Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH FILSAFAT MANUSIA

DARI MANUSIA MISTIS KE MANUSIA ILMIAH:


PERKEMBANGAN AKAL BUDI MANUSIA MENURUT
FILSAFAT POSITIVISME AUGUSTE COMTE (1798-1857)

Dosen Pengampu: Drs. Sahat Saragih,M.Si

Disusun Oleh Kelompok 3:

1. Indah Oktavia [1512200002]


2. Aris Maulana Vicky Apriawan [1512200020]
3. Tasya Nur Fatika Sari [1512200036]
4. Vinka Syafitri Hendira Putri [1512200049]
5. Oki Aisyatun Hasanah [1512200053]
6. Naufal Eka Pratama Deiva [1512200055]
7. Diva Cipta Safira Maharani [1512200061]

KELAS A

S1 PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat, berkat, hidayah
dan kenikmatan nya yang diberikan kami dapat menyelesaikan tugas makalah
filsafat manusia yang berjudul “Dari Manusia Mistis Ke Manusia Ilmiah:
Perkembangan Akal Budi Manusia Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte
(1798-1857)”.

Makalah ini kami buat dalam rangka memenuhi tugas pada mata kuliah
Filsafat Manusia. Selain itu, dengan dibuat nya makalah ini kami berharap dapat
menambah wawasan baik bagi para penulis dan juga pembaca mengenai kehendak
untuk berkuasa dan manusia unggul filsuf Friedrich Nietzsche (1844-1900).

Kami mengucapkan terima kasih sebesar – besar nya kepada dosen


pengampu mata kuliah Filsafat Manusia yaitu bapak Drs. Sahat Saragih,M.Si.
Serta, kami ucapkan juga terima kasih atas kerja keras dan usaha serta waktu yang
dikorbankan kepada kelompok 3 dalam mengerjakan tugas makalah filsafat
manusia ini.

Dalam penulisan dan pembuatan makalah ini, kami menyadari bahwa


masih terdapat kekurangan yang kami perbuat baik di sengaja maupun tidak
dalam proses pembuatan makalah ini. Maka dari itu, kami menerima saran dan
masukan yang sifat nya membangun agar kedepannya kelompok kami dapat
menuliskan makalah lebih baik lagi.

Surabaya, 01 Desember 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

1.1. Latar Belakang..........................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................2

1.3. Tujuan........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

2.1. Tahapan Perkembangan Akal Budi Manusia............................................3

2.2. Ilmu Pengetahuan Positif...........................................................................5

2.3. Pengaruh Positivisme Auguste Comte......................................................8

2.4. Beberapa Permasalahan Praktis Di Seputar Positivisme.........................10

BAB III PENUTUP...............................................................................................12

3.1. Kesimpulan..............................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................13

ii
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pengetahuan berkembang dari rasa ingin tahu, yang merupakan ciri khas
manusia karena manusia adalah satu-satunya mahluk yang mengembangkan
pengetahuan secara sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan,
namun pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan hidup (survival). Rasa ingin
tahu ini tidak terbatas yang ada pada dirinya, juga ingin tahu tentang lingkungan
sekitar, bahkan sekarang ini rasa ingin tahu berkembang ke arah dunia luar. Rasa
ingin tahu ini tidak dibatasi oleh peradaban. Semua umat manusia di dunia ini
punya rasa ingin tahu walaupun variasinya berbeda-beda. Orang yang tinggal di
tempat peradaban yang masih terbelakang, punya rasa ingin yang berbeda
dibandingkan dengan orang yang tinggal di tempat yang sudah maju.

Rasa ingin tahu tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam sekitarnya


dapat bersifat sederhana dan juga dapat bersifat kompleks. Rasa ingin tahu yang
bersifat sederhana didasari dengan rasa ingin tahu tentang apa (ontologi),
sedangkan rasa ingin tahu yang bersifat kompleks meliputi bagaimana peristiwa
tersebut dapat terjadi dan mengapa peristiwa itu terjadi (epistemologi), serta
untuk apa peristiwa tersebut dipelajari (aksiologi) atau mempersoalkan penilaian
yang berhubungan dengan masalah atau teori umum formal

Ke tiga landasan tadi yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi


merupakan ciri spesifik dalam penyusunan pengetahuan. Ketiga landasan ini
saling terkait satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya.
Berbagai usaha orang untuk dapat mencapai atau memecahkan peristiwa yang
terjadi di alam atau lingkungan sekitarnya. Bila usaha tersebut berhasil dicapai,
maka diperoleh apa yang kita katakan sebagai ketahuan atau pengetahuan.

Awalnya bangsa Yunani dan bangsa lain di dunia beranggapan bahwa


semua kejadian di alam ini dipengaruhi oleh para Dewa. Karenanya para Dewa
harus dihormati dan sekaligus ditakuti kemudian disembah. Adanya
perkembangan jaman, maka dalam beberapa hal pola pikir tergantung pada Dewa

1
berubah menjadi pola pikir berdasarkan rasio. Kejadian alam, seperti gerhana
tidak lagi dianggap sebagai bulan dimakan Kala Rau, tetapi merupakan kejadian
alam yang disebabkan oleh matahari, bulan dan bumi berada pada garis yang
sejajar. Sehingga bayang-bayang bulan menimpa sebagian permukaan bumi.

Perubahan pola pikir dari mitosentris ke logosentris membawa implikasi


yang sangat besar. Alam dengan segala-galanya, yang selama ini ditakuti
kemudian didekati dan bahkan dieksploitasi. Perubahan yang mendasar adalah
ditemukannya hukum-hukum alam dan teori-teori ilmiah yang menjelaskan
perubahan yang terjadi, baik di jagat raya (makrokosmos) maupun alam manusia
(mikrokosmos). Melalui pendekatan logosentris ini muncullah berbagai
pengetahuan yang sangat berguna bagi umat manusia maupun alam.

Pengetahuan tersebut merupakan hasil dari proses kehidupan manusia


menjadi tahu. Pengetahuan adalah apa yang diketahui oleh manusia atau hasil
pekerjaan manusia menjadi tahu. Pengetahuan itu merupakan milik atau isi
pikiran manusia yang merupakan hasil dari proses usaha manusia untuk tahu.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Bagaimana tahapan perkembangan akal budi manusia?
1.2.2. Apa yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan positif
1.2.3. Apa pengaruh positivisme Auguste Comte?
1.2.4. Apa saja permasalahan praktis di seputar positivisme?

1.3. Tujuan
1.3.1. Untuk mengetahui tahapan perkembangan akal budi manusia.
1.3.2. Untuk mengetahui ilmu pengetahuan positif.
1.3.3. Untuk mengetahui pengaruh positivisme Auguste Comte.
1.3.4. Untuk mengetahui beberapa permasalahan praktis di seputar positivism.

2
BAB II PEMBAHASAN

2.1. Tahapan Perkembangan Akal Budi Manusia


Tahap – tahap perkembangan akal budi manusia menurut Auguste Comte
terbagi menjadi 3 yaitu sebagai berikut:

1) Tahap Teologis

Tahap teologis ini adalah tahapan paling pertama atau awal dari
perkembangan akal budi yang dialami oleh manusia. Pada fase atau tahap ini
manusia mulai berusaha menerangkan segenap fakta atau kejadian dalam
kaitannya dengan teka – teki alam yang dianggapnya menjadi sebuah misteri.
Segala-galanya dalam tahap ini termasuk manusia itu sendiri masih
dihubungkan kepada hal – hal yang misterius dengan segala kekuatannya.

Pada masa ini, manusia tidak menghayati atau mendalami bahwa dirinya
adalah makhluk luhur dan juga dapat berpikir secara rasional. Pada masa ini
manusia menganggap bahwa dirinya ada dibawah alam dan mendalami bahwa
manusia adalah bagian dari kesuluruhan alam yang selalu tidak pernah ada
abisnya diliputi oleh rahasia yang tidak akan pernah terpecahkan hanya dengan
pikiran – pikiran yang sederhana.

Tahap teologis ini biasanya ditemukan pada manusia – manusia purba.


Dalam tahap teologis terdapat 3 pemikiran yaitu pemikiran

a) Fetiyisme dan Animisme


Dalam cara berpikir ini, kita dapat melihat bahwa bagaimana
manusia itu menghayati dan mendalami alam semesta dalam individualitas
dan partikulasinya. Manusia – manusia purba contohnya, pada saat itu
mereka tidak mengenal yang namanya bentuk konsep – konsep umum
namun, tetapi mereka mengenal sebagai sesuatu yang individual dan juga
singular.
b) Politeisme

3
Cara berpikir ini dikatakan lebih maju dari yang lain karena sudah
mulai menyatukan dan mengelompokkan semua benda dan kejadian ke
dalam konsep yang lebih umum. Pengelompokkan ini dibagi berdasarkan
kesamaan – kesamaan diantara mereka.
Cara berpikir ini sudah tampak adanya sejenis klasifikasi atas dasar
kesamaan dan kemiripan. Individualitas dan partikularitas benda atau
kejadian diganti oleh kelas – kelas benda atau kejadian, dan kemudian
diekspresikan dalam bentuk konsep – konsep umum dan abstrak. Bukan
lagi benda – benda, pohon – pohon dan desa – desa.
c) Monoteisme
Cara berpikir ini tidak lagi mengakui adanya banyak roh (dewa)
dari benda – benda dan kejadian – kejadian, tetapi pada cara berpikir ini
mengakui 1 roh (dewa) saja yaitu Tuhan.
Pada cara berpikir ini tuhan dipandang sebagai satu – satunya roh,
yang mengatur dan juga menguasai bumi dan langit serta semua benda dan
kejadian termasuk manusia berasal dan berakhir dari satu kekuatan tunggal
yaitu Tuhan.
2) Tahap Metafisis

Pada tahap ini manusia mulai merombak cara berpikir nya yang lama, yang
dianggapnya tidak sanggup lagi memenuhi keinginan manusia dalam upaya
untuk memenuhi jawaban yang memuaskan tentang kejadian alam semesta.
Pada tahap ini semua gejala dan kejadian tidak lagi diterangkan dalam
hubungannya dengan kekuatan yang bersifat supranatural atau rohani.

Manusia sudah mulai mencari pengertian dan penerangan yang logis dengan
cara membuat abstraksi – abstraksi dan konsepsi metafisik. Pada tahap ini
manusia benar – benar berusaha dalam mencari hakikat atau esensi dari segala
sesuatu. Mereka tidak puas hanya dengan mencari pengertian – pengertian
umum tanpa didasarkan oleh pemikiran dan argumentasi logis. Karena itu
dogma tentang agama mulai ditinggalkan dan kemampuan akal budi manusia
mulai dikembangkan. Pada tahap ini manusia mulai mengerti bahwa

4
irasionalitas harus dihilangkan sedangkan analisis pikiran perlu ditambah dan
dikembangkan.

Namun, tahap ini pada prinsipnya hanya merupakan suatu bentuk


modifikasi dari tahap teologis. Baik manusia teologis dan metafisis manusia nya
sama – sama mengembangkan pengetahuan dalam rangka mencari ebab
pertama dan tujuan terakhir dari kehidupan ini.

Perbedaannya diantara tahap teologis dan tahap metafisis adalah pada cara
menerangkan kenyataan: alam yang diibaratkan dari dewa- dewa atau tuhan
pada metafisis menjadi konsep – konsep abstraksi.

3) Tahap Positivisme

Pada tahap ini gejala dan kejadian sudah tidak lagi dijelaskan melalui dewa
dan konsep abstraksi melainkan sudah dapat dibuktikan dengan keilmuan atau
empiris.

2.2. Ilmu Pengetahuan Positif


Ilmu pengetahuan positif, yang pada tahap akhir perkembangan akal budi
manusia, menjadi pedoman hidup dan landasan kultural, institusional dan
kenegaraan, untuk menuju suatu masyarakat yang maju dan tertib, merdeka d
sejahtera. Comte menunjuk pada rasionalisme Descartes dan pada ilm
pengetahuan alam seperti yang dikembangkan oleh Galileo Galilei, I Newton,
dan Francis Bacon. Dua jenis ilmu pengetahuan pasti alam inilah yang
merupakan model dari ilmu pengetahuan positif, yang dikem bangkan oleh
Comte di dalam gagasan-gagasannya mengenai positivi Bangunan ilmu
pengetahuan positif ini, kalau kita telusuri asums asumsinya, dapat dirumuskan
seperti berikut ini.

Asumsi pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat objektif (bebas nilai


dan netral). Objektivitas pengetahuan berlangsung dari dua pihak pihak subjek
dan objek. Pada pihak subjek, seorang ilmuwan tidak boleh membiarkan dirinya
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bera dari dalam dirinya sendiri, misalnya dari
sentimen pribadi, penilaian penilaian etis, kepentingan pribadi atau kelompok,

5
kepercayaan agama, filsafat, dan apa saja yang bisa mempengaruhi objektivitas
dari objek yang sedang diobservasi.

Hanya objek pengetahuan dalam keadaan bersih dari setiap pengaruh


subjektif si ilmuwan sajalah yang boleh dituangkan ke dalam laporan-laporan,
teori-teori atau hukum-hukum ilmiah. Pada pihak objek, aspek-aspek dan
dimensi-dimensi lain yang tidak bisa diukur di dalam observasi, misalnya saja
roh atau jiwa, tidak dapat ditolerir keberadaannya. Laporan-laporan atau teori-
teori ilmiah hanya menjelaskan fakta-fakta dan kejadian-kejadian yang dapat d
observasi dan/atau dibuktikan keberadaanya.

Selain itu, seperti yang hingga hari ini masih sering diperdebatkan, objek
observasi harus diandaikan tidak mempunyai subjektivitas dan keunikan, yang
membedakannya dari objek-objek yang lain. Pohon beringin yang satu, sama
dengan pohon beringin yang lain. Simpanse yang menjadi objek percobaan di
laboratorium mewakili spesies si panse pada umumnya (Bahkan sering terjadi,
terutama di dalam ilmu kedokteran dan psikologi komparatif, bahwa percobaan
pada binatang binatang tertentu dianggap mewakili populasi manusia pada
umumnya

Misalnya, karena atas dasar pertimbangan etis dan kemanusiaan kita tidak
mungkin mengadakan percobaan pada manusia, hewan-hewan tertentu yang
menjadi kelinci percobaan, dianggap mewakili percobaan pada manusia.) Ini
diperlukan karena suatu teori ilmiah haruslah ber sifat umum dan universal, tidak
berkenaan dengan satu atau dua objek tapi dengan sebanyak-banyaknya objek.
Generalisasi, dan juga abstraksi, adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ilmu
pengetahuan. Asumsi kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal
yang berulang kali terjadi.

Andaikata ilmu pengetahuan diarahkan kepada hal-hal unik, yang hanya


sekali saja terjadi maka pengeta huannya tidak akan membantu kita untuk
meramalkan atau memas- tikan hal-hal yang akan terjadi. Padahal, ramalan
(prediksi) justru merupakan salah satu tujuan terpenting ilmu pengetahuan. Di
dalam setiap penjelasan (teori atau hukum) ilmiah sudah terkandung prediksi.

6
Dalam salah satu epigramnya ("From Science comes Prevision, from Pre- vision
comes Control"), Comte menggambarkan hubungan prediksi dan penjelasan
ilmiah sebagai berikut: "Karena penjelasan ilmiah merupakan sisi depan prediksi,
penje- lasan ilmiah itu meletakkan dasar bagi pengendalian instrumental atas
fenomena dengan cara memberikan jenis informasi yang akan memungkinkan
orang memanipulasi variabel-variabel tertentu untuk menciptakan keadaan atau
untuk mencegah terciptanya keadaan itu."

Asumsi ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti setiap fenomena atau


kejadian alam dari saling ketergantungan dan antarhubungannya dengan
fenomena-fenomena atau kejadian-kejadian lain. Mereka di- andaikan saling
berhubungan satu sama lain dan membentuk suatu sistem yang bersifat mekanis.
Maka perhatian utama ilmuwan bukan diarahkan pada hakikat dari gejala-gejala
atau kejadian-kejadian, melainkan pada relasi-relasi luar (eksternal), khususnya
relasi sebab- akibat (kausal), antara benda-benda, gejala-gejala atau kejadian-ke-
jadian. Gejala-gejala alam tidak ditinjau secara terpisah, tetapi sejauh mereka
merupakan suatu jaringan relasi-relasi yang bersifat tertentu dan konstan.

Ketiga asumsi tersebut di atas pada prinsipnya dilandasi oleh keya- kinan
ontologis Comte yang bersifat naturalistik dan deterministik, yakni bahwa
segenap gejala dan kejadian, tanpa kecuali, tunduk pada alam. Hukum ini
berjalan secara mekanis dan menentukan bukan hanya gejala dan kejadian yang
bersifat fisis atau inorganis, te- tapi juga gejala dan kejadian yang bersifat psikis
(psikologis) dan organis. Gejala manusia bukanlah kekecualian. John Stuart Mill,
salah seorang pengikut positivisme Comte, dengan baik sekali menjelaskan hal
itu. Mengacu pada gejala sosial manusiawi, ia menyuarakan apa yang hendak
dikatakan Comte:

Gejala masyarakat manusia tunduk pada hukum-hukumnya sendiri, tapi


sebetulnya tidak melulu tergantung pada itu: mereka tergantung pada segenap
hukum kehidupan organik dan hewani, bersama-sama dengan hukum-hukum
alam inorganik. Yang te akhir ini mempengaruhi masyarakat bukan hanya pada
kehidup nya, tapi juga dengan menentukan kondisi-kondisi fisik yang
memungkinkan masyarakat bergerak.

7
Selain itu, Comte pun mempunyai keyakinan epistemologis da atau
metodologis yang sangat kuat. Penolakan Comte atas cara berpik teologis dan
metafisis, serta usahanya untuk merumuskan suatu il pengetahuan positif yang
bersifat objektif, ilmiah, dan universal, pa membawa dirinya pada ilmu pasti (the
science of number Studinya yang mendalam mengenai ilmu ini mendorong dia
pad kesimpulan bahwa ilmu pasti mampunyai tingkat kebenaran ya sangat tinggi
(The truth of number are true of all things, and depend only on their on laws),
bebas dari penilaian-penilaian subjektif, da berlaku universal.

Oleh sebab itu, suatu penjelasan tentang fenome tanpa disertai perhitungan
ilmu pasti adalah non-sense belaka. Tapi ilmu pasti (matematika dan atau
statistika) ilmu pengetahuan an kembali menjadi metafisika.

2.3. Pengaruh Positivisme Auguste Comte


Positivisme merupakan pradigma ilmu pengetahuan yang paling awal
muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari
paham ontologi yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan
yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Upaya penelitian dalam
hal ini adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada dan bagaimana
realitas tersebut senyatanya berjalan. Positivisme muncul abad ke-19 dimotori
oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah yang ada dan bagaimana realitas
tersebut senyatanya berjalan. Dengan buah karyanya yang terdiri dari enam jilid
dengan judul The course of positive philosophy (1830-1842). Positivisme
merupakan peruncingan tren pemikiran sejarah barat modern yang telah mulai
menyingsing sejak ambruknya tatanan dunia pada Abad pertengahan, melalui
rasionalisme dan empirisme.

Positivisme adalah sorotan yang khususnya terhadap metodologi dalam


refleksi filsafatnya. Dalam positivisme kedudukan pengetahuan diganti
metodologi, dan satu-satunya metodologi yang berkambang secara menyakinkan
sejak renaissance, dan sumber pada masa Aufklarung adalah metodologi ilmu-
ilmu alam. Oleh karena itu, positivisme menempatkan metodologi ilmu alam
pada ruang yang dulunya menjadi wilayah refleksi epistemology, yaitu
pengetahuan manusia tentang kenyataan. Filsafat positivistik Comte tampil dalam

8
studinya tentang sejarah perkembangan alam fikiran manusia. Matematika bukan
ilmu, melainkan alat berfikir logik. Aguste Comte terkenal dengan penjenjangan
sejarah perkembangan alam fikir manusia, yaitu teologik, metaphisik, dan positif.

Pada jenjang teologik, manusia memandang bahwa segala sesuatu itu


hidup dengan kemauan dan kehidupan seperti dirinya. Jenjang teologik ini
dibedakan menjadi tiga tahap, yaitu :

 Animism atau fetishisme. Memandang bahwa setiap benda itu memiliki


kemauannya sendiri.
 Polytheisme. Memandang sejumlah dewa memiliki kemauannya pada
sejumlah obyek.
 Monotheisme. Memandang bahwa ada satu Tuhan yang menampilkan
kemauannya pada beragam obyek.

Meski Comte sendiri seorang ahli matematika, tetapi Comte memandang


bahwa matematika bukan ilmu, hanya alat berfikir logik, dan matematika memang
dapat digunakan untuk menjelaskan phenomena, tetapi dalam praktik phenomena
memang lebih kompleks

Namun di bawah ini akan sebutkan beberapa pengaruh positivisme,


meskipun tentu saja pengaruh itu belum tentu secara langsung. Dan dari Koento
Wibisono, dalam disertasinya yang berjudul Arti Perkembangan Menurut Filsafat
Positivisme Auguste Comte. Menurut pengamatan ahli filsafat barat ini,
konstribusi filsafat positivisme Comte terhadap kebudayaan barat, paling tidak
tampak dari :

a. Semakin tebalnya optimisme masyarakat barat yang telah timbul sejak


jaman Aufklarung mengenai hari depan umat manusia yang semakin baik
atau maju.
b. Semangat eksploratif dan ilmiah para ilmuwan sedemikian rupa, sehingga
mendorong lahirnya model-model ilmu pengetahuan yang positif, yang
lepas dari muatan-muatan spekulatif.

9
c. Konsepsi yang semakin meluas tentang kemajuan atau modernisasi yang
menitik beratkan pada kemajuan dan modernisasi dalam bidang ekonomi,
fisik, dan teknologi.
d. Menguatnya golongan teknokrat dan industriawan dalam pemerintahan.

Beberapa pengaruh tersebut, tentu saja di luar pengaruh positivisme Comte


di dalam sejarah filsafat, di samping konstribusinya dalam melahirkan sebuah
ilmu yang disebut “fisika sosial” atau sosiologi, serta positivisme ilmu-ilm sosial
dan humaniora. Diperlukan karangan tersendiri yang cukup panjang untuk
membahas hal itu.

2.4. Beberapa Permasalahan Praktis Di Seputar Positivisme


Hal yang sama terjadi dalam kehidupan sehari-hari adalah tentang nilai
hidup manusia yang dimaterialisasikan. Apabila tolak ukur keberhasilan
pembangungan adalah kemajuan di bidang fisik material, maka sasaran atau
orientasi hidup manusia ditujukan untuk mendapatkan sebanyak banyaknya
material. Nilai dalam kesenian juga yang menjadi persoalan seperti, nilai suatu
estetik karya seni tidak lagi karena nilai intrinsiknya, melainkan karena nilai
ekonomisnya.

Auguste comte membagi tiga asumsi dasar ilmu pengetahuan positif yaitu

1. Ilmu pengetahuan harus bersifat objektif, yang mana objektivitas


berlangsung kepada subjek dan objek ilmu pengetahuan. Pihak subjek
seperti, ilmuan yang mana tidak dapat membiarkan terpengaruh oleh
pendapat pribadi, penilaian etis, kepercayaan agama, kepentingan
kelompok, filsafat, ataupun yang dapat mempengaruhi objektivitas dari
objek yang sedang diobservasi.
Pihak objek yaitu, aspek dan dimensi lain yang tidak bisa diukur dalam
observasi misalnya roh atau jiwa yang tidak dapat ditoleransi
keberadaannya.
2. Ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal yang terjadi berulang kali,
tidak berurusan dengan hal yang unik dan yang terjadi hanya sekali

10
sebab, hal itu tidak akan membantu untuk meramalkan sesuatu yang akan
terjadi.
3. Ilmu pengetahuan mengamati setiap kejadian alam yang lain. Hal ini
diandaikan seperti saling berhubungan dan membentuk suatu sistem yang
bersifat mekanis. Oleh karena itu, perhatian ilmuan tidak diletakan pada
hakikat atau esensi, melainkan pada relasi-relasi luar yakni relasi sebab
akibat antar benda-benda atau kejadian-kejadian alam.

Kelemahan positivisme adalah menghindari berfikir secara naqliah atau


berfikis mengikuti prinsip-prinsip dari tauhid, ayat, dan hadist. Hal ini kebenaran
yang paling hakiki adalah dari Tuhan yang menciptakan seluruh jagat raya dan
beserta isinya. Hasil akhir positivisme bisa dikatakan hanya kesenangan duniawi
yang mana adanya terjadi resah, renggut dan rusak.

Positivisme menerima gagasan tentang metode ilmiah tunggah yang dapat


diterapkan pada seluruh bidang studi. Ilmu fisika dijadikan sebagai standar
kepastian untuk disiplin ilmu pada positivisme. Aliran kritis menentang
positivisme karena cenderung melihat kehidupan sosial sebagai proses alamiah.
Positivisme dianggap mengabaikan aktor, menurunkan aktor ke derajat yang
pasif atau ditentukan oleh kekuatan ilmiah. Menurut mereka, sifat yang khas dari
aktor yang mana teoritisi kritik tidak dapat menerima gagasan bahwa hukum
umum sains dapat diterapkan terhadap tindakan manusia begitu saja. Kemudian
positivisme ini hanya menilai alat untuk mencapai tujuan tertentu, tidak membuat
penilaian yang serupa terhadap tujuan.

11
BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan

12
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. Filsafat Manusia : Memahami Manusia Melalui Filsafat. 2000.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya

13

Anda mungkin juga menyukai