Anda di halaman 1dari 146

Sanksi Pelanggaran Pasal 113

Undang-undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak


ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
RESOLUSI PEMISKINAN
BERBASIS IESQ POWER

DR. PERIBADI
RESOLUSI PEMISKINAN
BERBASIS IESQ POWER

Diterbitkan pertama kali oleh CV Sketsa Media


Hak cipta dilindungi oleh undang-undang All Rights Reserved
Hak penerbitan pada Penerbit Sketsa Media
Dilarang mengutip atau memperbayak sebagian atau seluruh isi
buku ini tanpa seizin tertulis dari Penerbit

Cetakan Pertama: Januari 2023


Jumlah Halaman: x+135
15,5 cm x 23 cm

ISBN: 978-623-09-1537-6
IKAPI: No. 253/JTE/2022

Penulis: DR. PERIBADI


Desain Cover: Adji Azizurrachman
Tata Letak: Amar Al Farizi

Diterbitkan Oleh:
CV. Sketsa Media

E-mail : sketsamediaid@gmail.com
Web : www.sketsamedia.id
Buku : www.shop.sketsamedia.id
Whatsapp : 0858-6977-7792

Isi di luar tangung jawab Penerbit Sketsa Media


Isi di luar tangung jawab penerbit SketsaMedia
REFLEKSI

“Kasihilah musuhmu, berbuat baiklah kepada orang yang membenci


kamu, mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu dan
berdoalah bagi orang yang mencaci maki kamu. Karena itulah yang
membuat kamu berbeda dengan penjahat. Guru…..bukankah ketika
kita memperhatikan kebutuhan orang lain, memberi makan dan
minum, membelikan pakaian dan membangunkan tempat tinggal
kepada orang-orang yang kita cintai, serta hormat dan santun kepada
semua orang, kita sudah tergolong orang baik ? Bukan…, karena para
penjahat pun mampu melakukan hal itu, tandas sang Guru. Oh…gitu
ya Guru…? Y.B. Purwaning M. Yanuar (Cui Bono)”

--v--
PENGANTAR AHLI
DR (HC) H. Ary Ginanjar Agustian

Telaah kritisisme terhadap ilmu sosial humaniora


kontemporer yang secara nyata menguburkan martabat
kemanusiaan, terdengar kian nyaring terlontar dalam sebuah
dialektika pemikiran kaum intelektual. Betapa pesat
kecerdasan digital dan artifisial berbasis logika kategoris
Aristoteles atau aksiomatik Eucludes dengan segudang prestasi.
Tak pelak lagi, ketika Newton sukses gemilang
mengintegrasikan Novum Organum Bacon yang empiristik
dengan visi rationalism of Descartes yang mechanistik,
atomistik dan deterministik. Maka ketika itulah, bermunculan
potret ilmuwan modren, namun tidak dapat dipungkiri ketika
banyak orang skeptis bahwa Cartesian-Newtonian telah
mematikan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual
serta tidak mampu mengangkat derajat kemanusiaan.
Ikhwal itulah yang sesungguhnya merupakan salah satu
konsekwensi logis dari paradigma positivism dan post-
positivisme yang selama ini hanya mengekspresikan serta
mempersepsikan realitas sebagai kumpulan entitas yang statis
dan kaku. Sementara realitas yang dinamis dan kompleks itu,
terus menggelegar dan bahkan kini mulai menjelmah menjadi
sebongkah hiperealitas. Pada gilirannya, pola dan proses
“interkoneksi” yang kini mengemuka di tengah masyarakat
kontemporer, tampak jelas tidak lagi dilandasi oleh software
relasi kemanusiaan.
Sehubungan dengan itu, menurut Riyadi (2014) bahwa
fenomena peralihan kepada kekuatan supranatural akhir-akhir
ini, bukan hanya merupakan signal kematian positivisme dan
post positivisme. Akan tetapi, memang para tokoh tradisional
kaliber internasional seperti Frithjof Schuon, Seyyed Hosein
Nasr, Victor Danner, Gai Eaton, Huston Smith, Whitall N Perry,
Rama Coomaraswami, Lee D Snyder, Joseph Epes Brown dan

--vi--
Martin Lings menyepakati bahwa tidak ada kata lain dalam
konteks kemoderenan ini, kecuali memunculkan kembali sense
of sacredness di tengah kompleksitas kehidupan ini.
Berbagai variabel yang acapkali diklaim sebagai faktor
determinan atas kegagalan sebuah epistemologi ketika digiring
masuk dan mendarat di ranah aksiologis. Ikhwal itu bisa
ditelusuri dari konteks ketimpangan struktural dan
ketimpangan kultural serta ketimpangan spritualitas. Namun
satu hal yang diduga sebagai variabel dominan adalah faktor
minimalisasi kecerdasan intelektual spiritual (inteleksi) sebagai
implikasi sosial dari filsafat positivisme dan post positivisme
yang selama ini hanya berkutat di seputar wilayah kebenaran
empirik inderawi dan empirik rasional serta bebas nilai (value
free).
Ikhwal itulah yang mungkin terbayang dalam benak
penulis buku ini untuk mencoba mengintegrasikan antara
siklus partisipatif dengan nilai religiusitas PraProfetik dan
Saintifikasi Profetik di atas landasan Culturalis Weberian dan
Transendental Ibnu Khaldun. Tentu saja dengan sebuah impian
dan harapan besar agar konstruksi paradigma pembangunan
participatory berbasis Spritual Profetik, dapat membangkitkan
sekumpulan great people yang dapat menjadi aktor
pembangunan yang kapabel, visioner, istiqamah, berintegritas,
berkarakter, beradab dan humanis menuju Indonesia Emas.
Betapa urgensinya keberadaan aktor pembangunan yang
kategori great people itu, karena di balik lompatan kuantitatif
(quantum jump) atas keberhasilan idiologi pembangunanisme
di kurun waktu Orba, justru mengemuka polarisasi sosial
ekonomi, terkuburnya homogenitas sosial, menipisnya lapisan
nurani serta mencuatnya aneka bentuk dekosntruksi sosial
lainnya. Karena itulah, saya menyambut gembira dan memberi
apresiasi atas terbitnya buku ini yang ditulis oleh Dr. Peribadi
menyoal “IESQ Power sebagai Resolusi Pemiskinan”.

--vii--
PRAKATA PENULIS
Alhamdulillah, segala Puji Kepada-Nya Yang Maha Berilmu
telah memancarkan secercah Nur-Nya, sehingga upaya revisi telah
berhasil dirampungkan dari buku yang berjudul “Resolusi
Kemiskinan Berbasis ESQ Power” menjadi sebuah buku yang
berjudul: “Resolusi Pemiskinan Berbasih IESQ Power” dengan
beberapa pembahasan tambahan, Pertama, kajian bibliografi atas
beberapa artikel terbaru menyoal strategi Program Penanggulangan
Kemiskinaan (Pronangkis) dari hasil penelitian yang pernah
dilakukan oleh para akademisi di hampir semua daerah di Indonesia.
Kedua, studi pustaka atas beberapa artikel terbaru seputar
manajemen Zakat, Infaq dan Sodaqah yang sejak dahulu kala sebelum
kita mengenal kajian ilmiah seputar masalah kemiskinan.
Sesungguhnya masyarakat sudah menjalankan sebuah tradisi yang
secara langsung merespon permasalahan kemiskinan dalam bentuk
pemberian Infaq, Zakat dan Sodaqah yang tidak hanya berupa uang
dan barang. Akan tetapi, juga dalam bentuk pekerjaan atau upaya
lain yang bertujuan untuk meringankan beban orang-orang tidak
mampu. Kini, aktivitas memberi dimaksud disebut filantropi sebagai
sebuah modal sosial yang telah menyatu dengan kultur masyarakat
pedesaan. Karena itu, Zakat, Infaq dan Sodaqah di tengah masyarakat
kontemporer harus diimplementasikan secara terukur, terstruktur,
sistematis dan istiqamah, sehingga zakat yang mulia itu semakin
tinggi nilainya dan lebih nyata hasilnya. Namun ikhwal itu pun
semuanya tidak bisa terpisahkan dengan IESQ Power bagi mereka
yang diamanahi tugas, peran dan tanggung jawab penyaluran ZIS dan
Waqaf kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
Ketiga, diskursus Human Development Profetik yang
ditawarkan dalam buku ini adalah berupaya mensinergikan antara
paradigma Human Development sebagai paradigma terakhir dalam
konstalasi pembangunan dengan nilai ESQ. Dengan demikian, besar
harapan agar IESQ Power penyelenggara pemerintahan dan
pelaksana berbagai proyek pembangunan semakin super potensial.
Paling tidak, mulai menunjukkan political will-nya untuk
mensejahtrakan masyarakat, bangsa dan negara tercinta ini. Tak
terkecuali pihak stakeholder, karena paradigma Human
Development adalah memberi peluang dan kesempatan kepada
rakyat untuk menggunakan kapabilitas dan kapasitasnya semaksimal

--viii--
mungkin untuk menyelenggarakan serta melangsungkan kehidupan
sosialnya sendiri. Selain itu, paradigma human development bersifat
universal dan non diskriminatif serta menempatkan masyarakat
sebagai subyek pembangunan serta mendorong peningkatan
kapabilitas.
Semoga Tuhan memberinya balasan setimpal kepada semua
hamba-Nya yang telah membantu penyelesaian kajian ini, hingga
menjadi sebuah buku bacaan yang kritis, kontemplatif dan solutif.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa kesempurnaan itu hanya milik
Allah SWT, sehingga sudah pasti di dalam proses penulisan buku ini,
terdapat kekurangan dan mungkin pula ketimpangan yang
tersenandung di dalamnya. Karena itu, saran, tanggapan dan kritikan
yang konstruktif sungguh-sungguh penulis harapkan dan dambakan.

Kendari, Januari 2023

Peribadi

--ix--
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................. i


REFLEKSI ................................................................................................. v
PENGANTAR AHLI ................................................................................ vi
PRAKATA PENULIS .............................................................................. viii
DAFTAR ISI ............................................................................................. x

PERTAMA PROLOG .............................................................................. 1

KEDUA: TEORI DAN KONSEP-KONSEP YANG DIGUNAKAN ..... 9


A. ESQ Power dan Pemiskinan ................................................................... 10
B. Implementasi Teori Dan Konsep Kecerdasan ................................ 22
C. Zakat dan Kemiskinan .............................................................................. 27

KETIGA: POTRET PEMISKINAN DAN KEMISKINAN .................. 37


A. Potret Fenomenal Perilaku Pemiskinan ........................................... 38
B. Potret Realitas Kemiskinan .................................................................... 59

KEEMPAT:URGENSI DAN REFLEKSI IESQ POWER .................... 65


A. Islam dan Etos Kerja ................................................................................. 66
B. Kebijakan Pronangkis ............................................................................... 79
C. Kinerja Pengelolaan Zakat ...................................................................... 85
D. Rukun Iman Dan Ketangguhan Pribadi ............................................ 98
E. Rukun Islam Dan Ketangguhan Sosial ............................................... 103
F. Ikhsan dan Insan Cita Profetik .............................................................. 106
G. Diskursus Paradigma Human Development Profetik ................. 110

KELIMA EPILOG .................................................................................... 119

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 123


PROFIL PENULIS ................................................................................... 135

--x--
PERTAMA

PROLOG
Nun, demi pena beserta hal yang mereka tulis;
atas karunia Tuhanmu, kamu bukanlah orang gila; melainkan untuk
dirimu sungguh disediakan upah yang tiada henti, serta dirimu
merupakan sosok yang diagungkan, tentulah kelak kamu akan
mengetahui, serta mereka pun akan mengetahui, siapa di antara
kalian yang gila. Bahwasanya Tuhanmu, Dialah Yang Maha
Mengetahui siapa yang sesat terhadap JalanNya; serta Dialah Yang
Maha Mengetahui tentang golongan yang terbimbing
(Al Qalam Ayat: 1 - 7).

Menurut Badan Pusat Statistik sebagaimana dikutip oleh


Burhanudin dan Indrarini (2020) bahwa pada bulan Maret 2019
jumlah penduduk miskin di Indonesia telah mencapai sebesar 9,41%
dari jumlah total populasi. Tentu saja ikhwal ini sangat
mengherankan bagi kaum cendikia, karena selain Indonesia
merupakan negara yang kaya Sumber Daya Alam (SDA), juga
penduduk bangsa Indonesia adalah mayoritas beragama Islam yang
setiap saat dapat mengeluarkan kewajiban zakat dan non zakatnya.
Karena itulah, maka substansi kajian yang terkandung dalam buku
ini adalah menyoal kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional
dan kecerdasan spiritual (IESQ) serta kesalehan sosial para aktor dan
aktris pembangunan dalam menjalankan amanah, tugas dan
tanggung jawab yang diembannya.
Telaah skeptisisme dan kritisisme semakin nyaring terdengar
ketika “drama pemiskinan” dalam aneka kasus “dana siluman dan
rekening gendut” yang kini oknum pelakunya satu persatu mulai
tergiring ke ruang persidangan Tipikor. Tampaknya, fenomena
kleptomania dan kleptokrasi yang menggeliat di akhir dasawarsa ini
sudah perlu dikaji secara holistik dari sudut pandang struktural dan
kultural serta perspektif spiritualisme. Tentu saja ketika pejabat
cenderung pragmatisme, sudah pasti menimbulkan pemiskinan.

--1--
Paling tidak, mereka tidak maksimal menjalankan amanah yang
diembannya, sehingga kesejahteraan sosial ekonomi tidak menuai
hasil maksimal. Dengan demikian, berarti kaum elite sosial yang
diamanahi tugas, peran dan tanggung jawab untuk mensejahtrakan
masyarakat di tengah bangsa dan negara tercinta ini, belum memiliki
kapasitas IESQ Power serta kesalehan sosial yang mumpuni.
Sesungguhnya, perilaku aktor dan aktris pembangunan tampak
signifikan dengan perspektif studi pembangunan yang selama ini
didominasi oleh aliran modernisasi, teori dependensi dan teori
sistem dunia dengan segala kelebihan dan kekurangannya
(Suwarsono dan Alvin 1994; Budiman, 1995; Fakih, 2006; Chaniago,
2012). Ketiganya memang telah sukses gemilang melontarkan
pemikiran spektakuler terdahulu, namun ternyata hanya berhasil
menawarkan sebuah pemikiran yang bersifat parsial terhadap
model pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan. Pada
gilirannya, telaah kritisisme terus bergulir, sehingga
membuahkan sebuah anti tesis dalam bentuk paradigma
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang
berupaya mengintegrasikan strategi pembangunan berwawasan
ekonomi, sosial, ekologis dan spiritual (Peribadi, 2015).
Sesungguhnya, upaya pengembangan masyarakat (community
development) merupakan strategi untuk mengentaskan kemiskinan,
mencari solusi sosial, mengatasi konflik serta memberdayakan dan
meningkatkan taraf hidup masyarakat. Namun perlu diingat bahwa
setiap masyarakat mempunyai tradisi dan adat-istiadat yang
merupakan potensi modal sosial (Hikmat, 2014), sehingga
pengetahuan lokal (local knowledge) dan kearifan lokal (local
wisdom) menjadi urgent sebagai sumber daya utama dalam
mengembangkan strategi community development. Dalam konteks ini,
menurut Korten (1993) bahwa proses pembangunan yang berpusat
pada rakyat memandang inisiatif dan kreativitas rakyat sebagai
sumber daya pembangunan yang berorientasi kepada peningkatan
kesejahteraan material dan spiritual.
Secara akademik dan maupun secara praktikal, domain
spiritual dan terutama Spiritualitas Profetik tampak belum dianggap
potensial atau belum mendapat perhatian serius untuk
menyempurnakan “paradigma pembangunan berkelanjutan”
dimaksud. Padahal, ketika komponen sustainable development
disinergikan dengan unsur-unsur Profetik, maka tentu saja tidak

--2--
hanya menumbuhkan kesalehan sosial kepada sang aktor dan aktris
pembangunan. Akan tetapi, sekaligus mampu mengeliminir potret
fenomenal dekonstruksi, dekulturasi, despritualisasi, demoralisasi,
dehumanisasi dan deforestase yang menggeliat di akhir dasawarsa
ini. Tak pelak lagi, ketika fungsionalisasi potensi nilai Culturalis
Weberian disinergikan dengan kekuatan nilai Transendental Ibnu
Khaldun sebagai upaya membangkitkan great people untuk tampil
menjadi aktor pembangunan yang penuh integritas (Kurasawa, 1993;
Khaldun, 2005, Malik, 2010; Utoyo, 2011; Weber 2012; Peribadi,
2015). Sebaliknya, tidak lagi menjelmah aktor dan aktris
pembangunan yang secara empirik selama ini membuahkan aneka
permasalahan sosial, karena berbalut perilaku penyimpangan.
Pertama, di tengah gegap gempita pembangunan ekonomi
yang tampak dominan secara fisik material selama ini, belum tercipta
konsep pembangunan sosial yang integral dan interdependen antara
unsur pembangunan struktural yang dapat mengeliminir berbagai
jenis ketimpangan dan ketidakadilan serta pembangunan di bidang
kultural yang mampu meransang bangkitnya sense of responsibility,
sense of crisis dan sense of humanity. Demikian pula, terabaikannya
pembangunan di bidang prosesual yang mampu menumbuhkan
energi partisipatoris dari seluruh lapisan masyarakat, sehingga
proses pelaksanaan pembangunan cenderung menerabas,
disintegral, disequilibrium dan tidak disertai dengan proses
internalisasi nilai (Chaniago, 2012; Wirutomo, 2013).
Kedua, di balik lompatan kuantitatif (quantum jump) revolusi
hijau yang sukses gemilang memenuhi spirit zaman kaum agraris di
kurun waktu Orde Baru, justru menyebabkan terjadinya polarisasi
sosial ekonomi, menipisnya homogenitas sosial, melemahnya
kelembagaan masyarakat tani serta tersingkirnya kearifan lokal di
balik semak belukar modernisasi itu (Amaluddin, 1987; Rachbini,
1990; Trijono, 1995; Baswir, dkk. 2003; Salman, 2012; Sumardjo,
2012; Adisasmita, 2013). Atas dasar itulah, maka telaah kritis
terhadap idiologi pembangunanisme terus mengalir dari kalangan
pluralisme, sosialisme demokratis, post-modernisme, dan feminisme
yang kemudian menjadi landasan idiologis dan teoritis untuk praktek
bottom-up. Namun hasilnya belum bisa menggenjot tingkat kuantitas
dan kualitas partisipasi masyarakat (Safi’i, 2007; Saraswati, 2008; Ife
dan Frank, 2008; Agger, 2009).

--3--
Ketiga, Program Penanggulangan Kemiskinan (Pronangkis)
yang dimanahkan kepada Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan Daerah (TKPKD) cenderung disfungsional. Padahal
lembaga struktural ini dipayungi oleh Perpres No. 15 Tahun 2010
dan Permendagri No. 42 Tahun 2010 serta sebuah Perda No. 8 Tahun
2011 tentang Program Penanggulangan Kemiskinan di Kota Kendari.
Akan tetapi, semua amanah konstitusional tersebut cenderung
berbalut formalistis dengan berbagai permasalahannya (Brata, 2013;
Peribadi, 2015).
Berbagai variabel yang acapkali diklaim sebagai faktor
determinan atas Pronangkis selama ini. Ikhwal itu bisa ditelusuri atas
kinerja awak-awak TKPKD dan aktivis pemberdayaan di berbagai
daerah, namun satu hal yang lebih utama harus dikedepankan adalah
faktor minimalisasi ESQ Power sebagai implikasi sosial dari filsafat
positivisme dan post positivisme. Karena landasan filosofis atas kedua
paradigma ini, hanya berkutat di seputar wilayah kebenaran empirik
inderawi dan empirik rasional serta bebas nilai (value free).
Ikhwal filosofis, alasan akademik dan fakta empirik inilah yang
menjadi driving force kajian pada ranah kebenaran empirik etik dan
transendental dalam upaya mengimplementasikan sintetis Tertium
Organum sebagai paradigma intelektual berbasis spiritual dimaksud
Ouspensky (2005) serta diskursus Sains Integratif dimaksud Humaidi
(2015). Sementara pendekatan realisme metafisik yang digunakan
untuk mengembangkan diskursus teoritis serta desain formulasi
paradigmatik, adalah sebuah model filsafat fenomenologi deduktif
versi Karl Raimun Popper (Muhadjir, 2011). Hal itu relevan dengan
visi dan misi semua Pemerintah Daerah untuk mewujudkan
daerahnya ke depan sebagai kota dalam taman (green city) yang
bertaqwa (spiritual city), maju, demokratis, sejahtera (smart city)”
dan memanusiakan (humanity).
Menurut Bariroh (2019) bahwa Ary Ginanjar Agustian dalam
bukunya ESQ, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual mencoba mengenalkan paradigma ilmu manajemen baru
dalam bidang sumber daya manusia yang menyinergikan science,
sufisme, psikologi dan manajemen secara Islami dalam satu kesatuan
yang terintegrasi dan transedental. Dalam kerangka kecerdasan
spiritual, perilaku orang dalam bekerja, berbisnis atau berorganisasi
merupakan aktualisasi diri yang bersumber dari internal motivation
sebagai kesadaran dan tanggungjawab dalam bekerja, sehingga

--4--
membuahkan sebuah keyakinan dan sekaligus kesalehan sosial
bahwa prestasi adalah bagian dari ibadah yang berkualitas. Demikian
pula, menurut konsep spiritual management dalam bahasa K.H.
Abdullah Gymnastiar diperkenalkan dengan istilah Manajemen Qalbu
yang bertumpu pada religious mind-set yang meletakkan hubungan
antar manusia dalam proses bisnis atau kerja yang tidak terlepas
kaitannya antara manusia dengan Tuhannya. Outcome yang
diharapkan dari implementasi konsep ini adalah bahwa manusia
siapapun yang terlibat dalam proses bisnis harus memiliki
kesadaran, sehingga apapun yang mereka perbuat harus
berlandaskan pada keimanan dan ketakwaannya kepada Tuhan.
Karena itulah, menurut Kafid (2020) dalam artikelnya yang
berjudul “Sufisme Dalam Dinamika Kehidupan Masyarakat Muslim
Kontemporer” bahwa derasnya arus urbanisasi, globalisasi,
pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial politik ternyata tidak
mengarah pada upaya marginalisasi sufisme. Sebaliknya, justru
meningkatkan posisi dan peran sufisme dalam tatanan sosial-politik
dan budaya masyarakat Muslim kontemporer. Sufisme yang pada
awalnya digambarkan sebagai model keberagamaan yang pasif,
cenderung apolitis dan jauh dari proses perubahan sosial, realitasnya
justru sangat kompleks. Karena tidak sedikit para pengikut sufi yang
justru berperan aktif dalam aktivitas politik dan gerakan sosial,
termasuk dalam gerakan penanggulangan pemiskinan dan
kemiskinan moralitas.
Seirama dengan itu, Al Ghazali (dalam Bariroh, 2019)
menegaskan bahwa hati adalah raja yang mengatur dan
mengarahkan semua anggota badan, baik akal, nafs, mata, telinga dan
tubuh manusia. Pernyataan ini menggambarkan bahwa hati adalah
substansi yang menjadi kendali perilaku, baik atau buruknya dengan
demikian sangat tergantung pada kualitas hati. Hati inilah sumber
ruh sebagai sesuatu yang dapat mengetahui dan mengenal diri
manusia. Hati mempunyai sifat yang selalu berubah karena hati
adalah tempat dari kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan
kesalahan. Hati adalah tempat di mana Tuhan mengungkapkan diri-
Nya sendiri kepada manusia.
Karena itulah, maka menurut Ibnu Sina (dalam Hayat, 2013)
bahwa konsep pendidikan secara universal adalah mengarahkan
seseorang kepada perkembangan yang sempurna, baik secara
jasmaniyah ataupun rohaniyahnya. Akan tetapi secara sufistik bahwa

--5--
tujuan pendidikan adalah untuk membentuk insan kamil atau
manusia sempurna. Artinya, pendidikan mempunyai sebuah dimensi
keseimbangan antara kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrawi,
sehingga kecerdasan yang dimiliki tidak hanya berpaku kepada
kecerdasan duniawi, tetapi penguatan terhadap pendidikan yang
mengarah kepada kekuatan hati, pikiran dan lisan sebagai proses
pengembangan dan aktualisasi pendidikan yang mengarah kepada
aqidah islamiyah menuju ke arah kesempurnaan pengetahuan dan
keilmuan. Pendidikan tidak hanya menjadi suatu wacana tekstimoni
saja dalam kehidupan, tetapi membutuhkan sebuah aksiologi nyata
dalam pengejewantahan secara berkesinambungan dan berkarakter
dengan prinsip pengamalan, penyebaran (dakwah), dan peningkatan
iman.
Menurut hasil penelitian Lubis (2019) yang tertuang dalam
artikelnya “Paradigma Pendidikan Agama Islam di Era Globalisasi
Menuju Pendidikan Profesional” bahwa untuk menghadapi tantangan
globalisasi tersebut, maka pendidikan agama Islam membutuhkan
SDM yang handal dan berkualitas melalui pendidikan yang
professional, memiliki etos kerja dan komitmen yang tinggi, memiliki
jiwa kepemimpinan, menjadi teladan, motivatoris, berwawasan luas,
kreatif dan demokratis. Kesemuanya harus tergambar dan terpancar
melalui profesionalitas dalam desain serta model pembelajaran,
perencanaan serta evaluasi pembelajaran.
Betapa tidak, sehebat dan sesempurnah apapun teori dan
konsep serta strategi yang dikembangkan untuk mensejahtrakan
sebuah masyarakat, bangsa dan negara dengan berupaya
mengimplementasikan paradigma sustainable development serta
empat komponen esensial dimaksud Mabub ul Haq. Namun pada
gilirannya menjadi sia-sia atau tidak mampu membuahkan hasil
maksimal dan bahkan kini telah menjadi kenyataan pahit bagi
masyarakat kontemporer dalam aneka dekosntruksi dan degradasi
sosial yang terus menggelegar dengan berbagai implikasi sosialnya.
Tentu saja hal itu terjadi adalah bukan semata-mata karena
kelemahan konseptual pada beberapa paradigma dimaksud, tetapi
juga aktor dan aktris yang menggunakan paradigma pembangunan
tersebut tidak memiliki mentalitas pembangunan atau kesalehan
sosial yang mapan. Dengan perkataan lain, sang aktor dan aktris
pembangunan yang telah menggunakan aneka paradigma
pembangunan secara silih berganti itu, tampak lebih dominan

--6--
dengan kecerdasan rasional yang beririsan dengan kecerdasan
digital dan kecerdasan artifisialnya.
Betapa pada awalnya, keterkaitan manajemen hati dengan
kecerdasan ESQ hanya berkaitan dengan kemampuan struktur akal
yang hanya bersentuhan dengan aspek-aspek kecerdasan kognitif
saja. Namun pada perkembangannya ditemukan suatu teori bahwa
kecerdasan bukan hanya mengenai struktur akal, melainkan terdapat
struktur hati yang perlu mendapat tempat tersendiri untuk
menumbuhkan aspek-aspek afektif, seperti kehidupan moral,
emosional, dan spiritual. Karena itu, indikator kesuksesan dalam
pandangan dunia modern dan global saat ini merujuk pada sinergitas
antara kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) serta
kecerdasan spiritual (SQ). Manusia tidak cukup hanya cerdas secara
intelektual tetapi emosi dan spiritualnya juga harus mumpuni.
Artinya, tidak cukup hanya otaknya yang brilian, tetapi juga harus
didukung oleh moralitas dan keimanan yang tinggi.
Akhirnya, dapat dipastikan bahwa kalau kecerdasan digital
lebih dominan terpateri dalam pemikiran sang aktor dan aktris
pembangunan dan Pronangkis, maka dana-dana kemanusiaan
berupa BLT dan Bansos serta biaya-biaya program pemberdayaan
yang tak terhitung lagi jumlahnya telah di kucurkan oleh pemerintah
dan lembaga donor terus menjadi mubazir. Ikhwal itulah yang kini,
kian mencemaskan karena kawula kontemporer tergerus waktunya
dengan aneka asesoris digital yang menghipnotis, meninabobokkan
dan mendungukan dan bahkan boleh jadi hingga dengan sukses
germilang mematikan hatinya. Meskipun sebaliknya, sesungguhnya
juga tersenandung peluang kontempelasi dan bahkan terbuka lebar
pengembangan kecerdasan IESQ Power dalam rubrik digitalisasi itu.
Betapa tidak, kaum emak-emak yang memutar langkahnya di arena
dapur ketika menyajikan hidangan bagi anggota keluarga tercinta
sembari memutar dan menyimak ceramah-ceramah viral UAS, UAH,
Buya Yahya, Gus Baha dan uztad-uztad yang berkompoten lainnya,
maka tentu saja siraman inteleksi (Intelektual Spirititual) terus on
line dan in line.

--7--
--8--
KEDUA

POTENSI IESQ POWER:


Perspektif Teoritis dan Konseptual
Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah, mereka menjawab: (Tidak), tetapi kami hanya
mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek
moyang kami. (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun
nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak
mendapat petunjuk (Al-Baqarah Ayat 170).

Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang


sejarah Indonesia sebagai nation state serta sebagai aktor dan aktris
pembangunan pada sebuah negara yang mungkin salah memandang
dan mengurus kemiskinan. Pasalnya, kemiskinan kini telah membuat
jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang
berkualitas, rakyat kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya
tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan
publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan
perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke
kota. Namun yang tampak lebih parah adalah kemiskinan
menyebabkan jutaan rakyat tidak dapat memenuhi kebutuhan
pangan, sandang dan papan secara terbatas dapat mengganjal perut.
Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa
saja demi keselamatan hidup, safety life, mempertaruhkan tenaga
fisik untuk memproduksi keuntungan bagi tengkulak lokal dan
menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang
dikeluarkan. Para buruh tani desa bekerja sepanjang hari, tetapi
mereka menerima upah yang sangat sedikit.
Tak pelak lagi, bagi kaum proletariat yang menguras segalanya
di arena pertambangan bourjuis demi memenuhi sesuap nasi.
Mereka tidak hanya terus menerus menjadi pekerja-pekerja kasar
sepanjang hayatnya, tetapi juga kenyamanan dan keamanan
hidupnya juga sewaktu-waktu terancam dengan aneka bencana.

--9--
Betapa malang nasib sang putra-putri bangsa yang lahir di negara
yang kaya raya Sumber Daya Alamnya ini, tetapi mereka tampil
dengan tubuh-tubuh miskin yang memedihkan dan menyedihkan.
Meskipun tetap saja ada segelintir anak-anak bangsa yang ikut serta
menikmati lesatnya kekayaan alam itu, karena berkolaborasi – kalau
terkesan kasar diklaim berselingkuh dengan sang aktor bourjuis
Taipan itu.
Karena itu, betapa bisa dimaklumi ketika United Nations
(dalam Sahar dan Salomo, 2018) menyebutkan bahwa pada rezim
Sustainable Develeopement Goals (SDGs) kemiskinan tetap menjadi
salah satu isu utama dari 17 Tujuan Pembangunan Global (TPG)
sekaligus menjadi komitmen bersama dari 193 Negara anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), masyarakat sipil, akademisi,
pihak swasta, dan masyarakat filantropi. Trend global ini
membuktikan bahwa persoalan kemiskinan merupakan tantangan
bangsa-bangsa di pelbagai belahan dunia yang semestinya
ditanggulangi bersama secara komprehensif, integratif, dan inklusif.
Premis ini sejalan dengan dokumen yang telah disepakati dalam
Konferensi Tingkat Tinggi negara anggota PBB yaitu Transforming
Our World: The 2030 Agenda for Sustainable bahwa solusi alternatif
dalam memberantas kemiskinan adalah terdapatnya keterlibatan
semua negara dan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam
sebuah kemitraan kolaboratif.

A. ESQ Power dan Pemiskinan

Para ahli mengakui bahwa ada neo-cortex sebagai lapisan


luar otak yang memang mampu mempelajari berbagai macam
bahasa, memahami rumus-rumus fisika dan melakukan
perhitungan yang rumit sekalipun. Namun lebih jauh dari neo-
cortex itu, ada otak manusia disebut lymbic system yang mampu
mengendalikan perasaan manusia, sehingga Goleman
menjungkir balik kekuatan Intelligence Quotient (IQ) dan
membuktikan bahwa kesuksesan sangat ditentukan oleh
ketinggian kecerdasan emosi manusia (Alibasyah, 2003;
Hariwijaya, 2008; Agustian, 2003).

--10--
Sejak akhir tahun 90-an, peneliti neurologi menemukan bahwa
otak mempunyai jenis kecerdasan lain yang disebut “spiritual
quotient”. Istilah ini berasal dari kata latin ‘spiritus’ yang artinya
‘dasar penting untuk makhluk hidup. Beberapa pandangan yang
berhubungan dengan hal itu. Pertama, menurut Zohar dan Marshall
(dalam Soebyakto, 2012) bahwa:
“This new intelligence with which we have access to deep meaning,
fundamental values, and a sense of abiding purpose in our lives, and
the role that this meaning, values and purpose plays in our lives,
strategies, and thinking process. Then, this newest intelligence is
famous named by “spiritual quotient.”Spiritual quotient comes from
the Latin word “spiritus,” and the meaning is “the vitalizing
principle of an organism”.

Kedua, menurut Gardner yang dikutip oleh Ula (2013)


dalam teori multiple intelligences, menandaskan bahwa setiap
orang memiliki kapasitas 9 (sembilan) jenis kecerdasan, yakni:
“(1)inteligensi linguistik sebagai kemampuan untuk
menggunakan dan mengolah kata-kata dengan efektif secara
lisan dan tulisan; (2) inteligensi matematis logis sebagai
keterampilan berhitung dan berpikir logis serta pemecahan
masalah; (3) inteligensi ruang visual sebagai kemampuan
untuk menyerap, mengubah dan menciptakan kembali
berbagai macam aspek dunia visual-spasial; (4) inteligensi
kinestetik badani sebagai kemampuan menggunakan gerak
tubuh dalam mengekspresikan gagasan dan perasaan; (5)
inteligensi musikal sebagai kemampuan untuk
mengembangkan, mengekspresikan dan menikmati bentuk-
bentuk musik, suara, ritme, melodi dan intonasi; (6)
inteligensi interpersonal sebagai kemampuan untuk mengerti
dan peka terhadap perasaan, watak, perangai, intensi,
motivasi dan tempramen orang lain; (7) inteligensi
intrapersonal sebagai kecerdasan dan kemampuan untuk
mengerti diri sendiri, sehingga dapat mengetahui apa yang
terbaik harus dilakukan dan dihindari untuk meningkatkan
kemampuan dirinya; (8) inteligensi naturalistik sebagai
kemampuan untuk mengerti atas keberadaan flora dan fauna
serta memahami dan menikmati alam; dan (9) inteligensi
eksistensial adalah kemampuan seseorang untuk menjawab
persoalan terdalam terkait dengan eksistensi manusia”.

--11--
Ketiga, sementara dalam konsep Bowel (2004)
ditekankan “the seven steps of spiritual intelligence seperti terlihat
dalam bagan 1, yakni:
(1) Step One: Awarwness – We become aware that we are lost,
that we do not understand the purpose of our life, that this
internal, “not working” sense is in fact the real sense of self
confined by the lack of any intelligence to escape; (2) Step
Two: Meaning – We explore the bigger picture, to make keys
that might open the space we are confined in; (3) Step Three:
Evaluation – We try the keys, fit them in the lock and turn; (4)
Step Four: Being Centered – We open the door inward and
enable what is on the other side to access us; (5) Step Five:
Vision – We allow the light from the new, “bigger picture” to
flood in so we can see; (6) Step Six: Projection – We project
our new level of self into the new territory we can see ahead;
(7) Step Seven: Mission – We act within the new territory and
are now aware and consious of what we are doing within a
greater territory.

Bagan 1. The seven steps of spiritual intelligence

--12--
Keempat, Salovey dan Mayer pun menyatakan (dalam King, Mara &
DeCicco, 2012) bahwa ada empat komponen utama dalam
kecerdasan spiritual ini:
(1) the capacity to engage in critical existential thinking, (2) the
capacity to construct meaning and purpose in all physical and
mental experiences, (3) the capacity to perceive transcendent
dimensions of the self, of others, and of the physical world
(e.g., a transcendent self, non materialism, holism,
interconnectedness), and (4) the capacity to enter expanded
or spiritual states of consciousness at one’s own discretion.

Sungguh menakjubkan potensi yang terkandung dalam diri


anak manusia sebagai salah satu ciptaan Tuhan yang penuh misteri
itu. Betapa tak terduga ketika Enstein menandaskan bahwa
kreativitas itu muncul di titik pusat gravitasi kesadaran emosional
dan proses kreasi justru berada di luar jangkauan logika. Demikian
pula Gooedel sang matematikus ulung menemukan suatu teorema
yang luar biasa, bahwa kebenaran matematika berada di luar mate-
matika. Kemudian teorema ini dipertegas oleh Weisskopf sebagai ahli
fisika nuklir bahwa kebenaran sains berada di luar sains
(Nataatmadja, 1982).
Urgensi kepemimpinan profetik dalam pandangan Hendrawan
(2009) bahwa kepemimpinan profetik memiliki dasar penjelasan
sosiologisnya pada pikiran Weber tentang dampak etika Protestan.
Demikian pula pada pemikiran Khaldun tentang etos bangsa Arab,
sehingga diamanahi tugas besar untuk menyebarkan agama di muka
bumi. Tiga ruang kepemimpinan tersebut menjadi ciri khas dari
kepemimpinan profetik yang dapat melahirkan great people.
Sehubungan dengan itu, menurut Utoyo (2011) bahwa orang-
orang besar yang layak disebut sebagai great people. Pertama, great
people adalah mereka yang merasa berbahagia bila membuat orang
lain sukses atau bahagia. Kedua, great people adalah mereka yang
bersedia berkorban demi kebahagiaan dan kesuksesan orang lain.
Ketiga, great people adalah mereka yang lebih mengutamakan
kepentingan orang banyak ketimbang kepentingan diri sendiri.
Keempat, great people adalah mereka yang mampu melahirkan
pengganti yang lebih baik dari dirinya. Kelima, great people
memberikan manfaat dan energi positif di mana pun dia berada.

--13--
Keenam, great people merupakan hasil dari proses perjalanan yang
teguh dan bukan sebuah gift.

Bagan 2. Daya Pesona Ilahiah

Tampaknya, secara ekslusif Tasmara (2006) memperjelas


bahwa kerinduan kita hanya memandang wajah Allah, sehingga arah
hidup kita berlabuh kepada keridhaan-Nya. Kita tinggalkan seluruh
jubah egoisme untuk mendaki ke puncak kemuliaan meraih cinta
abadi Ilahi. Tidak ada harapan lain, kecuali Allah (Laa Maqsuda Illa
Allah). Tidak ada tujuan lain, kecuali ridha untuk menapaki jalan
pencarian-Nya (Laa mathluba illa Allah). Allah menjadi pusat
lingkaran kepribadiannya sehingga sikap, prestasi, dan tindakannya
merupakan percikan dari cahaya Ilahi seperti pada bagan 2 dalam
sebuah lingkaran yang mengikuti daya pesona Ilahiah. Allah always
in my heart dan Allah watchingus all the time. Pemimpin yang di
hatinya bersemayam cinta dan membuncah kepada Allah, akan
merasakan bahwa dirinya adalah alat belaka dari iradah Ilahiah (the
will of God).

--14--
Dapat dimaklumi jika di tengah konstalasi pembangunan
dengan berbagai implikasi sosialnya banyak orang
menyesalinya. Karena paradigma pembangunan yang dipraktek-
kan selama ini hanya memfokuskan pada upaya pengembangan
otak neo-cortex dan mengabaikan pentingnya fungsi otak lymbic
system dan god spot. Padahal, tanpa “Emotional Intelligence dan
Spritual Quotient”, maka out put pendidikan menghasilkan
fir’aun dan qarun baru sebagai diktator bengis yang korup dan
memiskinkan. Ikhwal seperti itulah yang tertuang dalam refleksi
pemikiran sosiologi Ali Syaria’ti (1985) yang terkenal dengan
konsep tritunggal-nya (Fir’aun, Qarun dan Bal’am).
Menurut Mulait (2018) dalam artikelnya yang berjudul
“Mengimani Yesus Kristus Sang Pembebas: Suatu Upaya
Berkristologi Dalam Konteks Pemiskinan Gereja Indonesia” bahwa
menyadari beragam persoalan bangsa ini, maka sejak tahun 1984
Gereja dalam sebuah sidang Pleno MASRI menunjukkan keprihatinan
ketika melihat dimensi ketidakadilan dari kemiskinan yang ada di
Indonesia. Betapa orang miskin dan orang kecil adalah orang yang
tidak berdaya karena mengalami aneka macam pemiskinan yang
membuat semakin banyak orang hidup tidak manusiawi serta tidak
menggambarkan bahwa dia adalah citra Allah yang hidup.
Keprihatinan ini kemudian dipertegas lagi dalam surat gembala para
uskup Indonesia pada 1988, sehingga dengan semangat Konsili
Vatikan II terkait refleksi persoalan Gereja-Gereja Dunia Ketiga, para
uskup Indonesia dapat bertanya lebih lanjut: “Apa arti Gereja dan
hidup menggereja ditengah-tengah kemiskinan”? Ikhwal ini
merupakan sebuah refleksi kesadaran bahwa kemiskinan di dunia
ketiga (Indonesia) ini bukanlah sesuatu yang kebetulan atau terjadi
begitu saja ada. Akan tetapi, merupakan sebuah gejala ketidakadilan
yang menimbulkan penderitaan bagi banyak orang yang sebenarnya
ada dalam lingkup kemampuan dan tanggungjawab manusia. Dalam
konteks ini, upaya menghayati semangat Yesus sebagai Pembebas
merupakan sebuah tawaran kristologi dalam konteks pluralitas
agama dan minoritas disatu pihak dengan upaya keterlibatan pada
masalah kemiskinan dipihak lain, sehingga tampil berani terlibat
dalam dunia sosial-politik untuk menyatakan yang benar, baik dan
menyelamatkan sesuai dengan pesan Injil. Artinya, melawan
keserakahan dan ketidakadilan yang membuat masyarakat Indonesia
mengalami kehidupan yang bertentangan dengan martabatnya

--15--
sebagai manusia ciptaan Allah yang mulia merupakan refleksi yang
membumi dalam tataran persoalan sosial-politik dan sosial ekonomi
yang menjadi penentu nasib hidup banyak orang di Indonesia.
Seirama dengan itu, menurut Alyanto (2021) dalam
artikelnya yang berjudul “Teisme, Mesianisme Dan Aksiologisme:
Akomodasi Kitab Suci Kristen Terhadap Problema Kemiskinan Dan
Pemiskinan” bahwa orang Kristen yang merupakan bagian dari
masyarakat yang membentuk serabut sosial dengan steriotipe
“penuh kasih”, sehingga harus memiliki kepedulian sosial terhadap
problema kemiskinan dan pemiskinan. Dalam konteks IESQ Power
bahwa sesungguhnya beriman itu adalah bukanlah suatu fakta tanpa
juntrungan antara langit dan bumi, tetapi beriman menjadi
bermakna ketika terjadi persentuhan dengan dunia nyata.” Karena
itu, dalam problema kemiskinan dan pemiskinan Theresa (dalam
Aliyanto, 2021) menegaskan bahwa kita perlu mencintai dan menjadi
pribadi kebersamaan dengan semangat memperjumpakan makna
teologis dengan yang praksis dalam konteks problema kemiskinan
dan pemiskinan masyarakat. Betapa orang-orang yang hidup dalam
kemiskinan seringkali dihindari dan dijauhi oleh kebanyakan orang,
karena dipandang sebagai orang yang kotor, kumuh, dan
berpenyakitan, sehingga tidak mengherankan jika kemiskinan
menjadi pintu masuknya kejahatan dengan alasan masalah ekonomi.
Demikian pula, menurut Stott (dalam Aliyanto, 2021) bahwa salah
satu pendekatan orang Kristen terhadap problema kemiskinan
adalah menstimulasi baik akal maupun emosi kita secara simultan
untuk mencari dasar-dasar penanggulangan kemiskinan dengan
menghadirkan Teisme, Mesianisme dan Aksiologisme yang demikian
menjadi tugas dari setiap manusia yang sudah mendapatkan
anugerah pengampunan dari Allah. Bagi Aliyanto, agama menjadi
harapan pertama dan terakhir dalam menghadapi masalah sosial dan
sesungguhnya menurut Berger bahwa agama sebagai realitas sosial
memiliki keterkaitan erat dengan pembangunan dan pemeliharaan
dunia. Demikian pula, Bellah mengartikulasikan nada yang sama
bahwa kontribusi paling fundamental dari agama adalah
memperjuangkan keadilan sosial. Meskipun ada kekecewaan karena
acapkali agama memainkan peran destruktif, tetapi agama terus
memberi makna dalam kehidupan dan akan terus memainkan peran
publik dalam masyarakat modern. Sesungguhnya, kedua pandangan

--16--
tersebut ingin menandaskan perihal urgensi agama dan orang-orang
beragama di tengah konstalasi kehidupan dari zaman ke zaman.
Aroma harum diskursus epitemologi Profetik juga terlihat
dalam “Ilmu Sosial Profetik (ISP) Kuntowijoyo (2008) ketika
mengkaji realitas secara ilmiah terhadap sebuah teks ayat Al-Qur’an,
yang berbunyi: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah” (Ali Imron, 3: 110). Menurutnya,
beberapa nilai filosofis yang terkandung pada ayat ini, yakni
“masyarakat utama” (khairu ummah), “kesadaran sejarah” (ukhrijat
linnas), “liberasi” (amr ma’ruf), “emansipasi” (nahy munkar), dan
“transendensi” (al-iman billah), merupakan konstruk teoritis yang
dapat dielaborasi untuk memahami realitas sosial. Dalam konteks
inilah, maka menurut Federspiel (1998) Kuntowijoyo berhasil
menggabungkan metodologi Barat, historikal Inggris Arnold
Toynbee, Sosiolog Hans Jerman, serta neo-fundanemtalis Iqbal dan Ali
Shariati yang sangat berarti bagi generasi intelektual muslim.
Demikian pula keperkasaan paradigma Profetik dalam konteks
ekonomi diuraikan secara spektakuler oleh Monif dan Kamaluddin
(dalam Peribadi, 2015) dalam bukunya: “Rasulullah’S Business
School” yang menunjukkan bagaimana mengubah kemiskinan
menjadi kekayaan dan membangun mental berani kaya berani
takwa? Dalam buku mega best seller ini digambarkan beberapa
tahapan strategis:
”Pertama, proses pencerahan perseptual dan perspektual
dalam konteks Allah menjamin rezeki, meraih keberkahan
harta, kebutuhan terhadap uang, kemuliaan harta, fitnah harta
yang bakal mengancam, bekerja dan meraih harta yang halal,
akibat harta yang haram, makna kekayaan sejati dan
keberadaan semua orang yang tidak sama derajatnya. Ketika
memahami semua komponen takwa yang handal ini, maka
pada gilirannya akan membuahkan sebuah prinsip dan
motivasi “Berani Kaya Berani Takwa”.

Kedua, entrepreneur gaya khas Rasulullah menapaki 14


langkah dalam membangun kerajaan bisnis, yakni: memahami
makna kebebasan di sekolah alam, belajar mandiri sejak dini,
mengasah jiwa kepemimpinan sejak kecil, menghargai proses,
tahan banting dan siap menghadapi perubahan hidup,

--17--
memupuk dan memiliki keberanian, berani berpetualang,
memiliki loyalitas, tekun dan istiqamah, percaya diri, egaliter
dan membangun jaringan, berempati kepada orang, arif dan
bijaksana, mempercayai god factor dengan selalu berdoa
kepada-Nya.

Ketiga, menyingkap 12 rahasia bisnis Rasulullah antara lain:


bekerja sebagai ladang menjemput surga, kejujuran dan
kepercayaan tidak boleh ditawar, bermimpi dan mewujudkan
mimpi, visioner, kreatif dan siap menghadapi perubahan,
memiliki planning dan goal, cerdas mempromosikan diri,
menggaji karyawan sebelum kering keringatnya, bekerja
dengan cerdas, mengutamakan sinergisme, berbisnis dengan
cinta, pandai bersyukur dan berterima kasih, serta merupakan
manusia yang paling bermanfaat. Ikhwal keperkasaan
epitemologi Profetik ini juga diungkap oleh Ippho Santosa
(2014) dalam bukunya yang mega best seller: “Percepatan
Rezeki Dalam 40 Hari Dengan Otak Kanan”. Menurutnya,
keajaiban ke-8 yang dapat menggerakkan 7 keajaiban rezeki
adalah sebuah keyakinan sempurna yang bukan sembarang
jenis keyakinan yang disebut “Prisma Paripurna dan
bersumber dari: (1) yakin akan keberadaan Allah; (2) yakin
akan kekuasaan Allah; (3) yakin akan janji-janji Allah; (4) yakin
apa yang diajarkan dan dianjurkan Allah; dan (5) yakin atas
segala sesuatu dari Allah adalah yang terbaik.

Keempat, menyingkap kekayaan Rasulullah yang sukses


gemilang digapai ketika masih usia muda, karena faktor modal
“cinta”, energi cinta Muhammad-Khadijah, kedahsyatan energi
cinta baginda Rasulullah Muhammad Saw. Hakekat dan urgensi
cinta, hubungan antara bisnis, cinta dan kesuksesan, modal
mencintai diri sendiri, mencintai waktu, mencintai pekerjaan,
mencintai konsumen, mencintai bawahan, mencintai pimpinan
dan mencintai pesaing. Hal ini dicontohkan oleh Agustian di
dalam bukunya Spritual Company yang terhimpun dari
sebanyak 40 artikelnya sejak 2 Maret 2008 sampai 8 Februari
2009 yang menunjukkan lima resep Kolind dalam
membangkitkan Oticon dari perusahaan yang terseok-seok
menjadi perusahaan terdepan dengan lima modal utama, yakni

--18--
(1) semboyan “utamakan orang” (people first); (2) ciptakan
kemitraan dengan staf, pemasok dan pelanggan. Untuk ini,
Oticon mengajak seluruh stafnya (sekitar 1.100 orang) menjadi
pemilik bersama; (3) bangun organisasi kolaboratif. Langkah
terjemahannya adalah menghapuskan organisasi, departemen,
jabatan, dan prosedur-prosedur formal, bahkan kantor dan
kertas; (4) lupakan manajemen konvensional dan arahkan
dengan visi dan nilai-nilai; dan (5) wujudkan itu semua melalui
proses perubahan yang dirancang dengan hati-hati.

Kelima, akhirnya, Monif dan Kamaluddin (2014) menawarkan


3 pil anti kemiskinan, yakni: (1) siapa yang memberi, maka
akan banyak menerima; (2) Takwa dan Tawakal merupakan
kunci pembuka pintu rezeki dan jalan keluar bagi setiap
persoalan hidup; dan (3) keampuhan terapi hijrah akan
memperoleh rezeki yang melimpah ruah”.

Fakta empirik dan historikal menunjukkan bahwa potensi


fakultas otak dan fakultas rohani yang handal serta ketangguhan
pribadi dan ketangguhan sosial yang tegar, karena ditempah dan
tercerahkan oleh paradigma pendidikan Profetik yang membebaskan
dan memerdekakan. Maka pantaslah jika Nabi Muhammad
menyandang predikat sebagai Maha Guru di atas maha guru lainnya.
Dan ikhwal itulah kemudian yang mengilhami Hart (1993) dalam
bukunya: “100 Tokoh Paling Berpengaruh Di Dunia”, sehingga
menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin nomor
wahid di antara 100 tokoh dunia ternama yang paling berpengaruh
di gelanggang sejarah kepemimpinan dunia.
Betapa selama ini begitu sempurnanya sebuah perencanaan
pembangunan partisipatif, tetapi tidak mampu membuahkan hasil
maksimal. Karena para pelaku pembangunan, tidak memiliki
kecerdasan emosional dan kecerdasan spritual serta tidak bermental
baja dan berhati emas sebagaimana Nabi Muhammad SAW dan para
sahabatnya. Karena itulah, urgensi perjalanan spiritual "PraProfetik"
dan Saintifikasi Profetik seperti terlihat pada bagan 3 harus mulai
dikedepankan sebagai paradigma pembangunan untuk
mengantisipasi proses pemiskinan.

--19--
Bagan 3. Siklus Kepemimpinan PraProfetik dan Profetik yang
dielaborasi dari Panduan Ber Islam DPP Hidayatullah, Jakarta.

Paradigma Pesantren Hidayatullah yang dielaborasi dari Sirah


Perjuangan Nabi Muhammad SAW adalah menunjukkan status sosial
Muhammad sebagai yatim piatu, pengembala, berdagang dan berguahira
adalah menandai perjalananan spritualitas pada masa sebelum
kenabian. Sedangkan pada masa kenabian Allah SWT menurunkan
Firman-Nya secara berurutan, yakni: (1) Surat Al-Alaq sebagai landasan
filosofis; (2) Surat Al-Qalam sebagai visi misi dan strategi Peradaban; (3)
Al-Muzammil sebagai Spirit Peradaban; (4) Al-Mudatzir sebagai
Manajemen Strategi Peradaban; dan (5) Al-Fatihah sebagai Eksistensi
Peradaban Madani atau civil society (Wibowo dan Herdimansyah, 2000;
Suharsono, 2004; 2011).
Betapa menakjubkan paradigma Profetik ini yang di dalamnya
tidak hanya mengandung pelajaran (ibrah) yang penuh makna. Akan
tetapi selama ini hanya menjelma dalam sebuah kemasan cerita yang
meninabobokkan, sehingga tidak terasa khasiatnya. Akan tetapi, ketika
diskursus teori pembentukan karakter mulai mengemuka sebagai
dampak perilaku vandalisme, maka barulah kita menengok keperkasaan
paradigma Profetik seperti yang ditampilkan oleh Agustian (2003)
dalam mengembangkan metodologi training pembentukan karakternya.
Secara visual dapat dilihat dalam bagan 4.

--20--
Bagan 4. Siklus Zero Mind Process dari ESQ Ary Ginanjar
Agustian, 2000.

Akhirnya, teori dan konsep pembangunan sebagaimana


diuraikan adalah memberi dasar pijakan teoritis dan empiris.
Pertama, perspektif ESQ Power dimaksud dalam kajian ini ini adalah
bukan merupakan upaya pro-kemapanan (ortodoksi) atau pro
kepada perubahan yang keduanya saling klaim seperti diulas Adonis
(2012) dalam bukunya: ”Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam”.
Bukan pula pergulatan pemikiran seperti dimaksud Hiro (2007)
dalam bukunya: ”Pertarungan Marxisme dan Islam”. Atau seperti
dimaksud Nietzsche untuk berdamai dengan Islam sebagaimana
digagas Almond (2011). Akhirnya, bukan dalam bentuk pro kontra
atas diskursus Islamisasi Sains” seperti Fazlur Rahman yang
menganggap ilmu itu netral versus ilmuwan pendukung diskursus
”Islamisasi Sains” seperti Sayyid Qutb, Shaykh Atif al-Zayn, al-
Maududi, Syed Naquib al-Attas (Zarkasyi, 2014).
Kedua, perspektif ESQ Power dimaksud adalah nilai
spritualitas Profetik yang mencerminkan 1 (Ikhsan), 6 (Rukun Iman),
dan 5 (Rukun Islam) yang dapat mengembangkan kuantitas dan
kualitas partisipasi, terutama dari umat Islam menuju akselerasi
pembangunan ideal. Potensi kualitas diskursus berbasis ESQ Power

--21--
sudah pasti mengarahkan pengetahuan ke ranah kebenaran (truth),
prinsip rasionalitas dan moral-praktis ke ruang kebenaran normatif
(normative rightness). Demikian pula estetika modern ke dalam
kejujuran (truth-fulness) dimaksud Habermas (2006). Pada
gilirannya, spritualitas Profetik adalah tidak hanya menjadi sumber
nutrisi moralitas, tetapi semuanya dapat menjadi bahan bangunan
sosial yang dapat dirakit ke dalam diskursus pemikiran teori
kecerdasan dan teori konstruksi sosial Profetik ke depan untuk
digunakan sebagai landasan penanggulangan pemiskinan serta
pembangunan manusia seutuhnya.

B. Implementasi Teori Dan Konsep Kecerdasan

Sehubungan dengan konsep-konsep kecerdasan tersebut, maka


penulis mencoba mengutip beberapa hasil penelitian yang telah
berlangsung dengan menggunakan teori kecerdasan dimaksud.
Pertama, menurut Bangung (2020) dalam artikelnya yang berjudul
“Motivasi Berprestasi: Konsep Diri, Kecerdasan Emosional Dan
Efikasi Diri” bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan secara
simultan dan parsial antara variabel konsep diri, kecerdasan
emosional dan efikasi diri terhadap motivasi berprestasi mahasiswa.
Kedua, menurut hasil penelitian Maulana dan Suryadi (2019)
dalam artikelnya yang berjudul “Pemahaman Konsep Matematika
Ditinjau dari Tingkat Kesejahteraan Keluarga dan Kecerdasan
Emosional Siswa bahwa terdapat pengaruh tingkat kesejahteraan
keluarga terhadap pemahaman konsep matematika serta ada
pengaruh kecerdasan emosional siswa terhadap pemahaman konsep
Matematika. Demikian pula, ada hubungan antara tingkat
kesejahteraan keluarga dan kecerdasaan emosional siswa terhadap
pemahaman konsep matematika serta terdapat korelasi antara
tingkat kesejahteraan keluarga dan kecerdasan emosional siswa
terhadap pemahaman konsep matematika.
Ketiga, menurut kesimpulan hasil penelitian Nadeak (2020)
dalam artikelnya yang berjudul “Pengaruh Kecerdasan Emosional
Dan Sikap Siswa Terhadap Pemahaman Konsep Kimia bahwa
terdapat hubungan antara kecerdasan emosional dan sikap siswa
secara bersama–sama terhadap pemahaman konsep kimia siswa
SMA Negeri di Jakarta Selatan dengan kontribusi sebesar 52,2%
Demikian pula, terdapat hubungan antara antara kecerdasan

--22--
emosional terhadap pemahaman konsep kimia siswa SMA Negeri di
Jakarta Selatan dengan kontribusi sebesar 24,60% serta hubungan
antara sikap siswa terhadap pemahaman konsep kimia siswa SMA
Negeri di Jakarta Selatan dengan kontribusi sebesar 9,69%.
Keempat, menurut Masela (2019) dalam artikelnya yang
berjudul “Pengaruh Antara Konsep Diri Dan Kecerdasan Emosi
Terhadap Perilaku Prososial Pada Remaja” bahwa konsep diri dan
kecerdasan emosi berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku
prososial di mana nilai F sebesar 0, 108 pada nilai p sebesar 0,000 (p
> 0,01). Koefisien determinasi sebesar 97, sehingga hal ini berarti
kedua variabel bebas (konsep diri dan kecerdasan emosi)
memberikan sumbangan efektif secara bersama-sama sebesar 97%
kepada variabel terikat (perilaku prososial). Prosentase determinasi
menunjukkan bahwa kecerdasan emosi lebih memberikan
sumbangan efektif (0,146%) daripada konsep diri sebesar (-.456%).
Sedangkan menurut kesimpulan hasil penelitian Rahmawati (2019)
dalam artikelnya yang berjudul “Pemahaman Konsep Belajar Untuk
Mengasah Kecerdasan Majemuk bahwa terdapat sebanyak 12 siswa
yang memiliki kecenderungan pada kecerdasan natural (26%) serta
sebanyak 11 siswa yang menunjukkan kecerdasan interpersonal
(24%). Sedangkan untuk kecerdasan majemuk lainnya, tampak pada
kecerdasan linguistic (bahasa) sebanyak 1 orang (2%), kecerdasan
logical-mathematical (logika angka) sebanyak 4 orang (9%),
kecerdasan musical (musik) sebanyak 6 orang (13%), kecerdasan
bodily-kinetsthetic (gerak) sebanyak 5 orang (11%), kecerdasan
spatial-visual sebanyak 1 orang (2%), dan kecerdasan intrapersonal
sebanyak 6 orang (13%). Kegiatan psikoedukasi yang dilaksanakan
ini menunjukkan peningkatan pemahaman orangtua terhadap
pemahaman mengenai kecerdasan majemuk anak. Psikoedukasi ini
diharapkan dapat memberikan wawasan pada orangtua mengenai
konsep belajar yang tepat agar dapat digunakan sesuai dengan
kecerdasan majemuk yang dimiliki.
Kelima, menurut hasil penelitian Setyawan (2020) dalam
artikelnya yang berjudul “The Effect Of Miniature Home, Pictures,
And Spatial Intelligences On Students’ Understanding Of Geometric
Space Concepts” bahwa (1) ada pengaruh yang signifikan
menggunakan miniatur rumah, gambar, dan kecerdasan spasial pada
pemahaman siswa tentang konsep spasial, (2) ada pengaruh yang
signifikan dari tingkat kecerdasan spasial dalam memahami konsep

--23--
ruang. Kelompok siswa yang memiliki kecerdasan spasial tinggi
mendapatkan hasil belajar ruang geometrik lebih baik daripada
kelompok siswa yang memiliki kecerdasan spasial rendah, dan (3)
tidak ada pengaruh interaktif antara pembelajaran menggunakan
rumah miniatur sebagai media dan gambar sebagai media dan
kecerdasan spasial siswa pada subjek ruang geometris untuk siswa
pertama sekolah dasar.
Keenam, menurut hasil penelitian Widiari (2019) dalam
artikelnya yang berjudul “Pengaruh Pembinaan Rohani Hindu
Terhadap Mental Spiritual, Kecerdasan Emosional Dan Konsep Diri
Pada Narapidana Di Lembaga Pmasyarakatan Kelas Ii A Kerobokan
bahwa: (1) terdapat pengaruh signifikan pembinaan rohani Hindu
terhadap mental spiritual (4,951˂3,125); (2) terdapat pengaruh
signifikan pembinaan rohani Hindu terhadap kecerdasan emosional
(83,497˂3,125); (3) terdapat pengaruh signifikan pembinaan rohani
Hindu terhadap konsep diri (3,913˂3,125); (4) terdapat pengaruh
signifikan mental spiritual terhadap kecerdasan emosional
(4,831˂3,125); (5) terdapat pengaruh signifikan mental spiritual
terhadap konsep diri (8,173˂3,125); (6) terdapat pengaruh
signifikan kecerdasan emosional terhadap konsep diri
(3,739˂3,125). Kesimpulan dari penelitian Widiari (2019) ini adalah
bahwa ada pengaruh pembinaan rohani Hindu terhadap mental
spiritual, kecerdasan emosional, dan konsep diri narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kerobokan.
Ketujuh, dalam perspektif Islam, maka menurut Zubaidillah
(2020) dalam artikelnya yang berjudul “Kecerdasaran Suprarasional:
Konsep Uli al-Abshâr, Uli an-Nuhâ dan Uli al-Albâb dalam Alquran
Perspektif Jalaluddin” bahwa kecerdasan yang hakiki menurut
Jalaluddin adalah kecerdasan hati sebagai tingkat kemampuan untuk
memahami. Proses penanaman nilai tauhid yang suci sejak awal akan
sangat mempengaruhi terhadap produk akal manusia. Proses
tersebut akan menghasilkan akal yang cerdas dan hati yang suci.
Sinergitas keduanya akan berpengaruh kuat terhadap pembentukan
kecerdasan suprarasional. Dalam Alquran konsep kecerdasan
manusia selalu dikaitkan dengan nilai-nilai spiritual yang bersumber
dari nilai kesucian fitrah yang ada dalam diri manusia. Menurut
Jalaluddin (dalam Zubaidillah, 2020) bahwa informasi Al Quran yang
mengacu kepada kecerdasan ini terkandung dalam tiga konsep
utama, yakni: Uli al-Abshar, Uli an-Nuha dan Uli al-Albab. Ketiganya

--24--
dapat dimaknai sebagai orang yang berakal sehat disertai dengan
hati yang bersih, selalu dikaitkan dengan nilai-nilai spiritual yang
bersumber dari fitrah.
Kedelapan, menurut Piaget yang dikutip oleh Suyono (dalam
Ismail, 2018) bahwa Piaget membagi skema yang digunakan anak
untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang
berkorelasi dan semakin canggih seiring dengan pertambahan usia.
Tahap Sensorimotor (sensorimotor stage), yang berlangsung dari
kelahiran hingga usia 2 tahun, merupakan tahap pertama Piaget.
Pada tahap ini, bayi membangun suatu pemahaman tentang dunia
dengan mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensoris
(seperti melihat dan mendengar) dengan tingkatan-tingkatan
motorik fisik. Oleh karena itulah istilahnya sensorimotor. Pada
permulaan tahap ini, bayi yang baru lahir memiliki sedikit lebih
banyak daripada pola-pola refleks. Pada akhir tahap, anak berusia 2
tahun memiliki pola-pola sensorimotor yang kompleks dan mulai
beroprasi dengan simbol-simbol primitif. Tahap praoperasional
(preoperational stage), yang berlangsung kira-kira usia 2 hingga 7
tahun, merupakan tahap kedua Piaget. Pada tahap ini, anak-anak
mulai melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar.
Pemikiran simbolis melampaui hubungan sederhana antara
informasi sensor dan tindakan fisik. Akan tetapi, walaupun anak-
anak prasekolah dapat secara simbolis melukiskan dunia, menurut
Piaget, mereka masih belum mampu untuk melaksanakan apa yang
Piaget sebut “operasi (operation)” tindakan mental yang
diintranalisasikan yang memungkinkan anak-anak melakukan secara
mental apa yang sebelumnya dilakukan secara fisik. Tahap
oprasional konkret (concrete operational stage), yang berlangsung
kira-kira dari usia 7 hingga 11 tahun, merupakan tahap ketiga Piaget.
Pada tahap ini anak-anak dapat melakukan operasi, dan penalaran
logis menggantikan pemikiran intuitif sejauh pemikiran dapat
diterapkan ke dalam contoh-contoh yang spesifik atau konkrit.
Misalnya, pemikir oprasional konkrit tidak dapat membayangkan
langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu
persamaan aljabar, yang terlalu abstrak untuk dipikirkan pada tahap
perkembangan ini. Tahap operasional formal (formal operational
stage), yang tampak dari usia 11 sampai 15 tahun, merupakan tahap
keempat dan terakhir Piaget. Pada tahap ini individu melampaui
dunia nyata, pengalaman-pengalaman konkrit dan berfikir secara

--25--
abstrak dan lebih logis.1 Sebagai bagian dari pemikiran yang lebih
abstrak, anak-anak remaja mengembangkan gambar keadaan yang
ideal. Mereka dapat berfikir tentang seperti apakah orang tua mereka
dengan standar ideal ini. Mereka mulai mempersiapkan
kemungkinan-kemungkinan bagi masa depan dan terkagum-kagum
terhadap apa yang dapat mereka lakukan. Dalam memecahkan
masalah, pemikiran operasional formal ini lebih sistematis,
mengembangkan hipotesis tentang mengapa sesuatu terjadi seperti
itu, kemudian menguji hipotesis ini dengan deduktif.
Kesembilan, menurut Thomas R. Hoerr (dalam Syarifah,
2019) bahwa tes Intelligence Quotient (IQ) tersebut hanya mengukur
kecerdasan secara sempit karena hanya menekankan pada
kecerdasan linguistik dan matematis-logis (akademis). Walaupun tes
standar yang terfokus pada kecerdasan akademis tersebut dapat
memperkirakan keberhasilan anak di sekolah, namun tidak bisa
memperkirakan keberhasilan seseorang di dunia nyata, karena
keberhasilan di dunia nyata saat ini mencakup lebih dari sekedar
kecakapan linguistik dan matematis-logis. Dengan demikian, ada
kecerdasan lain yang mempunyai pengaruh lebih besar terhadap
keberhasilan seseorang. Hal ini mendorong para ahli psikologi untuk
melakukan penelitian lebih lanjut yang akhirnya menemukan dua
kecerdasan lain di samping kecerdasan intelektual, yaitu kecerdasan
emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).
Kesepuluh, menurut Nasruddin (2020) dalam artikelnya yang
berjudul “Optimalisasi Pendidikan Islam Dalam Menumbuhkan
Kecerdasan Emosional” bahwa Kecerdasan emosional dalam Islam
disebut kognitif Qalbiyah karena hati merupakan pusat pendidikan
akhlak. Berkenaan dengan hal tersebut, konsep kecerdasan
emosional menurut pendidikan Islam sebagaimana dikemukan para
pakar pendidikan Islam cenderung dipahamai sebagai perwujudan
sikap-sikap terpuji dari qalbu dan akal yakni sikap bersahabat, kasih
sayang, empati, takut berbuat salah, keimanan, dorongan moral,
bekerjasama, beradaptasi, berkomunikasi dan penuh perhatian serta
kepedulian terhadap sesama mahluk ciptaan Tuhan. Secara
metodologis strategi pendidikan Islam dalam menumbuhkan
kecerdasan emosional menekankan domaian pentingnya peranan
komponen pendidikan yang mencakup lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat sebagai basis utama
pembentukan kecerdasan emosional anak didik dalam proses

--26--
pendidikan. Kemudian Nasruddin mengutip pandangan Daniel
Goleman yang mengatakan bahwa kecerdasan emosional
mengandung beberapa pengertian. Pertama, kecerdasan emosi tidak
hanya berarti bersifat ramah, pada saat-saat tertentu yang
diperlakukan mungkin bukan sikap ramah, melainkan sikap tegas
yang barangkali memang tidak menyenangkan, tetapi
mengungkapkan kebenaran yang selama ini dihindari. Kedua,
kecerdasan emosi bukan berarti memberikan kebebasan kepada
perasaan untuk berkuasa memanjakan perasaan, melainkan
mengelola perasaan sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif
yang memungkinkan orang bekerjasama dengan lancar menuju
sasaran bersama.

C. Zakat dan Kemiskinan

Kini, kegiatan memberi seperti itu biasa disebut sebagai


filantropi. Menurut James O. Midgley (dalam Irawan, 2019) bahwa
filantropi merupakan salah satu pendekatan dari tiga pendekatan
untuk mempromosikan kesejahteraan, termasuk upaya pengentasan
kemiskinan melalui pendekatan social service (social
administration), social work dan philanthropy. Filantropi sebagai
salah satu modal sosial telah menyatu di dalam kultur komunal
(tradisi) yang telah mengakar sejak lama khususnya di masyarakat
pedesaan. Fakta kultural ini menunjukkan bahwa tradisi filantropi
dilestarikan melalui pemberian derma kepada teman, keluarga, dan
tetangga yang kurang beruntung. Disamping itu, filantropi juga
merupakan salah satu unsur dalam ajaran agama yang
memperhatikan masalah duniawi terutama masalah kemiskinan.
Karena itulah, maka secara fungsional agama memegang peranan
penting dalam kehidupan masyarakat, baik bagi masyarakat
tradisional maupun modern. Dalam konteks ini, agama merupakan
tempat mereka mencari makna hidup yang final dan ultimate,
sehingga segala bentuk perilaku dan tindakan selalu berkiblat pada
tuntunan agama (way of life). Artinya, agama tidak hanya menuntun
umatnya untuk mengurusi kehidupan ukhrowi (akhirat) saja, tetapi
juga menyangkut kehidupan duniawi terutama masalah-masalah
sosial seperti kemiskinan.

--27--
Zakat sebagai konkritisasi dari makna filantropi dimaksud,
maka menurut Ali (dalam Irawan, 2019) bahwa tujuan zakat adalah:
(1) mengangkat derajat fakir miskin; (2) membantu memecahkan
masalah para gharimin, ibnu sabil dan mustahik lainnya; (3)
membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam
dan manusia pada umumnya; (4) menghilangkan sifat kikir dan loba
para pemilik harta; (5) menghilangkan sifat dengki dan iri
(kecemburuan sosial) dari hati orang-orang miskin; (6)
menjembatani jurang antara si kaya dengan si miskin di dalam
masyarakat; (7) mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada
diri seseorang terutama yang memiliki harta; (8) mendidik manusia
untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak
orang lain padanya; (9) sarana pemerataan pendapatan untuk
mencapai keadilan social.
Adapun salah satu kesimpulan dari hasil penelitian Irawan
(2019) bahwa zakat mempunyai fungsi ekonomi dalam
mengentaskan kemiskinan bahkan zakat memberi pengaruh
signifikan terhadap makro ekonomi. Namun dalam kenyataannya,
fungsi ekonomi zakat ini belum bisa optimal dalam mengentaskan
kemiskinan sebagai akibat dari pengelolaan yang kurang
professional, sehingga peran negara sangat diperlukan dalam
mengelola zakat. Peran ini bisa terwujud apabila ada reorientasi
pemahaman zakat dan pengelolaan zakat untuk mengedepankan
pemberdayaan secara optimal. Dalam hal ini perlu sinergi yang
dinamis antara pemerintah dan masyarakat dalam optimalisasi
peran zakat dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Meskipun
demikian, ketika sang aktor dan aktris pembangunan dan Pronangkis
dari kalangan pemerintah dan stakeholder belum memiliki IESQ
Power, maka semuanya dapat dipastikan akan berlangsung tidak
efektif dan tidak efisien.
Filantropi Islam (ZISWAF) sebagai resolusi pengentasan
kemiskinan juga ditawarkan oleh Rizal dan Mukoramah (2021)
dalam artikelnya yang berjudul “Filantropi Islam: Solusi Atas
Masalah Kemiskinan Akibat Pandemi Covid-19”. Menurutnya,
filantropi Islam mampu menjadi solusi bagi masyarakat atas masalah
kemiskinan yang terjadi. Upaya pengentasan kemiskinan yang dapat
dilakukan adalah dengan mengelola dana yang telah diperoleh dari
ZISWAF dengan baik dan dengan pengelolaan yang sifatnya
produktif. Walaupun demikian harus ada sebagian dana yang

--28--
diberikan kepada masyarakat yang bersifat konsumtif. Ketika dana
ZISWAF dikelola dengan baik dan benar-benar produktif, maka dana
tersebut tidak akan habis sampai kapanpun dan bahkan mampu
berkembang, sehingga pemanfaatanya akan semakin besar dan luas.
Sedangkan dana ZISWAF yang bersifat konsumtif, juga dapat
meningkatkan permintaan dan daya beli masyarakat, sehingga
masyarakat semakin sejahtera. Sementara dana yang bersifat
produktif mampu meningkatkan kegiatan investasi dan produktifitas
perusahaan (kegiatan bisnis), sehingga juga mampu meningkatkan
penggunaan tenaga kerja penuh (mengurangi pengangguran) dan
pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan serta mengurangi
kemiskinan.
Searah dengan itu, upaya menganalisa dampak pendistribusian
ZIS dalam mereduksi tingkat kemiskinan dan mempercepat proses
pengentasan kemiskinan, maka Kholid (2019) melakukan studi kasus
terhadap Lembaga Amil Zakat Daerah Amal Insani (LAZDAI) dan
DPU-DT Lampung yang kemudian dituangkan dalam artikelnya yang
berjudul “Dampak Zakat, Infak Dan Sedekah (ZIS) Terhadap
Penurunan Tingkat Kemiskinan”. Pertama, secara umum
pendayagunaan ZIS oleh LAZDAI dan DPU-DT di Bandar Lampung
berimplikasi positif dalam mengurangi tingkat kemiskinan rumah
tangga mustahik yang meliputi jumlah kemiskinan (poverty
incidence), tingkat kedalaman kemiskinan dan tingkat keparahan
kemiskinan. Pasca distribusi ZIS, jumlah kemiskinan (poverty
incidence) mengalami penurunan meskipun presentase
penurunannya sangat kecil, hanya sekitar 1,37 persen. Hal ini dapat
dilihat dari berkurangnya nilai headcount index dari 0,785 menjadi
0,774 setelah ZIS didistribusikan. Sedangkan dari aspek kedalaman
kemiskinan, distribusi ZIS mampu mengurangi defisit pendapatan
rumah tangga miskin dengan garis kemiskinan yang diindikasikan
oleh penurunan nilai poverty gap dan income gap masing-masing
sebesar 8,17 persen. Adapun dari sisi keparahan kemiskinan,
program ZIS mampu memperbaiki distribusi pendapatan di antara
rumah tangga miskin yang ditandai dengan menurunnya nilai indeks
Sen dan indeks FGT masing-masing sebesar 7,76 persen dan 13,82
persen.
Kedua, Pasca distribusi ZIS, kelompok rumah tangga yang
insiden kemiskinannya mengalami penurunan terbesar adalah
kelompok rumah tangga dengan kepala keluarga berjenis kelamin

--29--
perempuan, berstatus orang tua tunggal, berusia 45-64 tahun,
berpendidikan rendah (SD), berprofesi lain-lain, dan beranggotakan
4-6 orang anggota keluarga. Ketiga, selain mengurangi jumlah
kemiskinan, tingkat kedalaman kemiskinan dan tingkat keparahan
kemiskinan, pendayagunaan ZIS oleh LAZDAI dan DPU-DT di Bandar
Lampung juga berimplikasi positif dalam mempersingkat waktu
pengentasan kemiskinan sebesar 1,1 tahun dari 14,2 tahun menjadi
13,1 tahun. Keempat, Kelompok rumah tangga yang mampu
mempersingkat waktu pengentasan kemiskinan lebih besar melalui
instrument ZIS adalah kelompok rumah tangga dengan kepala
keluarga berjenis kelamin perempuan, berstatus orang tua tunggal,
berusia di atas 64 tahun, tidak pernah sekolah, berprofesi sebagai ibu
rumah tangga, dan beranggotakan 1-3 orang anggota keluarga.
Serentetan dengan beberapa pemikiran filantropis tersebut,
maka bagi Rahman dan Masrizal (2019) dalam artikelnya yang
berjudul “Peran Zakat Dalam Mengentaskan Kemiskinan Di
Indonesia” bahwa semua program yang telah ditempuh oleh
pemerintah masih belum dirasakan secara optimal oleh masyarakat.
Upaya dan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah tidak akan
mampu berhasil tanpa didorong dengan instrument lainnya, dan
salah satu instrument dimaksud adalah zakat bagi sebuah negara
yang mayoritas Islam seperti Indonesia yang memiliki potensi besar
dalam penghimpunan dana zakat, meskipun potensi tersebut belum
teroptimalkan. Oleh karena itu sudah saatnya pengelolaan zakat
diintervensi oleh pemerintah agar potensi yang besar tersebut dapat
disalurkan dengan efektif.
Zakat merupakan salah satu penyangga tegaknya Islam dan
merupakan kewajiban bagi pemeluknya. Tujuan utama dari zakat
adalah untuk mencapai keadilan sosio-ekonomi. Sehubungan dengan
dimensi ekonomi dari zakat adalah bertujuan untuk mencapai efek
menguntungkan pada beberapa dimensi seperti konsumsi agregat,
tabungan dan investasi, penawaran agregat tenaga kerja dan modal,
pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi. Dengan
demikian zakat dapat membantu pemerintah dalam mengentaskan
kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan kajian potensi dan tujuan
zakat ini, maka diperlukan kerjasama antara pemerintah, amil zakat
dan masyarakat untuk mewujudkan pembangunan zakat serta
mewujudkan tujuan zakat yang mulia itu. Karena ZIS tidak hanya

--30--
berpotensi memberantas kemiskinan, tetapi juga membangun
perekonomian untuk kesejahteraan penduduk secara keseluruhan.
Menurut Fitri (2017) dalam artikelnya yang berjudul
“Pengelolaan Zakat Produktif sebagai Instrumen Peningkatan
Kesejahteraan Umat” berkesimpulan bahwa zakat adalah bentuk
ibadah yang diwajibkan bagi setiap umat Islam yang mampu yang
dalam pelaksanaannya terkandung dimensi sosial ekonomi yaitu
berupa praktik redistribusi pendapatan dari mereka yang mampu
(muzakki) kepada mereka yang tidak mampu (mustahik). Dengan
demikian dalam agama Islam telah berlaku prinsip bagaimana upaya
meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidup manusia. Tentu saja
sebagai negara muslim terbesar potensi zakat di Indonesia apabila
dikelola dengan baik dan penuh amanah, maka dapat menjadi
sumber daya ekonomi untuk usaha-usaha peningkatan kesejahteraan
manusia. Ini artinya zakat merupakan instrumen bagi peningkatan
kesejahteraan umat. Sementara konsepsi zakat sebagai instrumen
peningkatan kesejahteraan umat dapat diimplementasikan dengan
penerapan skema pemberian zakat untuk kegiatan produktif.
Penerapan skema ini dapat dibenarkan menurut syariat Islam selama
kebutuhan dasar bagi para mustahik sudah terpenuhi. Demikian
pula, sejumlah badan atau lembaga pengelola zakat di beberapa kota
di Indonesia yang telah menerapkan manajemen secara baik dan
modern telah menjalankan skema pendistribusian dana zakat
produktif (pemberdayaan ekonomi) berdampingan dengan dana
zakat produktif (perlindungan sosial). Sebagian besar tujuan
pendayagunaan dana zakat untuk kegiatan ekonomi produktif adalah
untuk meningkatkan kemandirian sosial ekonomi para mustahik
agar dapat bertransformasi menjadi muzakki ke depan. Artinya,
penggunaan dana zakat untuk kegiatan ekonomi produktif adalah
sebuah konsepsi untuk memandirikan penerima zakat secara sosial
ekonomi dengan maksud untuk merubah dari penerima zakat
menjadi pembayar zakat. Skema pelaksanaan dari konsep ini adalah
membangun atau menumbuhkan unit usaha pada diri penerima
zakat melalui pemberian dana hibah untuk modal usaha. Dalam satu
siklus produksi tertentu, penerima zakat juga akan mendapat
pendampingan dan bimbingan teknis dari lembaga pengelola zakat
agar rencana membentuk unit usaha berhasil dan penerima zakat
memiliki sumber pendapatan yang permanen.

--31--
Upaya menyorot lebih lanjut perspektif agama terhadap
kemiskinan, maka menurut Nugroho (2019) dalam artikelnya yang
berjudul “Gereja dan Kemiskinan: Diskursus Peran Gereja di Tengah
Kemiskinan” memberi abstraksi bahwa permasalahan kemiskinan
bukan hanya menjadi masalah lokal, namun menjadi masalah yang
digumulkan oleh dunia. Karena itu, gereja sebagai mandataris Tuhan
di tengah dunia, dituntut untuk dapat berperan dalam membantu
masalah kemiskinan. Bagaimanakah sewajarnya gereja berperan di
tengah kemiskinan masyarakat? Dengan menggunakan metode
deskriptif analisis serta meminjam pemikiran Karl Marx untuk
menelisik peran gereja dalam membantu mengatasi permasalahan
kemiskinan, maka bagi Nugroho bahwa sesungguhnya panggilan
gereja adalah menyuarakan ketidakadilan dan penindasan hak-hak
orang miskin. Artinya, gereja hadir untuk berpihak kepada yang
lemah, tidak berdaya, miskin, dan yang terpinggirkan. Jika gereja
tidak memiliki keperpihakan kepada yang lemah, maka kehadiran
gereja tidak memiliki makna.
Nugroho (2019) menandaskan bahwa gereja perlu terus
menerus menyuarakan kritik profetisnya tanpa pandang bulu
terhadap berbagai penyalahgunaan kekuasaan, terjadinya
ketidakadilan, terampasnya hak-hak masyarakat, dan terhadap
sistim yang menindas serta memiskinkan manusia. Spiritualitas dan
religiusitas jemaat juga harus sampai kepada sebuah kesalehan
sosial, karena energi spiritual yang dimiliki jemaat mampu untuk
mendorong kepeduliannya pada berbagai persoalan kehidupan
masyarakat. Spiritualitas seperti inilah yang harus menjadi perhatian
gereja dalam membangun kehidupan jemaat. Salib harus dipahami
sebagai refleksi atas penderitaan dan kematian Kristus, namun di
saat yang sama pula harus mampu membuka mata dan telinga akan
penderitaan, kesengsaraan dan pengharapan manusia akan harkat
dan martabatnya sebagai manusia.
Secara lebih praktikal, maka menurut Aprianto (2017) dalam
artikelnya yang berjudul “Kemiskinan Dalam Perspektif Ekonomi
Politik Islam bahwa ketika disorot dari perkembangan ekonomi dan
keuangan syariah yang ada saat ini, maka terdapat tiga tipologi yang
telah berkembang. Ketiga tipologi tersebut antara lain: 1) Oil-driven
Islamic economic (IE) system; 2) State-driven IE system; dan 3)
Society-driven IE system. Pertama, munculnya IE system melalui
industri perbankan dan keuangan syariah dipicu oleh booming harga

--32--
minyak di awal dekade 1970-an. Akibatnya, negara-negara penghasil
minyak terutama negara-negara di kawasan Timur Tengah memiliki
dana yang berlimpah. Dana ini kemudian digunakan untuk
mendirikan bank syariah. Bermunculanlah bank-bank syariah di
periode ini, termasuk pendirian lembaga multilateral Islamic
Development Bank (IDB) pada tahun 1974.
Pada tipologi kedua, yang menjadi triggering factor-nya adalah
inisiasi kebijakan negara. Dalam hal ini, negaralah yang mengambil
langkah konkrit untuk mengembangkan industri perbankan dan
keuangan syariah, serta menjadikannya sebagai proyek resmi negara.
Pioner pendekatan state-driven ini adalah Malaysia. Pemerintah
Malaysia-lah yang mengambil inisiatif mendirikan Lembaga Tabung
Haji pada tahun 1969 dan Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB)
sebagai bank syariah pertama di negeri tersebut pada tahun 1983.
Pada tipologi ketiga, yang menjadi inisiator pendirian institusi
perbankan dan keuangan syariah adalah inisiatif masyarakat.
Indonesia adalah contoh negara yang mendirikan institusi perbankan
dan keuangan syariah atas usulan masyarakat. Berdirinya Bank
Mualamat Indonesia pada tahun 1992 tidak lepas dari peran dan
inisiasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia (ICMI) yang kemudian didukung oleh banyak
komponen masyarakat pada saat itu.
Searah dengan itu, ketika ditelaah dari sudut pandang ekonomi
politik Islam, maka ada dua poros strategi ekonomi politik yang
dapat diupayakan untuk meredam pembengkakan kemiskinan.
Pertama, kebijakan tidak langsung (indirect policies) dengan jalan
membenahi infrastruktur penyebab kemiskinan melalui jalur politik.
Pengertian infrastruktur di sini adalah situasi ketidaksepadanan
antar pelaku ekonomi, baik oleh karena kemampuan nilai tawar yang
berbeda maupun kepemilikan aset produktif yang tidak
proporsional. Kedua, kebijakan langsung (direct policies) yang
mengaitkan kelembagaan dengan strategi pengurangan kemiskinan.
Berbeda dengan pendekatan neoklasik yang menganggap bahwa
pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan akan mengalir
dengan sendirinya melalui jalur pasar (market mechanism), akan
tetapi pendekatan kelembagaan beranggapan bahwa pertumbuhan
ekonomi dan distribusi tidak dapat diserahkan kepada pasar
sehingga diperlukan intervensi pemerintah.

--33--
Akhirnya, menurut Hakim dan Syaputra (2020) dalam
artikelnya yang berjudul “Al-Qur’an dan Pengentasan Kemiskinan”
bahwa Al-Qur’an di dalam menjelaskan keadaan faqir dan miskin
tidak bertolak dari ada atau tidaknya harta benda yang dimiliki oleh
orang faqir dan miskin, melainkan pada besar atau kecilnya potensi
yang dimiliki oleh masing-masing pihak di dalam melepaskan diri
dari masalah kemiskinan yang membelenggunya. Mengenai latar
belakang munculnya masalah kemiskinan, maka Allah SWT telah
menjelaskan bahwa Ia telah menciptakan bumi dengan segala
fasilitas yang ada di dalamnya agar dapat dimanfaatkan oleh umat
manusia, dan Allah pun telah menjamin rezeki bagi setiap makhluk
ciptaan-Nya. Jadi jika dengan segala kecukupan yang telah Allah
berikan kepada umat manusia tetapi masalah kemiskinan masih saja
muncul, maka faktor penyebabnya adalah manusia itu sendiri.
Apakah karena sikap yang tertanam pada diri seseorang seperti
malas dan tidak bersungguh-sungguh di dalam berusaha (lihat QS.
alTaubah: 105, QS. al-Mulk: 15), boros dan berlebih-lebihan (lihat QS.
al-Isra: 26-27, dan lihat QS. al-‘Araf: 31), kikir dan enggan berbagi
dengan sesama (lihat QS. al-Isra: 29, QS. al-Nahl: 71), serakah di
dalam mencari harta sehingga memunculkan kerusakan di muka
bumi (lihat QS. al-Rum: 41) Ataukah karena adanya sistem dan
struktur yang dibangun pada suatu masyarakat yang jauh dari nilai-
nilai keadilan dan penuh dengan diskriminasi dan eksploitasi (lihat
QS. al-Kahfi: 79, QS. Al Hajj: 45).
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang wajib dipenuhi oleh
setiap muslim sebagai perwujudan ibadah seseorang kepada Allah
SWT dan sekaligus perwujudan dan rasa kepedulian sosial (ibadah
sosial). Karena itu, zakat merupakan salah satu rukun yang bercorak
sosial ekonomi dari lima rukun Islam. Bagi seseorang yang
melaksanakan zakat adalah berarti mempererat hubungannya
kepada Allah SWT dan hubungannya dengan sesama manusia. Zakat
merupakan ibadah Maliyah yang mempunyai dimensi sosial ekonomi
dan pemerataan karunia Allah SWT serta juga merupakan solidaritas
sosial, pengikat hubungan batin antara golongan kaya dan miskin,
dan sebagai penghilang jurang yang menjadi pemisah antara
golongan yang kuat dan golongan yang lemah. salah satu ayat
AlQur’an yang menyejajarkan zakat dengan ibadah shalat
sebagaimana firman Allah: َ

--34--
َ ‫ٱلركِع‬
‫ني‬ َ ْ َ ۡ ‫ٱلز َك ٰو َة َو‬
ِ َّٰ ‫ٱرك ُعوا م َع‬ َّ ْ ‫ٱلصلَ ٰو َة َو َءاتُوا‬ ُ ‫َوأَق‬
َّ ْ ‫ِيموا‬

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta


orang-orang yang ruku’.”

Zakat diberikan kepada Delapan Asnaf yang diantaranya yaitu


Fakir Miskin, Amil, Muallaf, Riqaab (hamba sahaya), Gharim (orang
yang memiliki hutang), Fii Sabilillah, Ibnu Sabil, orang-orang yang
sedang dalam perjalanan. Namun dari dalam beberapa golongan
tersebut, maka golongan yang paling diutamakan untuk menerima
zakat yaitu golongan Fakir dan Miskin. Keberhasilan zakat
tergantung pada pendayagunaan dan pemanfaatannya, karena
tantangan terbesar dari optimalisasi zakat adalah ketepatan
pendayagunaan dana zakat sehingga mampu menjadi solusi terhadap
problem kemiskinan. Ketika zakat apabila dikelola secara produktif,
maka akan sangat membantu dalam mengatasi masalah kemiskinan,
bahkan dapat mengatasi masalah pengangguran yang saat ini sedang
menjadi masalah di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2011 Pasal 27 zakat dapat didayagunakan untuk usaha
produktif apabila kebutuhan dasar mustahiq telah terpenuhi. Karena
itu zakat didayagunakan agar lebih produktif kembali dan dapat
menjawab serta mengurangi permasalahan perekonomian apabila
digunakan dengan strategi-strategi tertentu yang professional dan
proporsional.
Berdasarkan pada latar munculnya masalah kemiskinan
tersebut, maka penulis menyimpulkan bahwa Al-Qur’an memiliki
solusi yang komprehensif melalui tiga jalur dan dengan objek yang
berbeda. Pertama, ditujukan kepada personal umat Islam di dalam
memberikan panduan tentang sikap hidup dan tingkah laku yang
seharusnya ditanamkan pada diri setiap individu, seperti anjuran
untuk bekerja serta anjuran untuk hidup hemat dan sederhana. Di
samping itu Al-Qur’an memberikan pujian kepada orang-orang yang
mampu menahan diri dari meminta-minta (al-Ta’affuf), sehingga
orang menyangka bahwa orang itu adalah orang yang kaya (lihat QS.
Al Baqarah: 273).
Kedua, ditujukan kepada personal umat Islam umumnya dan
khususnya kepada masyarakat untuk membiasakan diri berbagi dan
memberikan pemberian kepada orang-orang yang membutuhkan,

--35--
baik pemberian yang sifatnya wajib ataupun pemberian yang
sifatnya sukarela. Pemberian-pemberian tersebut merupakan
sumber dana yang memiliki potensi yang sangat besar di dalam
mengentaskan kemiskinan jika dikelola dengan baik dan benar.
Ketiga, pesan Al-Qur’an yang ditujukan kepada para pemimpin
atau penguasa khususnya dan umumnya kepada umat Islam untuk
menegakkan keadilan dan membangun struktur sosial yang bebas
dari eksploitasi, penindasan, dan konsentrasi kekayaan pada
segelintir orang. Dan dalam struktur sosial yang seperti itulah
terdapat nilai kebenaran yang lain, yaitu keadilan di bidang sosial,
ekonomi, hukum, dan politik. Pada jalur ketiga inilah peran
pemerintah sangat dibutuhkan sebagai kontrol dan pemegang
kebijakan atas segala aktivitas ekonomi yang dijalani baik di tingkat
lokal ataupun di tingkat global, agar tidak ada satu pihak pun yang
dapat mendatangkan kerugian bagi masyarakat luas.

--36--
KETIGA

POTRET PEMISKINAN DAN KEMISKINAN


Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat (An Nisaa Ayat 58).

Secara kuantitatif, angka kemiskinan telah mengalami


penurunan yang cukup signifikan. Namun secara kualitatif, hampir
semua informan langsung menelan air liurnya ketika menyoal
permasalahan ini. Meskipun demikian, harus tetap diakui karena
indikator penanganan kemiskinan selama ini memang tampak secara
terpisah dari konteks keadilan, sehingga kesenjangan sosial ekonomi
cenderung terabaikan. Dalam perspektif ini, menurut Agusta (2012)
bahwa kemiskinan semakin terakumulasi antara kemiskinan absolut
yang sebetulnya masih tergolong tinggi, serta kemiskinan relatif yang
kian mencemaskan. Namun apa pun faktanya, kemiskinan
merupakan obyek yang terus menarik dijual untuk memperoleh
utang luar negeri, sehingga posisi bangsa kita terus mengalami
ketergantungan (dependent).
Ketika kita mengacu dari tiga teori diskursus kemiskinan, maka
menurut Agusta (2012) bahwa mengakui penurunan tingkat
kemiskinan secara kuantitatif adalah berarti sekaligus mengabaikan
ketimpangan sosial ekonomi yang demikian menganga lebar. Karena
itu, fenomena dan realitas ketimpangan sosial ekonomi antara kaum
the have dan the have not. Artinya, antara kaum bourjuis dan
proletariat dalam pandangan Marxis, atau antara komunitas Qabil
dan Habil dalam filsafat sosial Ali Shariaty. Maka sangat dibutuhkan
kejujuran dari semua pihak, terutama dari pihak pemerintah yang

--37--
harus menunjukkan strategi political will untuk menciptakan
pemerataan serta memakmurkan rakyatnya.
Seyogyanya memang kita harus hidup sejajar sebagai
perwujudan dari makna keimanan sosial, bukan segelintir orang
yang keyang dan mayoritas lainnya kelaparan dan miskin papa.
Ikhwal itulah yang seharusnya menjadi kerangka pembangunan
dalam simbolisme Kotaku yang Kubangun dengan amal, Kumiliki
dengan iman, dan Kubanggakan dengan do’a melalui peningkatan
daya pikir (Al Alaq dan Al Qalam), daya zikir (Al Muzammil) serta
peningkatan keterampilan (Al Mudatzir) seiring dengan binaan ESQ
Power yang ”berani kaya dan berani taqwa”, sehingga menjelmah
sebuah perkampungan Al Fatiha (civil society) yang penghuninya taat
mengabdi, penuh kasih sayang dan toleran serta marak dengan
kegiatan tolong menolong.

A. Potret Fenomenal Perilaku Pemiskinan

Tampaknya, proses pemiskinan berlangsung dalam berbagai


ruang sosial kehidupan masyarakat, bangsa dan negara dan negara
tercinta ini. Salah satu satunya adalah proses pemiskinan yang
berlangsung di tengah tumpukan sampah sebagaimana dinarasikan
oleh Klau (2017) dalam artikelnya yang berjudul “Masalah Sampah
Dan Budaya Pemiskinan: Studi Kasus Sampah di Maumere” bahwa
orang-orang miskin dan tertindas tampaknya terus ditindas dan
dimiskinkan, hingga akhirnya mereka harus menerima kekalahan
yang kekal. Mereka terus dipinggirkan dan digusur dari kondisi
kehidupan yang lebih manusiawi dan bahkan sampah yang menjadi
sandaran terakhir kehidupan mereka, pun masih direbut dari tangan
mereka. Ketika gagal memiliki sumber-sumber penghidupan yang
layak, maka para pemulung masih juga terpacundangi di atas
tumpukan sampah, karena mereka terpaksa harus menggantungkan
nasibnya pada sampah-sampah yang nyaris tidak memiliki nilai jual
lagi. Pasalnya, sampah-sampah yang bernilai jual sudah “diamankan”
terlebih dahulu oleh petugas Pasukan Kuning yang notabene digaji
pemerintah. Kondisi ini tentu menyedihkan dan dianggap sebagai
bentuk pemiskinan karena sampah adalah buangan yang dihasilkan
manusia dari suatu proses produksi, baik industri maupun rumah
tangga, tetapi dianggap sudah tidak berguna lagi. Namun ketika
sampah harus didaur ulang dan diolah kembali menjadi sesuatu yang

--38--
berguna, sampah pun kembali mempunyai nilai ekonomis. Ketika itu,
tumpukan sampah serentak berubah tidak saja menjadi arena adu
nasib, tetapi juga arena saling memangsa. Karena di atas tumpukan
sampah itulah, kita berjumpa dengan praktik pemiskinan tanpa akhir
yang sesungguhnya dikondisikan oleh negara dan dibiarkan oleh
Gereja.
Potret pemiskinan terjadi dalam konteks ketidakadilan gender,
sehingga analisis gender memusatkan perhatian pada ketidakadilan
struktural dan sistem yang disebabkan oleh gender. Analisis gender
sangat penting mengingat keterkaitan antara perbedaan gender dan
ketidakadilan gender dengan struktur ketidakadilan masyarakat
secara lebih luas. Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi
masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun
yang menjadi persoalan, perbedaan gender telah melahirkan
berbagai ketidakadilan, terutama bagi kaum perempuan yang
bekerja di berbagai ruang publik. Dalam konteks ini, menurut hasil
penelitian Ardhanariswari dan Marwah (2018) dalam artikelnya
yang berjudul “Analisis Gender Terhadap Peran Perempuan Perajin
Batik Gumelem Dalam Pelestarian Warisan Budaya Dan Pemenuhan
Ekonomi Keluarga” menginformasikan bahwa perempuan perajin
batik Gumelem telah menunjukkan komitmennya untuk menjaga
batik sebagai warisan budaya sekaligus mencari nafkah keluarga.
Dalam hal ini, peran sebagai pencari nafkah tidak menghilangkan
pekerjaan dalam ruang domestiknya. Padahal sebagai perajin batik,
mereka kurang memiliki akses, kontrol dan manfaat yang layak,
karena ketergantungan pada juragan batik. Mereka juga mengalami
subordinasi karena pekerjaan perempuan sebagai perajin batik tidak
dianggap sebagai pekerjaan utama sehingga hak-hak mereka banyak
terabaikan. Mereka juga mengalami marginalisasi karena upah yang
tidak pernah naik serta ancaman dari produksi batik cap. Namun
demikian, perempuan perajin batik Gumelem Banjarnegara telah
menunjukkan komitmennya untuk terus menjaga batik sebagai
warisan budaya, sekaligus juga mencari nafkah bagi keluarga.
Meskipun perempuan perajin batik Gumelem banyak mengalami
ketidakadilan gender, namun hingga saat ini produksi batik Gumelem
masih tetap terjaga dan itu semua tidak lepas dari peran hebat kaum
perempuan perajin batik di sana.

--39--
Tak pelak lagi, potret pemiskinan yang terjadi dalam konteks
alih fungsi lahan sebagaimana dideskripsikan oleh hasil penelitian
Ardiansyah (2019) dalam artikelnya yang berjudul “Analisis
Partisipatif Terhadap Sistem Kepemilikan Tanah Dan Proses
Pemiskinan Di Desa Rowosari Jember Melalui Sistem Pemetaan
Geospasial Dan Sosial” bahwa melalui pemetaan sosial dan spasial
diperoleh gambaran kemiskinan yang dihadapi oleh mayoritas
masyarakat Barat Sawah sebagai akibat berpindah tangannya lahan-
lahan pertanian di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Ketiadaan lahan dan ketidakseimbangan luas lahan pertanian yang
menjadi lahan pekerjaaan dengan jumlah tenaga kerja yang semakin
bertambah, menyebabkan mereka meninggalkan desanya yang
kemudian lahan-lahan yang ditinggalkan itu menjadi incaran para
pemilik modal untuk menginvestasikan modalnya dalam bentuk
tanah. Pada gilirannya, penguasaan lahan di desa semakin
terkonsentrasi kepada segelintir orang, sehingga tatanan sosial desa
menjadi timpang dan sistem pertanian bergeser dari produksi bahan
makanan pokok (padi, jagung, kedelai) kepada pertanian komersial
seperti tebu, tembakau atau okrah dan edamami atau tanaman
pertanian lain yang berorientasi ke pasar oleh perusahaan-
perusahaan komersil yang bergerak di bidang pertanian. Dengan
demikian, desa akan menghadapi ancaman ketahanan pangan
dengan berbagai berbagai problematikanya. Adapun langkah
penyelamatan yang bisa ditempuh dari proses pemiskinan tersebut,
adalah sangat perlu upaya melembagakan koperasi simpan-pinjam,
pengolahan pertanian dengan menggunakan sistem pertanian
organik, dan mengembangkan wisata desa dengan memanfaatkan
potensi desa berupa panorama pegunungan, air terjun, panorama
persawahan dan sungai-sungai yang mengalir membelah desa
dengan airnya yang jernih. Demikian pula, usaha peternakan dan
perikanan juga sangat bisa dikembangkan mengingat melimpahnya
air sungai dan sumber makanan hijau bagi hewan ternak dan dana
desa bisa digunakan untuk itu. Sebenarnya hutan produksi yang
mengelilingi Desa Rowosari bisa dikelolakan oleh masyarakat karena
lahan tersebut sangat luas, tetapi kebanyakan diberikan kepada
orang-orang etnis Tionghoa untuk tanaman keras seperti sengon dan
kopi dan akhirnya orang-orang desa mau tidak mau hanya menjadi
buruh upahan untuk merawat, memupuk dan memanen kopi atau
sengon tersebut.

--40--
Sesunguhnya, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang
di derita oleh seseorang dan sekelompok orang sebagai akibat dari
disfungsionalisasi struktur social, sehingga tidak dapat menggunakan
sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.
Salah satu golongan yang termasuk di dalam kategori ini adalah para
buruh dan kaum tani tak bertanah (landless) atau petani pemilik
tanah kecil/gurem yang tak mampu mencukupi kebutuhan dasarnya,
golongan buruh tak terpelajar/terlatih atau biasa disebut unskilled
laborers. Pada umumnya mereka sadar akan nasibnya yang bebeda
dengan golongan lain yang lebih baik dan di antara golongan kaum
miskin tersebut mungkin ada yang mau melepaskan diri dari
belenggu kemiskinannya dan mengusahaan kehidupan yang secara
ekonomis lebih memuaskan. Akan tetapi keinginan itu hanya dapat
dicapai secara individual dan dengan usaha yang melebihi
kemampuan rata-rata dimiliki oleh para anggota lain dalam golongan
itu. Artinya, sebagai suatu usaha yang dapat memberi keuntungan
pada seseorang belum tentu dapat diperluas agar dapat
menguntungkan seluruh golongan secara permanen. Dalam konteks
ini, menurut hasil penelitian Cahyono (2012) dalam artikelnya yang
berjudul “Konflik Kawasan Konservasi dan Kemiskinan Struktural”
menyebutkan beberapa hasil kajiannya. Pertama, struktur sosial-
ekonomi politik yang tercipta menjadi timpang karena lebih berpihak
kepada kepentingan penguasa TNUK daripada warga miskin di
sekitar kawaan TNUK. Karena itu, perlawanan warga yang dilakukan
dalam bentuk pemberontakan struktural adalah membuktikan
existensi mereka sebagai bagian tak terpisahkan dari ekosistem
TNUK yang terabaikan oleh kebijakan yang masih menganut ideologi
pembangunanisme demi pertumbuhan ekonomi dan meletakkan
hutan sebagai basis komoditas eksploitatif ekonomistik.
Kedua, proses kemiskinan struktural terjadi di sekitar dusun-
dusun pemukiman kawasan TNUK adalah disebabkan: (1) sebagai
akibat ketimpangan struktural dari kebijakan regulasi baru tentang
tapal batas yang memihak kepada penguasa dan abai pada suara
warga di sekitar kawasan sehingga makin mempersempit akses atas
SDA yang sebenarnya tersedia di sekitar mereka. (2) sebagai
konsekwensi logis dari model pengelolaan TNUK yang didominasi
pandangan dasar eko-politik yang mengabaikan dan tidak peka pada
hak hidup manusia di sekitar hutan. Model seperti ini lebih
mengutamakan kepentingan komuditas dan keuntungan ekonomistik

--41--
dari pemanfaatan produksi hutan TNUK. Pada gilirannya, seluruh
orientasi kegiatan pemberdayaan masyarakat dusun/desa hutan
justru menjauhkan masyarakat dari hal-hal yang menyangkut hutan
dan kehutanan. Sementara warga sekitar kawasan masih belum
memiliki bargaining power yang kuat berhadapan dengan penguasa
TNUK.
Kemudian, sepenggal dalam uraian berikut ini bersumber dari
buku penulis yang berjudul “Praha Kehidupan Sosial Kaum Argaris:
Sebuah Perspektif Fenomenologis (Peribadi, 2016a)”. Benarkah
pejabat yang menjadi penyebab utama bangsa dan negara yang kaya
Sumber Daya Alam (SDA) ini, menjadi under development, inferiority
dan bahkan diklaim menjadi negara miskin ? Benar atau tidak, yang
pasti bukan penjual sayur atau penjual ikan yang menjadi pelakunya,
karena mereka hanya bergumul dengan pemenuhan kebutuhan
anggota rumah tangganya sehari-hari. Karena itu, dapat dimaklumi
ketika penulis melakukan Focus Group Discussion (FGD) bersama staf
pengajar IAIN Kendari dan aktivis PNPM MP memantul sebuah
pertanyaan retoris yang membuat peserta tertawa sinis, yakni:
“Pak, kalau bangsa dan negara kita adalah kategori negara
terkorup, maka berarti pejabat merupakan kedudukan sosial
yang sangat memalukan. Akan tetapi, katanya lebih lanjut,
mengapa status sosial yang dianggap memalukan itu, justru
diperebutkan oleh banyak orang dengan mengorbankan
seluruh enersi yang dimiliki, dan bahkan cenderung
menghalalkan berbagai cara seperti yang terjadi dalam arena
Pemilukada yang tampak begitu transparan?” (FGD di Kampus
IAIN, 22 November 2014).

Betapa ironisnya, ketika banyak biaya terhambur untuk


menyoal kemiskinan dengan gaya khas kamuflase. Namun kita
terkesan berpura-pura menyepakati akar kemiskinan yang
bersumber dari pola kehidupan orang-orang miskin itu sendiri, dan
bahkan cenderung menyudutkannya dengan sewenang-wenang.
Padahal, sudah amat jelas dari perspektif ketiga aliran liberal yang
menyorot ketidakmampuan struktur serta perspektif keempat yang
menuding kaum kapitalis sebagai pelaku pemiskinan. Hal itu
ditandaskan Yeremias T. Keban (1995) bahwa kemiskinan
disebabkan oleh proses pemiskinan yang dilakoni oleh sebagian
besar “agen-agen kapitalisme global dan kapitalis domestik”.

--42--
Meskipun tidak bisa dipastikan siapa gerangan yang tergolong agen
kapitalisme itu. Akan tetapi, menurut mantan Direktur Mimbar
Perancangan Peradaban Inteleksi (MPPI) Sulawesi Tenggara dan kini
menjadi Direktur Wakil Institute Jakarta bahwa:
“Banyak komponen masyarakat yang bisa digolongkan sebagai
the agent of capitalisme di republik ini. Mereka itu, baik yang
dari kalangan penguasa dan pengusaha, maupun dari kalangan
politisi dan akademisi. Yang pasti, mereka itu telah memiliki
kekayaan yang melimpah yang diperoleh, baik melalui bisnis
dengan gaya mafianism maupun dengan pola bisnis yang
terang-terangan dengan strategi kolaborasi dengan
jaringannya (Marsudi Asinu, wawancara di Jakarta, 8
Desember 2014).

Tentu saja tidak terlalu sulit menjawab telaah skeptis dari


informan di atas, karena memang dekadensi moral telah mewabah.
Namun juga tidak terlalu mudah menjawabnya karena di tengah
perilaku kebablasan itu, masih ada segelintir anak-anak bangsa yang
berhati mulia dan prihatin atas kenestapaan bangsa ini. Memang
harus diakui sudah banyak kalangan yang terkesan pesimis, karena
beberapa institusi handal yang bisa diharap menjadi pemberangus
KKN, tetapi masih juga menuai badai ketidakpercayaan. Ironisnya
lagi, seringkali penjaga gawang moral tampil tak ubahnya “pagar
memakan tanamannya sendiri”. Tak pelak lagi, lembaga legislatif
terus berada pada posisi lembaga terkorup.
Semua informan hampir sepakat bahwa memang bangsa dan
negara kita terpuruk, tetapi pejabatnya kaya-raya dan seolah
terbahak-bahak di atas penderitaan rakyatnya. Hal itu sudah
berulang-ulang media massa memberitakan aneka kasus seputar
rekening gendut yang dimiliki oleh oknum Polisi dan pejabat, mulai
dari tingkat nasional hingga daerah. Tak terkecuali elit politik
Sulawesi Tenggara yang dibeberkan Editorial Media Indonesia ketika
menyoal “Kebut Usut Rekening Gendut” (Sabtu, 20 Desember 2014).
Namun yang terkesan lebih spektakuler adalah keberadaan PNS yang
masih seumur jagung, tetapi sudah memiliki rekening gendut
sebagaimana dihembuskan oleh Editorial Media Indonesia perihal
“PNS Muda Jorjoran Korupsi” (Rabu, 30 November 2011).

--43--
“Aksi korupsi kini sudah menyebar ke berbagai lini. Indikasi
praktik korup bahkan telah melanda pegawai negeri sipil (PNS)
berusia muda. Modus korupsi yang diindikasikan dilakukan
PNS berusia 28-38 tahun tersebut ialah mengalirkan dana ke
anak dan istri atau suami mereka melalui asuransi. Wakil
Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) Agus Santoso mengungkapkan temuan itu seusai
Seminar Nasional PPATK di Jakarta, kemarin.

"Anak-anak muda ini bersama istri-istri mereka secara aktif


mencoba menyamarkan dan menyembunyikan harta yang
didapat secara haram tersebut, utamanya melalui top-up premi
tunggal polis asuransi jiwa," papar Agus kepada wartawan. Ia
menambahkan top-up premi tersebut diberikan kepada polis
asuransi atas nama anak mereka.

Nilai penambahannya pun dahsyat, ada yang mencapai


miliaran rupiah. Jika sebelumnya mereka hanya memiliki
premi tunggal, dengan dana hasil korupsi mereka
memperbesar premi hingga menjadi Rp2 miliar per anak.
Berdasarkan temuan PPATK, uang haram yang didapat PNS
muda tersebut merupakan hasil pencucian uang dari proyek
fiktif, gratifikasi, dan suap. Namun, Agus enggan menuturkan
berapa jumlah temuan hasil korupsi PNS muda tersebut.

Padahal, berdasarkan Undang-Undang 15/2002 yang


diperbarui menjadi UU No 25 Tahun 2003 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), mereka yang bisa dijerat
dari pencucian uang tidak hanya pelaku, tetapi juga penerima
dana. "Mereka lupa bahwa UU TPPU berbeda dengan UU
Antikorupsi. Bila UU Antikorupsi hanya menjerat si pelaku, UU
TPPU menjerat semua yang kecipratan aliran dana," jelas Agus.
Jika terbukti, yang dipenjara pun tidak hanya PNS yang
melakukan korupsi, tetapi juga anggota keluarga yang
kecipratan uang haram tersebut. "Anak akan marah kepada
ayahnya karena sudah distempel sebagai penerima dana
haram hasil korupsi," tambahnya.

--44--
Data Badan Kepegawaian Negara menunjukkan total jumlah
PNS hingga bulan lalu mencapai 4,64 juta orang. Dari jumlah
tersebut, mereka yang terkategori berusia 28-38 tahun
mencapai sekitar 1,5 juta orang.
Mereka menempati posisi PNS dengan golongan kepangkatan
II A hingga IVA dengan penghasilan paling tinggi sekitar Rp12
juta.

Di Yogyakarta, Ketua Kelompok Hukum Direktorat Hukum dan


Regulasi PPATK Riono Budi Santosa memaparkan selama 2011
terjadi 202 kasus korupsi yang disampaikan ke penyidik yang
diduga sebagai kasus tindak pidana pencucian uang.

"Proses pencucian uang biasanya terdiri dari placement


(penempatan dana ke sistem keuangan), layering
(memindahkan atau mengubah bentuk dana melalui transaksi
keuangan yang kompleks), serta integration atau
mengembalikan dana yang telah tampak sah kepada pelaku."
(AU/X-7)

Secara faktual, hal itu terasa cukup mencegangkan ketika kita


mengenal seseorang dan menyaksikan pada beberapa tahun lalu
masih tampak miskin papa. Akan tetapi, ketika menjadi pejabat
eksekutif dan legislator, tiba-tiba saja sudah tampil jauh beda dengan
masa lalunya. Mungkin saja karena nasibnya mujur, karena tidak
sedikit juga yang berjibaku untuk menempati posisi yang empuk itu,
tetapi kenyataan pahit berkata lain. Namun demikian, fenomena
menjadi Orang Kaya Baru (OKB) memang tarasa sangat sulit
dipungkiri bagi mereka yang bernasib mujur itu. Apakah sukses
menjadi Kepala Dinas dan legislator atau menjadi tim sukses. Tak
pelak lagi, jika sukses gemilang menjadi Kepala Daerah, maka di balik
kesuksesan yang tampak demikian menggembirakan bagi diri,
keluarga dan tim suksesnya, sesungguhnya tersenandung ancaman
bagi rakyat sebagaimana dibeberkan oleh Editorial Media Indonesia
seputar “Industri Pemilu Kada” (Rabu, 25 April 2012).

--45--
“Pemerintahan daerah saat ini sesungguhnya berada dalam
situasi darurat korupsi. Berdasarkan catatan Kementerian
Dalam Negeri, dalam delapan tahun terakhir sudah 173 kepala
daerah terjerat kasus korupsi dan 70% di antaranya berstatus
terpidana.

Itu artinya setiap tahun ada 21 kepala daerah atau setiap bulan
ada dua kepala daerah menjalani pemeriksaan entah dengan
status sebagai saksi, tersangka, atau terdakwa. Fakta itu amat
memprihatinkan di tengah cuap-cuap elite bangsa ini
menjadikan korupsi sebagai musuh utama.

Sejauh ini yang sangat signifikan sebagai biang kerok kepala


daerah tergelincir lalu terjerembap dalam lumpur korupsi
ialah biaya pemilihan kepala daerah yang sangat mahal.

Undang-Undang Pemerintahan Daerah memang membuka


peluang pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah, alias
pemilu kada, berbiaya selangit layaknya sebuah industri
politik. Bukan rahasia lagi, untuk menjadi wali kota dibutuhkan
dana sedikitnya Rp10 miliar dan untuk menjadi gubernur,
angkanya bisa mencapai ratusan miliar rupiah. Dana sebesar
itu dipakai untuk menyewa partai sebagai kendaraan politik
dan membeli suara pemilih.

Dana pemilu kada didukung cukong-cukong politik. Ketika


menjabat, kepala daerah terpilih terpaksa mengembalikan
modal itu, salah satunya dengan cara mencari celah korupsi
APBD. Akibatnya APBD yang mestinya untuk menyejahterakan
rakyat dikudeta untuk politik balas budi.
Dibutuhkan kemauan politik yang kuat, sangat kuat, untuk
keluar dari situasi darurat korupsi kepala daerah. Itu tugas
partai politik yang memiliki fungsi sebagai sarana rekrutmen
politik.

Partai politik dibentuk untuk menjadi kendaraan yang sah


dalam menyeleksi dan mengusung kader-kader pemimpin
negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu.

--46--
Akan tetapi, sering kali partai politik hanya dijadikan perahu
sewaan pemimpinnya untuk menangguk uang dari para
kandidat kepala daerah dan tentu juga dijadikan kuda
tunggangan pemimpinnya untuk memuaskan syahwat politik
menjadi presiden.

Harus tegas dikatakan partai politik tidak bisa cuci tangan atas
kondisi darurat korupsi yang melibatkan kepala daerah. Itu
sebabnya perlu didukung gagasan partai politik pengusung
kepala daerah yang terbukti melakukan korupsi turut diberi
hukuman berupa larangan untuk mengajukan calon kepala
daerah pada satu atau dua pemilihan umum kepala daerah
berikutnya.

Hukuman semacam itu diharapkan efektif memberikan efek


jera pada partai politik agar tak asal-asalan memilih calon
kepala daerah. Hukuman itu juga dapat mencegah pemilu kada
bertransformasi menjadi semacam industri yang kental dengan
politik transaksional. Singkatnya, melalui mekanisme
perundang-undangan, parpol harus bisa dibikin malu bila
kepala daerah yang mereka usung menjadi koruptor. Paling
tidak, parpol tidak dikerdilkan menjadi sekadar perahu
sewaan. Gagasan itu mestinya diakomodasi dalam Rancangan
Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang saat ini dibahas
DPR bersama pemerintah.

Bangsa dan negara yang demikian sempurna kekayaannya ini,


terpelanting menjadi negara under development, dependent,
inferiority dan segala jenis predikat negatif lainnya. Semua itu terjadi
karena ulah kongkalingkong dari sebagian besar elit bangsa yang
pada awalnya sangat diharapkan menumbuh-kembangkan
kesejahteraan sosial ekonomi warga bangsa. Namun ketika
bertengger di kursi panas, ternyata mereka tidak hanya sukses
gemilang menggemukkan dompet, menggendukkan rekening
keluarga dan para tim suksesnya. Akan tetapi, juga cenderung
mengambil sesuatu yang tidak pantas diambilnya sebagaimana
dibeberkan Editorial Media Indonesia berikut ini, yakni ”Aset Negara
Di Tangan Pencuri” (Rabu 16 April 2008):

--47--
”Bagi mereka yang memiliki kerakusan untuk menguras
kekayaan negara, banyak jalan terbuka. Tidak cuma melalui
korupsi uang, tetapi juga penggelapan barang atau aset negara
yang beragam jenis dan tersebar di seluruh pelosok negara
melalui berbagai departemen.

Temuan Komisi Pemberantasan Korupsi membuka praktik


'kecil' dari modus pencurian yang amat lama dan sangat besar.
Ketika memeriksa laporan harta kekayaan penyelenggara
negara, terlacak bahwa 11 rumah milik sebuah BUMN di
Bandung didaftar juga sebagai milik pribadi sejumlah pejabat
yang masih aktif.

Sebelumnya, KPK menyita tiga rumah milik Departemen


Pekerjaan Umum yang berlokasi di daerah mahal Kebayoran,
Jakarta Selatan. Rumah itu beralih kepemilikan ke mantan
pejabat tinggi PU dengan cara statusnya diubah dari golongan I
menjadi golongan III. Dengan status golongan III, rumah itu
dikategorikan sebagai barang rongsokan yang tidak memiliki
nilai ekonomi lagi. Mana mungkin rumah di Kebayoran turun
kelas menjadi barang murahan? Itulah model pencurian barang
mahal dengan harga semurah-murahnya dan dilakukan oleh
mereka yang seharusnya mampu membeli.

Perampokan aset negara menjadi tidak terkontrol karena


kelemahan administrasi yang sangat menonjol. Sampai akhir
2007, dari 77 kementerian dan lembaga negara yang ada, baru
20 yang telah melakukan inventarisasi harta. Sisanya belum
dengan berbagai alasan. Padahal, menurut pihak Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara, nilai seluruh aset itu mencapai Rp
371,5 triliun.

Salah satu peluang bagi korupsi adalah amburadulnya


administrasi. Kita semua tahu bahwa dalam soal tertib
administrasi, negara ini paling lemah. Tidak cuma dalam soal
inventarisasi kekayaan negara. Di bidang lain pun administrasi
negara amburadul. Data kependudukan, misalnya.

--48--
Namun, reformasi birokrasi, yang salah satu aspeknya adalah
tertib administrasi, hingga sekarang tidak terdengar lagi
gemanya. Pernah digembar-gemborkan tentang single national
identity. Namun, tekad itu mati karena perlawanan kaum
manipulator yang memiliki aset di mana-mana, tetapi dengan
nama dan kartu penduduk yang berbeda di setiap tempat guna
menghindari pajak.

Jadi, negara sesungguhnya tidak saja dirampok aset-asetnya


oleh para pejabat, tetapi juga telah kehilangan potensi
penerimaan karena tidak mampu menertibkan administrasi
barang dan administrasi manusia. Terlalu banyak kelihaian
yang dibuka dan dipraktikkan para pejabat untuk mencuri aset
negara. Ketika menjabat, mereka mencuri uang. Tetapi ketika
mereka tidak lagi menjabat, aset-aset yang dikelola dibawa
pergi. Mobil dibawa, rumah ditilap, dan aset negara yang lain
dikelabui dengan kelihaian administratif yang luar biasa
sehingga berubah menjadi milik pejabat dengan harga sangat
murah. Itu adalah pencurian yang keji.

Salah satu yang perlu juga disorot adalah harta-harta atau aset
swasta yang disita kejaksaan atau kepolisian karena sengketa
di pengadilan. Banyak sekali aset jenis itu yang hilang. Bukan
semata karena negara tidak mampu merawat, tetapi juga
terjadi pengalihan kepemilikan secara diam-diam.
Transparansi dan akuntabilitas dalam hal yang satu itu
amatlah rendah. Karena itu, KPK wajib mengejar dan meneliti
aset-aset mantan pejabat yang memimpin lembaga negara.
Tidak cukup menghitung akumulasi kekayaan mereka, tetapi
asal usulnya juga. Bagi negara, perlu diingatkan satu soal
penting. Selama tidak ada tertib administrasi, selama itu pula
negara menjadi sasaran empuk perampokan aset oleh aparatur
negara itu sendiri. Masak di zaman seperti ini tertib
administrasi tidak bisa diterapkan?”

--49--
Betapa lengkap sudah dan begitu sempurna krisis yang tengah
melanda dan menimpah negeri ini. Mulai dari krisis pemanfaatan
sumber daya alam yang terus berlangsung secara tidak adil dan tidak
merata, sampai pada krisis sumber daya manusia yang visioner,
konsisten, amanah dan bertanggung jawab. Siapa lagi figur anak-anak
bangsa ini yang dapat disuritauladani ? Siapa lagi gerangan yang bisa
diharap untuk diamanahi sebuah tugas dan tanggung jawab
penyelamatan masa depan bangsa dan negara tercinta ini ? Masih
adakah putra-putri bangsa ini yang sungguh-sungguh serius
menggiring bangsa untuk keluar dari gempa bumi, gempa sosial dan
gempa politik yang terus memporak-porandakan kita selama ini ?
Boleh jadi sudah amat sulit, karena menurut Hidayat (2011)
bahwa “mereka yang merasa berjuang menjadi pejabat negara yang
seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat. Akan tetapi yang
dipikirkan adalah bagaimana bisa korupsi mengeruk uang negara
dengan fasilitas jabatannya”. Kecuali elite sosial seperti dimaksud
Hendrawan (2009), adalah mereka selaku public figur pemimpin
profetik yang menampilkan pengaruhnya dalam ruang penyadaran
hati, pencerahan jiwa dan realisasi visi. Dan terpaksa harus diakui
bahwa betapa banyak yang datang bertengger ke ruang ”kursi panas”
selama kurun waktu Orde Baru dan hingga genderang Orde
Reformasi ditabu, adalah memang dari sononya selaku pecandu
“narkotika budaya” dengan life style yang serba bebas (liberal), tidak
mengenal haram-halal (permisif), dan amat memanjakan hawa nafsu
(hedonis).
Betapa di balik stamina kehidupan wong cilik hampir pupus,
terpampang gaya khas kehidupan penuh kemewahan dan serba lux
dari segelintir orang yang bernasib mujur, atau mungkin juga
diuntungkan oleh ”drama pemiskinan”. Lebih celaka lagi, karena
kaum cilik itu tertuding pemalas, sehingga menjadi miskin. Padahal,
mereka miskin karena faktor dominasi ”dramaturgis” di balik
perilaku sandiwara kaum proyektor yang nota bene koruptor. Betapa
tidak, mereka yang biasa diklaim ”wong licik”– meminjam istilah
Hidayat Nur Wahid mantan Ketua MPR RI, justru kondisi rentan dan
kebablasan kerapkali menjadi momentum strategis untuk
menumbuhkembangkan kejantanan libido kapital, sehingga
”investasi haram” terus menggelembung. Secara nasional, perilaku
dramaturgis permainan uang rakyat itu dibeberkan oleh Editorial

--50--
Media Indonesia dalam konteks ”Belanja Siluman di Akhir Tahun”
(Kamis, 01 Desember 2011).
”Pola penggunaan anggaran belanja negara dari tahun ke tahun
tidak berubah banyak, yaitu rendahnya penyerapan, terutama
pada pos belanja modal, dan belanja-belanja dadakan yang
menjamur di akhir tahun.

Pada belanja modal, sampai dengan akhir September baru


terserap 32% dari jatah Rp140 triliun. Artinya, tiga bulan
terakhir menjelang akhir tahun, masih 76% anggaran yang
tidak terpakai. Padahal, sebagaimana diketahui, belanja modal
menjadi salah satu lokomotif pertumbuhan.

Angka ini setidaknya menjelaskan beberapa hal. Pertama,


mengonfirmasi bahwa porsi belanja tetap, terutama belanja
pegawai mendominasi APBN. Kedua, juga menegaskan bahwa
pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang sektor konsumsi.
Investasi tetap lemah.

Padahal, jika belanja modal dikebut setara dengan belanja


tetap, angka pertumbuhan yang diproyeksi 6,7% bisa
dilampaui. Para analis mematok angka di atas 7% bahkan 8%.
Angka pertumbuhan ini memadai untuk menyerap angkatan
kerja.

Pemerintah memiliki banyak penjelasan tentang penyerapan


anggaran yang timpang itu. Dari sistem pencairan dana yang
umumnya dikebut di akhir tahun, sampai rendahnya kapasitas
perencanaan proyek di tingkat daerah. Dari sistem anggaran
berbasis input, sampai sistem berbasis kinerja.

Fakta yang menarik, sesungguhnya tidak semata pada


ketimpangan angka penyerapan. Kelihaian menciptakan
belanja siluman juga marak di akhir tahun. Banyak belanja
dikebut di akhir tahun sekadar menghabiskan duit.
Penelusuran Media Indonesia di kawasan Puncak, Jawa Barat,
pekan lalu menunjukkan hal menarik. Hampir semua hotel
memajang spanduk seminar, diskusi, pelatihan dari berbagai
institusi.pusat.dan.daerah.

--51--
Ini ialah modus lama pemborosan anggaran di akhir tahun.
Seminar, diskusi, termasuk studi banding, ialah proyek-proyek
siluman yang sah menurut prosedur administratif, tapi rendah
kegunaannya.

Proyek siluman dan penyerapan anggaran yang amat lamban,


menjadi ironis bagi Indonesia yang selalu mengeluh
kekurangan uang dan karena itu terus saja meminjam dari luar
negeri. Susah uang, tetapi tidak mampu menggunakannya.
Ketika dipacu kecepatan dan ketepatan penggunaan, yang
dikebut justru proyek-proyek siluman di akhir tahun berupa
seminar, diskusi, simposium, dan studi banding.

Banyak hambatan yang tidak terjelaskan di balik buruknya


penyerapan anggaran dan kebut-kebutan proyek siluman di
akhir tahun. Pejabat daerah mengeluh bahwa pencairan uang
proyek masih terpusat di Jakarta. Inilah yang menyebabkan
banyak pejabat daerah mondar-mandir ke Jakarta dan pada
gilirannya menyuburkan mafia anggaran yang saling
menguntungkan.

Reformasi birokrasi menyangkut etos pelayanan dan


peningkatan kapasitas perencanaan terutama di lembaga-
lembaga daerah menjadi penting. Mentalitas proyek di
kalangan pejabat mesti disingkirkan bersamaan dengan
reformasi birokrasi yang nyata. Tidak cuma omong.

Fenomena gap sosiologis yang demikian menganga lebar antara


kehidupan ”top class dan lower class”, seolah antara langit dan bumi.
Betulkah plesetan kaum sastrawan: ”Kaum elit terbahak-bahak
sembari berselingkuh di atas kucuran keringat dan darah rakyat
jelata; Mereka bagai lalat bertebaran dan berterbangan di atas
bangkai dan tulang belulang yang membusuk. Namun ketika alam
mungkir dari garis in line (gempah bumi misalnya), maka mereka
pun tampil bertakbir, bertahmid dan bertahlil dengan life style
kealiman instan.” Betul atau tidak, yang pasti menurut seorang Guru
Besar Ekonomi Maritim dan Cendikiawan Muslim Indonesia dalam
Orasi Ilmiahnya pada acara Silaturahmi Akbar KAHMI Sultra bahwa:

--52--
”Petumbuhan ekonomi Sulawesi Tenggara yang telah sukses
gemilang melampaui target pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun disayangkan karena tingkat kesejahtraan dan
kemakmuran rakyat Sulawesi Tenggara masih sangat
memprihatinkan sebagai akibat dari kesenjangan ekonomi
yang menganga lebar antara elit birokrat dan elit politik
dengan rakyatnya. Ironisnya lagi, karena tak sedikit pun
kekayaan tersebut menetes ke bawah, sehingga kaum elit
terkesan bersenang-senang di atas penderitaan rakyat”
(Masihu Kamaluddin, Kendari, 3 September 2014).

Ada dua argumentasi yang sudah lazim mengemuka ketika


menyoal kecenderungan perilaku kebablasan anak-anak bangsa,
terutama mereka yang diamanahi tugas dan tanggung jawab roda
pemerintahan. Pertama, selain terkesan sebagai insan yang belum
istiqamah beragama, juga acapkali kita terperangkap dengan
universal simbolisme keberagamaan, sehingga “penggadaian
idealisme” memungkinkan terjadi. Karena itulah, selain Ritzer (2010)
memborbandemen bencana sosial yang ditimbulkan oleh kapitalisme
global, juga menyoroti keberagamaan elit-elit bangsa yang cenderung
tidak signifikan antara ucapan dan tindakan. Hal itu kemudian
diklaim sebagai suatu sandiwara oleh Goffman yang digelar sebagai
seorang “dramaturgist”. Demikianlah yang amat disayangkan oleh
Agustian, karena “kian banyak orang Indonesia yang sudah meraih
gelar Haji/Haja, maka kian menggeliat pula perilaku penyimpangan
(koruptor)”. Padahal seharusnya simbol dan amal peribadatan harus
mampu mengerem kita dari perilaku penyimpangan itu. Namun hal
itu tidak terjadi, karena menurut Tago (2014) yang disertasinya
mengacu dari teori tindakan sosial Weber bahwa kini telah terjadi
pergeseran rasionalitas tindakan sosial dari rasional nilai ke ranah
rasional instrumental.
Kedua, menurut Nogroho (dalam Aliyanto dan Deky, 2021)
bahwa sesungguhnya eksistensi kemiskinan berkaitan erat dengan
pemiskinan yang berarti bahwa secara personal maupun komunal
manusia menjadi miskin karena orang, kelompok atau lembaga
secara sengaja menjadikan orang miskin. Misalnya, semangat
kapitalisme ekonomi yang tidak jarang justru didukung bahkan di
gagas oleh konglomerat Kristen. Upaya menghadirkan Teisme,
Mesianisme dan Aksiologisme yang demikian menjadi tugas dari

--53--
setiap manusia yang sudah mendapatkan anugerah pengampunan
dari Allah, sehingga program-program misi dan pelayanan gereja
harus bersifat holistik yang dapat menyentuh kaum miskin melalui
pelatihan ekonomi kreatif, program bimbingan belajar, pembukaan
sekolah bagi kaum miskin, pelayanan kesehatan bagi kaum miskin,
bimbingan konseling diluar gereja, dll. Selain itu orang Kristen juga
harus berani mengadakan evaluasi diri “sudahkan kita menjadi agen-
agen yang mangatasi problema kemiskinan dan pemiskinan atau
malahan menjadi kelompok dari kategori menciptakan pemiskinan.
Ketiga, degradasi nasionalisme dan pudarnya semangat
kebangsaan merupakan faktor kedua yang membuat banyak orang
jadi kebablasan. Tampaknya, patriotisme dan nasionalisme serta
semangat kebangsaan, kini hanya ada pada orang-orang yang tidak
gila-gilaan merenggut harta karung negara untuk memperkaya diri
dan kelompoknya. Mungkin sulit terbantahkan bahwa pada kedua
faktor inilah yang menjadi penyebab, sehingga pejabat kita terus
berdansa di atas kemalaratan rakyat. Namun satu hal yang hampir
kita lupakan, yakni kesakralan sumpah pejabat yang ditancapkan di
kepalanya ketika dilantik. Kalau sumpah tersebut benar-benar sakral,
maka pasti tetap memegang teguh amanah. Karena jika tidak, maka
akibatnya pasti fatal bagi yang bersangkutan.
Sementara itu, kaum legislator yang diimpikan untuk tampil
menjadi pendekar aspirasi dengan aneka jurus pamungkasnya,
namun tak henti-hentinya mempertontonkan populariras murahan
dengan segala macam gebrakan hura-huranya. Pada gilirannya
lembaga nan terhormat ini mendapat kecaman yang bertubi-tubi
sebagai akibat dari prestasi buruknya sebagaimana disentil dalam
Editorial Media Indonesia yang berjudul: ”Prestasi Buruk Legislator”
(Kamis, 26 Februari 2009).
”Banyak produk undang-undang yang dihasilkan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah digugat ke
Mahkamah Konstitusi. Tidak sedikit pula undang-undang yang
baru seumur jagung diberi nomor oleh presiden langsung
diperkarakan.

Sejauh ini, ada dua undang-undang yang mencatat rekor


diperkarakan.Pertama, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Kedua, Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan

--54--
Wakil Presiden.
Kedua undang-undang itu mencatat rekor karena banyak
materi yang diperkarakan banyak pihak. Materi yang
diperkarakan dalam Undang-Undang Pemilu Legislatif,
misalnya, menyangkut syarat pidana, aturan pemberedelan
media massa, menyangkut penghitungan cepat, electoral
threshold, parliamentary threshold, penetapan calon terpilih,
dan keberadaan calon anggota legislatif perempuan.

Sementara itu, materi undang-undang pemilihan presiden yang


diperkarakan menyangkut keberadaan calon independen dan
presidential threshold. Gugatan atas sebuah undang-undang ke
Mahkamah Konstitusi di satu sisi patut disambut gembira. Hal
itu menunjukkan semakin banyak anggota atau kelompok
masyarakat yang sadar konstitusi. Di sisi lain, banyaknya
gugatan itu mencerminkan prestasi buruk yang ditorehkan
pembuat undang-undang. Pembuat undang-undang--DPR dan
presiden--patut diduga semakin berani mengabaikan bahkan
melanggar konstitusi.

Kita percaya, para anggota DPR sebenarnya memiliki kapasitas


cukup memadai dalam memproduksi undang-undang. Akan
tetapi, tidak bisa dimungkiri bahwa pembuatan legislasi itu
sarat dengan muatan politik apalagi kalau menyangkut
undang-undang politik. Pasal yang disepakati adalah hasil
kompromi. Bahkan, layak dicurigai hasil transaksi.

Adanya kompromi dan transaksi itulah pula jawaban atas


pertanyaan mengapa sebuah undang-undang diprioritaskan
dari yang lainnya dan mengapa pula ada undang-undang
dibahas lebih cepat daripada yang lainnya.
Undang-undang yang diprioritaskan dan dibahas secara
maraton biasanya menyangkut kepentingan langsung anggota
dewan. Kepentingan itu bisa bersifat politik dan ekonomi.
Besarnya kepentingan itulah yang menentukan cepat
lambatnya sebuah pasal disetujui. Anggota dewan paham
sekali bahwa jika ada urusan bisa diperlambat, untuk apa
dipermudah pembahasannya.

--55--
Demikianlah potret umum anggota DPR periode 2004-2009
dalam hal membuat undang-undang. Mereka memang bukan
anutan. Rakyat pun layak bersyukur bahwa masa jabatan
mereka sebentar lagi bakal berakhir.
Harapan harus digantungkan kepada anggota dewan hasil
pemilu yang digelar pada 9 April mendatang. Harapan yang
normatif saja, tapi sangat mendasar, yaitu jangan membuat
undang-undang yang substansinya melenceng dari konstitusi.

Jauh lebih penting lagi, buatlah undang-undang yang berumur


panjang.
Jangan sampai tiap pemilu ganti undang-undang sehingga
terbukalah godaan untuk memasukkan kepentingan politik
pribadi dan golongan dengan segala cara. Tidak peduli
melanggar konstitusi sekalipun, yang kemudian diseret ke
Mahkamah Konstitusi.

Tidak semua uji materi dikabulkan Mahkamah Konstitusi.


Namun, banyaknya undang-undang yang dibawa ke Mahkamah
Konstitusi menunjukkan buruknya DPR sebagai lembaga
legislatif. Prestasi buruk itu kiranya tidak boleh ditiru DPR
nanti. Prestasi yang memalukan itu hendaknya berakhir
dengan berakhirnya DPR yang sekarang.

Betapa bantuan ke-haribaan “warga komunitas miskin”


tertumpah bagai air bah ke bumi persada. Namun “drama
pemiskinan” di lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif dan BUMN,
bersenandung sejak Orba hingga sukses gemilang meraih “prestise
negara terkorup”. Jika demikian, bukankah ketika kita
menumbuhkembangkan bedah kemiskinan serta upaya-upaya
penanggulangan dengan gaya khas gonta-ganti paradigma dan
metodologis, adalah bagian integral dari “geliat sandiwara” yang
tampak signifikan dengan “eskalasi drama pemiskinan dimaksud ?
Tergantung kejujuran kita untuk mengakuinya.
Seharusnya ada upaya pembebasan dari situasi kesenjangan
yang harus dilakukan oleh TKPKD Pemerintah Daerah sebagai
panglima perang dalam menghadapi musuh yang bernama
pemiskinan. TKPKD harus mulai menunjukkan political will-nya
terhadap proses pemberdayaan kepada kaum lemah (empowerment

--56--
of the powerless) dengan mengedepankan strategi pembangunan
seperti dimaksudkan Friedman (1992). Di antaranya adalah orientasi
kepada matra kekuasaan sosial (social power), kekuasaan politik
(political power/bargaining position), dan kemampuan psikologis
(psychological power). Dalam konteks inilah, harus mulai ditunjukkan
tindakan rasional nilai sebagaimana dimaksud Weber. Bukan
sebaliknya, menunjukkan “kecerdasan memperalat agama” dalam
bentuk instrumentalisasi keberagamaan untuk menggapai sesuatu
yang diinginkan sebagaimana dimaksudkan Tago tersebut.
Dalam konteks ini, belum cukupkah gelegar drama kasus dana
siluman tersebut dapat menyadarkan semua pelaku kemiskinan
mulai dari lembah birokrasi yang bersenjatakan TKPKD hingga pada
tataran LSM dengan berbagai paradigmanya? Mengapa kita, baik dari
kalangan pemerhati dan pengamat maupun pelaku
(TKPKD/P2KP/NUSSP, PNPM Mandiri dan LSM), masih kepingin
bersandiwara menyoal akar penyebab kemiskinan dalam perspektif
kultural?
Mengapa lensa pandang dan kuping telinga kita terkesan kabur
dan tuli dengan duit siluman yang terhambur di tangan-tangan jahil
kaum elit itu? Bukankah akibat dari “degelan-degelan politik” yang
bernafsu mengumbar hiper-tontonan dengan biaya mahal, adalah
penyebab utama bangsa dan negara tercinta ini berkubang
kemiskinan plus berutang dollar?
Mungkin demikianlah lucuisme kini, karena kita tetap saja
menggeliat menyoal kemiskinan, tanpa kepingin dipusingkan dengan
ikhwal drama pemiskinan yang nota bene “berwajah malaikat”. “Tau
aja lho” - kata sang kritikus di tempat belanja: “memangnya penjual
sayur atau penjual ikan yang menyebabkan bangsa dan negara
tercinta bernasib malang dan buram?” Tak pelak lagi, ketika analogi
drama dan teater dari Goffman kita coba pinjam pisaunya untuk
membedah proses interaksi sosial yang mampu menghipnotis
penonton di layar depan. Tentu saja kepala kita tergeleng-geleng
ketika kerangka konseptual ini direfleksikan ke arena birokrasi dan
parlement. Pasalnya, di balik interaksi itu ditemukan segumpal
kesadaran virtual di lorong-lorong psedou-liberalis, psedou-
demokrasi, dan psedou-welfare, dll.

--57--
Sesungguhnya, penulis pernah mengulasnya mulai dari:
”Ironisnya Penanggulangan Kemiskinan; Eskalasi Drama Pemiskinan;
Quo Vadis Pemiskinan”; hingga dalam tulisan ”Amoralisasi
Pemiskinan” pada rubrik Interupsi Kendari Ekspres. Adapun
massages singkat yang tersenandung di dalamnya. Pertama, Ibu
Pertiwi yang mengandung intan dan berlian (Baca: SDA), maka tidak
mungkin penghuninya berkubang kemiskinan seperti saat ini.
Kedua, jika ada bangsa dan negara yang aneka ragam kekayaan alam
terkandung di dalamnya, tetapi sekonyong-konyong penghuninya
menjadi miskin. Maka berarti, ada yang tidak beres dalam prosesing
dan manajemen harta karung negara. Paling tidak, salah urus atau
kelewat banyak menetes di lembah siluman.
Akhirnya, keberadaan kaum elite sosial yang diamanahi tugas
dan tanggung jawab pensejahtraan warga masyarakat harus
memiliki IESQ Power yang menunjukkan identitasnya sebagai putra-
putri bangsa yang memiliki kesalehan sosial. Dalam konteks ini,
menurut Helmiaty (dalam Ulum, dkk., 2019) bahwa kesalehan sosial
merupakan suatu bentuk kesalehan yang tidak hanya ditandai oleh
rukuk dan sujud, puasa dan haji, tetapi juga harus ditandai dengan
kepekaan sosial dan berbuat kebajikan kepada orang-orang di
sekitarnya. Sehingga orang merasa nyaman, damai, dan tentram
berinteraksi dan bekerjasama dan bergaul dengannya. Sedangkan
menurut ajaran Kristen dan Katolik bahwa kesalehan sosial
merupakan peribadatan tertinggi yang disebut dengan bonum
commune (kebaikan bersama yang dikenal dengan prinsip
subsidiaritas yang kuat menolong yang lemah, mengasihi sesama).
Hal ini dapat kita lihat dalam implementasinya di seluruh gerak
keagamaannya adalah untuk kemaslahatan umum. Mereka
mendirikan rumah sakit, sekolah, panti jompo dan seterusnya.
Sementara itu dalam agama Hindu ada tiga hal yang mendorong
munculnya kebahagiaan dalam kehidupan sosial yaitu, parahyangan
(hubungan yang harmonis dengan sang pencipta), pawongan
(hubungan yang harmonis antar sesama manusia) dan palemahan
(hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkunganya).
Begitu pula dalam agama Buddha bahwa kesalehan sosial disebut
dana paramita sebagai perbuatan luhur tentang beramal, baik
material maupun non material yang beintikan pada dana, atidana
dan mahatidana.

--58--
B. Potret Realitas Kemiskinan

Potret Global. Tampaknya, sejumlah besar kaum miskin hidup


dalam konsentrasi yang lebih besar di wilayah perkotaan sebagai
akibat terjadinya migrasi pedesaan ke perkotaan pedesaan. Betapa
kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Medan,
Surabaya dan Makassar menjadi magnet bagi pendatang dari
berbagai daerah setiap tahunnya. Masyarakat yang datang ke kota
besar, berharap dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya dengan
mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak. Namun demikian, pada
kenyataannya jumlah pendatang tidak sebanding dengan jumlah
pekerjaan yang tersedia. Di samping itu, dengan later belakang
pendidikan rendah dan ketiadaan ketrampilan (unskilled labour)
yang dimiliki para migran, mengakibatkan golongan ini tidak
memiliki pekerjaan tetap, penghasilan tidak mencukupi, dan tidak
memiliki tempat tinggal. Akibatnya mereka terjebak dalam lingkaran
kemiskinan dan menjadi beban tersendiri bagi wilayah perkotaan.
Betapa arus urbanisasi yang pesat di perkotaan ditandai oleh
timbulnya pemukiman-pemukiman kumuh, sehingga anggapan
masyarakat bahwa kumuh identik dengan kemiskinan. Artinya,
kondisi lingkungan yang kotor dan bau tak sedap serta bentuk rumah
yang mereka tempati, secara fisik dapat dikategorikan masyarakat
miskin (Simanjuntak dan Amal, 2018; Hidayat, 2020).
Menurut Nizsadynda (2011) bahwa kemiskinan bukan hanya
masalah Indonesia, tetapi merupakan masalah dunia. Laporan dari
bank dunia menunjukkan bahwa pada tahun 1998 terdapat 1,2 miliar
orang miskin dari sekitar 5 miliar lebih jumlah penduduk di dunia.
Sebagian besar dari jumlah tersebut terdapat di Asia Selatan (43,5%)
dan terkonsentrasi di India, Bangladesh, Nepal, Sri lanka, dan
Pakistan. Afrika sebagai sub sahara merupakan wilayah kedua di
dunia yang padat orang miskin (24,3%). Kemiskinan di wilayah ini
disebabkan oleh iklim dan kondisi tanah yang tidak mendukung
kegiatan pertanian (kekeringan dan gersang), pertikaian yang tidak
henti-hentinya antar suku, menejemen ekonomi makro yang buruk,
dan pemerintahan yang bobrok. Adapun wilayah ketiga yang
terdapat banyak orang miskin adalah Asia Tenggara dan Pasifik
(23,2%). Kemiskinan di Asia Tenggara terutama terdapat di Cina,
Laos, Indonesia, Vietnam, Thailand, dan Kamboja. Sisanya terdapat di

--59--
Amerika Latin dan negara-negara Karibia (6,5%) Eropa dan Asia
Tengah (2,0%), serta Timur Tengah dan Afrika Utara (0,5%).1
Di Indonesia, kemiskinan merupakan salah satu masalah
besar, terutama melihat kenyataan bahwa laju pengurangan jumlah
orang miskin di tanah air berdasarkan garis kemiskinan yang berlaku
jauh lebih lambat dibandingkan laju pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan fakta ini, maka selalu muncul pertanyaan apakah
memang laju pertumbuhan yang tinggi dapat mengurangi tingkat
kemiskinan ? Atau apakah memang terdapat suatu korelasi negatif
yang signifikan antara tingkat pertumbuhan dan persentase jumlah
penduduk di bawah garis kemiskinan?
Kalau dilihat dari Asia dalam studi Dealolikar dkk; (2002)
kelihatannya memang ada perbedaan dalam persentase perubahan
kemiskinan antara kelompok negara dengan laju pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan kelompok negara dengan pertumbuhan
yang rendah. Ada sejumlah negara termasuk Indonesia yang jumlah
penduduk hidup di bawah garis kemiskinan dan terus bertambah
walaupun ekonominya tumbuh positif. Karena kemiskinan adalah
salah satu masalah serius di Indonesia maka tidak mengherankan
kalau banyak studi telah dilakukan mengenai hal ini di Indonesia.
Sayangnya, pendekatan yang digunakan berbeda-beda dan batas
kemiskinan yang dipakai juga beragam antara studi tersebut,
sehingga gambaran mengenai kemiskinan di dalam negeri juga
berbeda. Hal itu, merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi
peneliti dalam menentukan kemiskinan absolut di Indonesia ketika
membandingkan tingkat kemiskinan antar provinsi atau daerah.
Sedangkan menurut Bidani dan Ravallion (1993) dan Sondakh
(1995), kesulitan tersebut bersumber pada variasi komposisi bahan
kebutuhan pokok serta harga kebutuhan pokok yang berbeda-beda
antar provinsi. Selain harga relatif, juga perbedaan dalam selera,
tingkat, serta jenis kegiatan ekonomi, barang-barang yang disediakan
oleh pemerintah daerah, dan masih banyak lagi. Variabel-variabel
lain menyebabkan relasi antara jumlah serta komposisi makanan dan
jumlah pengeluaran konsumsi berbeda antar daerah atau provinsi.2
Sedangkan menurut Pradhan dkk; (2000) bahwa semua sektor
mengalami suatu kenaikan dalam kemiskinan. ini artinya bahwa
tidak ada satu pun sektor yang luput dari dampak negatif atas krisis
ekonomi. Namun satu hal yang menarik dari hasil penelitian ini
adalah bahwa ternyata pertanian adalah sektor dengan tingkat

--60--
kemiskinan terbesar dan juga dengan kontribusi terbesar terhadap
peningkatan kemiskinan di tanah air. Ikhwal ini merefleksikan dua
hal. Pertama, secara relatif, masyarakat pertanian memang selalu
paling miskin dibandingkan sektor-sektor ekonomi lainnya. Oleh
karena itu, walaupun pertanian tidak terlalu terkena krisis,
kemiskinan di sektor ini selalu saja yang paling besar dari semua
sektor. Kedua, pertanian tetap merupakan sektor terbesar dalam
bentuk penyerapan kesempatan kerja.3
Berdasarkan hasil analisis regresi terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat kemiskinan di Kota Bogor, maka menurut
kesimpulan Dardiri (2014) dalam artikelnya “Strategi
Penanggulangan Kemiskinan Di Kota Bogor Melalui Pendekatan
Anggaran dan Regulasi” bahwa ternyata belanja langsung APBD
berkorelasi positif dengan meningkatnya kemiskinan. Artinya,
meningkatnya belanja langsung di wilayah Pemerintahan Kota Bogor,
maka akan meningkatkan kemiskinan. Hal ini menandaskan bahwa
telah terjadi salah sasaran dalam penuntasan kemiskinan di Kota
Bogor. Karena itu, ada beberapa strategi yang dapat diterapkan oleh
Pemerintah Kota Bogor sesuai dengan hasil analisis SWOT, yakni: (a)
peningkatan kualitas pendidikan dan keterampilan penduduk miskin
Kota Bogor, (b) pembuatan kebijakan yang mengharuskan investor
untuk mempekerjakan warga Kota Bogor terutama penduduk miskin,
(c) pemutakhiran data penduduk miskin Kota Bogor secara periodik,
(d) penyusunan program APBD yang lebih berfokus pada
penanggulangan kemiskinan di Kota Bogor dengan porsi anggaran
yang memadai, (e) pengaturan penduduk pendatang yang berencana
tinggal menetap agar tidak mempengaruhi upaya pemberdayaan
penduduk miskin Kota Bogor dan (f) pencegahan penguasaan lahan
oleh swasta secara berlebihan terutama yang berpotensi
menyingkirkan penduduk lokal Kota Bogor.
Oleh karena itu, pada revisi APBN 2016, revisi target mencapai
10%-10,6%. Ironisnya, meski target telah diturunkan, tetap tidak
tercapai dan ada banyak faktor yang mendasari, termasuk salah
satunya yaitu belit inflasi yang berpengaruh terhadap daya beli.
Identifikasi terhadap kemiskinan pada dasarnya menjadi faktor
utama yang bisa menjadi acuan untuk pengurangan kemiskinan.
Terkait dengan hal itu, garis kemiskinan yang ditetapkan per
September adalah penduduk dengan pengeluaran Rp 372.114 per
kapita per bulan di kota dan Rp 350.420 per kapita per bulan di desa.

--61--
Identifikasi itu memberikan gambaran riil tentang kemiskinan
di perkotaan dan perdesaan sehingga jumlah kemiskinan perkotaan
naik 0,15 juta orang, sedangkan di perdesaan turun 0,75 juta orang.
Yang juga menarik dicermati ialah sebaran kemiskinan yaitu yang
terbesar di Pulau Maluku dan Papua 21,98%, sedangkan yang
terendah di Kalimantan yaitu 6,45%. Meskipun demikian, mayoritas
kemiskinan masih berkutat di Jawa yaitu mencapai 14,83 juta orang
dan terendah di Kalimantan yaitu 0,97 juta orang. Berdasarkan hasil
riset dari Worldometers, maka total populasi penduduk Indonesia
tahun 2019 sebesar 269,1 juta jiwa (Databooks, 2019). Namun
demikian, masih banyak penduduk Indonesia yang masuk kateori
penduduk miskin dan menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2019)
bahwa pada bulan Maret 2019 jumlah penduduk miskin di Indonesia
mencapai sebesar 9,41% dari jumlah total populasi (dalam
Burhanudin dan Indrarini, 2020). Tentu saja sangat mengherankan
bagi kaum cendikia, karena selain Indonesia merupakan negara yang
kaya Sumber Daya Alam (SDA), juga penduduk bangsa Indonesia
adalah mayoritas beragama Islam yang setiap saat dapat
mengeluarkan zakat dan non zakatnya.
Jika dicermati, persoalan tentang pengurangan kemiskinan
pada dasarnya tidak bisa lepas dari revisi APBN. Artinya, koreksi
terhadap target pertumbuhan secara tidak langsung akan
berpengaruh terhadap keberhasilan pengurangan kemiskinan.
Alasan yang menjadi acuan ialah koreksi terhadap investasi,
termasuk realisasinya. Oleh karena itu, fakta membanjirnya pekerja
asing secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap program
pengurangan kemiskinan. Tentu saja ketika semakin banyak pekerja
asing yang datang secara tidak langsung akan mereduksi kesempatan
kerja dari penduduk pribumi dan tentu hal ini akan riskan memicu
sentimen negatif terhadap ketenagakerjaan dan pendapatan bagi
masyarakat. Implikasi lebih lanjut ialah rendahnya pendapatan dan
daya beli sehingga berpengaruh terhadap angka kemiskinan.
Di sisi lain, ancaman inflasi akibat laju impor kedelai dan
daging sapi juga perlu diwaspadai karena inflasi musiman masih
tetap ada, yaitu selama Ramadan-Idul Fitri. Artinya, mewaspadai
belit inflasi ialah salah satu cara untuk meredam angka kemiskinan.
Aspek lain yang juga menarik dicermati ialah dekade otoda ternyata
tidak berpengaruh terhadap penurunan kemiskinan. Oleh karena itu,

--62--
pemekaran daerah yang terjadi selama ini tidak menjamin
peningkatan kesejahteraan.
Ironisnya, pemekaran daerah justru berdampak negatif
terhadap konflik politik dan terungkapnya kasus-kasus korupsi yang
melibatkan kepala daerah, serta maraknya politik dinasti yang
menjadikan raja-raja kecil di daerah. Terkait dengan hal itu, pilkada
serentak tahun 2017 tampaknya menjadi test case untuk bisa
memilih kepala daerah terbaik yang bebas dari politik dinasti,
korupsi, dan praktik jual beli jabatan seperti yang terungkap di
Klaten baru saja. Artinya, kesuksesan pilkada era Otoda seharusnya
juga berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan, bukan
sebaliknya semakin bertambah kemiskinan masyarakat.4

--63--
--64--
KEEMPAT

URGENSI DAN REFLEKSI IESQ POWER


Hai orang yang berkemul (berselimut). Bangunlah, lalu berilah
peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah! Dan pakaianmu
bersihkanlah. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah. Dan janganlah
kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih
banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah
(QS.Al-Mudatsir 1-7).

Indonesia sebagai negara yang memiliki populasi muslim


terbesar di dunia merupakan salah satu negara yang memposisikan
aspek agama dan negara secara “simbiosis mutualisme”. Hal ini bisa
dilihat dari dasar negara Indonesia, Pancasila yang pada sila pertama
berbunyi: “Ketuhanan yang Maha Esa” sesungguhnya merupakan
bukti bahwa dalam pelaksanaan pemerintahannya Indonesia tidak
lepas dari Agama sebagai landasan moral dan etika bangsa. Dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ditandaskan bahwa tujuan
pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat yang
adil dan makmur serta material dan spiritual berdasarkan Pancasila
di dalam wadah negara kesatuan republik Indonesia yang merdeka,
berdaulat dan bersatu. Hal itu kemudian berlangsung dalam suasana
perikehidupan bangsa yang damai, tentram, tertib, dan dinamis, serta
dalam lingkungan pergaulan hidup dunia yang merdeka, bersahabat,
tertib dan damai.
Indonesia adalah bangsa dan negara yang kaya-raya dan
bahkan melimpah-ruah Sumber Daya Alamnya, tetapi kini justru
terpelanting menjadi negara under-development. Bangsa dan negara
yang total populasi penduduknya pada tahun 2019 sebesar 269,1
juta jiwa ini, seharusnya menikmati kekayaan alamnya dengan penuh
kegembiraan dan kebahagian. Tak pelak lagi, bangsa Indonesia yang
penduduknya mayoritas ber-KTP Islam, maka tentu saja ketika zakat
dan non-zakat yang juga melimpah itu dikelola dengan baik sudah

--65--
pasti kesejahteraan lahir dan batin pun tergapai. Namun realitas dan
hiperrealitas menunjukkan potret suram kehidupan bagi warga
masyarakat yang bertempat tinggal di dalamnya, sehingga pantaslah
jika telaah skeptisisme dan kritisisme semakin nyaring terdengar
ketika “drama pemiskinan” dalam aneka kasus “dana siluman dan
rekening gendut” yang kini oknum pelakunya satu persatu mulai
tergiring ke ruang persidangan Tipikor. Karena itu, menurut Peribadi
(2015) bahwa fenomena kleptomania dan kleptokrasi yang
menggeliat di akhir dasawarsa ini sudah perlu dikaji secara holistik
dari sudut pandang struktural dan kultural serta perspektif
spiritualisme. Karena ketika pejabat cenderung pragmatisme, maka
sudah pasti menjadi bingkladi pemiskinan yang bakal membuahkan
kemiskinan. Paling tidak, mereka tidak maksimal menjalankan
amanah yang diembannya, sehingga kesejahteraan sosial ekonomi
tidak menuai hasil maksimal.

A. Islam dan Etos Kerja

Secara sosiologis, potret pemikiran dan perilaku


keberagamaan orang di masa lalu tampak dalam tiga gelombang
konstalasi kepemimpinan. Pertama, transformasi masyarakat Islam
di bawa kepemimpinan langsung Nabiullah Muhammad SAW (610 –
632 M) yang sukses gemilang menjadi kekuatan yang mencerahkan
dan menggiring kehidupan jahiliah bangsa Arab menuju kepada nilai-
nilai Islam. Atas dasar kepribadian Rasulullah yang sangat terpuji,
jujur (shiddiq), dapat dipercaya (amanah), terbuka dalam
menyampaikan kebenaran (tabligh) dan cerdas (fathonah), sehingga
dengan gilang gemilang melakukan transformasi sosial budaya dari
pola pemikiran jahiliah yang gelap gulita menuju kepada alam
pikiran dan peradaban Islam yang terang benderang.
Kedua, transformasi masyarakat Islam yang menggelegar dan
membumi di bawah kendali kepemimpinan masa Khulafaurrasyidin
(632 –661 M) dan hingga masa Bani Umayyah (661 – 750 M) yang
melanjutkan kepemimpinan Profetik yang telah ditancapkan dengan
sangat tajam oleh Rasulullah Muhammad SAW. Betapa masa itu Islam
tampil prima menjadi kekuatan pembebas bangsa-bangsa di kawasan
Timur Tengah dari penindasan imperium Byzantium dan Persia serta
tersebarnya nilai-nilai agama dan budaya Islam ke luar Jazirah Arab,
sehingga Islam di bawah kepemimpinan Khulafaurrasyidin berhasil

--66--
mengislamkan Damaskus (635 M), Baitul Maqdis, Palestina,
Mesopotamia, Babilonia (640 M), Mesir (641 M), serta seluruh
wilayah Iran (642 M) dan Tripoli (646 M). Kemudian beberapa
wilayah di belahan dunia barat juga berhasil ditaklukkan oleh
keperkasaan kepemimpinan Bani Umayyah yang meliputi seluruh
Afrika Utara dari Maroko, Aljazair, dan Tunisia, Andalusia atau
Spanyol pada tahun 711 M. Sedangkan di belahan dunia timur, Bani
Umayyah pun berhasil membebaskan Uzbekistan, Turkistan,
Afghanistan dan India bagian barat (wilayah Sind).
Ketiga, transformasi masyarakat Islam adalah ditandai dengan
melejitnya peradaban Islam hingga memuncak di masa
kepemimpinan Khilafah Bani Abbasiyah di Baghdad, Bani Fatimiyah
di Kairo, dan Bani Umayyah di Andalusia (Spanyol), terutama pada
kurun waktu kekuasaan Bani Abbasiyah di bawah kendali Sultan
Harun Al Rasyid dan Al Ma’mun. Betapa tingginya aktivitas ilmiah
dan kemajuan ilmu pengetahuan, baik ilmu keagamaan maupun ilmu
pengetahuan umum. Dalam konteks ilmu keagamaan melahirkan
ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu kalam dan ilmu fikih. Sementara
kemajuan dalam ilmu pengetahuan umum telah mengembangkan
berbagai disiplin ilmu yang mencakup filsafat, kedokteran, atronomi,
matematika, dan geografi yang kemudian menyebar ke Eropa dan
dunia Barat melalui kekuasaan Islam di Andalusia (Afrizal, 2017
Rofiq, 2018; Suwarno, 2019; Nafi’I, 2020).
Konstalasi sosiologis ini adalah membuktikan bahwa agama
merupakan sumber inspirasi gerakan sosial, gerakan moral dan
gerakan ilmu pengetahuan yang telah dibuktikan oleh kehebatan
ilmuwan Muslim, di ataranya: {1} Ibnu Sina sang filsuf ternama
yang terkenal di dunia medis, sehingga dijuluki sebagai Bapak
Kedokteran Modern; {2} Al Zahrawi yang juga bergumul di bidang
medis, sehingga sangat terkenal sebagai Bapak Ilmu Bedah Modern
atas kesuksesannya memperkenalkan catgut (benang) sebagai alat
untuk menutup luka; [3} Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi
sebagai ahli matematika Islam serta terkenal sebagai penemu
aljabar, algoritma dan sistem penomoran; {4} Al-Khawarizmi sang
ahli astrologi dan astronom yang sangat ternama dan sangat
terkenal; {5} Abbas Ibn Firnas bersama saudaranya merupakan
penemu pesawat terbang sekaligus manusia pertama yang berhasil
terbang; {6} Ibn Haytham adalah sang ahli optik mata manusia,
lensa, cermin dan dispersi cahaya serta ahli kimia dan Fisika yang

--67--
kemudian ditungkan dalam buku yang jumlahnya kurang lebih 200
judul yang kesemuanya didevelop dari Al Quran; dan {7} Ahmad Ibn
Tulun adalah orang pertama yang mencetuskan perawatan medis
modern berupa rumah sakit Al-Fustat di Kairo Mesir. Tak pelak lagi,
cendikiawan muslim Ibnu Battutah sang penjelejah sebanyak 44
negara dan bahkan pernah menginjakkan kakinya di wilayah
Samudera Pasai.
Keberadaan orang-orang beragama atau para penganut agama
yang taat, tawaddu dan cerdas seperti sang cendikiawan muslim
tersebut, sesungguhnya merupakan realitas historikal dan realitas
sosial serta realitas religious yang tidak hanya sulit terbantahkan.
Akan tetapi, sekaligus menjadi bukti nyata bahwa bagi sang penganut
agama yang benar-benar memahami agamanya dan hingga
mengamalkan nilai-nilai agamanya dengan penuh istiqamah, akan
tampil menjadi manusia yang rasional, empirik dan spiritual,
sehingga memiliki IESQ Power yang handal. Dan tentu saja
kecerdasan yang demikian super menakjubkan sang cendikiawan
muslim tersebut, sudah pasti dapat menghempaskan persepsi,
prasangka, tudingan dan stigmatisasi terhadap agama sebagai candu,
dongeng, lelucon dan bahkan acapkali diklaim sebagai sumber
konflik sosial. Paling tidak, kisah keperkasaan ilmuwan muslim
terdahulu dapat menjadi bahan kontemplasi yang bakal
menyadarkan.
Betapa kini, amat sangat mengherankan karena kini agama
dituding dan tertuduh sebagai sumber konflik sosial dan bahkan
diklaim sebagai candu masyarakat yang katanya membuat para
penganutnya jadi pasrah, malas, hanya menunggu nasib dan sangat
percaya pada tahayyul. Lebih jauh dari itu, agama dituduh sebagai
penghambat kemajuan manusia, mengentalkan fanatisme, irasional,
tidak toleran, pengacau, radikal, dan teroris. Besar dugaan bahwa
pemahaman seperti ini adalah disebabkan oleh dentuman tesis Marx
dan Weber. Pasalnya, Max Weber adalah orang yang tergolong paling
lengkap dalam menjelaskan masalah etos kerja, khususnya tentang
kemungkinan adanya hubungan antara ajaran agama dan perilaku
ekonomi. Pengamatannya bermula dari fakta sosiologis yang
ditemukannya di Jerman bahwa sebagian besar dari pemuka bisnis,
pemilik modal, tenaga-tenaga yang terlatih di bidang teknik dan
perdagangan dalam industri-industri modern, manajer pabrik dan
buruh lapisan atas di perusahaan-perusahaan besar, adalah orang-

--68--
orang protestan yang dianggap penuh spirit dan kreatif. Sebaliknya,
bukan orang katolik yang diklaim lemah etos kerjanya.
Dalam konteks ini, Weber melihat adanya perbedaan aspirasi
pendidikan keluarga protestan dan katolik, karena banyak orang
Protestan yang belajar di sekolah-sekolah modern dengan
mempelajari matematika dan ilmu pengetahuan alam serta
mempersiapkan diri ke lapangan kerja industri perdagangan.
Sedangkan orang-orang dari keluarga Katolik lebih suka belajar di
lembaga-lembaga pendidikan yang mengajarkan humaniora dan
bahasa klasik. Sementara sindiran Weber kepada agama Islam
sebagaimana ditulis oleh Sobary dan pandangan ilmuwan lain yang
terpengaruh oleh tesis Weber menyatakan bahwa tidak mungkin
spirit of capitalism muncul dari etika Islam, karena kapitalisme
memerlukan situasi yang bebas. Selain itu, kecenderungan rasional
sebagai persyaratan rohaniah bagi kapitalisme juga tidak dimiliki
oleh ajaran Islam dan bahkan Weber menuding Islam sebagai agama
perang yang telah menciptakan patrimoniallisme. Tentu saja kalau
kita memahami etos bisnis sahabat Rasulullah yang terkenal kaya
raya, jujur, dermawan dan tawaddu seperti Usman dan Abdurrahman
Bin Auf, maka spontanitas ocehan Weber tersebut diklaim a-historis
dan pembual.
Sebaliknya, beberapa temuan penelitian yang antithesis
dengan hasil penelitian Sobary karena membuktikan tingginya etos
kerja orang-orang Islam seperti diungkap oleh Ummah (2017) dalam
artikelnya yang berujudul “Melacak Etika Protestan Dalam
Masyarakat Muslim Indonesia” bahwa Geertz dalam salah satu
risetnya di Kediri Jawa Timur sekitar 1960an, juga menemukan
banyak pengusaha di kota kecil dari kalangan santri yang berafiliasi
pada organisasi Islam Modernis. Istilah santri biasanya dilekatkan
pada anak didik atau lulusan pesantren yang memiliki wawasan
Islam di atas orang kebanyakan. Dalam pandangan Geertz bahwa
santri menjadi salah satu kategori sosial yang secara antropologis
berbeda dengan kategori abangan dan priyayi. Kaum santri adalah
bukan hanya mempunyai pengetahuan agama yang luas dan
mandalam, tetapi juga memiliki tingkat kedisiplinan yang tinggi,
pekerja keras, hemat dan jauh dari perilaku konsumtif.
Begitupula hasil penelitian sang antropolog Jepang yang
bernama Mitsuo Nakamura (dalam Ummah, 2017) juga melihat
realitas sosial yang nyaris sama dengan Geertz di Kotagede

--69--
Yogyakarta. Penelitian yang berlangsung di akhir 1970-an itu
menginformasikan bahwa orang-orang kaya di Kota Gede
kebanyakan dari kalangan kaum santri yang memiliki keberagamaan
yang taat, sehingga mereka memiliki etos kerja wiraswastawan yang
tinggi dan berafiliasi ke dalam Islam modernis. Demikian halnya
temuan Hiroko Horikoshi (dalam Ummah, 2017) juga menemukan
fakta yang sama di Garut Jawa Barat pada 1970-an. Menurutnya,
geliat ekonomi di kalangan pengusaha pribumi adalah rata-rata
terlahir dari keluarga pesantren dan bahkan sebagian besar
merupakan anak keturunan kiai yang memiliki tingkat
keberagamaan yang taat sekaligus menjadi aktor-aktor ekonomi
yang hampir semuanya terlibat dan berpartisipasi dalam organisasi
Islam modernis serta memiliki perilaku ekonomi yang disiplin,
beretos kerja kuat dan cenderung tidak boros.
Senada dengan itu, sebetulnya Sobary (dalam Ummah, 2017)
juga melihat adanya etos kerja dan gerakan wirausaha yang bangkit
dari kesadaran keberagamaan masyarakat di Suralaya Jawa Barat.
Namun menurutnya bahwa tesis Weber tidak sepenuhnya bisa
diterima, karena Weber mengambil penelitian pada pengusaha
menengah dan atas yang mempunyai konstruksi pemikiran yang
maju karena didukung basis pendidikan yang cukup. Karena itu,
menurut Ummah (2017) bahwa hasil penelitian Sobary tersebut
adalah melengkapi kajian Clifford Geertz di Mojokuto, James T. Siegel
di Aceh, dan Lance Castle di Jawa (santri) dan ketiga peneliti ini juga
berasumsi bahwa spirit keagamaan (Islam) berpengaruh pada spirit
berwirausaha. Hanya saja ketiganya juga menjelaskan bahwa
ternyata kaum santri itu ‘gagal’ bersaing dengan koorporasi dagang
yang dibangun oleh Cina yang katanya terbukti hingga sekarang
kantong-kantong perdagangan besar di Indonesia banyak dikuasai
oleh warga keturunan Cina. Tak pelak lagi, kini koorperasi oligarki
Taipan kian melebar di berbagai wilayah pertambangan, hingga
ekosistem hutan belantara telah mengalami deforestase besar-
besaran dan dampak degradasi yang kian mencemaskan warga
sekitarnya. Sementara hegemoni bisnis Cina itu adalah bukan atas
dasar keperkasaan etos kerjanya, tetapi lebih dominan atas dasar
kolaborasi – kalau tidak etis disebutkan sebagai “upaya
perselingkuhan” dengan pejabat-pejabat yang sedang bertengger di
kursi panas.

--70--
Sesungguhnya tesis Weber dipengaruhi oleh teologi Ashari
sebagaimana halnya teori solidaritas Durkheim yang dipengaruhi
oleh teori Ashabiyah Ibnu oleh Ibnu Khaldun (Peribadi, 2020). Akan
tetapi, mungkin saja kaum Weberian tidak mau tahu atau pura-pura
tidak mau tahu sebagai akibat dari virus islamophobia yang
memaparnya dan menamparnya, termasuk anak-anak bangsa
kontemporer yang terpapar doktrin Spilis. Jika sejak perjuangan
kemerdekaan perilaku ekonomi mata sipit itu telah berselingkuh
dengan penjajah Belanda, maka kini taktik kolaboratif alias
perselingkuhan itu tetap berlangsung dengan rezim dan bahkan
mereka telah sukses gemilang mempacundangi atau menjadikan
pejabat-pejabat politik sebagai “ternak politiknya” yang kemudian
terkenal dengan gelaran “budak oligarkhis”. Lebih jauh lagi bahwa
sesungguhnya pandangan orang yang mengklaim agama Islam
irasional adalah patut disebut a-historis. Betapa tidak, pada zaman
pertengahan pasca zaman klasik dan sebelum zaman moderen,
teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah
itu hilang dari dunia Islam dan pindah ke Eropa melalui mahasiswa-
mahasiswa Barat yang datang belajar ke Andalusia yang kini
bernama Spanyol serta melalui penerjemahan buku-buku Islam ke
dalam bahasa Latin.
Pada gilirannya, di belahan dunia Eropa berkembang pesat
Averroisme dari pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah Ibnu Rusyd
sebagai filosof Islam abad ke dua belas. Averroisme itulah yang
kemudian menjadi pemicu serta mendorong lahirnya Renaissance di
Eropa, sehingga menggiring Eropa ke zaman Modern dengan segala
prestasi sains dan teknologinya. Sebaliknya, sejak saat itu pula dunia
Islam memasuki zaman kemunduran hingga teologi sunnatullah
dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiahnya itu hilang dari
dunia Islam. Kemudian lambat laun digantikan oleh teologi Jabariyah
atau fatalism dengan segala konsekwensinya yang terjadi pada umat
Islam sejak zaman pertengahan abad kedua belas sampai zaman kita
sekarang ini.
Betapa tidak, ketika memasuki abad ke sembilan belas sebagai
zaman moderen, ternyata bangsa Eropa yang dahulu sangat
terbelakang dan kemudian datang belajar ke dunia Islam, tiba-tiba
tumbuh dan berkembang pesat. Akibatnya, membuat orang Islam
sangat terkejut karena tidak menyangka bahwa Eropa yang pernah
mereka kalahkan pada zaman Klasik dahulu, kini pada zaman

--71--
modern telah menguasai Islam yang memuncak ketika Turki Usmani
sebagai adikuasa di abad pertengahan mengalami reruntuhan
sebagai negara Khilafah. Sungguh mengejutkan, karena dalam tempo
tiga mingguan Napoleon Bonaparte sukses gemilang menaklukkan
dan menguasai seluruh Mesir pada tahun 1798 M, sehingga Inggris
pun memasuki India dan menghancurkan kerajaan Mughal pada
tahun 1857 M. Karena itulah, upaya mengembalikan etos kerja dan
etos jihad Islami, maka teologi sunnatullah dengan pemikiran
rasional, filosofis dan ilmiahnya perlu dikembangkan kembali di
benak dan nurani umat Islam dan sekaligus mengrangi pengaruh
mashaf teologi nasib-nasipan, sehingga tercipta keseimbangan antara
orientasi spiritual keakhiratan dan orientasi keduniaan.
Tepatlah kiranya jika Ummah (2017) berkesimpulan bahwa
Islam di antara agama-agama di dunia adalah satu-satunya agama
yang menjunjung tinggi nilai kerja. Betapa tidak, ketika masyarakat
di dunia umumnya menempatkan kelas pendeta dan militer di posisi
tertinggi, maka Islam menghargai orang-orang yang berilmu, petani,
pedagang, tukang, dan pengrajin. Penghargaan Islam terhadap kerja
tercermin juga dalam sistem kepemilikan bahwa apa yang ada di
langit dan di bumi adalah milik Allah sebagai sumber rezeki yang
sangat terbuka bagi hamba-Nya. Menurutnya, terdapat kaitan yang
erat antara pemahaman agama seseorang dengan pola perilaku
ekonomi yang dijalani dalam kehidupan, tidak terkecuali dalam
masyarakat Muslim Indonesia. Hal itu telah terbukti di berbagai
negara Islam yang kini mulai mengembangkan berbagai konsep-
konsep baru tentang ekonomi Islam sebagai spirit baru dalam
memompa pemberdayaan ekonomi dengan menempatkan ajaran
keagamaan untuk mendorong kesadaran dan kemandirian ekonomi.
Tak pelak lagi, Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang
berprofesi sebagai pedagang pernah menyandang predikat sebagai
saudagar terkaya di Jazirah Arab.
Menurut Jati (2018) dalam artikelnya yang berjudul “Agama
Dan Spirit Ekonomi: Studi Etos Kerja Dalam Komparasi
Perbandingan Agama” bahwa dalam konsep Weberian disebutkan
agama terutama sekte Calvinis mempunyai pengaruh besar dalam
pembentukan etos kerja sebagai bentuk manifestasi keimanan
(calling), asketisisme kehidupan dan bersikap rasional untuk
membentuk masyarakat kapitalis sekaligus mengusir rasa cemas
terhadap predestinasi akan takdir mereka di dunia. Upaya

--72--
mengkomparasikan Calvinisme dengan agama Iainnya, ternyata
terdapat pola nilai yang sama dan juga berbeda. Meskipun pada
awalnya dalam tesis Weber menyebutkan bahwa agama besar lain
non Calvinis kurang mendukung adanya kondisi prakapitalisme yang
digunakan sebagai basis dasar masyarakat Industrialisasi. Namun
hasil studi Jati tersebut membuktikan bahwa agama lainnya pun juga
mendukung adanya prakondisi kapitalisme, tetapi dalam konteks
yang berbeda. Dalam konteks ini, Konfusianisme adalah
mengedepankan etos kerja harmonis dan pengabdian, Hindu-Buddha
mengedepankan etos kerja berbasis mencari kebajikan dan Islam
mendasari etos kerja sebagai moral dan etika.
Kalau Weber mengatakan bahwa ada kaitan antara agama
dengan tingkah laku kewirausahaan yang menyebabkan terjadinya
perkembangan suatu masyarakat tersebut terhadap makna kerja.
Maka hasil penelitian Yulianty dan Octaviani (2014) membuktikan
pada migran Bugis di Nunukan Kalimantan Utara bahwa agama
menjadi pondasi dari Suku Bugis dalam menjalankan bisnisnya, baik
bisnis kelas bawah, menengah, dan atas. Nilai-nilai agama yang
dipraktekkan zaman Rasulullah sangat menjadi acuan. Keuletan,
kejujuran, disiplin, dan bershodaqoh ini menjadi rutinitas wajib di
tiap bulannya atau setiap penghasilan perbulannya. Tidak hanya
karena mereka seluruhnya seorang muslim, sehingga mereka
mengembangkan bisnis ala Nabi dan bahkan cenderung menjadi
budaya dari orang Bugis yang ada di Kalimantan Timur. Profesi
bisnis telah ditradisikan sejak nenek moyang Suku Bugis, budaya
kerja keras sebagai pertalian harga diri adalah sikap yang telah
mentradisi dan mengakar begitu kuat dalam kehidupan budaya
mereka, sebagai warisan leluhur dari nenek moyang mereka sebagai
berdagang sekaligus pelaut.
Al-Qur’an menegaskan bahwa Islam menekankan pada
umatnya untuk bekerja dan tidak melupakan kehidupan dunia
dengan etos kerja yang memiliki nilai-nilai keislaman sebagaimana
disebutkan dalam QS. Al Qashas ayat 77 yang artinya: “Dan carilah
pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. Hasil penelitian

--73--
Septianingsih, dkk., (2020) menyimpulan bahwa dari sebanyak 30
orang sampel responden yang terdiri dari 11 orang laki laki dan 19
orang perempuan dengan rentang usia berusia 20-30 berjumlah
sebanyak 8 orang. Sedangkan rentang usia 31-40 berjumlah 17 orang
dan rentang usia 41–50 hanya sebanyak 5 orang tampak pengaruh
significant yang terukur berdasarkan nilai keislaman seperti
kejujuran, bertanggung jawab, disiplin, gigih serta mengharap ridho
Allah SWT atas pekerjaan yang dilakukan. Karyawan bekerja adalah
bukan hanya sebagai ladang mencari penghasilan tetapi sekaligus
merupakan sarana dalam menjalankan ibadah sesuai dengan
semboyan Muhammadiyah “Hidup hidupilah Muhammadiyah tetapi
jangan mencari hidup di Muhammadiyah”.
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kerja,
sehingga ethos kerja adalah menggambarkan aspek kerja yang baik,
bersumber dari kualitas diri, diwujudkan oleh nilai-nilai, seperti
aktivitas kerja yang dilaksanakan di tempat kerja. Islam
menganjurkan muslim untuk bekerja keras sesuai dengan syariah.
Etos kerja dalam Islam terkait erat dengan nilai-nilai kandungan
Alquran dan Sunnah dalam bekerja. Alquran dan sunnah merupakan
sebuah petunjuk yang memotivasi untuk melakukan aktivitas kerja di
beraneka bidan kehidupan. Islam, di antara agama-agama yang ada di
dunia, adalah satu-satunya agama yang menjunjung tinggi nilai kerja
sebagaimana disebutkan terdahulu bahwa ketika masyarakat dunia
pada umumnya menempatkan kelas pendeta dan kelas militer di
tempat yang tinggi, maka Islam justru menghargai orang-orang yang
berilmu, petani, pedagang, tukang dan pengrajin. Sebagai manusia
biasa mereka tidak diunggulkan dari yang lain, karena Islam
menganut nilai persamaan di antara sesama manusia di hadapan
manusia. Ukuran ketinggian derajat adalah ketakwaannya kepada
Allah yang diukur dengan iman dan amal salehnya. (Irham, 2012;
Sitepu, 2015).
Sehubungan dengan itu, menurut Sitepu (2015) dalam
artikelnya yang berjudul “Etos Kerja Ditinjau Dari Perspektif Alquran
Dan Hadis” bahwa bekerja bukan hanya sekedar memenuhi
kebutuhan perut, tetapi juga untuk memelihara harga diri dan
menjunjung tinggi martabat kemanusiaan. Karena itu, Islam sangat
menghargai orang yang bekerja untuk memenuhi kebutuhannya dan
kebutuhan keluarganya, sehingga dapat dikategorikan sebagai jihād.
Islam memberikan apresiasi yang sangat tinggi kepada orang-orang

--74--
yang berusaha dengan sekuat tenaga dalam mencari nafkah.
Sebaliknya, Nabi melarang umatnya meminta-minta dan duduk
berpangku tangan belaka. Betapa Nabi mendorong ummatnya untuk
bekerja mencari anugerah Allah, melaksanakan usaha yang
dibolehkan syariat, melaksanakan hak yang merupakan fitrah,
menempuh cara yang memudahkan lapangan kerja dan jasa bagi
semua manusia demi kesejahteraan umat manusia.
Etos Kerja Islam adalah sikap kepribadian yang melahirkan
keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja
untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiannya,
melainkan juga sebagai manifestasi dari amal saleh, sehingga bernilai
ibadah yang sangat luhur. Etos Kerja Islam mencakup karakteristik
yang menggambarkan bagaimana seharusnya sebagai manusia untuk
bekerja pada sebuah organisasi. Organisasi yang sukses tampaknya
memiliki etos kerja Islam yang kuat, sehingga mampu meningkatkan
kinerja. Menurut Sono (2017) bahwa etos kerja Islam mempunyai
hubungan positif terhadap kinerja karyawan yang bekerja di
berbagai perusahaan. Hal ini didukung oleh pandangan Islam sebagai
suatu kewajiban moral bagi setiap warga masyarakat muslim untuk
berusaha semaksimal mungkin melaksanakan semua syari’ah
(aturan) Islam di segala aspek kehidupan, termasuk dalam
pencaharian kehidupan (ekonomi) dan lebih khusus pada urusan
etika dalam bekerja.
Tampaknya, potret fenomenal kemiskinan yang kini masih
dominan dialami oleh komunitas muslim, juga tidak bisa dilepaskan
oleh perspektif keberagamaan pasca reruntuhan pranata sosial dan
nilai keislaman, sehingga bisa dimaklumi ketika melihat atau
mendengar kecenderungan irasionalitas sebagaimana disentil
sebelumnya. Dalam konteks ini, menurut Zaeni (2013) dalam
artikelnya yang berjudul “Teologi Sunnatullah Versus Teologi
Determinis: Upaya Melacak Etos Kerja Ummat” bahwa memang ada
dua ajaran dalam agama yang sangat erat kaitannya dengan etos
kerja. Pertama, agama mengajarkan bahwa setelah hidup di dunia
yang bersifat material ini ada kehidupan akhirat yang bersifat
spiritual. Ketika kehidupan dunia dipandang penting, maka etos kerja
akan meningkat. Namun sebaliknya, ketika kehidupan akhirat lebih
dipentingkan, maka etos kerja akan menurun. Artinya, ketika nasib
manusia telah ditentukan oleh Tuhan sejak semula, maka etos kerja
masyarakat yang menganut paham keagamaan demikian sudah

--75--
rendah sekali. Sebaliknya, bagi masyarakat yang menganut paham
bahwa manusialah yang menentukan nasibnya, maka etos kerja akan
tinggi. Dalam teologi, paham pertama dikenal dengan paham
Jabariyah atau disebut juga dengan fatalisme dan predestinasi.
Sebaliknya, paham kedua disebut dengan paham Qadariyah atau
kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan (free will and free
act).
Hanya saja, acapkali pandangan keagamaan tersebut
dikembang-kempeskan atau terpoles menjadi dalil-dalil picisan oleh
oknum tertentu sebagai upaya kompensasi atau menutupi
ketimpangan struktural dan proses pemiskinan yang demikian
terang benderang menggelegar di bangsa dan negara yang kaya raya
Sumber Daya Alam ini. Betapa ironisnya, karena sebagai bangsa dan
negara yang melimpah Sumber Daya Alaamnya, tetapi tiba-tiba dan
sekonyong-konyong terpelanting menjadi bangsa dan negara yang
underdevelopment alias miskin papa. Tanpa perlu berdebat panjang
lebar dan menguras enersi untuk mencari penyebabnya, karena
semuanya sudah terang benderang bahwa “pejabat kita tampil beda-
beda tipis dengan penjahat” alias pejabat korup karena tidak amanah
dalam menempati kursi panasnya. Tentu saja potret perampokan
itulah yang sesungguhnya menjadi bianngkladi pemiskinan dan
kemiskinan di bangsa dan negara tercinta ini.
Menurut Khusna, dkk., (2019) bahwa kemiskinan sejauh ini
masih dirasakan oleh masyarakat Indonesia, terutama kaum nelayan
yang menempati pesisir pantai. Sementara mayoritas nelayan
beragama Islam yang mengajarkan dan memerintahkan bahwa setiap
manusia harus bekerja keras, karena bekerja itu merupakan bentuk
ibadah dan tanggung jawab dalam menafkahi keluarga. Namun
realitas yang terjadi pada masyarakat nelayan tampak
memprihatinkan, sehingga Husna mencoba melakukan penelitian
untuk mendeskripsikan peran spiritualitas agama bagi masyarakat
yang dapat mendorong tumbuhnya etos kerja dalam menanggulangi
kemiskinan nelayan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
meskipun nelayan memiliki etos kerja yang tinggi karena berani
melintasi lautan dengan gelombang yang dahsyat sekalipun, tetapi
ternyata etika kerja yang dipahami kurang sesuai dengan apa yang
diajarkan oleh agama Islam. Profesi nelayan sebagai pemburu ikan di
laut mengandung banyak tantangan, bahaya, berisiko tinggi dan
pendapatan yang tidak dapat dipastikan. Pola pendapatan nelayan

--76--
yang fluktuatif, tidak jelas, dan penuh risiko inilah yang menjadi
penyebab kebiasaan hidup nelayan. Apabila pendapatan nelayan
lumayan banyak biasanya nelayan membelanjakan pendapatannya
cenderung boros, maka hal tersebut dirasa lumrah karena tidak
setiap hari pendapatan nelayan tinggi. Ketika memasuki musim
paceklik atau barat yang ditandai dengan ombak sangat besar
nelayan akan memperoleh hasil tangkapan lebih sedikit yang
berdampak pada turunnya pendapatan nelayan, sehingga nelayan
mengalami kekurangan. Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup,
nelayan menghutang kepada juragan darat dan dibayar pada saat
pendapatan nelayan meningkat.
Memang agama Islam mengajarkan etika kerja keras, tetapi
realita yang terjadi pada masyarakat nelayan justru kemiskinan yang
disebabkan oleh faktor kultural. Menurutnya, kultural masyarakat
nelayan Desa Grajagan memiliki tingkat kepasrahan nrimo ing
pandum yang tinggi, serta fatalistik dalam menjalani hidup, sehingga
meskipun hidup dalam kekurangan tetapi mereka tidak merasa
kekurangan. Nelayan belum mangaplikasikan ajaran agama dalam
kehidupannya dengan baik, karena masih tergolong sebagai Islam
abangan yang ditandai oleh acara ritual selametan secara individu
dan kolektif. Hal itu dilakukan sebagai sandaran dalam mencari
keselamatan dalam bekerja dan bahkan tidak memahami makna
subtansi dari ritual yang dilakukannya itu. Betapa praktik keagamaan
nelayan Jawa yang mayoritas beragama Islam, relatif masih kuat
dengan ajaran-ajaran nenek moyang. Ritual sedekah laut, sesaji dan
“santet” merupakan implementasi dari ketergantungannya pada
kekuatan supranatural. Di lain pihak, nelayan dikenal sebagai
kelompok masyarakat yang paling miskin meskipun rata-rata mereka
memiliki etos kerja tinggi (Nadjib, 2013; Jaya dan Suryani, 2019).
Hasil penelitian Jaya dan Suryani (2019) tentang “Etos Kerja
Penerima Bantuan Dana Bergulir PNPM Mandiri Kelurahan Latuppa
Kecamatan Mungkajang Kota Palopo” menunjukkan bahwa: 1)
Penerima bantuan dana bergulir PNPM Mandiri memiliki etos kerja
tinggi karena dipengaruhi oleh beberapa hal yakni sebagai berikut:
(a) Adanya keahlian interpersonal; (b) Adanya inisiatif tinggi; (c)
Adanya nilai-nilai kehandalan; (d) Adanya pemberdayaan dan
pembelajaran; (e) Adanya faktor internal (faktor usia, jenis kelamin,
agama, dan motivasi) faktor eksternal (faktor budaya, kondisi
lingkungan geografis dan struktur ekonomi), dan beberapa faktor

--77--
lain yang peneliti temukan di lapangan, seperti faktor kebutuhan,
kewajiban dan tanggung jawa, serta faktor kelompok. 2) Proses
penerapan program kerja bantuan dana bergulir PNPM Mandiri yang
mengstimulasi etor kerja adalah (a) revitalisasi dan pembelajaran
nilai-nilai moral kemasyarakatan; (b) membangun kesadaran kritis
masyarakat untuk ikut berpartisipasi secara langsung dalam
pelaksanaan program kerja bantuan dana bergulir PNPM Mandiri
yakni mulai dari proses identifikasi masalah, perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan sampai pada evaluasi program; (c)
pembelajaran untuk berkelompok dalam menghadapi dan
menyelesaikan masalah Bersama.
Karena itu, meskipun kelompok sosial ekonomi seperti nelayan
dan petani tampak ulet sebagai pekerja keras, tetapi pada gilirannya
tidak bisa bangkit di tengah konstalasi kehidupan masyarakat
kontemporer. Terlepas dari pemahaman teologisnya dan tingkat etos
kerjanya, tetapi mereka tetap miskin, terutama di era globalisasi
sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh adanya penyatuan politik,
ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi
yang terjalin secara integral antar negara tanpa menghilangkan
identitasnya masing-masing. Penyatuan ini terjadi berkat kemajuan
teknologi Informasi (TI) yang dapat menghubungkan dan
mengkomunikasikan setiap isu yang ada pada suatu negara dengan
negara lainnya. Karena itu, munculnya berbagai kecenderungan
dalam era globalisasi merupakan tantangan sekaligus peluang untuk
dihadapi dan dipecahkan dengan arif dan bijaksana. Oleh karenanya,
umat Islam harus siap untuk menghadapi dan meningkatkan
kemampuan IESQ Power di bidang konsep, kemampuan di bidang
komunikasi, kemampuan menejemen dan kepemimpinan,
kemampuan di bidang emosional dan institusi, kemampuan di bidang
moral dan kemampuan di bidang spiritual sehingga dapat
merumuskan kembali berbagai komponen dalam Pendidikan.

--78--
B. Kebijakan Pronangkis

Hasil penelitian Nuraeda, dkk., (2019) menunjukkan bahwa


dari sisi efektivitas mulai dari pembangunan sistem, mekanisme
penyaluran sampai kepada sumber daya finansial maupun
sumberdaya manusia belum optimal. Begitupun untuk efisiensi
pemanfaatan sumberdaya yang ada juga belum maksimal.
Responsivitas rendah, karena rentang kendali dan kontrol lemah.
Perataan juga belum terdistribusi dengan baik, sehingga ketepatan
sasaran bagi rumah tangga miskin belum mencapai sasaran yang
ditetapkan dalam program-program percepatan. Dari hasil evaluasi
kinerja yang menjadi hambatan utama di Kabupaten Subang adalah
otorisasi atau kewenangan, disusul kemudian dengan faktor efisiensi
dan efektivitas, disiplin dan inisiatif. Bahwa jika dilihat dari dampak
Kebijakan Percepatan Penanggulangan Kemiskinan terhadap
kelompok penerima manfaat di Kabupaten Subang, maka tidak
berdampak cukup besar bagi perubahan kehidupan mereka.
Hasil Penelitian Fadillah (2018) yang tertuang dalam
artikelnya “Analisis Kebijakan Dan Strategi Pengentasan Kemiskinan
Di Kota Tangerang Provinsi Banten” menemukan bahwa pelaksanaan
kebijakan pengentasan kemiskinan melalui Tim Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) adalah melakukan koordinasi
penanggulangan kemiskinan sekaligus mengendalikan pelaksanaan
kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan secara
menyeluruh. Koordinasi penanggulangan kemiskinan dimaksud
meliputi: sinkronisasi, harmonisasi, integrasi antar SKPD, institusi
baik vertikal maupun horizontal, dan terjalinnya sinergi antara
kebijakan pemerintah dengan usulan masyarakat dari bawah. Secara
umum penelitian ini menemukan bahwa kebijakan dan strategi
pengentasan kemiskinan di Kota Tangerang dapat dikatakan
memberikan hasil positif dengan indikator turunnya jumlah
masyarakat miskin, meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia
dan meningkatnya harapan hidup masyarakat secara signifikan
selama tiga tahun terakhir dari tahun 2012 sampai tahun 2014.
Menurut Annida (2020) dalam artikelnya yang berjudul
“Kebijakan Pembiayaan Kesehatan Terhadap Masyarakat Miskin
Dalam Pencapaian Universal Health Coverage Di Kabupaten Banjar”
bahwa forum TKPKD melibatkan CSR untuk membantu pembiayaan
kesehatan terhadap masyarakat miskin yang berada di luar PBI,

--79--
namun masih terjadi kendala dalam sinkronisasi BDT, sehingga
menjadi hambatan dalam memperhitungkan anggaran pembiayaan
kesehatan. Pemerintah perlu meningkatkan kuota alokasi anggaran
PBI. Upaya lainnya agar hanya masyarakat yang benar-benar miskin
dan tidak mampu yang masuk dalam daftar PBI kabupaten,
pemerintah daerah melalui Wakil Bupati Banjar dalam forum TKPKD
juga telah meminta Camat untuk menghimbau masyarakat agar
termotivasi masuk BPJS Kesehatan secara mandiri. Hal ini
diwujudkan melalui surat edaran yang disusun oleh dinas kesehatan
kabupaten dan ditandatangani oleh Bupati, untuk disampaikan ke
wilayah kecamatan sebagai pemberitahuan bahwa mulai tahun 2020
tidak ada lagi program Jamkesda, dan masyarakat dihimbau untuk
masuk BPJS Kesehatan secara mandiri.
Hasil penelitian Hanafie (2016) menganjurkan untuk
menumbuhkan semangat koordinasi, integrasi dan sinergitas antar
kegiatan serta terus membangun kemitraan antar Pemerintah
dengan Masyarakat dan Swasta. Karena hal itu merupakan salah satu
kunci sukses dalam penerapan Strategi Penanggulangan Kemiskinan
ini dan sekaligus sebagai upaya pencapaian tujuan pembangunan
millenium. Selain itu, juga sangat penting melakukan analisis
kondisi/capaian indikator-indikator yang menjadi determinan
kondisi kemiskinan, sehingga diperoleh hasil pemetaan prioritas
bidang intervensi dan penetapan prioritas wilayah intervensi dengan
tepat sasaran.
Pertama, isu kemiskinan konsumsi adalah terfokus pada
penyempurnaan program perlindungan sosial untuk melindungi
pemenuhan hak-hak dasar penduduk miskin, utamanya diarahkan
pada peningkatan pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan dan
kebutuhan bahan pokok untuk mengatasi terjadinya goncangan
ekonomi maupun goncangan sosial. Demikian pula, upaya
pengurangan kesenjangan antar kelompok ekonomi harus diarahkan
melalui peningkatan dan perluasan akses ketersediaan infra-struktur
dan sarana pelayanan dasar. Sedangkan upaya peningkatan daya
saing kegiatan ekonomi produktif dilakukan melalui pembekalan
keterampilan wirausaha, keterampilan teknis dan kemudahan akses
pasar bagi penduduk kurang mampu dan rentan dalam mengatasi
kompleksitas permasalahan kemiskinan.

--80--
Kedua, isu kemiskinan non-konsumsi merupakan upaya
pemenuhan layanan hak-hak dasar melalui peningkatan kualitas
pembangunan bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan,
infrastruktur dasar, dan ketahanan pangan. Hal itu diproses melalui
peningkatan kelembagaan sumber daya, sistem tata kelola dan tata
laksana layanan hak-hak dasar yang berkualitas serta aspek
keterjangkauan sebagai upaya memperhatikan keterjangkauan
layanan kebutuhan dasar masyarakat, khususnya warga miskin dan
yang berkebutuhan khusus, sehingga perlu terjalin sinergitas
Pronangkis antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha.
Ketiga, isu terkait dengan kebijakan dan kelembagaan
Pronangkis adalah berupaya memperkuat pelaksanaan program
penanggulangan kemiskinan melalui kebijakan, baik berupa
Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Kepala Daerah, dan
aturan pelaksanaannya yang secara jelas mencantumkan kemiskinan
sebagai isu utamanya. Misalnya, Perda tentang penanggulangan
kemiskinan, peraturan pemanfaatan dana Bansos dalam
penanggulangan. kemiskinan, peraturan yang mewajibkan SKPD
untuk memiliki program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan
dalam memanfaatkan Pemutahiran Basis Data Ter-padu (PBDT)
sebagai dasar acuan perencanaan program penanggulangan
kemiskinan. Kemudian melaksanakan unifikasi data kemiskinan
berbasis PBDT, sehingga seluruh SKPD dan pemangku kepentingan
dalam penanggulangan kemiskinan memanfaatkan data tersebut
sebagai dasar acuan dalam perencanaan, implementasi, monitoring
dan evaluasi program penanggulangan kemiskinan. Seterusnya
adalah mengembangkan program-program khusus penanggulangan
kemiskinan yang merupakan inovasi daerah, khususnya yang
memiliki basis pemberdayaan masyarakat maupun pemberdayaan
usaha ekonomi mikro dan kecil. Akhirnya, membangun keterlibatan
masyarakat, dunia usaha, dan pemangku kepentingan lainnya dalam
penanggulangan kemiskinan, seperti pelaku CSR (corporate social
responsibility), Perguruan Tinggi, LSM, dan Media Massa melalui
kemitraan dalam program/kegiatan Pronangkis.
Hasil penelitian Sarjono, dkk., (2019) dalam artikelnya
“Strategi Penanggulangan Kemiskinan Di Kota Jakarta Timur”
berkesimpulan bahwa besaran anggota rumah tangga mempunyai
hubungan yang positif terhadap peluang terjadinya rumah tangga
miskin. Demikian pula, menurut Sarjono yang ditemukan oleh

--81--
Adianti (2005) pada penelitiannya di DKI Jakarta dan Nurdyana
(2012) di Maluku Utara. Hasil Analisis Regresi Logistik terhadap
populasi rumah tangga di Kota Jakarta Timur pada taraf nyata 1%
menunjukan bahwa besaran anggota rumah tangga berpengaruh
signifikan dan positif terhadap peluang terjadinya rumah tangga
miskin. Dengan nilai odds rasio sebesar 2,249 berarti setiap ada
penambahan satu orang anggota rumah tangga, maka peluang rumah
tangga menjadi miskin bertambah sebesar 2,25 kali.
Hasil Analisis Regresi Logistik pada penelitian Sarjono, dkk.,
(2019) ini menunjukan bahwa pada taraf nyata 1%, anggota rumah
tangga yang bekerja adalah berpengaruh signifikan dan negatif
terhadap peluang terjadinya rumah tangga miskin. Dengan odds
rasio sebesar 0,252 berarti dengan penambahan satu orang anggota
rumah tangga yang bekerja, maka peluang terjadinya rumah tangga
miskin akan berkurang 0,252 kali. Sama halnya dengan hasil
penelitian Adianti (2005) di Provinsi DKI bahwa dengan
penambahan satu orang anggota rumah tangga yang bekerja akan
menurunkan peluang terjadinya rumah tangga miskin sebesar 0,49
kali.
Secara khusus, Sahar dan Salomo (2018) menemukan tiga
tantangan dan kendala yang menyebabkan lambannya
penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Pinrang. Pertama, kinerja
TKPKD yang dibentuk pada Tahun 2010 untuk mendorong proses
perencanaan dan penganggaran agar mampu menghasilkan
perumusan anggaran yang efektif serta melakukan koordinasi dan
pemantauan program penanggulangan kemiskinan tahunan di
daerah belum maksimal. Indikasinya, masih adanya kecenderungan
ego sektoral baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan program
penanggulangan kemiskinan daerah. Selain itu, kontekstualisasi
program dan indikator penerima manfaat disusun berdasarkan
persepsi dan indikator masing-masing Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD).
Kedua, program penanggulangan kemiskinan tidak
terintegrasi, sehingga selama ini penerima manfaat dihadapkan pada
akses program penanggulangan kemiskinan yang panjang dan
tentunya membutuhkan biaya transportasi yang tidak sedikit.
Terakhir, adanya kendala di tingkat penerima manfaat program yaitu
perbedaan data dan rendahnya tingkat validitas basis data terkait
jumlah penduduk miskin dan Rumah Tangga Miskin (RTM) yang

--82--
kemudian menjadi acuan angka kemiskinan daerah. Atas dasar
itulah, maka direkomendasikan sebuah diskursus dan tawaran
dialektis terkait penerapan tata kelola kolaboratif baik secara
akademis maupun praksis. Dalam konteks ini, adalah berupaya
memperkuat otonomi dan legitimasi kepada pemimpin kolaboratif
yang diemban oleh Bagian Penanggulangan Kemiskinan Sekertariat
Daerah Kabupaten Pinrang baik secara kepangkatan maupun secara
aturan hukum yang didefiinisikan dalam peraturan daerah yang
mampu mengikat semua stakeholders. Demikian pula, harus ada
pedoman secara komprehensif kepada para stakeholders terkait
model ideal dan pengetahuan tata kelola kolaboratif khususnya
dalam pengentasan kemiskinan di Kabupaten Pinrang dengan
memanfaatkan dan mendayagunakan tenaga profesional dan para
pakar agar praktik tata kelola kolaboratif dapat terarah secara
inklusif.
Menurut Peribadi, dkk., (2021) bahwa disfungsionalisasi
TKPKD sebagai lembaga struktural adalah bisa jadi disebabkan oleh
keberadaan anggota TKPKD yang diduga belum familiar
menggunakan paradigma pembangunan partisipatif dalam
menyelenggarakan Pronangkis. Selain belum memahami paradigma
pembangunan partisipatif berbasis komunitas dan basis-basis
kultural lainnya, juga mungkin saja karena masih terasa sulit
meninggalkan paradigma konvensional yang sudah terlanjur
meninabobokkan selama kurun waktu Orde Baru (Orba). Atas dasar
itulah urgensi strategi pembangunan partisipatif dalam kerangka
Cultural Weberian dan Spiritual Khaldunian yang dapat digunakan
untuk membangun wilayah dan masyarakat perdesaan, khususnya di
wilayah Kabupaten Konawe Selatan.
Urgensi kedudukan TKPKD dalam upaya rekonstruksi
kelembagaan dan penguatan kapasitas pranata sosial sebagai mitra
kerja pemerintah dalam menjalankan tugas kemanusiaan di tengah
masyarakat, sungguh sangat dibutuhkan. Karena itu pula, maka
sangat diharapkan agar orang yang berpartisipasi dalam rancangan
ini adalah orang yang memang memiliki kompetensi, komitmen, dan
kepedulian terhadap upaya-upaya menuntaskan permasalahan
pembangunan dan pemberdayaan di daerah. Dengan demikian,
proses rekruitmen keanggotaan harus dijalankan secara terbuka
untuk memilih orang-orang yang merasa terpanggil (bukan yang
dipanggil dan apalagi dipaksa) dan memiliki kompetensi serta

--83--
komitmen nilai-nilai kemanusiaan. Namun ketika ditelaah dari
indikator kualitas kecerdasan yang dikembangkan Hawari (2009),
maka disfungsionalisasi TKPKD, ketidaktifan KBP, degradasi BKM
dan kelembagaan masyarakat tani serta kontroversi pendataan,
adalah berarti belum menunjukkan kemampuan menyelesaikan
permasalahan di bidangnya (Intelligent Quotient), belum transparan,
akomodatif, dan konsisten (Emotional Quotient), belum mampu
merubah ancaman (threat) menjadi tantangan (challange) hingga
menjadi peluang (opportunity) serta belum membangkitkan spirit
dan selft confidence (Creativity Quotient). Akhirnya, belum
sepenuhnya memegang teguh amanah (istiqomah) berbasis ibadah
(Spiritual Quotient) (Peribadi, 2015).
Akhirnya, menurut Sahar dan Salomo (2018) bahwa dalam
rezim SDG’s, pendekatan untuk mengentaskan kemiskinan adalah
collaborative partnership. Diskursus ini mengemuka karena
kemiskinan merupakan isu multisektoral yang dinamis dan
kompleks. Pemetaan solusinya pun merujuk pada pelibatan berbagai
jenjang organisasi, multidispilin, dan lintas yurisdiksi secara
berjamaah. Penelitian Zahar ini akan meninjau penerapan dan faktor
yang berpengaruh pada tata kelola kolaboratif dalam
penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Pinrang dengan
menggunakan metode deskriptif analitis. Pada tahun 2016 sebagai
momentum reformasi birokrasi, Pemerintah Pinrang membentuk
OPD yang khusus concern dalam menanggulangi kemiskinan melalui
kerangka kolaboratif antar jenjang pemerintahan dan pihak non
pemerintah untuk mangakomodasi peran TKPKD Pinrang yang tidak
optimal, program kemiskinan yang tidak terintegrasi, dan perbedaan
Basis Data Kemiskinan (BPS-TNP2K) yang menjadi rujukan
Pemerintah Daerah. Namun demikian, meskipun penerapan tata
kelola kolaboratif diarusutamakan dalam penanggulangan
kemiskinan, tetapi belum sepenuhnya menjadi solusi alternatif
terhadap tingkat kemiskinan daerah yang masih konsisten di angka
8,5%. Sampai pada tahun 2017, realisasi target angka kemiskinan di
Pinrang belum terwujud di angka 6%. Penelitian ini menemukan
tidak optimalnya pembangunan dimensi trust dan mutual
understanding sebagai salah satu komponen esensial, juga kapasitas
pemimpin kolaborasi menjadi variabel penentu menghambat proses
kolaborasi ke tingkat yang lebih literatif dan dinamis (collaborative
dynamics).

--84--
C. Kenierja Pengelolaan Zakat

Pada dasarnya, uraian yang tertuang pada sub pembahasan ini


merupakan refleksi dari hasil penelitian yang berlangsung sekitar 10
tahun lalu. Namun setelah mencoba melakukan pengamatan mandiri
dengan melalukan wawancara bebas dengan pengelola LAZ/BAZ
serta berdiskusi mendalam dengan teman-teman yang berkompoten,
ternyata realitas sosialnya belum bergerak maju serta belum tampak
signifikan dengan dinamika sosial ekonomi keummatan. Artinya,
selain perkembangan pengelolaan BAZ dan LAZ masih berlangsung
rutinitas dan konvensional dari masa ke masa, juga belum terasa
sebagai pranata sosial keagamaan yang fungsional dalam konteks
pemberdayaan ekonomi ummat. Karena itu, potret realitas
pemahaman, penghayatan dan pengamalan Zakat, Infaq dan Sadoqah
(ZIS) serta Waqab adalah menggambarkan beberapa hal.
Pertama, tampaknya semua informan cenderung sepakat
bahwa tingkat kesadaran umat untuk mengeluarkan Zakat, Infaq dan
Sodaqah (ZIS) masih sangat rendah. Ironisnya, sebagian di antaranya
dengan ekspresi kecewa dan kemudian menyatakan bahwa
“jangankan tingkat kesadaran untuk mengeluarkan ZIS yang masih
rendah, memahami saja perbedaan makna zakat fitrah dan zakat
maal, infaq, sodaqah dan wakaf juga masih banyak umat Islam yang
belum mengerti dengan baik”. Jika demikian, bagaimana kita bisa
berbuat benar, jika kita belum mengerti kebenaran itu sendiri. Dalam
artian, bagaimana kita bisa memiliki tingkat kesadaran yang tinggi
untuk mengeluarkan ZIS sebagai kewajiban fundamental dari hamba
Allah, jika pemahaman konseptual saja belum maksimal ?
Kedua, namun sebagian informan lain juga menandaskan
sebaliknya bahwa sebetulnya sudah ada tingkat kesadaran umat
Islam untuk mengeluarkan ZIS dari rezeki yang mereka dapat dan
nikmati selama ini. Akan tetapi, karena belum ada Badan Amil ZIS
yang dianggap profesional dan kredibel dalam pandangan umat
Islam dewasa ini. Maka, bagi hamba Allah yang sudah memiliki
kesadaran bahwa dalam hartanya ada hak orang-orang fakir, tampak
lebih cenderung menyerahkan secara langsung kepada seseorang
yang dianggap layak dan pantas untuk menerimanya. Meskipun cara
seperti ini tidak salah, tetapi sudah pasti tidak fungsional
(disfungsional) dalam kerangka penanggulangan orang miskin yang
mayoritas dialami oleh warga komunitas muslim.

--85--
Adalah menjadi sebuah pertanyaan yang menggugat dan
mengugah, mengapa sebagian besar umat Islam lebih cenderung
menyerahkan langsung ZIS-nya kepada seseorang yang dianggap
layak menerimanya. Apakah ikhwal ini dipengaruhi oleh faktor
pemahaman keagamaan sebagai sebuah pola religiusitas yang khas
atau memang karena faktor keberadaan BAZ dan LAZ yang kurang
terpercaya seiring dengan ”krisis kepercayaan” yang tengah melanda
bangsa dan negara tercinta ini ? Beberapa informan telah
menandaskan bahwa BAZIS yang merupakan bagian integral dari
pemerintah kurang mendapat kepercayaan masyarakat, ketimbang
LAZ yang dikelola oleh Pondok Pesantren atau warga masyarakat
pada umumnya. Demikian pula, beberapa informan lain lebih
cenderung menyoal pada pemahaman umat yang telah berlangsung
secara turun temurun, sehingga terkesan sangat sulit tercerahkan.
Ketiga, secara fenomenal, baik dari kalangan elite maupun
bagi kaum menengah ke bawah cenderung mencari orang tua
kampung yang dianggap mustajab doanya dan bahkan dianggap
memiliki kekuatan sakti manderaguna untuk menerima dan
meyalurkan ZIS-nya. Tak pelak lagi, jika orang tua dimaksud terkesan
dikultuskan oleh kebanyakan orang, sehingga menjadi tempat utama
penyaluran dana ZIS dari kalangan individu dan bahkan dari unsur
lembaga hingga mencapai ratusan juta rupiah pada setiap bulan
Ramadhan dan bulan-bulan lainnya. Dalam konteks ini, niatan untuk
mengeluarkan ZIS yang berkelindan dengan orientasi kesuksesan
menggapai sebuah status position menuju kursi panas eksekutif dan
legislatif. Ketika sukses gemilang atas dambaannya itu, maka ketika
itulah mereka kemudian menyerahkan sesuatu yang sangat berharga
sebagai refleksi rasa syukur baginya kepada orang tua yang dianggap
menjadi penyebab kesuksesannya, karena doanya yang mungkin
memang mumpuni. Sebutlah misalnya ada pada seseorang yang
familiar dipanggil ”Puang” yang disakralkan oleh banyak orang,
sehingga didatangi dari berbagai kalangan profesi, termasuk dari
kalangan politisi dan profesional lainnya. Pada gilirannya, orang tua,
uztad dan atau imam yang disakralkan tersebut menyalurkan ZIS
yang diterimanya untuk dipergunakan bagi pembangunan sarana
dan prasarana ibadah.

--86--
Keempat, selain memang harus diakui belum adanya BAZIS
yang tergolong profesional dan terpercaya, juga kita pun harus
mengakui atas keberadaan beberapa LAZ dari kalangan Ponpes yang
telah pro aktif menumbuhkembangkan fungsionalisasi ZIS seperti di
antaranya BMH Hidayatullah dan PKPU. Namun disayangkan,
beberapa LAZ dimaksud tampak belum memiliki registrasi
pencatatan atas beberapa dana ZIS yang berhasil dikumpulkan atau
diterima dari umat serta pengunaan dana ZIS yang telah
didistribusikan kepada kaum mustahik. Tak pelak lagi, hingga kini
belum ada formulasi pendataan orang-orang miskin sebagai obyek
yang dapat dirubah pola kehidupannya dari keberadaannya sebagai
kaum “mustahik” tahun ini, hinggá kemudian tampil menjadi kaum
“muzakki” di tahun-tahun berikutnya. Karena itu, semoga dana ZIS
tidak seperti BLT dan atau sejenis bantuan kemanusian lainnya yang
selama ini terhambur begitu tanpa pengembangan ekonomi
masyarakat yanag cukup signifikan. Pasalnya, selain cenderung tidak
tepat sasaran karena proses pendataan kaum tubuh-tubuh miskin
yang kurang obyektif, juga pemberian dana ZIS terkesan terhambur
begitu saja tanpa strategi dan target yang professional dan
proporsional.
Boleh jadi cukup menarik dipersoalkan, mengapa dana ZIS dan
proses penyalurannya tidak tercatat dengan baik selama ini, sehingga
dari tahun ke tahun dana ZIS terasa sangat kurang bermanfaat dan
bahkan fenomena kemiskinan kian menggeliat. Tentu saja ada yang
salah dan harus ada pihak-pihak yang tergugat untuk bertanggung
jawab. Namun entah siapa yang bakal tampil mengakui kesalahan
dengan transparan dan ikhlas ketika menyoal kinerja pengelola ZIS
dari aspek administratif dan fungsionalnya. Tak pelak lagi, ketika
menyoal proses pemanfaatan dana ZIS yang hinggá kini kemiskinan
umat kian tampak menyedihkan ? Pasalnya, selain mengingat urgensi
ZIS dalam konteks pemiskinan dan kemiskinan, juga administrasi
pengumpulan dan pemanfaatan dana ZIS yang cenderung amburadul,
maka sudah pasti rawan prasangka buruk dalam benak umat atas
kemungkinan penyalagunaan dana ZIS itu.
Kelima, kian terasa membingungkan, karena pihak pegawai
DEPAG pun yang sudah bergaji lumayan banyak, tetapi ternyata
belum juga memiliki administrasi dana ZIS yang sempurnah.
Alasannya, karena Amil-Amil ZIS di tingkat kecamatan tidak
melaporkan hasil pengumpulan ZIS yang mereka peroleh. Mungkin

--87--
saja demikian, tetapi apa salahnya sang aparat negara datang atau
turun ke tingkat kelurahan untuk mengidentifikasi sejumlah dana ZIS
yang telah dikumpulkan oleh para Amil. Lebih dari itu, pihak DEPAG
harus turun ke lapangan dengan sebuah program sosialisasi dan
bimbingan khusus untuk membangkitkan semangat kerja dan
mekanisme pengelolaan dana ZIS yang harus dipertanggung
jawabkan dunia akhirat ini. Entahlah, apakah keadaan dimaksud
masih berlangsung hingga saat ini ?
Profil Sosial Ekonomi Pemberi Zis (Muzakki). Secara
fenomenal, upaya mengeluarkan Zakat, Infaq dan Sadaqah (ZIS) dari
kalangan Ummat Islam yang disebut Muzakki tampak ke dalam tiga
kelompok sosial. Pertama, profil masyarakat yang tergolong
Muzakki hampir tidak mengenal status sosial ekonomi sebagai
kelompok sosial yang the have dan the have not, terutama pada
upaya mengeluarkan zakat pada setiap akhir bulan Ramadhan.
Padahal, bagi mereka yang tergolong tidak mampu itu, sesungguhnya
tidak diwajibkan baginya untuk mengeluarkan zakat. Sebaliknya,
bagi mereka yang disebut Mustahik adalah justru berhak untuk
menerima Zakat, Infaq dan Sadaqah (ZIS) dari saudara-saudaranya
yang mampu.
Kedua, di tengah proses penyelenggaraan dan kelangsungan
kehidupan sosial ekonomi, tampak masih ada sebagian ummat Islam
yang tergolong sudah sukses membangun fondasi kesejahteraan
sosial ekonomi, tetapi belum sepenuhnya menyadari eksistensinya
dan kewajibannya untuk mengeluarkan Infaq dan Sadaqah. Namun
sebaliknya, juga sudah ditemukan sebagian di antaranya yang
menyadari bahwa di dalam rezeki yang diperolehnya ada hak
saudaranya yang masih miskin. Hanya saja, pada umumnya kita
hanya tampak cerdas mengeluarkan zakat secara rutinitas pada
setiap akhir bulan Ramadhan saja.
Ketiga, kaum Muzakki dalam upaya mengeluarkan Zakat, Infaq
dan Sadaqahnya (ZIS) tampak belum tepat sasaran, sehingga hal ini
diduga menjadi penyebab utama ketidakmampuan dana-dana ZIS
untuk menanggulangi kemiskinan. Dalam artian, kaum Muzakki
dalam upaya mengeluarkan ZIS-nya tidak diarahkan langsung kepada
Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang telah
dilegetimasi secara formal oleh pemerintah. Dalam konteks ini,
menurut para informan yang berhasil diwawancarai bahwa selain
karena faktor ketidaktahuan ummat atas eksistensi BAZ dan LAZ

--88--
tersebut, juga pihak pengurus BAZ dan LAZ tidak maksimal aktif
menjemput atau mendatangi kaum Muzakki untuk memintai Zakat,
Infaq dan Sadaqahnya. Namun ada juga pandangan yang berkembang
bahwa kaum Muzakki lebih cenderung mencari dan menyerahkan
secara langsung ZIS-nya kepada orang-orang miskin yang memang
berhak menerimanya.
Hal ini terjadi karena ummat meyakini bahwa menyerahkan
langsung ZIS kepada orang-orang yang dianggap layak menerima
adalah lebih afdhal ketimbang memberikan kepada lembaga formal.
Namun juga sulit dipungkiri bahwa selain karena pengurus BAZ dan
LAZ yang tidak aktif menjemput bola, juga diduga terkait secara
signifikan dengan fenomena krisis kepercayaan yang tengah melanda
masyarakat, bangsa dan negara tercinta ini. Karena itu, untuk
menganalisis proses penyerahan ZIS dari kaum yang bergelar
Muzakki, maka terlebih dahulu dideskripsikan identitas responden
dalam konteks pendidikan yang pernah ditempuh, jenis pencaharian
yang ditekuni sehari-hari dan tingkat pendapatan yang diperoleh
setiap bulan, termasuk apiliasinya dengan kelompok-kelompok sosial
pengajian. Hal ini cukup penting, karena selain tingkat pendidikan
dan kesadaran beragama merupakan variabel yang sangat
menentukan dalam mengembangkan usaha mata pencaharian dan
mengelola hasil-hasil karya yang telah berhasil dicapai, juga sangat
mendukung dalam menyadari esksitensinya sebagai hamba Tuhan
serta merupakan kunci utama dalam menyadari hak dan
kewajibannya untuk mensejahterakan saudara-saudaranya.
Pada akhirnya, semua orang pasti menyakini bahwa tidak ada
perbuatan baik yang akan menjadi sia-sia, meskipun ada orang yang
mencemoh dan mencercahnya. Tak pelak lagi, dalam upaya
mengeluarkan ZIS setiap saat kepada orang-orang yang memang
layak diberi, sungguh-sungguh merupakan perbuatan yang sangat
mulia karena sudah pasti mengikis secuil penderitaan orang lain. Jika
kewajiban sebagai Ummat Islam yang tergolong mampu untuk
memberi kontribusi material kepada saudara-saudara kita, tetapi
tidak diwujudkan. Maka berarti, tidak hanya membiarkan mereka
tersungkur ke dalam lingkaran setan kemiskinan. Akan tetapi
sekaligus membuka lebar-lebar gerbang kemusyrikan sebagaimana
diisyaratkan dalam Firman Tuhan:

--89--
“Belum tersosialisasi zakat dengan baik merupakan salah satu
fenomena kemusyrikan” (Fushilat ayat 7).

Sebaliknya, ketika sepenggal dari harta kita sedahkan dan


nafkahkan kepada orang-orang yang sangat membutuhkannya,
maka:
“...ia tak ubahnya sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir
dan pada setiap bulir membuahkan seratus biji. Allah melipat-
gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki...”(Al
Baqarah ayat 261).

Boleh jadi cukup urgen dipersoalkan, yakni mengapa


kandungan hikmah dalam Al Baqarah ayat 261 ini terkesan cukup
sulit diyakini secara maksimal oleh kaum Muslimin dan Muslimat ?
Dalam konteks ini, menurut Ustadz Kharil Baits Pembina Pesantren
Hidayatullah bahwa kekurang-percayaan umat dewasa ini atas
unsur-unsur teologis dan fenomena metafisik lainnya adalah
disebabkan oleh proses desakralisasi nilai-nilai religius pada satu sisi
serta dominasi penggunaan rasionalisme dan pragmatisme pada sisi
lain.
Namun demikian, tidak sedikit orang mengungkapkan
pengakuan atas beberapa manfaat dirasakan seusai membantu kaum
Mustahik atau setelah mengeluarkan infaq dan sedeqahnya kepada
orang-orang yang memang layak dibantu. Dalam konteks ini,
mengutip dari hasil penelitian penulis yang pernah berlangsung 10
tahunan lalu, disebutkan bahwa di antara responden sebagai kaum
Muzakki terdapat sebanyak 39 persen yang mengungkapkan bahwa
seusai mengeluarkan ZIS-nya, maka rezekinya kian bertambah; 25,5
persen yang menyatakan timbulnya rasa kebahagian ketika
membantu orang lain; 15,2 persen yang merasakan langsung
timbulnya ketenangan jiwa; dan 6,5 persen yang merasa puas
karena telah menunaikan kewajibannya. Namun di antara responden
tersebut, dijumpai sebanyak 13,8 persen yang merasakan beberapa
manfaat lain yang tidak disebutkannya secara langsung.
Sebaliknya, bagamana dengan Profil Sosial Ekonomi Penerima
ZIS sebagai kaum Mustahiq dengan berbagai problematika
kehidupan sosial ekonominya ? Tampaknya, profil ummat Islam
sebagai kaum Mustahik ditemukan sekitar ± 30 persen warga
masyarakat Kota Kendari yang tergolong miskin. Tentu saja selain

--90--
mereka memang berhak untuk mendapatkan bantuan dari berbagai
dana kemanusiaan yang digelontorkan oleh Pemerintah Pusat,
Program Daerah Provinsi dan dari Pemerintah Kota Kendari, juga
sekaligus menunjukkan keberadaan mereka sebagai kaum Mustahik
yang berhak menerima ZIS. Karena itu, perlu upaya deskripsi atas
identitas kaum Mustahik dengan mengungkapkan beberapa ciri yang
meliputi aspek pengelompokan umur, status perkawinan, tingkat
pendidikan, usaha mata pencaharian, tingkat pendapatan dan beban
tanggungan keluarga.
Atas dasar gambaran ini, maka dapat menjadi bahan
pertimbangan analisis dalam upaya merancang proses
pendistribusian dana-dana dan sekaligus memastikan dinamika
sosial ekonomi untuk mengetahui pergerakan sosial ekonomi dari
status sosialnya sebagai Mustahik berubah menjadi Muzakki. Karena
itu, dalam upaya merumuskan siklus perencanaan partisipatif untuk
menemukan pola yang ideal dan tepat dalam proses penyaluran serta
pemanfaatan dana-dana ZIS, maka sebaiknya terlebih dahulu
dilakukan pendekatan ”best practice” dengan beberapa lembaga
keuangan mikro yang tergolong sukses dalam menjalankan tugas dan
peranannya, terutama dalam proses penyaluran dana-dana Zakat,
Infaq dan Sadaqoh (ZIS). Dalam konteks ini, penulis kembali
mengutip sepenggal narasi yang tertuang dalam laporan penelitian
10 tahun lalu tentang beberapa lembaga keuangan mikro yang dapat
dijadikan sebagai obyek best practice dalam penyaluran dan
pengguliran dana ZIS di tengah-tengah masyarakat yang dikutip dari
majalah Sabili No.10 Th. XV 19 Dzul Qaidah 1428.
Pertama, Dompet Peduli Umat Daarul Tauhid (DPU-DT) di
bawah binaan dan bimbingan Aa Gym bisa dikatakan sebagai pionir
Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang mengembangkan program
pemberdayaan ekonomi kaum dhuafa di Kota Bandung dan
sekitarnya. DPU-DT merintis program Micro Finance Syariah
Berbasis Masyarakat (MISYKAT) sejak 22 April 2003. Lembaga ini
mengelola dana Zakat, Infak dan Sadaqoh (ZIS) sebesar Rp 400 juta.
Dana sebesar itu dialokasikan untuk pemberdayaan ekonomi sebesar
60% dan pendidikan 40%. Sasarannya adalah para mustahiq dan
mustad’afin. Kucuran modal yang diberikan mulai dari Rp 300 ribu
sampai Rp 1 juta. Selain itu, anggota maksimal berumur 50 tahun,
karena usia ini merupakan batas akhir bagi individu yang bisa

--91--
menerima pembinaan. Program ini diprioritaskan bagi ibu rumah
tangga agar lebih produktif dan bisa membantu ekonomi keluarga.
DPU-DT bekerja tidak menunggu proposal dari kaum dhuafa
yang membutuhkan modal. Akan tetapi, aktif mencari ke berbagai
daerah melalui RT, RW, lurah, tokoh masyarakat dan stakeholder lain.
Setelah ditemukan orang yang dianggap tepat, maka mereka
dikumpulkan dan dibina selama 8 pekan yang dimulai dari
pendalaman keislaman, leadership (kepemimpinan), manajemen,
pengelolaan keuangan dan peningkatan mental wirausaha. Sejumlah
orang yang telah sukses terbina itu akan dikelompokkan ke dalam
masing-masing majelis yang beranggotakan 5 orang untuk diberikan
modal material seusai dibekali modal kerohanian. Namun proses
pencairan modal dilakukan pada pekan kesembilan dengan pola 2-2-
1. Dalam artian, pemberian modal dimulai dari 12 orang, 12 orang
dan 6 orang. Modal dikembalikan dengan cara angsuran selama 25
pekan. Jika cicilan macet, maka harus menjadi beban semua anggota
majelis, sehingga kebersamaan benar dirasakan oleh semua anggota
majelis.
Pada awalnya, anggota MISYKAT ini hanya berkisar 210 orang,
namun ketika itu sudah mencapai sebanyak 1034 orang. Sementara
itu, bagi anggota yang mampu memenuhi standar kelayakan usaha,
angsuran pinjaman lancar, memiliki tabungan yang terencana dan
rajin mengikuti kegiatan pendampingan, berhak memperoleh
tambahan modal untuk memperbesar usaha. MISYKAT tak sekedar
memberi bantuan modal, tapi juga pelatihan pengemasan produk
dan pemasaran. Untuk produk non-makanan, MISYKAT
mengupayakan agar memiliki standar mutu, sedangkan produk
makanan MISYKAT membantu proses pendaftaran ke Departemen
Kesehatan dan LP POM-MUI untuk memperoleh sertifikat halal.
Keanggotaan MISYKAT memiliki tiga level yaitu, pemula, mandiri dan
kader. Bagi kader, selain mengembangkan usahanya sendiri, juga
harus bersedia membantu mengelola MISYKAT di daerahnya.
Kedua, keberadaan Rumah Zakat Indonesia (RZI) dalam
mengembangkan usaha kaum dhuafa yang menjadi binaannya,
menggunakan sistem Integrated Community Development (ICD) yang
terdiri dari tiga komponen inti, yaitu: bidang pendidikan, kesehatan
dan ekonomi. Dalam bidang ekonomi ada dua konsep yang
dijalankan yaitu, Kelompok Usaha Kecil Mandiri (KUKMI) yang
terdiri dari 10-25 orang dan Lembaga Mikro Syariah Mozaiq (LMSM).

--92--
Hal ini, semacam BMT yang menekankan pada pengelolaan keuangan
mustahiq secara terencana.
Modal yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan mustahiq
yang tergabung dalam KUKMI dengan nilai maksimal Rp 2 juta.
Misalnya, anggota KUKMI di satu wilayah ada 10 orang dan
membutuhkan dana masing-masing Rp 500 ribu, maka akan
dikucurkan Rp 5 juta. Adapun proses pengembalian berlangsung
secara angsuran selama 10 kali. Akan tetapi, sebagaimana halnya
pola Dompet Peduli Umat Daarul Tauhid (DPU-DT) di atas bahwa
sebelum anggota KUKMI melakukan usaha pengembangan mata
pencaharian, maka terlebih dahulu diberikan pembinaan berupa
materi keagamaan, pengelolaan keuangan dan manajemen usaha.
Lebih jauh dari itu, ketika warga KUKMI tengah menjalankan usaha,
maka kegiatan yang dilakukan akan dikontrol sekali dalam 2 hari
beserta pembinaan sebanyak 2 kali dalam sebulan. Sehingga dapat
dipastikan, apakah usaha yang ditekuni dapat berkembang atau tidak
dan kemudian bagaimana mengatasi tantangan serta mamanfaatkan
peluang-peluang yang ada.
Lebih jauh dari itu, RZI juga membantu proses pemasaran,
sehingga saat ini KUKMI telah memiliki 1500 anggota yang tersebar
di seluruh Indonesia yang sudah banyak di antara mereka yang telah
berubah kehidupan sosial ekonominya dan menjadi tauladan di
tempatnya masing-masing. Karena selain mereka gesit berusaha
dengan tingkat etos kerja yang sangat mencegangkan, juga tampil
alim di tengah masyarakat. Karena itu, beranjat dari kedua lembaga
penyalur ZIS tersebut, maka ada beberapa pelajaran yang dapat
dipetik dan tentu saja dapat direfleksikan dan sekaligus diaplikasi
pada BAZ dan LAZ dimana saja berada, antara lain:
1) Pemberian bantuan tidak berdasarkan proposal yang diajukan,
tetapi dilaksanakan dengan sistem jemput bola yang telah
diverifikasi dan dikonfirmasi langsung pada stakeholder yang
ada di wilayah tersebut,
2) Sebelum dana bergulir diberikan, terlebih dahulu harus
diperiksa kelayakan usaha masyarakat yang berminat untuk
meminjam dana bergulir,
3) Sebelum masyarakat menerima dana, terlebih dahulu
mendapatkan pembinaan berupa pengajian dan pendalaman
keislaman, leadership (kepemimpinan), manajemen, pengelolaan
keuangan dan peningkatan mental wirausaha,

--93--
4) Meniadakan potongan administrasi dari dana yang dipinjam,
dalam arti bahwa dana yang dipinjam diberikan secara utuh,
5) Batasan usia produktif (50 tahun) menjadi salah satu
persyaratan peminjam dana bergulir,
6) Prioritas pinjaman diberikan kepada ibu rumah tangga,
7) Pemberian pinjaman diberikan kepada kelompok majelis ta’lim,
8) Modal diberikan setelah mereka cukup diberikan pembinaan
selama masa waktu tertentu (8 pekan),
9) Cicilan macet harus dibayar dengan cara tanggung renteng
(menjadi beban semua anggota dalam satu majelis),
10) Angsuran dimulai setelah usaha dijalankan sekitar 3-4 pekan,
11) Bagi anggota yang mampu memenuhi standar kelayakan usaha,
angsuran pinjaman lancar, memiliki tabungan yang terencana
dan rajin mengikuti kegiatan pendampingan, berhak
memperoleh tambahan modal untuk memperbesar usaha,
12) Penyaluran anggaran tidak hanya dalam bentuk bantuan modal,
tapi juga pelatihan pengemasan produk dan pemasaran. Untuk
produk non-makanan, diupayakan agar memiliki standar mutu,
sedangkan produk makanan dibantu proses pendaftaran ke
Departemen Kesehatan dan LP POM-MUI untuk memperoleh
sertifikat halal,
13) Ketika masyarakat menjalankan usahanya, kegiatannya
dikontrol 2 hari sekali dan pembinaan tetap diberikan sebanyak
2 kali dalam sebulan,
14) Dibantu dalam hal pemasaran.

BMH Hidayatullah Sultra. BMH adalah singkatan dan


sebutan untuk Baitul Maal Hidayatullah sebagai Lembaga Amil Zakat
Nasional yang telah dikukuhkan oleh Menteri Agama Republik
Indonesia melalui Surat Keputusan Nomor 538 Tahun 2001 tanggal
24 Desember 2001 sebagai satu-satunya Lembaga Amil Zakat yang
bersifat otonom di bawah pengawasan langsung DPP Hidayatullah.
BMH bertugas untuk mengelola dana ummat lewat zakat, infaq,
shadaqah, wakaf dan hibah dalam rangka mendukung program
Keumatan Ormas Hidayatullah dan amal-amal usahanya dari
berbagai tingkatan. Namun dalam proses mengatur dana, asset dan
sistem lainnya, sepenuhnya mengikuti mekanisme lembaga Induk
Hidayatullah yang berdasarkan pada ketentuan Syar’i kepada
delapan Asnaf sebagaimana Firman Tuhan:

--94--
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, amil, para muallaf yang dibujuk
hatinya, untuk memerdekaan budak, gharimin, fisabilillah,
dan ibnu sabil, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (At-
Taubah ayat 60).

Demikian pula, BMH yang selalu berjalan atas landasan


syari’ah Islam yang tercakup dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
Rasulullah saw, sehingga mereka mendatangi kaum Muzakki untuk
mengambil dana zakat sebagaimana Tuhan perintahkan:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo’alah
untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu menjadi ketentraman
jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui (At-Taubah, ayat 103)

Adapun Haditsnya yang diriwayatkan oleh Bukhari dan


Muslim, yakni :
“Kau akan berada di tengah-tengah ummat ahli kitab. Ajaklah
mereka mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
saya Rasul-Nya. Bila mereka menerima, beritahukanlah
mereka bahwa mereka diwajibkan shalat lima kali sehari
semalam. Bila mereka menjalankannya, beritahukan pula
bahwa mereka diwajibkan mengeluarkan zakat yang
dipungut dari orang-orang kaya dan dikembalikan kepada
orang-orang miskin. Dan bila mereka menjalankannya, maka
kau harus melindungi harkat kekayaan mereka itu, dan
takutlah kepada do’a-do’a orang-orang yang teranianya
dengan Allah tidak terdapat penghalang”.

Kontribusi kepada ZIS dalam bentuk donator tetap yang


diserahkan oleh kaum Muzakki setiap bulan. Menurut Ustadz
Zainuddin sebagai pimpinan BMH DPW Hidayatullah Kendari bahwa
proses pengambilan donatur tetap tersebut, sebagian di antara
mereka yang datang langsung menyerahkan dan sebagian pula di
antaranya yang harus didatangi di tempat kerja atau di kediamannya,
karena banyak di antaranya sangat sibuk dengan pekerjaannya
masing-masing. Namun menurut pengakuan Ustads Mardatillah

--95--
sebagai matan pimpinan DPW Hidayatullah Sultra bahwa masih
banyak orang-orang yang datang menyerahkan ZIS-nya di sini. Hanya
saja, pihak petugas yang menangani bidang ini, seringkali tidak
mencatat dengan baik atau terlupa mencatat di buku besar yang
telah disedikan. Apalagi kalau ZIS yang diserahkan oleh kaum
Muzakki dalam bentuk beras dan Indo Mie..
BAZ Kota Kendari. Seyogyanya, keberadaan BAZ sebagai
bagian integral dari birokrasi pemerintahan di tingkat kota dapat
menunjukkan kinerja yang lebih baik ketimbang dengan BMH
Hidayatullah dan PKPU PKS misalnya, karena selain didukung oleh
faktor struktural juga didasari oleh sejumlah warga komunitas PNS
yang sudah pasti memiliki tingkat pendapatan yang lebih menetap
dibanding dengan warga masyarakat umum yang sifatnya musiman.
Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan BAZ
tampak cukup signifikan dengan keberadaan pemerintah yang
tengah dilanda krisis kepercayaan, sehingga kaum Muzakki tidak
terdorong untuk menyerahkan ZIS-nya di lembaga tersebut.
Padahal, kalau Shalat dan Puasa yang afdhal akan berujung
pada ketangguhan pribadi. Maka, Zakat dan Hajji merupakan strategi
collaboration yang juga pasti membuahkan ketangguhan sosial.
Dapat dibayangkan, ketika manusia Indonesia memiliki ketangguhan
pribadi dan ketangguhan sosial, sudah pasti tidak akan tercipta
proses pemiskinan yang transparan dan terselubung. Namun apa
daya, proses pemiskinan yang berakibat pada kemiskinan tampak
menggeliat seolah seiring dengan maraknya ritualitas dan rutinitas
keberagamaan itu sendiri.
Apa kata informan kepada tim peneliti ketika menyoal seputar
variabel “Potensi ZIS dalam penanggulangan kemiskinan” ?
Tampaknya, semua informan haqqul yaqin bahwa apabila Zakat,
Infaq dan Sodaqah (ZIS) dikelola dan dikembangkan secara
profesional, maka sudah pasti dapat meningkatkan kesejahteraan
sosial ekonomi warga masyarakat miskin. Tak pelak lagi, jika disertai
dengan penggunaan sejumlah dana infaq Haji dan wakaf tunai yang
demikian mencengangkan itu, maka boleh jadi tidak hanya mampu
menanggulangi pemiskinan dan mengurangi kemiskinan. Akan
tetapi, juga dapat difungsimaksimalkan untuk membangun sarana
dan prasarana pendidikan serta pranata sosial ekonomi dalam
bentuk perbankan sekalipun, sebagaimana yang sudah terbukti

--96--
dinikmati sepanjang masa oleh warga masyarakat Klantan sebagai
salah satu negara bagian di Malaysia.
Namun demikian, mengapa impian indah tersebut terasa amat
sulit digapai oleh kita, sehingga seolah hanya menjadi mimpi
bombastis di siang bolong ? Dalam konteks ini, berbagai variabel
yang disorot dan ditelaah kritisi oleh para informan. Pertama,
sebagian besar informan menyoroti pemahaman konseptual dan
tingkat kesadaran umat Islam untuk mengeluarkan zakat maal yang
tergolong masih rendah atau belum sesuai dengan idikator yang
telah difatwakan oleh ulama kita. Dengan demikian, sudah pasti
terasa berat untuk melakukan sesuatu yang belum dapat dipahami
dan disadari dan bahkan harus diyakini sebagai sebuah kebenaran
mutlak seperti zakat.
Kedua, semua informan sepakat bahwa belum ada Badan Amil
Zakat (BAZ) di Sultra pada umumnya dan di Kota Kendari khususnya
yang terpercaya serta pengurus BAZ yang terampil dan amanah,
sehingga kaum muzakki lebih cenderung langsung menyerahkan
kepada kaum mustahiq yang dianggap pantas untuk menerimanya.
Tentu saja ikhwal ini menjadi tantangan ke depan bagi pemerintah
setempat untuk memberdayakan zakat dan sekaligus
memberdayakan warga masyarakatnya. Jika dibiarkan berlangsung
begitu saja atau apa adanya, maka berarti kita patut diklaim kurang
beriman.
Ketiga, sebagian informan pun menyoal belum adanya political
will pemerintah untuk menumbuhkembangkan potensi zakat, karena
dianggap tidak bernuansa proyek yang banyak menguntungkan.
Mungkin saja pandangan ini cenderung diklaim subyektif, tetapi
harus diakui bahwa memang selama ini banyak dana-dana
kemanusiaan yang terkesan mubasir karena belum
difungsimaksimalkan secara proporsional dan profesional.
Akhirnya, menjadi bahan renungan terpenting bagi kita
sekalian. Pertama, ketika virus kufur nikmat mulai melanda sang
hamba, maka lambat laun perilaku kebinatangan, sifat kikir, rakus,
materialis dan henonis serta iri hati dan dengki akan pasti
mendominasi pola pikir dan perilaku anak manusia. Dan ikhwal
seperti itulah yang sesungguhnya tengah melanda kehidupan
masyarakat kontemporer. Kedua, ketika kaum muzakki enggan
mengeluarkan ZIS-nya, maka ia tidak hanya pantas diklaim sebagai
kufur nikmat. Akan tetapi, pun berperan secara langsung dan tidak

--97--
langsung sebagai penyebar virus pemiskinan. Betapa tidak, selain
kaum mustahiq terus saja tidak berdaya, juga dipastikan orang-orang
miskin kian bertambah banyak. Ketiga, sesungguhnya bukan hanya
tingkat pemahaman dan kesadaran religiusitas yang nota bene masih
rendah. Akan tetapi, menurut Ary Ginanjar bahwa hal itu juga
merupakan akibat dari belum sistemiknya umat Islam
mengaktualisasikan 6 pilar Rukun Iman dan 5 pilar Rukun Islam.

D. Rukun Iman Dan Ketangguhan Pribadi

“Iman itu lebih dari 70 cabang dan yang paling tertinggi adalah
pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah. Sedangkan yang
terendah adalah menyingkirkan gangguan yang ada di jalan." (HR
Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). “Sesungguhnya orang-orang
yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah
gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada
mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka
bertawakal.” (QS Al Anfal ayat 2). “Orang-orang yang beriman dan
berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri
mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-
orang yang mendapatkan kemenangan” (QS. At- Taubah, ayat 20).
Kemenangan yang agung/besar di akhirat berupa ampunan dan
kehidupan indah nan abadi yang diberikan Allah kepada hamba yang
beriman dan beramal sholeh (Ash-shoff ayat 12). "Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman (1) Yaitu orang-orang yang
khusyuk dalam sembahyangnya; (2) Dan orang-orang yang
menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna
(3) dan orang-orang yang menunaikan zakat (4) dan orang-orang
yang menjaga kemaluannya (nafsu seksnya) (5) kecuali terhadap
istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela (6) Barangsiapa
yang mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang
melampui batas (7) dan orang-orang yang memelihara amanat-
amanat (yang dipikulnya) dan janjinya (8) dan orang-orang yang
memelihara shalatnya" (QS Al-M'minun ayat: 1-11). Pantaslah, jika
HAMKA pernah berucap dengan tandas bahwa “jika kita ingin
menyaksikan orang Islam, maka lihatlah ketika hari raya Idul Fitri.
Akan tetapi, kalau kita ingin menyaksikan orang-orang beriman,
maka lihatlah mereka yang shalat subuh di masjid”.

--98--
Studi Riesebrodt (dalam Muhammad, 2019) menunjukkan
empat macam ritual kesalehan, yakni: (1) seberapa intens ibadah
wajib maupun sunnah itu dilakukan, meskipun dalam taraf ini ibadah
sunnah yang berkembang menjadi identitas; (2) seberapa patuh,
mereka menjalankan perintah berdasarkan pada Qur’an dan Hadist;
(3) selebrasi terhadap perayaan keagamaan; dan (4) interaksi nilai-
nilai sosial ekonomi dengan nilai religiusitas. Keempat indikator itu
menjadi penting untuk melihat dimensi materi sebagai cerminan
kesalehan sosial dalam situasi kekinian. Kebutuhan akan spiritual
tersebut dilihat dari seberapa banyak orang menjalankan ibadah
sosial di masjid serta seberapa intens menjalankan ibadah haji dan
umrah, dan lain sebagainya. Hal itulah yang kemudian ditunjukkan
dengan adanya gelar haji sebagai simbol prestisius bagi orang yang
pernah menunaikan ibadah haji di Tanah Suci. Konstruksi sosial bagi
muslim Indonesia adalah haji dan tuan guru adalah gelar terhomat
dan dianggap sanggup untuk bisa memberikan pencerahan bagi
masyarakat muslim lainnya. Selain itu pula, dengan mengikuti
kegiatan ta’lim, maka konstruksi saleh akan disematkan oleh orang
lain terhadap orang yang mengikuti pengajian. Dengan demikian,
kebutuhan akan spiritual sendiri melihat bahwa spiritual dibentuk
karena kesadaran diri sendiri dan kebutuhan akan diakui oleh orang
lain.
Prinsip-prinsip yang dijalankan dalam sistem ekonomi Islam
meskipun ada kemiripan dengan sistem ekonomi yang lainnya,
namun sesungguhnya sangat jauh berbeda karena dalam
substansinya ada prinsip tertentu. Pertama, pemilik mutlak dari
semua jenis sumber daya adalah Allah SWT. Berbagai jenis sumber
daya merupakan pemberian dan titipan Tuhan kepada manusia
sebagai khalifah-Nya. Manusia harus memanfaatkannya seefisien dan
seoptimal mungkin dalam berproduksi guna memenuhi
kesejahteraan secara bersama. Kedua, Islam menjamin kepemilikan
publik yang diwakili oleh negara atas industri yang menyangkut hajat
hidup orang banyak. Ketiga, Islam mengakui kepemilikan pribadi
pada batas-batas tertentu sebagai kapital produktif yang akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keempat, pandangan Islam
terhadap harta adalah sebagai perhiasan yang memungkinkan
manusia menikmatinya dengan baik asalkan tidak berlebihan karena
akan menimbulkan keangkuhan dan kebanggaan diri dan harta
sebagai bekal ibadah. Kelima, pemilikan harta harus diupayakan

--99--
melalui usaha atau mata pencaharian yang halal dan sesuai dengan
aturan-Nya. Keenam, semua harta (sumber daya) yang diamanatkan
itu akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat nanti. Konsep
ini memiliki implikasi yang sangat penting sehubungan dengan
kepemilikan aset dan alat produksi. Bedasarkan keyakinan inilah,
setiap aktivitas ekonomi seorang Muslim harus digerakkan oleh
motivasi impersonal sebagai refleksi tanggung jawabnya sebagai
orang beriman.
Karena itulah, maka metode dan strategi penanggulangan
kemiskinan berbasis spiritualitas dalam sub pembahasan ini adalah
dikembangkan dari konstruksi spritual PraProfetik dan Profetik serta
6 Rukun Iman, 5 Rukun Islam dan 1 Ihsan. Melalui konsep psikologi
yang dinamakan “Psikologi Asmaul-Husna”, Agustian (2003) dapat
memperjelas garis edar tata surya alam dan tata surya sosial yang
secara transparan menempatkan Tuhan sebagai pusat gravitasi
kecerdasan intelektual, emosional dan kecerdasan spritual yang built
in di dalam tubuh manusia itu sendiri. Betapa menakjubkan,
Nabiullah Muhammad SAW berhasil merakit kecerdasan intelektual
spritual (inteleksi) para sahabatnya menjadi manusia yang “berhati
emas dan bermental baja”. Sementara di era teknologi digital
kekinian, tampak saling mencemoh, menghujat, memfitnah dan
bahkan saling bermusuhan atau saling menumpahkan darah. Paling
tidak, saling mempertahankan ego sektoral dan ego pragmaatisme
yang mengakibatkan terjadinya disfungsionalisasi TKPKD sebagai
panglima perang penanggulangan kemiskinan dan KBP sebagai
penyaji strategi dan metodologis dalam menjalankan program
penanggulangan kemiskinan di sebuah wilayah Pemerintahan Kota
dan kabupaten serta ke tingkat yang lebih tinggi.
Betapa kesenjangan menganga lebar dan tak ubahnya antara
langit dan bumi jaraknya yang disebabkan oleh beberapa aspek yang
sangat fundamental. Pertama, dalam kurikulum pendidikan nasional
dan seluruh daerah pada umumnya, belum pernah ada upaya
mengkaji Star Prinsip imaniah sebagai tangga pertama bertaqarrub
kepada Tuhan sebagai pusat dari segala unsur peredaran tata surya
alam dan tata surya sosial. Kedua, belum ada keseriusan upaya
pengendalian Angel Prinsip kepada sifat istiqamah dan kejujuran
yang menjadi karakter khas para Malaikat, sehingga tidak berhasil
diketahui bahwa ternyata maksud kita untuk percaya kepada

--100--
Malaikat, adalah berarti sekaligus mengikuti ketaatan dan kejujuran
para Malaikat sebagaimana dijelaskan Agustian.
Ketiga, apalagi kepercayaan kepada pengendalian Leadership
Principle kepada potret, profil dan prototipe kepemimpinan
Rasulullah yang harus diidolakan serta disuritauladani, sehingga
sang generasi mengalami krisis idola dan bahkan cenderung
mengidolakan figur-figur lain yang mungkin saja amoral dan asosial
yang pada umumnya menguasai sumber daya dewasa ini.
Keempat, hingga kini, sungguh-sungguh belum maksimal
kepercayaan kita kepada Al Kitab yang sesungguhnya mengandung
Learning Principle sebagai sumber pengetahuan dan premis mayor
untuk mendesain konstruk teori. Kemudian dapat digunakan untuk
mengkaji tata surya alam dan tata surya sosial seperti yang telah
dikembangkan Shari’aty, Kuntowijoyo, Kamaluddin, Kasim,
Suharsono dan Peribadi. Selama ini, belum dipahami bahwa percaya
kepada Kitab Suci adalah berarti kita harus memiliki budaya
membaca” dan kinerja keilmuan yang mencerahkan. Bukan menjadi
akademisi yang tidak kritis, dan bahkan kolutif dengan pelaku
dekonstruksi sosial, despritualisasi, dekulturasi, dehumanisasi dan
deforestasi. Akibatnya, terjadilah seperti yang disebutkan dalam Al
Quran bahwa ”telah nampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan karena ulah dan perbuatan tangan manusia, ...” (Ar Ruum
ayat 41).

Bagan 5. Konstruksi Profetik dan Pengaruhnya terhadap


Ketangguhan Pribadi dan Siklus Partisipatif.

--101--
Kelima, percaya pada hari kemudian sebagai Vision Principle
yang berorientasi pada jangka panjang, tampak dan terasa sekali
terabaikan oleh hampir semua kalangan. Hal itu terutama bagi kaum
elit yang diamanahi jabatan, sekonyong-konyong mereka menjelma
menjadi “Orang Kaya Baru (OKB)”. Ikhwal ini terjadi, karena selama
mereka di bangku pendidikan, belum pernah diajarkan bahwa
percaya pada hari kemudian adalah berarti harus berpikir ke depan.
Bukan berpikir dengan pola “memanfaatkan kesempatan dalam
kesempitan, mengunting dalam lipatan dan memancing di air keruh”
yang kini digandrungi oleh kebanyakan elit sosial di arena perebutan
kursi panas. Celakanya, karena cara-cara seperti itu mulai dianggap
biasa-biasa saja, dan bahkan dianggap sebagai cara terbaik untuk
memenangkan pertarungan. Para petarung kursi panas benar-benar
sangat meyakini bahwa tidak mungkin Anda bisa memenangkan
Pilpres, Pilgub, Pilkada dan Pilcaleg, jika tidak menyiapkan segudang
rudal transaksi ekonomi politik.
Keenam, pengendalian Well Organized Principle merupakan
sebuah kepercayaan atas keteraturan hukum alam dan hukum sosial
yang telah didesain sedemikian rapi dan tunduk atas segala
ketentuan Tuhan. Pada umumnya, mungkin kita benar-benar “salah
didik”, karena kita tidak pernah diajarkan sebuah refleksi
kehancuran yang akan terjadi, apabila ada salah satu planet tata
surya alam yang tidak beredar pada garis edar (keluar dari garis
edar) yang telah digariskan Pencipta-Nya. Dapat dibayangkan, jika
planet Mars misalnya, minggir atau miring dari garis edarnya, maka
seketika langit dan bumi beserta seluruh isinya hancur berantakan.
Namun bagaimana kemudian membayangkan ketika planet politik
(baca: Parpol) seperti yang tengah terjadi di bangsa ini. Hampir
semuanya kasat-kasut keluar dari platform politik, sehingga kondisi
perpolitikan, terutama yang menggeliat dalam pesta demokrasi
tampak penuh kebablasan. Contoh kasus yang terbaru atas asosiasi
pemikiran seperti ini adalah terbelahnya pola pikir serta sikap
perilaku masyarakat sebagai akibat dari simbolisasi “kampret versus
cebong” di bawah payung perpolitikkan oligarkhi ekonomi yang
berselingkuh (Baca; berkolaborasi) dengan oligarkhi politik,
sehingga semua pilar politik tunduk dan bertekuk lutut.
Proses penempatan Star Prinsip Imaniah sebagai indikator
keimanan sosial yang telah menghunjam (internalized) dalam benak
dan nurani seseorang atau sekelompok orang, maka dapat dipastikan

--102--
akan menauladani kejujuran Malaikat (Angel Prinsip), mengikuti
sepenuhnya pola kepemimpinan Profetik (Leadership Principle),
belajar sepanjang masa kehidupannya (Learning Principle) yang
biasa disebut long life education, berpikir jangka panjang (Vision
Principle) dan tidak pragmatis, serta taat kepada hukum dan aturan
main yang telah disepakati (Well Organized Principle). Bukan
sebaliknya, demikian massif melakukan pelanggaran hukum dalam
aneka perilaku penyimpangan, dan bahkan cenderung tampil
kebablasan dan brutalisme.

E. Rukun Islam Dan Ketangguhan Sosial

Kalau enam Rukun Iman sebagaimana dinarasikan di atas


dapat menumbuhkan ketangguhan pribadi, maka lima Rukun Islam
dapat membangkitkan serta mampu mengembangkan ketangguhan
sosial. Secara umum, potensi anak manusia itu berupa (1) Potensi
fisik sebagai organ fisik manusia yang dapat digunakan dan
diberdayakan untuk berbagai kepentingan dalam pemenuhan
kebutuhan hidup; (2) Potensi mental intelektual (intelectual
quotient) sebagai potensi kecerdasan yang ada pada otak manusia
(terutama otak belahan kiri); (3) Potensi sosial emosional (emotional
quotient) sebagai potensi kecerdasan yang ada pada otak manusia
(terutama otak belahan kanan); (4) Potensi mental spiritual (spiritual
quotient) merupakan potensi kecerdasan yang bertumpu pada
bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan di luar ego
atau jiwa sadar (bukan hanya mengetahui nilai, tetapi menemukan
nilai). (5) Potensi ketangguhan (adversity quotient) adalah sebagai
potensi kecerdasan manusia yang bertumpu pada bagian dalam diri
kita yang berhubungan dengan keuletan, ketangguhan, dan daya
juang yang tinggi.
Sesungguhnya kerangka landasan ketangguhan personal dan
sosial itu adalah erat kaitannya dengan pemahaman eksistensial dan
jati diri manusia yang secara esensial dan praktis membedakannya
dengan mahluk hidup lainnya. Pasalnya, anak manusia memiliki
konsep kecerdasan intelektual, emosional dan kecerdasan inteleksi
(intelektual spiritual) yang bersumber dari mutiara filosofis,
ideologis, dan teologis. Karena itu, ketika pilar-pilar pengetahuan
konseptual tersebut terabaikan atau tidak dipahami secara integral
dan interdependen, maka kita tidak hanya gagal memiliki IESQ

--103--
Power. Akan tetapi, juga otak kiri dan otak kanan kita sebagai
manusia menjadi tidak proporsional, tidak professional dan tidak
equilibrium serta parsial dan inferiority. Potret kecelakaan sejarah
inilah yang tengah menggelegar, sehingga hampir saja kaum nitizen
kontemporer gagal paham membedakan pejabat dengan pejahat,
pahlawan dengan penghianat, kaum buzzer dengan penjilad serta
actor pemiskinan dan kemiskinan. Dengan demikian, Rukun Islam
merupakan kekuatan penggerak (driving force) yang bermuatan
inteleksi sebagai senjata pamungkas yang sempurnah untuk
mengarungi bahtera kehidupan dunia hingga menyebrang di belahan
dunia lain.
Enam Rukun Iman dan lima Rukun Islam sebagai konstruksi
Ilahiah ini sudah pasti mencengangkan ketika dicoba diaplikasikan
untuk mencerdaskan dan mencerahkan anak-anak bangsa ini?
Betapa tidak, penerapan konstruksi pendidikan Profetik adalah pada
esensinya sekaligus menerapkan “teologi pembebasan” dimaksud
Fakih (2006) dan Ali Syari’ati (1985). Di dalamnya terkandung
analisis teori sosial kritik dan teologi itu sendiri untuk mengkritisi
situasi kesejarahan sosial bagi kaum tertindas dan sekaligus sebagai
komitmen transformasi politik. Bagi Fakih, hal itu bukan hanya
sekedar pengalaman rohani, tetapi merupakan teologi pembebasan
yang dapat dikategorikan sebagai teori perubahan sosial dan kritik
terhadap penyelenggaraan pembangunan untuk membangun
masyarakat yang lebih manusiawi (humanis).
Ikhwal inilah yang harus tertancapkan ke dalam pikiran dan
nurani bagi mereka yang diamanahi tugas dan tanggung jawab masa
depan. Akan tetapi, harus ditopang oleh perangkat keras dan
perangkat lunak melalui sebuah sistem pendidikan nasional? Apalagi
dalam konteks paradigma penanggulangan pemiskinan dan
kemiskinan. Sepanjang kedua siklus pembangunan partisipatif dan
siklus pembentukan karakter tersebut belum disintesakan, maka
nilai-nilai itu berserakan dalam bentuk ritualistik belaka. Kenyataan
empirik menunjukkan bahwa setinggi apapun pendidikan seseorang,
mereka tetap saja tampil mendewakan Harta, Tahta dan Wanita,
bahkan cenderung menghalalkan berbagai cara untuk menggapai
sebuah status position.
Shalat dan Puasa yang afdhal dijamin berujung pada
ketangguhan pribadi. Sementara Zakat dan Hajji merupakan strategi
collaboration yang sinergik dan sudah pasti akan membuahkan

--104--
ketangguhan sosial. Semua ini bisa dibayangkan, bagaimana hasilnya
ketika aktor jaringan penanggulangan kemiskinan sukses menapaki
siklus Rukun Iman dan Rukun Islam secara mendalam ? Sudah pasti
kelak, kita tidak hanya memiliki aktor-aktor pembangunan yang
memiliki tingkat kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi. Akan
tetapi, juga kita akan memiliki aktor jaringan penanggulangan
pemiskinan dan kemiskinan yang memiliki tingkat kecerdasan
inteleksi serta tingkat kecerdasan kreativitas yang mampu
memegang teguh amanah untuk melaksanakan kepercayaan rakyat
seperti terlihat pada bagan 6.

Bagan 6. Konstruksi Profetik dan Pengaruhnya terhadap


Ketangguhan Sosial dan Siklus Partisipatif.

Salah satu kelebihan Islam dibandingkan dengan agama dan aliran


kepercayaan yang lain ialah bahwa Islam merupakan agama sosial. Islam
tidak sekedar menjelaskan tentang kewajiban-kewajiban individual,
tetapi Islam juga mengajarkan kepada kita untuk menjalankan
kewajiban-kewajiban sosial baik terhadap sesama manusia maupun
makhluk hidup yang lain. Kesalehan merupakan pondasi dasar yang
harus dicapai oleh setiap individu dan setiap masyarakat (sosial). Dalam
kehidupan berindividu kita harus mempunyai banyak amal ibadah yang
baik untuk mencapai tingkat kesalehan, sebab kesalehan itu merupakan
pokok cerminan diri manusia yang baik. Apakah itu merupakan
kesalehan individu atau sebagai kesalehan sosial, yang pasti keduanya
adalah mencerminkan ketangguhan pribadi dan ketangguhan sosial.

--105--
F. Ikhsan dan Insan Cita Profetik

Akhirnya, buah lezat dari semua untaian pendidikan yang


berparadigma Profetik, adalah manusia Ihsan sebagai puncak dari
sebuah pengamalan total aksi seseorang dalam memperhambakan
diri kepada Ilahi Rabbul Alamin. Ketika Ihsan yang menjadi motivasi
dan drive utama bagi seseorang dalam mengembangkan berbagai
aktivitas horisontal dan vertikal. Maka sudah pasti akan terhindar
dari segala bentuk perilaku kongkalingkon, puji-pujian dan jenis
kemunafikan lainnya. Betapa tidak, Ihsan yang berarti beribadah
seolah-seolah melihat Allah, sudah pasti berbeda hasilnya dengan
amalan serimonial belaka. Namun apabila belum sukses secara
transparan melihat-Nya, maka Allah pasti melihat kita.
Konsentrasi mendalam dalam melaksanakan sebuah ibadah
ritual merupakan langkah tepat untuk terhindar dari sumber
kerawanan yang disebut breaking points (titik kritis) oleh Thomas F.
O’dea. Karena pada dasarnya, eksistensi ketidakberdayaan,
ketidakpastian dan kelangkaan akan berujung kepada apa yang
disebut Weber sebagai kebingungan, penderitaan, serta ketegangan
etis dan sosial yang mengarah kepada penciptaan dunia masyarakat
yang chaos (Kahmad, 2012). Meskipun tampak nyata masih banyak
Ilmuwan Muslim belum tertarik dengan epistemologi Islam seperti
dimaksud Nash (1987). Pasalnya, menurut Alatas (2010) bahwa
benak sebagian besar akademisi Asia terbelenggu (captive mind) oleh
keperkasaan paradigma orientalisme dan eurosentrisme dalam semua
tingkatan aktivitas ilmiahnya. Hal itu diakui oleh seorang Guru Besar
Universitas Hasanuddin Makassar bahwa “kini pun telah menjelma
sebuah gejala the other under development, sehingga tampak tidak
ada upaya maksimal dari para akademisi untuk mengembangkan
paradigma alternatif seperti paradigma Profetik yang sudah pernah
ditawarkan oleh Kuntowijoyo dan sekarang Anda juga mulai coba
gagas” (Peribadi, 2015).
Tampaknya, betapa sulit dipungkiri bahwa kini selain etos dan
kinerja akademisi tidak bisa menyamai etos keilmuwan dan
gebrakan intelektual muslim terdahulu sekaliber Ibnu Sina, Ibnu
Rusdy dan Ibnu Batuta serta beberapa ilmuwan muslim kaliber
lainnya, juga para akademisi dewasa ini tampak begitu lemah telaah-
telaah kritis yang diarahkan kepada rezim oligarkhi. Kecuali ada
segelintir akademisi sebagai insan cita yang tetap menunjukkan

--106--
telaah kritisnya dan tanggung jawabnya serta kepeduliannya,
meskipun mereka itu hanya bisa dihitung jari. Karena yang lain, pada
umumnya berselancar di zona aman atau dominan membisu seolah
menunggu badai berlalu.
Menurut hasil penelitian Bariroh (2019) yang tertuang dalam
artikelnya: “Implementasi Manajemen Hati Sebagai Upaya
Peningkatan Sumber Daya Manusia Di Mayangkara Group” bahwa
setelah mengamalkan secara rutinitas beberapa kegiatan seperti
program shalat berjamaah lima waktu, program baca tulis al-qur’an,
program qiyamullail dan program shalat tasbih, program tausiah di
masing-masing unit Mayangkara Group, maka perusahaan
merasakan beberapa manfaat. Pertama, seluruh SDM memiliki hati
yang bersih yang dapat digunakan sebagai kontrol diri sehingga
perusahaan akan jauh dari berbagai kecurangan yang terjadi
diakibatkan penghalalan segala cara oleh karyawan untuk
mendapatkan keuntungan. Kedua, kinerja perusahaan akan
mengalami produktivitas yang tinggi karena karyawan bekerja
dengan hati yang senang. Bekerja diniatkan sebagai bentuk ibadah
untuk menafkahi keluarga, sehingga mereka bekerja dengan ikhlas
dan mendapat keberkahan. Ketiga, terbangunnya suasana kerja yang
harmonis di antara karyawan dan pimpinan perusahaan,
sebagaimana dalam upaya pengelolaan hati melalui praktik shalat
berjamaah yang tidak ada unsur senioritas antara karyawan dan
pimpinan, semuanya menyatu dalam shaf-shaf. Keempat,
meningkatnya citra positif perusahaan karena perusahaan dikenal
dengan sebagai perusahaan yang bersih dan jauh dari praktik negatif
dalam bisnis. Ikhwal ini disebabkan perusahaan memiliki sumber
daya manusia yang ideal serta memiliki komitmen disiplin dan jujur
yang bersumber dari hatinuraninya.
Betapa menakjubkan jika pemegang amanah bangsa dan
negara serta aktor dan aktris pembangunan, terlebih dahulu harus
melintasi samudra spiritual PraProfetik dan Saintifikasi Profetik
seperti yang telah diarungi oleh Nabi Muhammad SAW ketika itu.
Maka sudah pasti mereka akan menjadi manusia yang bermanfaat
kepada orang lain dan lingkungan sekitarnya serta akan menjalankan
tugas, peran dan amanahnya dengan penuh rasa tanggung jawab.
Lebih dari itu, kelak tampil menjadi seorang idiolog seperti dimaksud
Ali Syari’ati (1996) atau menjadi great people dimaksud Utoyo
(2011). Paling tidak, awak-awak pembangunan tidak bakal tampil

--107--
sebagai seorang dramaturgis yang cerdik berselancar di antara
panggung depan dan panggung belakang seperti dimaksud Goffman.
Sudah pasti tidak bakal menjelmah menjadi kanibalisme modern
yang terus menyengsarakan rakyat kebanyakan sebagaimana
ditandaskan oleh Nataatmadja (2003) dan Hidayat (2013). Dan
sudah pasti, tidak bakal menggadaikan idealismenya seperti yang
kini dilakoni oleh kebanyakan pejabat, termasuk kaum agamawan
dalam pandangan Tago (2014). Akhirnya, tidak akan
mengembangkan berbagai aktivitas horisontal dan vertikal dalam
bentuk sikap dan perilaku ABS, puji-pujian dan hipokrit seperti
dimaksud Peribadi (2015).
Refleksi daya kontemplatif PraProfetik dan Profetik dapat
meneguhkan pendirian sang aktor dan awak pembangunan, sehingga
jiwanya tidak terbelenggu dan terpengaruh oleh segala jenis yang
menggiurkan. Pada akhirnya, ketika sang aktor telah memiliki segala
jenis kemampuan dalam konteks intelektual, emosional dan spiritual
serta kecerdasan kreativitas lainnya, pasti mampu melangkah lebih
jauh untuk menyusun strategi collaboration yang sinergik (Hajji),
hingga pada tahapan menjalin hubungan sinergisitas dengan
lembaga sosial lainnya, terutama membangun program chanaling
dengan SKPD di tingkat birokrasi Pemerintahan.
Pada akhirnya, puncak dari segala kapasitas dan kapabilitas
adalah kemampuan total action karena modal spritualitas yang
totalitas adalah memberi kemampuan holistik. Namun karena hal itu
tidak tercipta, maka tidak mengherankan jika melemahnya etos
peran dan tanggung jawab, termasuk disfungsionalisasi TKPKD
sebagai pemimpin pasukan penanggulangan kemiskinan. Demikian
pula yang kemudian menyebabkan ketidakatifan KBP serta degradasi
kelembagaan masyarakat. Hal itu semua menjadi pertanda bahwa
kini telah terjadi pergeseran rasional tindakan sosial, sehingga
pejabat cenderung memperalat agama melalui langkah dramaturgis
dimaksud Goffman serta strategi hegemoni dalam pandangan
Gramsci.
Ketika ketangguhan pribadi dan ketangguhan sosial telah
terpateri dalam sanubari para aktor penanggulangan kemiskinan,
sudah pasti mereka dapat melaksanakan tugas, peran dan tanggung
jawab yang diamanahkan kepadanya. Pada gilirannya, semua pihak
yang berkepentingan tidak lagi menampilkan mentalitas menerabas
dan komunikasi sosial yang bersifat Asal Bapak Senang (ABS),

--108--
sehingga mampu melaksanakan tugas tanpa perlu disaksikan oleh
atasan atau siapapun. Karena di dalam nuraninya telah terhunjam
sebuah keyakinan bahwa melaksanakan amanah dengan penuh rasa
tanggung jawab, maka Tuhan pasti melihat dan memberi imbalan
setimpal. Pola pikir dan mentalitas seperti itulah yang membekali
para pendahulu kita, sehingga sukses gemilang mengusir penjajah
dengan kekuatan spiritual yang tangguh.
Hasil penelitian Peribadi (2015) menyebutkan bahwa pihak
konsultan Pronangkis mengakui dengan jujur atas degradasi etos
kerja personil dan relawan penanggulangan kemiskinan di lapangan
dalam menjalankan siklus penanggulangan kemiskinan. Selain
degradasi etos kerja dan mentalitas penanggulangan kemiskinan
disebabkan oleh minimalisasi penghayatan dan pengamalan nilai
ESQ Power, juga tidak bisa dilepaskan dari motivasi dan support
Pemerintah setempat yang juga sudah pasti belum maksimal
mengamalkan ESQ Power dimaksud. Jika memang pemerintah benar-
benar ingin mengembangkan program penguatan kapasitas
kelembagaan melalui pemberian program kerja yang sifatnya
penunjukan langsung misalnya, maka spirit fasilitator dan pihak
relawan di tingkat kelurahan akan kembali bangkit. Karena itu,
adalah sangat dibutuhkan kecerdasan intelektual spiritual agar
pemerintah tidak lagi membentuk kelompok-kelompok dadakan
serta tidak lagi hanya memberikan program kepada mereka yang
dianggap berjasa ketika Pemilukada berlangsung. Karena itulah,
tuntutan keadilan bagi sapapun yang memimpin kedepan menjadi
penting untuk menghayati dan mengamalkan nilai-nilai ESQ Power.
Akhirnya, tugas dan tanggung jawab kaum pendidik dalam
konteks Prophetic Intelligence adalah berupaya memberi
pemahaman bahwa: (1) guru harus peka terhadap kondisi dan situasi
perilaku dan karakter anak didik; (2) memberikan motivasi dan
spirit dalam aktivitas pendidikan dilakukan secara istiqamah; (3)
meluaskan pemahaman secara objektif, metodologis, sistematis, dan
argumentatif; (4) memberikan teladan bagi anak didiknya dalam
beretika maupun beribadah; (5) melindungi secara lahiriyah maupun
bathiniyah terhadap anak didiknya; (6) memberikan pemahaman
secara bijak dan (7) memberikan tempat, waktu dan situasi untuk
kesuksesan proses pendidikan (Hayat, 2013).

--109--
Besar harapan agar melalui Education Prophetic, maka kaum
pendidik dapat membuahkan anak didik “yang berhati Mekkah dan
berotak Jerman” seperti Professor Habibi. Dalam konteks ini, berhati
Mekkah adalah berupaya mengembangkan pengetahuan secara
Islami melalui etika dan karakteristiknya serta potensi yang
dimiliknya untuk mengatur dan memelihara alam demi
kemaslahatan dan kesejahteraan umat manusia. Artinya, dapat
memberi manfaat terhadap lingkungan masyarakat, lingkungan alam,
serta kemanfaatan terhadap agama, bangsa dan negara. Sedangkan
konsep berotak Jerman adalah memiliki paradigma keilmuan yang
signifikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat
menopang dan menitralisir segala bentuk konspirasi pengetahuan
menuju kemandirian agama, bangsa dan negara.

G. Diskursus Paradigma Human Development Profetik

Beberapa paradigma pembangunan dengan penekanannya


masing-masing, adalah boleh jadi merupakan biangkladi dari
berbagai gelagak dekonstruksi sosial dalam bentuk dekulturasi,
despritualisasi, dehumanisasi, demoralisasi dan deforestase serta
aneka bentuk degradasi lainnya yang terus menggelegar, hingga kian
mencemaskan penghuni bumi. Akan tetapi, selain kita tidak
menyadarinya sebagai sumber malapetaka pengrusakan dan
kerusakan di darat, di laut dan di udara, juga ada kecenderungan
masing-masing penganut paradigma pembangunan merasa bangga
dan bahkan cenderung tampil arogan. Dalam konteks ini, Al Baqarah
ayat 11-12 menandaskan bahwa “Dan bila dikatakan kepada mereka,
Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi. Mereka
menjawab, "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan
perbaikan." Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang
membuat kerusakan tetapi mereka tidak menyadarinya.
Beberapa paradigma pembangunan yang boleh jadi sudah
mengandung konsep yang baik, tetapi digunakan oleh sang aktor
pembangunan yang belum memiliki IESQ Power yang cukup, yakni:
(1) paradigma modernisasi yang menekankan terjadinya perubahan
sosial secara evolusioner; (2) paradigma pertumbuhan ekonomi yang
menekankan kesejahtraan hanya dapat diwijudkan melalui
pertumbuhan ekonomi; (3) paradigma human capital yang
beranggapan bahwa modal pembangunan ekonomi nasional adalah

--110--
tenaga kerja yang murah; (4) paradigma dependensi mengkritisi
proses pembangunan dengan modal dan tenaga ahli asing yang
hanya menguntungkan pihak asing serta memperburuk kehidupan
masyarakat dan sumber daya lokal; (5) paradigma basic needs
beranggapan bahwa eksploitasi pekerja murah berlangsung di sektor
primer maupun sekunder; (6) paradigma growth adalah
menekankan kepada pertumbuhan ekonomi; (7) paradigma social
capital dan social development adalah memprioritaskan
pembangunan pada perbaikan pranata dan kelembagaan sosial
dalam masyarakat serta perhatian kepada pertumbuhan dan hak-hak
sosial; (8) paradigma pembangunan berkelanjutan adalah
mengharapkan agar proses pembangunan dapat meminimalkan
dampak langsung dan tidak langsung terhadap peningkatan efek
rumah kaca; dan (9) paradigma human development berintikan
kepada keyakinan dan pengakuan atas kekuatan pilihan rakyat.
Artinya, rakyat harus diberi kesempatan untuk menggunakan
kapabilitas dan kapasitasnya untuk membangun dirinya sendiri serta
berupaya mempertahankan kelangsungan hidup generasi
penerusnya dengan sumber daya dan lingkungan hidup yang lestari
secara berkelanjutan.
Sementara itu, Profetik merupakan sifat kenabian yang
mempunyai ciri bukan hanya sebagai manusia yang ideal secara
spiritual-individual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan serta
membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan
perjuangan tanpa henti melawan penindasan dan ketidakadilan.
Karena itulah, maka pendidikan Profetik dari pilar transendensi,
liberasi, dan humanisasi adalah menyapa alam secara kreatif dan
apresiatif terhadap local wisdom serta mengintegrasian ilmu, agama
dan budaya dalam sebuah tradisi edukasi yang terdesain secara
konseptual, sehingga proses literasi Profetik bergerak dinamis dan
proaktif terhadap kehidupan sosial yang ideal menuju khairu ummah.
Menurut Umam (2018) dalam makalahnya yang berjudul
“Reconstruction Of Integrative Islamic Education In The
Transformative Profetical Education Framework” bahwa nilai-nilai
Profetik dapat dipelajari dari sifat-sifat kenabian yang ada pada diri
Rasulullah SAW. Pertama, sidiq (integrity) secara sederhana sifat
sidiq dapat diartikan sebagai kejujuran yang merupakan modal
mendasar untuk membentuk integritas. Namun secara luas sidiq juga
merupakan sebuah integritas moral yang dimiliki oleh seseorang.

--111--
Kedua, amanah (responsible) juga dapat diartikan sebagai sifat
terpercaya melatih sifat seseorang untuk tampil prima bertanggung
jawab penuh. Karakter amanah akan dapat mengasah seseorang
dalam memilah dan memilih antara kepentingan pribadi dan
kepentingan publik. Ketiga, fathanah (smart) adalah karakter
seseorang dengan kualitas diri (capacity building) yang baik
mencakup kecerdasan emosional, spiritual dan intelektual dan
keterampilan (skillful). Keempat, tabligh dapat pula diartikan sebagai
kemampuan berkomunikasi (communicative) yang efektif, sehingga
seseorang dapat dengan mudah menyampaikan visi dan misinya
kepada orang lain. Keempat sifat inilah yang merupakan sifat
Profetik yang sepatutnya menjadi pedoman pembentukan karakter
diri (character building) dalam rangka meningkatkan kualitas diri
secara vertikal (hablun min Allah) dan maupun secara horizontal
(hablun min al-nas) serta sekaligus mengarahkan tujuan hidup umat
Muslim pada umumnya dan masyarakat Muslim Indonesia pada
khususnya.
Menurut Ustadz Syafi’i Antonio (dalam Umam, 2018) bahwa
nilai Profetik adalah esensi yang sepatutnya mendasari gerak
langkah anak manusia dalam berdagang, berpolitik, berkeluarga,
berilmu amaliah dan amal ilmiah. Namun realitas menunjukkan
bahwa masyarakat Muslim Indonesia justru melupakan esensi dari
sifat-sifat kerasulan Nabi Muhammad SAW. Artinya, selama ini kita
cenderung tidak membawa atau belum merefleksikan sosok
Rasulullah ke dalam konstalasi kehidupan sosial, ekonomi, budaya
dan politik kemasyarakatan dan kebangsaan. Betapa tidak, dalam
konteks ekonomi misalnya ketika seseorang berdagang, maka
tampak melupakan bagaimana cara berdagang Rasulullah. Begitu
pula dalam konteks sosial lainnya, Nabi Muhammad SAW. sebagai
sosok suri teladan tampak terlupakan dan bahkan justru acapkali
kita mengidolakan public figure lainnya. Padahal nilai-nilai Profetik
semuanya sudah terpateri ke dalam sifat-sifat kenabian yang ada
pada diri Rasulullah untuk menjadi inspirasi serta upaya
pembentukan jati diri dan karakter Islami.
Seirama dengan itu, menurut Armansyah (dalam Bariroh,
2019) bahwa kecerdasan yang dipahami masyarakat pada umumnya
berkaitan dengan kecerdasan intelektual (Intelegency Quotient).
Seseorang yang memiliki IQ tinggi berarti dia memiliki peluang
sukses yang lebih besar dari pada orang yang memiliki IQ yang lebih

--112--
rendah. Padahal realitas menunjukkan orang yang secara akademis
berprestasi belum tentu mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai
kapabilitas mereka. Hal ini membuktikan bahwa orang yang ber-IQ
tinggi tidak menjamin mendapatkan kesuksesan dalam hidupnya.
Seiring dengan itu, maka dalam perkembangan pengetahuan
manusia ditemukan tipe kecerdasan lainnya melalui penelitian-
penelitian empiris oleh para akademisi dan praktisi psikologi, yakni
kecerdasan emosional (emotional quotient) dan kecerdasan spiritual
(spiritual quotient) serta kecerdasan inteleksi.
Sesungguhnya, Islam adalah suatu keyakinan universal yang
sederhana, mudah dan logis untuk dipahami serta applicable. Hal ini
karena selain memiliki postulat iman, juga memiliki postulat ibadah
yang berisi interaksi vertikal antara manusia dengan Penciptanya.
Dan interaksi horizontal antar sesama manusia, serta postulat akhlak
yang menjadi built in control dalam diri seorang Muslim. Agama
mempunyai tiga pondasi pokok yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Dalam
konteks kekinian Iman sering disebut dengan teologi, ilmu kalam,
aqidah, atau tauhid. Adapun Islam sering diekuivalenkan dengan
syari‟at atau fiqih. Sedangkan Ihsan terkadang diistilahkan dengan
tasawuf atau akhlak.
Sementara itu, pembangunan Berkelanjutan Berwawasan
Lingkungan (Sustainable Development Goals) merupakan skema
program kebijakan yang disepakati para pemimpin dunia untuk
mengurangi kemiskinan, kesenjangan, dan mengakhiri dampak
perubahan iklim global. Karena itu, ketika konsep SDGs yang terdiri
dari 17 tujuan dikaji dalam perspektif Islam, maka sesungguhnya
konsep Islam yang telah hadir jauh sebelumnya adalah searah
dengan tujuan SDGs dan bahkan konsep Islam lebih realistis karena
diamalkan dengan istiqamah dan penuh rasa tanggung jawab. Betapa
tidak, Islam juga memiliki cara untuk memerangi kemiskinan dengan
zakat, puasa, dan pola hidup yang sederhana, memberikan hak-hak
secara adil antara perempuan dan laki-laki, menegaskan tidak ada
posisi yang ekuivalen di antara keduanya, memerintahkan manusia
untuk mengelola lingkungan secara bijak dan menjaga keseimbangan
alam. Dengan demikian, upaya menggerakkan massa Islam untuk
membantu dalam pencapaian SDGs merupakan salah satu
manisfestasi ketaqwaan kepada Allah SWT, sehingga menjadi
tantangan bagi pemerintah, organisasi masyarakat, maupun
akademisi dalam mensosialisasikan SDGs serta Sustainable Science

--113--
ke masyarakat maupun ke pendidikan tinggi (Humaida, 2020).
Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan
belum sepenuhnya mampu mensejahterakan masyarakat dan bahkan
pembangunan di berbagai sektor juga belum dapat menampung dan
memenuhi kebutuhan masyarakat.
Betapa kian marak pembangunan diselenggarakan dalam
berbagai bidang, tetapi kian mengemuka pula setumpuk
problematika kemiskinan di negeri yang kaya raya Sumber Daya
Alam (SDA) ini. Apakah karena perencanaan dan program
pembangunan bukan hanya belum mampu mensejahtrakan
masyarakat, tetapi juga sekaligus belum mampu menanggulangi
kemiskinan? Betapa tidak, selain berbagai faktor yang
mempengaruhi kegagalan penanggulangan kemiskinan juga proses
pemiskinan seolah terus berkelindan, sehingga sangat dibutuhkan
kesalehan sosial bagi sang aktor yang dimanahi tugas dan tanggung
jawab kenegaraan, termasuk dalam konteks Program
Penanggulangan kemiskinan (Pronangkis) di tengah masyarakat,
bangsa dan negara Indonesia tercinta ini.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka menurut Hawari
(2009) apabila bangsa dan negara Indonesia hendak keluar dari
krisis multi-dimensi, maka persyaratan SDM terutama para
pemimpinnya haruslah berkualitas dan memenuhi kriteria IQ
(Intelligent Quotient), EQ (Emotional Qoutient), CQ (Creativity
Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient) atau disebut juga iman dan
takwa.
“Pertama, IQ (Intelligent Quotient). Pemimpin dengan IQ yang
tertinggi akan mampu menyelesaikan berbagai permasalahan
di bidangnya maupun hal-hal lain yang terkait dengan bidang
itu. Selain daripada itu ia mampu mengantisipasi perubahan-
perubahan masa depan, sehingga mampu menghadapi
perubahan itu dengan berbagai solusi dan alternatif
pemecahannya.

Kedua, EQ (Emotional Quotient). SDM (pemimpin) dengan EQ


yang tertinggi mempunyai sikap terbuka, transparan,
akomodatif, konsisten (istiqomah), satu kata dengan
perbuatan, menepati janji, jujur, adil dan berwibawa.
Kewibawaannya ditegakkan dengan arif bijaksana, bukan
dengan power (kekuatan/kekuasaan). SDM (pemimpin) ini

--114--
lebih mengutamakan kesejahteraan umum (masyarakat
banyak) daripada kesejahteraan dirinya, berkorban demi
kepentingan umum serta tidak mementingkan kepentingan
dirinya sendiri (tidak egois); serta peduli terhadap penderitaan
orang lain (rakyat). SDM (pemimpin) memiliki budi pekerti
luhur sehingga dapat menjadi tokoh panutan.
Ketiga, CQ (Creativity Quotient). SDM (pemimpin) dengan CQ
yang tertinggi mampu merubah bentuk dari suatu ancaman
(threat) menjadi tantangan (challange) dan dari tantangan
menjadi peluang (opportunity). Daya kreativitas pemimpin tipe
ini dapat membangkitkan semangat, percaya diri (selft
confidence). Membangkitkan optimisme masyarakat dan
bangsa untuk menghadapi masa depan yang lebih baik bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Daya kreativitasnya
bersifat rasional tidak sekedar angan-angan belaka
(wishfulthinking), dan dapat diaplikasikan serta
diimplementasikan.

Keempat, SQ (Spiritual Quotient). Pemimpin (SDM tipe ini


selalu memegang amanah, konsisten (istiqomah) dan tugas
yang diembannya merupakan ibadah terhadap Tuhan. Oleh
karena itu semua sikap, ucapan dan tindakannya selalu
mengacu pada nilai-nilai moral dan etika agama serta selalu
memohon taufiq dan hidayah Allah SWT dalam melaksanakan
amanah yang dipercayakan kepadanya. Pemimpin tipe ini
dalam menjalankan tugasnya selalu berpijak pada amar ma’ruf
nahi munkar (mengajak kebaikan dan mencegah kejahatan)”.

Meskipun hal itu sulit tercipta, karena menurut Nataatmadja


(2003) akibat dari Aristotelianisme dan Euclideanisme yang
berbasis intelegensi rasional, intelegensi artifisial dan intelegensi
digital. Maka manusia telah menyulap dirinya menjadi “binatang
berakal” dan “binatang beragama”. Intelegensi pikiran kita masih
Aristotelian dan Euclidean yang beriman pada kebenaran empiris
dan rasionalisme sebagai esensi kemampuan aqliyah yang “benar
dengan sendirinya”. Salah satu akibatnya adalah muncullah
“Kanibalisme modern” yang kaya berubah menjadi “diyu-diyu
pemangsa manusia”, seperti terlukis pada wajah “raksasa, monyet,
ular dan kerbau sakti” di dunia pewayangan.

--115--
Atas dasar itulah, maka Latif (2011) menandaskan bahwa
perwujudan negara kesejahtraan itu sangat ditentukan oleh
integritas dan mutu para penyelenggara negara disertai dukungan
rasa tanggung jawab (sense of responsibility) dan rasa kemanusiaan
(sense of humanity). Artinya, adalah tidak sepantasnya pejabat negara
hanya berorientasi pada keuntungan material yang membuntungkan
rakyat banyak. Akan tetapi, dengan pemenuhan imperatif moral sila
keadilan sosial diharapkan dapat menghentikan jeritan panjang
rakyat Indonesia menuju impian kebahagiaan di bawah limpahan
kebajikan dan ridho Tuhan berbasis gemah ripah loh jinawi, tata
tentrem kerta raharja.

Bagan 7. Diskursus Paradigma Human Development Profetik

Sumber: Desi Fernanda,http://www.docdatabase.net/more-paradigma-


paradigma-pembangunan-pusdiklat--1239365.html; {Agustian, 2000;
Peribadi, 2020}.

--116--
Upaya mengembangkan sebuah diskursus paradigma Human
Development berbasis Profetik, maka nilai ESQ Power harus
disinergikan dengan paradigma pembangunan Human Development.
Ikhwal itu semakin memberi peluang karena di dalam paradigma
pembangunan Human Development tersebut rakyat diberi
kesempatan untuk menggunakan kapabilitas dan kapasitasnya
semaksimal mungkin untuk menyelenggarakan serta melangsungkan
kehidupan sosialnya sendiri. Selain itu, paradigma human
development bersifat universal dan non diskriminatif, serta
menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan,
mendorong peningkatan kapabilitas, mengurangi deprivasi
(penderitaan), dan berorientasi pada keberlanjutan kesejahteraan
generasi.
Besar harapan agar proses sintetis antara paradigma Human
Development dengan paradigma ESQ Power seperti terlihat dalam
bagan 7, dapat melahirkan aktor dan aktris pembangunan yang kelak
tampil menjadi manusia amanah serta senantiasa melaksanakan
tugas dan perannya dengan penuh rasa tanggung jawab. Bukan
sebaliknya, aktor pembangunan yang bermental menerabas, hipokrit
dan enggan bertanggung jawab sebagaimana dimaksud
Koentjaraningrat dan Muhtar Lubis di beberapa dekade silam. Akan
tetapi, adalah anak-anak bangsa yang memiliki etos kerja yang tinggi
serta bermental baja dan berhati emas sebagaimana Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya, karena telah melewati
training center kehidupan yang berhasil menggenjot kecerdasan
intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spritual serta
kecerdasan kreativitasnya.
Umar Chapra (dalam Muhammad, 2019) menjelaskan, bahwa
pembangunan ekonomi Islam dibangun berdasarkan prinsip Tauhid
serta etika mengacu pada tujuan syariah atau maqashid al-syariah.
Dalam konteks ini, adalah memelihara: (1) Iman atau faith, (2) hidup
atau life (3) nalar atau intellect (4) keturunan atau posterity dan (4)
kekayaan atau wealth. Basis utama sistem ekonomi syariah adalah
terletak pada aspek kerangka dasarnya yang berlandaskan hukum
Islam atau syariah. Terutama pada aspek tujuannya untuk
mewujudkan suatu tatanan ekonomi masyarakat yang sejahtera
berdasarkan: (1) keadilan (2) pemerataan dan (3) keseimbangan.
Sementara dalam faham Islam, asas kolektivitas yang sama rata serta
sama rasa, adalah melanggar sunnatullah. Karena pada dasarnya

--117--
manusia memang berbeda satu dengan lainnya, agar dapat saling
belajar satu dengan lainnya. Sistem ekonomi Islam menganut Asas
Equilibrium, yaitu dengan “menjembatani” antara sikaya dan
simiskin. Atau kelompok masyarakat borjuis dengan masyarakat
proletar melalui konsep ZIS (Zakat, Infaq, Sadaqah) serta Waqaf.
Sistem ekonomi Islam mengutamakan aspek hukum serta etika, yaitu
berupa adanya keharusan mengimplementasikan beberapa prinsip
hukum serta etika bisnis Islami.
Karena itu, jika pada kurun waktu tertentu senantiasa bankit
sang mujaddid sebagai pembaharu dari kalangan tokoh ulama, maka
seyogyanya juga menjelmah akademisi pembaharu yang tampil
cekatan mentransformasikan ajaran agama ke dalam konteks teori
dan konsep-konsep keilmuannya. Adalah sungguh amat patut
disyukuri, karena para founding father bangsa dan negara tercinta ini
adalah tidak hanya sukses gemilang mendepak kaum biadab
kolonialisme yang mencakar-cakar tanah air kita ratusan tahun
lamanya. Akan tetapi juga tampil cerdas merekonsiliasi ajaran agama
dengan ideologi negara dalam sebuah paradigma pemerintahan yang
integralistik. Betapa para pejuang kemerdekaan kita menggebrak
dengan pilar amar ma’ruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi) dan
tu’minuna bilah (transendensi) yang hasilnya kini kita nikmati,
meskipun ada saja segelintir anak cucunya yang kini cenderung
menggadaikan harga diri dan martabat bangsanya.
Akhirnya, Paradigma Human Development Profetik merupakan
keyakinan, perspektif dan sudut pandang serta kerangka pemikiran
yang mengintegrasikan ruang kebenaran rasional, kebenaran
empirik dan kebenaran metafisik, sehingga tidak terjadi
pemenggalan pada anatomi tubuh manusia sebagai sebuah
universitas kehidupan yang univerersal, integral dan interdependen.
Seiring dengan itu, sang pengguna paradigma Human Development
Profetik tersebut adalah aktor dan aktris pembangunan yang
berintegritas tinggi dalam mewujudkan visi, misi dan tujuan
pembagunan (As Sidq), sebagai aparat, karyawan dan pekerja yang
terpercaya (Al Amanah), dan sebagai pemimpin yang transparan dan
legowo (At-Tabligh) serta sebagai pekerja keras, pekerja cerdas dan
pekerja benar (Al Fatanah) karena bermodalkan kecerdasan
inteleksi.

--118--
KELIMA

EPILOG
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu
dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu
menjadi tercela dan menyesal
(Al Israa Ayat 29).

Pertama, ketika ditelaah kritisi dari sudut pandang teori dan


konsep-konsep kecerdasan yang telah dituangkan terdahulu, maka
sesungguhnya etos dan kinerja serta mentalitas pembangunan
orang-orang yang diamanahi tugas, peran dan tanggung jawab di
bangsa dan negara tercinta ini, tampak demikian fenomenal dan
empirik menunjukkan indikasi: (1) masih kurangnya Intelligent
Quotient, karena faktor ketidakmampuan aktor dan struktur
menyelesaikan permasalahan di bidangnya masing-masing; (2)
masih sangat lemahnya Emotional Quotient, karena faktor tidak
transparans, akomodatif dan konsistensi; (3) masih rendahnya
Creativity Quotient, karena faktor ketidakmampuan merubah
ancaman (threat) menjadi tantangan (challange) hingga menjadi
peluang (opportunity) serta belum berhasil membangkitkan spirit
dan selft confidence; dan (4) sangat minimnya Spiritual Quotient,
karena jaringan aktor belum sepenuhnya memegang teguh amanah,
tidak konsisten (istiqomah) serta belum dapat melaksanakan tugas,
peran dan tanggung jawabnya berbasis ibadah.
Kedua, sesungguhnya power kecerdasan intelektual,
emosional dan spiritual (IESQ) Ilmuan Muslim terdahulu jauh lebih
super dan lebih spektakuler ketimbang ilmuwan modern dan
kontemporer. Betapa tidak, Imam Bukhari adalah hampir saja
menghabiskan umurnya ketika berupaya menuntaskan validitas dan
realibilitas Hadist dengan super metodologi yang melampaui analisis
falsifikasi yang digunakan oleh K.R. Popper. Demikian pula, etos
keilmuan Imam Bukhari jauh lebih super ketimbang Michael Hart
yang melakukan penelitian selama kurang lebih 20-an tahun untuk

--119--
menuntaskan bukunya yang berjudul 100 Tokoh Dunia. Tak pelak
lagi, keberadaan ilmuwan muslim di sekitar abad pertengahan yang
menjadi sumber inspirasi bagi kaum ilmuwan yang berselancar di
belahan dunia Barat. Sebutlah salah satunya yang demikian
menakjubkan IESQ Power dan etos keilmuannya, adalah sang
Ilmuwan Fisika Muslim Irak bernama Ibnu Al Haytham yang menulis
buku sebanyak 200-san judul.
Ketiga, ikhwal IESQ Power yang mungkin takkalah
spektakulernya adalah Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Khaldun. Keduanya,
ternyata merupakan peletak dasar empirisme dan positivisme
modern yang jauh sebelumnya telah mendahului John Stuart Mills
atau pun David Hume. Betapa sulit dipungkiri bahwa teori ashabiyah
Ibnu Khaldun amat nyata mempengaruhi teori solidaritas Durkheim
serta benih pemikiran teologis Abu Hasan al-Asyari yang mengilhami
Max Weber. Dalam konteks ini, menurut Cak Nur bahwa Teologi
Asya’ri berperan paralel seperti Calvinisme yang dipandang Weber
sebagai kekuatan budaya. Tak pelak lagi, IESQ Power Abu al-Walid
Ibn Rusyd yang terkenal sebagai “Averroes” yang dianggap bukan
hanya sebagai lentera peradaban Timur, melainkan juga menjadi
pelita bagi peradaban Barat. Betapa mencengangkan, karena
rasionalitas dan Wahyu dalam sentuhan jenius Ibn Rusyd telah
melahirkan berbagai karya spektakuler di panggung keilmuan dunia
Eropa. Tak terkecuali, IESQ Power dan etos keilmuan Ibnu Sina yang
familiar digelar “Avicena” menandaskan bahwa untuk memahami
kebenaran agama, tak cukup hanya sekadar memahaminya dari segi
tekstualitas kitab suci. Akan tetapi, penerapan akal budi pada
masalah-masalah religiousitas sangatlah penting, karena akal sendiri
merupakan anugerah Tuhan yang paling besar dan sempurnah.
Keempat, tampaknya, upaya mendevelop Al Quran sebagai
sumber sains masih amat terasa di zaman kejayaan Eropa hingga
kini. Hal itu terlihat dalam diskursus pemikiran Sosiologis Ali
Shariaty ketika menyoal potret “Masyarakat Qabil” dan potret
“Masyarakat Habil” yang termaktub dalam teori “TriTunggal”. Betapa
tidak, Ali Shariaty yang meskipun alumni Prancis, tetapi tidak pernah
terlena dengan sosiolog sekaliber Comte, Durkheim, Marx, dan
Weber. Besar dugaan, ikhwal itu pun mempengaruhi etos keilmuan
Koentowijoyo yang mendevelop teori Ilmu Sosial Profetiknya (ISP)
dari QS. Al Imran ayat 110 serta mempengaruhi Prof. Jawahir
Tontowi ketika merancang Prophetic Leadersip. Demikia pula,

--120--
diduga mempengaruhi Monif dan Kamaluddin ketika mendesain
Rasulullah’S Business School-nya dan Ary Ginanjar Agustian ketika
mendesain Training ESQ Power 165. Atas Ikhwal itu pun kemudian
mempengaruhi penulis ketika merekonstruksi Paradigma
Pembangunan Partisipatif berbasis ESQ Power, hingga saya
membuahkan formulasi Pronangkis dan diskursus teori DwiTunggal.
Kelima, memang terlihat jelas beberapa kelemahan di balik
penggunaan paradigma pembangunan partisipatif, namun fakta
empirik juga menunjukkan bahwa masyarakat sudah mulai muncul
rasa memiliki atas program pembangunan yang telah mereka
rencanakan dan laksanakan sendiri. Muncul sifat keswadayaan ketika
biaya tidak cukup untuk menyelesaikan sebuah program
pembangunan yang ada di lingkungannya. Semua manfaat positif
tersebut sulit tercipta ketika pelaksanaan pembangunan berbasis
paradigma top down dalam perspektif idiologi pembangunanisme di
masa lalu (baca: Orde Baru). Karena itu, sebaiknya penggunaan hasil
pengumpulan dana Zakat, Infaq dan Sodakah (ZIS) mulai berpacu di
atas siklus pembangunan partisipatif, sehingga dapat
memberdayakan serta menumbuhkan kehidupan sosial ekonomi
ummat Islam.
Keenam, manajemen ZIS yang sejak dahulu kala sebelum
kita mengenal kajian ilmiah seputar masalah kemiskinan,
sesungguhnya masyarakat sudah menjalankan sebuah tradisi yang
secara langsung merespon permasalahan kemiskinan dalam bentuk
pemberian Infaq, Zakat dan Sodaqah yang tidak hanya berupa uang
dan barang. Akan tetapi, juga dalam bentuk pekerjaan atau upaya
lain yang bertujuan untuk meringankan beban orang-orang tidak
mampu. Ikhwal itu, kini disebut filantropi sebagai sebuah modal
sosial yang telah menyatu dengan kultur masyarakat. Karena itu,
Zakat, Infaq dan Sodaqah di tengah masyarakat kontemporer harus
diimplementasikan secara terukur, terstruktur, sistematis dan
istiqamah, sehingga zakat yang mulia itu semakin tinggi nilainya dan
lebih nyata hasilnya.
Ketujuh, diskursus Human Development Profetik adalah
berupaya mensinergikan antara paradigma Human Development
sebagai paradigma terakhir dalam konstalasi pembangunan dengan
nilai ESQ Power. Dengan demikian, maka IESQ Power masyarakat
semakin super potensial, karena paradigma Human Development
adalah memberi peluang dan kesempatan kepada rakyat untuk

--121--
menggunakan kapabilitas dan kapasitasnya semaksimal mungkin
untuk menyelenggarakan serta melangsungkan kehidupan sosialnya
sendiri. Selain itu, paradigma human development bersifat universal
dan non diskriminatif, serta menempatkan masyarakat sebagai
subyek pembangunan, mendorong peningkatan kapabilitas,
mengurangi deprivasi (penderitaan), dan berorientasi pada
keberlanjutan kesejahteraan generasi.
Akhirnya, sehebat dan sesempurnah apapun teori dan konsep
serta strategi yang dikembangkan untuk mensejahtrakan sebuah
masyarakat, bangsa dan negara. Maka semuanya akan menjadi sia-sia
jika kita tidak berupaya mengimplementasikan paradigma
sustainable development berbasis IESQ Power. Betapa tidak, kini telah
menjadi kenyataan pahit bagi masyarakat kontemporer dalam aneka
dekosntruksi dan degradasi sosial yang terus menggelegar dengan
berbagai implikasi sosialnya. Tentu saja hal itu terjadi adalah bukan
semata-mata karena kelemahan konseptual pada beberapa
paradigma dimaksud, tetapi justru ditenggarai sang aktor dan aktris
pembangunan dan Pronangkis yang menggunakan sebuah
paradigma, belum memiliki IESQ Power yang konstruktif. Dengan
perkataan lain, sang aktor dan aktris pembangunan yang telah
menggunakan aneka paradigma pembangunan secara silih berganti
itu, tampak lebih dominan dengan kecerdasan rasional yang
beririsan dengan kecerdasan digital dan kecerdasan artifisialnya.
Karena itu, urgensi IESQ Power dan Pronangkis tidak boleh
terpisahkan dan bahkan harus berlangsung secara serentak dalam
ranah integral dan interdependen.

--122--
DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, Rahardjo, 2013, Pembangunan Perdesaan: Pendekatan


Partisipatif, Tipologi, Strategi, Konsep Desa Pusat
Pertumbuhan, Graha Ilmu, Yokyakarta.
Adonis (Ali Ahmad Said), 2012, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-
Islam, Anggota IKAPI, Edisi Khusus Komunitas, PT. LkiS,
Printing Cemerlang, Yogyakarta.
Agusta, Ivanovich, 2012, Diskursus, Kekuasaan dan Praktek
Kemiskinan di Pedesaan, Disertasi, Program Studi Sosiologi
Pedesaan, Sekolah Pascasarjana, IPB.
Agustian, Ginanjar, Ary, 2000, Rahasia Sukses Membangun
Kecerdasan Emosi dan Spritual, ESQ, Emotional Spritual
Quotient, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Arga,
Jakarta.
Agustian, Ginanjar, Ary, 2003, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ
Power, Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan, Arga, Jakarta.
Alatas, Farid, Syed, 2010. Dirkursus Alternatif Dalam Ilmu Sosial Asia,
Tanggapan Terhadap Eurosentrisme, Mizan Publika, Jakarta.
Alibasyah, Permadi, 2003, Bahan Renungan Kalbu: Pengantar
Mencapai Pencerahan Jiwa, Yayasan Mutiara Tauhid, Jakarta.
Almond, Ian, 2011, Nietzsche Berdamai dengan Islam: Islam dan
Kritik Modernitas Nietzche, Foucault, Derrida, diambil dari
sejumlah buku The New Orientalist: Postmodern
Representations of Islam Foucault to Baudrillard dan
diterjemahkan oleh Tim Kepik Ungu, Tim Kepik Ungu, Depok.
Amaluddin, Mohammad, 1987’ Kemiskinan dan Polarisasi: Studi
Kasus di Desa Bulugade, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, UI-
Press.
Baswir, Revrisond, dkk., 2003, Pembangunan Tanpa Perasaan,
Evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, ELSAM,
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta.
Bowel, Richard A, 2004, The Steps of Spiritual Intelligence, The
Partical Pursuit of Purpose, Siccess and Happiness, Nicholas
Brealey Publishing, London Boston.
Brata, Tri, Joko, 2013, Jaringan Implementasi Penanggulangan
Kemiskinan (Studi Kasus Pada Tim Koordinasi

--123--
Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kota Kendari, Disertasi,
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Budiman, Arief, 1995, Teori Pembangunan Dunia Ketiga,Gramedia
Jakarta.
Chaniago, A. Andrinorif, 2012, Gagalnya Pembangunan: Membaca
Ulang Keruntuhan Orde Baru, LP3ES, Anggota Ikapi, Jakarta.
Fakih, Mansour, 2006, Runtuhnya Teori Pembangunan dan
Globalisasi, Insist Press bekerjasama dengan Pustaka Pelajar,
Yokyakarta.
Federspiel, M. Howard, 1998, Indonesia in Transition: Muslim
Intellectuals and National Development, Nova Science
Publishers, Inc, New York.
Friedman, J, 1992, Empowerment, The politics of alternative
Development, Balckwell Publishers Three Cambridge Center
USA.
Habermas, Jurgen, 2006, Teori Tindakan Komunikatif, Rasio dan
Rasionalisasi Masyarakat, Diterjemahkan oleh Nurhadi dari
buku: Theorie des Kommunikativen Handelns, Band I:
Handlungsrationalitet und gesellschaftiiche Rasionalisierung,
Kreasi Wacana. Yokyakarta.
Hariwijaya, M. Surya, Sutan, 2008, Big Bang Spirit, Mendongkrak
Motivasi Untuk Meraih Prestasi, Pustaka Insan Madani,
Yokyakarta.
Hart, H. Michael, 1993, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh
Dalam Sejarah, Diterjemahkan oleh H. Mahbub Djunaidi dari
buku: The 100, a Ranking of thr most Influential Persons in
History, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.
Hawari, Dadang, 2009, IQ, EQ, CQ & SQ Kriteria Sumber Daya Manusia
(Pemimpin) Berkualitas, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Hendrawan, Sunerya, 2009, Spiritual Management, From Personal
Enlightenment Towards God Corporate Governance, Mizan (PT
Mizan Pustaka) Anggota IKAPI, Bandung.
Hidayat, Komaruddin, 2013, Psikologi Kematian, Mengubah
Ketakutan Menjadi Optimisme, Anggota IKAPI, Jakarta Selatan.
Hikmat, Harry, 2010, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Humaniora
Utama Press (HUP), Bandung.
Hiro, Dilip, 2007, Pertarungan Marxisme-Islam, Diterjemahkan dari
buku Between Marx and Muhammad The Changing Face of

--124--
Centeral Asia, oleh Suharsono, Inisiasi Press bekerjasama
dengan Suluh Press, Yogyakarta.
Humaidi, 2015, Paradigma Sains Integratif Al Farabi, Pendasaran
Filosofis bagi Relasi Sains, Filsafat, dan Agama, Sadra
International Institute, Jakarta Selatan.
Khaldun, Ibnu, 2005, Muqoddimah Ibnu Khaldun, diterjemahkan oleh
Ahmadie Thoha, Pustaka Firdaus, Jakarta.
Korten, D.C, 1993, Menuju Abad ke-21: Tindakan Sukarela dan
Agenda Global Forum Pembangunan Berpusat-Rakyat, Yayasan
Obor Indonesia dan Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Kuntowijoyo, 2008, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Mizan
Pustaka, Bandung.
Kurasawa, Aiko, 1993. Mobilisasi dan Kontrol. Grasindo, Jakarta.
Latif, Yudi, 2011. Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Malik, Luthfi, Muhammad, 2010, Etos Kerja, Pasar dan Masjid: Studi
Sosiologi Mobilitas Perdagangan Orang Gu-Lakudo di Sulawesi
Tenggara, Disertasi, FISIP, Program Studi Sosiologi, UI Depok-
Jakarta.
Monif, Abuya dan Kamaluddin, Masihu, 2014, Rasulullah’S Business
School, Platinium Edition, Mega Best Seller, Tim Dakwah
Abuya, Banarang Gunungpari Semarang.
Muhadjir, Noeng, 2011, Metodologi Penelitian, Paradigma
Positivisme Objektif, Fhenomenologi Interpretatif Logika
Bahasa Platonis, Chomskyist, Hegelian dan Hermeneutik,
Paradigma Studi Islam, Matematik Recursion-Set Theory &
Struktural Equation Modeling dan Mixed, Rake Sarasin, Edisi VI
Pengembangan, Yokyakarta.
Nasr, Hossein, Seyyed, 1987, Traditional Islam in the Modern World,
KPI Limited, New York.
Nataatmadja, Hidajat, 1982, Krisis Global Ilmu Pengetahuan dan
Penyembuhannya (Al Furqan), Pengembangan Karsa Ihya
Ulumiddin, Iqra, Bandung.
Nataatmadja, Hidayat, 2003, Intelegensi Spiritual, Intelegensi
Manusia-Manusia Kreatif, Kaum Sufi dan Para Nabi, Intuisi
Press, Depok.
Ouspensky, P.D. 2005, Tertium Organum, Paradigma Intelektual
Berbasis Spritual, diterjemahkan oleh M. Khoirul Anam dan
disunting oleh Suharsono, Inisiasi Press, Depok-Jakarta.

--125--
Peribadi, 2015. Reconstruction of Participatory Paradigm Based on
ESQ Power, A Strategy of Power Overcoming in Kendari City,
South East Sulawesi, Lambert Academic Publishing (LAP),
Germany.
Peribadi, 2016. Prahara Kehidupan Sosial Kaum Agraris: Sebuah
Perspektif Fenomenologis, Unhalu Press, Kendari.
Peribadi, dkk., 2020. Beragam Epistemologi Di Pentas Keilmuan:
Sebuah Ulasan Komparatif, Adab, Indramayu, Jawa Barat.
Peribadi, dkk., 2021. Strategi Pembangunan Partisipatif Menuju Desa
Masa Depan, Literasi Nusantara, Malang.
Peribadi, dkk., 2022. Konstruksi Perencanaan Partisipatif Berbasis
Profetik, Deepublish Anggota IKAPI, Yokyakarta (Edisi Revisi,
2022).
Ritzer. George, 2010, Teori Sosial Postmoderen, diterjemahkan oleh
Muhammad Taufik dari buku The Postmoderen Social Theory,
Juxtapose Research and Publication Study Club bekerjasama
dengan Kreasi Wacana, Jogjakarta.
Salman, Darmawan, 2012, Pertanyaan Kaum Agraris Bagi
Pembangunan Pertanian: Perlunya Pendasaran Multi
Paradigmatik, dalam Buku Gagasan, Pikiran dan Harapan
Alumni Fakultas Pertanian, UNHAS Terhadap Pembangunan
Pertanian Indonesia, PT. Kalola Printing, Makassar.
Sumardjo, 2012, Kelembagaan Masyarakat Tani, dalam buku
Merevolusi Revolusi Hijau Pemikiran Guru Besar IPB, PT
Penerbit IPB Press, Bogor.
Suwarsono dan Alvin Y. SO, 1994, Perubahan Sosial dan
Pembangunan, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta.
Syaria’ti, Ali, 1985, Peranan Cendikiawan Muslim, Mencari Masa
Depan Kemanusiaan Sebuah Wawasan Sosiologis, Salahuddin
Press, Lembaga Pengembangan Informasi Da’wah Islam,
Yogyakarta.
Syaria’ti, Ali, 1985, Peranan Cendikiawan Muslim, Mencari Masa
Depan Kemanusiaan Sebuah Wawasan Sosiologis, Salahuddin
Press, Lembaga Pengembangan Informasi Da’wah Islam,
Yogyakarta.
Syaria’ti, Ali, 1996, Kritik Islam Atas Marxisme dan Sesat Pikir Barat
Lainnya, Mizan, Anggota IKAPI, Bandung.

--126--
Tago, Zainuddin, Mahli, 2014, Memperalat Agama, Pergeseran
Rasionalitas Tindakan Sosial, Samudra Biru (Anggota IKAPI),
Yokyakarta.
Tasmara, Toto, 2006, Spiritual Centered Leadership, Kepemimpinan
Berbasis Spiritual, Gema Insani, Jakarta.
Trijono, Lambang, Pembangunan dalam Perspektif Ilmu Sosial Kritis,
Eksplorasi Teoritis Pembangunanisme, LP3ES, Prisma No. 9
September 1995.
Ula, Shoimatul. S., 2013, Revolusi Belajar: Optimalisasi Kecerdasan
Melalui Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Majemuk, Ar-Ruzz
Media, Yogyakarta.
Ulum, Raudatul, dkk., (2019). Indeks Kesalehan Sosial, Badan
Litbang dan Diklat Kemenag RI, Litbangdiklat Press.
Utoyo, Indra, 2011, Manajemen Alhamdulillah, Melejitkan
Kepemimpinan Diri dengan Teori Quranik, Mizania (PT Mizan
Pustaka) Anggota IKAPI, Bandung.
Weber, Max, 2012, Teori Dasar Analisis Kebudayaan, diterjemahkan
dari buku Essays From Max Weber, oleh Abdul Qadir Shaleh,
IRCiSoD, Jogjakarta.
Wibowo dan Herdimansyah (Editor), 2000, Panduan Ber-Islam,
Paket Ma’rifat, Buku 1-5, Departemen Dakwah dan Penyiaran,
Hidayatullah, Jakarta.

Artikel
Afrisal, (2017). Perpustakaan Era Islam Klasik Dan
Perkembangannya Di Lembaga Pendidikan Islam Indonesia
Saat Ini, Jurnal Imam Bonjol : Kajian Ilmu Informasi dan
Perpustakaan , Vol. 1, No. 1, Maret 2017.
Alyanto, Nofa Deky, (2021). Teisme, Mesianisme Dan Aksiologisme:
Akomodasi Kitab Suci Kristen Terhadap Problema Kemiskinan
Dan Pemiskinan, CARAKA: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika,
Vol. 2, No. 1, Mei 2021, DOI: 10.46348/car.v2il.50.
Annida. (2020). Kebijakan Pembiayaan Kesehatan terhadap
Masyarakat Miskin dalam Pencapaian Universal Health
Coverage di Kabupaten Banjar. Jurnal Kebijakan Pembangunan,
15(2), 219–229. https://doi.org/10.47441/jkp.v15i2.131.
Ardhanariswari dan Marwah (2018). Analisis Gender Terhadap
Peran Perempuan Perajin Batik Gumelem Dalam Pelestarian

--127--
Warisan Budaya Dan Pemenuhan Ekonomi Keluarga, YIN
YANG. Vol. 13 No. 1 2018.
Ardiansyah, Muhammad (2019). Analisis Partisipatif Terhadap
Sistem Kepemilikan Tanah Dan Proses Pemiskinan Di Desa
Rowosari Jember Melalui Sistem Pemetaan Geospasial Dan
Sosial, FENOMENA, Vol. 18No. 1 April 2019.
Bangung, P., Hariani, L. S., & Walipah, W. (2020). Motivasi
Berprestasi: Konsep Diri, Kecerdasan Emosional dan Efikasi
Diri. Jurnal Riset Pendidikan Ekonomi, 5(1), 24–31.
https://doi.org/10.21067/jrpe.v5i1.4340.
Bariroh, Muflihatul, (2019). Implementasi Manajemen Hati Sebagai
Upaya Peningkatan Sumber Daya Manusia Di Mayangkara
Group, An-Nisbah: Jurnal Ekonomi Syariah, Volume 05, Nomor
02, April 2019.
Burhanudin, M., & Indrarini, R. (2020). Efisiensi dan Efektivitas
Lembaga Amil Zakat Nasional. Jesya (Jurnal Ekonomi &
Ekonomi Syariah), 3(2), 453–461.
https://doi.org/10.36778/jesya.v3i2.221.
Cahyono, Eko (2012). Konflik Kawasan Konservasi dan Kemiskinan
Struktural Jurnal Politika Vol. 8 No. 1 Tahun 2012.
Dardiri, dkk., (2019). Strategi Penanggulangan Kemiskinan Di Kota
Bogor Melalui Pendekatan Anggaran Dan Regulasi, Jurnal
Manajemen Pembangunan Daerah, Volume 6 Nomor 1, Juni
2014.
Fadilla, A. (2018). Analisis Kebijakan Dan Strategi Pengentasan
Kemiskinan Di Kota Tangerang Provinsi Banten. Eqien: Jurnal
Ekonomi Dan Bisnis, 4(2), 38–47.
https://doi.org/10.34308/eqien.v4i2.46.
Fitri, M. (2017). Pengelolaan Zakat Produktif sebagai Instrumen
Peningkatan Kesejahteraan Umat Maltuf Fitri Pendahuluan
Zakat adalah kewajiban yang harus ditunaikan seorang. Jurnal
Ekonomi Islam, 8, 149–173.
Hakim, L., & Syaputra, A. D. (2020). Al-Qur’an dan Pengentasan
Kemiskinan. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 6(3), 629.
https://doi.org/10.29040/jiei.v6i3.1310.
Hanafie, S. R. M. J. (2016). Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Daerah Kabupaten Probolinggo. Jurnal Ilmiah Sosio Agribis,
16(2), 80–103. https://doi.org/10.30742/jisa.v16i2.377.
Hayat, (2013). Pendidikan Islam Dalam Konsep Prophetic Intelligenc,

--128--
Jurnal Pendidikan Islam: Volume II, Nomor 2, Desember
2013/1435.
Hidayat, dkk., (2020). Portable House: Arsitektur Bagi Kaum
Miskin Kota, jurnal Arsitektur Zonasi: Vol. 3 No. 2,
Juni 2020, doi.org/10.17509/jaz.v3i2.25135.
Humaida, Nida, dkk., (2020). Pembangunan Berkelanjutan
Berwawasan Lingkungan Dalam Perspektif Islam, Khazanah:
Jurnal Studi Islam dan Humaniora ISSN: 0215-837X (p); 2460-
7606 (e), Vol. 18 (1), 2020, pp. 131-154 DOI:
10.18592/khazanah.v18i1.3483.Hidayat, dkk., (2020). Portable
House: Arsitektur Bagi Kaum Miskin Kota, jurnal Arsitektur
Zonasi: Vol. 3 No. 2, Juni 2020,
doi.org/10.17509/jaz.v3i2.25135.
Irawan, F. (2020). Peran Filantropi Zakat Dalam Pengentasan
Kemiskinan di Indonesia. Tafáqquh: Jurnal Penelitian Dan
Kajian Keislaman, 7(2), 105–117.
https://doi.org/10.52431/tafaqquh.v7i2.215.
Irham, Mohammad, (2012). Etos Kerja Dalam Perspektif Islam, Jurnal
Substantia, Vol. 14, No. 1, April 2012.
Ismail, I. (2019). Perkembangan Kognitif Pada Masa Pertengahan Dan
Akhir Anak-Anak. Jurnal Pendidikan Dasar Dan Keguruan, 4(1),
15–22. https://doi.org/10.47435/jpdk.v4i1.90.
Jaya dan Suryani (2019) “Etos Kerja Penerima Bantuan Dana Bergulir
PNPM Mandiri Kelurahan Latuppa Kecamatan Mungkajang
Kota Palopo, UNM Geographic Journal, Volume 2 Nomor 2
Maret 2019.
Jati, Rahatjo, Wasisto (2018). Agama Dan Spirit Ekonomi: Studi Etos
Kerja Dalam Komparasi Perbandingan Agama, Vol 35 No 02:
July - December 2018 DOI:
http://dx.doi.org/10.32678/alqalam.v35i2.1066.
Kafid, Nur (2020). Sufisme Dalam Dinamika Kehidupan Masyarakat
Muslim Kontemporer, Mimbar: Vol. 37 No. 1, Januari - Juni
2020.
Kholid, Anur (2019). Https://Jurnal-Stidnatsir.Ac.Id/Index.Php
Khusna, Nihayatul, Fina, dkk., (2019). Spiritualitas Agama Dan Etos
Kerja Masyarakat Dalam Penanggulangan Kemiskinan Nelayan
Desa Grajagan Kecamatan Purwoharjo Kabupaten Banyuwang,
Jurnal Pendidikan Ekonomi: Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan,
Ilmu Ekonomi, dan Ilmu Sosial, Volume 13 Nomor 1 (2019)

--129--
DOI: 10.19184/jpe.v13i1.10411.
Klau, Seran, Benediktus, Amandus, (2017). Masalah Sampah Dan
Budaya Pemiskinan (Studi Kasus Sampah di Maumere),
JURNAL LEDALERO, Vol. 16, No. 2, Desember 2017.
Lubis, Zulkifli (2019). Paradigma Pendidikan Agama Islam di Era
Globalisasi Menuju Pendidik Profesional, Jurnal Studi Al-
Qur’an, Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani, Vol. 15, No. 1,
Tahun 2019, DOI:doi.org/10.21009/JSQ.015.1.07.
Masela, M. S. (2020). Pengaruh Antara Konsep Diri Dan Kecerdasan
Emosi Terhadap Perilaku Prososial Pada Remaja. Psikovidya,
23(2), 214–224.
https://doi.org/10.37303/psikovidya.v23i2.149.
Maulana, A.-, & Suryadi, S.-. (2019). Pemahaman Konsep Matematika
Ditinjau dari Tingkat Kesejahteraan Keluarga dan Kecerdasan
Emosional Siswa. UNION: Jurnal Ilmiah Pendidikan
Matematika, 7(3), 353.
https://doi.org/10.30738/union.v7i3.5583.
Muhammad, M. M. (2019). Membangun Sistem Ekonomi Islam
Berorientasi Kesalehan Sosial. El-Iqthisadi : Jurnal Hukum
Ekonomi Syariah Fakultas Syariah Dan Hukum, 1(1), 33–42.
https://doi.org/10.24252/el-iqthisadi.v1i1.9903.
Mulait, Meki, (2018). Mengimani Yesus Kristus Sang Pembebas:
Suatu Upaya Berkristologi Dalam Konteks Pemiskinan Gereja
Indonesia, Studia Philosophica et Theologica, Vol. 18 No. 1,
Maret 2018.
Nadeak, T. E. Y. (2020). Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Sikap
Siswa terhadap Pemahaman Konsep Kimia. SAP (Susunan
Artikel Pendidikan), 5(2), 169–176.
https://doi.org/10.30998/sap.v5i2.7697.
Naf'i, Wildan dan Imtihanah, (2020). Studi Pemikiran Peradaban
Islam; Menelusuri Jejak Kejayaan Islam Di Era Abbasiyah, El-
Wasathiya: Jurnal Studi Agama Volume 8, Nomor 1, Juni 2020.
Nasruddin (2020). Optimalisasi Pendidikan Islam Dalam
Menumbuhkan Kecerdasan Emosional, Jurnal Ilmiah “Kreatif”
Vol. 18 No. 1, Januari 2020 “Jurnal Studi Pemikiran Pendidikan
Agama Islam”.
Nuraida, N., Rusli, B., Setianingrum, S., & Rahmatunnisa, M. (2019).
Evaluasi Kebijakan Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Di
Kabupaten Subang. MIMBAR : Jurnal Penelitian Sosial Dan

--130--
Politik, 8(1), 38. https://doi.org/10.32663/jpsp.v8i1.832.
Nugroho, F. J. (2019). Gereja Dan Kemiskinan: Diskursus Peran
Gereja Di Tengah Kemiskinan. Evangelikal: Jurnal Teologi Injili
Dan Pembinaan Warga Jemaat, 3(1), 100.
https://doi.org/10.46445/ejti.v3i1.128.
Peribadi, dkk., (2020). Pertambangan Nikel Dan Problematikanya
(Studi Fenomenologi Di Kabupaten Konawe Selatan),
ETNOREFLIKA: Jurnal Sosial dan Budaya, Volume 9, Nomor 3,
Oktober 2020: 299 - 312.
Rachbini, J. Didik, Petani, (1990). Pertanian Subsisten dan
Kelembagaan Tradisional, Suatu Tinjauan Teoritis, LP3ES,
Prisma No. 2Tahun XIX, 1990.
Rahman, M. R. (2019). Peran Zakat Dalam Mengentaskan Kemiskinan
Di Indonesia. Hukum Islam, 19(2), 130.
https://doi.org/10.24014/jhi.v19i2.8060.
Rizal, F., & Mukaromah, H. (2020). Filantropi Islam Solusi Atas
Masalah Kemiskinan Akibat Pandemi Covid-19 [Islamic
Philanthropy is a Solution to Poverty Problems Due to the
Covid-19 Pandemic]. AL-MANHAJ: Jurnal Hukum Dan Pranata
Sosial Islam, 3(1), 35–66.
Rofiq, Choirul, Ahmad (2018). Perspektif K.H. Imam Zarkasyi
Mengenai Kesatuan Ilmu Pengetahuan, TA’ALLUM: Jurnal
Pendidikan Islam Volume 06, Nomor 02, November 2018.

Sahar, A. R., & Salomo, R. V. (2018). Tata Kelola Kolaboratif Dalam


Penanggulangan Kemiskinan Di Kabupaten Pinrang. The
Indonesian Journal of Public Administration (IJPA), 4(2), 49–64.
https://doi.org/10.52447/ijpa.v4i2.1305.
Sarjono, S., Hartoyo, S., & Hakim, D. B. (2019). Strategi
Penanggulangan Kemiskinan Di Kota Jakarta Timur. Jurnal
Manajemen Pembangunan Daerah, 9(1).
https://doi.org/10.29244/jurnal_mpd.v9i1.27542.
Setyawan, D. B. D., Degeng, I. N. S., & Sitompul, N. C. (2020). The Effect
of Miniature Home, Pictures, and Spatial Intelligences on
Students’ Understanding of Geometric Space Concepts. Jurnal
Cendekia : Jurnal Pendidikan Matematika, 4(1), 64–71.
https://doi.org/10.31004/cendekia.v4i1.147.
Septianingsih, dkk., (2020). Analisis Motivasi Terhadap Etos Kerja
Islami Pada Karyawan Universitas Muhammadiyah Riau, Jurnal

--131--
Tabarru’ : Islamic Banking and Finance Volume 3 Nomor 2,
November 2020.
Simanjuntak, A., & Amal, B. K. (2018). Strategi Bertahan Hidup
Penghuni Pemukiman Kumuh. Buddayah : Jurnal Pendidikan
Antropologi, 1(1), 57.
https://doi.org/10.24114/bdh.v1i1.8557.
Sitepu, Indriyani, Novi, dkk., (2015). Etos Kerja Ditinjau Dari
Perspektif Alquran Dan Hadis (Suatu Kajian Ekonomi Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik), Jurnal Perspektif Ekonomi
Darussalam Volume 1 Nomor 2, September 2015.
Soebyakto, B. Bambang, (2012). An Empirical Testing of Intelligence,
Emotional and Spiritual Quotients Quality Using Structural
Equation Modeling, International Journal of Independent
Research and Studies Vol. 1, No.1, Jan 2012.
Sono, Hidayani, Nanda, dkk., (2017). Etos Kerja Islam Sebagai Upaya
Meningkatkan Kinerja, Prosiding Seminar Nasional dan Call For
Paper Ekonomi dan Bisnis (SNAPER-EBIS 2017) – Jember, 27-
28 Oktober 2017.
Suwarno, (2019). Kejayaan Peradaban Islam Dalam Perspektif Ilmu
Pengetahuan, Islamadina, Volume 20, Nomor 2, September
2019.
Ulum, Raudatul, dkk., (2019). Indeks Kesalehan Sosial, Badan Litbang
dan Diklat Kemenag RI, Litbangdiklat Press.
Umam Khoirul Mohamad (2018). Reconstruction Of Integrative
Islamic Education In The Transformative Profetical Education
Framework, Proceedings, Annual Conference For Muslim
Scholar, UIN Sunan Ampel Surabaya, 21 - 22 APRIL 2018.
Ummah, Choiro, Sun (2017). Melacak Etika Protestan Dalam
Masyarakat Muslim Indonesia, Jurnal Humanika, Th. XVII, No.
2. September 2017.
Widiari, L. P. A., & Paramartha, W. (2019). Pengaruh Pembinaan
Rohani Hindu Terhadap Mental Spiritual, Kecerdasan
Emosional Dan Konsep Diri Pada Narapidana Di Lembaga
Pmasyarakatan Kelas Ii a Kerobokan. Dharmasmrti: Jurnal Ilmu
Agama Dan Kebudayaan, 19(1), 46–50.
https://doi.org/10.32795/ds.v10i1.333.
Wirutomo, Paulus, (2013). Mencari Makna Pembangunan Sosial:
Studi Kasus Sektor Informal di Kota Solo, Departemen Sosiologi

--132--
Universitas Indonesia, dalam Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol.
18. No. 1 Januari 2013, Lab Sosio – FISIP-UI, Jakarta.
Yerimias, T. Kaban, Profil Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur,
Prisma No. 10 1995, LP3ES, Jakarta.
Yulianti dan Octaviani (2014). Pengaruh Agama Dan Budaya
Terhadap Etos Kerja Pebisnis Muslim Suku Bugis Di Kabupaten
Nunukan Kalimantan Utara, Millah Vol. XIV, No. 1, Agustus
2014.
Zaeny, Ahmad (2013). Teologi Sunnatullah Versus Teologi
Determinis: Upaya Melacak Etos Kerja Ummat, Al-
AdYaN/Vol.VIII, N0.1/Januari-Juni/2013.
Zubaidillah, M. H. (2020). Kecerdasaran Suprarasional: Konsep Uli Al-
Abshâr, Uli an-Nuhâ Dan Uli Al-Albâb Dalam Alquran Perspektif
Jalaluddin. Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan Dan
Kemasyarakatan, 14(2), 199. https://doi.org/ 10.3593 1/aq.v1
4 i2 . 392.

Internet

Editorial Media Indonesia, Metro Tv: “Industri Pemilu Kada”, Rabu,


25 April 2012.
Editorial Media Indonesia, Metro Tv: “Kebut Usut Rekening Gendut”,
Sabtu, 20 Desember 2014.
Editorial Media Indonesia, Metro Tv: “PNS Muda Jorjoran Korupsi”,
Rabu, 30 November 2011.
Editorial Media Indonesia, Metro Tv: ”Aset Negara Di Tangan
Pencuri” (Rabu 16 April 2008.
Editorial Media Indonesia, Metro Tv: ”Belanja Siluman di Akhir
Tahun”, Kamis, 01 Desember 2011.
Editorial Media Indonesia, Metro Tv: ”Prestasi Buruk Legislator”
(Kamis, 26 Februari 2009).
http://groups.yahoo.com/group/anggotaicmi/message/5222
http://mediaindonesia.com/index.php/news/read/86013/problem-
kemiskinan-2017/ 2017-01-05
http://www.bappedasultra.go.id/article-48-profil-kemiskinan-di-
sulawesi-tenggara-maret-2016.html
https://anisa26.wordpress.com/2011/04/14/kemiskinan-dan-
kesenjangan-pendapatan/

--133--
Kahmad, Dadang, 2012, Agama dan realitas Sosial Politik, eland-
pengenalanbasisdata.blogspot.com.
Zarkasyi, Fahmi, Hamid, (2014), Islamisasi Sains,
http://hamidfahmy.com/islamisasi-sains/?utm
source=feedburner&utm
medium=feed%3A+Hamidfahmycom+28HamidFahmy.com%2
8HamidFahmy.com%29.

--134--
PROFIL PENULIS

Peribadi, adalah seorang lektor kepala pada Fakultas Ilmu Sosial


dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo Kendari. Ada dua buku
internasional dan beberapa referensi nasional yang telah penulis
terbitkan, yakni: (1) Rekonstruction of Participatory Paradigm Based on
ESQ Power: A Strategy of Poverty Overcoming in Kendari City South East
Sulawesi, LAP Germany. (2015); (2) Prophetic Epistemology Discourse: An
Initial Thought, LAP Germany, (2020); (3) Prahara Kehidupan Sosial
Kaum Agraris: Sebuah Perspektif Fenomenologis, Unhalu Press, 2016;
(4) Dinamika Sosial Perdesaan: Sebuah Potret Fenomenal (2016); (5)
Sosiologi Perdesaan: Dalam Tinjauan Teoritis dan Praktikal, Deepublish
Anggota IKAPI, Yokyakarta, 2017; (6) Resolusi Kemiskinan: Sebuah
Strategi Community Development Berbasis Spiritual Profetik, Kanaka,
Jawa Timur, 2017; (7) Sosiologi Pasar: Sebuah Telaah Kritis Atas
Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi Perbelanjaan di Kota Kendari,
Literasi Institut, Kendari, 2018; (8) Pendidikan Karakter Dalam Bingkai
Multikultural: Sebuah Bunga Rampai Kehidupan Sosial, Kanaka, Jawa
Timur, 2018; (9) Lalu Lintas Kehidupan: Sebuah Bunga Rampai
Transformasi Sosial, Ombak Yogyakarta (2018); (10) Konstruksi
Perencanaan Participatory Berbasis Budaya Kalosara, Sebuah Perspektif
Sosiologi Pembangunan, Deepublish Anggota IKAPI, Yokyakarta (2019);
(11) Potret Kemiskinan di Pedesaan, Kanaka, Jawa Timur (2019); (12)
Beragam Epistemologi Di Pentas Keilmuan, Adab Anggota IKAPI,
Indramayu (2020); (13) Bedah Kritis Atas Realitas, Anggota IKAPI, Mitra
Cendikia Media, Sumatra Barat; (14) Kepemimpinan Tradisional dan
Potret Demokrasi Lokal, Literasi Nusantara Anggota IKAPI, Malang
(2020); (15) Diskursus Metodologi Profetik dan Riset Pembebasan, Zahir
Publishing, Anggota IKAPI, Yogyakarta (2021); (16) Strategi
Pembangunan Partisipatif Menuju Desa Masa Depan, Literasi Nusantara,
Anggota IKAPI Kota Malang (Edisi Revisi 2021); (17) Paradigma,
Pendekatan, Dan Multimetodologi: Sebuah Riset Pembebasan Menuju
Post Qualitatif, Zahir Publishing, Anggota IKAPI Yogyakarta (Edisi Revisi
2022); (18) Pemiskinan dan Kemiskinan: Perspektif Fenomenologi,
Literasi Institut, Kendari, 2022; (19) Konstruksi Perencanaan
Partisipatif Berbasis Profetik, Deepublish Anggota IKAPI, Yokyakarta
(Edisi Revisi 2022); dan (20) Potensi dan Problematika Wilayah
Perdesaan: Menyoal Keberadaan Desa-Desa Tertinggal, Adab Anggota
IKAPI,Indramayu.(2022).

--135--
--1--

Anda mungkin juga menyukai