Anda di halaman 1dari 9

Nama : Abu Dzar

NIM : 105191116920
Kelas : 4C
Mata Kuliah : Metodologi Studi Islam
Dosen Pengampu : Bapak Drs. Mutakallim, M.Pd

“Islam dan Sejarah Sosial Budaya”

Hakikat Kebudayaan dan Agama

• Hakikat Kebudayaan
Kebudayaan merupakan salah satu buah pikiran, baik berupa benda maupun tindakan
yang mana perlu kita lestarikan guna menjaga sejarah yang telah ada di Negara ini.Kebudayaan
menurut Koentjaraningrat(1985:180) adalah keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan
belajar.sedangkan menurut Richard brisling (1990:11) kebudayaan mengacu pada cita-cita
bersama secara luas,nilai,pembentukan dan penggunaan kategori,asumsi tentang kehidupan,
dan kegiatan. Goal-directet yang menjadi sadar diterima sebagai “benar” dan “benar” oleh
orang-orang yang mengidentifikasi.

• Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan atau yang dapat disebut juga Peradaban mengandung pengertian yang
sangat luas dan mengandung pemahaman perasaan suatu bangsa yang sangat kompleks
meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni,moral, hukum, adat-istiadat, kebiasaan dan
pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat (Taylor, 1897). Mempelajari
pengertian kebudayaan bukanlah suatu kegiatan yang mudah dan sederhana, karena banyak
sekali batasan konsep dari berbagai bahasa, sejarah, sumber bacaan atau literatur baik yang
berwujud ataupun yang abstrak dari sekelompok orang atau masyarakat.
Dalam hal pendekatan, metode juga telah banyak disiplin ilmu lain yang juga mengkaji
berbagai macam permasalahan terkait kebudayaan seperti, Sosiologi, Psikoanalisis, Psikologi
(Perilaku) dan sebagainya yang masingmasing mempunyai tingkat kejelasan sendiri-sendiri
tergantung pada konsep dan penekanan masing-masing.
Apabila ditinjau dari asal katanya, maka Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta
yaitu Budhayah, yang merupakan bentuk jamak dari Budhi yang berarti Budi atau Akal. Dalam
hal ini, Kebudayaan dapat diartikan sebagai halhal yang bersangkutan dengan budi atau akal.
Selanjutnya Koentjaraningrat (1980) mendefinisikan Kebudayaan sebagai “Keseluruhan dari
hasil budi dan karya”. Dengan kata lain kebudayaan adalah keseluruhan dari apa yang pernah
dihasilkan oleh manusia karena pemikiran dan karyanya. Jadi kebudayaan merupakan produk
dari budaya. Dalam disiplin Ilmu Antropologi Budaya, pengertian Kebudayaan dan Budaya
tidak dibedakan. Adapun pengertian Kebudayaan dalam kaitannya dengan Ilmu Sosial Budaya
Dasar adalah: “Penciptaan, penertiban dan pengolahan nilai-nilai insani yang tercakup di
dalamnya usaha memanusiakan diri di dalam alam lingkungan, baik fisik maupun sosial”.
Herkovits yang dikenal dengan bukunya yang berjudul “Man and His Work” telah memberikan
Dalil tentang Teori Kebudayaan, yaitu:
A. Kebudayaan dapat dipelajari.
B. Kebudayaan berasal atau bersumber dari segi biologis, lingkungan, psikologis, dan
komponen sejarah eksistensi manusia.
C. Kebudayaan mempunyai struktur.
D. Kebudayaan dapat dipecah-pecah ke dalam berbagai aspek.
E. Kebudayaan bersifat dinamis.
F. Kebudayaan mempunyai variabel.
G. Kebudayaan memperlihatkan keteraturan yang dapat danalisis dengan metode ilmiah.
H. Kebudayaan merupakan alat bagi seseorang untuk mengatur keadaan totalnya dan
menambah arti bagi kesan kreatifnya.

Hakikat Agama

• Hakikat Agama
Agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup, yakni kepada jiwa
dan kehendak Ilahi yang mengatur alam semesta. Dalam pandangan fungsionalisme,
agama (religion atau religi) adalah satu sistem yang kompleks yang terdiri dari
kepercayaan, keyakinan, sikap-sikap dan upacara-upacara yang menghubungkan
individu dengan satu keberadaan wujud yang bersifat ketuhanan. Menurut Durkheim
agama harus mempunyai fungsi, karena agama bukan ilusi tetapi merupakan fakta
sosial yang dapat diidentifikasi dan mempunyai kepentingan sosial. Menurut Harun
Nasution, unsur yang paling penting dalam agama adalah: percaya adanya kekuatan
gaib. Manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat
minta tolong. Oleh karena itu, manusia merasa harus mengadakan hubungan baik
dengan kekuatan gaib tersebut, mematuhi perintah dan larangan kekuatan gaib itu.
Sedangkan menurut Glock dan Stark, agama adalah sistem simbol, sistem keyakinan,
sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan yang semuanya berpusat pada
persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi. Seluruh sistem
tersebut berpusat pada satu konsep, yaitu ketuhanan. Maksudnya agama merupakan
sistem yang mengatur hubungan antara manusia dengan kekuatan adikodrati, yang
dipandang sakral (suci atau kudus).
Dapat diambil kesimpulan bahwa agama tidak hanya berurusan dengan obyek-
obyek bernilai tinggi, atau paling akhir bagi individu atau masyarakat tetapi juga
dengan pemeliharaan dan pengembangan hidup dalam segala hal.

• Pengertian Agama
Keberagamaan” dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti perihal beragama
(2003: 12). Keberagamaaan berasal dari kata agama yang artinya adalah risalah yang
disampaikan Tuhan kepada Nabi sebagai petunjuk bagi manusia dan hukum-hukum
sempurna untuk dipergunakan manusia dalam menyelenggarakan tata cara hidup yang
nyata serta mengatur hubungan dengan dan tanggung jawab kepada Allah, dirinya
sebagai hamba Allah, manusia dan masyarakat serta alam sekitarnya. Keberagamaan
adalah suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang untuk bertingkahlaku sesuai kadar
ketaatanya pada agama.
Sedangkan menurut ahli pengertian keberagamaan dapat dikemukakan
beberapa pendapat:
a. Menurut Endang Saifudin Anshari “Agama dari bahasa sanskerta, yaitu dari
kata a = tidak, dan gama = kacau atau kocar - kacir, teratur”.
b. Menurut Harun Nasution “Agama” berasal dari kata sanskrit yang tersusun
dari dua kata, a = tidak dan gam = pergi, jadi artinya tidak pergi, diwarisi
turun temurun.
c. Menurut Abudin Nata Kata agama sebagaimana tersebut di atas dapat
berarti tuntunan, karena agama mengandung ajaran-ajaran yang dapat
menjadi tuntunan hidup bagi penganutnya.

Sedangkan secara terminologi agama dapat didefinisikan sebagai berikut:

a. Menurut Nasrudin Razak Kata “Agama dianggap sama dengan peristilahan


bahasa Inggris, Religion, atau dalam peristilahan sehari-hari religi.
b. Menurut Sidi Gazalba “Religi adalah kepercayaan pada tuhan dan
hubungan manusia dengan yang kudus, dihayati sebagai hakikat yang gaib,
hubungan yang mana menyatakan diri dalam bentuk serta sistem kultus dan
sikap hidup, berdasarkan doktrin tertentu”.
c. Menurut Mudjahid Abdul Manaf Mendifinisikan agama adalah “suatu
peraturan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal
memegang peraturan Tuhan dengan kehendaknya sendiri untuk mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat”.

Dari definisi keberagamaan maka dapat diambil kesimpulan bahwa


keberagamaan adalah perilaku seseorang yang didasarkan pada keyakinan,
pengetahuan, ajaran-ajaran, aturan-aturan dan norma-norma yang berlaku dan sesuai
dengan agama yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Antara Agama dan Budaya

Mengenai agama dan budaya, secara umum dapat dikatakan bahwa agama
bersumber dari Allah, sedangkan budaya bersumber dari manusia. Agama adalah
“karya” Allah, sedangkan budaya adalah karya manusia. Dengan demikian, agama
bukan bagian dari budaya dan budaya pun bukan bagian dari agama. Ini tidak berarti
bahwa keduannya terpisah sama sekali, melainkan saling berhubungan erat satu sama
lain. Melalui agama, yang dibawa oleh para nabi dan rasul, Allah Sang Pencipta
menyampaikan ajaran-ajaran-Nya mengenai hakekat Allah, manusia, alam semesta dan
hakekat kehidupan yang harus dijalani oleh manusia. Ajaran-ajaran Allah, yang disebut
agama itu, mewarnai corak budaya yang dihasilkan oleh manusia-manusia yang
memeluknya.

Di tengah masyarakat, kita melihat praktek-praktek keberagamaan yang bagi


sebagian orang tidak terlalu jelas apakah ia merupakan bagian dari agama atau budaya.
Ambil contoh tradisi tahlilan. Tidak sedikit di kalangan umat Islam yang beranggapan
bahwa upacara tahlilan adalah kewajiban agama, yang harus mereka selenggarakan
meskipun untuk itu harus berhutang. Mereka merasa berdosa kalau tidak mengadakan
tahlilan ketika ada anggota keluarga yang meninggal dunia. Padahal yang diperintahkan
oleh agama berkaitan dengan kematian adalah “memandikan, mengkafani,
menyalatkan, mengantar ke makan, memakamkan, dan mendoakan”. Sangat simple dan
hampir tidak memerlukan biaya. Ini berarti bahwa upacara tahlilan pada dasarnya
adalah tradisi, bagian dari budaya bangsa, yang mungkin telah ada sebelum datangnya
Islam, yaitu tradisi kumpul-kumpul di rumah duka, yang kemudian diislamkan atau
diberi corak Islam. Yang perlu dilakukan dalam hal ini adalah membenahi pemahaman
dan penyikapan umat terhadap praktek-praktek keberagamaan seperti itu secara
proporsional.

Sekedar perbandingan bisa dikemukakan di sini kewajiban agama yang


bernama qurban (sekali setahun) dan aqiqah (sekali seumur hidup). Qurban dan Aqiqah
adalah perintah agama meskipun kedudukan hukum fikihnya hanya sunnah
mu`akkadah. Tapi di tengah masyarakat muslim secara umum, qurban dan aqiqah ini
kalah pamor dibandingkan dengan tahlilan. Apakah ini berarti umat Islam lebih peduli
terhadap urusan kematian daripada urusan kehidupan? Wallahu ’alam. Yang pasti
bahwa “sanksi sosial” yang dijatuhkan kepada orang yang tidak mengadakan tahlilan
lebih keras dibandingkan dengan orang yang tidak melaksanakan qurban dan aqiqah.

Adalagi produk budaya yang disalahpahami sebagai bagian dari agama


sehingga dianggap sebagai bid’ah. Misalnya kesenian yang bercorak Islam. Banyak
puisi madah nabawi (pujian kepada Nabi) ditulis dalam bahasa Arab, kemudian
dilagukan dan diiringi dengan musik. Lagu dan musik semacam ini di Indonesia disebut
lagu atau musik shalawat. Karena shalawat itu bagian dari ibadah dan kalimat-
kalimatnya sudah diajarkan oleh Nabi SAW, maka puisi madah nabawi (yang
kalimatnya berbeda dengan yang diajarkan oleh Nabi), apalagi lagu dan musiknya, serta
merta dinilai sebagai bid’ah. Anehnya, puji-pujian kepada Nabi yang ditulis dalam
bahasa Indonesia, yang kemudian dilagukan dan diiringi musik, tidak dimasukkan
dalam katagori bid’ah. Puisi-puisi pujian untuk Nabi (termasuk yang ditulis dalam
bahasa Arab) adalah produk budaya dengan muatan cinta kepada Rasulullah SAW dan
doa kepada Allah SWT.

Pada prinsipnya, Islam datang ke suatu daerah (termasuk ke jazirah Arabia


sebagai tempat kelahirannya) tidak untuk menghapuskan semua produk budaya
termasuk tradisi yang sudah hidup di tengah masyarakat. Ada tradisi Arab (masa
jahiliah) yang dilarang, ada yang dibiarkan, ada yang dikembangkan, dan ada yang
diislamkan dan dijadikan bagian dari ajaran Islam. Pertanyaan pokok, dalam
menghadapi beragam budaya dan tradisi di tengah masyarakat, adalah apakah budaya
dan tradisi itu tidak bertentangan dengan pokok-pokok akidah, syariah dan akhlak
Islam?
Kelahiran Islam dan Sentuhan Budaya Arab

• Islam Pra-Islam

Bangsa Arab mempunyai akar panjang dalam sejarah, mereka termasuk ras atau
rumput bangsa Kaukasoid, dalam subras Medditerranean yang anggotanya meliputi
wilayah sekitar Laut Tengah, Afrika Utara, Armenia, Arabia, dan Irania. Bangsa Arab
hidupnya berpindah-pindah, nomad, karena tanahnya terdiri dari gurun pasir yang
kering dan sangat sedikit turun hujan. Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat
yang lain mengikuti tumbuhan stepa atau padang rumput yang tumbuh secara sporadis
di tanah Arab di sekitar oasis atau genangan air setelah turun hujan. Padang rumput
diperlukan oleh bangsa Badawi, Badawah, Badui, untuk mengembala ternak mereka.

Mereka mendiami wilayah Jazirah Arabia yang dahulu merupakan sambungan


wilayah gurun membentang dari barat Sahara di Afika hingga ke timur melintasi Asia,
Iran Tengah, dan Gurun Gobi di Cina. Wilayah ini sangat kering dan panas karena uap
air laut disekitarnya. Sekalipun begitu, wilayah ini kaya dengan penghasilan bahan
minyak terbesar di dunia.

Bangsa Arab diketahui telah memiliki peradaban jauh sebelum Islam muncul
disana. Beberapa ahli mengungkapkan bahwa aspek peradaban Arab meliputi agama,
politik, ekonomi dan seni budaya. Sejarawan muslim membagi penduduk Arab menjadi
tiga kategori, yaitu:

1. al-‘Arab al-Ba’idah: Arab Kuno;


2. ‘Arab al-Arabiyah: Arab Pribumi; dan
3. al’Arab al-Musta’ribah: Arab

Eksistensi Arab Kuno tidak dapat terdeteksi oleh sejarah kecuali beberapa kaum
yang dikisahkan dalam al-Quran dan kitab-kitab pendahulunya. Adapun Arab pribumi
adalah dua golongan besar, yaitu Qahthaniyun dan ‘Adnaniyun yang berasal dari
Yaman dan merupakan keturunan Nabi Isma’il AS yang berdiam di Hijaz, Tahama,
Nejad, Palmerah dan sekitarnya. Dari segi tempat tinggal mereka dibagi ke dalam dua
kelompok besar, yaitu Ahl al-Hadharah (penduduk kota) dan Ahl al-Badiyah
(penduduka gurun pasir). Kedua kelompok ini banyak perbedaan dalam pranata sosial,
tata cara, ekonomi, dan politik yang dipengaruhi kondisi geografi dan kondisi alam
dimana mereka tinggal.
• Arab Saat Kelahiran Islam

Islam diwahyukan oleh Allah melalui seorang hamba dan rasul-Nya yaitu
Muhammad Ibn Abdillah yang lahir pada 12 R. Awwal Tahun Gajah bertepatan dengan
29 Agustus 571 M di Mekkah. Beliau berasal dari kabilah Quraisy yang merupakan
kabilah terhormat di kalangan bangsa Arab. Beliau menerima wahyu pertamanya pada
umur 40 tahun dan menjadi titik awal lahirnya ajaran agama penyempurna agama
Tauhid dari Nabi Ibrahim, yaitu Islam. Jalan dakwah yang dilaluinya cukup terjal dan
mendapat tekanan dan penolakan dari berbagai pihak. Namun tanpa mengenal putus
asa, beliau tetap melanjutkan misi suci menyampaikan wahyu Allah kepada manusia.
Secara keseluruhan, beliau menghabiskan waktu sekitar 23 tahun untuk berdakwah
menyeru kepada Islam, dengan rincian 13 tahun pertama dilaksanakan di Mekkah dan
10 tahun selanjutnya di kota Yatsrib atau Madinah.

Tujuan dakwah Nabi selama 13 tahun di Mekkah adalah penanaman dasardasar


keimanan dan segala yang berhubungan dengan aqidah. Hal tersebut dapat dicermati
dalam hal-hal yang dibahas dalam surah Makkiyah yang kental dengan masalah aqidah
dan keimanan. Berbeda dengan periode selanjutnya, di Madinah Nabi mulai
menerapkan syari’ah Islam, hukum-hukum dan pembangunan ekonomi, sebagai dasar
kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Berbagai dasar-dasar kemasyarakatan Islam diletakkan oleh Nabi demi


membangun miniatur negara yang sesuai dengan konsep Islam. Pertama, pendirian
masjid untuk tempat berkumpul dan bermusyawarah disamping fungsi utamanya
sebagai tempat ibadah. Kedua, mempersaudarakan antar kaum muslim pendatang
(Muhajirin) dan penduduk asli Madinah (Anshar) meski tidak memiliki hubungan
kekerabatan secara keturunan. Ketiga, membuat perjanjian untuk bekerja sama dan
saling membantu antara kaum muslim dan bukan muslim. Kala itu di Madinah
setidaknya ada 12 kelompok berbeda yang mengadakan perjanjian yang disebut Piagam
Madinah (Madinah Charter). Kelompok-kelompok tersebut diwakili oleh tiga
kelompok besar, yaitu kaum Muslim, kaum Yahudi dan orang Arab yang belum masuk
Islam. Dalam piagam tersebut sedikitnya terdapat 5 poin kesepakatan antar seluruh
penduduk Madinah yang berbunyi sebagai berikut:

1. Tiap kelompok dijamin kebebasannya dalam beragama,


2. Tiap kelompok berhak menghukum anggota kelompoknya yang bersalah,
3. Tiap kelompok harus saling membantu dalam mempertahankan Madinah, baik
yang muslim maupun non-muslim,
4. Penduduk Madinah semuanya sepakat mengangkat Nabi Muhammad sebagai
pemimpinnya dan memberi keputusan hukum segala perkara yang dihadapkan
kepadanya, dan
5. Meletakkan landasan berpolitik, ekonomi, dan kemasyarakatan bagi negeri
Madinah yang baru terbentuk

Dasar berpolitik yang dijunjung oleh Nabi adalah keadilan. Prinsip keadilan harus
dijalankan terhadap semua penduduk tanpa pandang bulu dan mengakui persamaan
derajat seluruh manusia di hadapan Allah. Prinsip ini cukup berat untuk dipraktikkan
mengingat tradisi Arab yang mengakui keunggulan satu keturunan atau satu kabilah
tertentu atas lainnya. Prinsip lainnya adalah prinsip musyawarah untuk memecahkan
segala persoalan demi tercapainya kemashlahatan Bersama.

Prinsip sosial Islam (social justice) juga diperkenalkan menggantikan berbagai


tradisi Jahiliyyah yang kurang (bahkan tidak) berperikemanusiaan. Nabi yang juga
berdagang mengajarkan konsep jual-beli yang berbeda dengan tradisi Arab dahulu,
tidak ada lagi monopoli perdagangan maupun sistem ekonomi kapitalis. Derajat wanita
yang dahulu tidak berharga diangkat sedemikian rupa sehingga memiliki derajat yang
setara dengan pria.

Hukum pernikahan Islam pun diterapkan dengan membatasi seorang pria beristri
4 orang wanita dan melalui akad yang sah. Seorang wanita juga mendapatkan bagian
dari harta warisan yang ditinggalkan oleh suami atau orang tuanya. Islam juga
mengharamkan berbagai perbuatan tercela yang menjadi tradisi Arab seperti bertaruh,
berjudi, minum khamr dan perbuatan tercela lainnya.

Beberapa perubahan sosial lainnya adalah semakin terangkatnya derajat manusia,


terutama para budak belian. Perlahan namun pasti, Nabi mencoba mengurangi praktik
perdagangan budak dan memberikan mereka hak-hak seperti manusia lainnya. Salah
satunya adalah banyaknya hukuman atas perbuatan dosa dalam Islam mensyariatkan
pembebasan budak sebagai hukumannya. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi
jumlah budak-budak yang diperjualbelikan kala itu.

Secara tersirat, Islam mengembalikan hak-hak manusia seperti yang disepakati


dalam Piagam Atlantik (The Atlantic Charter) tentang The Four Freedom of Mankind
(empat macam kebebasan manusia). Oleh karena itu, Nabi berupaya mengurangi
peperangan dan konflik yang berujung pertumpahan darah sebagaimana tradisi suku-
suku Arab terdahulu. Alih-alih berperang, Nabi menekankan sifat saling memaafkan
dan berlapang dada. Sikap tersebut amat tampak saat Pembebasan Mekkah (fathu
Makkah), dimana kaum Quraisy yang amat memusuhi Nabi tidak mendapatkan
hukuman, melainkan pengampunan atas semua kesalahan mereka. Sejarah perang yang
terjadi di zaman Nabi tidak lain karena terlebih dahulu diserang sehingga menuntut
untuk terjadi peperangan. Bila memungkinkan, Nabi lebih memilih cara-cara diplomasi
dan perundingan dibandingkan mengobarkan peperangan.

Bentuk pemerintahan Madinah sendiri bercorak teokrasi dengan seorang Rasul


sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara namun kedaulatan berada di tangan
Allah. Konsep yang disebut Islamic State ini menempatkan Allah sebagai de jure
sovereignty dan Nabi sebagai de facto sovereignty. Selain itu, Nabi juga menerapkan
sistem republik dengan bantuan Majelis Syura.

Dalam pemerintahannya, sebagaimana sistem Arab pra-Islam, Nabi juga


menyusun gubernur-gubernur atau wali-wali yang bertanggungjawab dalam berbagai
bidang seperti perekonomian, hukum, peradilan, pertahanan dan keagamaan. Dengan
ini menunjukkan bahwa Islam tidak menolak semua tradisi Arab pra-Islam, namun
mengakomodir berbagai sistem dan adat istiadat yang dipandang baik dan tidak
bertentangan dengan syari’at Islam, seperti konsep pernikahan, sistem perdagangan dan
lain sebagainya.

Islam Sebagai Sistem Budaya

Anda mungkin juga menyukai