Anda di halaman 1dari 17

Pokok-Pokok Ajaran Ahmadiyah Serta Persamaan dan

Perbedaanya Dengan Sunni dan Syiah

Oleh:
AHMAD MUHAJIR

NIM : 80100222121

PRODI DIRASAH ISLAMYAH

KONSENTRASI SYARIAH DAN HUKUM ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah

memberikan rahmat, hidayah, dan keberkahan-Nya kepada kita. Shalawat dan salam semoga

senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, sebaik-baik teladan bagi

umat manusia.

Dalam kerangka memperluas wawasan dan pemahaman kita tentang agama Islam, juga

merupakan salah satu tugas yang diberikan, saya dengan rendah hati mempersembahkan

makalah ini yang berjudul "Pokok-pokok Ajaran Ahmadiyah serta Persamaan dan

Perbedaannya dengan Sunni dan Syiah." Makalah ini merupakan upaya saya untuk menggali

lebih dalam tentang ajaran Ahmadiyah dan membandingkannya dengan aliran Sunni dan Syiah

yang merupakan aliran mayoritas dalam Islam.

Seiring dengan perkembangan zaman, kompleksitas dalam tradisi keagamaan semakin

terlihat jelas. Pemahaman dan praktik keagamaan yang beragam menjadi tantangan bagi kita

sebagai umat Islam untuk dapat memahami dan menghormati perbedaan tersebut. Oleh karena

itu, penting bagi kita untuk menjalankan dialog dan pembelajaran yang saling memperkaya

wawasan kita.

Saya menyadari bahwa makalah ini tidak sempurna dan masih memiliki keterbatasan.

Oleh karena itu, saya menerima saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan di masa

depan. Akhir kata, saya berharap makalah ini dapat memberikan pemahaman yang lebih

mendalam tentang ajaran Ahmadiyah serta persamaan dan perbedaannya dengan aliran Sunni

dan Syiah. Semoga makalah ini menjadi kontribusi kecil dalam upaya kita untuk memperkuat

dialog antar umat beragama dan memperluas wawasan keagamaan kita.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Makassar, 22 Mei 2023

Ahmad Muhajir
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 4

A. Latar Belakang .......................................................................................... 4

B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 4

A. Pokok-Pokok Ajaran Ahmadiyah ............................................................. 6

B. Persamaan dan Perbedaan Ajaran Ahmadiyah dengan Ajaran Sunni

dan Syiah ................................................................................................... 8

BAB III PENUTUP .................................................................................... 14

A. Kesimpulan ............................................................................................. 14

B. Kritik dan Saran...................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 16


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dalam dunia Islam, terdapat berbagai aliran dan pemahaman yang berbeda-beda. Salah

satu aliran yang menarik perhatian adalah Ahmadiyah, sebuah gerakan keagamaan yang

muncul pada akhir abad ke-19 di Qadian, India. Gerakan ini didirikan oleh Mirza Ghulam

Ahmad (1835-1908) dan memiliki pengikut yang tersebar di berbagai negara di dunia,

termasuk Indonesia.

Makalah ini bertujuan untuk mengeksplorasi ajaran Ahmadiyah serta

membandingkannya dengan aliran Sunni dan Syiah, dua aliran mayoritas dalam Islam. Dalam

konteks ini, akan dibahas pokok-pokok ajaran Ahmadiyah, serta persamaan dan perbedaannya

dengan aliran Sunni dan Syiah.

Pertama, kita akan menjelajahi ajaran Ahmadiyah. Gerakan ini memiliki beberapa ciri

khas yang membedakannya dari aliran Sunni dan Syiah. Ahmadiyah mengakui Mirza Ghulam

Ahmad sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan dan nabi tambahan setelah Nabi Muhammad,

sedangkan aliran Sunni dan Syiah meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir.

Makalah ini akan membahas pemahaman Ahmadiyah tentang peran dan status kenabian Mirza

Ghulam Ahmad.

Selanjutnya, akan dibahas juga persamaan dan perbedaan Ahmadiyah dengan aliran

Sunni. Meskipun Ahmadiyah mengakui Al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam seperti

aliran Sunni, mereka memiliki penafsiran yang berbeda terkait beberapa ayat dan konsep

teologis. Selain itu, perbedaan pandangan tentang kepemimpinan dalam Islam juga menjadi

perhatian, karena Ahmadiyah mengakui institusi Khalifah al-Masih, sementara aliran Sunni

memiliki beragam pandangan tentang kepemimpinan.

Makalah ini juga akan membandingkan Ahmadiyah dengan aliran Syiah. Baik

Ahmadiyah maupun Syiah meyakini adanya nabi tambahan setelah Nabi Muhammad, tetapi
dengan kepercayaan yang berbeda. Ahmadiyah mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi
tambahan, sementara Syiah meyakini adanya dua belas imam yang dianggap sebagai pewaris

spiritual Nabi Muhammad. Selain itu, akan dibahas juga perbedaan pandangan tentang struktur

organisasi dan otoritas keagamaan antara Ahmadiyah dan aliran Syiah.

Dalam proses membandingkan ajaran Ahmadiyah dengan aliran Sunni dan Syiah,

penting untuk diingat bahwa setiap aliran memiliki beragam sub-aliran dan variasi dalam

pemahaman dan praktik keagamaan. Makalah ini tidak bertujuan untuk menyederhanakan

perbedaan tersebut, tetapi lebih pada memberikan gambaran umum tentang perbedaan dan

kesamaan ajaran Ahmadiyah dengan aliran Sunni dan Syiah.

Dengan mempelajari pokok-pokok ajaran Ahmadiyah serta perbandingannya dengan

aliran Sunni dan Syiah, diharapkan kita dapat memahami kompleksitas dan keragaman dalam

tradisi Islam. Hal ini akan memberikan wawasan yang lebih luas tentang perbedaan keyakinan

dan praktik keagamaan dalam Islam serta pentingnya dialog dan pemahaman saling

menghormati di antara mereka.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja pokok-pokok ajaran Ahmadiyah yang menjadi dasar keyakinan dan praktik

keagamaan mereka?

2. Apa persamaan dan perbedaan antara ajaran Ahmadiyah dengan aliran Sunni dan syiah?

Dengan merumuskan latar belakang dan masalah-masalah di atas, makalah ini

bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan memberikan pemahaman yang

lebih mendalam tentang ajaran Ahmadiyah serta persamaan dan perbedaannya dengan aliran

Sunni dan Syiah.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pokok-Pokok Ajaran Ahmadiyah

Ajaran Ahmadiyah memiliki beberapa pokok-pokok yang menjadi dasar keyakinan

dan praktik keagamaan mereka. Berikut ini adalah beberapa poin utama dalam ajaran

Ahmadiyah:

a. Tentang Kewahyuan

Kemahdian Ahmadiyah tidak bisa dilepaskan dari permasalahan wahyu, begitu pula

dengan kemahdian Syiah yang tak terpisahkan dari permasalahan keimaman. Ahmadiyah

meyakini bahwa Mahdi mereka juga menyandang gelar al-Masih. Dalam hadis sahih

disebutkan bahwa al-Masih akan turun kembali ke dunia dan menjadi seorang Nabi yang

ditugaskan oleh Tuhan untuk memerangi Dajjal pada akhir zaman. Oleh karena itu,

permasalahan wahyu tak dapat dipisahkan dari kemahdian Ahmadiyah, karena wahyu yang

diterima oleh al-Mahdi digunakan untuk menginterpretasikan Al-Quran sesuai dengan ide-ide

inovatif mereka.

Munculnya pemahaman kewahyuan Ahmadiyah telah menimbulkan konflik dan

perbedaan pendapat di kalangan masyarakat Muslim, termasuk di antara para pengikut

Ahmadiyah sendiri. Menurut pandangan aliran ini, wahyu Tuhan tidak terhenti setelah

wafatnya Nabi Muhammad, dan wahyu yang terputus hanya berkaitan dengan wahyu syariat.

Nazir Ahmad, seorang propagandis Ahmadiyah dari Sialkot, menjelaskan bahwa wahyu yang

terputus setelah Nabi Muhammad adalah wahyu syariat, bukan wahyu mutlak. Selain itu, ia

juga menjelaskan bahwa wahyu terakhir tidak hanya diberikan kepada para Nabi, tetapi juga

kepada individu-individu lainnya.1 Pendapat serupa juga diungkapkan oleh pengikut sekte

Lahore, yang berusaha membagi cara-cara Tuhan dalam menyampaikan firman-Nya,

sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Quran. Cara-cara tersebut adalah sebagai berikut:

1
Nazir Ahmad, al-Qawl as-Sharih fi Zuhur al-Mahdiy wa al-Masih, (Lahore: Nawa-i Waqt Printers Ltd.,
1389/1970), hlm. 66
a) Wahyu adalah tanda atau petunjuk langsung dari Tuhan yang masuk ke dalam

hati seseorang dengan cepat. Contohnya adalah wahyu yang diterima oleh ibu

Nabi Musa, yang meminta untuk menghanyutkan putranya, Musa, di sungai Nil.

Demikian juga wahyu yang diterima oleh para Hawari (murid-murid Nabi Isa)

dan pria-pria lainnya. (Surah Al-Qasas: 7, Surah Al-Ma'idah: 111, Surah Al-

Anbiya: 7).

b) Wahyu juga dapat datang melalui belakang hijab atau tirai. Pertama, melalui

mimpi baik (ru'yah salihah), di mana seseorang menerima wahyu dalam

keadaan setengah sadar. Contohnya adalah pengalaman Rasulullah saat mi'raj

(perjalanan malam ke langit). (Lihat Surah Al-Shura: 51). Kedua, wahyu dapat

datang melalui kasysyaf, seperti petunjuk Tuhan yang dialami oleh Maryam

(ibu Nabi Isa) ketika berdialog dengan Malaikat Jibril. (Surah Fussilat: 44). Dan

ketiga, wahyu dapat datang melalui ilham.

c) Salah satu bentuk wahyu adalah melalui utusan Jibril, yang dikenal sebagai

wahyu nubuwwah (wahyu kenabian). Jenis wahyu ini telah berhenti setelah

waktu tertentu, sedangkan jenis wahyu lainnya tetap berlanjut sepanjang waktu

yang dikehendaki.2

Dari pemahaman kewahyuan di atas, muncul pandangan bahwa Mirza Ghulam Ahmad

diangkat oleh Tuhan sebagai al-Masih atau al-Mahdi melalui ilham yang diterimanya. Sekte

Qadiani menganggapnya sebagai seorang nabi, sedangkan sekte Lahore secara implisit juga

mengakui hal tersebut, namun dengan menggunakan istilah "nabi lugawi" bukan "nabi haqiqi".

Bagi pengikut Qadiani, pengakuan mereka terhadap kenabian Mirza terlihat lebih jelas karena

ia dipercaya sebagai duplikat Nabi Isa, yang memiliki status sebagai nabi dan menerima wahyu.

Selain itu, kehadiran al-Masih juga disebutkan dalam hadis-hadis sahih, dan mereka mencoba

memperkuat keyakinan tersebut dengan dalil-dalil yang meyakinkan.

2
S. Ali Yasir, op. Cit., hlm. 35-6
Awalnya, al-Mahdi mengakui bahwa petunjuk yang diterimanya dari Tuhan berupa

ilham, namun pengikutnya kemudian menyatakan bahwa itu adalah wahyu. Mirza sendiri tidak

membantah pernyataan tersebut, bahkan mengakui kebenaran anggapan tersebut. Oleh karena

itu, digunakanlah istilah-istilah baru seperti wahyu nubuwwah, wahyu tasyri', wahyu gair

tasyri', wahyu muhaddas, wahyu walayah, dan sebagainya. Selain menggunakan ayat-ayat Al-

Quran, mereka juga menggunakan hadis-hadis Nabi sebagai dukungan, seperti hadis yang

menyebutkan, "Sungguh, telah ada orang-orang sebelum kamu, dari kalangan bangsa Israel,

yaitu orang-orang yang berdialog dengan Tuhan, meskipun mereka bukan para nabi. Jika ada

seseorang di antara umatku yang termasuk golongan itu, maka dia adalah 'Umar." (H.R.

Bukhari)

Wahyu-wahyu yang diterima oleh al-Mahdi dari Tuhan, sebagai panduan baginya

dalam melakukan pembaharuan di tengah masyarakat Islam yang menurutnya telah rusak,

diahimpunkan menjadi lebih dari 80 kitab yang kemudian digabungkan menjadi sebuah kitab

bernama Tazkirah. Kitab ini berisi penjelasan maksud Al-Quran yang meliputi bidang akidah,

ibadah, mu'amalah, dan akhlak. Kitab ini menjadi pedoman bagi jemaat Ahmadiyah dalam

melaksanakan ide-ide kemahdian Mirza Ghulam Ahmad. Tentunya, pemahaman kewahyuan

Ahmadiyah ini ditolak dengan keras oleh kaum Sunni karena dianggap menyimpang dari

prinsip-prinsip Islam.

Jika pendiri aliran Ahmadiyah tetap berpegang pada pendapat bahwa petunjuk yang

diterima adalah ilham, seperti yang ia sampaikan pada awal pendiriannya3, maka ide

pembaharuannya akan lebih mudah diterima oleh masyarakat dan tidak akan menimbulkan

pandangan yang bertentangan. Selain itu, ajaran Mirza yang menyatakan bahwa Nabi Isa

benar-benar disalib meskipun tidak meninggal dunia, lebih dekat dengan kepercayaan umat

Nasrani daripada pernyataan Al-Quran yang menegaskan bahwa Nabi Isa tidak disalib,

melainkan seseorang yang menyerupai Isa. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah,

"Mereka tidak membunuh dan tidak menyalibnya, melainkan diserupakan dengan itu bagi

mereka" (Surah An-Nisa: 157)

3
Hamamatul-Busyra, op. cit., hlm. 29-30
Dalam konteks ini, penemuan Mirza Ghulam Ahmad tentang makam Yus Asaf di

Srinagar, Kashmir, yang ia yakini sebagai makam Nabi Isa, mungkin menjadi inspirasi baginya

untuk melakukan pembaharuan. Terutama ketika ia dihadapkan pada tantangan dari para

propagandis dan misionaris Hindu dan Nasrani yang secara aktif menyerang Islam di satu sisi,

dan kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang di sisi lain. Perlu dicatat bahwa pendirian

Mirza mengenai penyaliban Nabi Isa, meskipun bertentangan dengan pernyataan Al-Quran,

tampaknya didasarkan pada ide pembaharuannya. Dia ingin menyatukan pemahaman Nasrani

dan pemahaman Islam agar dapat menarik pengikut dari kedua agama tersebut untuk menerima

pemahaman kemahdiannya.

b. Masalah Nubuwwat Atau Kenabian Dan Khatamul-Anbiya'

Dalam hal ini, terdapat perbedaan mendasar antara sekte Lahore dan sekte Qadiani

dalam Ahmadiyah. Bagi Ahmadiyah, masalah kenabian memiliki dua versi. Yang pertama

disebut sebagai Nubuwwah Tasyri'iyyah (kenabian yang membawa Syari'at), dan yang kedua

adalah Nubuwwah Gair Tasyri'iyyah (kenabian tanpa membawa Syari'at). Kenabian versi

kedua mencakup Nubuwwah Mustaqillah (kenabian mandiri) dan Nubuwwah Gair Mustaqillah

(kenabian yang tidak mandiri). Nabi-nabi mandiri merujuk kepada semua nabi sebelum Nabi

Muhammad SAW., di mana mereka tidak perlu mengikuti Syari'at nabi sebelumnya.

Sedangkan nabi yang tidak mandiri mengikuti Syari'at nabi sebelumnya, seperti kenabian

Mirza Ghulam Ahmad yang mengikuti Syari'at Nabi Muhammad. Menurut Ahmadiyah, hanya

nabi-nabi yang membawa Syari'at yang berakhir, sedangkan nabi-nabi yang tidak membawa

Syari'at akan terus berlanjut.

Dalam pandangan Ahmadiyah Lahore, nabi mandiri dapat berarti bahwa nabi jenis ini

diberi wewenang oleh Tuhan untuk menghapus sebagian ajaran nabi sebelumnya yang

dianggap tidak relevan pada saat itu, atau dengan menambahkan ajaran baru sehingga Syari'at

menjadi lebih sempurna. Perubahan yang sedikit demi sedikit terjadi pada nabi-nabi yang

datang kemudian membuat Syari'at menjadi lebih sempurna daripada yang dibawa oleh nabi-

nabi sebelumnya, dan jenis kenabian seperti itu disebut sebagai nabi mustaqil.4 Oleh karena

4
Susmoyo Djoyosugito., op. cit., hlm. 4
itu, istilah "nabi" memiliki dua makna, yakni makna lugawi dan makna istilahi. Golongan

Lahore menyimpulkan bahwa nabi yang tidak membawa Syari'at disebut nabi lugawi atau nabi

majazi, yang berarti seseorang yang menerima wahyu atau berita dari langit atau Tuhan. Di sisi

lain, nabi yang membawa Syari'at disebut nabi haqiqi menurut pandangan mereka.

Namun, dalam hal status kenabian al-Mahdi dalam Ahmadiyah, pandangan Ahmadiyah

Lahore agak berbeda dengan Ahmadiyah Qadian. Meskipun secara implisit mereka

menganggapnya sebagai nabi lugawi atau nabi majazi, mereka dengan tegas menolak

pandangan Ahmadiyah Qadiani. Dalam pandangan mereka, al-Mahdi bukanlah nabi haqiqi,

melainkan Mujaddid (pembaharu) pada abad ke-14 H. Meskipun demikian, al-Mahdi memiliki

banyak persamaan dengan nabi dalam hal menerima wahyu atau berita langit. Oleh karena itu,

mereka dengan tegas menyatakan bahwa kepercayaan kepada Mirza Ghulam Ahmad sebagai

al-Mahdi dan al-Masih bukanlah salah satu rukun iman, sehingga orang yang menolaknya tidak

dapat dianggap kafir5. Selanjutnya, mereka berpendapat bahwa wahyu yang diterima oleh al-

Mahdi hanya berkaitan dengan wahyu walayah atau wahyu kewalian, dan menurut pandangan

mereka, wahyu semacam itu tetap terbuka agar pemimpin umat manusia tetap hidup dan segar.

Mereka juga berargumen bahwa Mirza atau al-Mahdi tidak pernah menyatakan dirinya sebagai

nabi hakiki.

Pandangan sekte Qadiani berbeda dengan pandangan paham kenabian mereka. Mereka

memandang al-Mahdi al-Ma'hud (yang dijanjikan) sebagai nabi dan rasul yang harus diyakini

dan diikuti perintahnya, sebagaimana nabi dan rasul lainnya. Mereka mengajarkan agar kaum

Qadiani tidak membedakan antara nabi yang satu dengan yang lain, sesuai dengan ajaran Al-

Quran dan pesan Nabi Muhammad SAW. untuk mengikuti al-Mahdi yang dijanjikan. Namun,

kedua aliran tersebut juga sepakat bahwa kenabian tasyri'i atau kenabian mustaqil berakhir

setelah Nabi Muhammad SAW. Penggunaan istilah wahyu selain Al-Quran yang diterima oleh

siapa pun yang dikehendaki Allah setelah wafatnya Nabi Muhammad juga disepakati oleh

kedua aliran.

5
Team Dakwah PB GAI, 'Aqidah Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia, (Bagian Tablig dan Tarbiyah, 1984),
hlm. 9.
Dalam paham Mahdi Ahmadiyah, tentang Khatamul Anbiya' atau penutup para nabi,

golongan Lahore memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda dengan paham Sunni. Mereka

meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah penutup bagi semua para nabi, baik yang baru

maupun yang lama, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Ahzab ayat 40 Al-Quran. Nabi

juga menyatakan dalam sabdanya bahwa tidak akan ada nabi lagi setelahnya. Golongan Lahore

menggunakan istilah nabi lugawi atau nabi majazi mungkin karena pengakuan Mirza (al-

Mahdi) sebagai penjelmaan 'Isa al-Masih dan keyakinannya bahwa telah berkomunikasi

langsung dengan Tuhan atau menerima petunjuk-Nya.

Di sisi lain, golongan Qadiani yang meyakini al-Mahdi sebagai nabi yang harus diikuti

ajarannya, mencari dalil-dalil dan pendapat ulama Sunni untuk memperkuat argumen mereka.

Mereka memahami kata "Khatam an-Nabiyyin" sebagai nabi yang paling mulia dan sempurna

di antara semua para nabi, namun bukan sebagai penutup para nabi. Mereka juga

mengemukakan bahwa kata-kata tersebut memiliki arti pujian dan keutamaan menurut bahasa

Arab.

Paham Sunni tidak mengenal istilah nabi gair tasyri'i, nabi majazi, nabi lugawi, nabi

mustaqil, atau gair mustaqil. Pertentangan antara paham Ahmadiyah dan paham Sunni pada

awal kelahiran sekte ini mengakibatkan perbenturan, pertentangan, dan permusuhan yang

hebat. Meskipun golongan Lahore memiliki pandangan yang lebih moderat daripada golongan

Qadiani, mereka masih cenderung berpegang pada sikap Mirza sebagai al-Mahdi yang

dijanjikan.

Terdapat pertanyaan mengapa al-Mahdi yang diyakini sebagai seorang nabi atau wali

yang menerima wahyu Allah, tunduk kepada pemerintah kolonial Inggris dan bahkan bekerja

sama dalam melawan umat Muslim. Sikap agresif dan emosional al-Mahdi dalam tulisannya

menunjukkan sikap yang kurang tepat untuk seorang yang dianggap sebagai wali, apalagi

sebagai nabi atau rasul. Sebaliknya, sikap 'Isa a.s., Nabi bagi Bani Israil pada zaman dahulu,

terkenal santun dan ramah terhadap orang yang beriman. Beberapa pernyataan pengikut

Ahmadiyah juga menunjukkan permusuhan mereka terhadap sesama Muslim yang menolak
ajaran mereka.
c. Tentang Jihad

Salah satu model pembaharuan yang dicanangkan oleh al-Mahdi, yang sangat berkaitan

dengan misi kemahdiannya, adalah pengertian jihad dalam Islam. Jihad dalam Islam yang

dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. dan para sahabatnya adalah berperang di jalan Allah

untuk menghadapi ancaman musuh-musuh Islam dan umat Islam sebagai bentuk pembelaan

atau pemertahanan diri. Namun, orientalis Barat telah memutarbalikkan pengertian jihad ini

untuk merusak citra Islam. Dalam Islam, terdapat dua jenis jihad yang dikenal, yaitu Jihadul-

Asgar atau jihad kecil yang berarti berperang melawan musuh, dan Jihadul-Akbar atau jihad

paling besar yang berarti berperang melawan hawa nafsu.

Selain dua jenis jihad tersebut, dalam paham Mahdi Ahmadiyah, terdapat juga Jihadul-

Kabir atau jihad besar, yang meliputi tabligh dan dakwah. Jihad besar dan jihad paling besar

terus berlanjut sepanjang masa, sementara jihad kecil hanya berlaku dalam situasi tertentu.6

Pendiri aliran ini menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugas-tugas kemahdian serta

mencapai tujuan mereka, yaitu menghidupkan ajaran Islam dan memperluas pengaruhnya di

seluruh dunia, mereka mengadopsi cara damai, bukan kekerasan atau penggunaan senjata.

Mereka mengambil contoh dari cara yang ditempuh oleh Nabi 'Isa (Yesus). Oleh karena itu,

kaum Ahmadiyah berpendapat bahwa berperang di jalan Allah untuk mempertahankan Islam

tidak lagi relevan dalam konteks masa sekarang. Mereka berargumen bahwa itu hanya

merupakan jihad kecil, sementara jihad besar dan yang paling besar sering kali terlupakan.

Sebagai penggantinya, media cetak dapat digunakan untuk menerbitkan tulisan yang

memperkenalkan Islam kepada masyarakat non-Muslim. Oleh karena itu, di zaman sekarang

ini, di mana kebebasan berbicara dan beragama telah ada, Islam tidak mengizinkan

pengikutnya untuk memaksakan keyakinan atau agama kepada orang lain. Dalam konteks ini,

Nazir Ahmad menyatakan, "Allah telah menugaskan kepada umat Islam kewajiban yang lebih

besar daripada berperang, yaitu jihad besar dan paling besar, yaitu mendamaikan jiwa dan

menyebarkan agama serta berdakwah di jalan Allah, di tengah-tengah masyarakat dunia."

6
Nazir Ahmad, op. cit., 69-70
Dengan pemahaman tersebut, pendiri Ahmadiyah menolak untuk berjihad melawan

penjajah Inggris di India pada saat itu. Ia menyatakan, "Oleh karena itu, aku menolak jihad.

Aku bukanlah orang yang tertipu oleh pemerintah Inggris, dan yang benar adalah bahwa

pemerintah Inggris tidak melakukan tindakan yang merugikan Islam dan syiar agama. Mereka

juga tidak secara terang-terangan menyebarkan agama mereka dengan kekerasan. Perang

agama semacam itu diharamkan dalam ajaran Al-Quran. Pemerintah Inggris juga tidak

menyebabkan perang agama".

Menurut pandangan Ahmadiyah, kehadiran al-Mahdi dalam dunia untuk menyebarkan

Islam dengan kekerasan adalah salah dan harus ditolak. Cara seperti itu tidak sesuai dengan

esensi Islam sebagai agama perdamaian. Islam tidak pernah menggunakan kekerasan dan

paksaan untuk mencapai kemenangan spiritualnya. Oleh karena itu, Mirza (al-Mahdi) meyakini

bahwa tidak ada wahyu dari Tuhan yang menyebutkan bahwa al-Mahdi harus menghunus

pedang untuk memerangi kafir dan memaksa mereka masuk Islam.

Pemahaman baru tentang makna jihad dalam misi kemahdian Mirza justru

meningkatkan keyakinan umat Muslim non-Ahmadiyah bahwa komunitas Qadiani telah

menjadi alat bagi pemerintah Inggris untuk memecah-belah kesatuan umat Islam. Oleh karena

itu, pemerintah Inggris di India memberikan kebebasan bagi sekte ini untuk beroperasi dan

menjamin keamanan mereka.

Akhirnya, ketiga isu tersebut -kewahyuan, kenabian, dan jihad- selain menjadi identitas

misi dan ajaran pokok Ahmadiyah, juga menjadi faktor utama terjadinya perselisihan dan

permusuhan yang intens di antara umat Islam. Tidak dapat diabaikan bahwa dampak negatif

dari situasi ini kemungkinan dimanfaatkan oleh pemerintah Inggris untuk memperkuat

kekuasaannya di India.

B. Persamaan dan perbedaan antara ajaran pokok ajaran ahmadiyah dengan ajaran sunni

dan syiah

Ajaran Ahmadiyah memiliki persamaan dan perbedaan dengan ajaran Sunni dan Syiah

dalam beberapa aspek. Berikut adalah penjelasan terperinci mengenai persamaan dan perbedaan
tersebut.
Persamaanya:

1. Keyakinan tentang Tauhid: Ahmadiyah, Sunni, dan Syiah meyakini keesaan Allah dan

keberadaan-Nya sebagai pencipta alam semesta.7

2. Pengakuan Al-Quran: Ketiga aliran ini mengakui Al-Quran sebagai sumber utama

ajaran Islam8.

3. Pentingnya Praktik Ibadah: Ahmadiyah, Sunni, dan Syiah memiliki keyakinan dan

praktik yang serupa dalam hal menjalankan ibadah seperti salat, puasa, zakat, dan haji.

Perbedaannya:

1. Keyakinan tentang Nabi Muhammad:

 Ahmadiyah: Ahmadiyah mengajarkan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Imam

Mahdi yang dijanjikan dan Nabi Isa yang kedua yang datang setelah Nabi

Muhammad.

 Sunni: Sunni meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir dan tidak

mengakui kemunculan Nabi atau Imam baru setelahnya.

 Syiah: Syiah meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir, tetapi

mereka mengakui adanya Imamat yang terus berlanjut setelahnya.

2. Peran Ahlul Bayt (Keluarga Nabi)

 Ahmadiyah: Ahmadiyah tidak memberikan status khusus kepada Ahlul Bayt dalam

ajaran mereka.

 Sunni: Sunni menghormati dan mengakui keutamaan Ahlul Bayt, tetapi tidak

memberikan otoritas khusus kepada mereka dalam pengambilan keputusan

keagamaan.

 Syiah: Syiah memberikan otoritas yang tinggi kepada Ahlul Bayt, khususnya para

Imam mereka, sebagai pemimpin spiritual dan otoritas agama.

3. Pandangan tentang Imamah:

 Ahmadiyah: Ahmadiyah tidak mengakui konsep Imamah yang dimiliki oleh Syiah.

7
Ahmadiyah: Antara Islam dan Non-Islam" oleh Azyumardi Azra, hlm. 33-34. Penerbit LKiS, 1997.
8
Sunni, Syiah, Ahmadiyah: Sebuah Telaah tentang Perbedaan dan Kesamaan" oleh M. S. Hidayatullah, hlm. 19.
Penerbit Pustaka Alvabet, 2007.
 Sunni: Sunni tidak memiliki konsep Imamah yang sama seperti Syiah.

 Syiah: Syiah meyakini bahwa para Imam mereka memiliki status spiritual yang

tinggi dan merupakan pemimpin yang ditunjuk secara Ilahi.

4. Pandangan tentang Jihad:

 Ahmadiyah: Ahmadiyah mengajarkan bahwa jihad seharusnya dilakukan melalui

cara damai, seperti dakwah dan tabligh. Mereka menolak penggunaan kekerasan

dalam menyebarkan agama.

 Sunni: Sunni mengakui konsep jihad sebagai perjuangan di jalan Allah, termasuk

perjuangan fisik dalam situasi tertentu untuk membela agama dan melawan

penindasan.

 Syiah: Syiah memiliki pandangan yang serupa dengan Sunni mengenai jihad

sebagai perjuangan di jalan Allah, tetapi mereka juga memandangnya sebagai

perjuangan melawan kezaliman dan penindasan yang dialami oleh Ahlul Bayt.

Secara keseluruhan, meskipun terdapat beberapa persamaan antara Ahmadiyah, Sunni,

dan Syiah dalam keyakinan dasar seperti tauhid, pengakuan Nabi Muhammad, dan

kepercayaan pada Al-Quran, terdapat perbedaan signifikan dalam hal kepemimpinan dan

pandangan tentang Imam Mahdi. Ahmadiyah mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam

Mahdi yang dijanjikan, sedangkan Sunni dan Syiah memiliki pandangan yang berbeda tentang

kepemimpinan dan kedatangan Imam Mahdi. Selain itu, status dan pengakuan Ahmadiyah

dalam dunia Muslim juga menjadi perbedaan yang mencolok. Dalam konteks ini, pemahaman

yang lebih mendalam dan penelitian yang cermat diperlukan untuk memahami secara

menyeluruh perbedaan dan persamaan antara ajaran Ahmadiyah, Sunni, dan Syiah dalam

Islam.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ahmadiyah adalah sebuah aliran dalam agama Islam yang memiliki beberapa

perbedaan signifikan dengan Sunni dan Syiah. Ajaran pokok Ahmadiyah mencakup keyakinan

pada kepemimpinan Imam Mahdi yang diwujudkan dalam pribadi Mirza Ghulam Ahmad. Hal

ini menjadi salah satu pembeda utama dengan Sunni dan Syiah yang memiliki pandangan yang

berbeda mengenai Imam Mahdi dan kepemimpinan dalam agama Islam.

Di sisi persamaan, Ahmadiyah, Sunni, dan Syiah tetap memiliki keyakinan pada tauhid

(keesaan Tuhan), pengakuan terhadap Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, serta menganggap

Al-Quran sebagai kitab suci yang menjadi pedoman dalam kehidupan mereka. Namun,

perbedaan dalam hal kepemimpinan dan pandangan tentang Imam Mahdi menjadi perbedaan

yang signifikan antara ketiga aliran tersebut.

Penting untuk dicatat bahwa topik ini sangat kompleks dan bisa menjadi kontroversial.

Sebagai penutup, pemahaman yang mendalam dan toleransi antar aliran sangat penting dalam

menjaga kerukunan dan dialog antar umat Muslim. Kajian lebih lanjut dan diskusi yang terbuka

dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang perbedaan dan persamaan dalam ajaran

Ahmadiyah, Sunni, dan Syiah dalam Islam.

B. Kritik dan Saran

Saya mengakhiri makalah ini dengan harapan bahwa pembahasan yang kami sampaikan

dapat meningkatkan rasa syukur kita kepada Allah dan juga meningkatkan pengetahuan kami.

Namun, kami sadar bahwa dalam proses penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan

yang perlu kami perbaiki. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang

membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Terima kasih atas perhatiannya.


DAFTAR PUSTAKA

Nazir Ahmad, al-Qawl as-Sharih fi Zuhur al-Mahdiy wa al-Masih, (Lahore: Nawa-i Waqt

Printers Ltd., 1389/1970), hlm. 66

S. Ali Yasir, op. Cit., hlm. 35-6

Hamamatul-Busyra, op. cit., hlm. 29-30

Nazir Ahmad, op. cit., 69-70

Susmoyo Djoyosugito., op. cit., hlm. 4

Team Dakwah PB GAI, 'Aqidah Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia, (Bagian Tablig

dan Tarbiyah, 1984), hlm. 9.

Ahmadiyah: Antara Islam dan Non-Islam" oleh Azyumardi Azra, hlm. 33-34. Penerbit

LKiS, 1997.

Sunni, Syiah, Ahmadiyah: Sebuah Telaah tentang Perbedaan dan Kesamaan" oleh M. S.

Hidayatullah, hlm. 19. Penerbit Pustaka Alvabet, 2007.

Anda mungkin juga menyukai