REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22/PRT/M/2018
TENTANG
PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN
PERUMAHAN RAKYAT TENTANG PEDOMAN PEMBANGUNAN
BANGUNAN GEDUNG NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Bangunan Gedung Negara adalah bangunan gedung
untuk keperluan dinas yang menjadi barang milik negara
atau daerah dan diadakan dengan sumber pembiayaan
yang berasal dari dana APBN, APBD, dan/atau perolehan
lainnya yang sah.
2. Pembangunan Bangunan Gedung Negara adalah kegiatan
mendirikan Bangunan Gedung Negara yang
diselenggarakan melalui tahap perencanaan teknis,
pelaksanaan konstruksi, dan pengawasannya, baik
merupakan pembangunan baru, perawatan bangunan
gedung, maupun perluasan bangunan gedung yang
Pasal 2
(1) Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai petunjuk
pelaksanaan Pembangunan Bangunan Gedung Negara.
(2) Peraturan Menteri ini bertujuan untuk:
a. mewujudkan Bangunan Gedung Negara yang sesuai
dengan fungsinya;
b. memenuhi persyaratan keselamatan, kesehatan,
kenyamanan, kemudahan, efisien dalam
penggunaan sumber daya, serasi dan selaras dengan
lingkungannya; dan
c. mewujudkan penyelenggaraan Bangunan Gedung
Negara yang tertib, efektif, dan efisien.
(3) Lingkup Peraturan Menteri ini adalah:
a. persyaratan Bangunan Gedung Negara;
b. klasifikasi, standar luas, dan standar jumlah lantai;
c. pembiayaan Pembangunan Bangunan Gedung
Negara;
BAB II
PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
Setiap Bangunan Gedung Negara harus memenuhi
persyaratan:
a. administratif; dan
b. teknis.
Bagian Kedua
Persyaratan Administratif
Pasal 4
(1) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf a meliputi:
a. status hak atas tanah dan/atau izin pemanfaatan
dari pemegang hak atas tanah;
b. status kepemilikan bangunan gedung; dan
c. izin mendirikan bangunan (IMB) gedung.
(2) Selain persyaratan administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bangunan Gedung Negara harus dilengkapi
dengan:
a. dokumen pendanaan;
b. dokumen perencanaan;
c. dokumen pembangunan; dan
d. dokumen pendaftaran.
Pasal 5
(1) Setiap Bangunan Gedung Negara yang berdiri sebagian
atau seluruhnya di atas dan/atau di bawah tanah, air,
dan/atau prasarana dan sarana umum harus memiliki
kejelasan status hak atas tanah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a.
(2) Status hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat berupa:
a. sertifikat tanah; dan/atau
b. bukti izin pemanfaatan atas tanah dari pemegang
hak atau pengelola barang negara atau daerah atas
tanah kepada K/L dan OPD yang bersangkutan.
Pasal 6
(1) Status kepemilikan bangunan gedung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b merupakan
bukti kepemilikan bangunan gedung sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Status kepemilikan bangunan gedung dapat berupa:
a. surat bukti kepemilikan bangunan gedung; atau
b. surat penetapan izin pemanfaatan dari pemegang
hak atau pengelola barang negara atau daerah atas
bangunan gedung.
Pasal 7
(1) Izin mendirikan bangunan (IMB) gedung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c diterbitkan oleh
pemerintah kabupaten atau kota atau pemerintah
provinsi untuk DKI Jakarta, dan Menteri untuk
bangunan gedung fungsi khusus.
(2) Izin mendirikan bangunan (IMB) gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dikenai retribusi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangan tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.
Pasal 9
(1) Dokumen perencanaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) huruf b merupakan hasil penyusunan
rencana teknis pada tahap perencanaan teknis.
(2) Dokumen perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disiapkan melalui:
a. penyedia jasa; dan/atau
b. tim swakelola.
Pasal 10
Dokumen pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (2) huruf c terdiri atas:
a. dokumen perencanaan;
b. dokumen pelaksanaan konstruksi; dan
c. Sertifikat Laik Fungsi.
Pasal 11
(1) Dokumen pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) huruf d berupa Surat Keterangan Bukti
Pendaftaran Bangunan Gedung Negara.
(2) Dokumen pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilengkapi dengan:
a. surat permohonan pendaftaran Bangunan Gedung
Negara;
b. daftar inventaris Bangunan Gedung Negara;
c. kartu leger Bangunan Gedung Negara;
d. gambar leger dan situasi;
e. foto bangunan; dan
f. lampiran berupa dokumen pembangunan.
Bagian Ketiga
Persyaratan Teknis
Pasal 12
(1) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf b meliputi:
a. tata bangunan; dan
b. keandalan bangunan.
(2) Selain persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), bangunan gedung negara harus memenuhi
ketentuan:
a. klasifikasi;
b. standar luas; dan
c. standar jumlah lantai.
(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi ketentuan spesifikasi komponen
bangunan gedung.
(4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(5) Spesifikasi komponen bangunan gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) mempertimbangkan:
a. persyaratan arsitektur bangunan;
BAB III
KLASIFIKASI, STANDAR LUAS, DAN STANDAR JUMLAH
LANTAI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 13
Bangunan Gedung Negara dalam memenuhi klasifikasi,
standar luas, dan standar jumlah lantai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dikelompokkan menjadi:
a. bangunan gedung kantor,
b. Rumah Negara, dan
c. Bangunan Gedung Negara lainnya.
Bagian Kedua
Klasifikasi
Pasal 14
(1) Klasifikasi Bangunan Gedung Negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 meliputi:
a. bangunan sederhana;
b. bangunan tidak sederhana; dan
c. bangunan khusus.
(2) Bangunan Gedung Negara dengan klasifikasi sederhana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan
bangunan gedung dengan teknologi dan spesifikasi
sederhana meliputi:
Bagian Ketiga
Standar Luas
Pasal 15
(1) Standar Luas bangunan gedung kantor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 huruf a sebesar rata-rata 10
(sepuluh) meter persegi per personel.
(2) Jumlah personel sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung berdasarkan struktur organisasi yang telah
mendapat persetujuan menteri yang melaksanakan
urusan pemerintahan dibidang pendayagunaan aparatur
negara dan reformasi birokrasi.
(3) Standar luas ruang bangunan gedung kantor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
Pasal 16
(1) Standar luas Rumah Negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 huruf b ditetapkan sesuai dengan tipe
Rumah Negara yang didasarkan pada tingkat jabatan dan
golongan atau pangkat penghuni.
(2) Standar tipe dan luas Rumah Negara bagi pejabat dan
pegawai negeri ditetapkan sebagai berikut:
a. tipe Khusus diperuntukkan bagi Menteri, Pimpinan
Lembaga Tinggi Negara, atau pejabat yang setingkat
dengan menteri, dengan luas bangunan 400 m2
(empat ratus meter persegi) dan luas tanah 1000 m2
(seribu meter persegi);
b. tipe A diperuntukkan bagi Sekretaris Jenderal,
Direktur Jenderal, Inspektur Jenderal, pejabat yang
setingkat, atau Anggota Lembaga Tinggi Negara atau
Dewan dengan luas bangunan 250 m2 (dua ratus
lima puluh meter persegi) dan luas tanah 600 m2
(enam ratus meter persegi);
c. tipe B diperuntukkan bagi Direktur, Kepala Biro,
Kepala Pusat, Pejabat yang setingkat atau Pegawai
Negeri Sipil Golongan IV/d dan IV/e, dengan luas
bangunan 120 m2 (seratus dua puluh meter persegi)
dan luas tanah 350 m2 (tiga ratus lima puluh meter
persegi);
d. tipe C diperuntukkan bagi Kepala Sub Direktorat,
Kepala Bagian, Kepala Bidang, Pejabat yang
setingkat, atau Pegawai Negeri Sipil Golongan IV/a
dan IV/c, dengan luas bangunan 70 m2 (tujuh puluh
meter persegi) dan luas tanah 200 m2 (dua ratus
meter persegi;
e. tipe D diperuntukkan bagi Kepala Seksi, Kepala Sub
Bagian, Kepala Sub Bidang, Pejabat yang setingkat,
atau Pegawai Negeri Sipil Golongan III, dengan luas
bangunan 50 m2 (lima puluh meter persegi) dan luas
tanah 120 m2 (seratus dua puluh meter persegi); dan
f. tipe E diperuntukkan bagi Pegawai Negeri Sipil
Golongan I dan Golongan II, dengan luas bangunan
36 m2 (tiga puluh enam meter persegi) dan luas
tanah 100 m2 (seratus meter persegi).
Pasal 17
(1) Bangunan gedung negara lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 huruf c meliputi:
a. bangunan gedung pendidikan;
b. bangunan gedung pendidikan dan pelatihan;
c. bangunan gedung pelayanan kesehatan;
d. bangunan gedung parkir; dan
e. bangunan gedung pasar.
Bagian Keempat
Standar Jumlah Lantai
Pasal 18
(1) Jumlah lantai Bangunan Gedung Negara, ditetapkan
paling banyak 8 (delapan) lantai.
(2) Jumlah lantai bangunan gedung negara sebagaimana
dimaksud ayat (1) dihitung dari ruang yang dibangun di
atas permukaan tanah terendah.
(3) Dalam hal Bangunan Gedung Negara yang dibangun
lebih dari 8 (delapan) lantai, harus mendapat persetujuan
terlebih dahulu dari Menteri.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diberikan dengan mempertimbangkan:
a. kebutuhan;
b. peraturan daerah setempat terkait ketinggian
bangunan atau jumlah lantai; dan
c. koefisien perbandingan antara nilai harga tanah
dengan nilai harga bangunan gedung.
BAB IV
PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG
NEGARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 19
(1) Pembiayaan Pembangunan Bangunan Gedung Negara
meliputi:
a. komponen biaya pembangunan bangunan gedung
negara;
b. biaya standar dan biaya nonstandar;
c. standar harga satuan tertinggi;
d. biaya pekerjaan lain yang menyertai atau
melengkapi pembangunan; dan
e. biaya pembangunan dalam rangka perawatan.
(2) Pembiayaan Pembangunan Bangunan Gedung Negara
harus dituangkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran (DIPA) atau Daftar Pelaksanaan Anggaran
(DPA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
(3) Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) atau Daftar
Pelaksanaan Anggaran (DPA) sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) meliputi:
a. perencanaan teknis;
b. pelaksanaan konstruksi fisik;
c. manajemen konstruksi atau pengawasan konstruksi;
dan
d. pengelolaan kegiatan.
Bagian Kedua
Komponen Biaya Pembangunan
Paragraf 1
Umum
Pasal 20
(1) Komponen biaya Pembangunan Bangunan Gedung
Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
huruf a meliputi:
a. biaya pelaksanaan konstruksi;
b. biaya perencanaan teknis;
c. biaya pengawasan teknis; dan
d. biaya pengelolaan kegiatan.
(2) Biaya perencanaan teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, biaya pengawasan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, dan biaya pengelolaan
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
dihitung berdasarkan persentase terhadap biaya
pelaksanaan konstruksi sesuai dengan klasifikasi
Bangunan Gedung Negara.
(3) Ketentuan mengenai besaran persentase komponen biaya
pembangunan Bangunan Gedung Negara terhadap biaya
konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Paragraf 2
Biaya Pelaksanaan Konstruksi
Pasal 21
(1) Biaya pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a merupakan biaya paling
banyak yang digunakan untuk membiayai pelaksanaan
konstruksi fisik Bangunan Gedung Negara.
Paragraf 3
Biaya Perencanaan Teknis
Pasal 22
(1) Biaya perencanaan teknis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (1) huruf b merupakan biaya paling banyak
yang digunakan untuk membiayai perencanaan
Bangunan Gedung Negara.
(2) Biaya perencanaan teknis dihitung secara orang per
bulan dan biaya langsung yang dapat diganti, sesuai
dengan ketentuan biaya langsung personel (billing rate).
(3) Biaya perencanaan teknis ditetapkan dari hasil seleksi
atau penunjukan langsung pekerjaan yang bersangkutan
yang meliputi:
a. honorarium tenaga ahli dan tenaga penunjang;
b. materi dan penggandaan laporan;
c. pembelian dan sewa peralatan;
d. sewa kendaraan;
e. biaya rapat;
f. perjalanan lokal maupun luar kota;
g. biaya komunikasi;
h. asuransi atau pertanggungan (professional indemnity
insurance); dan
i. pajak dan iuran daerah lainnya.
(4) Pembayaran biaya perencanaan teknis didasarkan pada
pencapaian prestasi atau kemajuan perencanaan setiap
tahapan yang meliputi:
a. tahap konsepsi perancangan sebesar 10% (sepuluh
per seratus);
b. tahap pra rancangan sebesar 20% (dua puluh per
seratus);
c. tahap pengembangan rancangan sebesar 25% (dua
puluh lima per seratus);
d. tahap rancangan detail meliputi penyusunan
rancangan gambar detail dan penyusunan Rencana
Kerja dan Syarat (RKS), serta Rencana Anggaran
Paragraf 4
Biaya Pengawasan Teknis
Pasal 23
Biaya pengawasan teknis sebagaimana dimaksud dalam pasal
20 ayat (1) huruf c berupa:
a. biaya pengawasan konstruksi; atau
b. biaya manajemen konstruksi.
Pasal 24
(1) Biaya pengawasan konstruksi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 23 huruf a merupakan biaya paling banyak
yang digunakan untuk membiayai kegiatan pengawasan
konstruksi Pembangunan Bangunan Gedung Negara.
(2) Biaya pengawasan konstruksi dihitung secara orang per
bulan dan biaya langsung yang bisa diganti, sesuai
dengan ketentuan biaya langsung personel (billing rate).
(3) Biaya pengawasan konstruksi ditetapkan dari hasil
seleksi atau penunjukan langsung pekerjaan yang
bersangkutan yang meliputi:
a. honorarium tenaga ahli dan tenaga penunjang;
b. materi dan penggandaan laporan;
c. pembelian dan atau sewa peralatan;
d. sewa kendaraan;
e. biaya rapat;
f. perjalanan lokal dan luar kota;
g. biaya komunikasi;
Paragraf 5
Biaya Manajemen Konstruksi
Pasal 25
(1) Biaya manajemen konstruksi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 23 huruf b merupakan biaya paling banyak
yang digunakan untuk membiayai kegiatan manajemen
konstruksi Pembangunan Bangunan Gedung Negara.
(2) Besarnya biaya manajemen konstruksi dihitung secara
orang per bulan dan biaya langsung yang bisa diganti,
sesuai dengan ketentuan biaya langsung personel (billing
rate).
Paragraf 6
Biaya Pengelolaan Kegiatan
Pasal 26
(1) Biaya pengelolaan kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat 1 huruf d merupakan biaya paling
banyak yang digunakan untuk membiayai kegiatan
pengelolaan kegiatan Pembangunan Bangunan Gedung
Negara.
(2) Biaya pengelolaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) digunakan untuk biaya operasional unsur K/L
atau OPD.
(3) Biaya operasional unsur K/L atau OPD digunakan untuk
keperluan:
a. honorarium staf dan panitia lelang;
b. perjalanan dinas;
c. rapat;
d. proses pelelangan;
e. bahan dan alat yang berkaitan dengan pengelolaan
kegiatan sesuai dengan pentahapannya;
f. penyusunan laporan;
g. dokumentasi; dan
h. persiapan dan pengiriman kelengkapan administrasi
atau dokumen pendaftaran Bangunan Gedung
Negara.
Bagian Ketiga
Biaya Standar dan Biaya Nonstandar
Pasal 27
(1) Biaya standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1) huruf b digunakan untuk pelaksanaan
konstruksi fisik standar pekerjaan meliputi:
a. arsitektur;
b. struktur;
c. utilitas; dan
d. perampungan (finishing).
(2) Utilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
meliputi pekerjaan pemipaan (plumbing), dan jaringan
instalasi penerangan.
(3) Pelaksanaan konstruksi fisik pekerjaan standar
Bangunan Gedung Negara dibagi dalam komponen
pekerjaan standar yang merupakan persentase dari biaya
standar.
(4) Persentase komponen pekerjaan standar sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) untuk Bangunan Gedung Kantor
meliputi:
a. pekerjaan fondasi sebesar 5% (lima per seratus)
sampai dengan 10% (sepuluh per seratus);
b. pekerjaan struktur sebesar 25% (dua puluh lima per
seratus) sampai dengan 35% (tiga puluh lima per
seratus);
c. pekerjaan lantai sebesar 5% (lima per seratus)
sampai dengan 10% (sepuluh per seratus);
d. pekerjaan dinding sebesar 7% (tujuh per seratus )
sampai dengan 10% (sepuluh per seratus);
e. pekerjaan plafon sebesar 6% (enam per seratus)
sampai dengan 8% (delapan per seratus);
f. pekerjaan atap sebesar 8% (delapan per seratus)
sampai dengan 10% (sepuluh per seratus);
g. pekerjaan utilitas sebesar 5% (lima per seratus)
sampai dengan 8% (delapan per seratus); dan
h. pekerjaan perampungan (finishing) sebesar 10%
(sepuluh per seratus) sampai dengan 15% (lima
belas per seratus).
(5) Persentase komponen pekerjaan standar sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) untuk Rumah Negara meliputi:
a. pekerjaan fondasi sebesar 3% (tiga per seratus)
sampai dengan 7% (tujuh per seratus);
Pasal 28
(1) Biaya nonstandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1) huruf b digunakan untuk pelaksanaan
konstruksi fisik nonstandar, perizinan selain Izin
Mendirikan Bangunan (IMB), dan penyambungan utilitas.
(2) Biaya nonstandar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk pelaksanaan konstruksi fisik nonstandar meliputi
pekerjaan:
a. penyiapan dan pematangan lahan;
b. peningkatan pekerjaan arsitektur bangunan;
c. peningkatan pekerjaan struktur bangunan;
d. khusus kelengkapan bangunan yang terdiri atas
pekerjaan mekanikal dan pekerjaan elektrikal;
dan/atau
e. khusus bangunan gedung ramah lingkungan (green
building).
(3) Biaya nonstandar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
digunakan untuk pekerjaan:
a. alat pengondisian udara;
b. lift, eskalator, dan/atau lantai berjalan (moving
walk);
c. tata suara (sound system);
d. telepon dan perangkat penyambungan komunikasi
telepon (private automatic branch exchange atau
PABX);
Pasal 29
(1) Biaya nonstandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1) dapat berpedoman pada rincian persentase
sebagai berikut:
a. alat pengkondisian udara ditetapkan sebesar 7%
(tujuh per seratus) sampai dengan 15% (lima belas
per seratus) dari keseluruhan biaya standar;
Bagian Keempat
Standar Harga Satuan Tertinggi
Pasal 30
(1) Standar Harga Satuan Tertinggi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (1) huruf c meliputi:
a. harga satuan tertinggi pembangunan bangunan
gedung kantor dan gedung negara lainnya;
b. harga satuan tertinggi pembangunan Rumah
Negara; dan
c. harga satuan tertinggi pembangunan pagar
bangunan gedung kantor dan gedung negara lainnya
dan pagar Rumah Negara.
(2) Standar Harga Satuan Tertinggi Pembangunan Bangunan
Gedung Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a terdiri atas klasifikasi sederhana dan tidak
sederhana.
(3) Standar Harga Satuan Tertinggi pembangunan Rumah
Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
terdiri atas:
a. Standar Harga Satuan Tertinggi Pembangunan
Bangunan Rumah Negara dengan klasifikasi
sederhana terdiri atas Tipe C, Tipe D, dan Tipe E;
b. Standar Harga Satuan Tertinggi Pembangunan
Bangunan Rumah Negara dengan klasifikasi tidak
sederhana per m2 terdiri atas:
1. Tipe A dan Tipe B;
2. Tipe C, Tipe D, dan Tipe E dengan jumlah lantai
lebih dari 2 (dua); dan
3. Rumah Negara yang berupa rumah susun.
(4) Rumah Negara yang berupa rumah susun sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) huruf b angka 3 menggunakan
Standar Harga Satuan Tertinggi pembangunan bangunan
gedung kantor dan gedung negara lainnya dengan
klasifikasi tidak sederhana.
(5) Standar Harga Satuan Tertinggi pembangunan Pagar
Bangunan Gedung kantor dan bangunan gedung negara
Pasal 31
(1) Dalam hal Bangunan Gedung Negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a memerlukan
bangunan atau ruang dengan fungsi yang meliputi fungsi
bangunan atau ruang sidang, ICU (Intensive Care Unit),
ICCU (Intensive Coronary Care Unit), Instalasi Gawat
Darurat (IGD), CMU (Central Medical Unit), dan NICU
(Neonate Intensive Care Unit), ruang operasi, radiologi,
Pasal 32
(1) Standar Harga Satuan Tertinggi untuk Bangunan
Gedung Negara dengan klasifikasi bangunan khusus
sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (1) huruf c,
ditetapkan berdasarkan Rincian Anggaran Biaya (RAB)
yang dihitung sesuai dengan tingkat kekhususan atau
spesifikasi teknis, kebutuhan nyata, dan kewajaran harga
yang berlaku.
(2) Standar Harga Satuan Tertinggi untuk Bangunan
Gedung Negara dengan klasifikasi bangunan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh K/L
atau OPD kepada Direktur Bina Penataan Bangunan
Direktorat Jenderal Cipta Karya untuk ditetapkan.
Bagian Kelima
Biaya Pekerjaan Lain yang Menyertai atau Melengkapi
Pembangunan Bangunan Gedung Negara
Pasal 33
(1) Biaya pekerjaan lain yang menyertai atau melengkapi
Pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1) huruf d merupakan biaya pekerjaan yang terkait
Bagian Keenam
Biaya Pembangunan untuk Perawatan
Pasal 34
(1) Biaya pembangunan untuk perawatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf e dihitung
berdasarkan tingkat kerusakan bangunan gedung.
(2) Tingkat kerusakan pada bangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling banyak:
a. 30% (tiga puluh per seratus) untuk kerusakan
ringan;
b. 45% (empat puluh per seratus) untuk kerusakan
sedang; dan
c. 65% (enam puluh lima per seratus) untuk
kerusakan berat.
(3) Tingkat kerusakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Direktorat Bina
Penataan Bangunan Direktorat Jenderal Cipta Karya
untuk tingkat nasional atau OPD setempat yang
bertanggung jawab terhadap pembinaan bangunan
gedung untuk tingkat daerah provinsi atau daerah
kabupaten atau kota.
(4) Biaya pembangunan untuk perawatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang termasuk kategori
bangunan cagar budaya, besarnya biaya perawatan
dihitung sesuai dengan kebutuhan nyata.
BAB V
PENYELENGGARA PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG
NEGARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 35
Penyelenggara Pembangunan Bangunan Gedung Negara
terdiri atas:
Bagian Kedua
Pengguna Anggaran
Pasal 36
(1) Penguna anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 huruf a meliputi:
a. K/L;
b. OPD; dan
c. Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik
Daerah.
(2) Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
sebagai penyelenggara Pembangunan Bangunan Gedung
Negara untuk keperluan dinas, yang mempunyai program
dan pembiayaan tahunan dalam hal mendapatkan
penyertaan modal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
dalam bentuk Pembangunan Bangunan Gedung Negara.
(3) Pengguna Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung jawab untuk:
a. menyusun dokumen pendanaan pembangunan
Bangunan Gedung Negara; dan
b. melaksanakan pembangunan, mengendalikan
pembangunan, dan memanfaatkan bangunan.
(4) Pengguna Anggaran dapat melimpahkan pelaksanaan
penyelenggaraan pembangunannya kepada K/L atau
OPD Pembina Teknis setempat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam penyelenggaraan Pembangunan Bangunan
Gedung Negara, pengguna anggaran membentuk
organisasi pengelola kegiatan dan tata laksana pengelola
kegiatan.
Pasal 37
(1) Organisasi dan tata laksana pengelola kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5) terdiri
atas:
a. Kuasa Pengguna Anggaran atau Kepala Satuan Kerja
atau Pejabat Pembuat Komitmen yaitu pejabat yang
ditetapkan oleh Pengguna Anggaran;
b. pengelola keuangan yaitu bendahara yang
ditetapkan oleh Pengguna Anggaran;
c. pejabat verifikasi yang ditetapkan oleh Pengguna
Anggaran;
d. pengelola administrasi yaitu staf yang ditetapkan
oleh Kuasa Pengguna Anggaran atau Kepala Satuan
Kerja; dan
e. pengelola teknis yang ditetapkan oleh Kuasa
Pengguna Anggaran atau Kepala Satuan Kerja.
(2) Pengelola kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, sampai dengan huruf d melaksanakan tugas dan
fungsinya sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Pengelola Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e berfungsi membantu Kuasa Pengguna Anggaran
atau Kepala Satuan Kerja atau Pejabat Pembuat
Komitmen dibidang teknis administratif pada setiap
tahap Pembangunan Bangunan Gedung Negara.
(4) Pengelola Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
bertugas pada:
a. kegiatan persiapan dan tahap perencanaan teknis;
b. tahap pelaksanaan konstruksi; dan
c. kegiatan pasca konstruksi.
(5) Tugas pengelola kegiatan pada kegiatan persiapan dan
tahap perencanaan teknis sebagaimana dimaksud ayat
(4) huruf a terdiri atas:
a. menyiapkan dan menetapkan organisasi kegiatan;
b. menyiapkan bahan, menetapkan waktu, dan
menetapkan strategi penyelesaian kegiatan;
Bagian Ketiga
Penyedia Jasa Konstruksi
Pasal 38
(1) Penyedia Jasa Konstruksi pembangunan bangunan
gedung negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
huruf b terdiri atas:
a. penyedia jasa perencanaan konstruksi;
b. penyedia jasa pelaksanaan konstruksi;
c. penyedia jasa pengawasan konstruksi; dan/atau
d. penyedia jasa manajemen konstruksi.
(2) Ketentuan tentang kegiatan dan tugas penyedia jasa
konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Bagian Keempat
Hubungan Kerja Pengguna Jasa dengan Penyedia Jasa
Pasal 39
(1) Kuasa Pengguna Anggaran, Kepala Satuan Kerja atau
Pejabat Pembuat Komitmen sebagaimana dimaksud
BAB VI
TAHAPAN PEMBANGUNAN
BANGUNAN GEDUNG NEGARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 40
(1) Pembangunan Bangunan Gedung Negara meliputi
tahapan:
a. perencanaan teknis;
b. pelaksanaan konstruksi; dan
c. pengawasan teknis.
(2) Tahapan Pembangunan Bangunan Gedung Negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diawali dengan
kegiatan persiapan dan diikuti dengan kegiatan pasca
konstruksi.
(3) Kegiatan persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terdiri atas penyusunan:
a. rencana kebutuhan pembangunan;
b. rencana pendanaan; dan
c. rencana penyediaan dana.
(4) Kegiatan pasca konstruksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) terdiri atas:
a. persiapan untuk mendapatkan status barang milik
negara dari pengelola barang;
b. mendapatkan Sertifikat Laik Fungsi; dan
c. pendaftaran sebagai Bangunan Gedung Negara.
Bagian Kedua
Kegiatan Persiapan
Pasal 41
(1) Rencana kebutuhan pembangunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf a harus
mendapatkan persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat
dari:
a. Menteri Keuangan untuk Pembangunan Bangunan
Gedung Negara yang pendanaannya bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau
perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi
Barang Milik Negara;
b. Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dalam negeri untuk Pembangunan
Bangunan Gedung Negara yang pendanaannya
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Provinsi dan/atau perolehan lainnya yang
sah yang akan menjadi Barang Milik Daerah; atau
c. Gubernur untuk Pembangunan Bangunan Gedung
Negara yang pendanaannya bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten atau Kota dan/atau perolehan lainnya
yang sah yang akan menjadi Barang Milik Daerah.
Pasal 42
(1) Rencana pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 ayat (3) huruf b harus mendapatkan rekomendasi.
(2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan oleh:
a. Menteri untuk Pembangunan Bangunan Gedung
Negara yang pendanaannya bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau
perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi
Barang Milik Negara;
b. Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dalam negeri untuk Pembangunan
Bangunan Gedung Negara yang pendanaannya
Pasal 43
(1) Rencana penyediaan dana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (3) huruf c dilakukan oleh K/L atau OPD
Pengguna Anggaran.
(2) Rencana penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa:
a. rencana kerja dan anggaran K/L untuk
Pembangunan Bangunan Gedung Negara yang
pendanaannya bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara; atau
b. rencana kerja dan anggaran OPD untuk
Pembangunan Bangunan Gedung Negara yang
pendanaannya bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.
Pasal 44
(1) Pembangunan Bangunan Gedung Negara yang tidak
dapat diselesaikan dalam 1 (satu) tahun anggaran karena
kondisi tertentu, dilakukan dengan proyek tahun jamak
(multiyears project).
(2) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disebabkan karena:
a. kompleksitas atau spesifikasi;
b. besaran kegiatan; dan/atau
c. ketersediaan anggaran.
(3) Rencana penyediaan dana untuk proyek tahun jamak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun setiap
tahunnya sesuai dengan lingkup pekerjaan yang dapat
diselesaikan pada tahun yang bersangkutan.
(4) Rencana penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan melalui pentahapan Pembangunan
Bangunan Gedung Negara dengan berpedoman pada
ketentuan sebagai berikut:
Pasal 45
(1) Kegiatan persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 ayat (3) menghasilkan dokumen pendanaan.
(2) Setelah dokumen pendanaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diterbitkan, pengguna anggaran melalui
Kepala Satuan Kerja melakukan:
a. pembentukan organisasi pengelola kegiatan;
b. koordinasi dengan unit layanan pengadaan barang
dan jasa atau kelompok kerja unit layanan
pengadaan barang dan jasa atau pejabat pengadaan;
c. pengadaan penyedia jasa manajemen konstruksi
untuk kegiatan yang memerlukan kegiatan
manajemen konstruksi;
d. menyusun program pelaksanaan pembangunan
secara menyeluruh; dan
e. melakukan persiapan pengadaan penyedia jasa
perencanaan konstruksi.
(3) Dalam hal Pembangunan Bangunan Gedung Negara
menggunakan penyedia jasa manajemen konstruksi,
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d
dan huruf e dibantu oleh manajemen konstruksi.
Pasal 46
Penyusunan rencana kebutuhan, rencana pendanaan, dan
rencana penyediaan dana Pembangunan Bangunan Gedung
Negara yang pendanaannya bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Perencanaan Teknis
Pasal 47
(1) Perencanaan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 ayat (1) huruf a meliputi:
a. perencanaan baru;
b. perencanaan dengan desain berulang; atau
c. perencanaan dengan desain purwarupa (prototype).
(2) Perencanaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan penyusunan rencana teknis yang
meliputi:
a. konsepsi perancangan;
b. pra rancangan;
c. pengembangan rancangan; dan
d. rancangan detail.
(3) Penyusunan rencana teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan oleh penyedia jasa perencanaan
konstruksi berdasarkan:
a. Kerangka Acuan Kerja (KAK) pekerjaan perencanaan
teknis;
b. surat perjanjian pekerjaan perencanaan teknis dan
lampiran beserta perubahannya;
c. Standar Manajemen Mutu (SMM); dan
d. Standar Mutu Kesehatan dan Keselamatan Kerja
(SMK3).
(4) Pembangunan Bangunan Gedung Negara untuk
bangunan bertingkat diatas 4 (empat) lantai, bangunan
dengan luas total di atas 5000 m2 (lima ribu meter
persegi), klasifikasi bangunan khusus, bangunan yang
melibatkan lebih dari satu penyedia jasa perencanaan
maupun pelaksana konstruksi dan/atau yang
dilaksanakan lebih dari satu tahun anggaran (multiyears
project) harus dilakukan pengawasan pada perencanaan
teknis oleh manajemen konstruksi.
(5) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
menghasilkan laporan reviu desain.
(6) Dalam hal keadaan darurat bencana, penyusunan
rencana teknis untuk bangunan gedung dengan
Pasal 48
(1) Konsepsi perancangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 ayat (2) huruf a digunakan untuk:
a. membantu pengguna jasa dalam memperoleh
gambaran atas konsepsi rancangan; dan
b. mendapatkan gambaran pertimbangan bagi
penyedia jasa dalam melakukan perancangan.
(2) Konsepsi perancangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling sedikit meliputi:
a. data dan informasi;
b. analisis;
c. dasar pemikiran dan pertimbangan perancangan;
d. program ruang;
e. organisasi hubungan ruang;
f. skematik rencana teknis; dan
g. sketsa gagasan.
Pasal 49
(1) Pra rancangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
ayat (2) huruf b digunakan untuk:
a. mendapatkan pola dan gubahan bentuk rancangan
yang tepat, waktu pembangunan yang paling
singkat, serta biaya yang paling ekonomis;
b. memperoleh kesesuaian pengertian yang lebih tepat
atas konsepsi perancangan serta pengaruhnya
terhadap kelayakan lingkungan; dan
c. menunjukkan keselarasan dan keterpaduan
konsepsi perancangan terhadap ketentuan Rencana
Tata Ruang untuk perizinan.
(2) Pra rancangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun berdasarkan konsepsi perancangan yang telah
disetujui dan berdasarkan hasil lokakarya rekayasa nilai
(value engineering), paling sedikit meliputi:
a. pola, gubahan, dan bentuk arsitektur yang
diwujudkan dalam gambar pra rancangan yaitu:
1. rencana massa bangunan gedung;
2. rencana tapak;
3. denah;
4. tampak bangunan gedung;
5. potongan bangunan gedung; dan
6. visualisasi desain tiga dimensi.
b. nilai fungsional dalam bentuk diagram; dan
c. aspek kualitatif serta aspek kuantitatif, baik dalam
bentuk laporan tertulis dan gambar seperti:
1. perkiraan luas lantai;
2. informasi penggunaan bahan;
3. sistem konstruksi;
4. biaya dan waktu pelaksanaan pembangunan;
dan
5. penerapan prinsip Bangunan Gedung Hijau.
(3) Lokakarya rekayasa nilai (value engineering) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diwajibkan untuk kegiatan
pembangunan dengan luas bangunan diatas 12.000 m2
(dua belas ribu meter persegi) atau diatas 8 (delapan)
lantai.
(4) Lokakarya rekayasa nilai (value engineering) sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan selama 40 (empat
puluh) jam.
Pasal 50
(1) Pengembangan rancangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 ayat (2) huruf c digunakan untuk:
a. kepastian dan kejelasan ukuran serta wujud
karakter bangunan secara menyeluruh, pasti, dan
terpadu;
b. mematangkan konsepsi rancangan secara
keseluruhan, terutama ditinjau dari keselarasan
sistem yang terkandung di dalamnya baik dari segi
kelayakan dan fungsi, estetika, waktu dan ekonomi
bangunan serta Bangunan Gedung Hijau; dan
c. penyusunan rancangan detail.
(2) Pengembangan rancangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disusun berdasarkan pra rancangan yang telah
disetujui, paling sedikit meliputi:
Pasal 51
(1) Rancangan detail sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
ayat (2) huruf d digunakan untuk penyusunan dokumen
teknis pada dokumen lelang konstruksi fisik.
(2) Rancangan detail sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun berdasarkan pengembangan rancangan yang
telah disetujui paling sedikit meliputi:
a. gambar detail arsitektur, detail struktur, detail
utilitas dan lansekap;
b. Rencana Kerja dan Syarat (RKS) yang meliputi:
1. persyaratan umum;
2. persyaratan administratif; dan
3. persyaratan teknis termasuk spesifikasi teknis.
c. rincian volume pelaksanaan pekerjaan, Rencana
Anggaran Biaya (RAB) pekerjaan konstruksi
(Engineering Estimate); dan
d. laporan perencanaan yang meliputi:
1. laporan arsitektur;
2. laporan perhitungan struktur termasuk laporan
penyelidikan tanah (soil test);
Pasal 52
Tahap perencanaan teknis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 ayat (1) menghasilkan dokumen perencanaan
meliputi:
a. laporan konsepsi perancangan;
b. dokumen pra rancangan;
c. dokumen pengembangan rancangan;
d. dokumen rancangan detail;
e. laporan kegiatan lokakarya rekayasa nilai atau value
engineering (VE) untuk kegiatan yang diwajibkan;
f. reviu desain untuk kegiatan yang memerlukan penyedia
jasa manajemen konstruksi;
g. kontrak kerja perencana konstruksi; dan
h. kontrak kerja manajemen konstruksi untuk kegiatan
yang memerlukan penyedia jasa manajemen konstruksi.
Bagian Keempat
Pelaksanaan Konstruksi
Pasal 53
(1) Pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (1) huruf b merupakan tahap perwujudan
dokumen perencanaan menjadi bangunan gedung yang
siap dimanfaatkan.
(2) Pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa kegiatan:
a. pembangunan baru;
b. perluasan;
c. lanjutan pembangunan bangunan gedung yang
belum selesai; dan/atau
Pasal 54
(1) Pelaksanaan pemeliharaan pekerjaan konstruksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3) huruf b
merupakan kegiatan menjaga keandalan konstruksi
bangunan gedung melalui pemeriksaaan hasil
pelaksanaan konstruksi fisik setelah serah terima
pertama (Provisional Hand Over).
(2) Dalam pemeliharaan pekerjaan konstruksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penyedia jasa pelaksanaan
konstruksi berkewajiban memperbaiki segala cacat atau
kerusakan yang terjadi selama masa konstruksi.
(3) Apabila tidak ditentukan lain dalam kontrak kerja
pelaksanaan konstruksi Bangunan Gedung Negara, masa
pemeliharaan pekerjaan konstruksi paling sedikit 6
(enam) bulan terhitung sejak serah terima pertama
(provisional hand over) pekerjaan konstruksi.
Bagian Kelima
Pengawasan Teknis
Pasal 55
(1) Pengawasan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 ayat (1) huruf c dilakukan oleh:
a. penyedia jasa manajemen konstruksi; atau
b. penyedia jasa pengawasan konstruksi.
(2) Pengawasan teknis yang dilakukan oleh penyedia jasa
manajemen konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dilakukan pada Pembangunan Bangunan
Gedung Negara dengan kriteria:
a. klasifikasi tidak sederhana dengan ketentuan
jumlah lantai di atas 4 (empat) lantai dan dengan
luas bangunan minimal 5.000 m2 (lima ribu meter
persegi) untuk pembangunan baru, perluasan
dan/atau lanjutan pembangunan bangunan gedung;
b. perawatan Bangunan Gedung Negara kecuali Rumah
Negara untuk tingkat kerusakan berat dan
perawatan terkait keselamatan bangunan;
c. Bangunan Gedung Negara klasifikasi bangunan
khusus;
d. melibatkan lebih dari satu penyedia jasa, baik
perencanaan maupun pelaksana konstruksi;
dan/atau
e. pelaksanaannya lebih dari satu tahun anggaran
dengan menggunakan kontrak tahun jamak.
(3) Pembangunan Bangunan Gedung Negara dengan kriteria
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
oleh penyedia jasa pengawasan konstruksi atau dapat
dilakukan oleh penyedia jasa manajemen konstruksi
dengan rekomendasi dari instansi teknis.
Bagian Keenam
Pasca Konstruksi
Pasal 56
(1) Tahapan pembangunan diikuti dengan kegiatan pasca
konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
(4).
(2) Barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (4) huruf a merupakan semua barang yang dibeli
atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang
sah.
(3) Penetapan status Bangunan Gedung Negara sebagai
barang milik negara dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan tentang barang milik
negara atau daerah.
Pasal 57
(1) Sertifikat Laik Fungsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (4) huruf b diterbitkan oleh pemerintah
daerah kecuali untuk bangunan gedung fungsi khusus
diterbitkan oleh Pemerintah untuk menyatakan
kelaikan fungsi suatu bangunan gedung baik secara
administratif maupun teknis sebelum pemanfaatannya.
(2) Penerbitan sertifikat laik fungsi dilakukan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 58
(1) Pendaftaran sebagai Bangunan Gedung Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4) butir c
termasuk Rumah Negara bertujuan:
a. terwujudnya tertib pengelolaan Bangunan Gedung
Negara;
b. mengetahui status kepemilikan dan penggunaan
Bangunan Gedung Negara;
c. mengetahui secara tepat dan rinci jumlah aset
negara yang berupa Bangunan Gedung Negara;
BAB VII
PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN TERTENTU
BANGUNAN GEDUNG NEGARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 59
Penyelenggaraan pembangunan tertentu Bangunan Gedung
Negara terdiri atas:
a. pembangunan Bangunan Gedung Negara dengan desain
berulang;
b. pembangunan Bangunan Gedung Negara dengan desain
purwarupa (prototype);
c. pembangunan Bangunan Gedung Negara terintegrasi;
dan
d. pemeliharaan dan/atau perawatan Bangunan Gedung
Negara.
Bagian Kedua
Pembangunan Bangunan Gedung Negara dengan Desain
Berulang
Pasal 60
(1) Pelaksanaan pembangunan dengan desain berulang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf a
merupakan penggunaan secara berulang terhadap
produk desain yang sudah ada yang dibuat oleh penyedia
jasa perencanaan yang sama, dan telah ditetapkan
sebelumnya dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK).
(2) Pelaksanaan pembangunan dengan desain berulang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. desain berulang total; dan
b. desain berulang parsial.
Bagian Ketiga
Pembangunan Bangunan Gedung Negara dengan Desain
Purwarupa (Prototype)
Pasal 61
(1) Penggunaan desain purwarupa (prototype) pada
pelaksanaan Pembangunan Bangunan Gedung Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf b
ditetapkan oleh:
a. Direktur Jenderal Cipta Karya, untuk bangunan
gedung dengan sumber pembiayaan yang berasal
dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Bagian Keempat
Pembangunan Bangunan Gedung Negara Terintegrasi
Pasal 62
(1) Pembangunan Bangunan Gedung Negara terintegrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf c
merupakan gabungan pekerjaan konstruksi dan jasa
konsultansi konstruksi.
(2) Pembangunan Bangunan Gedung Negara terintegrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Bagian Kelima
Pemeliharaan dan/atau Perawatan Bangunan Gedung Negara
Pasal 63
(1) Pemeliharaan bangunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 huruf d merupakan usaha mempertahankan
kondisi bangunan dan upaya untuk menghindari
kerusakan komponen atau elemen bangunan agar tetap
memenuhi persyaratan laik fungsi.
(2) Perawatan bangunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 huruf d merupakan usaha memperbaiki
kerusakan yang terjadi agar bangunan dapat berfungsi
dengan baik sebagaimana mestinya.
(3) Pemeliharaan dan/atau perawatan Bangunan Gedung
Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)
dilaksanakan dengan mempertimbangkan:
a. umur bangunan;
b. penyusutan; dan/atau
c. kerusakan bangunan.
Pasal 64
(1) Umur bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63
ayat (3) huruf a merupakan jangka waktu bangunan
gedung masih tetap memenuhi fungsi dan keandalan
bangunan, sesuai dengan persyaratan yang telah
ditetapkan.
(2) Umur Bangunan Gedung Negara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) selama 50 (lima puluh) tahun.
(3) Penyusutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat
(3) huruf b merupakan nilai penurunan atau depresiasi
bangunan gedung yang dihitung secara sama besar
setiap tahunnya selama jangka waktu umur bangunan.
(4) Penyusutan Bangunan Gedung Negara ditetapkan
sebesar:
a. 2% (dua per seratus) per tahun untuk bangunan
permanen;
b. 4% (empat per seratus) per tahun untuk bangunan
semi permanen; atau
Pasal 65
(1) Kerusakan bangunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 63 ayat (3) huruf c merupakan kondisi tidak
berfungsinya bangunan atau komponen bangunan yang
disebabkan oleh:
a. penyusutan atau berakhirnya umur bangunan;
b. kelalaian manusia; atau
c. bencana alam.
(2) Kerusakan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) digolongkan atas tiga tingkat kerusakan, yaitu:
a. kerusakan ringan;
b. kerusakan sedang; dan
c. kerusakan berat.
(3) Kerusakan ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a merupakan kerusakan terutama pada komponen
nonstruktural, seperti penutup atap, langit-langit,
penutup lantai, dan dinding pengisi.
(4) Kerusakan sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b merupakan kerusakan pada sebagian komponen
non-struktural, dan/atau komponen struktural, seperti
struktur atap dan lantai.
(5) Kerusakan berat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c merupakan kerusakan pada sebagian besar
komponen bangunan, baik struktural maupun non-
struktural yang apabila setelah diperbaiki masih dapat
berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya.
(6) Penentuan tingkat kerusakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan oleh Direktorat Bina Penataan
Bangunan Direktorat Jenderal Cipta Karya untuk tingkat
nasional atau OPD setempat yang bertanggung jawab
terhadap pembinaan bangunan gedung untuk tingkat
daerah provinsi dan kabupaten atau kota.
Pasal 66
(1) Besarnya biaya pemeliharaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 ayat (1) tergantung pada fungsi dan
klasifikasi bangunan gedung dan dihitung berdasarkan
per m2 (meter persegi) bangunan gedung.
(2) Biaya pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan paling banyak 2% (dua per seratus) dari harga
standar per m2 (meter persegi) tertinggi tahun berjalan.
Pasal 67
(1) Perawatan bangunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 63 ayat (2) digolongkan sesuai dengan tingkat
kerusakan pada bangunan yaitu:
a. perawatan untuk tingkat kerusakan ringan;
b. perawatan untuk tingkat kerusakan sedang; dan
c. perawatan untuk tingkat kerusakan berat.
(2) Untuk perawatan yang memerlukan penanganan khusus
atau dalam usaha meningkatkan wujud bangunan dan
pemugaran bangunan gedung bersejarah, besarnya biaya
perawatan dihitung sesuai dengan kebutuhan nyata.
(3) Biaya perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Direktorat Bina
Penataan Bangunan Direktorat Jenderal Cipta Karya
untuk tingkat nasional atau OPD setempat yang
bertanggung jawab terhadap pembinaan bangunan
gedung untuk tingkat daerah provinsi atau daerah
kabupaten atau kota.
BAB VIII
PENGELOLAAN TEKNIS PEMBANGUNAN
BANGUNAN GEDUNG NEGARA
Pasal 68
(1) Setiap pembangunan bangunan gedung negara yang
dilaksanakan oleh K/L atau OPD harus mendapat
bantuan teknis dalam bentuk pengelolaan teknis.
(2) Pengelolaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan oleh Menteri berupa Pengelola Teknis yang
bersertifikat.
(3) Prosedur pengelolaan teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan dalam hal:
a. Pembangunan Bangunan Gedung Negara yang
dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan
menjadi Barang Milik Negara dilaksanakan
Pimpinan Instansi atau Kepala Satuan Kerja K/L di
tingkat pusat dengan lokasi pembangunan di
wilayah DKI Jakarta, dan perwakilan Republik
Indonesia di luar negeri;
b. Pembangunan Bangunan Gedung Negara yang
dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan
menjadi Barang Milik Negara dilaksanakan
Pimpinan Instansi atau Kepala Satuan Kerja K/L di
tingkat pusat dengan lokasi pembangunan di luar
wilayah DKI Jakarta;
c. Pembangunan Bangunan Gedung Negara yang
dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan
menjadi Barang Milik Negara dilaksanakan Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) K/L di daerah dengan
lokasi pembangunan di luar wilayah DKI Jakarta;
atau
d. Pembangunan Bangunan Gedung Negara yang
dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan
menjadi Barang Milik Daerah.
Pasal 69
(1) Pengelola Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68
ayat (2) merupakan pegawai negeri sipil di Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat atau pegawai
negeri sipil di OPD pelaksana tugas dekonsentrasi
Kementerian kepada pemerintah daerah provinsi.
(2) Pengelola Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus mempunyai pendidikan di bidang:
a. teknik arsitektur;
b. teknik sipil;
c. teknik mekanikal atau mesin;
d. teknik elektrikal atau elektro;
e. teknik lingkungan;
f. planologi;
g. manajemen konstruksi; atau
h. manajemen proyek.
(3) Pengelola Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus mempunyai Sertifikat Pengelola Teknis.
(4) Sertifikat Pengelola Teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diterbitkan oleh Badan Pembinaan Sumber Daya
Manusia (BPSDM) Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat.
Pasal 70
(1) Pengelola Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
ayat (1) bertugas membantu kuasa pengguna anggaran
K/L atau OPD dalam bidang teknis administratif pada
setiap tahapan pembangunan Bangunan Gedung Negara.
(2) Bantuan teknis administratif setelah kegiatan persiapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 berupa
pemberian informasi atau masukan meliputi:
a. kelengkapan dokumen pendanaan kegiatan;
Pasal 71
(1) Pengelola Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70
ayat (1) bertanggung jawab secara operasional dan
kelembagaan dalam Pembangunan Bangunan Gedung
Negara.
(2) Pengelola Teknis bertanggung jawab secara operasional
kepada Pimpinan Instansi atau Kepala Satuan Kerja atau
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) K/L atau Kepala OPD
yang mengajukan permintaan bantuan Pengelola Teknis.
(3) Pengelola Teknis bertanggung jawab secara kelembagaan
kepada Direktur Bina Penataan Bangunan Direktorat
Jenderal Cipta Karya dan/atau Kepala OPD pelaksana
tugas dekonsentrasi Kementerian kepada pemerintah
provinsi selaku pemberi tugas atau Kepala OPD yang
bertanggungjawab dalam pembinaan gedung negara.
Pasal 72
(1) Pengelola Teknis dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1)
mendapatkan biaya pengelolaan teknis.
(2) Biaya pengelolaan teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi honorarium dan biaya operasional.
(3) Biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
digunakan untuk:
a. biaya perjalanan dinas;
b. biaya transportasi lokal dalam kota;
c. uang saku;
d. biaya pembelian alat tulis kantor;
e. biaya pembelian atau penyewaan bahan dan
peralatan;
f. biaya komunikasi dan dokumentasi; dan/atau
g. biaya asuransi.
(4) Honorarium sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk
Pembangunan Bangunan Gedung Negara dengan sumber
pembiayaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan/atau perolehan lainnya yang sah
yang akan menjadi Barang Milik Negara dianggarkan oleh
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
melalui Direktorat Bina Penataaan Bangunan Direktorat
Jenderal Cipta Karya.
(5) Honorarium sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk
Pembangunan Bangunan Gedung Negara dengan sumber
pembiayaan yang berasal dari dana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau perolehan
lainnya yang sah yang akan menjadi Barang Milik Daerah
dianggarkan oleh Pemerintah Daerah melalui OPD yang
bertanggung jawab dalam pembinaan gedung negara.
(6) Biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
untuk Pembangunan Bangunan Gedung Negara dengan
sumber pembiayaan yang berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau perolehan
lainnya yang sah dianggarkan di K/L.
(7) Biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
untuk Pembangunan Bangunan Gedung Negara dengan
sumber pembiayaan yang berasal dari Anggaran
Pasal 73
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan teknis
Pembangunan Bangunan Gedung Negara tercantum dalam
Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 74
(1) Pembinaan dan pengawasan teknis Pembangunan
bangunan gedung negara diselenggarakan oleh Menteri.
(2) Pembinaan teknis Pembangunan Bangunan Gedung
Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh:
a. Menteri melalui Direktur Bina Penataan Bangunan,
Direktorat Jenderal Cipta Karya, untuk tingkat
nasional dengan sumber pembiayaan yang berasal
dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan
menjadi Barang Milik Negara;
b. gubernur melalui kepala OPD yang bertanggung
jawab dalam pembinaan bangunan gedung untuk
tingkat daerah provinsi dengan sumber pembiayaan
yang berasal dari dana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah provinsi dan/atau perolehan lainnya
yang sah yang akan menjadi Barang Milik Daerah;
c. bupati atau wali kota melalui kepala OPD yang
bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan
gedung untuk tingkat daerah kabupaten atau kota
dengan sumber pembiayaan yang berasal dari dana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
kabupaten atau kota dan/atau perolehan lainnya
yang sah yang akan menjadi Barang Milik Daerah.
Pasal 75
Pembinaan dan pengawasan umum pelaksanaan
Pembangunan Bangunan Gedung Negara yang pendanaannya
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi
Barang Milik Daerah dilakukan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB X
PENUTUP
Pasal 76
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 tentang
Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 77
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 September 2018
ttd.
M. BASUKI HADIMULJONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober 2018
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
jdih.pu.go.id
-2-
jdih.pu.go.id
-3-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN
PERUMAHAN RAKYAT TENTANG BESARAN REMUNERASI
MINIMAL TENAGA KERJA KONSTRUKSI PADA JENJANG
JABATAN AHLI UNTUK LAYANAN JASA KONSULTANSI
KONSTRUKSI.
KESATU : Besaran remunerasi minimal tenaga kerja konstruksi
nasional pada jenjang jabatan ahli dalam rangka seleksi
nasional disusun berdasarkan:
a. jenjang jabatan ahli;
b. pengalaman profesi yang setara (comparable
experiences); dan
c. tingkat pendidikan Strata 1 (S1), Strata 2 (S2), dan Strata
3 (S3).
KEDUA : Besaran remunerasi minimal tenaga kerja konstruksi
nasional pada jenjang jabatan ahli dalam rangka seleksi
internasional disusun berdasarkan:
a. pengalaman profesi yang setara (comparable
experiences); dan
b. tingkat pendidikan Strata 1 (S1), Strata 2 (S2), dan Strata
3 (S3).
jdih.pu.go.id
-4-
jdih.pu.go.id
-5-
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Mei 2022
ttd
M. BASUKI HADIMULJONO
jdih.pu.go.id
LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM
DAN PERUMAHAN RAKYAT
NOMOR 524 /KPTS/M/2022
TENTANG
BESARAN REMUNERASI MINIMAL TENAGA
KERJA KONSTRUKSI PADA JENJANG
JABATAN AHLI UNTUK LAYANAN JASA
KONSULTANSI KONSTRUKSI
TABEL 1. Besaran Remunerasi Minimal Tahun 2022 Tenaga Kerja Konstruksi Nasional Pada
Jenjang Jabatan Ahli Dalam Rangka Seleksi Nasional
*) Referensi Besaran Remunerasi Minimal Tahun 2022 (benchmark DKI Jakarta dengan Indeks = 1.000)
**) Penyetaraan capaian pembelajaran yang dihasilkan melalui pendidikan mengikuti Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.
Catatan:
Seleksi Nasional merupakan pemilihan penyedia yang diselenggarakan di wilayah Republik Indonesia
dan terbatas hanya bisa diikuti oleh Badan Usaha Jasa Konsultansi yang terdaftar di Republik
Indonesia.
jdih.pu.go.id
-7-
Contoh Penggunaan:
1. Dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK) pengadaan jasa konsultansi konstruksi disyaratkan
menggunakan personil TA dengan SKA Ahli Muda, berpendidikan Sarjana S1, dengan
pengalaman kerja 9 (sembilan) tahun, maka besaran remunerasi minimalnya (apabila
lokasi proyek di Provinsi DKI Jakarta) yaitu Rp.32.000.000,-
2. Dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK) pengadaan jasa konsultansi konstruksi disyaratkan
menggunakan personil TA dengan SKA Ahli Utama, berpendidikan Sarjana S2, dengan
pengalaman kerja 10 (sepuluh) tahun, maka besaran remunerasi minimalnya (apabila
lokasi proyek di Provinsi DKI Jakarta) yaitu Rp.53.000.000,-
jdih.pu.go.id
-8-
TABEL 2. Besaran Remunerasi Minimal Tahun 2022 Tenaga Kerja Konstruksi Nasional Pada
Jenjang Jabatan Ahli Dalam Rangka Seleksi Internasional
Catatan:
Seleksi Internasional merupakan pemilihan Penyedia dengan peserta pemilihan dapat berasal dari
Pelaku Usaha nasional dan Pelaku Usaha asing.
Contoh Penggunaan:
1. Dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK) pengadaan jasa konsultansi konstruksi disyaratkan
menggunakan personil TA berpendidikan Sarjana S1, dengan pengalaman kerja 9
(sembilan) tahun, maka besaran remunerasi minimalnya yaitu Rp.83.500.000,-
2. Dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK) pengadaan jasa konsultansi konstruksi disyaratkan
menggunakan personil TA berpendidikan Sarjana S2, dengan pengalaman kerja 10
(sepuluh) tahun, maka besaran remunerasi minimalnya yaitu Rp.114.000.000,-
jdih.pu.go.id
-9-
TABEL 3. Besaran Remunerasi Minimal Tahun 2022 Tenaga Kerja Konstruksi Asing Pada
Jenjang Jabatan Disetarakan Ahli Dalam Rangka Seleksi Nasional Atau Seleksi
Internasional
Contoh Penggunaan:
1. Dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK) pengadaan jasa konsultansi konstruksi
disyaratkan menggunakan personil TA asing berpendidikan Sarjana S1, dengan
pengalaman kerja 9 (sembilan) tahun, maka besaran remunerasi minimalnya yaitu
Rp.239.000.000,-
2. Dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK) pengadaan jasa konsultansi konstruksi
disyaratkan menggunakan personil TA asing berpendidikan Sarjana S2, dengan
pengalaman kerja 10 (sepuluh) tahun, maka besaran remunerasi minimalnya yaitu
Rp.326.250.000,-
jdih.pu.go.id
10
NO PROVINSI INDEKS
1 Aceh 1.117
2 Sumatera Utara 0.964
3 Sumatera Barat 0.915
4 Riau 0.987
5 Kepulauan Riau 1.018
6 Jambi 0.897
7 Sumatera Selatan 0.929
8 Kepulauan Bangka Belitung 0.934
9 Bengkulu 0.865
10 Lampung 0.878
11 Banten 0.907
12 DKI Jakarta
(Benchmark) 1.000
13 Jawa Barat 0.853
14 Jawa Tengah 0.842
15 DI Yogyakarta 0.845
16 Jawa Timur 0.926
17 Bali 0.880
18 Nusa Tenggara Barat 0.918
19 Nusa Tenggara Timur 0.916
20 Kalimantan Barat 0.866
21 Kalimantan Tengah 0.928
22 Kalimantan Selatan 0.946
23 Kalimantan Timur 0.998
24 Kalimantan Utara 0.999
25 Sulawesi Utara 1.007
26 Sulawesi Tengah 0.915
27 Sulawesi Tenggara 0.936
28 Sulawesi Selatan 0.964
29 Sulawesi Barat 0.943
30 Gorontalo 0.896
31 Maluku 0.953
32 Maluku Utara 0.962
33 Papua 1.211
34 Papua Barat 1.185
jdih.pu.go.id
11
Contoh Penggunaan:
Indeks Standar Remunerasi Minimal Provinsi Sumatera Barat = 0.915
(Tabel 4)
Besaran remunerasi Provinsi DKI Jakarta, S1, pengalaman 5 = Rp. 25.750.000,-
tahun, SKA Ahli Muda (Tabel 1)
Maka:
Remunerasi minimal di Provinsi Sumatera Barat (S1, = 0.915 x Rp. 25.750.000,-
pengalaman 5 tahun, SKA Ahli Muda)
= Rp. 23.561.250,-
Dibulatkan = Rp. 23.500.000,-
ttd
M. BASUKI HADIMULJONO
jdih.pu.go.id
The National Association Of Indonesian Consultants,
A FIDIC Me mber Association
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa, bahwasanya Ikatan Nasional Konsultan Indonesia
(INKINDO) telah menerbitkan Buku ”PEDOMAN STANDAR MINIMAL TAHUN 2021” Biaya Remunerasi
(BR) dan Biaya Langsung (BL) untuk kegiatan Jasa Konsultansi, yang berlaku baik untuk Layanan Jasa
Konsultansi Konstruksi maupun untuk Layanan Jasa Konsultansi Non Konstruksi.
Buku ini diperbarui dan diterbitkan setiap tahun oleh INKINDO sejak tahun 2005, dimaksudkan untuk dapat
digunakan sebagai salah satu acuan dalam penyusunan Penawaran Harga (Usulan Biaya) oleh Anggota
INKINDO dan Usaha Jasa Konsultansi lainnya, serta dapat pula dijadikan sebagai salah satu acuan dalam
menyusun Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) bagi Pengguna Jasa.
Mulai edisi Tahun 2021 ini, buku Pedoman Standar Minimal ini menggunakan terminologi baku yang mulai
digunakan dalam berbagai regulasi yang baru. Untuk mengacu pada Biaya Langsung Personil, digunakan
istilah baku “Biaya Remunerasi”. Dengan penggunaan istilah Biaya Remunerasi ini, maka pada Biaya
Langsung Non Personil juga disesuaikan istilahnya menjadi “Biaya Langsung”.
Beberapa Peraturan perundangan yang saat ini menjadi payung hukum dan sekaligus sebagai penguat
(law enforcement) dalam penerapan Pedoman Standar Minimal Tahun 2021 ini adalah sebagai berikut :
INKINDO menerbitkan secara resmi buku Pedoman Standar Minimal ini antara lain dimaksudkan untuk
dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan sumber data yang dapat dipertanggungjawabkan dalam
penyusunan HPS, sebagaimana dimaksud dalam Pepres No. 16 Tahun 2018.
Buku ini juga merupakan salah satu wujud pelayanan INKINDO, yang memiliki manfaat strategis bagi
anggota maupun pemangku kepentingan sektor Usaha Jasa Konsultansi. Mengingat bahwa INKINDO
adalah Asosiasi Badan Usaha Jasa Konsultansi yang memiliki anggota sebanyak 5.763 yang tersebar di
i
The National Association Of Indonesian Consultants,
A FIDIC Me mber Association
34 provinsi seluruh Indonesia, maka INKINDO merupakan cerminan dan representasi dari sektor Usaha
Jasa Konsultansi secara nasional.
Buku Pedoman ini disusun melalui kajian teoritis yang konseptual, mendalam dan komprehensif dengan
melibatkan lembaga dan tenaga ahli yang kompeten dan independen. Dalam penyusunan Pedoman
Standar Minimal ini dipertimbangkan tingkat inflasi dan indikator sosial ekonomi di masing-masing Provinsi
serta simulasi untuk memprediksi GDP, Jumlah Penduduk dan Kurs USD tahun yang akan datang.
Semoga Buku Pedoman Standar Minimal ini bermanfaat bagi anggota INKINDO, dan bermanfaat sebagai
acuan dalam penyusunan Rencana Anggaran Biaya (RAB ) maupun dalam menetapkan Harga Perkiraan
Sendiri (HPS) oleh Pengguna Jasa serta juga bagi berbagai pihak yang terkait secara langsung maupun
tidak langsung.
ii
The National Association Of Indonesian Consultants,
A FIDIC Me mber Association
KODE ETIK
IKATAN NASIONAL KONSULTAN INDONESIA
Dengan menjunjung tinggi Etika Ikatan Nasional Konsultan Indonesia sebagai dasar yang dinamis
untuk melayani sesama manusia, maka tiap Anggota Ikatan Nasional Konsultan Indonesia wajib untuk:
a. Menjunjung tinggi kehormatan, kemuliaan, dan nama baik profesi konsultan dalam hubungan
kerja dengan pemberi tugas sesama rekan konsultan dan masyarakat.
b. Bertindak jujur, tidak memihak, serta penuh dedikasi melayani pemberi tugas dan masyarakat.
c. Tukar menukar pengetahuan bidang keahlian secara wajar dengan rekan konsultan dan
kelompok profesi serta meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap profesi konsultan
sehingga dapat lebih menghayati karya konsultan.
d. Menghormati prinsip pemberian imbalan jasa yang layak dan memadai bagi konsultan, sehingga
dapat dipertanggungjawabkan secara profesional dan moral yang menjamin dapat
dilaksanakannya tugas yang dipercayakan memenuhi semua persyaratan yang terkait dengan
keahlian, kompetensi, dan integritas tinggi.
e. Menghargai dan menghormati reputasi profesional rekan konsultan dan setiap perjanjian kerja
yang berhubungan dengan profesinya.
f. Mendapatkan tugas terutama berdasarkan standar keahlian profesional tanpa melalui cara-cara
persaingan yang tidak sehat.
g. Bekerjasama sebagai konsultan hanya dengan rekan konsultan atau tenaga ahli lain yang
memiliki integritas tinggi.
h. Menjalankan asas pembangunan berkelanjutan dalam semua aspek pelayanan jasa konsultan
sebagai bagian integral dari tanggungjawabnya terhadap sesama, lingkungan kehidupan yang
luas, dan generasi yang akan datang.
The National Association Of Indonesian Consultants,
A FIDIC Me mber Association
Pedoman Standar Minimal Tahun 2021 ini dibuat dalam rangka memenuhi kebutuhan Badan Usaha Jasa
Konsultansi Nasional untuk penyusunan Penawaran Harga (Usulan Biaya), serta dapat digunakan oleh
Pengguna Jasa sebagai acuan dalam menyusun Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan Harga Perkiraan Sendiri
(HPS) kegiatan Jasa Konsultansi.
Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) sebagai Asosiasi Badan Usaha Jasa Konsultansi secara resmi
menerbitkan Pedoman Standar Minimal Tahun 2021 untuk dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan data
yang dapat dipertanggungjawabkan dalam penghitungan dan penyusunan HPS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (1) Peraturan Presiden RI No. 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Pedoman Standar Minimal untuk Tahun 2021 yang disusun INKINDO ini terdiri atas dua komponen pokok yaitu
Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) dan Biaya Langsung (Direct Cost).
Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) untuk Tenaga Ahli (Professional) dihitung berdasarkan rumus empiris
No. (1) s/d (9) yang terdapat pada bagian Lampiran Butir V dengan menggunakan indikator sosial ekonomi
yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik / Bank Indonesia / Instansi Pemerintah Terkait berupa forecast
untuk tahun 2021.
Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) untuk Tenaga Sub Profesional dan untuk Tenaga Supporting Staff
(Staf Pendukung) dihitung penyesuaiannya berdasarkan nilai inflasi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik
/ Bank Indonesia / Instansi Pemerintah Terkait berupa forecast untuk tahun 2021.
Dalam menggunakan Pedoman Standar Minimal Tahun 2021 ini, dipakai ketentuan sebagai berikut:
1. Istilah baku Remunerasi atau Biaya Personil yang digunakan dalam Buku Pedoman Standar Minimal
2021 ini merujuk dan selaras dengan pengertian Remunerasi atau Biaya Langsung Personil yang
digunakan dalam berbagai peraturan dan perundangan di Indonesia. Dalam kegiatan Jasa Konsultansi
yang berlaku secara internasional istilah ini mengacu pada pengertian Billing Rate.
2. Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) Tenaga Ahli (Professional) dan Tenaga Ahli Sub Profesional
adalah Satuan Biaya yang digunakan pada kegiatan Badan Usaha Jasa Konsultansi sudah mencakup
Gaji Dasar (Basic Salary), Beban Biaya Sosial (Social Charge), Beban Biaya Umum (Overhead Cost),
dan Keuntungan (Profit/Fee).
3. Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) dihitung dengan mempertimbangkan dan berdasarkan Harga
Pasar yang berlaku dan wajar serta didukung dengan studi perbandingan, penelitian yang komprehensif
dengan analisa permodelan statistik serta dokumen-dokumen yang dapat dipertanggungjawabkan.
4. Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) ini berlaku untuk Tenaga Ahli Nasional.
5. Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) Tenaga Ahli (Professional) dalam buku ini disajikan dalam
tabel terpisah masing-masing untuk pengadaan Jasa Konsultansi (Seleksi) dalam rangka Undangan
Pelelangan Internasional (International Competitive Bidding / ICB) dan untuk pengadaan Jasa
Konsultansi (Seleksi) dalam rangka Pelelangan Nasional (National Competitive Bidding / NCB), yang
dilakukan di Wilayah Republik Indonesia.
6. Mata uang yang dipergunakan untuk Pelelangan Internasional (ICB) maupun Pelelangan Nasional (NCB)
adalah dalam bentuk mata uang rupiah.
7. Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) ini dapat digunakan sebagai acuan untuk kegiatan Jasa
Konsultansi yang didanai oleh APBN, APBD, BUMN, BUMD, dan Swasta.
8. Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) Tenaga Ahli Nasional bisa dihitung menurut jumlah satuan
waktu tertentu (bulan, minggu, hari, jam) dan ditetapkan berdasarkan pengalaman profesional yang
setara (comparable experiences) sejak lulus dari pendidikan tinggi.
9. Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) Tenaga Ahli Nasional untuk pengadaan Jasa Konsultansi
(Seleksi) dalam rangka Undangan Pelelangan Internasional (ICB) tercantum dalam Tabel 1-21 dan
berlaku sama besarnya di seluruh Provinsi Indonesia.
10. Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) Tenaga Ahli Nasional untuk pengadaan Jasa Konsultansi
(Seleksi) dalam rangka Undangan Pelelangan Nasional (NCB) tercantum dalam Tabel 2-21 (untuk
Tenaga Ahli dengan syarat SKA) dan Tabel 3-21 (untuk Tenaga Ahli tanpa syarat SKA), kedua tabel ini
berlaku untuk Provinsi DKI Jakarta (sebagai Benchmark).
11. Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) Tenaga Ahli Sub Profesional tercantum dalam Tabel 4-21
berlaku untuk Provinsi DKI Jakarta (sebagai Benchmark).
12. Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) Tenaga Pendukung (Supporting Staff) dalam Tabel 5-21
berlaku untuk Provinsi DKI Jakarta (sebagai Benchmark).
13. Indeks Standar Remunerasi Per Provinsi dengan Benchmarking DKI Jakarta tercantum pada Tabel 6-21.
14. Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) Tenaga Ahli (Professional), Tenaga Ahli Sub Profesional dan
Tenaga Pendukung (Supporting Staff) untuk masing-masing Provinsi di Indonesia (diluar Provinsi DKI
Jakarta) dihitung dengan mengalikan Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) di Provinsi DKI Jakarta
(sebagai Benchmark) dengan Indeks Standar Remunerasi Per Provinsi (Tabel 6-21).
15. INKINDO saat ini belum mengeluarkan Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) Tahun 2021 untuk
Badan Usaha Jasa Konsultansi Asing.
16. Perhitungan Konversi Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) menurut satuan waktu adalah sebagai
berikut :
dimana:
SBOB = Satuan Biaya Orang Bulan (Person Month Rate)
SBOM = Satuan Biaya Orang Minggu (Person Week Rate)
SBOH = Satuan Biaya Orang Hari (Person Day Rate)
SBOJ = Satuan Biaya Orang Jam (Person Hour Rate)
Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) Badan Usaha Jasa Konsultansi terdiri dari komponen sebagai
berikut:
REM = GD + BBS + BBU + K
dimana:
REM = Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate)
GD = Gaji Dasar (Basic Salary)
BBS = Beban Biaya Sosial (Social Charge)
BBU = Beban Biaya Umum (Overhead Cost)
K = Keuntungan (Profit/Fee)
1. Istilah baku Biaya Langsung yang digunakan dalam Buku Pedoman Standar Minimal 2021 ini merujuk
dan selaras dengan pengertian Biaya Langsung Non Personil yang digunakan dalam berbagai peraturan
dan perundangan di Indonesia. Dalam kegiatan Jasa Konsultansi yang berlaku secara internasional
istilah ini mengacu pada pengertian Reimbursable Direct Cost.
2. Biaya Langsung (Direct Cost) adalah biaya langsung yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan
kegiatan Jasa Konsultansi yang dibuat dengan mempertimbangkan dan berdasarkan Harga Pasar yang
wajar dan dapat dipertanggungjawabkan serta sesuai dengan perkiraan kegiatan.
Berdasarkan cara pembayarannya, Biaya Langsung (Direct Cost) ini terdiri dari 3 (tiga) macam yaitu:
a. Reimbursable At Cost adalah biaya yang dapat dibayarkan melalui penggantian biaya sesuai
yang dikeluarkan (At Cost), sesuai pos anggaran dengan mengikuti batasan maksimum harga
satuan (ceiling rate) yang ditetapkan dalam kontrak. Penagihan pada pos anggaran ini didukung
dengan Dokumen Utama Tagihan berupa tagihan asli untuk membuktikan bahwa harga satuan,
volume pekerjaan dan besaran tagihan sesuai dengan kejadian yang sebenarnya.
Biaya Langsung yang bersifat Reimbursable At Cost ini disajikan dalam Tabel 7A-21 dan Tabel 7B-
21.
Tabel 7A-21 berisi jenis-jenis pos anggaran biaya dan belum mencantumkan angka, karena pos
anggaran tersebut secara spesifik terpengaruh oleh tempat dan waktu, yang pada umumnya
meliputi:
Tabel 7B-21 berisi jenis-jenis pos anggaran biaya dalam kategori at cost yang bersifat umum dan
dicantumkan angka untuk tiap pos anggaran, merupakan biaya yang dapat ditagihkan / diganti
sesuai pos anggaran dengan mengikuti batasan maksimum harga satuan (ceiling rate) yang
ditetapkan dalam kontrak, antara lain meliputi:
Biaya Komunikasi
Penempatan Sementara (Temporary Lodging)
Penginapan Tugas Luar
Sewa Peralatan Penunjang (8-21)
Dan biaya-biaya lainnya untuk menunjang kebutuhan pekerjaan.
(8-21) Biaya Langsung (Direct Cost) ini untuk Provinsi lain (diluar DKI Jakarta) dikalikan dengan
Indeks Biaya Langsung Per Provinsi (Tabel 8-21).
Cara pembayaran yang bersifat Reimbursable At Cost ini tidak berlaku untuk jenis Kontrak
Lumsum (Lump Sum).
b. Harga Satuan (Fixed Rate) adalah biaya yang dapat ditagihkan / diganti yang dikeluarkan untuk
pelaksanaan operasional kegiatan yang sebenarnya berdasarkan harga satuan yang pasti dan
tetap untuk setiap pos anggaran yang telah ditetapkan. Dalam pengajuan tagihan pada pos
anggaran ini, cukup dilampirkan Dokumen Penunjang Tagihan yang membuktikan bahwa volume
/ kuantitas kegiatan yang ditagihkan benar-benar telah dilaksanakan dan tidak diperlukan bukti
harga satuan, maupun besaran pengeluaran biaya yang sebenarnya.
Biaya Langsung yang bersifat Fixed Rate ini disajikan dalam Tabel 7C-21, yang pada umumnya
meliputi:
(8-21) Biaya Langsung (Direct Cost) ini untuk Provinsi lain (diluar DKI Jakarta) dikalikan dengan
Indeks Biaya Langsung Per Provinsi (Tabel 8-21).
Cara pembayaran di atas tidak berlaku untuk jenis Kontrak Lumsum (Lump Sum).
c. Lumsum (Lump Sum) adalah biaya suatu atau beberapa item / unsur pekerjaan dengan harga
satuan yang pasti dan tetap serta ditagihkan / diganti secara Lumsum (Lump Sum) dengan
melampirkan Dokumen Penunjang Tagihan berupa bukti keterlaksanaan unsur pekerjaan dalam
pos anggaran dimaksud sesuai dengan volume rincian dalam kontrak sebagaimana tata cara
pembayaran Lumsum (Lump Sum) yang diatur dalam bagian Syarat-Syarat Khusus Kontrak
(SSKK).
Biaya Langsung yang bersifat Lumsum (Lump Sum) ini disajikan dalam Tabel 7D-21, antara lain
berupa:
Catatan:
Pada jenis kontrak waktu penugasan (time based contract), dimungkinkan adanya rincian pos
anggaran kontrak dengan cara penagihan / pembayaran secara gabungan atau kombinasi dari
ketiga cara pembayaran di atas.
3. Untuk komponen kegiatan yang dibelanjakan di dalam negeri dengan sumber pembiayaan melalui dana /
pinjaman luar negeri, nilai Biaya Langsung ini adalah dalam bentuk mata uang rupiah.
4. Harga satuan pada Tabel - Tabel Biaya Langsung (Direct Cost) dalam buku Pedoman Standar Minimal
Tahun 2021 ini tidak bersifat mengikat bagi konsultan internasional yang bekerja di Indonesia.
5. Indeks Biaya Langsung Per Provinsi dengan Benchmarking Provinsi DKI Jakarta tercantum pada Tabel
8-21.
6. Perkiraan Total Biaya Langsung (Direct Cost) terhadap Nilai Kontrak (diluar PPN) pada kebanyakan jenis
pekerjaan tidak lebih dari 40%, kecuali untuk jenis pekerjaan Jasa Konsultansi yang bersifat khusus
antara lain pekerjaan survey, pengukuran dan pemetaan dimana pada pekerjaan ini Biaya Langsungnya
lebih dominan (Perlem LKPP No. 9 tahun 2018).
Tabel 1-21
Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) Tahun 2021
untuk Tenaga Ahli Nasional (Professional) berpendidikan S1/S2/S3
dalam rangka Undangan Pelelangan Internasional (ICB)
Berdasarkan Pengalaman Profesi yang setara (comparable experiences) *1)
*1) Referensi Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) Minimal Tahun 2021 ini berlaku sama besarnya
di seluruh Provinsi Indonesia.
**) S1 dengan pengalaman kurang dari 3 tahun dianggap Sub Professional (lihat Tabel 4-21).
Tabel 2-21
Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) Tahun 2021
untuk Tenaga Ahli Nasional (Professional) berpendidikan S1/S2/S3 dengan SKK / SKA
dalam rangka Undangan Pelelangan Nasional (NCB)
Berdasarkan Pengalaman Profesi yang setara (comparable experiences) *2)
*2) Referensi Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) Minimal Tahun 2021 (Benchmarking DKI Jakarta dengan
Indeks = 1,000).
Bagi Tenaga Ahli yang dipersyaratkan memiliki SKK / SKA, perhitungan tahun pengalamannya berdasarkan akumulasi
tahun pengalaman profesi yang setara (comparable experiences) dihitung sejak tamat pendidikan S1, bukan dihitung
sejak kepemilikan SKK / SKA.
Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) untuk Provinsi lain (diluar DKI Jakarta) dikalikan dengan Indeks Standar
Remunerasi Per Provinsi (Tabel 6-21).
Catatan:
1. NCB (National Competitive Bidding) adalah pelelangan yang diselenggarakan di wilayah Republik Indonesia dan
terbatas hanya bisa diikuti oleh Badan Usaha Jasa Konsultansi yang terdaftar di Republik Indonesia.
2. Pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi, peraturan tentang Standar
Remunerasi dan SKK ini disebutkan dalam pasal-pasal berikut:
• Paragraf 1 Kewenangan Pemerintah Pusat, Pasal 5 ayat (4) huruf (e): Menetapkan standar remunerasi
minimal bagi tenaga kerja konstruksi dan huruf (f): Menyenggarakan pengawasan sistem sertifikasi, pelatihan
dan standar remunerasi minimal bagi tenaga kerja konstruksi.
• Pasal 43 ayat (2): Dalam hal pemilihan penyedia layanan jasa Konsultansi Konstruksi yang menggunakan
tenaga kerja konstruksi pada jenjang jabatan ahli, Pengguna Jasa harus memperhatikan Standar Remunerasi
Minimal.
• Pasal 43 ayat (3): Standar remunerasi minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
• Pasal 70 ayat (1): Setiap tenaga kerja konstruksi yang bekerja di bidang Jasa Konstruksi wajib memiliki
Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK).
• Pasal 93: Setiap Pengguna Jasa yang menggunakan layanan profesional tenaga kerja konstruksi pada
kualifikasi jenjang jabatan ahli yang tidak memperhatikan standar remunerasi minimal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:
a. Peringatan tertulis; dan/atau
b. denda administratif.
3. Pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi, dimana pengaturan tentang standar remunerasi minimal
dan Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) disebutkan dalam pasal - pasal berikut:
• Pasal 46 butir d.: Penyelenggara Usaha Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
dilaksanakan dengan ketentuan menggunakan tenaga kerja Konstruksi yang kompeten dan dibuktikan
dengan Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK).
• Pasal 46 butir e.: menerapkan standar remunerasi minimal pada penggunaan tenaga kerja konstruksi untuk
jenjang jabatan ahli.
• Pasal 64 ayat (1): Pemilihan Penyedia layanan Jasa Konsultansi Konstruksi yang menggunakan tenaga kerja
Konstruksi pada jenjang jabatan ahli harus memperhatikan standar remunerasi minimal.
• Pasal 64 ayat (2): Dalam hal Seleksi Penyedia Jasa Konsultansi Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 63 ayat (3) dan ayat (5) menggunakan tenaga kerja Konstruksi pada jenjang jabatan ahli maka
Pengguna Jasa dalam perencanaan pembiayaan, penghitungan besaran remunerasi tenaga ahli harus lebih
tinggi dari standar remunerasi minimal.
• Pasal 64 ayat (3): Standar Remunerasi minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling
sedikit berdasarkan:
a. Kualifikasi;
b. pengalaman profesional; dan
c. tingkat pendidikan.
• Pasal 128: Selain Pengawasan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 sampai dengan
Pasal 127, Menteri memiliki kewenangan menyelenggarakan pengawasan:
a. Sistem sertifikasi tenaga kerja konstruksi kualifikasi ahli;
b. Pelatihan tenaga kerja konstruksi yang bersifat strategis dan percontohan; dan
c. Standar remunerasi minimal bagi tenaga kerja ahli konstruksi
• Pasal 160 ayat (1): Menteri, Gubernur, Bupati / Wali Kota mengenakan sanksi peringatan tertulis dan/atau
denda administratif bagi Pengguna Jasa yang menggunakan layanan profesional tenaga kerja Konstruksi pada
Kualifikasi jenjang jabatan ahli yang tidak memperhatikan remunerasi minimal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 64 ayat (1).
• Pasal 160 ayat (2): Pengenaan sanksi denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
kepada Pengguna Jasa yang tidak memperhatikan remunerasi minimal dengan besaran denda sebesar selisih
dari standar nilai remunerasi minimal.
• Pasal 168 ayat (1): Menteri, Gubernur, atau Bupati / Wali Kota mengenakan sanksi denda administratif kepada
Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa yang mempekerjakan tenaga kerja Konstruksi yang tidak memiliki
Sertifikat Kompetensi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5).
4. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah.
• Pasal 26 ayat (1): Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dihitung secara keahlian dan menggunakan data yang dapat
dipertanggungjawabkan.
• Pasal 26 ayat (5) huruf a.: Harga Perkiraan Sendiri (HPS) digunakan sebagai alat untuk menilai kewajaran
harga penawaran dan/atau kewajaran harga satuan.
5. Pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 19/PRT/M/2017
Tentang Standar Remunerasi Minimal Tenaga Kerja Konstruksi Pada Jenjang Jabatan Ahli Untuk Layanan Jasa
Konsultansi Konstruksi, pengaturan tentang Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) dan Remunerasi Minimal
disebutkan dalam pasal - pasal berikut:
• Pasal 4 ayat (2): Tenaga Kerja Konstruksi yang memberikan layanan jasa konsultansi konstruksi harus
memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja sesuai Jenjang Jabatan Ahli.
• Pasal 8 ayat (1): Besaran Remunerasi Minimal Tenaga Kerja Konstruksi pada Jenjang Jabatan Ahli
ditetapkan dalam Keputusan Menteri.
• Pasal 8 ayat (2): Standar Remunerasi Minimal Tenaga Kerja Konstruksi pada Jenjang Jabatan Ahli dihitung
berdasarkan jumlah satuan waktu tertentu yang ditetapkan berdasarkan pengalaman kerja profesional dan
tingkat pendidikan.
• Pasal 12 ayat (1): Setiap Pengguna Jasa yang menggunakan layanan profesional Tenaga Kerja Konstruksi
pada kualifikasi Jenjang Jabatan Ahli yang tidak mematuhi standar Remunerasi Minimal dikenai sanksi
administratif berupa peringatan tertulis oleh atasan langsung.
• Pasal 12 ayat (2): Setiap Penyedia Jasa yang memberikan layanan profesional Tenaga Kerja Konstruksi pada
kualifikasi Jenjang Jabatan Ahli yang tidak mematuhi standar Remunerasi Minimal dikenai sanksi administratif
yang diatur oleh masing-masing Asosiasi Perusahaan atau Asosiasi Profesi untuk dilaporkan kepada Menteri.
6. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 897/KPTS/M/2017 Tentang
Besaran Remunerasi Minimal Tenaga Kerja Konstruksi Pada Jenjang Jabatan Ahli Untuk Layanan Jasa
Konsultansi Konstruksi, menetapkan remunerasi minimal pada:
• Lampiran I: Besaran Remunerasi Minimal Tahun 2018.
• Lampiran II: Indeks Standar Remunerasi Minimal Per Provinsi Tahun 2018.
7. Berdasarkan Pasal 64 ayat (2) pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 2020 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi, INKINDO mengusulkan
kepada Pemerintah agar Pengguna Jasa dalam perencanaan pembiayaan, penghitungan besaran remunerasi
Tenaga Ahli bisa dibuat 20% lebih tinggi dari standar remunerasi minimal. Hal ini perlu dipertimbangkan oleh
Pemerintah untuk memberi ruang yang cukup bagi Penyedia Jasa untuk membuat rentang persaingan Penawaran
Harga yang layak dan sekaligus untuk mengantisipasi adanya kelangkaan ketersedian Tenaga Ahli pada sebagian
besar wilayah provinsi di Indonesia, sehingga harus dimobilisasi dari provinsi lain dengan Indeks Standar
Remunerasi Provinsi yang lebih tinggi.
Tabel 3-21
Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) Tahun 2021
untuk Tenaga Ahli Nasional (Professional) berpendidikan S1/S2/S3 Tanpa SKK / SKA
dalam rangka Undangan Pelelangan Nasional (NCB)
Berdasarkan Pengalaman Profesi yang setara (comparable experiences) *3)
TENAGA AHLI TANPA SKK / SKA REMUNERASI / BIAYA PERSONIL (RUPIAH PER BULAN)
DAN TAHUN PENGALAMAN
S1 / Setara S2 / Setara S3 / Setara
1 **) 26,600,000 34,500,000
2 **) 28,500,000 36,500,000
3 21,950,000 30,400,000 38,500,000
4 23,500,000 32,300,000 40,450,000
5 25,050,000 34,200,000 42,450,000
6 26,600,000 36,100,000 44,450,000
7 28,150,000 38,000,000 46,450,000
8 29,650,000 39,900,000 48,450,000
9 31,200,000 41,800,000 50,450,000
10 32,750,000 43,650,000 52,450,000
11 34,300,000 45,550,000 54,450,000
12 35,850,000 47,450,000 56,450,000
13 37,350,000 49,350,000 58,450,000
14 38,900,000 51,250,000 60,450,000
15 40,450,000 53,150,000 62,450,000
16 42,000,000 55,050,000 64,400,000
17 43,550,000 56,950,000 66,400,000
18 45,050,000 58,850,000 68,400,000
19 46,600,000 60,750,000 70,400,000
20 48,150,000 62,650,000 72,400,000
21 49,700,000 64,550,000 74,400,000
22 51,250,000 66,450,000 76,400,000
23 52,750,000 68,300,000 78,400,000
24 54,300,000 70,200,000 80,400,000
25 55,850,000 72,100,000 82,400,000
*3) Referensi Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) Minimal Tahun 2021 (Benchmarking DKI Jakarta dengan
Indeks = 1,000).
**) S1 dengan pengalaman kurang dari 3 tahun dianggap Sub Professional (lihat Tabel 4-21)
Bagi Tenaga Ahli yang tidak dipersyaratkan memiliki SKK / SKA, perhitungan tahun pengalamannya berdasarkan
akumulasi tahun pengalaman profesi yang setara (comparable experiences) dihitung sejak tamat pendidikan S1.
Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) untuk Provinsi lain (diluar DKI Jakarta) dikalikan dengan Indeks Standar
Remunerasi Per Provinsi (Tabel 6-21).
Catatan:
1. NCB (National Competitive Bidding) adalah pelelangan yang diselenggarakan di wilayah Republik Indonesia dan
terbatas hanya bisa diikuti oleh Badan Usaha Jasa Konsultansi yang terdaftar di Republik Indonesia.
2. Di Lingkungan Kementerian Perhubungan berlaku Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia No. KM
197 Tahun 2020 Tentang Besaran Minimal Biaya Langsung Personil Untuk Kegiatan Jasa Konsultansi Selain
Konstruksi.
• Lampiran Tabel I: Besaran Minimal Biaya Langsung Personil.
• Lampiran Tabel II: Indeks Biaya Langsung Personil Per Provinsi.
3. Untuk Tenaga Ahli yang memberikan layanan jasa konsultansi di bidang Non Jasa Konstruksi, masih banyak
institusi yang belum mensyaratkan tentang keharusan memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) atau Sertifikat
Keahlian (SKA), kecuali jika ditentukan oleh masing-masing Pengguna Jasa.
Tabel 4-21
Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) Tahun 2021
Untuk Tenaga Ahli Sub Profesional *4)
*4) Referensi Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) Minimal Tahun 2021 (benchmarking DKI Jakarta dengan
Indeks = 1,000).
Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) untuk Provinsi lain (diluar DKI Jakarta) dikalikan dengan Indeks Standar
Remunerasi (Tabel 6-21).
Catatan:
1. Personil dalam kategori Sub Professional Staff ini adalah Tenaga Ahli berpendidikan S1 atau yang
disetarakan dengan pengalaman kerja kurang dari 3 tahun.
2. Semua Personil yang terlibat dalam pelaksanaan substansi teknis pekerjaan Jasa Konsultansi yang
berpendidikan dibawah S1 dengan pengalaman kerja berapapun, dikategorikan sebagai Tenaga Sub
Professional.
3. Fasilitator dalam tabel ini adalah fasilitator yang berpendidikan dibawah S1.
Fasilitator dengan pendidikan minimal S1 dengan pengalaman 3 tahun keatas dikategorikan sebagai Tenaga
Ahli.
4. Teknisi Khusus / Inspektur Khusus adalah personil yang memiliki Sertifikat Ketrampilan (SKT) untuk bidang
ketrampilan tertentu / spesifik dan langka seperti: inspector pre–post tension, grouting inspector, inspektur
pengeboran pondasi dalam dan sejenisnya.
5. Teknisi / Inspektur adalah personil yang memiliki Sertifikat Ketrampilan (SKT) untuk bidang ketrampilan
tertentu yang umum diperlukan dalam pekerjaan prasarana umum seperti: inspektur pengawasan gedung,
inspektur pengawasan jalan dan jembatan.
Tabel 5-21
Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) Tenaga Pendukung (Supporting Staffs) Tahun 2021 *5)
*5) Referensi Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) Tenaga Pendukung Minimal Tahun 2021
(benchmarking DKI Jakarta dengan Indeks = 1,000).
Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) Tenaga Pendukung untuk Provinsi lain (diluar DKI Jakarta)
dikalikan dengan Indeks Standar Remunerasi Per Provinsi (Tabel 6-21).
Tabel 6-21
Indeks Standar Remunerasi Per Provinsi Tahun 2021
NO PROVINSI INDEKS
1. Indeks Standar Remunerasi Per Provinsi ini berlaku apabila pengadaan dan pelaksanaan operasional
pekerjaan / proyek berlangsung di Provinsi tersebut dengan Tenaga Ahli juga berasal dari Provinsi
tersebut.
2. Apabila Tenaga Ahli berasal dari luar Provinsi tersebut, maka yang dipakai adalah Indeks Standar
Remunerasi Provinsi yang lebih tinggi, antara provinsi asal domisili Tenaga Ahli dan provinsi pelaksanaan
operasional pekerjaan / proyek berlangsung.
Tabel 7A-21
Biaya Langsung Dengan Cara Pembayaran Reimbursable At Cost Tahun 2021
HARGA
NO JENIS PENGELUARAN SATUAN KETERANGAN
(RP)
1 Dokumen Perjalanan Ke Luar ● Biaya untuk pengurusan Paspor, Visa, Fiskal, Sertifikat
Negeri Kesehatan, dll
● Jumlah Trip Tenaga Ahli terdiri dari Mobilisasi,
Perjalanan Dinas, Cuti Tahunan dan Demobilsasi
● Jumlah Trip Keluarga (Max 1 Istri dan 2 Anak dibawah
18 tahun) hanya Mobilisasi, Cuti Tahunan dan
Demobilisasi
Proyek ≥ 12 Bulan :
• Untuk Keluarga Org-Trip ***)
2 Tiket Transportasi Darat / Laut / ● Untuk Penerbangan Internasional, berlaku tarif IATA,
Udara kelas ekonomi
● Untuk Penerbangan Domestik, berlaku tarif kelas
ekonomi
● Tidak termasuk Airport Tax
Proyek ≥ 12 bulan :
• Untuk Keluarga PP ***) ► Untuk 1 Istri, 2 anak (belum kawin) dengan usia
dibawah 18 tahun
• Airport Tax Org ***) ► Untuk 1 Istri, 2 anak (belum kawin) dengan usia
dibawah 18 tahun
Proyek ≥ 12 bulan :
• Untuk Lajang Kg-Trip ***) ► Max 25 Kg / Orang / Trip
• Untuk Keluarga Kg-Trip ***) ► Max 40 Kg / Keluarga / Trip
Proyek ≥ 12 bulan :
• Untuk Keluarga Kel-Trip ***)
HARGA
NO JENIS PENGELUARAN SATUAN KETERANGAN
(RP)
Kendaraan :
• Roda-4 Unit ***) ► Termasuk biaya registrasi dan asuransi kendaraan
• Roda-2 Unit ***) ► Termasuk biaya registrasi dan asuransi kendaraan
Peralatan kantor :
• Computer Desk Top Unit ***)
• Laptop Unit ***)
• Printer Laser Jet A-3 Unit ***)
• Printer Laser Jet A-4 Unit ***)
• Printer Color A-3 Unit ***)
• Printer Color A-4 Unit ***)
• Scanner Unit ***)
• Mesin Fotocopy Unit ***)
• Mesin Fax Unit ***)
• Proyektor Unit ***)
• Digital Camera Unit ***)
• Plotter Unit ***)
• Software / Lisensi Unit ***)
• dll. Unit ***)
Furniture Kantor :
• Meja dan Kursi Kerja Set ***)
• Meja dan Kursi Rapat Set ***)
• Air Conditioner Unit ***)
• Filing Cabinet Unit ***)
• White Board Unit ***)
• Shelf Unit ***)
• Water Dispenser Unit ***)
• dll. Unit ***)
HARGA
NO JENIS PENGELUARAN SATUAN KETERANGAN
(RP)
*** ) Penentuan harga bisa mengikuti aturan yang ada pada Perpres No. 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah,
yaitu pada Pasal 26 ayat (8) huruf a dan b disebutkan bahwa HPS ditetapkan paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum batas
akhir untuk:
Tabel 7B-21
Biaya Langsung Dengan Cara Pembayaran Reimbursable At Cost Tahun 2021
HARGA
NO JENIS PENGELUARAN SATUAN KETERANGAN
(RP)
HARGA
NO JENIS PENGELUARAN SATUAN KETERANGAN
(RP)
7 Penginapan Tugas Luar ● Tujuan perjalanan dinas tidak dalam kota yang sama
dengan lokasi kantor proyek
HARGA
NO JENIS PENGELUARAN SATUAN KETERANGAN
(RP)
8 Sewa Peralatan Disesuaikan dengan type dan merk alat serta spesifikasi,
Penunjang(8-21) untuk alat berdimensi besar diperhitungkan biaya
mobilisasi demolisasi alat
A. Peralatan Pemetaan
• Meter Laser Unit-Bulan 250.000
• Total Station Unit-Bulan 15.000.000 ►Untuk tingkat ketelitian tinggi
• Total Station Unit-Bulan 9.000.000 ►Untuk tingkat ketelitian rata-rata
• Theodolite Digital Unit-Bulan 1.750.000
• Waterpass Digital Unit-Bulan 5.000.000 ►Untuk tingkat ketelitian tinggi
• Waterpass Digital Unit-Bulan 3.000.000 ►Untuk tingkat ketelitian rata-rata
• Hand GPS (Static) Unit-Bulan 1.000.000 ►Untuk tingkat ketelitian tinggi
• GPS RTK Unit-Bulan 1.500.000 ►Termasuk Operator
• GPS Static Unit-Bulan 750.000 ►Termasuk operator
• Echo Sounder Unit-Hari 2.000.000
• Drone Unit-Hari 1.750.000 ► Spesifikasi paling sederhana, termasuk operator
• dll.
(8-21) Biaya Langsung (Direct Cost) untuk Provinsi lain (diluar DKI Jakarta) dikalikan dengan Indeks Biaya Langsung Per Provinsi
(Tabel 8-21).
***) Bila Lokasi Tujuan dan Sarana Transportasi ke Lokasi Tujuan sudah diketahui, maka Harga Satuan bisa diisi dengan mengikuti
aturan yang ada pada Perpres No. 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah, yaitu pada Pasal 26 ayat (8)
huruf a dan b disebutkan bahwa HPS ditetapkan paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum batas akhir untuk:
Catatan:
Sewa peralatan survey terkait lainnya dapat dilihat pada standar sewa peralatan oleh agen resmi alat atau yang diterbitkan oleh
instansi terkait.
Tabel 7C-21
Biaya Langsung Dengan Cara Pembayaran Fixed Rate Tahun 2021
HARGA
NO JENIS PENGELUARAN SATUAN KETERANGAN
(RP)
4 Tunjangan Tugas Luar ● Tujuan perjalanan dinas tidak dalam kota yang sama
(Out of Station Allowance / dengan lokasi kantor proyek
OSA) ● Untuk Uang Harian, diluar biaya penginapan
• Jakarta Org-Hari 350.000
• Provinsi Org-Hari 350.000
• Kabupaten / Kota Org-Hari 350.000
• Lokasi Proyek / Org-Hari 350.000 ► Di luar Ibu Kota Kabupaten
Lapangan
HARGA
NO JENIS PENGELUARAN SATUAN KETERANGAN
(RP)
6 Biaya ATK
(Office Consumables) (8-21)
Tabel 7D-21
Biaya Langsung Dengan Cara Pembayaran Lump Sum Tahun 2021
HARGA
NO JENIS PENGELUARAN SATUAN KETERANGAN
(RP)
***) Penentuan harga ini bisa mengikuti aturan yang ada pada Perpres No. 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
yaitu pada Pasal 26 ayat (8) huruf a dan b disebutkan bahwa HPS ditetapkan paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum
batas akhir untuk:
Tabel 8-21
Indeks Biaya Langsung Per Provinsi Tahun 2021
NO PROVINSI INDEKS
1 Nanggroe Aceh Darussalam 0.963
2 Sumatera Utara 0.924
3 Sumatera Barat 0.900
4 Riau 0.894
5 Kepulauan Riau 1.125
6 Jambi 0.881
7 Sumatera Selatan 0.882
8 Kepulauan Bangka Belitung 0.943
9 Bengkulu 0.860
10 Lampung 0.849
11 Banten 0.889
12 DKI Jakarta (Benchmarking) 1.000
13 Jawa Barat 0.905
14 Jawa Tengah 0.876
15 DI Yogyakarta 0.906
16 Jawa Timur 0.909
17 Bali 1.043
18 Nusa Tenggara Barat 0.897
19 Nusa Tenggara Timur 0.888
20 Kalimantan Barat 0.984
21 Kalimantan Tengah 0.934
22 Kalimantan Selatan 0.942
23 Kalimantan Timur 1.006
24 Kalimantan Utara 0.988
25 Sulawesi Utara 0.943
26 Sulawesi Tengah 0.851
27 Sulawesi Tenggara 0.892
28 Sulawesi Selatan 0.908
39 Sulawesi Barat 0.903
30 Gorontalo 0.942
31 Maluku 1.102
32 Maluku Utara 1.088
33 Papua 1.852
34 Papua Barat 1.175
Tabel 8-21 ini berlaku hanya untuk beberapa Jenis Pengeluaran yang tertera pada Tabel 7B-21 dan Tabel
7C – 21.
Indeks Biaya Langsung Per Provinsi ini berlaku apabila pelaksanaan operasional pekerjaan / proyek
berlangsung di Provinsi tersebut.
LAMPIRAN
I. Kualifikasi dan Klasifikasi Tenaga Ahli Nasional dalam rangka Undangan Pelelangan
Internasional (ICB) dan Nasional (NCB)
Catatan:
Pendidikan Akademi Diploma (D4) setara dengan Pendidikan Tinggi Sarjana (S1).
II. Besaran Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) Badan Usaha dan Konsultan Perorangan
ditentukan dengan kriteria sebagai berikut:
1. Penyedia Jasa Konsultansi (Badan Usaha) yang bersifat mencari keuntungan (profit making
organization), Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) nya diperhitungkan 100%.
2. Penyedia Jasa Konsultansi yang bersifat nir-laba (non profit making organization) seperti Lembaga
Pemerintah (Universitas, Lembaga Penelitian, Rumah Sakit) serta lembaga sosial lainnya,
Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) nya diperhitungkan 70% dari Remunerasi / Biaya
Personil Badan Usaha.
3. Untuk Penyedia Jasa Konsultansi Perorangan, Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) nya
diperhitungkan 55% dari Remunerasi / Biaya Personil Badan Usaha.
4. Untuk Team Leader dan Co-Team Leader, dapat diperhitungkan Remunerasi / Biaya Personil
(Billing Rate) tambahan sebesar 3% - 6% dari Remunerasi / Biaya Personil Badan Usaha.
5. Untuk Tenaga Ahli dengan spesialisasi tertentu dan masih langka, dapat diperhitungkan
Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) tambahan yang bersifat khusus.
Contoh Tenaga Ahli dengan spesialisasi tertentu, antara lain dan tidak terbatas seperti di bawah
ini:
• Bridge Engineer pada pekerjaan Disain Jembatan Non Standar (misalnya: Cable Stay,
Suspension Bridge, Jembatan Box Girder, Arch Bridge, dll.).
• Structure Engineer pada pekerjaan Power Plant
• Mechanical Engineer pada pekerjaan Power Plant
• Electrical Engineer pada pekerjaan Power Plant, Highrise Building, dll.
• Geologist pada pekerjaan Power Plant, Highrise Building, Bendungan / Dam dll.
• Geotechnical Engineer pada pekerjaan Power Plant, Bendungan / Dam
• Environmental Engineer pada pekerjaan Power Plant, Highrise Building, dll.
• Blasting Engineer pada pekerjaan Tunnel, Dam, dll.
• Value Engineering Specialist / Value Management Specialist
• System Security Specialist
• Legal Contractual Expert / Advisor
• Public Private Partnership (PPP / KPBU) Specialist
• Risk Analyst
• Financial Specialist pada proyek PPP / KPBU
• Gender Specialist
• Hospital Management Specialist
• Information and Communication Technology Specialist
• Untuk Tenaga Ahli yang bekerja pada Sektor Swasta
• dll.
Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) dengan spesialisasi tertentu ini bisa dihitung
berdasarkan satuan waktu yang lebih pendek, yaitu:
III. Imbal Jasa Keahlian / Honor / Gaji yang diterima oleh Tenaga Ahli
Berdasarkan Lampiran Permen PUPR No. 14 Tahun 2020 Tentang Standar Dan Pedoman Pengadaan
Jasa Konstruksi Melalui Penyedia, Lampiran JK Standar Dokumen Pengadaan Jasa Konsultansi
Konstruksi Badan Usaha Bab III Huruf F, butir 35.5 huruf (c) Tentang Klarifikasi Dan Negosiasi Biaya,
batasan Imbal Jasa Keahlian / Honor / Gaji yang diterima Tenaga Ahli adalah:
1. Untuk Tenaga Ahli Tetap diberikan minimal 25% dari Remunerasi / Biaya Langsung (Billing Rate)
yang diterima Penyedia Jasa dari Pengguna Jasa.
2. Untuk Tenaga Ahli Tidak Tetap diberikan minimal 40% dari Remunerasi / Biaya Langsung (Billing
Rate) yang diterima Penyedia Jasa dari Pengguna Jasa.
Dalam rangka evaluasi teknis perhitungan jumlah tahun pengalaman profesional rill untuk seorang
Tenaga Ahli ditetapkan sebagai berikut :
1. Pengalaman profesional riil yang setara (Comparable Experiences) dengan bidang yang
diperlukan, diperhitungkan 100%.
2. Pengalaman profesional riil di bidang lain yang menunjang, diperhitungkan 80%.
3. Pengalaman profesional riil di bidang lain yang tidak secara langsung menunjang, akan tetapi
terkait, diperhitungkan 50%.
4. Pengalaman yang tidak terkait, diperhitungkan 0% (tidak diperhitungkan).
V. Perhitungan Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) Badan Usaha Jasa Konsultansi untuk
Tahun 2021 dan tahun selanjutnya serta untuk adendum atas kontrak yang lebih dari 1 tahun
1. Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) dengan pendidikan S1, S2 dan S3 dalam rangka
Undangan Pelelangan Internasional (ICB) untuk tahun ke n, n+1, n+2, dst., dihitung dengan
menggunakan rumus (1), (2), (3), (4), (5) dan (6) dengan basis Tahun 2021 (n = 2021).
Y4 = f * Y1 * Kurs = f * { 20,306 + 0,0025 GDP + 0,023 P + 1178,922 TPP } * Kurs ............ (4)
Y5 = f * Y2 * Kurs = f * { 1,738 + 0,0048 GDP + 0,019 P + 1182,205 TPP } * Kurs ............ (5)
Y6 = f * Y3 * Kurs = f * { 31,138 + 0,0036 GDP + 0,301 P + 1252,555 TPP } * Kurs ............ (6)
dimana :
Y1 = Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) untuk pendidikan S1 (USD), untuk Tenaga Ahli Asing
Y2 = Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) untuk pendidikan S2 (USD), untuk Tenaga Ahli Asing
Y3 = Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) untuk pendidikan S3 (USD), untuk Tenaga Ahli Asing
Y4 = Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) untuk pendidikan S1 (Rupiah), untuk Tenaga Ahli Nasional
Y5 = Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) untuk pendidikan S2 (Rupiah), untuk Tenaga Ahli Nasional
Y6 = Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) untuk pendidikan S3 (Rupiah), untuk Tenaga Ahli Nasional
F = 0,35 dimana f adalah rasio antara Input Jasa di Indonesia dengan Input Jasa negara OECD
(Organisation for Economic Cooperation and Development)
Kurs = Kurs pada tahun ke n, n+1, n+2, dst
GDP = Produk Domestik Regional Bruto (dalam Milyar Rupiah) pada tahun ke n, n+1, n+2, dst
P = Jumlah Penduduk (dalam Ribu Orang) pada tahun ke n, n+1, n+2, dst
TPP = Tahun Pengalaman Personil
catatan :
GDP = Rp. 2.026.912,- (forecast Tahun 2021 untuk Provinsi DKI Jakarta)
P = 10.764 (forecast Tahun 2021 untuk Provinsi DKI Jakarta)
Kurs USD = Rp. 15.000,- (forecast Tahun 2021)
2. Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) dengan pendidikan S1, S2 dan S3 dalam rangka
Undangan Pelelangan Nasional (NCB) untuk tahun ke n, n+1, n+2, dst., dihitung dengan
menggunakan rumus (7), (8) dan (9) dengan basis Tahun 2021 (n = 2021).
VI. Pedoman Penggunaan Indeks Standar Remunerasi Per Provinsi dan Indeks Biaya Langsung Per
Provinsi untuk Provinsi Lain (selain Provinsi DKI Jakarta)
Ilustrasi perhitungan Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) dan Biaya Langsung (Direct Cost)
untuk Badan Usaha Jasa konsultansi atas penggunaan Indeks untuk Provinsi lain.
Contoh:
Ilustrasi diatas berlaku untuk operasional pekerjaan / proyek yang berlangsung di Provinsi Sumatera Barat,
dan Tenaga Ahli juga berasal dari Provinsi Sumatera Barat.
Ilustrasi diatas berlaku untuk operasional pekerjaan / proyek yang berlangsung di Provinsi Sumatera Barat,
dan Tenaga Ahli berasal dari Provinsi Sumatera Utara (dipakai Indeks Standar Remunerasi Provinsi Sumatera
Utara yang lebih tinggi).
Maka:
Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) Provinsi Sumatera Barat = 0,893 x Rp. 25.050.000,-
(Tidak ber SKK/SKA, S1, Pengalaman 5 tahun, Undangan NCB) = Rp. 22.369.650,-
Dibulatkan = Rp. 22.400.000,-
Ilustrasi diatas berlaku untuk operasional pekerjaan / proyek yang berlangsung di Provinsi Sumatera Barat,
dan Tenaga Ahli berasal dari Provinsi Jawa Barat (dipakai Indeks Standar Remunerasi Provinsi Sumatera
Barat yang lebih tinggi).
4. Indeks Biaya Langsung Per Provinsi Sumatera Barat (Tabel 8-21) = 0,900
Sewa Kendaraan Roda-4 di Provinsi DKI Jakarta (Tidak termasuk O&M, Driver) = Rp. 10.300.000,-
(Tabel 7B-21)
Maka:
Sewa Kendaraan Roda-4 di Provinsi Sumatera Barat (Tidak termasuk O&M, Driver) = 0,900 x Rp. 10.300.000,-
= Rp. 9.270.000,-
Dibulatkan = Rp. 9.300.000,-
Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) dan Biaya Langsung (Direct Cost) untuk Badan Usaha Jasa
Konsultansi ini, merupakan “Pedoman Standar Minimal”, dan diharapkan agar Pengguna Jasa dan
Penyedia Jasa tidak membuat penawaran harga dibawah harga “Pedoman Standar Minimal” ini.
Ada sanksi dan denda yang diberikan kepada Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa yang diatur dalam:
Pasal 93: Setiap Pengguna Jasa yang menggunakan layanan profesional tenaga kerja konstruksi
pada kualifikasi jenjang jabatan ahli yang tidak memperhatikan standar remunerasi minimal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi:
• Pasal 160 ayat (1): Menteri, Gubernur, Bupati / Wali Kota mengenakan sanksi peringatan
tertulis dan/atau denda administratif bagi Pengguna Jasa yang menggunakan layanan
profesional tenaga kerja Konstruksi pada Kualifikasi jenjang jabatan ahli yang tidak
memperhatikan remunerasi minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1).
• Pasal 160 ayat (2): Pengenaan sanksi denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan kepada Pengguna Jasa yang tidak memperhatikan remunerasi minimal dengan
besaran denda sebesar selisih dari standar nilai remunerasi minimal.
• Pasal 168 ayat (1): Menteri, Gubernur, atau Bupati / Wali Kota mengenakan sanksi denda
administratif kepada Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa yang mempekerjakan tenaga
kerja Konstruksi yang tidak memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (5).
3. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia No.
19/PRT/M/2017 Tentang Standar Remunerasi Minimal Tenaga Kerja Konstruksi Pada Jenjang
Jabatan Ahli Untuk Layanan Jasa Konsultansi Konstruksi:
• Pasal 12 ayat (1): Setiap Pengguna Jasa yang menggunakan layanan profesional Tenaga Kerja
Konstruksi pada kualifikasi Jenjang Jabatan Ahli yang tidak mematuhi standar Remunerasi
Minimal dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis oleh atasan langsung.
• Pasal 12 ayat (2): Setiap Penyedia Jasa yang memberikan layanan profesional Tenaga Kerja
Konstruksi pada kualifikasi Jenjang Jabatan Ahli yang tidak mematuhi standar Remunerasi
Minimal dikenai sanksi administratif yang diatur oleh masing-masing asosiasi perusahaan atau
asosiasi profesi untuk dilaporkan kepada Menteri.
Untuk Provinsi baru, penentuan besarnya Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) dan Biaya
Langsung (Direct Cost) Badan Usaha Jasa Konsultansi mengacu kepada Indeks Standar Remunerasi
dan Indeks Biaya Langsung di Provinsi yang terdekat yang lebih tinggi.
IX. Institusi yang sudah menggunakan Remunerasi / Biaya Personil (Billing Rate) dan Biaya
Langsung (Direct Cost) INKINDO