Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

ETIKA EKSISTENSIALISME
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya kami
dapat menyelesaikan dokumen ini.
Keberhasilan penyusunan dokumen ini tidak dapat terlaksana dan terselesaikan
dengan baik tanpa bantuan, bimbingan dan dorongan yang tak ternilai dari berbagai pihak,
baik materil maupun spiritual.
Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati dan keikhlasan, saya
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan dokumen
ini. Saya sangat menyadari bahwa pembuatan dokumen ini masih memiliki banyak
kekurangan karena kapasitas yang terbatas.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan
demi kesempurnaan dokumen ini.

oleh penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar....................................................................................................ii
Daftar Isi...............................................................................................................iii
BAB I Pendahuluan.............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................2
1.3 Tujuan..............................................................................................................2

BAB II ISI............................................................................................................3
2.1 Munculnya Etika Eksistensialisme..................................................................3
2.2 Filsafat Eksistensialisme dan Pemikirnya.......................................................4
2.3 Metode dan Kurikulum Pendidikan.................................................................9
2.4 Kritik Etika Eksistensialisme Dalam Pendidikan............................................11
BAB III Refleksi..................................................................................................14
BAB IV Penutup..................................................................................................17
Kesimpulan............................................................................................................17
Saran......................................................................................................................17
BAB V Daftar Pustaka........................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Konteks

Banyak tokoh dan pemikir pendidikan yang mempertanyakan posisi sekolah


sebagai lembaga pendidikan yang berfungsi menyiapkan generasi penerus. Ada Ivan
Illich dengan Deschooling Society-nya, Setelah Scooting, apa? Dan Paulo Preire dengan
kritik kerasnya terhadap pendidikan. Namun masyarakat pada umumnya masih
mempercayai sistem sekolah sebagai pusat pendidikan, sekolah dianggap sebagai satu-
satunya sarana transformasi intelektual, sehingga terkadang melupakan keberadaan
lingkungan, keluarga dan masyarakat sebagai bagian dari sistem pendidikan (non- resmi
dan tidak resmi). . Kritik tajam terhadap dunia pendidikan sekolah didasarkan pada
realitas objektif sekolah sebagai lembaga yang jinak, guru sebagai antek lembaga yang
tidak memberikan kebebasan kepada siswa untuk berkreasi dan berpikir. Sejalan dengan
Alexander A. Neil yang mengkritik tajam keberadaan lembaga pendidikan di sekolah
yang hanya memperhatikan aspek otak dan terkadang aspek hati siswa. Neil kemudian
mengungkapkan kekecewaannya karena Heart bukanlah kepala sekolah.1

Ungkapan ini muncul ketika tidak dilihat sebagai tempat sebagai media yang
dibentuk dan dirancang yang memungkinkan anak untuk menjadi dirinya sendiri.
peraturan lainnya. Ia mengkritisi ketika angka tersebut setidaknya menunjukkan bahwa
institusi pendidikan (politik, guru) telah menjadi instrumen kontrol kreatif dan pengekang
kebebasan individu, padahal masing-masing individu memiliki keunikan dan kemauan
sendiri untukbertindak. Lembaga pendidikan (formal, informal) hendaknya merancang
sekolah yang memungkinkan anak menjadi dirinya sendiri, tidak terkekang atau terikat,
sehingga anak mau belajar secara sukarela (tulus hati), sehingga dengan rasa
kesukarelaan ini mereka menghargainya. dan anak akan mengenal dirinya sendiri.
Metode pendidikan yang tidak memberi ruang untuk berimajinasi dan apa adanya
(existing: berwujud nyata) akan berpengaruh pada munculnya perasaan kesepian,

1 Joy A. Palmer (editor), 50 Pemikir Pendidikan dari Piaget sampai masa sekarang (Yogyakarta. Jendela.
2003). Hal.3
berkembangnya tekanan internal dan eksternal, yang lambat laun akan menimbulkan
perasaan benci. dalam diri sendiri (permusuhan batin).

1.2 Rumusan masalah


1. Bagaimana etika eksistensialisme berasal?
2. Siapakah pemikir eksistensialisme?
3. Apa saja metode dan kurikulum dalam pendidikan?
4. Bagaimana dengan kritik etis terhadap eksistensialisme dalam kurikulum
pendidikan?
1.3 Tujuan
1. Menemukan asal usul etika eksistensialis.
2. Untuk menemukan pemikir eksistensialis.
3. Mengetahui metode pengajaran dan kurikulum.
4. Untuk mengkaji kritik etika eksistensialisme dalam kurikulum pendidikan.
BAB II
DAFTAR ISI

2.1 Asal Usul Etika Eksistensialis


Asal Usul Etika Eksistensialis tidak jauh dari Filsafat Eksistensialis karena Etika
ini menganut Filsafat Eksistensialis. Untuk mengetahui latar belakang munculnya
eksistensialisme dilihat dari dua aspek di atas.
1. Idealisme dan Materialisme
Idealisme yang dikembangkan oleh René Descartes adalah gagasan penuntun pada
awal Renaisans di Eropa, salah satu aliran yang memperkenalkan realitas ke dalam
gagasan subjek atau roh. Sebagai bukti dari arus idealisme ini: dunia yang kita tinggali
ini adalah sesuatu yang tidak terjadi dalam bentuk yang sudah jadi, tetapi proses siklus
yang berlanjut sebagai hasil dari aktivitas subjek atau pikiran yang tidak dapat dipisahkan
menjadi konflik. . dan intervensi dari subjek itu sendiri (aliran massa). Sedangkan
materialisme memandang realitas sebagai sesuatu yang benar atau memiliki dirinya
sendiri (realistic omnipotence), dan bukan merupakan produk dari subjek, tetapi realitas
itu ada dengan sendirinya menurut perkembangan evolusionernya. Dari uraian tersebut
dapat dikatakan bahwa antara idealisme dan materialisme terdapat perbedaan ekspresi
fenomena realitas, namun keduanya memiliki kesamaan dalam penyajian subjek individu
atau personal, terutama dalam menentukan arah perkembangannya.
2. Sikap Ilmiah dan Intelektual

Perkembangan ilmu pengetahuan dengan berbagai konsekuensi negatif dan


positifnya telah mendorong masyarakat Barat dan masyarakat teknokratis untuk
menciptakan norma dan aturan baru sebagai konsekuensi logis dari perkembangan ilmu
pengetahuan itu sendiri. Artinya, terkadang prinsip-prinsip ilmu itu sendiri sering
dipaksakan sebagai acuan, baik dalam tutur kata, perilaku, maupun dalam hubungannya
dengan orang lain. Beberapa terobosan baru telah muncul dalam dunia pendidikan
sebagai alat (media) pembelajaran yang dapat membantu siswa memecahkan berbagai
masalah pembelajaran, yaitu mengurangi bias, membantu memperlancar proses
komunikasi, memperjelas konsep atau menyederhanakan konsep yang kompleks.2

Namun, terkadang hubungan antar individu sering terabaikan ketika media


dianggap sebagai satu-satunya sarana pengetahuan dan transfer pengetahuan, dimana
setiap hubungan yang tidak didasarkan pada alasan kepentingan fungsional cenderung
dinilai sebagai pemborosan waktu. kedekatan hubungan antar individu (guru dan murid,
murid dan murid) mengendur, karena setiap mata pelajaran menjauh dari segalanya (tidak
adaminat). Mengembangkan nilai-nilai baru dalam masyarakat yang menggantikan
tradisi lama dan kemudian orang-orang yang mendukung nilai-nilai baru tersebut
kemungkinan besar akan menghasilkan transisi dan orang akan mengalami keterasingan
dari diri mereka sendiri dan apa yang mengelilinginya.

Juga dalam sikap ilmiah yang mengutamakan akal di atas afektif (emosional) dan
politis (kehendak bebas). Menempatkan orang di urutan kedua sambil mengabaikan
aspek lain adalah bagian dari ketidakpuasan para eksistensialis yang tidak melihat adanya
ruang dan tempat bagi kebebasan individu. Idealisme dan materialisme melihat individu
larut dalam massa, hukum alam, atau fakta ilmiah, sehingga hubungan antar individu
tidak memiliki nilai nyata selain murni subjektif. Manusia menjadi penting hanya ketika
kebenaran bersifat kuantitatif, kausal, dan argumentatif rasionalistik. Abstraksi orang-
orang konkret adalah ciri khas idealisme dan materialisme, sehingga filsafat
eksistensialisme menjadi bagian dari metode tandingan untuk menghubungkan orang-
orang tertentu yang memiliki kebebasan dalam keberadaannya dengan manusia
(manusia).

2.2 Filsafat Eksistensialisme dan Pemikirnya

Filsafat ini termasuk dalam kategori filsafat modern yang sangat dipengaruhi pada
abad ke-19 oleh filsuf Sooren Kierkegaard dan Friedrich Wilhelm Nietze dan dihidupkan
kembali pada abad ke-20 oleh Martin Buber, Karl Jasper dan Jean Paul Sertre. Filosofi
ini dapat diterapkan pada masalah pendidikan dan dapat dijadikan sebagai teori/referensi

2 Abdul Gafur, Media dan Multimedia Pembelajaran, Makalah disampaikan pada Talk Show Diesnatalis
Universitas Negeri Yogyakarta, 10 Mei 2006 di Universitas Negeri Yogyakarta.
dalam pendidikan.3 Secara harfiah, kata keberadaan berarti muncul, muncul, memiliki
penampilan luar, saudara perempuan (berada, bahasa Latin) yang memunculkannya.
Yaitu, sesuatu yang ada, sesuatu yang memiliki aktualitas (keberadaan), keberadaan
sesuatu yang menegaskan apa adanya (apabila benda itu nyata menurut hakikatnya yang
sebenarnya), atau kesadaran bahwa ia ada dan bahwa ia adalah makhluk agen. adalah . ,
memilih, menciptakan dan mengungkapkan identitas dalam proses bertindak dan memilih
secara bertanggung jawab.4
Exitenz (Jerman) adalah sesuatu yang lebih penting dan orisinal dalam
kepribadian, yang sama sekali tidak objektif, kemungkinan selalu terbuka untuk hal-hal
baru tentang kebebasan yang merupakan hakikat manusia. 5 Selain itu, eksistensi juga
berarti “ada” atau “keberadaan”, yang dikenal dengan istilah “al-falsafah alwudiyah”
dalam bahasa Arab.6 Namun, beberapa definisi tersebut tidak cukup untuk menjelaskan
arti sebenarnya dari keberadaan karena kata keberadaan yang digunakan oleh para
eksistensialis selalu terkait dengan konteks manusia. Artinya, orang-orang yang datang
dengan sendirinya, eksis dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan pribadi seperti siapa
saya, kemana saya pergi, mengapa saya di sini?, 7 juga dalam pendidikan, filosofi ini bisa
dikatakan menekankan pada individu. pengalaman l'individu.8
Tapi yang akan terjadi adalah pertanyaan utamanya: bagaimana orang akan keluar
dan hidup sendiri? Untuk menjawab pertanyaan di atas, menurut Sembodo, eksistensi
harus dikaitkan dengan filosofi fenomenologi Huserl. Karena eksistensialisme dan
fenomenologi menghadirkan sikap atau pandangan yang menekankan keberadaan
manusia, artinya kualitas yang membedakan antara individu yang tidak berbicara tentang
manusia secara abstrak atau berbicara tentang alam atau dunia pada umumnya karena

3 Howard A Osmon, Landasan Filosofis Pendidikan. (Universitas Persemakmuran Virginia, Edisi Kelima),
hal.243.
4 Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, (ROSDA Bandung)
5 Ali Mudhafir. Kamus Istilah Filsafat, (LIberti Yogyakarta. 1992), hlm. 58-59
6 A. Hanafi. Ihtisar Sejarah Filsafat Barat. (Jakarta Pustaka Alhusna Edisi Pertama, 1981), hlm. 87
7 Howard A Osman, Philosophical Foundation of Education, (Virginia Commonwealth Univeristy, Edisi
Kelima), hal.259
8 Howard A Osman, Philosophical Foundation of Education, (Virginia Commonwealth Univeristy, Edisi
Kelima), hal.243
sifatnya lebih dihargai memiliki posisi manusia. . , kedua 9 bagian realitas yang berbeda
antara filsafat eksistensialisme adalah filsafat reaksi.10 Reaksi Terhadap Idealisme,
Naturalisme , dan Materialisme. Menanggapi idealisme dengan menempatkan eksistensi
sebagai pengganti esensi, sehingga eksistensi mengacu pada esensi.
Walaupun respon terhadap naturalisme adalah materialisme karena manusia
terkadang ditempatkan/diposisikan secara sama dengan benda, sehingga manusia dapat
dianggap sebagai mesin dan robot yang dapat menjalankan hukum mekanik dan
berfungsi secara mekanis, mereka hanya berfungsi sebagai alat, objek. dan dikendalikan
oleh sistem. Dalam literatur lain, filsafat ini juga dikatakan sebagai reaksi dan
pemberontakan terhadap alam dan filsafat tradisional dan masyarakat modern, yaitu
protes terhadap rasionalisme Yunani, atau tradisi filsafat klasik, terutama spekulasi yang
memandang makhluk seperti Plato. dan Hegel di bawah ini, akan dipaparkan oleh tokoh-
tokoh eksistensialis11 antara lain:
1. Sooren Kierkegard (1813-1855)
Setelah masa kejayaan idealisme Jerman yang berakhir pada masa George
Wilhelm Friedrich Hegel, Hegelian terbagi menjadi dua, yaitu Hegelian Kiri dan
Hegelian Kanan. Hegelian sayap kanan memiliki sikap konservatif, sedangkan Hegelian
sayap kiri lebih progresif dan agak ekstrim dalam agama dan politik. Idealisme Jerman,
Hegel dikritik oleh Soren Aabye Kierkegaard dari Denmark. 12 Alasan utama kritik
Kierkegaard adalah abstraksi Hegel, yang tampaknya mereduksi keberadaan konkret
manusia.13
Tanggapan Kiergaard terhadap idealisme Hegel juga dipengaruhi oleh situasi
sosial masyarakat Denmark saat itu, seperti sulitnya mencari solusi atas kehidupan sosial
keagamaan pada masa itu. Kekristenan bersifat sekuler, sangat dipengaruhi oleh filsafat
idealis Hegel. Mengembangkan aliran filsafat eksistensialis yang menekankan

9 Harold A Titus, Bangsa-persoalan filsafat. (terj), (Jakarta Bulan Bintang, 1984). Hlm. 381.
10 Ali Saifullah, Antara Silsafat dan Pendidikan, (Surabaya. Usaha Nasional, 1403 H), hlm. 144.
11 1 Harold H Titus, Persoalan-persoalan Filsafat, (terj), ( Jakarta Bulan Bintang. 1984), hlm. 382.
12 Howard A. Osmon, Philosophical Foundation of Education. (Virginia Commonwealth University, Fifth
Edition), p.245
13 Johanes Laba. Humanisme Eksistensial Kierkegaard, dalam Majalah Filsafat STF Driyarkara, Th XXXI No.
4/1994/1995, hlm. 13.
kepribadian manusia dan kepribadian konkret. Kategori filosofis Kiergaard adalah
individualitas, tetapi tidak seperti filsuf lain yang menekankan bing, tetapi keberadaan
manusia.14 Dalam pandangannya tentang pendidikan, ia dengan tegas menolak
pendidikan/pelatihan kejuruan, karena pendidikan semacam ini justru memberikan
pandangan hidup yang duniawi (sekuler) kepada siswa atausiswa.15 menolakpendidikan?
Barangkali jawabannya adalah teknologi industri yang berkembang pesat dan
menimbulkan benturan kemanusiaan yaitu ditandai dengan banyaknya perusakan
lingkungan dan alam serta munculnya perang antar manusia yang menggunakan
teknologi sehingga manusia dimanfaatkan oleh media. Kondisi ini terjadi pada abad ke-
20 dengan pecahnyapeperangan.
2. Jean-Paul Sartre (1905-1980)
Sartre adalah salah satu filsuf yang melahirkan eksistensialisme, yang tidak lepas
dari pengaruh tradisi rasionalisme dan idealisme dari Descartes hingga Kant, dari Hegel
hingga fenomenologi abad XX. Pengaruh Hegel sangat kuat, dari Husserl hingga Karl
Mark.16 Filosofi Sartre menekankan kebebasan manusia dengan menekankan sesuatu
yang baru dalam setiap situasi, bebas adalah tugas dan pilihan, dan saya dapat memilih
dan melakukan apa yang saya inginkan, jika jalan hilang/buntu maka saya akan
menemukan jalan/find another way , saya selalu bebas, dalam pendidikan filosofis Sartre
untuk membuat siswa lebih bebas.17
Filosofi yang dikembangkan oleh Sartre sangat tertarik pada "orang", yaitu apa itu
manusia. Dengan kata lain, eksistensi adalah keterbukaan, eksistensi mendahului esensi
(existence mendahului essence).18 Ia berbeda dari hal-hal lain, yang berarti
"keberadaannya" sekaligus esensinya. Tujuan Pendidikan dalam Filsafat Eksistensialis
Filsafat eksistensialis dalam kehidupan modern tidak hanya dapat diterapkan pada

14 Howard A Osmon. Philosophical Foundation of Education (Virginia Commonwealth Univeristy, Fifth


Edition), p.245.
15 Howard A. Osmon. Philosophical p.243
16 Riyanto Sanjiwani, Kebebasan Menurut Sartre. Driyakara, Majalah Mahasiswa STF tahun XI No. 1 Oktober
1983, hlm. 4.
17 George F Kneller, Movements of Tought in Modern Education. (New York, Brisbone, Toronto, Singapura:
University of California, Los Angeles, 1984), p.34-40.
18 Howard A Osmon, Philosophical Foundation of Education, (Virginia Commonwealth Univeristy, Fifth
Edition), p 258.
pendidikan, tetapi juga dapat digunakan dalam kehidupan sosial dan kehidupan praktis
lainnya. Pada tataran praktis pendidikan modern, guru sebagai pembimbing dan
fasilitator di kelas harus mengetahui dan menentukan keunggulan setiap individu siswa
yang memiliki potensi belajar mandiri dan minat anak. Guru dapat memotivasi siswa
dengan memberikan hadiah kepada masing-masing, kepada setiap individu, sehingga
anak dapat terdorong untuk berkreasi sesuai dengan kehendaknya. Tingkah laku guru
dapat digambarkan dengan konsep Moslow tentang hirarki kebutuhan manusia dalam
teorinya yaitu (1) kebutuhan dasar (2) metaneeds.19
Kebutuhan dasar yaitu kebutuhan dasar setiap individu yaitu kebutuhan akan
udara, makanan, minuman, rasa aman dan sebagainya. Sedangkan metaneed dalam
pemikiran Moslow lebih dalam dan filosofis penerapannya, menyangkut kebutuhan dasar
termasuk hubungan antar individu dan kebutuhan untuk membangkitkan potensi diri. Jika
disandingkan dengan filosofi eksistensialisme, sumpah metana Moslow dapat bersinergi
menjadi “aktualisasi diri”. Realisasi diri, menurut pembicara, berarti bagaimana
mengada. Karena pada hakekatnya filosofi eksistensialisme menurut HAR Tilaar adalah
bagaimana manusia sebagai individu dapat mengambil keputusan tentang keberadaannya
sendiri, mereduksi dirinya, maka inilah yang dimaksud dengan “menjadi manusia”
(human), yaitu orang yang mandiri adalahdankreatif20. , seseorang sebagai subjek,
menciptakan dirinya sendiri, terus memiliki perkembangan dan kebebasannya sendiri.
Tujuan pengajaran filsafat ini bukan hanya untuk menekankan dialog (debat),
tetapi bentuk penciptaan,yaitu keberanian untuk menciptakan ide, pemikiran, atau niat
dari keinginan dan kepentingan masing-masing individu.21 Karena kedudukan manusia
sebagai individu sangat penting sebagai penciptapemikiranatau gagasan, maka
pendidikan yang berlandaskan eksistensialisme harus dipertahankan dan dipusatkan pada
realitas kehidupan manusia. Oleh karena itu, filosofi eksistensialisme sangat meyakini
bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mengedepankan individu.

19 Howard A Osmon. Philosophical


20 Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Multikultural.
(Jakarta. Kompas. 2005), hlm. 293.
21 Howard A Osmon, Philosophical Foundation of Education. (Virginia Commonwealth University, Fifth
Edition), p.258
2.3 Metode pengajaran dan kurikulum
Sekolah iakan imenjadi itempat idi imana ikeragaman idan imulti-entry iditerima.
iDalam ihal iini iheterogenitas ibagi isekolah idari isudut ipandang ieksistensialisme
imengupayakan iagar isekolah imemberikan ikebebasan ikepada isetiap iindividu iuntuk
imelakukan iapa iyang idiinginkan idan idilakukannya, itidak iada idua ianak iyang
iperkembangan idan ikeinginannya isama, itidak isemua iorang imempunyai iminat iyang
isama. idan iorientasi. iSetiap iorang imemiliki ikeinginan, ikebutuhan, iatau ipassion
iyang iberbeda. iDalam ikerja ididaktik, iprinsip-prinsip idikembangkan, idalam
iinteraksi iadalah... isetiap iguru iharus imenjadi isiswa idan isetiap isiswa iharus
imenjadi iguru.22 iTeori iini imemungkinkan isetiap iorang iuntuk itidak imemonopoli,
itidak imendominasi, isehingga itunduk ikepada iorang ilain, isehingga iguru idalam
ipendidikan ibukanlah isegalanya idan isumber iilmu ipengetahuan, itetapi isetiap iorang
iyang ibaik i(guru-siswa) imemiliki iprinsip ikesetaraan i- ihak iatas ipersiapan.padaanak,
iindividualistis idan isadar isecara ieksistensial. isehingga imetode ipengajarannya
iadalah isaling imenghargai idalam ipengambilan ikeputusan, idialog, irefleksi idiri idan
itidak ilangsung. i
Dalam ipelaksanaan imanajemen ikelas, ipartisipasi ikelas iharus iterbuka, itidak
imengancam, idemokratis idan ifleksibel. iDengan idemikian, iposisi iguru iharus
imengetahui idan imenginformasikan isecara iholistik itentang ikeinginan idan
ikebutuhan isetiap isiswa. i
Eksistensialis idan ihumanis i
Jadi iapa ihubungan iantara ieksistensialisme idan ihumanisme? iKemungkinan
ihubungan iantara ieksistensialisme imerupakan ibagian idari ihumanisme ikarena
ieksistensialisme imerupakan ipaham ifilsafat iyang imenjunjung itinggi inilai,
ikedudukan idan imartabat imanusia isebagaimana idefinisi iasli ieksistensialisme idi
iatas. iHumanisme idengan idemikian imerupakan igerakan iyang imenempatkan
imanusia isebagai icenter i(pusat) irealitas. iSehingga iantara ihumanisme idan
ieksistensialisme ijelas imenempatkan imanusia isebagai iawal idan iakhir idari isetiap

22 iHoward iA iOsmon, iPhilosophical iFoundation iof iEducation. i(Virginia iCommonwealth iUniversity,


iFifth iEdition), ip. i258
iaksi idan ireaksi. iJadi ialiran ifilsafat imana ipun iyang imeniadakan, imenundukkan,
iatau imenempatkan iorang ihanya isebagai iobjek, idikutuk ikeras ioleh ifilsafat iini.
iDemikian ipula ioposisi ieksistensialisme iversus isaintisme, ipositivisme i, idan
ibehaviorisme.
filosofi ihumanis iBeberapa iorang imengatakan ibahwa ifilosofi ieksistensialisme
isangat imenekankan ipada ipeningkatan irasa ikebebasan iyang imelekat idalam
i"keberadaan". iBerbeda idengan ipragmatisme, iterkadang ikita imasih ibisa imenerima
iperlakuan iotoriter iatau imemperlakukan iorang ilain isecara iotoriter ijika imemiliki
inilai ibagi ikehidupan ipraktis iindividu iitu isendiri i(mahasiswa, ipena). iDan imenurut
iChristian iO. iWeber, idalam ipragmatisme itidak iada ipengertian itentang ikebebasan
imanusia i(liberty iof iman). iSekalipun iada ikebebasan, ikebebasan iini idalam
ibeberapa ihal idibatasi ioleh ikeadaan isekitarnya, itermasuk ifaktor ialam23 iatau
ikehidupan isosial. iHal iini iberbeda idengan ieksistensialisme iyang itidak imemberikan
iruang idan iwaktu ikepada iorang ilain iuntuk iberwibawa, iyang isangat imembatasi
ikebebasan iorang ilain i(misalnya idalam ipendidikan/sekolah iantara iguru idan isiswa).
iPenolakan iini itampaknya iberlaku ipada itataran iide idan ipraktik, iseperti iyang
iditerapkan ioleh iAlexander iS. iNeil idi iSekolah iSummerheil.24 i
Dalam ibidang ipendidikan idan ipengajaran, ieksistensialisme idapat idijadikan
isebagai iacuan ipedagogis iyang ibertopik ibudaya. iSekolah idan iperguruan itinggi
ikeguruan idapat imenggunakan ifilosofi ipemikiran ikritis iini idengan imencoba
imengembangkan idan imenciptakan isituasi ipembelajaran idengan imodel inilai
itransformatif. iAli iSaifullah imengatakan iguru iharus imendorong ianak-anak iuntuk
imengungkapkan iperasaan imereka iyang isebenarnya idengan ibebas, imemiliki

23 iChristian iO iWeber, iBasic iPhilosophies iof iEducation i(United iStates iof iAmerica iWelles iCollege,
i1960), ip.256. i24 iNeil
24 iNeil, imengapresiasikan ibentuk ikebebasan iterhadap ianak ididik idalam ipersekolahan, iini idapat ikita
ilihat ibagaimana icara iberfikirnay iyakni i“dalam isekolah iharuslah isedapat imungkin imenjadi ianak ididik
imenjadi idirinya isendiri, itidak iterikat iterhadap iguru imaupun iorang ilain. iUntuk imengupayakan ihal
itersebut, imenurutnya idisiplin, iarahan isasaran iajaran imoral idan iyang ilebih iekstrem ilagi iadalah
iperintah iutama iharus iditinggalkan. iAnak ijangan ipernah iharus idipaksa iuntuk ibelajar. iAnak iharus
ibelajar idengan irasa isukarela, ikarena idengan ibelajar iyang iatas ikesukarelaan imaka ibelajar itersebut
iakan imenjadi ibernilai. iLihat i50 ipemikir ipendidikan idari ipiaget isampai imasa isekarang i. i(Yogyakarta:
iJendela, i2003), ihlm. i5
ikeberanian iuntuk imengungkapkannya idengan icara imereka isendiri.25 iSehingga
ihubungan isikap iantara iguru idan isiswa imendukung ikreativitas, iimajinasi, ikreasi
idan ipengembangan isiswa. iOleh ikarena iitu, imenurut inarasumber ihendaknya iguru
imemberikan iruang idan iwaktu iuntuk iberimajinasi idan imenyimpang idari iperbedaan
ipendapat idan isikap iakademik. iGuru/mentor iharus iterus imendorong imereka iuntuk
imencapai ikualitas idan iperilaku itersebut isetiap isaat idan idi isemua ikesempatan.
iMaka iapa iyang idikatakan iJohn iLock itentang itujuan ipendidikan iadalah
imengembangkan idan imenginisiasi iseluruh ikekuatan idan ikemampuan ianak ididik
iagar ianak-anak itersebut imenjadi isehat, isiap iuntuk ihidup idan iberhasil idalam
irealitas isosial ikehidupan.26
2.4 iKritik iterhadap iEtika iEksistensialisme idalam iPendidikan
Sangat ijelas idari ibeberapa iuraian idalam idokumen idi iatas ibahwa ifilsafat
ieksistensialisme isangat iingin imengejar iindividualitas imanusia. iArtinya, iorang
inyata, ikonkret idan iabstrak iatau ibahkan igila. iNamun ibarangkali iyang iperlu
iditelaah iadalah iproposisi ifilsafat ieksistensialis iyang icenderung imengabaikan
irealitas isosial imasyarakat ikarena imanusia iadalah imakhluk isosial. iKritik iterhadap
ieksistensialisme iterlalu iekstrim imenyalahkan isekolah isebagai iinstitusi iyang
idianggap isebagai ikekuatan iindoktrinasi idan idehumanisasi iindividu isehingga iguru
idan isiswa imenjadi ikorbannya, isehingga ikehidupan imodern itidak idapat iberharap
ihal itersebut itercapai, ijika ikondisi ipendidikan iinstitusi itidak idiperbaiki iuntuk
ipeningkatan iidentitas iindividu, ikepribadian idankesejahteraan. iFilosofi ieksistensial
iyang iditerapkan iAlexander iA iNeil idalam iaplikasinya iterdiri idari imeminimalkan
iaturan, ibatasan, idisiplin, iindikasi. iKarena isemua iaturan iformal iini, ianak itidak
ibelajar idan itidak imendapat imanfaat i(mereka itidak imendapat imanfaat idari
idisiplin). iMaka idalam ipendidikan, ifilsafat ieksistensialisme idikatakan isebagai
ifilsafat iyang idikenal idengan ipendidikan ialternatif. i
Eksistensialisme idalam iPendidikan iIslam i

25 iAli iSaifullah. iAntara iFilsafat idan iPendidikan, i(Surabaya: iUsaha iNasional, i1403 iH), ihlm. i166.
26 iSamuel iSmith, iIdeas iof iGreat iEducators i(New iYork, iHagerstown, iSan iFrancisco, iLondon iBarners
i& iNobel iBooks, i1979), ip.127
Apakah iada iunsur ifilsafat ieksistensialisme idalam ipendidikan iIslam? iUntuk
imenjawab ipertanyaan iini, iperlu idimulai idengan iserangkaian ipertanyaan iseperti
iberikut: i“Dapatkah imanusia idididik? iDan idapatkah imanusia imengembangkan idan
imenumbuhkan idirinya isendiri itanpa iperlu ipendidikan? itugas idan itanggung
ijawabnya, idalam ihal iini imanusia idapat idilihat isebagai imakhluk iTuhan iyang
iberkaitan idengan iketentuan, inorma, inilai iyang itelah idiatur ioleh iTuhan, ijadi
imanusia iadalah imakhluk iyang iterikat ioleh inilai-nilai iketuhanan i
yang imeliputi ihubungan idengan iTuhan, idengan imanusia idan idengan
ilingkungan ialam iJadi iaspek ieksistensi iadalah itentang ikebebasan isambil iberusaha
imengurangi ioleh iSartre idan iKiergaard iDalam iproses ipendidikan iperan iguru
imemiliki itempat ipenting idalam iproses ipendidikan ibaik idalam ikualitas,
ikemampuan idan ikepribadian ikarena isetiap iindividu imemiliki ipotensinya imasing-
masing idan ikemungkinan iuntuk ibelajar, idi imana iitu idibutuhkan. iIni iadalah
ipanduan iuntuk ipertumbuhan idan iperkembangan ikemungkinan-kemungkinan iini,
isehingga iorang idapat imenemukan idiri imereka isendiri, imemahami iorang ilain idan
iTuhan.27 i
Sejak ilahir imanusia isudah idiberitahu ibahwa imereka itidak itahu iapa-apa,
ipadahal iAllah imemberikan ipendengaran, ipenglihatan idan ihati iagar imanusia ibisa
ibersyukur.28 iNamun, iluasnya idan iketidakjelasan itujuan ipendidikan iIslam ijuga
imembuat itujuan ipendidikan iIslam imenjadi itidak ijelas. iMasing-masing ipakar idan
iahli imemiliki iparadigma ipendidikan iIslam iyang iberbeda isesuai idengan iselera
imasing-masing. iSehingga imenurut ipemateri ikurang itepat iuntuk imengetahui iada
itidaknya iunsur ifilsafat ieksistensialis idalam ipendidikan iIslam. iDerajat ipengaruh
idoktrinal idan irefleksi itekstual imembuat imanusia iterikat ipada idirinya isendiri
iuntuk imengada imenurut iseleranya isendiri, iberbeda idengan ieksistensialisme iyang
imengabaikan iorang ilain, imengabaikan iaturan idan ihukum idemi i“menjadi”.
iNamun iperlu idiperhatikan ibahwa ipendidikan iIslam iditujukan ikepada iorang-
orang iseperti ikhalifah idan iAbdullah, isehingga iunsur-unsur ieksistensialisme

27 iJalaluddin, iTeologi iPendidikan, i( iJakarta iRaja iGrafindo iPersada. i2003), ihlm. i48
28 iAl-Qur'an isurah ian-Nahl i(16) iayat i78.
itersaring imelalui inilai-nilai idalam iIslam iitu isendiri. iAtau imungkin
ieksistensialisme idalam ipendidikan iIslam isama idengan itujuan ipendidikan iuntuk
imenyempurnakan imanusia i(insano ikamil). iItu iberarti iorang iyang imemiliki
ikesempurnaan idalam isemua iaspek imenjadi imanusia. iKita iperlu ibicara ilagi.
iDalam iproses ibelajar imengajar i(PMB), ipendidikan isekolah imenggunakan imetode
iklasikal iyaitu isiswa imasih idianggap isebagai iobjek ipasif, ihanya iguru iyang ilebih
itahu, iyang iharus idihormati idan idihormati. iIni imungkin ibagian idari imasalah
idalam ipendidikan iIslam iyang iperlu idipecahkan.
BAB iIII
Kesimpulan

Manusia iadalah iesensi iotoritas iepistemologis idalam ieksistensialisme i- ibukan


imanusia isebagai ispesies, itetapi imanusia isebagai iindividu. iMakna idan ikebenaran
itidak isecara iinheren ibersatu idi ialam. iRupanya iorang-oranglah iyang imemberi imakna
ipada isesuatu iseperti ialam. iMisalnya, ieksistensialis imengatakan ibagaimana i"hukum"
ialam itelah iberubah iselama iberabad-abad isetelah iorang i"memperbaiki" ialam idengan
iarti iyang iberbeda. iManusia imemiliki ikeinginan ikuat iuntuk ipercaya ipada imakna
ieksternal idan ikarena iitu imemilih iuntuk ipercaya iapa iyang iingin idia ipercayai.

Jika ikeberadaan imendahului iesensi, imaka imanusia idatang iterlebih idahulu idan
ikemudian imuncul igagasan ibahwa imanusia idiciptakan. iSemua ipengetahuan iada idi
idalam idiri iindividu, idan idirilah iyang imembuat ipenilaian iakhir iyang ibenar. iOleh
ikarena iitu, irealitas idapat idilihat imelalui ilensa ipilihan ieksistensial iyang ididasarkan
ipada iotoritas iindividu. iBahkan ieksistensialis ireligius ilebih imengandalkan
iperjumpaan ipribadi idengan iyang iilahi idaripada iwahyu iotoritatif iuntuk ipemahaman
imereka. iArgumen iepistemologis iini imerupakan ilompatan iradikal idari ipendekatan
itradisional imenuju ikebenaran iagama.

Fokus ifilsafat ieksistensialis iada ipada idunia iaksiologi, isedangkan iinti ifilsafat
itradisional iada ipada imetafisika idan ipenekanan ipragmatisme iada ipada iepistemologi.
iJika imetafisika ieksistensial idapat idiringkas idalam iungkapan ikata i"keberadaan" idan
ijika ikonsep iepistemologi idilihat imelalui ilensa ikata i"pilihan", imaka ieksistensialisme
imemahami ibahwa ibagian iterpenting idari ikehidupan iadalah iaktivitas idan iperhatian
ifilosofis iitu. iharus iberhubungan. idengan ikepentingan iaksiologis ipemilih iindividu
iyang iada.

Eksistensialis imenghadapi itugas isulit iuntuk imenciptakan inilai idariketiadaan.


iManusia iterlempar ike idalam ikehidupan itanpa iizin idan ibebas imenjadi iapa iyang
idiinginkannya. iItu itidak iditentukan. iRupanya i"kutuk idia iuntuk ibebas". iKarena idia
ibebas, idia ibertanggung ijawab iatas ipilihan idan itindakannya. iOleh ikarena iitu, iCarl
iRogers imenulis ibahwa iorang itidak idapat imengandalkan ikitab isuci iatau inabi, iFreud
iatau ihasil ipenelitian, iwahyu iTuhan iatau ikeputusan iorang ilain. iOrang isebagai
iindividu imemiliki ipengalaman ipribadi idan imembuat ikeputusan ipribadi iyang ikuat.
iManusia itidak idiampuni iatas iperbuatannya. iMenurut iSartre, iorang itidak imemiliki
ikebebasan idan itanggung ijawab.

Dalam idunia ietika, itidak iada idan itidak iada iyang ibisa imengetahui isifat
iperilaku iyang ibaik. iJika iada iotoritas ieksternal iseperti iitu, ihidup iakan ilebih imudah,
isetiap iorang itentunya iakan ibertindak isesuai idengan ikebutuhan iyang iada. iBeban
iberat ikebebasan iuntuk imembuat ikeputusan ietis iindividu imuncul ikarena iorang iharus
imembuat ipilihan itersebut. iDia itidak ibisa imengandalkan isumber iotoritas iapa ipun
iselain idirinya isendiri.

Beban iberat ikebebasan iyang ibertanggung ijawab isemakin iterasa iketika


iseseorang imenyadari ibahwa isetiap iindividu idapat imembuat ipilihan iberbahaya iketika
imereka imengambil ibentuk itindakan inyata. iJika iindividu idapat imembuat ipilihan
iyang iberbahaya, imereka ijuga idapat imembuat ipilihan ietis iyang ibertentangan idengan
iide idan itindakan iyang imungkin iberbahaya. iManusia imemiliki ipotensi ibesar iuntuk
imenjadi ibaik iatau iburuk iatau ibahkan imenghancurkan ikeberadaan iorang ilain.

Menjalani ihidup ibertanggung ijawab ijuga imencakup ibertindak iatas ikeputusan


isendiri, isekiranya iseseorang iingin imenjadi ibenar iatau iautentik ibagi idirinya isendiri.
iKonsekuensi-konsekuensi iyang itidak imenyenangkan ibagi iseseorang iyang ibertindak
idi iluar ipendirian ietiknya itidaklah imenjadi iperhatian iutama isorotan ikalangan
ieksistensialis. iBertindak itidaklah iuntuk imenjadi itak ibertanggung ijawab- ibertindak
iadalah iuntuk imengupayakan isebuah idunia itanpa iketegangan idan ipenderitaan.
iKalangan ieksistensialis imencatat ibahwa itidak iada iketegangan isetelah ikematian idan
ibahwa ibanyak iorang iberusaha imembuat ikehidupan imereka iseperti ikematian idengan
imenghindari ikonflik isekecil iapapun. iLawan idari ikematian iadalah ikehidupan, idan
ikehidupan ibagi ikalangan ieksistensialis imeniscayakan isuatu itingkat iketegangan
iselama iseseorang ibertindak idi iluar ipendirian i– ipendirian ietisnya.
Sudut ipandang iestetik ikalangan ieksistensialis idapat iditerangkan isebagai
isebuah ipenyimpangan idari istandar iumum. iSetiap iindividu iadalah i´mahkamah´
iutama iberkenaan idengan i¨apa iitu iindah?¨ iSebagaimana idalam ilingkup-lingkup
ieksistensi ilainnya, itak iseorang ipun idapat imembuat iputusan iuntuk iorang ilain. iApa
iyang iindah ibuatku iadalah iindah, idan isiapa idapat imenentangku i?
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan

Sebagai penutup dalam tulisan ini , “maka yang perlu dijelaskan kembali bahwa
kebebasan yang diajukan oleh filsafat eksistensialisme atau etika eksistensialisme ini
bukanlah kebebasan semua sebagai suatu sifat dari tindakan. Namun kebebasan tersebut
harus dimaknai sebagai sifat ataupun sikap tetnang keberadaan manusia itu sendiri.
Kebebasan yang dibangun adalah kebebasan dari keinginan dan kehendak dirinya sendiri.
Dengan demikian semua tindakan yang dilakukan adalah resiko dan tanggung jawabnya
sendiri, sehingga filsafat ini kadang dipersepsikan sebagai filsafat kebebasan yang
mutlak. Demi sebuah pembebasan maka manusia harus peka terhadap kondisi dan
realitas yang terjadi. Demi eksistensinya manusia harus mampu membebaskan diri dari
struktur-struktur yang menindas kebebasan manusia. Namun filsafat ini dikritik karena
kurang menghargai realitas orang lain sebagai bagian dari fenomena sekitar.”

Saran

penelitian selanjutnya juga diharapkan untuk menggunakan lebih banyak sumber


untuk mencari eksistensialisme etika dan diharapkan dapat diperluas dan tidak terbatas
pada pendidikan saja melainkan pada faktor-faktor yang lain sehingga dapat
menghasilkan hasil yang lebih baik.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'an surah an-Nahl (16) ayat 78.

Abdul Gafur, Media dan Multimedia Pembelajaran, Makalah disampaikan pada Talk
Show Diesnatalis Universitas Negeri Yogyakarta, 10 Mei 2006 di Universitas
Negeri Yogyakarta.

A. Hanafi. Ihtisar Sejarah Filsafat Barat. Jakarta Pustaka Alhusna Edisi Pertama, 1981

Ali Mudhafir. Kamus Istilah Filsafat, Yogyakarta Liberti. 1992

Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya. Usaha Nasional, 1403 H.

Christian O Weber, Filsafat Dasar Pendidikan, Welles College Amerika Serikat, 1960.

George F Kneller, Gerakan Tangguh dalam Pendidikan Modern. New York, Brisbone,
Toronto, Singapura: University of California, Los Angeles, 1984

Harold A Titus, Persoalan-Persoalan Filsafat. (terj), Jakarta Bulan Bintang, 1984.

Howard A Osman, Philosophical Foundation of Education, Virginia Commonwealth


University, Edisi Kelima.

Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta Raja Grafindo Persada. 2003.

Johanes Laba. Humanisme Eksistensial Kierkegaard, dalam Majalah Filsafat STF


Driyarkara, Th XXXI No. 4/1994/1995.

Joy A. Palmer (editor), 50 Pemikir Pendidikan dari Piaget sampai masa sekarang
Yogyakarta. Jendela. 2003. Kamus Filsafat, Tim Penulis Rosda, Bandung : Rosda

Riyanto Sanjiwani, Kebebasan Menurut Sartre. Driyakara, Majalah Mahasiswa STF


tahun XI No. 1 Oktober 1983.
Samuel Smith, Ideas of Great Educators New York, Hagerstown, San Francisco, L
ondon Barners & Nobel Books, 1979.

Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan


Multikultural. Jakarta. Kompas. 2005

Anda mungkin juga menyukai