ETIKA EKSISTENSIALISME
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya kami
dapat menyelesaikan dokumen ini.
Keberhasilan penyusunan dokumen ini tidak dapat terlaksana dan terselesaikan
dengan baik tanpa bantuan, bimbingan dan dorongan yang tak ternilai dari berbagai pihak,
baik materil maupun spiritual.
Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati dan keikhlasan, saya
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan dokumen
ini. Saya sangat menyadari bahwa pembuatan dokumen ini masih memiliki banyak
kekurangan karena kapasitas yang terbatas.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan
demi kesempurnaan dokumen ini.
oleh penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar....................................................................................................ii
Daftar Isi...............................................................................................................iii
BAB I Pendahuluan.............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................2
1.3 Tujuan..............................................................................................................2
BAB II ISI............................................................................................................3
2.1 Munculnya Etika Eksistensialisme..................................................................3
2.2 Filsafat Eksistensialisme dan Pemikirnya.......................................................4
2.3 Metode dan Kurikulum Pendidikan.................................................................9
2.4 Kritik Etika Eksistensialisme Dalam Pendidikan............................................11
BAB III Refleksi..................................................................................................14
BAB IV Penutup..................................................................................................17
Kesimpulan............................................................................................................17
Saran......................................................................................................................17
BAB V Daftar Pustaka........................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Konteks
Ungkapan ini muncul ketika tidak dilihat sebagai tempat sebagai media yang
dibentuk dan dirancang yang memungkinkan anak untuk menjadi dirinya sendiri.
peraturan lainnya. Ia mengkritisi ketika angka tersebut setidaknya menunjukkan bahwa
institusi pendidikan (politik, guru) telah menjadi instrumen kontrol kreatif dan pengekang
kebebasan individu, padahal masing-masing individu memiliki keunikan dan kemauan
sendiri untukbertindak. Lembaga pendidikan (formal, informal) hendaknya merancang
sekolah yang memungkinkan anak menjadi dirinya sendiri, tidak terkekang atau terikat,
sehingga anak mau belajar secara sukarela (tulus hati), sehingga dengan rasa
kesukarelaan ini mereka menghargainya. dan anak akan mengenal dirinya sendiri.
Metode pendidikan yang tidak memberi ruang untuk berimajinasi dan apa adanya
(existing: berwujud nyata) akan berpengaruh pada munculnya perasaan kesepian,
1 Joy A. Palmer (editor), 50 Pemikir Pendidikan dari Piaget sampai masa sekarang (Yogyakarta. Jendela.
2003). Hal.3
berkembangnya tekanan internal dan eksternal, yang lambat laun akan menimbulkan
perasaan benci. dalam diri sendiri (permusuhan batin).
Juga dalam sikap ilmiah yang mengutamakan akal di atas afektif (emosional) dan
politis (kehendak bebas). Menempatkan orang di urutan kedua sambil mengabaikan
aspek lain adalah bagian dari ketidakpuasan para eksistensialis yang tidak melihat adanya
ruang dan tempat bagi kebebasan individu. Idealisme dan materialisme melihat individu
larut dalam massa, hukum alam, atau fakta ilmiah, sehingga hubungan antar individu
tidak memiliki nilai nyata selain murni subjektif. Manusia menjadi penting hanya ketika
kebenaran bersifat kuantitatif, kausal, dan argumentatif rasionalistik. Abstraksi orang-
orang konkret adalah ciri khas idealisme dan materialisme, sehingga filsafat
eksistensialisme menjadi bagian dari metode tandingan untuk menghubungkan orang-
orang tertentu yang memiliki kebebasan dalam keberadaannya dengan manusia
(manusia).
Filsafat ini termasuk dalam kategori filsafat modern yang sangat dipengaruhi pada
abad ke-19 oleh filsuf Sooren Kierkegaard dan Friedrich Wilhelm Nietze dan dihidupkan
kembali pada abad ke-20 oleh Martin Buber, Karl Jasper dan Jean Paul Sertre. Filosofi
ini dapat diterapkan pada masalah pendidikan dan dapat dijadikan sebagai teori/referensi
2 Abdul Gafur, Media dan Multimedia Pembelajaran, Makalah disampaikan pada Talk Show Diesnatalis
Universitas Negeri Yogyakarta, 10 Mei 2006 di Universitas Negeri Yogyakarta.
dalam pendidikan.3 Secara harfiah, kata keberadaan berarti muncul, muncul, memiliki
penampilan luar, saudara perempuan (berada, bahasa Latin) yang memunculkannya.
Yaitu, sesuatu yang ada, sesuatu yang memiliki aktualitas (keberadaan), keberadaan
sesuatu yang menegaskan apa adanya (apabila benda itu nyata menurut hakikatnya yang
sebenarnya), atau kesadaran bahwa ia ada dan bahwa ia adalah makhluk agen. adalah . ,
memilih, menciptakan dan mengungkapkan identitas dalam proses bertindak dan memilih
secara bertanggung jawab.4
Exitenz (Jerman) adalah sesuatu yang lebih penting dan orisinal dalam
kepribadian, yang sama sekali tidak objektif, kemungkinan selalu terbuka untuk hal-hal
baru tentang kebebasan yang merupakan hakikat manusia. 5 Selain itu, eksistensi juga
berarti “ada” atau “keberadaan”, yang dikenal dengan istilah “al-falsafah alwudiyah”
dalam bahasa Arab.6 Namun, beberapa definisi tersebut tidak cukup untuk menjelaskan
arti sebenarnya dari keberadaan karena kata keberadaan yang digunakan oleh para
eksistensialis selalu terkait dengan konteks manusia. Artinya, orang-orang yang datang
dengan sendirinya, eksis dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan pribadi seperti siapa
saya, kemana saya pergi, mengapa saya di sini?, 7 juga dalam pendidikan, filosofi ini bisa
dikatakan menekankan pada individu. pengalaman l'individu.8
Tapi yang akan terjadi adalah pertanyaan utamanya: bagaimana orang akan keluar
dan hidup sendiri? Untuk menjawab pertanyaan di atas, menurut Sembodo, eksistensi
harus dikaitkan dengan filosofi fenomenologi Huserl. Karena eksistensialisme dan
fenomenologi menghadirkan sikap atau pandangan yang menekankan keberadaan
manusia, artinya kualitas yang membedakan antara individu yang tidak berbicara tentang
manusia secara abstrak atau berbicara tentang alam atau dunia pada umumnya karena
3 Howard A Osmon, Landasan Filosofis Pendidikan. (Universitas Persemakmuran Virginia, Edisi Kelima),
hal.243.
4 Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, (ROSDA Bandung)
5 Ali Mudhafir. Kamus Istilah Filsafat, (LIberti Yogyakarta. 1992), hlm. 58-59
6 A. Hanafi. Ihtisar Sejarah Filsafat Barat. (Jakarta Pustaka Alhusna Edisi Pertama, 1981), hlm. 87
7 Howard A Osman, Philosophical Foundation of Education, (Virginia Commonwealth Univeristy, Edisi
Kelima), hal.259
8 Howard A Osman, Philosophical Foundation of Education, (Virginia Commonwealth Univeristy, Edisi
Kelima), hal.243
sifatnya lebih dihargai memiliki posisi manusia. . , kedua 9 bagian realitas yang berbeda
antara filsafat eksistensialisme adalah filsafat reaksi.10 Reaksi Terhadap Idealisme,
Naturalisme , dan Materialisme. Menanggapi idealisme dengan menempatkan eksistensi
sebagai pengganti esensi, sehingga eksistensi mengacu pada esensi.
Walaupun respon terhadap naturalisme adalah materialisme karena manusia
terkadang ditempatkan/diposisikan secara sama dengan benda, sehingga manusia dapat
dianggap sebagai mesin dan robot yang dapat menjalankan hukum mekanik dan
berfungsi secara mekanis, mereka hanya berfungsi sebagai alat, objek. dan dikendalikan
oleh sistem. Dalam literatur lain, filsafat ini juga dikatakan sebagai reaksi dan
pemberontakan terhadap alam dan filsafat tradisional dan masyarakat modern, yaitu
protes terhadap rasionalisme Yunani, atau tradisi filsafat klasik, terutama spekulasi yang
memandang makhluk seperti Plato. dan Hegel di bawah ini, akan dipaparkan oleh tokoh-
tokoh eksistensialis11 antara lain:
1. Sooren Kierkegard (1813-1855)
Setelah masa kejayaan idealisme Jerman yang berakhir pada masa George
Wilhelm Friedrich Hegel, Hegelian terbagi menjadi dua, yaitu Hegelian Kiri dan
Hegelian Kanan. Hegelian sayap kanan memiliki sikap konservatif, sedangkan Hegelian
sayap kiri lebih progresif dan agak ekstrim dalam agama dan politik. Idealisme Jerman,
Hegel dikritik oleh Soren Aabye Kierkegaard dari Denmark. 12 Alasan utama kritik
Kierkegaard adalah abstraksi Hegel, yang tampaknya mereduksi keberadaan konkret
manusia.13
Tanggapan Kiergaard terhadap idealisme Hegel juga dipengaruhi oleh situasi
sosial masyarakat Denmark saat itu, seperti sulitnya mencari solusi atas kehidupan sosial
keagamaan pada masa itu. Kekristenan bersifat sekuler, sangat dipengaruhi oleh filsafat
idealis Hegel. Mengembangkan aliran filsafat eksistensialis yang menekankan
9 Harold A Titus, Bangsa-persoalan filsafat. (terj), (Jakarta Bulan Bintang, 1984). Hlm. 381.
10 Ali Saifullah, Antara Silsafat dan Pendidikan, (Surabaya. Usaha Nasional, 1403 H), hlm. 144.
11 1 Harold H Titus, Persoalan-persoalan Filsafat, (terj), ( Jakarta Bulan Bintang. 1984), hlm. 382.
12 Howard A. Osmon, Philosophical Foundation of Education. (Virginia Commonwealth University, Fifth
Edition), p.245
13 Johanes Laba. Humanisme Eksistensial Kierkegaard, dalam Majalah Filsafat STF Driyarkara, Th XXXI No.
4/1994/1995, hlm. 13.
kepribadian manusia dan kepribadian konkret. Kategori filosofis Kiergaard adalah
individualitas, tetapi tidak seperti filsuf lain yang menekankan bing, tetapi keberadaan
manusia.14 Dalam pandangannya tentang pendidikan, ia dengan tegas menolak
pendidikan/pelatihan kejuruan, karena pendidikan semacam ini justru memberikan
pandangan hidup yang duniawi (sekuler) kepada siswa atausiswa.15 menolakpendidikan?
Barangkali jawabannya adalah teknologi industri yang berkembang pesat dan
menimbulkan benturan kemanusiaan yaitu ditandai dengan banyaknya perusakan
lingkungan dan alam serta munculnya perang antar manusia yang menggunakan
teknologi sehingga manusia dimanfaatkan oleh media. Kondisi ini terjadi pada abad ke-
20 dengan pecahnyapeperangan.
2. Jean-Paul Sartre (1905-1980)
Sartre adalah salah satu filsuf yang melahirkan eksistensialisme, yang tidak lepas
dari pengaruh tradisi rasionalisme dan idealisme dari Descartes hingga Kant, dari Hegel
hingga fenomenologi abad XX. Pengaruh Hegel sangat kuat, dari Husserl hingga Karl
Mark.16 Filosofi Sartre menekankan kebebasan manusia dengan menekankan sesuatu
yang baru dalam setiap situasi, bebas adalah tugas dan pilihan, dan saya dapat memilih
dan melakukan apa yang saya inginkan, jika jalan hilang/buntu maka saya akan
menemukan jalan/find another way , saya selalu bebas, dalam pendidikan filosofis Sartre
untuk membuat siswa lebih bebas.17
Filosofi yang dikembangkan oleh Sartre sangat tertarik pada "orang", yaitu apa itu
manusia. Dengan kata lain, eksistensi adalah keterbukaan, eksistensi mendahului esensi
(existence mendahului essence).18 Ia berbeda dari hal-hal lain, yang berarti
"keberadaannya" sekaligus esensinya. Tujuan Pendidikan dalam Filsafat Eksistensialis
Filsafat eksistensialis dalam kehidupan modern tidak hanya dapat diterapkan pada
23 iChristian iO iWeber, iBasic iPhilosophies iof iEducation i(United iStates iof iAmerica iWelles iCollege,
i1960), ip.256. i24 iNeil
24 iNeil, imengapresiasikan ibentuk ikebebasan iterhadap ianak ididik idalam ipersekolahan, iini idapat ikita
ilihat ibagaimana icara iberfikirnay iyakni i“dalam isekolah iharuslah isedapat imungkin imenjadi ianak ididik
imenjadi idirinya isendiri, itidak iterikat iterhadap iguru imaupun iorang ilain. iUntuk imengupayakan ihal
itersebut, imenurutnya idisiplin, iarahan isasaran iajaran imoral idan iyang ilebih iekstrem ilagi iadalah
iperintah iutama iharus iditinggalkan. iAnak ijangan ipernah iharus idipaksa iuntuk ibelajar. iAnak iharus
ibelajar idengan irasa isukarela, ikarena idengan ibelajar iyang iatas ikesukarelaan imaka ibelajar itersebut
iakan imenjadi ibernilai. iLihat i50 ipemikir ipendidikan idari ipiaget isampai imasa isekarang i. i(Yogyakarta:
iJendela, i2003), ihlm. i5
ikeberanian iuntuk imengungkapkannya idengan icara imereka isendiri.25 iSehingga
ihubungan isikap iantara iguru idan isiswa imendukung ikreativitas, iimajinasi, ikreasi
idan ipengembangan isiswa. iOleh ikarena iitu, imenurut inarasumber ihendaknya iguru
imemberikan iruang idan iwaktu iuntuk iberimajinasi idan imenyimpang idari iperbedaan
ipendapat idan isikap iakademik. iGuru/mentor iharus iterus imendorong imereka iuntuk
imencapai ikualitas idan iperilaku itersebut isetiap isaat idan idi isemua ikesempatan.
iMaka iapa iyang idikatakan iJohn iLock itentang itujuan ipendidikan iadalah
imengembangkan idan imenginisiasi iseluruh ikekuatan idan ikemampuan ianak ididik
iagar ianak-anak itersebut imenjadi isehat, isiap iuntuk ihidup idan iberhasil idalam
irealitas isosial ikehidupan.26
2.4 iKritik iterhadap iEtika iEksistensialisme idalam iPendidikan
Sangat ijelas idari ibeberapa iuraian idalam idokumen idi iatas ibahwa ifilsafat
ieksistensialisme isangat iingin imengejar iindividualitas imanusia. iArtinya, iorang
inyata, ikonkret idan iabstrak iatau ibahkan igila. iNamun ibarangkali iyang iperlu
iditelaah iadalah iproposisi ifilsafat ieksistensialis iyang icenderung imengabaikan
irealitas isosial imasyarakat ikarena imanusia iadalah imakhluk isosial. iKritik iterhadap
ieksistensialisme iterlalu iekstrim imenyalahkan isekolah isebagai iinstitusi iyang
idianggap isebagai ikekuatan iindoktrinasi idan idehumanisasi iindividu isehingga iguru
idan isiswa imenjadi ikorbannya, isehingga ikehidupan imodern itidak idapat iberharap
ihal itersebut itercapai, ijika ikondisi ipendidikan iinstitusi itidak idiperbaiki iuntuk
ipeningkatan iidentitas iindividu, ikepribadian idankesejahteraan. iFilosofi ieksistensial
iyang iditerapkan iAlexander iA iNeil idalam iaplikasinya iterdiri idari imeminimalkan
iaturan, ibatasan, idisiplin, iindikasi. iKarena isemua iaturan iformal iini, ianak itidak
ibelajar idan itidak imendapat imanfaat i(mereka itidak imendapat imanfaat idari
idisiplin). iMaka idalam ipendidikan, ifilsafat ieksistensialisme idikatakan isebagai
ifilsafat iyang idikenal idengan ipendidikan ialternatif. i
Eksistensialisme idalam iPendidikan iIslam i
25 iAli iSaifullah. iAntara iFilsafat idan iPendidikan, i(Surabaya: iUsaha iNasional, i1403 iH), ihlm. i166.
26 iSamuel iSmith, iIdeas iof iGreat iEducators i(New iYork, iHagerstown, iSan iFrancisco, iLondon iBarners
i& iNobel iBooks, i1979), ip.127
Apakah iada iunsur ifilsafat ieksistensialisme idalam ipendidikan iIslam? iUntuk
imenjawab ipertanyaan iini, iperlu idimulai idengan iserangkaian ipertanyaan iseperti
iberikut: i“Dapatkah imanusia idididik? iDan idapatkah imanusia imengembangkan idan
imenumbuhkan idirinya isendiri itanpa iperlu ipendidikan? itugas idan itanggung
ijawabnya, idalam ihal iini imanusia idapat idilihat isebagai imakhluk iTuhan iyang
iberkaitan idengan iketentuan, inorma, inilai iyang itelah idiatur ioleh iTuhan, ijadi
imanusia iadalah imakhluk iyang iterikat ioleh inilai-nilai iketuhanan i
yang imeliputi ihubungan idengan iTuhan, idengan imanusia idan idengan
ilingkungan ialam iJadi iaspek ieksistensi iadalah itentang ikebebasan isambil iberusaha
imengurangi ioleh iSartre idan iKiergaard iDalam iproses ipendidikan iperan iguru
imemiliki itempat ipenting idalam iproses ipendidikan ibaik idalam ikualitas,
ikemampuan idan ikepribadian ikarena isetiap iindividu imemiliki ipotensinya imasing-
masing idan ikemungkinan iuntuk ibelajar, idi imana iitu idibutuhkan. iIni iadalah
ipanduan iuntuk ipertumbuhan idan iperkembangan ikemungkinan-kemungkinan iini,
isehingga iorang idapat imenemukan idiri imereka isendiri, imemahami iorang ilain idan
iTuhan.27 i
Sejak ilahir imanusia isudah idiberitahu ibahwa imereka itidak itahu iapa-apa,
ipadahal iAllah imemberikan ipendengaran, ipenglihatan idan ihati iagar imanusia ibisa
ibersyukur.28 iNamun, iluasnya idan iketidakjelasan itujuan ipendidikan iIslam ijuga
imembuat itujuan ipendidikan iIslam imenjadi itidak ijelas. iMasing-masing ipakar idan
iahli imemiliki iparadigma ipendidikan iIslam iyang iberbeda isesuai idengan iselera
imasing-masing. iSehingga imenurut ipemateri ikurang itepat iuntuk imengetahui iada
itidaknya iunsur ifilsafat ieksistensialis idalam ipendidikan iIslam. iDerajat ipengaruh
idoktrinal idan irefleksi itekstual imembuat imanusia iterikat ipada idirinya isendiri
iuntuk imengada imenurut iseleranya isendiri, iberbeda idengan ieksistensialisme iyang
imengabaikan iorang ilain, imengabaikan iaturan idan ihukum idemi i“menjadi”.
iNamun iperlu idiperhatikan ibahwa ipendidikan iIslam iditujukan ikepada iorang-
orang iseperti ikhalifah idan iAbdullah, isehingga iunsur-unsur ieksistensialisme
27 iJalaluddin, iTeologi iPendidikan, i( iJakarta iRaja iGrafindo iPersada. i2003), ihlm. i48
28 iAl-Qur'an isurah ian-Nahl i(16) iayat i78.
itersaring imelalui inilai-nilai idalam iIslam iitu isendiri. iAtau imungkin
ieksistensialisme idalam ipendidikan iIslam isama idengan itujuan ipendidikan iuntuk
imenyempurnakan imanusia i(insano ikamil). iItu iberarti iorang iyang imemiliki
ikesempurnaan idalam isemua iaspek imenjadi imanusia. iKita iperlu ibicara ilagi.
iDalam iproses ibelajar imengajar i(PMB), ipendidikan isekolah imenggunakan imetode
iklasikal iyaitu isiswa imasih idianggap isebagai iobjek ipasif, ihanya iguru iyang ilebih
itahu, iyang iharus idihormati idan idihormati. iIni imungkin ibagian idari imasalah
idalam ipendidikan iIslam iyang iperlu idipecahkan.
BAB iIII
Kesimpulan
Jika ikeberadaan imendahului iesensi, imaka imanusia idatang iterlebih idahulu idan
ikemudian imuncul igagasan ibahwa imanusia idiciptakan. iSemua ipengetahuan iada idi
idalam idiri iindividu, idan idirilah iyang imembuat ipenilaian iakhir iyang ibenar. iOleh
ikarena iitu, irealitas idapat idilihat imelalui ilensa ipilihan ieksistensial iyang ididasarkan
ipada iotoritas iindividu. iBahkan ieksistensialis ireligius ilebih imengandalkan
iperjumpaan ipribadi idengan iyang iilahi idaripada iwahyu iotoritatif iuntuk ipemahaman
imereka. iArgumen iepistemologis iini imerupakan ilompatan iradikal idari ipendekatan
itradisional imenuju ikebenaran iagama.
Fokus ifilsafat ieksistensialis iada ipada idunia iaksiologi, isedangkan iinti ifilsafat
itradisional iada ipada imetafisika idan ipenekanan ipragmatisme iada ipada iepistemologi.
iJika imetafisika ieksistensial idapat idiringkas idalam iungkapan ikata i"keberadaan" idan
ijika ikonsep iepistemologi idilihat imelalui ilensa ikata i"pilihan", imaka ieksistensialisme
imemahami ibahwa ibagian iterpenting idari ikehidupan iadalah iaktivitas idan iperhatian
ifilosofis iitu. iharus iberhubungan. idengan ikepentingan iaksiologis ipemilih iindividu
iyang iada.
Dalam idunia ietika, itidak iada idan itidak iada iyang ibisa imengetahui isifat
iperilaku iyang ibaik. iJika iada iotoritas ieksternal iseperti iitu, ihidup iakan ilebih imudah,
isetiap iorang itentunya iakan ibertindak isesuai idengan ikebutuhan iyang iada. iBeban
iberat ikebebasan iuntuk imembuat ikeputusan ietis iindividu imuncul ikarena iorang iharus
imembuat ipilihan itersebut. iDia itidak ibisa imengandalkan isumber iotoritas iapa ipun
iselain idirinya isendiri.
Kesimpulan
Sebagai penutup dalam tulisan ini , “maka yang perlu dijelaskan kembali bahwa
kebebasan yang diajukan oleh filsafat eksistensialisme atau etika eksistensialisme ini
bukanlah kebebasan semua sebagai suatu sifat dari tindakan. Namun kebebasan tersebut
harus dimaknai sebagai sifat ataupun sikap tetnang keberadaan manusia itu sendiri.
Kebebasan yang dibangun adalah kebebasan dari keinginan dan kehendak dirinya sendiri.
Dengan demikian semua tindakan yang dilakukan adalah resiko dan tanggung jawabnya
sendiri, sehingga filsafat ini kadang dipersepsikan sebagai filsafat kebebasan yang
mutlak. Demi sebuah pembebasan maka manusia harus peka terhadap kondisi dan
realitas yang terjadi. Demi eksistensinya manusia harus mampu membebaskan diri dari
struktur-struktur yang menindas kebebasan manusia. Namun filsafat ini dikritik karena
kurang menghargai realitas orang lain sebagai bagian dari fenomena sekitar.”
Saran
Abdul Gafur, Media dan Multimedia Pembelajaran, Makalah disampaikan pada Talk
Show Diesnatalis Universitas Negeri Yogyakarta, 10 Mei 2006 di Universitas
Negeri Yogyakarta.
A. Hanafi. Ihtisar Sejarah Filsafat Barat. Jakarta Pustaka Alhusna Edisi Pertama, 1981
Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya. Usaha Nasional, 1403 H.
Christian O Weber, Filsafat Dasar Pendidikan, Welles College Amerika Serikat, 1960.
George F Kneller, Gerakan Tangguh dalam Pendidikan Modern. New York, Brisbone,
Toronto, Singapura: University of California, Los Angeles, 1984
Joy A. Palmer (editor), 50 Pemikir Pendidikan dari Piaget sampai masa sekarang
Yogyakarta. Jendela. 2003. Kamus Filsafat, Tim Penulis Rosda, Bandung : Rosda