Anda di halaman 1dari 22

CRITICAL BOOK REVIEW

PROFESI PENDIDIKAN
DOSEN PENGAMPU: Prof. Dr. Julaga Situmorang, M.Pd.
Putra Afriadi, S.Pd., M.Pd.

ENI TARA AGASTI MANURUNG


5193143021
PENDIDIKAN TATA BUSANA 19 B

JURUSAN PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA


PENDIDIKAN S1 TATA BUSANA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat,
nikmat dan karuniaNya kepada kita semua. Sehingga saya dapat menyelesaikan tugas Critical
Book Review. Untuk memenuhi tanggung jawab dan kewajiban saya dalam mata kuliah
Psikologi Pendidikan.
Semoga apa yang telah saya buat dapat bermanfaat pada kita semua, dengan tambahan
ilmu pengetahuan karena banyaknya membaca.
Dan saya penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan di dalamnya,
dan saya mengucapkan banyak terimakasih atas arahan dan bimbingan dosen yang
memegang mata kuliah Psikologi Pendidikan. Semoga senantiasa Tuhan selalu meridhoi
setiap usaha kita.

Medan, Maret 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2

DAFTAR ISI...............................................................................................................................................3

BAB I 4

PENDAHULUAN.......................................................................................................................................4

Latar Belakang.........................................................................................................................................4

Rumusan Masalah....................................................................................................................................4

Identitas Buku..........................................................................................................................................4

BAB II5

Ringkasan Isi Buku......................................................................................................................................5

Ringkasan Isi Buku..................................................................................................................................5

BAB III......................................................................................................................................................20

PEMBAHASAN........................................................................................................................................20

Kelebihan Buku “ ETIKA PROFESI PENDIDIKAN”.........................................................................20

Kekurangan Buku “ ETIKA PROFESI PENDIDIKAN”......................................................................20

BAB IV......................................................................................................................................................21

PENUTUP.................................................................................................................................................21

Kesimpulan............................................................................................................................................21

Saran………….......................................................................................................................................21
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara leksial, kata etika bermakna sebagai “ilmu pengetahuan tentang asas- asas
akhlak (moral)” (Poerwadarminta, 1953). Etika juga bermakna sebagai : 1) ilmu tentang
apa yang baik dan apa yang buruk, serta tentang hak dan kewajiban moral (akhlak ); 2)
kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan
salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat (Depdikbud, 1988). Secara umum,
sebetulnya etika membicarakan tentang tingkah laku yang baik atau yang seharusnya
dilakukan. Namun demikian, pembicaraan tentang etika juga tidak hanya sampai pada
tingkah laku itu sendiri melainkan juga yang melatarbelakangi tingkah laku tersebut.
Etika sebagai sains berhubungan dengan kajian secara kritis tentang adat kebiasaan,
nilai – nilai , dan norma- norma perilaku manusia yang dianggap baik ataupun buruk.
Etika memberi ruang luas teori yang mencoba menjelaskan suatu tindakan, sifat, atau
objek perilaku yang sama dari sudut pandang atau perspketif yang berlainan.

B. Tujuan dan Manfaat

- Mengulas isi sebuah buku

- Penyelesaian tugas mata kuliah profesi kependidikan

- Melatih individu agar berfikir kritis dalam mencari informasi yang ada disetiap
buku

- Melatih mahasiswa untuk teliti mereview buku

C. Identitas Buku
 Judul : Etika Profesi Pendidikan
 Penulis : Akhmad Syarief, S.Pd., M.Pd.
 Penerbit : LaksBang PRESSindo
 Tahun terbit : 2014
 Kota terbit : Yogyakarta
 ISBN : 978- 979- 26- 8572-5

BAB II
Ringkasan Isi Buku

A. Ringkasan Isi Buku


BAB I
PENDAHULUAN
A. Etika dan Peradaban
Apakah yang menarik dari artikel Samuel P. Huntington yang diterbitkan di jurnal
Foreign Affairs pada musim panas tahun 1993 berjudul The Clash of Civilizations, yang
artinya kurang lebih “ Benturan Antarperadaban “ sehingga tiga tahun kemudian (1996),
penulisnya merasa perlu menerbitkan buku The Clash of Civilization and the Remaking
of World Order ? Bisa dibilang tulisan hanya merupakan pengantar karena penulis yakin
bahwa para pembaca sudah mengetahui bahwa artikel Huntington ketika itu sangat
popular. Popularitas artikel Huntington ketika didukung oleh situasi dunia yang sedang
karut marut oleh gejolak konflik pasca perang dingin. Seperti diketahui, artikel itu
mengundang kontroversi internasional dan secara kontinyu menjadi bahan diskusi selama
masa tiga tahun, hal yang belum pernah terjadi semenjak Foreign Affairs pertama kali
menerbitkan artikel pada thaun 1940.
Perhatian, kritik, komentar, tanggapan , bahkan cercaan dan sinisme datang silih
berganti dari seluruh penjuru dunia. Banyak kalangan, lebih – lebih kalangan akademisi,
politisi, bahkan agamawan sangat terkesan sekaligus tersinggung atas artikel tersebut
sehingga memancing perdebatan. Salah satu yang membuat banyak kalangan terhenyak,
bahkan mungkin terlukai hatinya adalah argumentasi yang dibangun penulisnya yang
menyatakan bahwa sebab utama dan paling berbahaya dari munculnya konflik politik
global adalah adanya benturan antarperadaban. Saking banyaknya perhatian, kontroversi,
dan bahkan misiterpretasi terhadap artikel tersebut, maka penulisnya terdorong untuk
menjelaskan lebih jauh bangunan argumentasi dan persoalan- persoalan yang dibicarakan
melalui penerbitan buku The Clash of Civilization and the Remaking of World Order
pada 1996. Buku ini dimaksudkan untuk memberikan jawaban yang lebih dalam, utuh,
dan menyeluruh
B. Etika dan Kebudayaan
Secara etimologis, kebudayaan berasal dari kata dasar budaya yang berasal dari
bahasa Sansekerta budhy dan daya. Budhy berarti pikiran, otak (brain) atau gagasan.
Daya berarti kekuatan (power). Jadi ‘budaya’ berarti kekuatan pikiran. Kata budaya
diberi awalan ked an akhiran menjadi kata benda ‘kebudayaan’ (Koentjaraningrat, 1981).
Koentjaraningrat mengemukakan bahwa kebudayaan artinya daya dari budi. Menurutnya
kebudayaan memiliki tiga wujud berikut ini.
1. Keseluruhan ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan sebagainya.
2. Keseruluhan aktivitas kelakuan berpola dari dalam masyarakat, yang disebut sistem
sosial.
3. Benda- benda hasil karya manusia disebut kebudayaan fisik.
Istilah kebudayaan sesungguhnya memiliki makna bervariasi yang sebagian di
antaranya bersumber dari keragaman model yang mencoba menjelaskan hubungan antara
masyarakat, kebudayaan dan individu. Masyarakat manusia yang terdiri dari individu –
individu yang terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengharuskan mereka beradaptasi
terhadap kondisi lingkungan, dan hal itu harus dilakukan secara terus – menerus demi
mempertahankan keberadaan masyarakat dan terpenuhinya kebutuhan- kebutuhan
individu yang menjadi anggotanya.

BAB II
PERIHAL TEORI ETIKA
A. Makna Substansi Bahasa Etika
Sebagaimana sudah diuraikan pada bab sebelumnya, sebagai anak kandung
kebudayaan, etika sebagai suatu nilai (value) kedudukannya berdampingan dengan nilai –
nilai lainnya seperti estetika, moral, norma, dan hukum sebagai wujud dari peradaban
manusia. Etika dengan demikian menjadi sumber dari aktivitas individu, sosial, maupun
keprofesian.
Secara leksial, kata etika bermakna sebagai “ilmu pengetahuan tentang asas- asas
akhlak (moral)” (Poerwadarminta, 1953). Etika juga bermakna sebagai : 1) ilmu tentang
apa yang baik dan apa yang buruk, serta tentang hak dan kewajiban moral (akhlak ); 2)
kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan
salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat (Depdikbud, 1988).
Makna substansial etika dengan demikian dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Nilai – nilai dan norma – norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
2. Etika dipahami dalam pengertian yang berbeda dengan moralitas.
3. Etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral yang dalam hal ini biasa disebut
dengan kode etik.

B. Etika dan Etiket


Secara umum, sebetulnya etika membicarakan tentang tingkah laku yang baik atau
yang seharusnya dilakukan. Namun demikian, pembicaraan tentang etika juga tidak
hanya sampai pada tingkah laku itu sendiri melainkan juga yang melatarbelakangi
tingkah laku tersebut.
Sedangkan perbedaan makna antara etika dan etiket, menurut Bertens (2007),
diuraikan berikut ini.
1. Etiket menyangkut ‘cara’ suatu perbuatan harus di lakukan manusia dan
menunjukkan, cara yang tepat, artinya cara yang di haraokan serta ditentukan dalam
suatu kalangan tertentu.
2. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Apabila tidak ada orang lain hadir atau tidak
ada saksi mata, etika tidak berlaku.
3. Etiket bersifat relative. Hal yang dianggap tidak sopan dalam satu peradaban dan
kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam peradaban dan kebudayaan lain.
4. Jika kita berbicara tentang etiket, kita hanya memandang manusia dari segi lahiriah,
sedang etika menyangkut manusia dari batiniah. Bisa saja orang tampil sebagai
“musang berbulu domba”, dari luar sangat sopan dan halus, tapi di dalam penuh
kebusukan.

C. Pendekatan Etika
Berdasarkan kriteria perilaku etis dan tidak etis maka dapat disimpulkan bahwa
perilaku etis atau pun bermoral itu berlandaskan pada nilai – nilai kemanusiaan. Nilai –
nilai kemanusiaan itu pada hakekatnya adalah satu arti, yaitu bahwa semua manusia di
muka bumi adalah sama kemanusiaannya.
Pendekatan lain yang digunakan untuk mempelajari dan mempraktikkan sebagai ilmu
adalah metaetika. Kata metaetika berawalan meta (dari bahasa yunani ), yang memiliki
arti melebihi atau melampui. Istilah ini diciptakan untuk menunjukkan bahwa yang
dibahas bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan –ucapan di bidang
moralitas.

D. Kategori Nisbi Etika


Hingga saat ini masih terjadi perdebatan dan perbedaan pandangan di antara para
etikawan tentang apakah etika bersifat absolute atau relative. Para penganut paham etika
absolut atau relative. Para penganut paham etika absolute dengan berbagai argumentasi
yang masuk akal meyakini bahwa prinsip- prinsip etika bersifat mutlak , berlaku
universal kapan pun dimana pun. Sementara itu para penganut etika relatif dengan
berbagai argumentasi yang juga masuk akal membantah hal ini. Mereka justru
mengatakan bahwa tidak ada prinsip atau nilai moral yang berlaku mutlak. Prinsip atau
nilai moral yang ada dalam masyarakat berbeda- beda untuk masyarakat yang berbeda
dan untuk situasi yang berbeda jauh.
Masih dalam kategori nisbi, secara umum etika dapat dipilah menjadi dua kategori
( Tri Hendro, dkk, 2010):
1. Etika umum. Etika ini berbicara mengenai norma dan nilai moral, kondisi-kondisi
dasar bagi manusia untuk bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil
keputusan etis, teori – teori etika, lembaga – lembaga normative (yang terpenting di
dalamnya adalah suara hati) dan semacamnya.
2. Etika khusus adalah penerapan prinsip – prinsip atau norma moral dasar dalam bidang
kehidupan yang khusus.
Etika khusus dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:
a. Etika individual. Etika individual lebih menyangkut kewajiban dan sikap manusia
terhadap dirinya sendiri.
b. Etika sosial. Etika sosial berbicara mengenai kewajiban dan hak, sikap, dan pola
perilaku manusia terhadap makhluk sosial dalam interaksinya dengan sesame.
c. Etika lingkungan hidup. Etika lingkungan hidup berbicara mengenai hubungan
antara manusia baik sebagai individu maupun sebagai kelompok dengan
lingkungan alam yang lebih luas dalam totalitasnya, dan juga hubungan antara
manusia yang satu dengan lainnya yang berdampak langsung atau tidak langsung
terhadap lingkungan hidup secara keseluruhan.
E. Teori – Teori Etika
Etika sebagai sains berhubungan dengan kajian secara kritis tentang adat kebiasaan,
nilai – nilai , dan norma- norma perilaku manusia yang dianggap baik ataupun buruk.
Etika memberi ruang luas teori yang mencoba menjelaskan suatu tindakan, sifat, atau
objek perilaku yang sama dari sudut pandang atau perspketif yang berlainan.
Disarikan dari berbagai sumber, berikut ini secara garis besar diuraikan beberapa teori
umum etika yang berkembang dan berpengaruh.
1. Teori Egoisme
Menurut teori ini,ada dua konsep yang berhubungan dengan egoism, yaitu : 1)
egosime psikologis, suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan manusia
dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri (selfish). Menurut teori ini, orang boleh saja
yakin bahwa ada tindakan mereka yang bersifat luhur dan suka berkorban, namun
semua tindakan yang terkesan luhur dan atau tindakan suka berkorban tersebut
hanyalah ilusi.
2. Teori Utilitarianisme
Teori utilitarianisme sebagai teori etika dipelopori oleh David Hume (1711-1776),
kemudian dikembankan lebih lanjut oleh Jeremy Bentham (1748-1832) dan John
Stuart Mill (1806-1873), namun Bentham adalah pendukung utama paham ini.
Utilitarianisme berasal dari kata Latin utilis, kemudian menjadi kata Inggris utility
yang berarti bermanfaat. Menurut teori ini,suatu tindakan dapat dikatakan baik jika
membawa manfaat bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat, atau dengan istilah
yang sangat terkenal : “the greatest happiness of the greatest numbers.” Jadi, ukuran
baik buruknya suatu tindakan dilihat dari akibat,konsekuensi, atau tujuan dari
tindakan itu, apakah memberi manfaat atau tidak. Itulah sebabnya paham ini disebut
juga paham teleologis. Teleologis berasal dari kata Yunani telos yang berarti tujuan.
3. Teori Deontologi
Istilah deontologi berasal dari kata Yunani deon yang berarti kewajiban. Teori ini
dipelopori oleh Immanuel Kant (1724-1804) dan kembali mendapat dukungan dari
filsuf abad ke -20, yaitu Anscombe dan suaminya Peter Greach. Teori deontology
mengatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan tidak ada kaitannya sama sekali
dengan tujuan, konsekuensi, atau akibat dari tindakan tersebut. Konsekuensi dari
suatu tindakan tidak boleh menjadi pertimbangan untuk menilai etis atau tidaknya
suatu tindakan. Suatu perbuatan tidak pernah menjadi baik karena hasilnya baik.
Hasil baik tidak pernah menjadi alasan untuk membenarkan suatu tindakan tersebut
demi kewajiban itu sendiri.
4. Teori Hak
Menurut teori hak, suatu tindakan atau perbuatan dianggap baik apabila perbuatan
atau tindakan tersebut sesuai dengan hak asasi manusia (HAM) . dikatakan oleh
Bertens (2007), teori hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi (teori
kewajiban), bagaikan satu keeping mata uang logam yang sama dengan dua sisi.
Apabila suatu tindakan merupakan hak bagi seseorang, maka sebenarnya tindakan
yang sama merupakan kewajiban bagi orang lain. Teori hak sebenarnya didasarkan
atas asumsi bahwa semua manusia tanpa kecuali mempunyai martabat yang sama.
5. Teori Keutamaan (Virtue Theory)
Teori keutamaan tidak menanyakan tindakan mana yang etis dan tindakan mana
yang tidak etis, tetapi teori ini berangkat dari pertanyaan mengenai sifat atau karakter
yang harus dimiliki oleh seseorang agar bisa disebut sebagai manusia utama dan sifat
atau karakter yang mencerminkan manusia hina.
6. Teori Etika Teonom
Teori ini mengatakan bahwa karakter moral manusia ditentukan secara hakiki
oleh kesesuaian hubungannya dengan kehendakan tuhan, dan perilaku manusia
dianggap tidak baik bila mengikuti aturan – aturan atau perintah tuhan sebagaimana
telah dituangkan dalam kitab suci disebut sebagai agama.
F. Etika dan Perkembangan Moral Manusia
Mengingat etika pada dasarnya adalah filsafat moral, maka sejatinya etika
mempunyai hubungan yang linier dengan perkembangan moral manusia. Menurut
Kohlberg (1995), sepanjang hidupnya sejak masa kanak – kanak , manusia melalui
sejumlah tahapan perkembangan moral. Teori Kohlberg yang sangat popular The Stage
of Moral Development menjadi acuan pendidikan moral para pendidik di seluruh dunia.
Kohlberg membagi tahapan perkembangan moral manusia sebagai berikut.
Tahap pertama, orientasi pada hukuman dan rasa hornat yang tak dipersoalkan
terhadap kekuasaan yang lebih tinggi. Tahap kedua, perbuatan yang benar adalah
perbuatan yang secara instrumental memuaskan kebutuhan individu sendiri dan kadang –
kadang kebutuhan orang lain. Tahap ketiga, orientasi “anak manis”. Perilaku yang baik
adalah perilaku yang menyenangkan atau yang membantu orang lain, dan yang disetujui
oleh mereka. Tahap keempat, orientasi terhadap otoritas, peraturan yang pasti dan
pemeliharaan tata aturan sosial. Perbuatan yang benar adalah menjalankan tugas,
memperlihatkan rasa hormat terhadap otoritas, dan pemeliharaan tata aturan sosial
tertentu demi tata aturan itu sendiri. Sedangkan tahap pascakovensional terdiri atas dua
tahap , yaitu tahap kelima, suatu orientasi kontrak sosial, umumnya bernada dasar lega
listic dan utilitarian. Tahap keenam, orientasi pada keputusan suara hati dan pada
prinsip –prinsip etis yang dipilih sendiri, yang mengacu pada pemahaman logis
menyeluruh, universalitas dan konsistensi.

BAB III
KAITAN PROFESI PENDIDIKAN DAN ETIKA
A. Gambaran Umum Profesi Pendidikan
Secara leksial kata profesi merupakan terjemahan istilah bahasa inggris
profession, yang artinya adalah pekerjaan. Apakah setiap pekerjaan dapat disebut profesi?
Kebanyaan literatur yang membahas tentang profesi sepakat bahwa profesi adalah suatu
pekerjaa. Akan tetapi pada umumnya mengakui bahwa tidak semua jenis pekerjaan dapat
disebut profesi, lebih-lebih profesi yang professional. Hal itu berarti ada persyaratan atau
ciri khusus (karakteristik ) dan kondisi yang mesti di penuhi agar suatu pekerjaan dapat
disebut profesi. Guna memperoleh gambaran yang lebih jelas, berikut ini dikemukakan
pandangan para ahli tentang profesi.
B. Kaitan Etika dan Profesi Pendidikan.
Etika profesi pendidikan merupakan salah satu bagian dari etika profesi. Ada
beberapa sasaran dan cakupan etika profesi pendidikan. Beberapa diantaranya diuaraikan
berikut ini.
1. Etika profesi pendidikan sebagai etika profesi membahas berbagai prinsip, kondisi,
dan masalah terkait dengan praktik pendidikan yang baik dan etis.
2. Etika profesi pendidikan adalah untuk menyadarkan masyarakat luas, khususnya para
pihak yang berkepentingan dengan pendidikan (stakeholders), seperti orang tua siswa/
mahasiswa, kalangan industry dan dunia usaha.
3. Etika profesi pendidikan berbicara mengenai sistem pendidikan yang sangat
menentukan etis tidaknya suatu praktik pendidikan.

C. Beberapa Prinsip Etika Profesi Pendidikan


Sebagaimana sudah dijelaskan di Bab II, sebetulnya derajad keberlakaan etika,
termasuk dalam profesi pendidikan bersifat nasbi. Akan tetapi secara umum banyak
prinsip etika yang bersifat universal dan sudah disepakati bersama sehingga menjadi
pedoman etis setiap profesi, tidak terkecuali profesi pendidikan. Beberapa prinsip etika
profesi pendidikan yang juga berlaku bagi profesi lain diuaraikan berikut ini.
1. Tanggung Jawab
Prinsip ini mengarahkan penyandang profesi pendidikan yang professional untuk
bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap hasilnya.
Artinya, ia bertanggung jawab menjalankan pekerjaannya sebaik mungkin dan
dengan hasil yang memuaskan.
2. Keadilan
Prinsip ini terutama menuntut penyandang profesi pendidikan yang professional agar
dalam menjalankan profesinya tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu,
khususnya peserta didik yang dilayaninya. Prinsip ini juga menuntut para penyandang
profesi pendidikan agar dalam menjalankan profesinya tidak melakukan terhadap
siapa pun, termasuk orang yang mungkin tidak mampu membayar jasa
profesionalitasnya.
3. Otonomi
Prinsip otonomi berarti setiap penyandang profesi pendidikan harus menunjukkan
sikap kemadirian, kebebasan, dan tanggungjawab. Syarat mutlak yang harus
diciptakan untuk membentuk sikap mandiri adalah mengembangkan suasana
kebebasan dalam berpikir dan bertindak.
4. Integritas moral
Maksud prinsip ini adalah seseorang memiliki komitmen pribadi untuk menjaga
keluhuran profesinya, nama baiknya, dan juga kepentingan orang lain (masyarakat).
Dengan demikian, sebenarnya prinsip ini merupakan tuntutan profesi pendidikan atas
dirinya sendiri bahwa dalam menjalankan tugas profesinya ia tidak akan sampai
merusak nama baiknya, dan citra serta martabat profesinya.
5. Kejujuran
Penyandang profesinya pendidikan menanamkan sikap bahwa apa yang dipikirkan
adalah yang dikatakan adalah yang dikerjakan. Prinsip ini mengharuskan adanya
kepatuhan dalam melaksanakan berbagai komitmen, kontrak , dan perjanjian yang
telah disepakati.
6. Saling menguntungi
Setiap tindakan dan keputusan pendidikan yang ditempuh penyandang profesi
pendidikan harus menguntungkan semua pihak, baik bagi peserta didik, orang tua,
dunia usaha, kalangan industry, maupun pemerintah.
D. Etika Khusus (Kode Etik) Profesi
Ada dua sasaran pokok kode etik :
1. Kode etik bermaksud melindungi masyarakat dari kemungkinan dirugikan oleh
kalalaian entah secara sengaja atau tidak sengaja dari kaum professional. Kode
etik menjamin bahwa masyarakat yang telah mempercayakan diri, hidup, barang
milik, atau perkaranya kepada orang yang professional itu tidak akan dirugikan
oleh orang yang professional tersebut.
2. Kode etik bertujuan melindungi keluhuran profesi tertentu dari perilaku – perilaku
tidak etis orang – orang yang mengaku diri professional. Dengan kode etik ini
setiap orang yang punya profesi tersebut bisa dipantau sejauh mana ia masih
seprang profesioanl di bidangnya, tidak hanya berkaitan dengan keahliannya
melainkan juga dengan komitmen moralnya.
BAB IV
ETIKA PROFESI GURU DAN DOSEN
A. Jati Diri Guru dan Dosen
Disatukannya pembahasan guru dan dosen berdasarkan asumsi bahwa profesi
keduanya tidak berbeda secara signifikan diatur legalitas yang berbeda. Hal ini tampak
dari rumusan umum tentang definisi kedua profesi tersebut yang secara redaksional
nyaris tidak berbeda. Guru dan dosen adalah profesi pendidik, pendidik professional.
Menurut Undang – undang (UU) No. 20/203 tentang Sisdiknas, pasal – pasal yang
mengatur tentang guru dan dosen memang berbeda. Akan tetapi kedua profesi tersebut
berada dalam satu paket undang – undang yang sama , yakni UU No. 14/2005 tentang
Guru dan Dosen , meskipun kemudian diatur melalui peraturan pemerintah (PP) yang
berbeda.
B. Etika Guru dan Dosen
Sebagai disiplin filsafat, etika sangat diperlukan dalam interaksi sesama manusia
ketika memilih dan memutuskan pola – pola perilaku yang sebaik - baiknya berdasarkan
pertimbangan moral yang berlaku. Berbasis etika, manusia dapat memilih dan
memutuskan perilaku yang paling baik sesuai dengan norma – norma moral yang
berlaku, demikian halnya penyandang profesi. Jika etika dijalankan, maka akan tercipta
suatu pola hubungan antarmanusia dan antarprofesi yang baik dan harmonis, seperti
saling menghormati atau toleran, saling menghargai, saling membantu, dsb.
Sebagai acuan pilihan perilaku, etika bersumber pada norma – norma moral yang
berlaku. Bagi orang Indonesia, sumber yang paling mendasar adalah agama, sebab agama
merupakan sumber keyakinan yang paling asasi. Sumber moral lainnya adalah falsafah
hidup atau ideology negara, yakni Pamcasila; budaya masyarakat, disiplin keilmuan dan
profesi. Bagi profesi pendidikan , etika sangat diperlukan sebagai landasan perilaku kerja
para guru dan dosen, serta tenaga kependidikan lainnya. Berdasarkan etika kerja itu,
maka Suasana dan kualitas kerja dapat diwujudkan sehingga menghasilkan kualitas kerja
dapat diwujudkan sehingga menghasilkan kualitas pribadi dan kinerja yan efektif, efisien,
dan produktif.
BAB V
ETIKA PROFESI SUPERVISOR
A. Hakikat Supervisi
Fungsi dan peran strategi profesi guru menuntut pembinaan dan pengembangan
yang kontinyu dalam menghadapi perkembangan teknologi dan informasi yang
mengglobal dewasa ini. Suvervisi sebagaimana dikemukaan Sergiovanni dan Starrat
(1993), merupakan bantuan dalam pengembangan situasi belajar- mengajar agar
memperoleh kondisi yang lebih baik. Meskipun tujuan akhrinya adalah optimalisasi hasil
adalah optimalisasi hasil belajar siswa, namun yang diutamakan dalam supervise adalah
bantuan kepada guru. Supervise adalah pelayanan kepada guru – guru yang bertujuan
menghasilkan perbaikan pengajaran, pembelajaran dan kurikulum. Supervisi ialah suatu
aktivitas pembinaan yang direncakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah
dalam melakukan pekerjaan secara efektif. Jadi, inti supervise adalah ; 1)
membanngkitkan dan merangsang semangat guru – guru menjalankan tugasnya terutama
dalam pembelajaran ; 2) mengembangkan kegiatan belajar mengajar; 3) upaya pembinaan
dalam pembelajaran. Sedangkan orang yang menyandang profesi supervise disebut
supervisor.
B. Jati Diri Supervisor
Berdasarkan uraian tentang hakikat supervise di atas maka sebetulnya paling tidak
ada tiga kategori supervisor, yakni kepala sekolah atau pengelola satuan pendidikan,
pengawas pendidikan atau pengawas sekolah, dan pemilik. Penjelasan singkat tentang
masing- masing supervisor diuraikan berikutini.
Kepala sekolah merupakan salah satu supervisor yang memiliki peran strategis
dalam meningkatkan profesionalisme guru dan mutu pendidikan di sekolah. Itulah
sebabnya pemerintah menetapkan Permendiknas No. 13/2007 tentang Standar Kepala
Sekolah/Madrasah, yang lampirannhya menyebut kualifikasi kepala sekolah/madrasah
yang terdiri atas kualifikasi umum, dan kualifikasi khusus. Posisi kepala sekolah semakin
kukuh karena menurut Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru, pasal
15 ayat 3 menyatakan bahwa guru yang telah bersertifikat profesi dapat diangkat menjadi
kepala satuan pendidikan dengan beban kerja satuan pendidikan.
C. Etika Supervisor
Pada banyak risalah sebetulnya interpretasi tentang kode etik belum memiliki
pengertian yang sama. Namun menurut undang – undang Nomor 8 tahun 1974 tentang
pokok – pokok Kepegawaian, dalam Pasal 28 dinyatakan bahwa “Pegawai Negeri Sipil
mempunyai kode etik sebagai pedoman sikap, tingkah laku perbuatan di dalam dan diluar
kedinasan.” Dengan adanya Kode Etik ini, Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai aparatur
negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat mempunyai pedoman sikap, tingkah laku,
dan perbuatan dalam melaksanakan tugasnya dan dalam pergaulan hidup sehari – hari.
Selanjutnya dalam Kode Etik PNS itu digariskan pula prinsip – prinsip pokok tentang
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pegawai negeri. Berdasarkan uraian tersebut
dapat disarikan bahwa kode etik merupakan pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan
di dalam melaksanakan tugas dan dalam hidup sehari – hari.

BAB VI
ETIKA PROFESI PUSTAKAWAN.
A. Jati Diri Pustakwan
Pekerjaan kepustakawanan adalah kegiatan utama dalam lingkungan unit
perpustakan, dokumentasi dan informasi yang meliputi kegiatan pengadaan, pengolahan
dan pengelolaan bahan pustaka atau sumber informasi, pendayaan dan pemasyarakatan
informasi, baik dalam bentuk karya cetak, karya rekam maupun multi media, serta
kegiatan pengkajian atau kegiatan lain untuk pengembangan perpustakaan, dokumentasi
dan informasi, termasuk pengembangan perpustakaan, dokumentasi dan informasi ,
termasuk pengembangan profesi. Sejarah mencata bahwa profesi perpustakawan sejak
zaman mesir kuno telah berpengalaman tinggi, sekaligus sebagai ahli bahasa. Di banyak
negara profesi perpustakawan menjadi tumpuan bagi kalangan akademisi sebaagi
“ensiklopedi berjalan “ yang siap melayani berbagai jenis karya rekam dan karya cetak
yang dibutuhkan.

B. Etika Profesi Pustakawan


Sebagaimana sudah diuraikan sebelumnya, bahwa setika itu merupakan salah satu
cabang filsafat yang di batasi dengan dasar nilai moral yang menyangkut apa yang boleh
dan apa yang tidak, maupun apa yang baik dan apa yang tidak. Oleh karena itu secara
umum seorang pustakawan harus memiliki etika untuk berkomitmen dalam hal – hal
berikut ini.
1. Mengembangkan diri dalam bidang perpustakaan, dokumentasi, dan informasi;
2. Memanfaatkan hal – hal yang baru untuk pengembangan profesi.
3. Bersikap eksperimen dan inovatif.
4. Memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa membedakan agama, ras, golongan
maupun aliran politik;
5. Mematuhi kode etik pustakawan.
Seperti halnya profesi kependidikan lainnya, pustakawan membentuk organisasi
profesi. Organisasi profesi pustakawan berfungsi untuk memajukan dan memberi
pelindungan profesi kepada pustakawan. Setiap pustakawan menjadi anggota organisasi
profesi.

BAB VII
ETIKA PROFESI PENGEMBANG TEKNOLOGI PEMBELAJARAN
A. Jati Diri Profesi Pengembang Teknologi Pembelajaran
Dibandingkan dengan profesi pendidik dan tenaga kependidikan lainnya, profesi
pengembang teknologi pembelajaran tergolong profesi paling baru di Indonesia. Sejarah
profesi ini bermula ketika pada akhir tahun 1950an pemerintah Indonesia mengirimkan
putera puteri terbaiknya untuk mempelajari perihal teknologi pendidikan ke manca
negara, pendidikan dan keahlian teknologi pendidikan semakin mendapat perhatian sejak
awal Orde baru dengan bantuan dari UNDP/UNESCO dan pemerintah Amerika Serikat.
Tenaga ahli yang telah dididik di luar negeri tersebut kemudian diberi tanggung jawab
untuk menyelenggarakan pendidikan keahlian teknologi pendidikan di dalam negeri.

B. Etika Profesi Pengembangan Teknologi Pembelajaran


Setiap profesi paling sedikit harus memenuhi lima syarat. Pertama adalah pendidikan
dan pelatihan yang memadai, kedua adanya komitmen terhadap tugas
profesionalmya, ketiga adanya usaha untuk senantiasa mengembangkan diri sesuai
dengan kondisi lingkungan dan tuntunan zaman, keempat adanya standar etik yang
harus dipatuhi, dan kelima adanya lapangan pengabdian yang khas. Profesi
pengembang teknologi pembelajaran termasuk dalam katagori profesi yang
professional karena memenuhi syarat – syarat adanya : (1) suatu teknik intelektual;(2)
aplikasi teknik tersebut, yang terkait dengan urusan praktis manusia;(3) pelatihan
dengan periode waktu yang lama sebelum memasuki profesi tersebut;(4) memiliki
suatu perkumpulan anggota profesi yang tergabung dalam sebuah badan dengan satu
komunikasi bermutu tinggi antar anggotanya; (5) memiliki satu rangakaian
pernayataan kode etik dan standar yang disepakati ;(6) mempunyai alur
pengembangan teori intelektual dengan penelitian yang terorganiasasi.

BAB VIII
ETIKA PROFESI PENELITI PENDIDIKAN
A. Jati Diri Profesi Peneliti
Ilmu pengetahuan (science) diakui sebagai pencapaian tertinggi dalam
kebudayaan manusia. Produk penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
telah nyata memberi keguaan pada peradaban manusia untuk mengembangkan
kualitas dan meringankan beban dalam kehidupan. Oleh karena itu kita melihat
betapa pentingnya peningkatan kualitas sumberdaya peneliti sebagai pelaku dalam
pengembangan IPTEK (LIPI, 2008). Dalam era masyarakat berbasis pengetahuan
(knowledge based society) penelitian dan pengemebangan merupakan suatu unggulan
kompetitif yang berekesinambungan (sustainable competitive advantage). Pada
konteks tersebut , peran lembaga penelitian menjadi semakin besar terutama jika
dikaitkan dengan situasi dan kondisi sector lain; seperti industry di Indonesia yang
memiliki karakteristik lebih pada orientasi pasar (market oriented ) dengan tekanan
yang kurang terhadap inovasi dan riset.

B. Etika Profesi Penelitian Pendidikan


Kode etik peneliti adalah acuan moral bagi peneliti dalam melaksanakan hidup,
teerutama yang berkenaan dengan proses penelitian untuk pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Ini menjadi suatu bentuk pengabdian dan ketaqwaan
kepada tuhan yang maha esa. Sesuai dengan buku panduan yang di terbitkan LIPI,
ada tiga lingkup Kode Etika Penelitian, yaitu, Kode Etika dalam Penelitia; Kode Etika
dalam Berperilaku; dan Kode Etika dalam Kepengarangan.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Kelebihan Buku “ ETIKA PROFESI PENDIDIKAN”


Dari aspek isi buku sudah baik karena di dalam isi buku tersebut di bahan secara
terperinci masalah etika profesi pendidikan dengan materi- materi sebagai berikut:
a. Perihal Teori Etika
b. Kaitan Profesi Pendidikan dan Etika
c. Etika Profesi Guru dan Dosen
d. Etika Profesi Supervisor
e. Etika Profesi Pustakawan
f. Etika Profesi pengembang Teknologi Pembelajaran
g. Etika Profesi Peneliti Pendidikan
Kelengkapan isi materi juga di lengkapi dengan poin – poin penting sehingga
lebih mudah di pahami. Selain dari segi materi yang di sampaiakn secara terperinci buku
ini juga memaparkan pasal – pasal tentang tenaga kependidikan yang dijelaskan pada
akhir halaman buku tersebut.

B. Kekurangan Buku “ ETIKA PROFESI PENDIDIKAN”


Kekuarangan dari buku tersebut hampir tidak ada karena pemaparannya sudah
terperinci sebagai saran agar buku tersebut di sertai dengan rangkuman dan latihan soal
sehingga pembaca langsung menerima nilai praktik saat membaca buku ini.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Buku yang berjudul “ Etika Profesi Pendidikan”ini jika dilihat dari segi
kelemahan dan kelebihan yaitu cukup baik digunakan karena dilengkapi dengan point
point penting disetiap sub bab buku. Dan buku ini juga dapat digunakan sebagai bahan
ajar pendidik.

B. Saran
Untuk lebih mendapatkan pembahasan tentang Etika profesi pendidikan
dibutuhkan lebih banyak mencari referensi buku lain.
DAFTAR PUSTAKA
Akhmad Syarief, S.Pd., M.Pd. 2014. Etika Profesi Pendidikan LaksBang
PRESSindo, Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai