Anda di halaman 1dari 19

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR

PENYELENGGARAAN FASILITASI DARURAT NARKOBA


(PEMBENTUKAN SATUAN TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN NAPZA)

I. PENDAHULUAN

Permasalahan narkoba di Indonesia memperlihatkan gejala ironik, ketika upaya


penanggulangan gencar dilakukan oleh pemerintah bersama seluruh eksponen
masyarakat, disaat itupula proses penyebarannya semakin cepat dengan modus
operandi yang beragam. Kondisi ini telah membawa Negara dan Bangsa kita dalam
status Darurat Narkoba. Identitas penamaan yang tepat jika Indonesia dinyatakan
dalam kedaruratan penyalahgunaan narkoba, mengingat populasi yang terdampak
menyebar disemua kelompok umur dengan daerah penyebaran yang hampir merata di
seluruh wilayah Nusantara. Hingga pertengahan tahun 2016, prevalensi penyalahguna
narkoba di Indonesia sudah mencapai angka 2,2% atau sekitar 4 juta penduduk
Indonesia telah menjadi korban. Jumlah kematian yang dilaporkan sebanyak 50.000
orang tiap tahunnya akibat penyalahgunaan narkoba ini.

Infografis prevalensi di atas secara rerata terjadi juga di Wilayah Sulawesi Selatan.
Bahkan diestimasi angka prevalensi di wilayah ini cenderung mengalami kenaikan
signifikan sebagai akibat beberapa kondisi yang memperantarainya, diantaranya
adalah letak geogerafis Sulsel yang berada di posisi sentral dalam jalur mobilitas
manusia dari Wilayah Barat Indonesia ke Wilayah Bagian Timur Indonesia, begitupun
sebaliknya. Selain posisinya sebagai jalur sentral dengan fungsi transit, beberapa
daerah di Sulsel menjadi jalur penghubung langsung dengan wilayah Luar Negeri yang
ditengarai sebagai pemasok Narkoba dan prekursornya.

Analisa lainnya dalam memandang Sulsel sebagai wilayah yang sangat rawan
penyebaran narkoba adalah angka pertumbuhan ekonomi Sulsel 2 (dua) tahun terakhir
ini di atas rata-rata nasional yang menggambarkan adanya dinamika kehidupan
ekonomi dengan laju pergerakan yang cepat. Dinamika ekonomi tersebut memberikan
sejumlah implikasi tidak langsung terhadap suburnya praktek pengedaran gelap
narkoba yang berakhir dengan peningkatan jumlah korban pengguna baru dari waktu
ke waktu. Tentu saja tekstur realitas yang diharapkan adalah pertumbuhan ekonomi
meningkat tanpa menimbulkan dampak destruktif bagi pembangunan.

Logika ekonomi yang bekerja dibalik penyebaran massif narkoba tetap mengandalkan
akumulasi keuntungan sebagai tujuan. Karena itu, kelompok usia anak-anak dan
remaja dijadikan sebagai pasar empuk, mengingat kelompok usia ini berada dalam
kerentanan yang tinggi akibat situasi psikologisnya yang labil dan didukung oleh
ketidaktahuannya terhadap epidemik ini. Berdasarkan penelusuran fakta, ditemukan
85% penyalahguna narkoba berasal dari kelompok usia ini dengan usia saat pemakaian

1
pertama berada pada usia 14 tahun. Bahkan disinyalir, usia anak yang memakai
pertama kali mengkonsumsi narkoba sekarang ini semakin rendah, yakni sekitar usia
12 tahun. Sungguh sebuah fakta memprihatinkan adanya ancaman regenerasi
pembangunan secara nyata membentang dihadapan kita.

Dalam dimensi waktu, penyebaran narkoba mengakibatkan munculnya korban baru


dalam waktu yang singkat. Dalam kurun waktu 2 tahun terakhir (2013-2015) terjadi
peningkatan angka prevalensi dari 1,5% menjadi 2,2%. Ini berarti bahwa selama kurun
waktu tersebut terdapat jumlah penyalahguna baru sebanyak 70 orang dari 1000
penduduk (0,7%). Angka ini akan terus merangkak naik dalam waktu yang singkat,
apalagi jika mendapatkan pemicu yang relevan dan kondusif.

Pemaparan kasus penyalahgunaan narkoba menurut tempat atau area terdampak


semakin menambah kekhawatiran. Terdapat 24 kabupaten kota di Sulsel sudah
melaporkan adanya penyalahgunaan narkoba, dimana asal korban bukan hanya yang
berada di wilayah perkotaan, akan tetapi beberapa diantaranya tinggal di pedesaan.
Kenyataan ini menggambarkan bahwa tidak ada lagi arena sosial (social space) yang
bebas dari pengaruh narkoba.

Tingkat magnitude ancaman narkoba di Sulsel di atas memerlukan pembacaan ulang


terhadap upaya atau pendekatan yang selama ini diterapkan. Jika menyimak kembali
upaya-upaya yang sudah dilakukan dengan penerapan 3 pendekatan yakni menekan
suplai, menekan permintaan, dan mengurangi kerugian (harm reduction),
sesungguhnya sudah mengantisipasi semua ranah permasalahan. Pada tingkatan
suplai, aktivitas pemberantasan marak dilakukan oleh aparat penegakan hukum
dengan melakukan rasia, penangkapan, dan penindakan bagi pengedar, bandar, dan
produsen sampai pada akar jaringannya. Pada tingkatan permintaan, proses
penyadaran bagi segenap komponen masyarakat melalui kegiatan penyuluhan,
pembinaan, dan pengembangan kapasitas telah diterapkan, baik yang difasilitasi
langsung oleh pemerintah maupun dunia usaha dan organisasi masyarakat. Begitupun
juga, pada tingkatan harm reduction, upaya rehabilitasi korban dalam memutus rantai
pengedaran dikembangkan melalui penyelenggaraan kegiatan rehabilitasi bagi korban.

Berbagai aktivitas pencegahan dan penanggulangan yang sudah dilakukan ternyata


belum mampu untuk mengendalikan praktek penyebaran narkoba. Asumsi sementara
yang digunakan dalam menganalisa situasi ini adalah intensitas penanggulangan yang
terjadi belum secara sistematis, terstruktur, dan massif. Postur kegiatan pencegahan
dan penanggulangan narkoba masih bersifat embrionik dan parsial, belum dilakukan
secara utuh dengan melibatkan semua sektor untuk berpartisipasi secara aktif. Institusi
yang selama ini aktif paling banter hanya BNN, Biro Bina Napza dan HIV-AIDS,
kepolisian, NGO peduli narkoba serta komunitas mantan pecandu dimana pola
kegiatan yang menonjol cenderung bersifat represif. Ringkasnya, secara institusional,
penggerakan program masih terbatas, begitupun juga secara proporsional, 3
pendekatan belum diterapkan secara berimbang.

2
Dengan menggunakan asumsi itu, maka dibutuhkan suatu inovasi yang merefleksikan
adanya partisipasi semua pihak yang melembaga, supaya penyelenggaraan
pencegahan dan penanggulangan narkoba bekerja secara struktural dan
berkesinambungan. Selain cara kerja yang terstruktur, inovasi juga diarahkan pada
keinginan untuk menutup semua pintu-pintu yang memungkinkan masuknya obat
pada wilayah tertentu dengan penekanan pada dimensi pencegahan (demand) bukan
penindakan.

Pemikiran di atas mengantarkan lahirnya gagasan penyelenggaraan upaya pencegahan


dan penanggulangan narkoba di Sulsel melalui kelembagaan Satuan Tugas (Satgas
Narkoba) di semua institusi pemerintah dalam lingkup Wilayah Provinsi Sulawesi
Selatan. Diproyeksi bahwa jika semua institusi pemerintahan Provinsi Sulsel memiliki
satgas, maka upaya pencegahan dilakukan disemua lini sampai pada kelompok
masyarakat yang dilayaninya. Hal ini berarti pula, bahwa keberadaan satgas
melambangkan adanya praktek pengawasan dan pengendalian narkoba dengan
rentang kendali yang langsung atau fokus pada upaya pencegahan dan
penanggulangan.

Kita harapkan tidak ada lagi ruang yang bebas dari intervensi pencegahan narkoba
karena potensi pengedaran gelapnya juga tidak mengenal ruang dan waktu.

Guna memudahkan proses pelembagaan Satgas Narkoba di institusi Pemerintah


Provinsi Sulsel, maka dirumuskanlah Petunjuk Teknis (juknis) yang nantinya akan
dijadikan sebagai pedoman oleh institusi dalam pembentukan dan penerapannya
sebagaimana yang tertuang pada dokumen ini.

II. DASAR HUKUM

Dasar hukum yang melandasi penyusunan Petunjuk Teknis ini adalah sebagai berikut:

- UU 35 tahun 2009 tentang narkotika


- UU 16 tahun tentang psikotropika
- UU tentang kesehatan
- Perpres NO 47 tahun 2019 tetang perubahan atas peraturan presiden no 23 tahun
2010 tentang badan narkotika nasional
- Permendagri no 12 tahun 2019 tentang fasiltasi pencegahan dan pemberantasan,
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika
- Permenkes no 4 tahun 2021 tentang perubahan penggolongan narkotika
- Surat Edaran Gubernur

III. TUJUAN PEMBENTUKAN SATGAS

3
Tujuan pembentukan satgas P2 Napza tingkat UPT SMPN 1 DUAMPANUA adalah:

1. Mengurangi angka penyalahguna napza baru di lingkungan sekolah


2. Meningkatnya kemampuan institusi untuk melakukan upaya penangkalan terhadap
penyebaran napza
3. Adanya kelembagaan pada tingkat institusi yang secara fokus melakukan intervensi
yang berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan napza
4. Sebagai sarana yang efektif dalam melakukan kontrol atau deteksi dini terhadap
munculnya gejala penyebaran napza.

IV. PRINSIP DASAR SATGAS

Prinsip dasar operasionalisasi satgas narkoba di institusi pemerintah, sebagai berikut:

- Keadilan Gender
Mengedepankan kesetaraan peran perempuan dan laki-laki dalam keikutsertaannya
pada satgas, baik secara struktural maupun secara fungsional.

- Berbasis Nilai-Nilai Lokal


Satgas narkoba menyelenggarakan setiap aktivitasnya yang berlandaskan pada
kebutuhan kelompok sasarannya dengan menyesuaikan nilai-nilai lokal yang dianut
bersama.

- Determinan Kemiskinan
Mengakui bahwa penyebaran narkoba dikalangan masyarakat disebabkan oleh faktor
kemiskinan yang melanda masyarakat, sehingga penyelenggaraan upaya pencegahan
dan penanggulangan senantiasa memperhatikan kesenjangan ekonomi masyarakat.

- Manusiawi
Operasionalisasi satgas narkoba memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan individu
dengan menitikberatkan pada keutamaan hak-hak para korban narkoba.

- Demokratis
Pengambilan keputusan satgas narkoba dilakukan secara musyawarah dengan
memperhatikan aspirasi semua pihak yang terlibat.

- Partisipatif
Pelibatan semua anggota maupun stakeholders dalam melakukan aktivitas
kelembagaan secara prosesional mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan,
monitoring, evaluasi, sampai pada pelaporan.

- Kolaboratif

4
Berkerjasama dengan komponen-komponen yang terlibat dalam isu narkoba atas
kesepahaman saling mengisi dan saling melengkapi dalam penyelenggaraan upaya
pencegahan dan penanggulangan narkoba.

- Berkesinambungan
Menyelenggarakan kegiatan tanpa henti dengan memosisikan program/aktivitas
sebagai suatu rangkaian yang berkelanjutan.

V. RUANG LINGKUP SATGAS


Ruang lingkup satgas di tingkat unit UPT SMPN 1 DUAMPANUA adalah seluruh
kawasan yang berada di lingkungan UPT SMPN 1 DUAMPANUA.

VI. STRUKTUR KELEMBAGAAN SATGAS

Struktur kelembagaan Satgas Narkoba terdiri atas:

- Penanggungjawab
Penanggungjawab Satgas Narkoba pada tingkat sekolah adalah kepala UPT
SMPN 1 DUAMPANUA

- Koordinator
Koordinator Satgas Narkoba di lingkungan sekolah adalah guru yang ditunjuk
langsung langsung oleh kepala UPT SMPN 1 DUAMPANUA

- Keanggotaan Divisi
Keanggotaan tiap divisi setidak-tidaknya terdiri atas lebih dari satu anggota.
Diantaranya 2 orang dari guru di sekolah dan 1 orang perwakilan dari siswa
sebagai duta anti narkoba

Secara skematik, struktur kelembagaan Satgas Narkoba seperti di bawah ini:

Penanggungjawab

5
Koordinator Satgas

anggota anggota anggota

VII. TUGAS DAN FUNGSI SATGAS

Tugas dan fungsi Satgas Narkoba di lingkungan SEKOLAH meliputi:

a. Pemberian informasi untuk pencegahan awal

Pemberian informasi dasar tentang bahaya narkoba dikalangan internal dan


eksternal sekolah sangat penting dalam rangka membentuk pemahaman yang
benar dan kesadaran penuh untuk menghindari penyalahgunaan narkoba.
Pemberian informasi dapat dilakukan melalui penyuluhan langsung atau melalui
media komunikasi seperti brosur, spanduk, poster, dan leaflet.

Pemberian informasi ini berfungsi sebagai pencegahan awal bagi seseorang untuk
membentengi dirinya agar tidak mudah terjebak dalam pengaruh penyalahgunaan
narkoba.

b. Mengenali faktor resiko pengedaran dalam lingkungan instansi

Satgas Narkoba bertugas untuk melakukan pengenalan faktor resiko adanya praktek
penyalahgunaan napza di lingkungan institusi. Faktor resiko yang dapat dikenali
adalah terjadinya perubahan perilaku individu dan perubahan sistim sosial.
Perubahan perilaku individu meliputi pengenalan psikis dan fisik seseorang,
sedangkan perubahan sistim sosial dikenali melalui pemahaman akan pola interaksi
sosial dalam lingkungan pekerjaan.

Pengenalan faktor resiko berfungsi untuk melakukan antisipasi menyeluruh dan


segera terhadap faktor-faktor resiko yang ditemukan. Bentuk antisipasi
dikembangkan melalui pelaksanaan program. Dengan demikian perencanaan
program haruslah berdasarkan faktor resiko yang dikenali (evidence based).

c. Menyusun metode pengawasan dan pengendalian

6
Satgas Narkoba bertugas menyusun metode pengawasan dan pengendalian sesuai
dengan tugas dan fungsi sekolah. Metode apapun yang dipilih, prinsipnya adalah
metode tersebut memiliki kemampuan untuk mengawasi secara ketat orang-orang
yang dibawahinya untuk tidak menyalahgunakan narkoba. Selain berfungsi kontrol,
metode yang ada juga bersifat mengendalikan adanya potensi pengedaran narkoba
di lingkungan kerjanya.

d. Melakukan deteksi dini

Tugas melakukan deteksi dini dalam rangka fungsinya untuk menfasilitasi


kebutuhan layanan terhadap korban penyalahgunaan napza secara dini.

Kegiatan deteksi dini dapat dilakukan melalui upaya pemeriksaan rutin dan berkala
kepada orang-orang yang ada dalam lingkungan sekolah. Deteksi dini juga dapat
dilakukan melalui pengamatan lingkungan sosial dan saat ditemukan gejala-gejala
pengedaran, satgas dengan sigap segera melaporkan kepada pihak-pihak
berwewenang sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

e. Mengkoordinasikan dengan layanan yang tersedia

Tugas mengkoordinasikan dengan layanan yang tersedia jika dalam lingkungan kerja
terdapat kebutuhan layanan yang berkaitan dengan pelayanan yang disediakan oleh
instansi lainnya seperti pelayanan pemeriksaan, pelayanan perawatan, pelayanan
dukungan, dan pelayanan rehabilitasi.

Dalam konteks ini, Satgas Narkoba berfungsi untuk menjembatani kebutuhan


masyarakat sekolah atau korban terhadap pelayanan yang ada sehingga
masyarakat memiliki kemudahan untuk mengakses layanan yang tersedia. Akses
layanan yang cepat menentukan keberhasilan penanganan korban penyalahgunaan
narkoba.

VIII. AREA TUGAS

Area tugas Satgas Narkoba dalam lingkungan sekolah :

a. Kebijakan Teknis Pengawasan dan Pengendalian

Satgas Narkoba mendorong dan menfasilitasi adanya kebijakan teknis


pengawasan dan pengendalian penyalahgunaan napza dalam lingkungan
kerjanya. Kebijakan teknis tersebut dikeluarkan oleh pimpinan sekolah. Area
tugas ini merupakan bagian yang sangat penting oleh karena melalui kebijakan

7
teknis pengawasan dan pengendalian, kegiatan-kegiatan Satgas lebih terarah,
sistematis, dan berkelanjutan.

Sedapat mungkin, kebijakan teknis dibuat setelah melakukan analisa situasi


obyektif yang dihadapi dan dituangkan dalam dokumen analisis. Penting untuk
melibatkan stakeholders sekolah dalam merumuskan kebijakan teknis
pengawasan dan pengendalian ini.

b. Penyediaan informasi

Satgas Narkoba mengelola informasi tentang narkoba melalui penyediaan


informasi dalam berbagai bentuk. Penyediaan informasi yang dimaksud dalam
hal ini adalah menfasilitasi masyarakat yang menjadi sasasaran utama pelayanan
publik untuk mengakses informasi secara mudah dan benar.

c. Fasilitasi layanan

Satgas Narkoba memiliki area tugas menfasilitasi pelayanan bagi orang-orang


yang membutuhkan. Jika layanan tersedia di lingkungan sekolah, maka fasilitasi
dilakukan dalam bentuk pemberian layanan langsung, namun jika layanan tidak
tersedia, maka fasilitasi dilakukan dalam bentuk memberikan rujukan layanan.

d. Pemantauan dan Pelaporan

Satgas Narkoba bekerja dalam area pemantauan dan pelaporan. Pemantauan


diterapkan melalui pengamatan terus menerus terhadap gejala pengedaran dan
penyalahgunaan narkoba dalam lingkungan kerjanya sementara pelaporan
dijabarkan melalui pemberian informasi kepada pihak berwewenang manakala
terdapat hal-hal yang potensil terjadinya praktek-praktek pengedaran gelap
narkoba.

IX. MEKANISME PEMBENTUKAN SATGAS

Pembentukan Satgas narkoba dalam lingkup sekolah dilakukan melalui tahapan-


tahapan, diantaranya:

a. Sosialisasi internal sekolah

Pimpinan sekolah melakukan sosialisasi awal untuk menyampaikan maksud dan


tujuan pembentukan Satgas Narkoba dalam lingkungan kerja sekolah. Sosialisasi
dapat dilakukan melalui kegiatan pertemuan khusus dan dapat pula dilakukan
dengan menyelipkan informasi ini saat ada kegiatan-kegiatan pertemuan di
lingkungan Sekolahnya.

8
Maksud dan tujuan dibentuknya Satgas Narkoba ini secara detail dapat dilihat
pada dokumen ini, namun secara sederhana dapat disampaikan untuk
mengendalikan pengedaran narkoba yang saat ini semakin banyak menelan
korban.

b. Seleksi/Penyaringan calon keanggotaan

Tidak semua staf dapat menjadi anggota dalam struktur kelembagaan Satgas
Narkoba. Dengan demikian, rekruitmen anggota Satgas khususnya yang akan
tergabung dalam divisi-divisi sedapat mungkin diseleksi dengan menggunakan
standar-standar penilaian, diantaranya kemauan atau kesediaan staf untuk
berpartisipasi aktif, kemampuan staf dalam menjalankan tugas dan fungsi
satgas, kemampuan kerjasama, dan tidak pernah terlibat dalam penyalahgunaan
narkoba.

Proses penyaringan dilakukan secara langsung oleh pimpinan sekolah atau dapat
menunjuk tim khusus yang dianggap layak oleh pimpinan.

c. Penetapan keanggotaan satgas

Setelah tahapan penyaringan dan diperoleh orang-orang yang sesuai dengan


kriteria kelayakan, maka tahapan selanjutnya adalah penetapan keanggotaan
Satgas oleh pimpinan sekolah melalui Surat Keputusan.

Hasil penetapan ini selanjutnya dilaporkan kepada Gubernur Provinsi Sulsel


melalui Biro Bina Napza dan HIV-AIDS.

d. Orientasi tugas dan fungsi

Guna mengoperasionalkan Satgas Narkoba sesuai tugas dan fungsinya secara


benar, maka terlebih dahulu diberikan orientasi tugas dan fungsi. Kegiatan
orientasi ini bisa dilakukan secara langsung oleh pimpinan sekolah atau dapat
pula difasilitasi oleh Biro Bina Napza dan HIV-AIDS sebagai leading sector atau
fasilitator pembentukan kelembagaan ini.

X. KUALIFIKASI KEANGGOTAAN SATGAS

Masalah yang akan ditangani oleh Satgas ini adalah masalah narkoba yang sudah
merupakan kejahatan luar biasa. Dengan demikian, staf yang akan bertugas haruslah
staf yang memiliki kualifikasi tertentu agar kelembagaan ini dapat juga melakukan
program-program yang luar biasa pula.

9
Kualifikasi keanggotaan Satgas Narkoba setidak-tidaknya memenuhi standar di bawah
ini:

a. Mengetahui dengan benar epidemi narkoba

Informasi standar yang wajib diketahui adalah jenis-jenis narkoba, tahapan


pemakaian narkoba, efek atau dampak narkoba, modus operandi, pendekatan
penanggulangan, dan jenis layanan yang tersedia.

b. Tidak sedang dalam pemakaian narkoba

Persyaratan ini sangat penting karena logika keberadaan Satgas Narkoba untuk
mengendalikan penyalahgunaan. Selain itu, keanggotaan yang bebas dari
kecanduan menjadikan Satgas memiliki kredibilitas dalam menjalankan tugas
dan fungsinya.

c. Staf senior dilingkungan institusi

Pemilihan staf senior dimaksudkan untuk menguatkan kerangka kerja Satgas


Narkoba yang benar-benar bisa dioperasionalkan. Biasanya staf senior memiliki
pengalaman yang banyak dan kekuatan kharismatik sehingga dapat menciptakan
pergerakan kelembagaan yang lebih dinamis.

d. Memiliki kemampuan kerjasama sektoral dan lintas program

Epidemi narkoba tidak dapat diatasi tanpa penanganan yang bersifat lintas
sektoral dan lintas program. Oleh karena itu, staf yang memiliki kemampuan
kerjasama merupakan staf yang sangat relevan untuk direkrut sebagai
keanggotaan Satgas.

XI. WAKTU PEMBENTUKAN

Waktu pembentukan satgas dimulai Bulan September sampai dengan 30 oktober


2016. Alokasi waktu ditetapkan untuk mempercepat proses pembentukan Satgas
Narkoba dan tersedianya waktu yang cukup dalam merencanakan alokasi kegiatan
dan anggaran yang diharapkan diinput dalam perencanaan dan penganggaran
sekolah.

XII. MEKANISME KOORDINASI

Banyaknya kelembagaan yang terlibat dalam pembentukan satgas narkoba


memungkinkan adanya peluang terjadinya penerapan tugas dan fungsi yang tumpang

10
tindih. Guna menata tugas dan fungsi itu, maka mekanisme koordinasi satgas
narkoba ini perlu diatur secara tersendiri.

Proses koordinasi yang ditetapkan melalui mekanisme seperti di bawah ini:

a. Koordinasi internal sekolah untuk pembentukan Satgas Narkoba

,SEKOLAH langsung melakukan koordinasi internal untuk melakukan


pembahasan atau aktivitas-aktivitas yang diperlukan.

Untuk mendapatkan penjelasan yang utuh, sebaiknya saat pembahasan internal


diterapkan, sekolah didampingi oleh Biro Bina Napza dan HIV-AIDS.

b. Koordinasi timbal balik

SEKOLAH mengkomunikasikan hasil pembentukan Satgas Narkoba


dilingkungannya kepada pihak terkait Selanjutnya Biro Bina Napza dan HIV-AIDS
melakukan komunikasi kembali kepada sekolah terkait dengan hal-hal yang
berkaitan dengan tugas dan fungsi Satgas narkoba.

Bentuk koordinasi timbal balik dapat diselenggarakan melalui pertemuan formal


dan dapat juga diterapkan dengan komunikasi lewat media komunikasi.

c. Koordinasi lintas sektor dalam bentuk pertemuan sektoral

Biro Bina Napza dan HIV-AIDS menfasilitasi pertemuan sektoral untuk


mengkoordinasikan perkembangan atau kemajuan Satgas dalam menjalankan
tugas dan fungsinya serta mengetahui tantangan dan hambatan yang dihadapi.
Pertemuan koordinasi ini diselenggarakan secara rutin sekali dalam 3 (tiga)
bulan.

XIII. PERENCANAAN PROGRAM


Satgas Narkoba dalam penerapan tugas dan fungsinya diimplementasikan lewat
penyelenggaraan program atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan upaya
pencegahan dan penanggulangan narkoba dilingkungannya masing-masing. Untuk
mendapatkan program yang relevan dan dibutuhkan oleh masyarakat yang menjadi
sasaran pelayanan suatu sekolah, maka program perlu direncanakan secara
sistematis, terukur, dan berkesinambungan.

Perencanaan program Satgas Narkoba menggunakan pendekatan yang bersifat


partisipatoris. Tidak ada program atau kegiatan yang dirancang secara normatif, akan
tetapi program yang direncanakan merupakan refleksi atas keinginan dan kebutuhan

11
seluruh stakeholders yang dinaunginya. Oleh karena itu, proses perencanaan diawali
dengan teknik analisa kebutuhan (need assesment) yang dimaksudkan untuk
menjaring kebutuhan kelompok sasaran terhadap penyelenggaraan pencegahan dan
penanggulangan narkoba. Pelaksanaan teknis analisis ini dapat dilakukan dalam
bentuk pertemuan terbatas dengan stakeholders atau dapat pula dikembangkan
dengan pengumpulan data lapangan yang dilengkapi dengan instrumen
pengumpulan data dalam bentuk kuesioner atau format wawancara sesuai dengan
kebutuhan data dan informasi yang diperlukan.

Analisa Masalah

Data dan informasi yang sudah dikumpulkan menjadi bahan dasar untuk analisis
masalah aktual yang sebenarnya dihadapi dalam lingkungan sekolah terkait dengan
ancaman dan bahaya penyalahgunaan narkoba.
Masalah yang muncul menurut pengamatan data sederhana bisa tergambarkan
dalam kuantitas yang banyak dengan varian yang beragam. Dibutuhkan analisis
masalah yang tajam supaya penempatan masalah benar-benar fokus dan menyentuh
akar penyebabnya yang bersifat mendasar. Dengan demikian, aktivitas analisa
masalah menjadi penting.

Analisa masalah dapat dilakukan melalui berbagai metode seperti metode pohon
masalah, metode tulang ikan, atau metode-metode lainnya. sekolah diharapkan
melakukan analisa masalah dengan menggunakan metode yang dianggap mudah
diterapkan sepanjang metode tersebut memiliki kerangka penalaran ilmiah.
Masalah-masalah yang ada memerlukan analisis untuk menemukan akar penyebab.
Akar penyebab masalah menjadi landasan utama untuk melahirkan program atau
kegiatan-kegiatan yang relevan.

Prioritas Program/Kegiatan

Terbatasnya sumber daya yang dimiliki oleh Satgas Narkoba dibandingkan dengan
kompleksitas kebutuhan antisipasinya memerlukan upaya pemrioritasan program
atau kegiatan.

sekolah akan menggunakan metode ilmiah dalam menyusun prioritas program atau
kegiatan Satgas Narkoba. Pertimbangan utama dalam penyusunan prioritas program
atau kegiatan adalah kesiapan, kemendesakan, dan daya ungkit. Variabel-variabel ini
memiliki skoring dengan skala 1-10 yang akan digunakan pada teknik rangking.
Program atau kegiatan yang mendapatkan skor terbanyak merupakan program atau
kegiatan yang skala prioritasnya tinggi.

Perencanaan Penganggaran

12
Program atau kegiatan prioritas yang terpilih memerlukan perencanaan anggaran
yang rasional dan akuntabel supaya benar-benar dapat dioperasionalkan.

Proses perencanaan penganggaran dilakukan melalui pemaparan unit-unit cost yang


dibutuhkan oleh tiap program..

Hasil-hasil perencanaan penganggaran diperoleh dalam bentuk satuan biaya tertentu


yang selanjutnya digunakan oleh Satgas Narkoba dalam mengimplementasikan
program atau kegiatannya.

Pengintegrasian Program/Kegiatan/Anggaran dalam RKA SEKOLAH

Program atau kegiatan-kegiatan pencegahan dan penanggulangan yang


diprioritaskan dan yang sudah memiliki rancangan pembiayaan (costing) selanjutnya
diintegrasikan dengan Perencanaan Kerja (RKA) SEKOLAH.

Peran sekolah dalam proses penyusunan Renja sangat penting. Disinilah perlunya
advokasi dari BBNHA untuk menyamakan persepsi tentang prioritas program agar
segala kegiatan yang terkait dengan penyelenggaraan pencegahan dan
penanggulangan narkoba mendapat tempat yang baik dalam rancangan RKA sekolah
tersebut, sehinga pada akhirnya kegiatan pengawasan dan pengendalian narkoba
nantinya bisa dipertahankan dan bisa menjadi indikatif dan atau definitif.

Keanggotaan Satgas Narkoba melakukan koordinasi dengan bagian perencanaan


sekolah untuk mengetahui indikator-indikator kinerja sekolah dan kemungkinan
masuknya kegiatan P2 Narkoba kedalam indikator kinerja tersebut.

Skema Integrasi kegiatan Satgas Narkoba kedalam Renja sekolah dapat ditempuh
dalam 3 (tiga) cara yaitu (1) memasukkan pada program-program utama SKP sebagai
kegiatan, (2) jika kegiatan tidak memiliki relevansi program, dapat dimasukkan
sebagai sub-kegiatan pada kegiatan-kegiatan yang memiliki nomenklatur program,
(3) namun, jika sub-kegiatan masih mendapatkan kesulitan, langkah yang paling
minimal atau memosisikan narkoba sebagai perspektif dari kegiatan-kegiatan
sekolah.

Langkah yang ketiga untuk menjadikan narkoba sebagai perspektif bisa disebut juga
sebagai cara menyelipkan isu narkoba ke berbagai kegiatan-kegiatan sekolah. Artinya
informasi narkoba tetap didapatkan oleh kelompok sasaran tanpa harus
mengalokasikan waktu dan biaya khusus. Melalui skema ini sangat diharapkan
antisipasi pencegahan narkoba di lingkungan sekolah terus menerus dilakukan
mengingat tidak harus memerlukan sumber daya tersendiri.

XIV. PELAKSANAAN PROGRAM

13
Pada tingkat pelaksanaan program, Satgas Narkoba wajib memastikan bahwa semua
kegiatan yang diselenggarakan sesuai dengan perencanaan yang ada. Hal ini
dimaksudkan supaya kegiatan yang terlaksana dilakukan secara sistematis,
terkoordinasi, dan memiliki daya ungkit yang tinggi untuk mengubah wajah epidemi
narkoba di lingkungan kerja sekolah.

Yang perlu mendapatkan penekanan dalam operasionalisasi pelaksanaan adalah


pelibatan seluruh anggota Satgas Narkoba pada setiap aktivitas. Cara ini sangat
efektif dalam mendapatkan hasil kegiatan yang diinginkan mengingat partisipasi
seluruh anggota Satgas Narkoba akan melahirkan kerjasama diantara anggota
sehingga tugas-tugas yang ada dapat dibagi secara proporsional.

Pelaksanaan program diarahkan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif.


Pembentukan lingkungan kondusif dapat ditempuh melalui disseminasi informasi
yang menyentuh seluruh komponen masyarakat sehingga terbentuk persepsi yang
benar dalam memandang epidemi narkoba yang pada akhirnya akan tertanam
kesadaran yang mendalam untuk memberikan dukungan terhadap program
pencegahan dan penanggulangan yang sedang berlangsung.

Cara lain yang dapat dilakukan untuk menciptakan lingkungan kondusif adalah
mendorong adanya perumusan dan penyusunan kebijakan operasional dari berbagai
tingkatan organisasi sehingga pelaksanaan program memiliki kerangka yang kuat
dalam operasionalisasinya. Kebijakan yang mendukung pada kahirnya akan bekerja
dalam mensistematisasi kegiatan-kegiatan pencegahan, sehingga dengan demikian
pelaksanaan program berlangsung dalam pendekatan sistemik. Pola penggerakan
pelaksanaan program seperti ini akan memberikan dampak atau efek yang besar
dalam mengubah tingkat epidemi narkoba yang saat ini cenderung mengalami
peningkatan jumlah kasus dan area yang terdampak.

Pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan narkoba oleh Satgas Narkoba


perlu bekerja sama dengan stakeholders untuk mendapatkan hasil kegiatan yang
sesuai dengan target. Tidak mungkin semua kebutuhan program dapat diatasi
seluruhnya oleh Satgas Narkoba mengingat karakteristik masalah yang melingkupi
pengedaran narkoba sungguh sangat kompleks.

Satgas terlebih dahulu melakukan identifikasi yang jelas tentang stakeholders yang
berkepetingan terhadap isu yang akan diatasi oleh program. Satkeholders yang sudah
diidentifikasi kemudian dilanjutkan dengan analisis peran yang bisa dilakukan pada
suatu kegiatan. Hasil analisis stakeholders dan peran inilah yang menjadi dasar
pelibatan program. Peran-peran stakeholders dalam pelaksanaan program dapat
berupa peserta, narasumber, panitia, fasilitator, mentor, dan lainnya.

14
Di bawah ini adalah matriks yang dapat digunakan untuk analisis stakeholders pada
suatu kegiatan:

Nama Kegiatan :
Tujuan Kegiatan :
Institusi Penyelenggara :

Nama Bentuk
No Peran
Stakeholders Pelibatan
1
2
3
Dst

Hal yang perlu diatur dengan baik pada proses pelaksanaan suatu program adalah
metode yang akan digunakan. Pemilihan metode pelaksanaan program atau kegiatan
disesuaikan dengan kebutuhan kelompok sasaran yang menjadi beneficaries suatu
program. Untuk mengetahui kebutuhan kelompok sasaran terkait dengan metode
pelaksanaan program yang diharapkan dapat ditempuh melalui cara wawancara
langsung dengan calon penerima program atau dapat pula melalui analisa terhadap
data yang dipergunakan dalam perencanaan program yang kemungkinannya
mencakup data tentang metode kegiatan yang diminati oleh kelompok sasaran kita.

XV. MEKANISME MONITORING DAN EVALUASI

Monitoring adalah pemantauan terus menerus pada pelaksanaan suatu program atau
kegiatan yang dimaksudkan untuk memastikan bahwa pelaksaan program atau
kegiatan tersebut sesuai dengan kondisi yang seharusnya. Evaluasi adalah penilaian
yang sistematik dan objektif pada desain, implementasi, dan hasil yang dicapai oleh
sebuah program atau kegiatan yang sedang atau telah berlagsung. Tujuan dari
evaluasi adalah untuk memperbaiki kebijakan dan rencana intervensi selanjutnya
berdasarkan feedback dari hasil evaluasi saat ini, serta sebagai mekanisme
pertanggungjawaban kegiatan kepada masyarakat.

Berdasarkan waktu pelaksaannya evaluasi dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu


evaluasi formatif dan evaluasi sumatiif. Evaluasi formatif adalah evaluasi yang
dilakukan ketika program sedang berjalan, sedang evaluasi sumatif adalah evaluasi
yang dilakukan diakhir pelaksanaan suatu program. Evaluasi bertujuan agar diketahui
pencapaian realisasi, kemajuan dan kendala yang dijumpai dalam rangka pencapaian
misi, agar dapat dinilai dan dipelajari guna perbaikan pelaksanaan program/kegiatan
di masa yang akan datang.

15
Pada tingkat sekolah, monitoring dan evaluasi dan evaluasi juga harus dilaksanakan.
Sebagaimana diketahui bahwa penanggungjawab operasional Satgas narkoba adalah
sekolah masing-masing. Dalam mengemban kewajiban menyelenggarakan upaya
pencegahan dan penanggulangan narkoba bekerja bersama dengan institusi mitra
lain di daerah.

Monitoring dapat dilakukan dalam 2 (dua) bentuk yakni monitoring internal Satgas
Narkoba hanya dalam lingkup sekolah dan monitoring diperluas dengan mengundang
seluruh perwakilan dari masing-masing kelas yang ada di sekolah

Monitoring internal sebaiknya dilakukan 1 (satu) kali dalam tiga bulan (monitoring
triwulan) dan monitoring diperluas dilakukan sekali dalam enam bulan (semester).

Metode supervisi lapangan perlu dilakukan sewaktu-waktu untuk memastikan fungsi


dan tugas kelembagaan Satgas tetap pada jalurnya sekaligus untuk mendapatkan
masukan terhadap optimalisasi fungsi kelembagaan ini.

XVI. TATACARA PELAPORAN

Satgas Narkoba diwajibkan membuat laporan tentang proses dan hasil kerja satuan
tugas ini dalam mengendalikan bahaya narkoba di lingkungan instansinya masing-
masing.

Tatacara pelaporan Satgas Narkoba perlu dituangkan dalam Petunjuk Teknis ini
supaya laporan yang masuk memiliki sistematika yang teratur dengan batasan data
yang sudah ditentukan. Dengan demikian pembacaan data menjadi lebih mudah
untuk kepentingan tahapan analisis data dalam rangka memperoleh informasi yang
lebih valid dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Sistematika laporan Satgas Narkoba memuat hal-hal dibawah ini:

a. Pendahuluan
Berisi latar belakang dan situasi penyalahgunaan narkoba dalam lingkup
pengawasannya

b. Tujuan
Tujuan pengawasan dan pengendalian yang dilakukan pada sekolah

c. Kegiatan-Kegiatan
Kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan pada periode tertentu

d. Hasil Yang Diperoleh

16
Berisi hasil-hasil yang sudah diperoleh tiap kegiatan yang sudah dilakukan.
Sebaiknya diklasifikasikan hasil yang diperoleh pada tingkat gugus tugas (UPTD)
dan hasil pada tingkat pelayanan publik.

e. Hambatan/Tantangan
Tuliskan apa saja yang menjadi hambatan selama pelaksanaan tugas, baik yang
bersifat internal maupun eksternal

f. Kesimpulan
Berisi intisari atau rangkuman dari keseluruhan aktivitas Satgas Narkoba.

Penyusunan laporan Satgas Narkoba yang ada pada sekolah dilakukan sekali dalam 1
(satu) tahun.

Laporan yang sudah dibuat selanjutnya dikirimkan kepada pihak yang terkait.
Laporan yang sudah diterima akan direview oleh tim expert bersama dengan staf Biro
Bina Napza dan HIV-AIDS yang selanjutnya hasil review dikirimkan kepada sekolah
untuk tindaklanjut.

Secara skematik, tatacara pelaporan dapat dilihat pada bagan di bawah ini:

XVII. KEBERLANJUTAN

Adanya fenomena pembentukan suatu struktur kelembagaan yang hanya berfungsi


disaat awal, namun dalam perjalanannya mengalami penurunan fungsional yang
lambat laun berada pada kondisi tidak berfungsi sama sekali. Guna menghindari hal
tersebut, maka perlu dipikirkan keberlanjutannya supaya program atau kegiatan
pencegahan dan penanggulangan narkoba berkesinambungan.

Strategi yang diharapkan dipakai oleh sekolah untuk menjamin adanya keberlanjutan
fungsi dari Satgas Narkoba di lingkungannya adalah menempatkan Satgas Narkoba ini
sebagai bagian dari struktur organisasinya. Proses melekatkan kedalam struktur
oraganisasi sekolah di awali dengan analisis relevansi tugas Satgas Narkoba dengan
tugas yang ada dalam unit-unit organisasi. Unit organisasi yang dianggap relevan
membawahi kelembagaan Satgas narkoba ini atau tergantung dari kebijakan
pimpinan sekolah.

Jika skenario ini terlaksana, maka dipastikan setiap perencanaan dan penganggaran
program yang diterapkan setiap tahunnya akan mengakomodir kegiatan-kegiatan
pencegahan dan penanggulangan narkoba sebab sudah ada bagian/bidang kerja
dalam sekolah yang mengendalikannya.

17
Keberlanjutan peran dan fungsi Satgas Narkoba dapat juga dilakukan melalui
perencanaan replikasi kelembagaan pada tingkat kabupaten/kota. Petunjuk teknis ini
relatif masih mengatur operasionalisasi pembentukan Satgas narkoba di tingkat
provinsi, namun keberlanjutannya diharapkan diadopsi oleh kabupaten/kota.

Pemerintah kabupaten/kota terlebih dahulu merumuskan dan menyusun Peraturan


Bupati/Walikota tentang fasilitasi Penanganan Darurat Narkoba yang selanjutnya
menjadi dasar pembentukan Satgas, baik di lingkungan pemerintah, swasta, dunia
usaha, maupun masyarakat. Satgas Narkoba di tingkat kabupaten/kota akan dibentuk
secara berjenjang, mulai tingkatan kabupaten, kecamatan, sampai pada tingkatan
desa/kelurahan.

XVIII. PENUTUP

Petunjuk teknis ini merupakan arahan yang akan dipedomani oleh seluruh sekolah
dalam membentuk Satgas Narkoba sebagai antisipasi konkret dalam merespon
Indonesia darurat Narkoba.

Keberadaan Satgas Narkoba di lingkungan sekolah sangat penting kedudukannya


mengingat kelembagaan ini akan melakukan pengendalian langsung terhadap gejala-
gejala pengedaran narkoba dan gejala-gejala penyalahgunaan narkoba di lingkungan
kerjanya. Dengan demikian, rentang kendali pencegahan dan penanggulangan
narkoba semakin dekat, sehingga kita dapat menutup semua kemungkinan yang
berpotensi terjadinya permasalahan yang lebih besar.

Selain rentang kendali yang menggambarkan adanya rantai pengawasan yang kuat
disegala lini, keberadaan Satgas Narkoba ini juga menjadi instrumen penting dalam
menyebarluaskan bahaya narkoba di lingkungan masyarakat. Seluruh komponen
masyarakat merupakan sasaran pelayanan publik yang diselenggarakan oleh
pemerintah daerah (sekolah). Petunjuk teknis ini mensyaratkan seluruh sekolah
untuk membentuk Satgas Narkoba, dengan demikian diasumsikan juga bahwa tidak
ada lagi masyarakat yang tidak pernah mendengar bahaya dan dampak narkoba yang
mematikan.

Jika seluruh sekolah sudah memiliki Satgas Narkoba diasumsikan bahwa tidak ada lagi
wilayah yang membuka ruang gerak luas dan kesempatan besar bagi para pengedar
untuk menjaring calon pengguna baru. Bertitik tolak dari pandangan itu, maka
diperkirakan dalam waktu yang tidak terlalu lama kita mampu untuk mengendalikan
masalah ini sampai pada tingkat yang berarti.

Signifikansi hasil Satgas Narkoba dapat dilihat secara nyata jika kelembagaan ini
beroperasi secara optimal. Operasionalisasi kelembagaan ini dideterminasi oleh

18
komitmen dan dukungan dari pimpinan sekolah. Oleh karena itu, dihimbau kiranya
seluruh pimpinan sekolah secara pro-aktif menginisiasi pembentukan Satgas Narkoba
di lingkungan Sekolahnya dan selanjutnya dikoordinasikan pihak terkait dalam rangka
fasilitasi penguatan dan pemberian dukungan-dukungan sesuai kebutuhan dan
kemampuan.

Atas segala bantuan, dukungan, dan kerjasama dari semua pihak hingga Petunjuk
Teknis ini dapat diselesaikan, kami haturkan banyak terima kasih. Semoga Wilayah
Sulawesi Selatan terbebas dari epidemi yang mematikan ini, amin.

Pekkabata, 22 Agustus 2022

Diajukan oleh
Penanggung Jawab Satgas tingkat Sekolah

SYAMSIR, S.Pd., M.Pd


NIP. 197212311994121002

Ditetapkan oleh
Gubernur Provinsi Sulsel

Dr. H. Syahrul Yasin Limpo, SH, MH, M. Si

19

Anda mungkin juga menyukai