Anda di halaman 1dari 9

DEFiNISI DAN PENGERTIAN KEBUDAYAAN MENURUT ANTROPOLOGI

Telah banyak sarjana yang mencoba menjelaskan atau mendefinisikan kebudayaan,


namun karena menggunakan perspektif yang berbeda-beda, maka definisi kebudayaan pun
beragam. Keragaman itu tampak dari adanya sekitar 160 buah pengerrtian dan definisi
kebudayaan yang telah dikumpulkan oleh dua orang sarjana Antropologi, yakni A.L. Kroeber
dan C. Kluckhon.
Definisi dan pengertian kebudayaan yang beragam itu, dikelompokkan oleh Spradley
(1972) ke dalam lima tipe definisi., yakni:
1. Definisi kelas sosial ( Social Class Definition), yaitu memandang kebudayaan sebagai
kebiasaan-kebiasaan yang beradab dan kesopanan dari kelas atas.
2. Definisi hakekat manusia (human-nature definition), yaitu digunakan untuk membedakan
perilaku manusia dengan perilaku binatang. Manusia mempunyai kebudayaan sedangkan bin
atang lainnya tidak. Maksudnya, bahwa kebudayaan manusia (human culture)
merupakan suatui gagasan abstrak berkenaan dengan perilaku yang ditransmisikan secara
sosial yang jauh lebih kompleks dari pada perilaku primat lainnya.
3. Definisi kelompok manusia (human group definition), yaitu penggunaan konsep
kebudayaan sebagai sinonim dengan masyarakat atau komunitas. Dengan definisi itu,
memungkinkan untuk mengunnjungi kebudayaan Hawai atau menjadi anggotra kebudayaan
Asmat. Konsep area kebudayaan yang pernah dikembangkan oleh ahli Antropologi sangat
terkait dengan ide itu.
4. Definisi artefak (artefac definition), yaitu menggunakan konsep kebudayaan dengan
mengacu kepada hasil-hasil yang manusia ciptakan, seperti peralatan-peralatan, lukisan,
perumahan, jarum suntik, candi, bom. Hidrogen, dan lain-lain.
5. Definisi omnibus (omnibus definition), yaitu melihat kebudayaan sebagai segala sesuatu
yang meliputi perasaan-perasaan, pikiran, pengetahuan, kepercayaan, pranata-pranata,
perilaku, dan karya seni. Definisi yang termasuk ke dalam kategori ini adalah yang
dikemukakan oleh E. B. Tylor, Ralph Linton, dan Koentjaraningrat.

Kebudayaan menurut E.B.Tylor adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya


terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan
kemampuan lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Sedangkan menurut Linton kebudayaan adalah keseluruhan dari pengetahuan, sikap dan perilaku
yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat.
Rumusan kebudayaan menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan,
dan hasil karya manusia yan g diperoleh dengan belajar.
Tiga rumusan kebudayaan diuraikan di atas, ditolak oleh beberapa ahli Antropologi,
sebab terlalu luas dan sangat tumpul untuk menggambarkan unsur-unsur pokok perilaku
manusia. Karena itu, rumusan kebudayaan seperti itu, tidak lagi digunakan sebagai peralatan
konseptual utama, dan kini semakin dipertajam dan dipersempit instrumennya agar dapat lebih
operasional dalam menggambarkan unsur-unsur pokok perilaku manusia.
Dalam pada itu, maka muncul dua rumusan kebudayaan yang dewasa ini sangat besar
pengaruhnya dalam perkembangan Antropologi. Rumusan yang dimaksud adalah definisi
perilaku (behavior definition) dan definisi kognitif (cogtive defenition). Hal ini menjadi menarik,
sebab berkaitan erat dengan pendekatan teoritis utama dalam Antropologi.
Definisi perilaku tentang kebudayaan memfokuskan pada pola-pola perilaku yang dapat
diobservasi dalam beberapa kelompok sosial. Bagi pendekatan ini, konsep kebudayaan muncul
dari pola perilaku yang berkaitan dengan adat-istiadat atau cara hidup dari kelompok orang-
orang tertentu (Haris dalam Spradley, 1972). Berbeda halnya dengan definisi kognitif yang
mengabaikan perilaku dan membatasi konsep kebudayaan hanya pada ide-ide, kepercayaan-
kepercayaan, dan pengetahuan (Spradley, 1972). Rumusan kebudayaan seperti itu disebut juga
ideasionalisme (Keesing, 1986).
Rumusan kebudayaan yang termasuk dalam kategori ideasionalisme mempunyai
penekanan yang bervariasi di antara ahli Antropologi. Empat di antaranya akan diuraikan di
bawah ini:
1. Rumusan kebudayaan yang dikemukakan oleh Goodenough, yang melihat kebudayaan
sebagai suatu sistem kognitif – suatu sistem yang terdiri atas pengetahuan, kepercayaan, dan
nilai-nilai yang tersusun dalam pikiran anggota masyarakat (Goodenough dalam Kalangie,
1994). Dengan demikian, kebudayaan merupakan perlengkapan mental yang oleh pendukung
kebudayaan itu digunakan dalam proses-proses orientasi, pertemuan, perumusan gagasan,
penggolongan, dan penafsiran dari perilaku sosial nyata dalam masyarakatnya. Dalam kata
lain,. Kebudayaan berfungsi sebagai kerangka acuan bagi individu-individu dalam
menghadapi lingkungannya (lingkungan alam dan sosial).
2. Rumusan kebudayaan dikemukakan oleh Sathe yang melihat kebudayaan sebagai terdiri atas
gagasan-gagasan dan asumsi-asumsi yang dipunyai oleh suatu masyarakat yang menentukan
atau mempengaruhi komunikasi, pembenaran, dan perilaku anggota-anggotanya (Sathe,
dalam Kalangie, 1994).
3. Rumusan kebudayaan yang dikemukakan oleh Clifford Geertz yang melihat kebudayaan
sebagai suatu yang melihat kebudayaan sebagai suatu sistem simbolik. Dalam hal itu,
kebudayaan merupakan sistem semiotik yang mengandung simbol-simbol yang berfungsi
mengkomunikasikan maknanya dari pikiran seseorang ke pikiran orang lain. Simbol dan
makna tersebut berada dalam pikiran-pikiran individu (super organic) itu. Dengan demikian,
rumusan itu berbeda dengan yang dikemukakan oleh Goodenough yang melihat kebudayaan
berada dalam pikiran individu-individu.
4. Rumusan kebudayaan yang dikemukakan oleh Parsudi Suparlan yang melihat kebudayaan
sebagai pedoman menyeluruh atau blue print bagi kehidupan dari sebuah masyarakat yang
digunakan oleh para warganya umtuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan
hidupnya, dan mendorong tindakan-tindakan dalam upaya memanfaatkan sumber-sumber
daya yang ada dalam lingkungan hidup tersebut untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
mereka.
Terlepas dari perbedaan rumusan kebudayaan yang termasuk dalam aliran ideasional,
namun rumusan itu selain dapat digunakan untuk menelaah tipe-tipe masyarakat suku bangsa dan
komunitas alamiah (pedesaan) – seperti yang umum menjadi sasaran penelitian dalam
Antropologi – juga dapat digunakan untuk menelaah sistem-sistem organisasi formal seperti
institusi-institusi pelayanan kesehatan rumah sakit, Puskesmas, Posyandu, dan organisasi-
organisasi bisnis swasta dengan kebudayaan korporatnya (lihat Kalangie,. 1994: 2).
Sungguh pun definisi kebudayaan yang termasuk dalam aliran ideasional tidak
memasukkan perilaku sebagai kebudayaan,. Namun perilaku senantiasa ditanggapi sebagai
konsekuensi logis atau manunggal tak terpisahkan dari kebudayaan. Dengan demikian,
membicarakan mengenai sistem budaya tertentu senantiasa terkait dengan perilaku aktor-aktor
dalam sistem sosial tertentu. Saling hubungan itulah yang kemudian dikenal sebagai sistem
sosio-budaya (Keesing, 1989).
Demikianlah, maka perilaku seseorang dipahami sebagai tidak terpisahkan dari
pengetahuan, kepercayaan, nilai dan norma dalam lingkungan sosialnya.
Dengan demikian, pada saat kita meneliti dan menlaah pranata-pranata kebudayaan
tertentu, seperti pranata kesehatan, misalnya, maka aspek pengetahuan, kepercayaan, kelakuan,
bahan dan peralatan yang digunakan orang berkenaan dengan perawatan diri (self treatment),
kebersihan diri (self hygiene), penanggulangan dan penyembuhan penyakit harus diperhatikan
secara bersama-sama. Seiring dengan itu, dikatakan oleh Spradley (1980), bagi yang akan
meneliti atau menelaah suatu kebudayaan tertentu, maka tiga aspek mendasar dari pengalaman
manusia yang harus diperhatikan, yakni apa yang orang ketahui, apa yang orang lakukan, dan
apa yang orang buat dan gunakan.

WUJUD KEBUDAYAAN

A.L. Kroeber pernah menganjurkan untuk membedakan secara tajam wujud kebudayaan
sebagai suatu system dari ide-ide dan konsep-konsep dari wujud kebudayaan sebagai suatu
rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpolo. Serupa dengan itu J. J. Honigmann
dalam bukunya “The World of Man” membedakan adanya tiga gejala kebudayaan yaitu; 1)
ideas, 2) activities, 3) artifacts. Sedangkan Koentjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan itu
terdapat tiga wujudnya yaitu:

1. Wujud pertama, kompleks ide-ide, gagasan, nilai, dan norma-norma, serta aturan-aturan.
Wujud ini disebut wujud ideal dan sifatnya abstrak, tidak dapat dilihat karena berada dalam
kepala atau dalam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan itu hidup atau
berkembang. Ide dan gagasan-gagasan manusia banyak hidup bersama dalam suatu
masyarakat dan saling terkait satu dengan yang lainnya menjadi sutu system, sehingga
disebitlah dengan system budaya (cultural system)

2. Wujud kedua, adalah kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat, biasa disebut system social (social system) karena terdiri dari aktivitas-aktivitas
hubungan antara orang dari saat ke saat, dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, menurut pola-
pola tertentu yang berdasarkan adat-istiadat tata kelakuan.

3. Wujud ketiga sebagai benda-benda hasil karya manusia, disebut kebudayaan fisik berupa total
dari hasil fisik perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat.
SIFAT-SIFAT KEBUDAYAAN
Kebudayaan yang dipunyai oleh umat manusia mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni:
1. Bahwa kebudayaan itu merupakan milik yang dipahami dan dibagi bersama (shared), oleh
sebagian terbesar anggota masyarakat pendukung kebudayaan itu.
2. Bahwa kebudayaan itu diperoleh dan diteruskan secara sosial melalui prosoes belajar.
3. Bahwa kebudayaan umat manusia di muka bumi ini sangat bervariasi.
1 Bahwa nilai dalam kebudayaan itu relatif.
2 Bahwa kebudayaan itu dinamis.

1. Kebudayaan dipahami dan dibagi bersama anggota masyarakat.


Pengetahuan, kepercayaan, dan nilai berkenaan dengan sesuatu obyek dan peristiwa-
peristiwa tertentu mana kala dipahami dan dibagi bersama oleh sebahagian besar anggota
masyarakat atau komunitas, maka hal itu disebut sebagai kebudayaan.

2. Kebudayaan diperoleh dan diteruskan secara sosial melalui proses belajar.


Kebudayaan yang dipunyai oleh manusia tidak diturunkan secara genetik tetapi diperoleh
dan diwariskan secara sosial dengan melalui proses belajar.

3. Kebudayaan itu sangat bervariasi


Latar belakang tumbuhnya Antropologi sebagai suatu bidang ilmu sosial ditandai oleh
adanya kenyataan bahwa kebudayaan umat manusia yang hidup di muka bumi ini berlain-lainan.
Variasi kebudayaan itu tidak hanya tampak dalam kesatuan-kesatuan sosial berupa masyarakat
suku bangsa atau komunitas, seperti pedesaan, tetapi juga tampak pada organisasi-organisasi
sosial tertentu.
4 Nilai dalam kebudayaan itu relatif.
Salah satu sifat dari kebudayaan bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bersifat
relatif. Sesuatu yang dinilai baik dalam suatu kebudayaan tertentu belum tentu dinilai demikian
dalam kebudayan-kebudayaan lainnya. Demikian pula sesuatu hal yang dipandang sangat tercela
dalam suatu kebudayaan tertentu boleh jadi dalam kebudayaan lain justru sangat terpuji. Sebagai
contoh, seseorang anak dengan sikap menatap wajah, tegas dan kritis pada saat mengampaikan
sesuatu dan menerima sesuatu hal kepada orang tuanya merupakan perilaku yang tercela menurut
perilaku penilaian tertentu diluar Eropa tetapi bagi masyarakat di Eropa barartit sikap seperti itu
justru dinilai terpuji
5. Kebudayaan itu dinamis
Setiap kebudayaan, cepat atau lambat akan mengalami perubahan atau berada dalam
proses perubahan. Makin mendalam kontak-kontak kebudayaan atau komonikasi gagasan baru
dari luar ke suatu kebudayaan tertentu semakin pesat pula proses perubahan kebudayaan yang
berlangsung pada kebudayaan tersebut.

KOGNISI, SIKAP, DAN PERILAKU


Kognisi dalam uraian ini difahami/diartikan suatu yang unsur-unsurnya terdiri atas
pengetahuan, kepercayaan dan nilai yang dipunyai dan dibagi bersama (shared) oleh anggota-
anggota kesatuan sosial tertentu yang dijadikan pedoman dalam menginterpretasikan lingkungan
yang dihadapi dan menghasilkan tindakan. Dengan demikian, kognisi yang dimaksud adalah
sama dengan kebudayaan.
Unsur-unsur kognisi tersebut merupakan himpunan pengalaman yang diperoleh individu
atau kelompok dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan kata lain, pengetahuan,
kepercayaan dan nilai merupakan himpunan pengalaman yang tersusun dalam peta-peta kognisi
sebagai konsekuensi dari masukan yang individu dan kelompok dapatkan dari lingkungan alam
maupun lingkungan sosial.
Sungguh pun pengetahuan, kepercayaan dan nilai seluruhnya tersimpan atau tersusun
dalam peta-peta kognisi, namun masing-masing mempunyai wilayah penjelasan tersendiri.
Secara sederhana pengetahuan (knowledge) dapat diartikan sebagai ketahuan atau kesadaran
seseorang yang berkenaan dengan sesuatu obyek atau peristiwa tertentu; dan bahwa
ketentuannya itu dapat dijelaskan dan bahkan dapat dibuktikannya secara empiris; sedangkan
kepercayaan (belief) adalah bagian dari struktur kognitif seseorang berkenaan dengan sesuatu
atau peristiwa yang diyakini dan seringkali tidak mampu dijelaskan dan dibuktikan secara
empiris. Pengetahuan dan kepercayaan itulah kemudian yang menjadi dasar bagi seseorang
menilai baik atau buruk ; benar atau salah; tercelah atau terhormat. Dengan demikian, nilai
(value) merupakan bagian dari struktur kognitif seseorang yang menentukan baik dan buruk,
benar atau salah, terhormat atau tercelah.
Dalam pada itu, unsur kognitif tersebut dapat dilacak melalui bentuk pertanyaan; apa
yang diketahui atau disadari tentang suatu obyek atau peristiwa tertentu dan apa penilaian orang
berkenaan dengan suatu obyek atau peristiwa tertentu.
Akan tetapi, manakala seseorang mendapat suatu gagasan, dan gagasan itu telah
diketahui, dipercayai, dinilai positif, namun tidak selalu langsung diwujudkan dalam bentuk
tindakan nyata. Hal ini terjadi, sebab antara kognisi dan perilaku ditangani oleh sikap(attitude)
setiap individu. Sebagai contoh, seseorang ibu hamil yang menerima atau mendapatkan
penyuluhan yang berkenaan dengan manfaat gizi bagi diri dan kandungannya; dan bahwa makna
dari penyuluhan yang telah diketahui, diyakini dan dinilai positif, namun ibu tidak langsung
mewujudkan dengan segera, menunda atau sama sekali tidak melakukannya. Dalam situasi
pengambilan keputusan tersebut si ibu dipengaruhi oleh kondisi motivasi dan emosionalnya,
resiko yang kemungkinan dialami bila dilakukan atau tidak dilakukan dan alasan-alasan lainnya.
Alasan-alasan yang mempengaruhi pengambilan keputusan itulah yang disebut sebagai sikap .
Berkaitan dengan itu, boleh jadi dalam struktur kognisi seseorang berkenaan dengan
suatu gagasan baru positif, tetapi sikap negatif, maka akibatnya tidak mewujudkannya dalam
tindakan. Dalam pada itu, seyogianya antara kognisi dan sikap berkenaan dengan gagasan baru
harus seiring agar terwujud dalam perillaku.
Berdasarkan uraian di atas, maka tindakan perilaku dapat diartikan sebagai perwujudan
dari pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan sikap seseorang.

6.2 RANGKUMAN
Terdapat banyak defenisi yang berkenaan dengan kebudayaan. Namun yang kini banyak
digandrungi oleh ahli Antropologi adalah defenisi perilaku menyorot kebudayaan sebagai pola-
pola yang dapat diobservasi; dan konsep ini berkaitan erat dengan adat-istiadat atau cara hidup
dari kelompok-kelompok orang tertentu. Sedangkan defenisi kognitif adalah membatasi
kebudayaan hanya pada pengetahuan, kepercayaan dan nilai yang menjadi pedoman bagi
perilaku. Dengan demikian kebudayaan dilihat berada pada tatanan ideasional yang tidak dapat
diobservasi.
Meskipun kebudayaan termasuk dalam tatanan ideasional mengabaikan atau
mengganggap perilaku sebagai kebudayaan, namun perilaku terlihat tidak terpisah dari, atau
sebagai konsekuensi logis dari kebudayaan. Keterkaitan antara kebudayaan dan perilaku itulah
yang kemudian disebut sebagai sistem sosio-budaya.
Kebudayaan mempunyai sifat-sifat tertentu diantaranya:
1. Milik yang dipahami dan dibagi bersama oleh sebagian besar anggota masyarakat.
2. Diperoleh dan diteruskan secara sosial melalui proses belajar
3. Kebudayaan yang ada dimuka bumi ini bervariasi
4. Nilai dalam kebudayaan relatif dan
5. Kebudayaan itu dinamis.
Selain itu, dalam setiap kebudayaan sekurang-kurangnya dapat ditemukan unsur-unsur
antara lain:
1. Bahasa
2. Sistem pengetahuan
3. Organisasi sosial
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi
5. Sistem mata pencaharian hidup
6. Sistem religi dan kepercayaan
7. Kesenian.
Pengetahuan, kepercayaan dan nilai merupakan konstruksi yang terhimpun melalui
pengalaman yang diperoleh dan tersusun dalam peta kognisi seseorang. Ketiga unsur kognitif itu,
dapat dilacak perbedaannya melalui bentuk pernyataan seperti apa yang orang ketahui, yang
dipercayai, dan apa penilai orang berkenaan dengan suatu obyek atau peristiwa tertentu. Jika
pengetahuan, kepercayaan, dan nilai itu dipunyai dan dibagi bersama oleh sebagian besar
anggota masdyarakat, maka dapat disebut sebagai pengetahuan budaya, kepercayaan budaya,
dan nilai budaya.

6.3 DAFTAR BACAAN

Kalangie, Nico S.
1994 Kebudayaan dan kesehatan: pengembangan dan pelayanan kesehatan primer
melalui pendekatan , Jakarta: Megapoin
Keesing ,Roger M.
1996 Antropologi Budaya: Suatu Prespektif Kontenporer, Jakarta Erlangga.
Koentjaraningrat
1980 Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta Rineka Cipta
Spradley, James P.
1972 Culture And Cognition: Rules, Maps,and Plans.USA: Chandler Pub. Com
Spredlay, James P.
1980 Participant Observation . New York: Holt, Rinehart & Winston
Suparlan, Parsudi
1996 Pengentasan Kemiskinan dan Mobilitas Sosial: Prespektif lalu lintas budaya.
Makalah disajikan pada seminanr nasional dan serasehan IV Mahasiswa Antropologi Se-
Indonesia Di Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang 3-10 Maret 1996

6.4 TUGAS LATIHAN


1. Uraikan tipe-tipe rumusan kebudayaan yang dikemukakan oleh James P. Spradley .
2. Uraikan perbedaan rumusan kebudayaan yang berorientasi behavioristik dan kognitivistik.
3. Uraiakan varian rumusan kebudayaan yang termasuk kategori kognitivistik
4. Uraikan sifat dan unsur unsur kebudayaan.
5. Uraikan hubungan antara kebudayaan dan perilaku.

Anda mungkin juga menyukai