Pokok Ajaran Ahmadiyah
Pokok Ajaran Ahmadiyah
Oleh:
AHMAD MUHAJIR
NIM : 80100222121
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah
memberikan rahmat, hidayah, dan keberkahan-Nya kepada kita. Shalawat dan salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, sebaik-baik teladan bagi
umat manusia.
Dalam kerangka memperluas wawasan dan pemahaman kita tentang agama Islam, juga
merupakan salah satu tugas yang diberikan, saya dengan rendah hati mempersembahkan
makalah ini yang berjudul "Pokok-pokok Ajaran Ahmadiyah serta Persamaan dan
Perbedaannya dengan Sunni dan Syiah." Makalah ini merupakan upaya saya untuk menggali
lebih dalam tentang ajaran Ahmadiyah dan membandingkannya dengan aliran Sunni dan Syiah
terlihat jelas. Pemahaman dan praktik keagamaan yang beragam menjadi tantangan bagi kita
sebagai umat Islam untuk dapat memahami dan menghormati perbedaan tersebut. Oleh karena
itu, penting bagi kita untuk menjalankan dialog dan pembelajaran yang saling memperkaya
wawasan kita.
Saya menyadari bahwa makalah ini tidak sempurna dan masih memiliki keterbatasan.
Oleh karena itu, saya menerima saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan di masa
depan. Akhir kata, saya berharap makalah ini dapat memberikan pemahaman yang lebih
mendalam tentang ajaran Ahmadiyah serta persamaan dan perbedaannya dengan aliran Sunni
dan Syiah. Semoga makalah ini menjadi kontribusi kecil dalam upaya kita untuk memperkuat
Ahmad Muhajir
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ............................................................................................. 14
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam dunia Islam, terdapat berbagai aliran dan pemahaman yang berbeda-beda. Salah
satu aliran yang menarik perhatian adalah Ahmadiyah, sebuah gerakan keagamaan yang
muncul pada akhir abad ke-19 di Qadian, India. Gerakan ini didirikan oleh Mirza Ghulam
Ahmad (1835-1908) dan memiliki pengikut yang tersebar di berbagai negara di dunia,
termasuk Indonesia.
membandingkannya dengan aliran Sunni dan Syiah, dua aliran mayoritas dalam Islam. Dalam
konteks ini, akan dibahas pokok-pokok ajaran Ahmadiyah, serta persamaan dan perbedaannya
Pertama, kita akan menjelajahi ajaran Ahmadiyah. Gerakan ini memiliki beberapa ciri
khas yang membedakannya dari aliran Sunni dan Syiah. Ahmadiyah mengakui Mirza Ghulam
Ahmad sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan dan nabi tambahan setelah Nabi Muhammad,
sedangkan aliran Sunni dan Syiah meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir.
Makalah ini akan membahas pemahaman Ahmadiyah tentang peran dan status kenabian Mirza
Ghulam Ahmad.
Selanjutnya, akan dibahas juga persamaan dan perbedaan Ahmadiyah dengan aliran
Sunni. Meskipun Ahmadiyah mengakui Al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam seperti
aliran Sunni, mereka memiliki penafsiran yang berbeda terkait beberapa ayat dan konsep
teologis. Selain itu, perbedaan pandangan tentang kepemimpinan dalam Islam juga menjadi
perhatian, karena Ahmadiyah mengakui institusi Khalifah al-Masih, sementara aliran Sunni
Makalah ini juga akan membandingkan Ahmadiyah dengan aliran Syiah. Baik
Ahmadiyah maupun Syiah meyakini adanya nabi tambahan setelah Nabi Muhammad, tetapi
dengan kepercayaan yang berbeda. Ahmadiyah mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi
tambahan, sementara Syiah meyakini adanya dua belas imam yang dianggap sebagai pewaris
spiritual Nabi Muhammad. Selain itu, akan dibahas juga perbedaan pandangan tentang struktur
Dalam proses membandingkan ajaran Ahmadiyah dengan aliran Sunni dan Syiah,
penting untuk diingat bahwa setiap aliran memiliki beragam sub-aliran dan variasi dalam
pemahaman dan praktik keagamaan. Makalah ini tidak bertujuan untuk menyederhanakan
perbedaan tersebut, tetapi lebih pada memberikan gambaran umum tentang perbedaan dan
aliran Sunni dan Syiah, diharapkan kita dapat memahami kompleksitas dan keragaman dalam
tradisi Islam. Hal ini akan memberikan wawasan yang lebih luas tentang perbedaan keyakinan
dan praktik keagamaan dalam Islam serta pentingnya dialog dan pemahaman saling
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja pokok-pokok ajaran Ahmadiyah yang menjadi dasar keyakinan dan praktik
keagamaan mereka?
2. Apa persamaan dan perbedaan antara ajaran Ahmadiyah dengan aliran Sunni dan syiah?
lebih mendalam tentang ajaran Ahmadiyah serta persamaan dan perbedaannya dengan aliran
PEMBAHASAN
dan praktik keagamaan mereka. Berikut ini adalah beberapa poin utama dalam ajaran
Ahmadiyah:
a. Tentang Kewahyuan
Kemahdian Ahmadiyah tidak bisa dilepaskan dari permasalahan wahyu, begitu pula
dengan kemahdian Syiah yang tak terpisahkan dari permasalahan keimaman. Ahmadiyah
meyakini bahwa Mahdi mereka juga menyandang gelar al-Masih. Dalam hadis sahih
disebutkan bahwa al-Masih akan turun kembali ke dunia dan menjadi seorang Nabi yang
ditugaskan oleh Tuhan untuk memerangi Dajjal pada akhir zaman. Oleh karena itu,
permasalahan wahyu tak dapat dipisahkan dari kemahdian Ahmadiyah, karena wahyu yang
diterima oleh al-Mahdi digunakan untuk menginterpretasikan Al-Quran sesuai dengan ide-ide
inovatif mereka.
Ahmadiyah sendiri. Menurut pandangan aliran ini, wahyu Tuhan tidak terhenti setelah
wafatnya Nabi Muhammad, dan wahyu yang terputus hanya berkaitan dengan wahyu syariat.
Nazir Ahmad, seorang propagandis Ahmadiyah dari Sialkot, menjelaskan bahwa wahyu yang
terputus setelah Nabi Muhammad adalah wahyu syariat, bukan wahyu mutlak. Selain itu, ia
juga menjelaskan bahwa wahyu terakhir tidak hanya diberikan kepada para Nabi, tetapi juga
kepada individu-individu lainnya.1 Pendapat serupa juga diungkapkan oleh pengikut sekte
sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Quran. Cara-cara tersebut adalah sebagai berikut:
1
Nazir Ahmad, al-Qawl as-Sharih fi Zuhur al-Mahdiy wa al-Masih, (Lahore: Nawa-i Waqt Printers Ltd.,
1389/1970), hlm. 66
a) Wahyu adalah tanda atau petunjuk langsung dari Tuhan yang masuk ke dalam
hati seseorang dengan cepat. Contohnya adalah wahyu yang diterima oleh ibu
Nabi Musa, yang meminta untuk menghanyutkan putranya, Musa, di sungai Nil.
Demikian juga wahyu yang diterima oleh para Hawari (murid-murid Nabi Isa)
dan pria-pria lainnya. (Surah Al-Qasas: 7, Surah Al-Ma'idah: 111, Surah Al-
Anbiya: 7).
b) Wahyu juga dapat datang melalui belakang hijab atau tirai. Pertama, melalui
(perjalanan malam ke langit). (Lihat Surah Al-Shura: 51). Kedua, wahyu dapat
datang melalui kasysyaf, seperti petunjuk Tuhan yang dialami oleh Maryam
(ibu Nabi Isa) ketika berdialog dengan Malaikat Jibril. (Surah Fussilat: 44). Dan
c) Salah satu bentuk wahyu adalah melalui utusan Jibril, yang dikenal sebagai
wahyu nubuwwah (wahyu kenabian). Jenis wahyu ini telah berhenti setelah
waktu tertentu, sedangkan jenis wahyu lainnya tetap berlanjut sepanjang waktu
yang dikehendaki.2
Dari pemahaman kewahyuan di atas, muncul pandangan bahwa Mirza Ghulam Ahmad
diangkat oleh Tuhan sebagai al-Masih atau al-Mahdi melalui ilham yang diterimanya. Sekte
Qadiani menganggapnya sebagai seorang nabi, sedangkan sekte Lahore secara implisit juga
mengakui hal tersebut, namun dengan menggunakan istilah "nabi lugawi" bukan "nabi haqiqi".
Bagi pengikut Qadiani, pengakuan mereka terhadap kenabian Mirza terlihat lebih jelas karena
ia dipercaya sebagai duplikat Nabi Isa, yang memiliki status sebagai nabi dan menerima wahyu.
Selain itu, kehadiran al-Masih juga disebutkan dalam hadis-hadis sahih, dan mereka mencoba
2
S. Ali Yasir, op. Cit., hlm. 35-6
Awalnya, al-Mahdi mengakui bahwa petunjuk yang diterimanya dari Tuhan berupa
ilham, namun pengikutnya kemudian menyatakan bahwa itu adalah wahyu. Mirza sendiri tidak
membantah pernyataan tersebut, bahkan mengakui kebenaran anggapan tersebut. Oleh karena
itu, digunakanlah istilah-istilah baru seperti wahyu nubuwwah, wahyu tasyri', wahyu gair
tasyri', wahyu muhaddas, wahyu walayah, dan sebagainya. Selain menggunakan ayat-ayat Al-
Quran, mereka juga menggunakan hadis-hadis Nabi sebagai dukungan, seperti hadis yang
menyebutkan, "Sungguh, telah ada orang-orang sebelum kamu, dari kalangan bangsa Israel,
yaitu orang-orang yang berdialog dengan Tuhan, meskipun mereka bukan para nabi. Jika ada
seseorang di antara umatku yang termasuk golongan itu, maka dia adalah 'Umar." (H.R.
Bukhari)
Wahyu-wahyu yang diterima oleh al-Mahdi dari Tuhan, sebagai panduan baginya
dalam melakukan pembaharuan di tengah masyarakat Islam yang menurutnya telah rusak,
diahimpunkan menjadi lebih dari 80 kitab yang kemudian digabungkan menjadi sebuah kitab
bernama Tazkirah. Kitab ini berisi penjelasan maksud Al-Quran yang meliputi bidang akidah,
ibadah, mu'amalah, dan akhlak. Kitab ini menjadi pedoman bagi jemaat Ahmadiyah dalam
Ahmadiyah ini ditolak dengan keras oleh kaum Sunni karena dianggap menyimpang dari
prinsip-prinsip Islam.
Jika pendiri aliran Ahmadiyah tetap berpegang pada pendapat bahwa petunjuk yang
diterima adalah ilham, seperti yang ia sampaikan pada awal pendiriannya3, maka ide
pembaharuannya akan lebih mudah diterima oleh masyarakat dan tidak akan menimbulkan
pandangan yang bertentangan. Selain itu, ajaran Mirza yang menyatakan bahwa Nabi Isa
benar-benar disalib meskipun tidak meninggal dunia, lebih dekat dengan kepercayaan umat
Nasrani daripada pernyataan Al-Quran yang menegaskan bahwa Nabi Isa tidak disalib,
melainkan seseorang yang menyerupai Isa. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah,
"Mereka tidak membunuh dan tidak menyalibnya, melainkan diserupakan dengan itu bagi
3
Hamamatul-Busyra, op. cit., hlm. 29-30
Dalam konteks ini, penemuan Mirza Ghulam Ahmad tentang makam Yus Asaf di
Srinagar, Kashmir, yang ia yakini sebagai makam Nabi Isa, mungkin menjadi inspirasi baginya
untuk melakukan pembaharuan. Terutama ketika ia dihadapkan pada tantangan dari para
propagandis dan misionaris Hindu dan Nasrani yang secara aktif menyerang Islam di satu sisi,
dan kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang di sisi lain. Perlu dicatat bahwa pendirian
Mirza mengenai penyaliban Nabi Isa, meskipun bertentangan dengan pernyataan Al-Quran,
tampaknya didasarkan pada ide pembaharuannya. Dia ingin menyatukan pemahaman Nasrani
dan pemahaman Islam agar dapat menarik pengikut dari kedua agama tersebut untuk menerima
pemahaman kemahdiannya.
Dalam hal ini, terdapat perbedaan mendasar antara sekte Lahore dan sekte Qadiani
dalam Ahmadiyah. Bagi Ahmadiyah, masalah kenabian memiliki dua versi. Yang pertama
disebut sebagai Nubuwwah Tasyri'iyyah (kenabian yang membawa Syari'at), dan yang kedua
adalah Nubuwwah Gair Tasyri'iyyah (kenabian tanpa membawa Syari'at). Kenabian versi
kedua mencakup Nubuwwah Mustaqillah (kenabian mandiri) dan Nubuwwah Gair Mustaqillah
(kenabian yang tidak mandiri). Nabi-nabi mandiri merujuk kepada semua nabi sebelum Nabi
Muhammad SAW., di mana mereka tidak perlu mengikuti Syari'at nabi sebelumnya.
Sedangkan nabi yang tidak mandiri mengikuti Syari'at nabi sebelumnya, seperti kenabian
Mirza Ghulam Ahmad yang mengikuti Syari'at Nabi Muhammad. Menurut Ahmadiyah, hanya
nabi-nabi yang membawa Syari'at yang berakhir, sedangkan nabi-nabi yang tidak membawa
Dalam pandangan Ahmadiyah Lahore, nabi mandiri dapat berarti bahwa nabi jenis ini
diberi wewenang oleh Tuhan untuk menghapus sebagian ajaran nabi sebelumnya yang
dianggap tidak relevan pada saat itu, atau dengan menambahkan ajaran baru sehingga Syari'at
menjadi lebih sempurna. Perubahan yang sedikit demi sedikit terjadi pada nabi-nabi yang
datang kemudian membuat Syari'at menjadi lebih sempurna daripada yang dibawa oleh nabi-
nabi sebelumnya, dan jenis kenabian seperti itu disebut sebagai nabi mustaqil.4 Oleh karena
4
Susmoyo Djoyosugito., op. cit., hlm. 4
itu, istilah "nabi" memiliki dua makna, yakni makna lugawi dan makna istilahi. Golongan
Lahore menyimpulkan bahwa nabi yang tidak membawa Syari'at disebut nabi lugawi atau nabi
majazi, yang berarti seseorang yang menerima wahyu atau berita dari langit atau Tuhan. Di sisi
lain, nabi yang membawa Syari'at disebut nabi haqiqi menurut pandangan mereka.
Namun, dalam hal status kenabian al-Mahdi dalam Ahmadiyah, pandangan Ahmadiyah
Lahore agak berbeda dengan Ahmadiyah Qadian. Meskipun secara implisit mereka
menganggapnya sebagai nabi lugawi atau nabi majazi, mereka dengan tegas menolak
pandangan Ahmadiyah Qadiani. Dalam pandangan mereka, al-Mahdi bukanlah nabi haqiqi,
melainkan Mujaddid (pembaharu) pada abad ke-14 H. Meskipun demikian, al-Mahdi memiliki
banyak persamaan dengan nabi dalam hal menerima wahyu atau berita langit. Oleh karena itu,
mereka dengan tegas menyatakan bahwa kepercayaan kepada Mirza Ghulam Ahmad sebagai
al-Mahdi dan al-Masih bukanlah salah satu rukun iman, sehingga orang yang menolaknya tidak
dapat dianggap kafir5. Selanjutnya, mereka berpendapat bahwa wahyu yang diterima oleh al-
Mahdi hanya berkaitan dengan wahyu walayah atau wahyu kewalian, dan menurut pandangan
mereka, wahyu semacam itu tetap terbuka agar pemimpin umat manusia tetap hidup dan segar.
Mereka juga berargumen bahwa Mirza atau al-Mahdi tidak pernah menyatakan dirinya sebagai
nabi hakiki.
Pandangan sekte Qadiani berbeda dengan pandangan paham kenabian mereka. Mereka
memandang al-Mahdi al-Ma'hud (yang dijanjikan) sebagai nabi dan rasul yang harus diyakini
dan diikuti perintahnya, sebagaimana nabi dan rasul lainnya. Mereka mengajarkan agar kaum
Qadiani tidak membedakan antara nabi yang satu dengan yang lain, sesuai dengan ajaran Al-
Quran dan pesan Nabi Muhammad SAW. untuk mengikuti al-Mahdi yang dijanjikan. Namun,
kedua aliran tersebut juga sepakat bahwa kenabian tasyri'i atau kenabian mustaqil berakhir
setelah Nabi Muhammad SAW. Penggunaan istilah wahyu selain Al-Quran yang diterima oleh
siapa pun yang dikehendaki Allah setelah wafatnya Nabi Muhammad juga disepakati oleh
kedua aliran.
5
Team Dakwah PB GAI, 'Aqidah Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia, (Bagian Tablig dan Tarbiyah, 1984),
hlm. 9.
Dalam paham Mahdi Ahmadiyah, tentang Khatamul Anbiya' atau penutup para nabi,
golongan Lahore memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda dengan paham Sunni. Mereka
meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah penutup bagi semua para nabi, baik yang baru
maupun yang lama, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Ahzab ayat 40 Al-Quran. Nabi
juga menyatakan dalam sabdanya bahwa tidak akan ada nabi lagi setelahnya. Golongan Lahore
menggunakan istilah nabi lugawi atau nabi majazi mungkin karena pengakuan Mirza (al-
Mahdi) sebagai penjelmaan 'Isa al-Masih dan keyakinannya bahwa telah berkomunikasi
Di sisi lain, golongan Qadiani yang meyakini al-Mahdi sebagai nabi yang harus diikuti
ajarannya, mencari dalil-dalil dan pendapat ulama Sunni untuk memperkuat argumen mereka.
Mereka memahami kata "Khatam an-Nabiyyin" sebagai nabi yang paling mulia dan sempurna
di antara semua para nabi, namun bukan sebagai penutup para nabi. Mereka juga
mengemukakan bahwa kata-kata tersebut memiliki arti pujian dan keutamaan menurut bahasa
Arab.
Paham Sunni tidak mengenal istilah nabi gair tasyri'i, nabi majazi, nabi lugawi, nabi
mustaqil, atau gair mustaqil. Pertentangan antara paham Ahmadiyah dan paham Sunni pada
awal kelahiran sekte ini mengakibatkan perbenturan, pertentangan, dan permusuhan yang
hebat. Meskipun golongan Lahore memiliki pandangan yang lebih moderat daripada golongan
Qadiani, mereka masih cenderung berpegang pada sikap Mirza sebagai al-Mahdi yang
dijanjikan.
Terdapat pertanyaan mengapa al-Mahdi yang diyakini sebagai seorang nabi atau wali
yang menerima wahyu Allah, tunduk kepada pemerintah kolonial Inggris dan bahkan bekerja
sama dalam melawan umat Muslim. Sikap agresif dan emosional al-Mahdi dalam tulisannya
menunjukkan sikap yang kurang tepat untuk seorang yang dianggap sebagai wali, apalagi
sebagai nabi atau rasul. Sebaliknya, sikap 'Isa a.s., Nabi bagi Bani Israil pada zaman dahulu,
terkenal santun dan ramah terhadap orang yang beriman. Beberapa pernyataan pengikut
Ahmadiyah juga menunjukkan permusuhan mereka terhadap sesama Muslim yang menolak
ajaran mereka.
c. Tentang Jihad
Salah satu model pembaharuan yang dicanangkan oleh al-Mahdi, yang sangat berkaitan
dengan misi kemahdiannya, adalah pengertian jihad dalam Islam. Jihad dalam Islam yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. dan para sahabatnya adalah berperang di jalan Allah
untuk menghadapi ancaman musuh-musuh Islam dan umat Islam sebagai bentuk pembelaan
atau pemertahanan diri. Namun, orientalis Barat telah memutarbalikkan pengertian jihad ini
untuk merusak citra Islam. Dalam Islam, terdapat dua jenis jihad yang dikenal, yaitu Jihadul-
Asgar atau jihad kecil yang berarti berperang melawan musuh, dan Jihadul-Akbar atau jihad
Selain dua jenis jihad tersebut, dalam paham Mahdi Ahmadiyah, terdapat juga Jihadul-
Kabir atau jihad besar, yang meliputi tabligh dan dakwah. Jihad besar dan jihad paling besar
terus berlanjut sepanjang masa, sementara jihad kecil hanya berlaku dalam situasi tertentu.6
Pendiri aliran ini menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugas-tugas kemahdian serta
mencapai tujuan mereka, yaitu menghidupkan ajaran Islam dan memperluas pengaruhnya di
seluruh dunia, mereka mengadopsi cara damai, bukan kekerasan atau penggunaan senjata.
Mereka mengambil contoh dari cara yang ditempuh oleh Nabi 'Isa (Yesus). Oleh karena itu,
kaum Ahmadiyah berpendapat bahwa berperang di jalan Allah untuk mempertahankan Islam
tidak lagi relevan dalam konteks masa sekarang. Mereka berargumen bahwa itu hanya
merupakan jihad kecil, sementara jihad besar dan yang paling besar sering kali terlupakan.
Sebagai penggantinya, media cetak dapat digunakan untuk menerbitkan tulisan yang
memperkenalkan Islam kepada masyarakat non-Muslim. Oleh karena itu, di zaman sekarang
ini, di mana kebebasan berbicara dan beragama telah ada, Islam tidak mengizinkan
pengikutnya untuk memaksakan keyakinan atau agama kepada orang lain. Dalam konteks ini,
Nazir Ahmad menyatakan, "Allah telah menugaskan kepada umat Islam kewajiban yang lebih
besar daripada berperang, yaitu jihad besar dan paling besar, yaitu mendamaikan jiwa dan
6
Nazir Ahmad, op. cit., 69-70
Dengan pemahaman tersebut, pendiri Ahmadiyah menolak untuk berjihad melawan
penjajah Inggris di India pada saat itu. Ia menyatakan, "Oleh karena itu, aku menolak jihad.
Aku bukanlah orang yang tertipu oleh pemerintah Inggris, dan yang benar adalah bahwa
pemerintah Inggris tidak melakukan tindakan yang merugikan Islam dan syiar agama. Mereka
juga tidak secara terang-terangan menyebarkan agama mereka dengan kekerasan. Perang
agama semacam itu diharamkan dalam ajaran Al-Quran. Pemerintah Inggris juga tidak
Islam dengan kekerasan adalah salah dan harus ditolak. Cara seperti itu tidak sesuai dengan
esensi Islam sebagai agama perdamaian. Islam tidak pernah menggunakan kekerasan dan
paksaan untuk mencapai kemenangan spiritualnya. Oleh karena itu, Mirza (al-Mahdi) meyakini
bahwa tidak ada wahyu dari Tuhan yang menyebutkan bahwa al-Mahdi harus menghunus
Pemahaman baru tentang makna jihad dalam misi kemahdian Mirza justru
menjadi alat bagi pemerintah Inggris untuk memecah-belah kesatuan umat Islam. Oleh karena
itu, pemerintah Inggris di India memberikan kebebasan bagi sekte ini untuk beroperasi dan
Akhirnya, ketiga isu tersebut -kewahyuan, kenabian, dan jihad- selain menjadi identitas
misi dan ajaran pokok Ahmadiyah, juga menjadi faktor utama terjadinya perselisihan dan
permusuhan yang intens di antara umat Islam. Tidak dapat diabaikan bahwa dampak negatif
dari situasi ini kemungkinan dimanfaatkan oleh pemerintah Inggris untuk memperkuat
kekuasaannya di India.
B. Persamaan dan perbedaan antara ajaran pokok ajaran ahmadiyah dengan ajaran sunni
dan syiah
Ajaran Ahmadiyah memiliki persamaan dan perbedaan dengan ajaran Sunni dan Syiah
dalam beberapa aspek. Berikut adalah penjelasan terperinci mengenai persamaan dan perbedaan
tersebut.
Persamaanya:
1. Keyakinan tentang Tauhid: Ahmadiyah, Sunni, dan Syiah meyakini keesaan Allah dan
2. Pengakuan Al-Quran: Ketiga aliran ini mengakui Al-Quran sebagai sumber utama
ajaran Islam8.
3. Pentingnya Praktik Ibadah: Ahmadiyah, Sunni, dan Syiah memiliki keyakinan dan
praktik yang serupa dalam hal menjalankan ibadah seperti salat, puasa, zakat, dan haji.
Perbedaannya:
Mahdi yang dijanjikan dan Nabi Isa yang kedua yang datang setelah Nabi
Muhammad.
Sunni: Sunni meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir dan tidak
Syiah: Syiah meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir, tetapi
Ahmadiyah: Ahmadiyah tidak memberikan status khusus kepada Ahlul Bayt dalam
ajaran mereka.
Sunni: Sunni menghormati dan mengakui keutamaan Ahlul Bayt, tetapi tidak
keagamaan.
Syiah: Syiah memberikan otoritas yang tinggi kepada Ahlul Bayt, khususnya para
Ahmadiyah: Ahmadiyah tidak mengakui konsep Imamah yang dimiliki oleh Syiah.
7
Ahmadiyah: Antara Islam dan Non-Islam" oleh Azyumardi Azra, hlm. 33-34. Penerbit LKiS, 1997.
8
Sunni, Syiah, Ahmadiyah: Sebuah Telaah tentang Perbedaan dan Kesamaan" oleh M. S. Hidayatullah, hlm. 19.
Penerbit Pustaka Alvabet, 2007.
Sunni: Sunni tidak memiliki konsep Imamah yang sama seperti Syiah.
Syiah: Syiah meyakini bahwa para Imam mereka memiliki status spiritual yang
cara damai, seperti dakwah dan tabligh. Mereka menolak penggunaan kekerasan
Sunni: Sunni mengakui konsep jihad sebagai perjuangan di jalan Allah, termasuk
perjuangan fisik dalam situasi tertentu untuk membela agama dan melawan
penindasan.
Syiah: Syiah memiliki pandangan yang serupa dengan Sunni mengenai jihad
perjuangan melawan kezaliman dan penindasan yang dialami oleh Ahlul Bayt.
dan Syiah dalam keyakinan dasar seperti tauhid, pengakuan Nabi Muhammad, dan
kepercayaan pada Al-Quran, terdapat perbedaan signifikan dalam hal kepemimpinan dan
pandangan tentang Imam Mahdi. Ahmadiyah mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam
Mahdi yang dijanjikan, sedangkan Sunni dan Syiah memiliki pandangan yang berbeda tentang
kepemimpinan dan kedatangan Imam Mahdi. Selain itu, status dan pengakuan Ahmadiyah
dalam dunia Muslim juga menjadi perbedaan yang mencolok. Dalam konteks ini, pemahaman
yang lebih mendalam dan penelitian yang cermat diperlukan untuk memahami secara
menyeluruh perbedaan dan persamaan antara ajaran Ahmadiyah, Sunni, dan Syiah dalam
Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ahmadiyah adalah sebuah aliran dalam agama Islam yang memiliki beberapa
perbedaan signifikan dengan Sunni dan Syiah. Ajaran pokok Ahmadiyah mencakup keyakinan
pada kepemimpinan Imam Mahdi yang diwujudkan dalam pribadi Mirza Ghulam Ahmad. Hal
ini menjadi salah satu pembeda utama dengan Sunni dan Syiah yang memiliki pandangan yang
Di sisi persamaan, Ahmadiyah, Sunni, dan Syiah tetap memiliki keyakinan pada tauhid
(keesaan Tuhan), pengakuan terhadap Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, serta menganggap
Al-Quran sebagai kitab suci yang menjadi pedoman dalam kehidupan mereka. Namun,
perbedaan dalam hal kepemimpinan dan pandangan tentang Imam Mahdi menjadi perbedaan
Penting untuk dicatat bahwa topik ini sangat kompleks dan bisa menjadi kontroversial.
Sebagai penutup, pemahaman yang mendalam dan toleransi antar aliran sangat penting dalam
menjaga kerukunan dan dialog antar umat Muslim. Kajian lebih lanjut dan diskusi yang terbuka
dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang perbedaan dan persamaan dalam ajaran
Saya mengakhiri makalah ini dengan harapan bahwa pembahasan yang kami sampaikan
dapat meningkatkan rasa syukur kita kepada Allah dan juga meningkatkan pengetahuan kami.
Namun, kami sadar bahwa dalam proses penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan
yang perlu kami perbaiki. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
Nazir Ahmad, al-Qawl as-Sharih fi Zuhur al-Mahdiy wa al-Masih, (Lahore: Nawa-i Waqt
Team Dakwah PB GAI, 'Aqidah Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia, (Bagian Tablig
Ahmadiyah: Antara Islam dan Non-Islam" oleh Azyumardi Azra, hlm. 33-34. Penerbit
LKiS, 1997.
Sunni, Syiah, Ahmadiyah: Sebuah Telaah tentang Perbedaan dan Kesamaan" oleh M. S.