang-halangi proses penyidikan;
3. Partai Demokrat mendukung sepenuhnya langkah KPK dalam upaya pemberantasan
korupsi, khususnya menyangkut penyidikan terhadap Lukas Enembe.12

E. Analisis Sosiologi Hukum


Sosiologi hukum memiliki peranan penting dalam mengkaji kasus-kasus hukum
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana yang telah diutarakan ada beberapa
perspektif dan teori seperti interaksionisme simbolik yang berpandangan bahwa perbedaan
pendapat soal hukuman mati bagi para koruptor tidak lain merupakan sebuah bentuk
dialektika pemikiran manusia dalam menginterpretasikan setiap fenomena yang hadir di
masyarakat dan salahsatunya adalah perihal hukuman yang pantas bagi tindak pidana
korupsi. 13Adapun menurut perspektif struktural fungsionalis, banyaknya kasus korpusi
yang menjerat aparat hukum adalah salah satu bukti bahwa sistem hukum mengalami
kekacauan yang saling terkait satu sama lain dan menimbulkan disfungsi hukum sebagai
social engineering dan social control.14 Dengan demikian, sosiologi hukum berperan dalam
penyelesaian kasus korupsi seperti ini karena misalnya dapat menimbang terkait sanksi
yang diberikan kepada pelaku.
Peranan sosiologi hukum dalam memberantas atau mencegah korupsi, sosiologi
hukum dalam masyarakat adalah untuk meneliti tindakan dan akibat hukumberbagai
macam masalah dalam masyarakat dan membantu mencari jalan keluar yang paling efektif
khususnya dalam kasus korupsi. Terdapat tiga tahap yaitu, Perencanaan, Pelaksanaan, dan
Penilaian. Dalam kasus korupsi hal ini sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya kasus
korupsi. Pada tahap perencanaan, disini perencanaan dalam anggaran harus dibuat serinci
mungkin dan sesuaidengan kebutuhan,serta terkendali. Tahap pelaksanaan yang harus
dilihat adalah jalannya suatu pembangunan/tindakan sesuai dengan apa yang terjadi serta
terus melaporkan proses perubahan yang terjadi secara terbuka, dan selalu
terawasi/terpantau. Sedangkan pada tahap penilaian, dalam hal ini yangharus dilakukan
adalah analisis terhadap masalah/dampak sosial yang akan terjadi dalam suatu
pembanguan/tindakan. Selanjutnya yaitu penelitian, dengan penelitian dan penyidikan
sosiologi akandiperoleh suatu perencanaan/pemecahan masalah yang baik. Dalam kasus
korupsi hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya korupsi dan cara untuk mengatasinya.
Berdasarkan tinjauan sosiologi hukum terhadap undang-undang pemberantasan tindak
pidana korupsi di Indonesia ternyata masih belum maksimal bahkan belum mencapai titik
keberhasilan darisinilah perlu kerja keras pejabat pemberantasan serta diiringi dengan
peran penting sosiologi dalammemberantas tindak pidana korupsi tersebut.15

12 https://antikorupsi.org/id/menyoal-dugaan-perkara-hukum-lukas-enembe-sengkarut-korupsi-politik-
dan-menguji-nyali-kpk
13 Fitriathus, Shalihah. 2017. Sosiologi Hukum. Depok: PT Raja Grafindo Persada.

14 Mustopa, Z., Sururie, R. W., & Fu'adah, A. T. (2021). Korupsi Dalam Perspektif Sosiologi Hukum.

Hermeneutika: Jurnal Ilmu Hukum, 5(2).


15https://www.academia.edu/47717641/Pendekatan_Sosiologi_Hukum_terhadap_Korupsi_di_Indones

ia diakses pada tanggal 5 Desember 2022

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis, Gubernur Papua, Lukas Enembe diduga melakukan tindak pidana
suap dan gratifikasi. Dan bahkan dalam proses penyidikan, ditemukan hal yang membuat KPK
menduga Lukas juga melakukan tindak pidana pencucian uang yang mana berhubungan
dengaan tindak pidana korupsi yang Lukas lakukan. Penyelidikan kasus korupsi yang diduga
melibatkan Gubernur Papua Lukas Enembe masih bergulir. Saat ini proses penyelidikan masih
menghadapi kendala karena Lukas Enembe yang masih harus melakukan pengobatan karena
sakit. Untuk itu, pemerintah berharap agar Gubernur Lukas Enembe dapat memiliki sikap
kooperatif dalam proses penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi tersebut. Lukas memang
disinyalir kerap keluar negeri untuk urusan judi. Koordinator Masyarakat Antikorupsi
Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyebut Lukas pernah melakukan perjalanan ke luar
negeri, untuk bermain judi di kasino. Yakni, ke Malaysia, Singapura, dan Filipina. PPATK
mengonfirmasi pula transaksi keuangan dilakukan oleh terkait Enembe. Salah satunya transaksi
kasino judi senilai 55 juta dolar AS atau Rp 560 miliar. Kita sebagai masyarakat awam memang
cuma bisa menunggu apa yang akan terjadi dengan kasus Lukas Enembe Masalah di Bumi
Cendrawasih sudah terlalu banyak. Kemiskinan dan korupsi harus segera dituntaskan. Jangan
sampai warga Papua hanya bisa jadi penonton di negeri ini karena terus menerus didera
masalah sosial, masalah hukum, hingga masalah keamanan.

B. Saran
Setelah kami melihat kasus Tindak Pidana Korupsi terhadap Gubernur Papua Lukas
Enembe, maka menurut kami saran-saran terkai kasus tersebut adalah
1. Pemberantasan dan pencegahan korupsi haruslah dilakukan dari atas atau “top political
will” secara konsisten dari para penyelenggara negara dan diharapkan aparat penegak
hukum meningkatkan kinerjanya dalam memberantas korupsi tanpa membeda-bedakan
status sosial maupun alasan lainnya.
2. Pemberantasan tindak pidana korupsi harus tetap berpegang pada Undang - Undang korupsi
yang telah berlaku dengan mengedepankan pertanggung jawaban pidana terlebih dahulu
kemudian pertanggung jawaban secara perdata.
3. Peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi yang jelas dengan sanksi yang
dapat menimbulkan kejeraan serta proses peradilan yang cepat dan transparan.
4. Dibutuhkan peran masyarakat untuk secara aktif melakukan tindakan pencegahan korupsi.
Peran aktif tersebut dapat diawali dengan membangun kesadaran untuk melakukan
tindakan pencegahan korupsi. Peran aktif dari masyarakat misalnya dengan mengubah
sikap permisif terhadap tindakan koruptif dengan selalu mewaspadai adanya korupsi dan
tidak ragu untuk melapor kepada pihak yang berwenang bila masyarakat mengetahui
terjadinya tindakan koruptif.

9
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Evi Hartanti. 2007. Tindak Pidana Korupsi, edisi kedua, sinar grafika, Jakarta, hlm. 9
Fitriathus, Shalihah. 2017. Sosiologi Hukum. Depok: PT Raja Grafindo Persada.
Surachim dan Suhandi Cahaya. 2011. Strategi dan Teknik Korupsi, cetakan pertama, sinar
grafika, Jakarta, hlm. 11

Jurnal
Argiya, V. S. P. M. (2013). Mengupas tuntas budaya korupsi yang mengakar serta pembasmian
mafia koruptor menuju indonesia bersih. Jurnal Hukum Pidana dan penanggulangan
Kejahatan, 2(2)

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang

Internet
https://voi.id/berita/232773/kpk-kejar-aset-milik-lukas-enembe-yang-diduga-hasil-korupsi
diakses pada tanggal 5 Desember 2022
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kanwil-sulseltrabar/baca-artikel/14565/Gratifikasi-Akar-
dari-Korupsi-Kenali-Hindari-
Waspadai.html#:~:text=Pasal%2012%20Undang%2DUndang%20Nomor,paling%20ba
nyak%20Rp%201.000.000.000%2C diakses pada tanggal 5 Desember 2022
https://www.academia.edu/47717641/Pendekatan_Sosiologi_Hukum_terhadap_Korupsi_di_I
ndonesia diakses pada tanggal 5 Desember 2022
https://m.metrotvnews.com/play/kELC1RgZ-kronologi-kasus-lukas-enembe-dari-dugaan-
korupsi-hingga-pencucian-uang diakses pada tanggal 5 Desember 2022
https://antikorupsi.org/id/menyoal-dugaan-perkara-hukum-lukas-enembe-sengkarut-korupsi-
politik-dan-menguji-nyali-kpk diakses pada tanggal 5 Desember 2022
https://nasional.tempo.co/amp/1653302/fakta-fakta-kasus-korupsi-gubernur-papua-lukas-
enembe diakses pada tanggal 5 Desember 2022

10

Anda mungkin juga menyukai