Diskusi Ciri Kebahasaan Cerpen
Diskusi Ciri Kebahasaan Cerpen
KUNCI JAWABAN
1. Penggunaan majas personifikasi pada kalimat “Senja berlahan mulai bergerak turun”.
“Matahari telah pulang ke peraduan, malam mulai menggelayuti seisi kampus”.
2. Menggunakan kata emotif atau kata dengan emosi yang kuat pada kalimat “Gelisah batang
hidungnya, nongol mondar mandir”. Penggunaan majas simile pada kalimat “Aku
terduduk dalam gelisah sambil menikmati detak jam dinding yang seperti berlomba
dengan denyut jantungku”.
3. Menggunakan dialog tokoh pada kalimat “Tia tahu gak, Mas Dafi ke mana?” tanyanya
cemas. “Tadi sih, katanya mau pergi ke rumah Rian. Tapi itu sudah lima jam yang lalu,
Bu.”. Menggunakan kata-kata yang menyatakan keterangan waktu pada kaliamt lima jam
yang lalu.
4. Penggunaan majas simile pada kalimat “Isakan yang walaupun pelan seperti mengiris
hatiku”. Penggunaan majas hiperbola pada kalimat “Rasa cemasku semakin
menggunung”.
5. Menggunakan dialog tokoh pada kalimat “Dafi...!” teriak ibu gemas, menggunakan kata
emotif atau kata dengan emosi yang kuat pada kata gemas. Penggunaan majas simile pada
kalimat “Dia bangun dengan wajah bingung seperti bayi tak berdosa”.
A. KEGIATAN PROSES PEMBELAJARAN
(1) Senja perlahan mulai bergerak turun. Anak-anak yang bermain di luar sudah kembali ke
rumah masing-masing. Matahari telah pulang ke peraduan, malam mulai menggelayuti seisi
kampung.
(2) Tapi, kemana Mas Dafi? Anak-anak yang lain sudah pulang ke rumah masing-masing.
Hanya Mas Dafi yang belum kelihatan batang hidungnya. Kami sekeluarga masih mencoba
menunggu. Mungkin Mas Dafi sebentar lagi datang. Kami semua gelisah, ibu mondar-mandir
sembari melihat ke pintu depan berkali-kali, berharap Mas Dafi nongol di sana seperti biasa.
Aku terduduk, dalam gelisah sambil menikmati detak jam dinding yang seperti berlomba
dengan denyut jantungku.
(3) “Tia tahu gak, Mas Dafi ke mana?” tanyanya cemas. Aku menggeleng. “Tadi sih, katanya
mau pergi ke rumah Rian. Tapi itu sudah lima jam yang lalu, Bu.” Ibu buru-buru membuka
buku telepon dan menelpon ke rumah Rian. Setelah berbicara beberapa saat, wajah Ibu
tampak bertambah cemas. Ditutupnya gagang telepon perlahan. “Sudah pulang dari tadi.”
Ujarnya, “Kakakmu hanya meminjam novel Rian, lalu pergi.”
(4) “Satu jam pun berlalu. Mas Dafi belum juga pulang. Ibu mulai terisak-isak. Isakan yang
walaupun pelan, terasa seperti mengiris hatiku. Rasa cemasku pun makin menggunung “Ibu
jangan nangis dulu. Mas Dafi pasti pulang sebentar lagi,” rangkulku berusaha menghibur ibu
dan diriku sendiri. Bapak mengenakan sweaternya. Lalu menuju gudang untuk mengambil
senter. Kreaaak… terdengar bunyi engsel pintu gudang yang dibuka Bapak.
(5) Tiba-tiba, terdengar teriakan Bapak. Aku dan Ibu berlari kaget menuju gudang. Astaga!
Tampak Mas Dafi tidur telentang dengan buku menutupi wajahnya. “Dafii.....!” teriak Ibu
gemas sambil menjewer telinganya keras-keras. Kasihan Mas Dafi. Dia bangun dengan
wajah bingung seperti seorang bayi tak berdosa. Sambil berteriak-teriak kesakitan, Mas Dafi
menghindar dari cubitan-cubitan ibu yang menghujani tubuhnya. Andai saja Mas Dafi tahu,
kecemasan yang terjadi selama dia tertidur di gudang.