Anda di halaman 1dari 123

Prolog

Aku Elkan, seorang siswa SMA yang


sedang bergulat dengan waktu untuk
menemukan jati diriku yang sebenarnya.
Hadirnya permasalahan antara aku dan kedua
sahabatku membuat hari-hari kami di sekolah
sedikit tragis. Akan tetapi kehadiran Rein
berhasil menarikku keluar dari permasalahan
tersebut hingga akhirnya...
Chapter 1

Kringgg... kringg...kringg...

Jam menunjukkan pukul 06:30, secepat kilat aku


bergegas bersiap-siap menuju ke sekolah.
Setibanya di sekolah jam menunjukkan pukul
07:59.

“Nyaris saja aku terlambat.”

Belum sempat melangkahkan kakiku ke dalam


sekolah, terlihat seorang satpam mulai menarik
pintu gerbang.

“tunggu pak, ini kan baru jam 08:00 Jadi saya


boleh masuk dong,” ucapku tersengah-sengah.

“Gabisa kamu udah terlambat,” ucap satpam


tersebut dengan nada tinggi.
Hari pertama sekolah udah terasa seperti
kutukan, sedikit membosankan tapi kalau gak
sekolah bisa jadi apa aku.

“I have some idea.”

Dengan penuh percaya diri sembari


mengeluarkan uang lima puluh dari saku bajuku.

“Kalau pake ini bisalah pak masuk.”

“Waduh! Lain kali jangan terlambat lagi kamu.”


Sambil membuka gerbang.

Sudah kuduga sedari awal giliran di sogok aja


jadi cepat tanggap nih si bapak.

Setelah bernegoisasi dengan satpam,


secepat mungkin aku berlari ke halaman sekolah
dan menyelinap masuk ke dalam barisan.
Sialnya seorang perempuan yang berdiri tepat di
sampingku tidak bisa diajak berkompromi.
“Kak, ini ada yang diam-diam masuk ke
barisan.” Teriak perempuan tersebut dengan
nada yang nyaring.

“Hei kamu maju ke depan sekarang,


hormat tiang bendera selama MOS ini
berlangsung”.

Terik matahari membuat mataku tersiksa,


keringatku sudah mulai bercucuran membasahi
tubuhku. Setelah beberapa menit berdiri di
depan, terdengar suara layaknya seseorang yang
rebah lalu menghantam tanah. Yang semula
hening mendadak ribut. Suara murid-murid yang
sedang berbaris mulai bersahutan, ternyata benar
seorang murid perempuan pingsan dan
tergeletak. Aku lalu bergegas menghampiri
kerumunan tersebut. Dan ternyata murid yang
pingsan itu, perempuan yang melaporkanku pada
panitia MOS.
“Tolong kamu bawa dia ke UKS,” ucap
panitia OSIS sembari menunjukku.

Dengan perasaan kesal, aku lalu menggendong


perempuan tersebut ke UKS.

Benar-benar sekolah ini seakan kutukan.


Belum sehari di sekolah masalah yang datang
sudah bermacam-macam, di tambah lagi aku
harus di pertemukan dengan seorang perempuan
berparas malaikat, iya malaikat pencabut nyawa.

“Aku dimana? HEEH kamu, sedang apa


kamu di sini?”

Teriak wanita tersebut dengan tatapan


mencurigakan.

“Udah ditolongin bukannya terima kasih


malah nyolot,” jawabku kesal.
Setelah perbincangan dingin terjadi, terdengar
suara pintu dari ujung ruangan terbuka.

“Re...Kamu gapapa kan?” Tanya seorang


perempuan yang datang dari ujung ruangan.

“Iya aku gapapa kok.”

Perempuan yang baru saja masuk ke dalam


ruangan tersebut lalu menghampiriku.

“Hai kenalin gw Zea, makasih yah udah


mau nolongin Rein, btw nama lo siapa?”

Tanya perempuan tersebut sembari menatapku.

“Hai Zea, gw Elkan,” jawabku.

“Sorry yah El, gara-gara Rein lo dapat


hukuman dari panitia OSIS.”

“Oh iya gapapa kok gw juga yang salah.”


“Yah emang salah,” sahut Rein sembari
menatapku dengan tatapan tajam.

“Di diamin ngelunjak nih bocah, udah di


tolongin juga.”

Kehidupan memang sebercanda ini, sering


kali kita dipertemukan dengan orang-orang yang
di luar dari dugaan kita. Sama halnya dengan
dua orang yang berdiri tepat di hadapanku, yang
bersalah malah merasa benar yang tidak
melakukan kesalahan malah meminta maaf.

Begitulah kehidupan semua akan terasa


monoton jika manusia lain yang kita hadapi
memenuhi ekspektasi.

Setelah menunggu lumayan lama aku lalu


memutuskan untuk keluar dari UKS. Terdengar
sahut-sahutan suara murid yang tengah asik
bercerita. Sepanjang jalan koridor semua mata
tertuju padaku. Entah apa yang membuat mereka
begitu tertarik denganku.

“ELKAN...”.

Teriak seorang murid laki-laki sembari


mengejarku.

“Gilang.”

“Dari mana aja lo, di cariin noh sama


Adnan.”

“UKS.”

“Sakit lo?”

“KEPO!”

Kenalin ini Gilang, dia salah satu orang yang


turut serta mengisi cerita dalam hidupku.
Dengan keahliannya dalam bidang fotografer
membuatnya cukup di kenal banyak orang.
“Aelah baru nongol aja nih es batu.”

Nah kalau yang ini Adnan, dia seorang atlet


panah sudah banyak penghargaan yang dia
terima di bidang tersebut. Dua manusia ini selalu
hadir dalam kisah hidupku, dalam suka maupun
duka. Cukup tragis, akan tetapi jika mereka tidak
ikut serta mengisi jalan cerita hidupku mungkin
semuanya akan terasa membosankan atau
bahkan aku hanya bisa memakai topeng agar
bisa berbaur dengan manusia lainnya.

Kami bertiga lalu berjalan menyusuri


koridor menuju ke kantin yang berada tepat di
belakang sekolah. Setibanya di kantin, aku
langsung memesan makanan. Ketika asik
makan, seorang perempuan menghampiri kami
bertiga.
“Hai boleh kenalan gak, kenalin nama aku
Gea,” ucap perempuan tersebut sembari
menatapku.

“Elkan,” jawabku datar.

“Cuek banget sih kamu.”

“Udah kenalkan, lo bisa pergi sekarang.”

Gilang dan Adnan lalu menatapku tajam,


layaknya pembunuh berdarah dingin.

“Gea sorry yah si Elkan lagi PMS jadi


maklumin aja,” sahut Adnan meyakinkan
perempuan tersebut.

Bukannya tidak menghargai kehadiran


Gea. Perpisahan mama dan papa 2 tahun yang
lalu membuatku sangat kacau dan begitu trauma
dengan hadirnya orang baru di hidupku. Karena
perpisahan tersebut aku memutuskan untuk
tinggal sendiri di rumah yang ku beli dengan
hasil jerih payahku.

“El kok lo tega banget sih ngelakuin itu ke


Gea? Setidaknya kalau lo belum bisa nerima
masa lalu lo, jangan di lampiaskan ke orang lain
dong!” ujar Gilang.

“Lo tau sendiri kan lang gimana


hancurnya gw belakangan ini, lo pikir mudah
buat ngilangin rasa trauma sama kecewa? Engga
lang. Gw tau kita semua ngadapin hal yang
hampir sama tapi lo tau sendiri kan mental kita
ga sama. Mungkin lo masih bisa nerima orang
baru di hidup lo, tapi gak semudah itu lang buat
gw.”

“El, apa yang di bilang Adnan juga ada


benarnya dan apa yang lo bilang juga ada
benarnya, semua tergantung cara kita
menyikapinya. Kalo emang lo masih ragu sama
orang baru, setidaknya lo bersikap baik. Dan
buat lo lang, jangan pernah ngebahas masa lalu
Elkan. Paham kan! Ingat yah apa yang gak kita
suka dari orang lain, itu juga yang orang lain gak
suka dari diri kita.”

“Sorry yah, El.”

“Iya gw juga sorry, Lang.”

“Nah gini dong kan jadi adem liatnya,”


sahut Adnan sembari tersenyum.

Aku dan Gilang memang sering berdebat karena


hal sepele dan Adnan selalu jadi penengah. Dia
selalu bisa menyikapi masalah dengan kepala
dingin dan dia selalu memberikan jawaban yang
kritis. Akan tetapi Adnan sedikit tertutup dia
lebih memilih menghabiskan waktu sendiri
ketika sedang dalam masalah ketimbang
menyeret aku dan Gilang dalam masalah yang
sedang dia hadapi, memang manusia kuat.

Bel sekolah pun berbunyi, kami lalu


bergegas pulang tidak terasa hari pertama
sekolah sudah berakhir. Pelajaran hidup di hari
ini sudah cukup, menunggu esok datang untuk
mengajarkan hal yang baru.

“El, seperti biasa kita nebeng lo ya,


kerumah lo aja mau main sekalian nginap,” ucap
Adnan.

“Jalan kaki lo berdua.”

“Gw tampol lo, El.”

Gilang menatapku dengan wajah yang


sedikit sulit dijelaskan.
Chapter 2

Dengan tubuh yang terasa begitu lemas,


Zea menuntun Rein berjalan menyusuri lorong
yang sudah tidak asing lagi bagi Rein.

“Kan gw udah bilang Rein gausah ikut


kegiatan MOS tadi, lo ngeyel banget sih kalo di
bilangin.”

“Udah santai aja kenapa sih.”

“Kalau diingetin gausah ngeyel lo, kalau


udah gini bukan cuma lo yang terbebani.”

Zea lalu membuka pintu ruangan yang


berada tepat di samping mereka.
“Lo tunggu di sini gw panggilin bang
Leon.”

“Hmm,” jawabku menggumam.

Selang beberapa menit, Zea muncul di


hadapanku bersama dengan bang Leon.

“Tadi sebelum berangkat kamu sarapan


dulu kan?” tanya bang Leon.

“Iya tadi sarapan terus minum obat juga


kok.”

“Yauda sekarang kita masuk dulu ke


dalam ruangan buat cek kondisi tubuh kamu,”
ujar bang Leon sembari mendorong kursi roda.

Pria tersebut lalu menyiapkan alat medisnya


untuk memeriksa keadaan tubuh Rein. Dan
benar saja tubuh Rein memang sedang tidak
stabil, tensinya sangat rendah hal ini yang
membuat Rein sempat tak sadarkan diri.

“Kesehatan kamu cukup kurang stabil,


jadi malam ini kamu harus rawat inap.”

“Rein gapapa kok, masih kuat. Lagian


besok sekolah bang,” sahut Rein dengan nada
cemas.

“Susah banget lo dibilangin Rein, udah lo


disini aja dulu lagian Cuma semalam doang.
Urusan sekolah ntar gw yang izinin,” Zea
menyahutiku dengan nada kesal.

“Yauda kalian abang tinggal bentar, Zea


abang titip Rein yah. Kalau Rein udah tidur
kamu boleh pulang.”

“Okei..bang.”
Leon lalu bergegas meninggalkan Rein dan Zea
dalam ruangan tersebut.

Leon satu-satunya keluarga kandungku yang


masih ada sampai saat ini. Orang tua kami
meninggal dunia karena kecelakaan yang sampai
saat ini belum diketahui penyebabnya. Kejadian
tersebut terjadi sekitar 3 tahun yang lalu, tepat
saat aku masuk ke sekolah menengah pertama.
Kejadian tersebut cukup membuat aku dan bang
Leon terpukul, kepergian kedua orang tua kami
merupakan kado terburuk untuk wisuda
kelulusan bang Leon. Perlahan-lahan kami harus
mengikhlaskan kejadian tersebut. Cukup berat,
akan tetapi larut dalam kesedihan tidak akan
membangkitkan kedua orang tua kami. Zea salah
satu orang yang berperan penting dalam hidupku
dan bang Leon, sedari kecil kami bertiga sudah
seperti saudara kandung. Zea juga memiliki
hubungan yang tidak begitu baik dengan
keluarganya. Ayah dan ibunya berpisah satu
tahun yang lalu, karena hal ini Zea memutuskan
untuk tinggal bersamaku. Mereka berdua orang
yang sangat berharga dalam kehidupanku,
apalagi dengan keadaanku saat ini yang sangat
membutuhkan support untuk tetap bertahan
melawan sakit yang kurasa.

“Woi... melamun aja lo dari tadi, ayo


makan si Gilang udah masakin nasgor tuh.
Keburu dingin ga enak nanti,” Panggil Adnan
sembari menepuk pundak Elkan.

“Ngagetin aja sih lo, udah kaya setan aja


muncul tiba-tiba.”
“Yah lagian elu dari tadi diammm mulu,
kalau emang lagi kenapa-kenapa bilang El,
jangan lo pendam sendiri.”

“Gw gapapa kok cuma kepikiran aja sama


masa lalu gw.”

“Udahlah jangan lo ingat terus, makin


susah ntar buat lo lupain kejadian itu.”

“ELKAANNNNN,
ADNANNNNNNNN...... turun gak lo berdua ini
makanannya keburu dingin, lo mau gw kasih ke
dogy lo nih masakan?” teriakan Gilang
menggelegar sampai ke penjuru langit.

Seusai makan malam, kami lalu bersantai


di balkon sembari berbagi cerita hari ini.

“Lo berdua kemana tadi pagi, kok gaada


dibarisan?” tanyaku bingung.
“Dih lo nya aja yang gak liat gw bareng
Gilang, ya gak lang.”

“Gausah bohong lo berdua, kalau kalian


dibarisan tadi pagi, udah pasti lo berdua udah
pada heboh,” jawabku kesal.

“Iya deh iya, tadi gw bareng Gilang telat.


Terus kami mutar tuh lewat belakang,
berhubung gaada yang ngeliat yauda kami
berdua nyantai di belakang sekolah,” jawab
Adnan dengan wajah yang tidak berdosa.

“Parah lo berdua.”

“Yah mau gimana lagi, ketimbang gak


masuk sama sekali yakan.”

“Bukan gitu, maksud gw lu berdua parah


gak ngajak buat nyantai bareng di belakang,”
jawabku bercanda.
“Oh iya, lo tadi ngapain ke uks?” tanya
Gilang mengintimidasi.

“Tadi ada yang pingsan, terus gw disuruh


nolongin tuh cewe mana gw di hukum gara-gara
dicepuin sama tuh orang,” Terlihat Elkan masih
sangat kesal dengan kejadian tadi pagi.

“Anjaiii Elkan nolongin cewe Lang,”


Adnan tertawa lepas seusai mendengar
pernyataanku.

“Cantik gak cewenya?” tanya Gilang


sembari tersenyum lebar.

“Ah gila lo berdua, lagian itu gw nolongin


karena terpaksa daripada hukuman gw nambah
mending nurut aja,” jawabku kesal.

Seusai bercerita kami mulai disibukkan


dengan kegiatan masing-masing. Adnan dengan
gamenya dan Gilang yang entah kemana.
Sedangkan aku, memilih untuk tidur.

Chapter 3

“Lama banget sih lo berdua, udah jam


berapa ini woi.”

“Sabar El bentar masih sisiran ini,” sahut


Gilang.

Setibanya di sekolah kami lalu menuju mading


untuk memastikan kami masuk dikelas mana.
Dan ternyata kabar baiknya dua manusia ini
tidak sekelas denganku.

“Setidaknya lo berdua gak sekelas sama


gw, udah tenang deh,” ujar Elkan
“Halah ntar juga tugas lo nanya ke kita
berdua,” sahut Gilang tak mau kalah

“Buset lo gak kebalik tuh.”

“Yaelah ribet amat sih hidup kalian,


setidaknya lo berdua bisa memberikan contekan
yang terbaik buat gw itu udah cukup kok,”
Adnan angkat bicara dengan nada yang
menjijikkan.

“Makanya belajar lo botak,” sahut Gilang.

Bel sekolah berbunyi pertanda bahwa


kelas akan dimulai. Kami lalu beranjak ke kelas
masing-masing. Setibanya di kelas, Zea
menyapaku sembari tersenyum.

“ Elkan, lo dikelas ini juga yah?”

“Iya nih.”
“Kebetulan banget yah berarti kita bertiga
sekelas dong.”

“Bertiga?”

Perasaanku sudah mulai bercampur aduk entah


siapa yang dimaksud oleh Zea.

“Iya bertiga, Rein juga dikelas ini,” Jawab


Zea.

Entah rancangan apa yang sedang Tuhan


persiapkan. Sepanjang jam pelajaran
berlangsung, Elkan sangat aktif menjawab
pertanyaan yang diberikan oleh guru-guru. Elkan
cukup pandai dalam bidang akademik, berbeda
dengan kedua sahabatnya yang lebih mahir
dibidang non-akademik.

“Gila lo pinter banget sih Elkan,” puji


Zea.
“Biasa aja kali, Zee.”

“Bisa-bisa lo saingan ntar sama Rein.”

Sulit untuk dimengerti, dari sekian banyak


murid, kenapa aku harus dipertemukan dengan
dia. Sebenarnya tidak masalah jika dia harus
bersaing denganku. Akan tetapi awal pertemuan
kami sudah membuatku cukup emosi dengan
sikap yang dia miliki, jika akhirnya seperti ini
aku lebih memilih satu kelas dengan kedua
bebanku.

Kegiatan pembelajaran hari ini telah usai,


aku lalu menghampiri kelas Adnan dan Gilang.
Setibanya dikelas mereka Adnan lalu
memberitahuku kalau hari ini dia ada jadwal
latihan begitu juga dengan Gilang jadwal
shootnya hari ini cukup padat.
“El, lo balik sendiri aja gw ada jadwal
latihan hari ini jadi gw bareng temen gw, Gilang
juga cabut duluan tadi ada job katanya.”

“Yauda deh gw cabut duluan kalo gitu,


hati-hati lo.”

“Yoi brother.”

Kami lalu berjalan ke arah yang


berlawanan. Ketika keluar dari parkiran, seorang
perempuan sedang duduk sendiri di halte, yang
ternyata perempuan tersebut Zea.

“Lo pulang bareng siapa Zee?” tanyaku.

“Lagi nunggu jemputan nih.”

“Lo bareng gw aja kalo gitu.”

“Jangan deh, takut ngerepotin.”

“Gak santai aja kali, buruan naik.”


“Emm yauda deh kalau gitu.”

Zea lalu membuka pintu belakang mobil.

“Di depan aja zee gapapa, biar enak juga


ngobrolnya.”

“Gapapa nih?”

“Iya gapapa.”

Wajah Zea tampak cemas ketakutan, entah apa


yang sedang dia pikirkan.

“Lo mau kemana nih?” tanyaku.

“Antarin gw ke rumah sakit aja, El”

“Lah siapa yang sakit?”

“Rein..setelah kejadian kemarin dia harus


rawat inap di rumah sakit”
Aku sedikit terkejut dengan apa yang baru saja
ku dengar, sedikit kebingungan dengan wajah
Zea yang begitu panik. Entah sakit apa yang
Rein rasakan sampai-sampai dia sepanik dan
secemas ini.

Sepanjang perjalanan aku berusaha untuk


menenangkan Zea dengan bercerita seputar
pelajaran, sesekali rasa penasaranku untuk
menanyakan Rein terlintas, akan tetapi aku lebih
memilih untuk mengurungkan niat. Aku takut
pertanyaan tersebut malah membuat Zea
semakin khawatir.

Setibanya di rumah sakit, aku lalu


menawarkan diri untuk menjenguk Rein.

“Gw boleh ikut masuk gak zee?”

“Lo mau jengukin dia?”


“Iya, tapi gw mau beli sesuatu dulu, lo
tunggu disini yah.”

Selang beberapa saat Elkan pun tiba


dengan menenteng keranjang buah.

“Udah ni, ayo masuk.”

Aku berjalan mengikuti arah Zea,


sepanjang koridor yang kami lalui tidak terlihat
seorang pun yang melalui jalan tersebut. Setelah
beberapa menit menyusuri koridor akhirnya
kami tiba di depan ruangan Rein. Saat hendak
masuk, tidak sengaja mataku melihat nama
ruangan tersebut yang bertuliskan dr. Leon. Zea
lalu mengambil kunci ruangan tersebut dari
sakunya, apa mungkin ini ruangan pribadi?
“Rein, gimana keadaan lo? Udah
membaik belum? Btw gw kesini bareng Elkan.”

“Hi Rein, ini gw bawain lo buah.


Dimakan yah,” sapaku.

“Dih habis kesambet apaan lo mendadak


baik?” Rein menjawabku dengan nada ketus.

“Ssssstt... Rein udah lagian dia kesini


nganterin gw, tadi supir rumah telat makanya gw
bareng dia. Lagian jadwal bang Leon padat
banget hari ini, makanya gw buru-buru buat
mastiin kondisi lo baik-baik aja.”

“Iya Zea iya, sorry yah Kan”

“Hmm gapapa santai aja,” jawabku


dengan nada datar.

Entah apa yang membuat Rein begitu


kesal denganku.
“Elkan, gw titip Rein bentar yah mau
beliin makan bentar.”

“Gw bukan anak kecil Zea yang harus lo


titipin ke orang, gw bisa sendiri kok.”

“Oh iya zee, biar si bocah ini gw yang


jagain.”

“Dih apaan lo!”

Zea lalu meninggalkan kami berdua, aku


memilih untuk menyibukkan diri dengan
handphone.

“Elkan...” panggil Rein dengan nada


kesakitan.

“Lo gapapa kan, lo butuh sesuatu gak? Lo


mau apa?”
Aku begitu cemas dengan keadaan Rein yang
tiba-tiba melemah begitu saja.

“Obat gw El, itu di atas lemari tolong lo


ambilin bawa aja semuanya kesini.”

Dengan cepat aku melangkahkan kakiku ke


lemari tersebut saat hendak mengambil obat
yang Rein maksud, aku sedikit tercengang.

“Ini obatnya.”

Rein kemudian mengambil salah satu obat


yang hendak dia minum, Aspirin.
Sepengetahuanku obat ini berfungsi untuk
meringankan rasa sakit. Lebih tepatnya sering
digunakan pada penderita penyakit jantung. Aku
lalu memperhatikan setiap obat yang ada di
genggamanku, bisoprolol fumarate, clopidogrel
bisulfate, dan miniaspi.
“Kamu baring aja dulu, kalau sakit bilang
aja.”

“Thanks yah.”

“Iya sama-sama.”

Untuk pertama kalinya Rein berbicara dengan


nada yang lembut kepadaku, mungkin rasa nyeri
membuatnya kehabisan tenaga bahkan untuk
mengeluarkan sepatah kata.

Terkadang rasa sakit mampu merenggut setiap


keceriaan yang kita miliki, tak peduli seberapa
kuat diri seseorang jika rasa sakit itu tiba tidak
ada yang bisa kita lakukan kecuali diam dan
meneteskan air mata.

Tak lama kemudian Zea datang membawa


makanan yang sudah ia siapkan untuk Rein.
“Ehh..tadi Rein tiba-tiba kesakitan Zee gw
gatau kenapa tapi udah mendingan.”

Dengan penuh cemas Zea menghampiri Rein


yang sudah tertidur seusai meminum obat
penahan nyeri tersebut.

“Lo ngasih dia obat apa El?” Tanya Zea


cemas

“Aspirin,” jawabku bingung.

“Lo yang ngasih atau dia sendiri yang


ngambil obat itu?”

“Dia yang ngambil Zee tapi setauku, itu


obat penahan nyeri.”

“Aspirin udah bagian dari hidup Rein El,


Sejak kepergian kedua orang tuanya dia di
diagnosa terkena serangan jantung.”
Aku cukup terkejut dengan hal yang baru saja
kudengar, pantas saja sedari tadi Zea sangat
cemas dengan keadaan Rein.

“Kalau boleh tau Rein udah berapa lama


konsumsi obat-obatan itu?” tanyaku ragu

“Tiga tahun yang lalu, setelah orang


tuanya meninggal dunia.”

Setelah berbincang dengan Zea, Rein pun


terbangun dari tidurnya,

“Zea..”

“Gimana udah mendingan rasa nyerinya?”

“Sedikit.”

“Lo makan dulu gih, biar tenaga lo balik,”


saranku.
Zea kemudian menyuapi Rein perlahan, wajah
Rein begitu pucat. Sepertinya rasa sakit yang
Rein rasakan benar-benar membuatnya
kehabisan tenaga.

Setelah selesai makan, aku lalu pamit


untuk pulang.

“Zea, gw balik duluan yah, ada urusan.”

“Oh iya El, btw makasih lo udah


ngebantuin gw hari ini.”

“Sip, Rein gw balik dulu yah, cepat


pulih.”

Rein menatapku, perlahan iya menganggukkan


kepala pertanda bahwa ia mengiyakanku. Aku
lalu beranjak keluar dari rumah sakit dan segera
balik ke rumah.
Setibanya di rumah aku lalu mencari tahu
obat-obatan Rein, dan benar saja semua obat-
obatan tersebut digunakan oleh penderita
penyakit jantung yang cukup parah.

Kupikir kisah kehidupanku merupakan


rangkaian cerita tersadis yang Tuhan rangkai.
Ternyata aku salah, kisah Rein jauh lebih sakit
jika dibandingkan dengan perjalananku.

Chapter 4

Setelah kejadian beberapa hari lalu di


rumah sakit, Rein sudah kembali pulih dan hari
ini ia sudah bisa mengikuti kegiatan
pembelajaran di sekolah.

“Kalau kamu kenapa-kenapa langsung


hubungi abang, jangan sampai kejadian beberapa
hari lalu terulang lagi,” ucap bang Leon dengan
wajah cemas.

“Siap banggg...lagian Rein gabakal


kenapa-kenapa kok,” jawab Rein dengan nada
girang.

Leon dan Rein kemudian bergegas menuju


mobil, ternyata Zea sedari tadi sudah menunggu
mereka di dalam mobil tersebut.

“Zea, tolong Rein kamu jagain yah,


makannya gaboleh sembarangan, kalau kenapa-
kenapa langsung hubungin bang Leon.”

“Iya bang aman kok.”


Leon kemudian menancap gas menuju sekolah
kedua adiknya tersebut.

Belakangan ini Elkan terlihat murung


entah apa penyebabnya, yang jelas dia seperti
orang yang kehilangan arah. Kedua sahabatnya
pun beberapa hari ini tidak bersamanya, ia
menghabiskan waktunya sendiri dan melakukan
beberapa aktivitas sendirian. Elkan sangat
kebingungan, ia menyusuri koridor sekolah
berharap kedua sahabatnya itu muncul. Namun
usaha Elkan sia-sia, Ketika berada tepat di depan
kelas Adnan dan Gilang, ternyata dua
sahabatnya itu tidak ada. Elkan mencoba
menghubungi mereka akan tetapi Gilang dan
Adnan tidak mengangkat telfon dari Elkan.
Elkan terlihat putus asa, meskipun kedua
sahabatnya itu menjengkelkan, namun tetap saja
tanpa mereka berdua hidup Elkan terasa hampa.

Bel berbunyi, pertanda bahwa jam


istirahat telah tiba. Ketika hendak menuju ke
kantin, terlintas di benak Elkan untuk bolos
kelas hari ini. Ia memilih untuk naik ke lantai
paling atas di sekolahnya. Setibanya di atas
rooftop, Elkan lalu duduk di pinggiran tembok
menikmati pemandangan dari atas. Ia lalu
mengeluarkan earpods miliknya dan mulai
memutar lagu This Side of paradise-Coyote
theory

Are you lonely? (Are you lonely?)

Our finger dancing when they meet

Potongan lagu Side Of Paradise. Elkan


menghayati tiap lirik yang ia dengar, bagi Elkan
musik salah satu tempat untuk mengekspresikan
perasaannya. Elkan benar-benar menikmati
kesendiriannya, tanpa ia sadari bel pulang
sekolah sudah bunyi sekitar lima menit yang
lalu. Ketika merasa cukup puas, Elkan kemudian
melepas earpods miliknya dan mulai menuruni
anak tangga, sialnya Elkan tidak sengaja
mendengar suara pukulan. Setelah melewati
beberapa anak tangga, ia memutuskan untuk
naik kembali dan melihat apa yang sedang
terjadi. Ketika melihat ke bawah Elkan terkejut,
benar saja sekumpulan siswa laki-laki sedang
memukuli dua orang siswa lainnya.

Elkan berusaha memperhatikannya


dengan jeli, ternyata dua orang itu merupakan
sahabatnya sendiri. Dengan cepat Elkan
menghampiri kedua temannya itu, ketika tiba
dilokasi Elkan mengayunkan tangannya sekuat
mungkin dan mendarat tepat di pelipis mata
salah satu siswa. Elkan dalam masalah besar,
lima lawan satu. Perhatian siswa berandalan itu
teralihkan setelah melihat salah satu temannya
berdarah karena pukulan yang diterimanya dari
Elkan, mereka lalu mengeroyoki Elkan.
Sayangnya Elkan tidak selemah yang mereka
kira dalam sekejap lima siswa tersebut tumbang
di tangan Elkan. Ia lalu menyeret satu siswa
yang sedari tadi ia lihat memukuli dua
sahabatnya itu tanpa henti. Dengan rasa tidak
bersalah Elkan mengayunkan pukulannya terus
menerus hingga bibir siswa tersebut pecah, dan
wajahnya memar.

“Awas lo, sekali lagi lo sentuh mereka


berdua habis lo ditangan gw. Bangsat!” Amarah
Elkan memburu.
Adnan dan Gilang begitu terkejut melihat
Elkan semarah itu, mereka lalu berusaha
menarik Elkan menjauhi lokasi tersebut.
Setibanya di mobil, Elkan lalu mengintrogasi
kedua sahabatnya itu.

“Ngapain lo berdua sampai dikeroyok gitu


sama mereka?” tanya Elkan.

“Kamera gw dibanting sama mereka El,


gw gatau pasti alasan mereka ngelakuin itu yang
jelas sedari awal gw dan Adnan udah jadi
incaran mereka,” jawab Gilang sembari
menahan rasa sakitnya.

“Naik lo berdua keburu kita ketahuan


sama guru” ajak Elkan.

Dengan cepat Elkan mengendarai


mobilnya segera meninggalkan sekolah.
Sepanjang perjalanan kedua sahabatnya itu
hanya diam, rasa sakit membuat mereka tidak
mampu berbicara sepatah kata pun. Entah rasa
sakit yang membuat mereka tak mampu
berbicara atau ada hal lain yang mereka
sembunyikan.

“Kenapa lo berdua diam? Sakit?” Elkan


berusaha mencairkan suasana

“Sejak kapan lo jadi brutal, El?” tanya


Adnan dengan wajah yang kebingungan.

Raut wajah mereka berdua sangat sulit


untuk diartikan, mereka seakan-akan sedang
bercengkrama dengan setan.

“Brutal gimana maksud lo?” tanyaku


bingung.

“Elkan, aku tau kau memang perhatian


akan tetapi setelah adegan pukul-memukul itu
perhatian yang selama ini kau tunjukkan dengan
lemah lembut berubah sepersekian detik, entah
tadi kau sedang dirasuk setan atau memang itu
wujud aslimu yang sebenarnya,” jawab Adnan
dengan nada yang dibuat-buat.

“Mulai.”

“Gw juga terkesima sih, El,” sahut Gilang.

“Tadi gw udah coba hubungin lo berdua,


dan gw milih bolos dari jam istirahat sampai bel
pulang, pas gw mau balik gak sengaja gw dengar
suara berisik pas gw perhatikan ternyata lo
berdua.”

Ternyata bukan rasa sakit yang membuat


dua bocah tengil ini diam, mereka hanya terkejut
melihatku melakukan hal yang selama ini tidak
pernah kuperlihatkan.
“Kamera lo gimana, Lang?” tanya Elkan.

“Aman bro,” jawab Gilang.

“Baguslah kalau gitu, besok-besok gw


gamau tau kalau mereka masih berani nyentuh lo
berdua kabarin gw. Biar gw yang maju.”

“Siap bre,” sahut Adnan.

Elkan berhenti disebuah cafe, tempat ini salah


satu cafe favorit mereka bertiga.

“Lo berdua mau makan disini atau


sekalian di rumah?”

“Di rumah aja lah muka udah bonyok


gini,” jawab Adnan.

“Yauda lo berdua stay disini.”


Elkan lalu keluar dari mobil untuk membeli
makanan.

Selang beberapa saat kemudian Elkan pun


datang menenteng sebuah kantong plastik di
tangannya. Setelah itu Elkan kembali
memberhentikan mobilnya disebuah apotek.

“Lo mau ngapain, El?” Tanya Gilang

“Udah lo berdua tunggu aja disini.”

Elkan lalu masuk kedalam apotek sembari


mengeluarkan potongan kertas yang bertuliskan
nama obat-obatan.

“Permisi kak bisa tolong cariin obat ini


gak?”

Elkan lalu menyodorkan kertas tersebut ke


apoteker.
“Tunggu bentar yah.”

Tak lama kemudian apoteker datang dengan


obat-obatan persis yang ada dalam list kertas
tadi.

“Makasih yah kak.” Sembari


menyodorkan uang.

Elkan kemudian memberikan obat-obatan


tersebut kepada kedua temannya itu.

“Nih, lo pake berdua.” Sembari


menyodorkan obat.

“Widih kesambet apaan lo?” ujar Adnan.

“Udah gosah banyak mulut deh lo, udah


baik gw mau beliin tuh obat.”

“Iye iyee....”
Elkan lalu menancap gas, secepat mungkin iya
mengendarai mobilnya menuju pekarangan
rumah.

Setibanya di rumah, Elkan dan kedua


sahabatnya itu menyantap makanan tadi,
kemudian menghabiskan waktu dengan dunia
mereka masing-masing.

Cueknya seseorang bukan berarti mereka


tidak peduli akan apa yang kita rasa, setiap
manusia memiliki tipe yang berbeda-beda dalam
menunjukkan perhatian mereka.

Elkan terbangun dari tidurnya, terlihat dua


sahabatnya itu masih tertidur pulas, ia lalu
berjalan menuju balkon kamarnya. Elkan tampak
merenung entah apa yang ada di pikirannya saat
ini. Elkan masih sangat terpukul dengan
perpisahan kedua orang tuanya sering kali
terlintas dalam benaknya untuk mengakhiri
hidupnya, ditambah lagi dengan kehadiran
saudara tirinya yang selama ini ditutupi oleh
ibunya sendiri. Hal itu yang membuat Elkan
sangat terbebani bagaimana mungkin hal sebesar
itu disembunyikan darinya hingga kebenaran
tersebut terungkap ketika papa dan mamanya
telah resmi berpisah, parahnya lagi saudara
tirinya tersebut memiliki selisih umur satu tahun
dibawah Elkan. Rasa kecewa Elkan terhadap
ibunya membuat ia sedikit trauma dan sulit
percaya terhadap perempuan. Ia selalu berusaha
menghindar jika ada sosok perempuan yang
berani menghampirinya, atau bahkan ia tak
segan mengeluarkan kata-kata yang cukup sadis.
Akan tetapi sejak mendengar kisah Rein sudut
pandang Elkan mulai berubah.
Tak sepantasnya masa lalu dilibatkan
dalam perjalanan atau lembar baru dalam buku
yang sementara ditata ulang, jika kau terus
memaksa untuk menghadirkan masa lalu
tersebut, kau tidak memuat lembar baru
melainkan baris baru dalam buku tersebut.

Segerombolan siswa terlihat sedang


berdiri di parkiran sekolah, tampaknya mereka
sedang menunggu seseorang.

“El, bentar. Itu bukannya komplotan Erick


yang kemarin gebukin gw sama Gilang?” ujar
Adnan panik.

“Terus kenapa? Takut lo?” jawab Elkan


tegas.
Elkan lalu memarkirkan mobil miliknya tepat di
samping komplotan Erick. Belum sempat keluar
dari mobil, Erick lalu menendang body depan
mobil Elkan. Elkan lalu keluar dari mobil, ia
berusaha menghadapi Erick dengan santai,
namun tak disangka dengan cepat Erick
mengayunkan kepalan tangannya ke Elkan,
Elkan lalu menangkis pukulan tersebut lalu
menatap tajam ke arah Erick. Erick terkejut
setelah pukulannya berhasil ditangkis oleh
Elkan, bagaimana mungkin dia bisa menangkis
pukulanku? Tanya Erick dalam hati. Erick
kembali mencoba untuk memukul Elkan, belum
sempat pukulannya mengenai Elkan, Elkan
terlebih dahulu menendang kaki Erick hingga
terjatuh. Komplotan Erick hanya menyaksikan
kejadian tersebut dan memilih untuk tidak
campur tangan dalam permasalahan tersebut,
begitu juga dengan Adnan dan Gilang. Mereka
hanya terperangah menyaksikan aksi Elkan.

Tanpa Elkan sadari, ternyata Zea dan Rein


sedari tadi menyaksikan kejadian tersebut.

Bel masuk sekolah pun bunyi, Elkan dan kedua


sahabatnya memutuskan untuk meninggalkan
Erick bersama komplotannya.

“Urusan kita belum selesai, gw tunggu lo


pulang sekolah.”

“Masih berani lo?” jawab Elkan sembari


berjalan ke arah berlawanan.

Setibanya di kelas Elkan lalu duduk


dengan tenang sembari menaruh kepalanya
keatas meja. Rein lalu menghampiri Elkan,

“Elkan, lo sibuk gak pulang sekolah


nanti?” tanya Rein.
Elkan terkejut melihat Rein berdiri tepat di
sampingnya

“gatau, lagian tumben banget lo mau


negur gw,” jawab Elkan

“Yah gapapa gw cuma mau minta temanin


ke toko buku nanti pas pulang sekolah, lo bisa
gak?” tanya Rein sekali lagi.

“Iya gw temanin, lagian kenapa lo gak


bareng Zea aja?”

“Zea ada urusan ntar siang, jadi dia gabisa


nemanin gw nanti.”

“Yauda deh kalo gitu, lo karabin aja


nanti.”

“Okeiii.”

Rein lalu kembali ke tempat duduknya.


Elkan kebingungan dengan dirinya
sendiri, bagaimana mungkin dia bisa menerima
ajakan Rein begitu saja, bahkan untuk menolak
ajakan tersebut sama sekali tidak terlintas untuk
ia ucapkan.

Kebingungan menimbulkan rasa


penasaran, rasa penasaran menimbulkan rasa
ingin tahu.

Jam pulang sekolah pun tiba, Rein lalu


mendatangi Elkan yang sedang membereskan
bukunya.

“Bentar, masih nyimpun buku.” Sembari


memasukkan buku kedalam tas.

“Aku tunggu di depan yah.”


“Iyaa.”

Rein lalu berjalan keluar kelas. Gilang dan


Adnan menghampiri Elkan.

“El, lama banget sih lo.”

“Kalau gamau nunggu jalan kaki lo


berdua,” jawab Elkan.

“Lo gak inget apa kata Erick tadi pagi?”

“Gw ada urusan, jadi lo berdua gw anter


pulang dulu. Soalnya gw mau nganterin Rein ke
toko buku.”

“Rein?” sahut Gilang penasaran.

Elkan lalu berjalan keluar kelas dan mendapati


Rein yang sedang menunggunya.

“Ayo Ree,” ajak Elkan.


Rein lalu memegang tangan Elkan. Elkan sangat
terkejut dengan apa yang baru saja Rein lakukan.

Terlebih lagi dengan kedua sahabatnya yang


tengil itu.

“Elkann, sejak kapan kita bakal punya


kakak ipar?” tanya Adnan histeris.

Gilang lalu memukul kepala botak Adnan,

“Ssstttt.... jangan ditegur, Nan” Gilang


tersenyum.

“Maksud lo apaan nih hah?” tanya Elkan


sembari berbisik.

“Gaboleh emang?” tanya Rein.

“Gak.”

Rein lalu melepas genggaman tangannya.


Elkan kemudian mengemudikan mobil
miliknya ke arah pekarangan rumah, setibanya
di sana ia menyuruh kedua temannya untuk
turun dari mobil.

“Udah lo berdua jaga rumah, gw ada


urusan bareng Rein.”

“Aelah bilang aja mau ngedate lo berdua,”


ujar Gilang.

“Sotoyyy lo.”

Gilang dan Adnan lalu keluar dari mobil, belum


sempat menancapkan gas, Adnan lalu menyahuti
Elkan dan Rein.

“Good luck yah kalian berdua.”

“Diem gak lo berdua.”


Adnan dan Gilang tertawa lepas. Elkan lalu
melaju meninggalkan pekarangan rumah.

Sepanjang perjalanan Elkan tak berani


mengeluarkan sepatah kata. Hingga akhirnya
Rein memulai pembicaraan.

“Lo suka baca buku juga gak?” tanya


Rein.

Elkan sedikit canggung dengan Rein apalagi


kejadian di sekolah tadi membuatnya semakin
nervous.

“Gak juga,” jawab Elkan grogi.

Sepanjang perjalanan Elkan dan Rein membahas


seputar buku-buku yang suka mereka baca.


Setibanya di toko buku Rein lalu masuk
terlebih dahulu, Elkan mengikutinya dari
belakang. Ketika hendak menaiki sebuah anak
tangga, Elkan lalu meraih tangan Rein lalu
menggenggamnya erat.

Rein seketika terkejut dan tak bisa berbicara,


jantungnya berdebar sangat kencang, entah
perasaan apa yang sedang ia rasakan saat ini.

“Lo boleh megang tangan gw, asal lo nya


nyaman,” ujar Elkan.

Rein semakin gugup, ia bingung harus


menjawab pernyataan Elkan bagaimana.
Sepanjang mereka mengitari rak buku, Rein
berusaha untuk terlihat biasa saja di hadapan
Elkan.

Setelah beberapa menit mengitari area


toko buku tersebut, tak sengaja mata Rein
terarah ke sebuah rak buku fiksi. Ia lalu berusaha
menggapai buku di rak yang letaknya cukup
tinggi.

“Yang ini?” tanya Elkan.

“I-iya.”

“Ini doang? Atau masih mau nyari yang


lain lagi?” tanya Elkan sekali lagi.

“Udah ini aja.”

“Oke.”

Elkan lalu membawa buku tersebut ke kasir dan


membayar buku tersebut.

“Loh, kok lo yang bayar sih?” Rein


kebingungan.
“Gapapa, anggap aja ini hadiah
perkenalan kita,” jawab Elkan sembari
menyerahkan buku tersebut ke Rein.

Setelah selesai membeli buku tersebut,


Elkan lalu mengajak Rein untuk berkeliling kota
sejenak.

“Lo mau makan gak?”

“Boleh-boleh.”

Elkan lalu melaju menuju sebuah restoran,


setibanya di restoran Elkan lalu memesan
makanan. Elkan terus memperhatikan Rein yang
sedang menikmati makanannya, wajah Rein
sedikit pucat sepertinya Rein begitu kelelahan
seharian ini.
Karena asik memperhatilan Rein, Elkan
tidak menyadari bahwa sedari tadi Rein sudah
selesai menyantap makanannya.

“Haiiii...” Rein melambaikan tangan di


depan wajahku.

“Eh.. udah selesai yah makannya? Yauda


lo tunggu bentar disini.”

Elkan lalu meninggalkan Rein sendiri.

Selang beberapa menit, Elkan kembali


menghampiri Rein.

“Ayo pulang,” ajak Elkan sembari


mengulurkan tangannya.

“Rein lalu meraih tangan Elkan.”

Mereka lalu berjalan keluar meninggalkan


restoran tersebut.
Kau memulai semuanya layaknya
kutukan, hingga pada akhirnya kau berhasil
menimbulkan rasa khawatirku akan dirimu. Aku
belum berniat untuk memasukkanmu sebagai
potongan cerita dalam buku harianku, mungkin
butuh waktu.

Ketika sedang dalam perjalanan pulang


tiba-tiba saja Rein merasakan sakit yang
membuatnya tak sanggup bergerak, sembari
memegang dadanya, Rein berusaha menggapai
tangan Elkan yang sedang fokus mengendarai
mobil. Elkan lalu menyadari hal itu ketika
tangan Rein berhasil menggenggam kuat baju
Elkan.

“Re... lo kenapa? Kambuh lagi sakitnya?”


tanya Elkan panik.
Elkan lalu memutar setir mobil ke arah pinggir
jalan. Dengan cepat Elkan meraih tas yang
berada di kursi belakang, ia mengambil obat-
obatan yang sudah ia beli beberapa hari yang
lalu. Elkan lalu memberikan obat tersebut ke
Rein.

“Ini minum dulu obatnya,” Elkan


berusaha menangani Rein dengan tenang.

Rein lalu meneguk obat tersebut dan sama


seperti sebelumnya seusai meminum obat,
beberapa menit kemudian Rein pasti tertidur.

Rein tertidur dalam keadaan


menggenggam tangan Elkan, perlahan Elkan
melepas genggaman Rein dan lanjut
mengendarai mobil miliknya ke arah rumah
sakit.
Setibanya di rumah sakit tersebut Elkan
lalu menghubungi Zea. Setelah beberapa menit
Zea datang didampingi dua orang perawat yang
dengan cepat membawa Rein ke ruangannya.

“Tadi Rein mendadak kesakitan, gw gatau


kenapa, untungnya gw udah siapin obat-obatan
yang dia konsumsi,” ujar Elkan.

“Udah lo tenang aja jangan panik, rasa


sakit Rein memang selalu datang tanpa di duga.”

“Sorry yah, Zee.”

“Udah Elkan, lo mending balik istirahat.


Entar gw kabarin kalau Rein udah siuman.”

“Oke Thanks Zee, Sekali lagi gw minta


maaf.”

“Udah El, gw maafin kok.”


Elkan lalu meninggalkan rumah sakit
tersebut.

Jika saja Tuhan mengizinkan aku ingin rasa


sakit yang kau derita pindah ke tubuhku,
bukannya aku tidak menyayangi diriku.

Chapter 4

Belakangan ini hari-hari Elkan mulai tak


beraturan. Ia sering terlibat perkelahian terutama
masalah antara dirinya dan Erick, ditambah lagi
masalah tersebut semakin memanas ketika Elkan
tak datang menghampiri Erick seusai pertikaian
pagi itu. Elkan bukan pengecut, hanya saja ia tak
tau cara menolak ajakan Rein yang dimana
Elkan sendiri tau jika Rein harus diperhatikan
lebih. Lagian Elkan sadar jika Erick bukanlah
lawan yang sepadan untuknya.
Erick beserta komplotannya datang
menghampiri Elkan. Seorang murid laki-laki
dengan badan yang sama besar dengan Elkan
lalu muncul tepat di hadapannya. Kepalan
tangan murid tersebut lalu mendarat di ujung
bibir Elkan. Seketika bumi seperti berputar
seratus kali lebih cepat, Rein yang baru saja
kembali dari kantin melihat adegan perkelahian
tersebut. Ia tau di tengah kerumunan orang itu
siapa, ia berusaha menerobos masuk dan benar
saja Elkan sedang dipukuli habis-habisan. Rein
berusaha menarik Elkan keluar dari lingkaran
tersebut akan tetapi Rein malah terkena pukulan
dari salah satu murid. Rein lalu merintih
kesakitan dan jatuh tepat di samping Elkan.
Elkan yang melihat Rein terjatuh disampingnya
seketika membuat amarahnya tidak lagi bisa
dikontrol.
“GOBLOK!” Teriak Elkan sembari
menghajar balik siswa yang sudah memukulnya
tadi.

Erick tercengang melihat Elkan semarah


itu, persis ketika pertama kali Elkan
menghajarnya. Elkan lalu mendatangi Erick dan
menarik kera bajunya, dengan rasa tak bersalah
Elkan lalu menghantam kepala Erick ke tembok,
tak cukup sampai disitu, Elkan terus
menghajarnya habis-habisan.

“Lo kalau mau sok jagoan sadar diri, lo itu


lemah. Gausah bawa komplotan kalo emang lo
ngerasa jago, tolol,” ujar Elkan tegas.

Zea lalu menarik Elkan, seketika kelas


mereka menjadi pusat perhatian. Elkan lalu
menghampiri Rein yang masih merintih
kesakitan. Ia lalu menuntun Rein ke UKS.
Sepanjang koridor seluruh murid-murid
sekolah itu memperhatikan Elkan dan Rein.
Entah apa yang ada di pikiran mereka.

“Lo ngapain berusaha nolongin gw? Lo


ngapain coba masuk ke kerumunan itu.”
Sembari menatap Rein yang sedang menahan
sakit.

Rein bingung harus berkata apa, ia bahkan tak


berani mengarahkan pandangannya ke arah pria
itu, ia hanya tunduk sembari mendengar Elkan
berbicara. Elkan lalu berjalan menuju sudut
UKS, ia lalu mengisi gelas dengan air kemudian
ia kembali berjalan ke arah Rein yang sedari tadi
hanya tunduk tak bersuara.
Elkan kemudian memegang bahu Rein lembut
sembari menyodorkan segelas air yang baru saja
ia ambil.

“Ini minum dulu biar tenang.”

Rein lalu mengambil air tersebut dengan tangan


gemetar, perlahan ia meneguk sedikit demi
sedikit air tersebut hingga tetes terakhir. Elkan
terus memperhatikan Rein yang hanya tunduk
menahan sakit, entah apa yang dipikirkan Elkan
ia kemudian maju selangkah tepat di hadapan
Rein. Dengan rasa ragu Elkan mengarahkan
kedua tangannya ke arah Rein dan mulai
memeluknya sembari mengusap belakang
perempuan itu. Seketika itu tangisan Rein yang
sedari tadi ia bendung keluar begitu saja. Rein
lalu membalas pelukan Elkan erat.
“Sorry Ree..gara-gara gw lo harus terlibat
dalam perkelahian tadi.”

Rein berusaha menjawab Elkan akan tetapi


tangisannya membuat Rein sulit untuk berkata-
kata.

Setelah cukup tenang Rein lalu


mengeluarkan sepatah kata yang samar di telinga
Elkan.

“Gatau kenapa tapi gw gamau kalau lo


terlibat dalam perkelahian”

Elkan lalu melepas pelukannya kemudian


menatap dalam mata Rein.

“Gw juga gamau Ree, tapi perbuatan


Erick ke Gilang dan Adnan udah kelewatan, gw
gabakal tinggal diam kalau dua sahabat gw itu
kenapa-kenapa di tangan orang lain. Dan gw
juga gatau kalau masalahnya bakal merembet
sejauh ini.” Jawab Elkan.

“Gw mau jujur ke lo, sebenarnya gw


ngajak lo ke toko buku itu cuma akal-akalan gw
doang biar lo terhindar dari perkelahian. Gw gak
sengaja ngeliat lo dan Erick kelahi di parkiran
dan gw juga denger semua percakapan kalian
makanya gw berusaha buat lo sibuk dihari itu.”

Elkan tak menyangka bahwa Rein sepeduli itu


padanya, ia bahkan sudah merancang
rencananya agar Elkan terhindar dari tantangan
itu. Dan terbukti usaha Rein berhasil, berhasil
membuat Elkan dikeroyok hari ini.

Setelah cukup lama berbincang dengan


Rein, tiba-tiba pintu UKS terbuka perlahan. Zea
lalu masuk bersama Gilang dan Adnan.
“Sorry telat, tadi gw nyari mereka berdua
buat ngasih tau keadaan lo El.” Ucap Zea
tersengah-sengah.

“Emang benar-benar si Erick, bisa-


bisanya dia ngelibatin Danil dalam masalah ini.
Gabisa dibiarin tuh anak.” Tegas Gilang.

Sebenarnya Adnan dan Gilang tidak secupu


yang Erick kira, hanya saja kedua sahabat Elkan
itu lebih memilih untuk mencari aman dan bebas
dari masalah. Akan tetapi setelah melihat
perbuatan Erick dan Danil, emosi Gilang
semakin membara sama halnya dengan Adnan.

“Udah gw gamau kita bertiga di DO


karena kasus perkelahian.” Elkan berusaha
menenangkan Gilang.

“Tapi El” sahut Adnan.


“Gaada yang boleh mukul Erick kecuali
dia yang mulai perkara.” Elkan memotong
pembicaraan.

Seketika itu kedua sahabatnya pun diam mereka


sadar kata-kata Elkan ada benarnya.

Rein termenung menatap langit malam


yang berhiaskan cahaya rembulan dan bintang-
bintang kecil. Kenapa, kenapa aku harus peduli
dengannya? Bukankah awal pertemuan kita
tidak sebaik itu. Aku tak bisa menyangkal bahwa
kau berhasil memikat perhatianku. Kupikir
hadirnya dirimu dalam lembar kehidupanku
hanya akan menambahkan masalah baru.
Ternyata itu semua diluar dari perkiraanku.
Kau tak seburuk imajinasiku padamu.
“Rein, kamu gapapa kan?” Tanya bang
leon.

“Eh bang Leon, iya gapapa kok bang.”

“Udah malam ni, kamu istirahat dulu.


Kalau ada apa-apa bilang ke bang Leon. Okey.”

“Siap bang” Jawabku.

Leon lalu berjalan ke arah pintu meninggalkan


Rein.

“Cieeee....lo lagi mikirin Elkan yah”


sembari tertawa kecil Zea memperhatikanku
dari sudut balkon.

“Apaan deh lo”

“Jujur aja kali, jangan malu-malu” Zea


terus mengejekku.

“Apaan sih Zee, udah gw mau tidur.”


Rein lalu masuk ke kamar dan menjatuhkan
dirinya ke kasur tak lama kemudian ia sudah
berada di alam bawah sadarnya.

“Sepertinya ada yang lagi falling in love


ni Lang”

“Wkwkwkwk cepat juga es batu kita luluh


Nan”

Gilang dan Adnan tak berhenti sahut-sahutan


berharap Elkan bakal menotice keduanya.

“Pada kenapa sih lo berdua, berisik tau


ga”

Elkan terlihat kesal dengan kedua sahabatnya


itu, akan tetapi disisi lain ia juga merasakan
kesenangan tersendiri usai kejadian di sekolah
tadi. Kata-kata Rein terus terlintas di kepala
Elkan, setelah perpisahan kedua orang tuanya
Elkan tidak lagi pernah mendengar larangan atau
support dari orang lain. Larangan Rein berhasil
membuatnya merasa berharga di mata Rein.
Simpel, tapi dengan keadaan Elkan saat ini itu
merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri
baginya.

Sesimpel atau seberat apa pun masalah


yang kita hadapi, terkadang bisa terasa ringan
dengan hal-hal sederhana yang lama hilang
dari hidup kita.

Elkan berhasil keluar dari zona


nyamannya kehadiran Rein bukanlah masalah
baru melainkan hal baru yang harus ia masukkan
dalam lembar harian miliknya. Ia yang selama
ini memilih untuk menutup diri akan hadirnya
orang baru mulai terbuka dan menerima takdir
yang sudah Tuhan rangkai untuknya. Bahkan
kedua sahabatnya pun terkejut setelah
mengetahui Elkan bisa sepeduli itu dengan Rein,
yang dimana mereka berdua tau jika luka yang
ditinggalkan ibu Elkan begitu membekas bahkan
membuat Elkan sulit percaya dengan perempuan
dan memilih untuk menyibukkan diri bersama
kedua sahabatnya. Hadirnya Rein membuat
perubahan besar bagi Elkan.

Saat sedang asik bercerita tiba-tiba saja


Adnan memotong pembicaraan.

“El, kalau misalnya Erick masih berani


nyari masalah sama kita-kita gimana?” Tanya
Adnan.

Seketika suasana hati Elkan berubah begitupun


dengan Gilang.

“Sebenarnya mau sampai kapan pun Erick


bakal terus ngusik kita bertiga, mungkin dia
harus dihajar habis-habisan baru bisa berhenti
nyari masalah.” Jawab Gilang dengan perasaan
kesal.

“Yang lo bilang emang ada benarnya,


cuma gw gamau kalau kita bertiga dikeluarkan
dari sekolah cuma gara-gara kasus perkelahian,
tapi kalau emang dia masih berani ngusik, gw
gak bakal tinggal diam.”

Kehadiran Erick dalam cerita tiga sahabat ini


memang membuat masalah besar bagi mereka,
selama ini mereka hanya sibuk dengan dunia
masing-masing. Sampai ahirnya Erick dan
komplotannya masuk membawa masalah yang
tak pernah mereka duga sebelumnya.

Chapter 5

Seiring berjalannya waktu Elkan dan Rein


semakin dekat, mereka bahkan sering
menghabiskan waktu berdua. Elkan sering
menemani keseharian Rein, hingga tiba masa
dimana OSIS membuka pendaftaran calon
pengurus dan Rein berniat untuk mengajukan
diri sebagai wakil dan Elkan sebagai ketua.
Entah apa maksud dan niat dari Rein, yang jelas
ia pasti sudah merancang sesuatu yang baik
untuk Elkan. Meskipun mereka sering bersama
dan Rein selalu berusaha menjauhkan Elkan dari
masalah, Elkan tetap saja akan berulah secara
diam-diam di belakang Rein. Mungkin tujuan
Rein mengajukan Elkan sebagai ketua agar
kedepannya Elkan hanya fokus dengan pelajaran
dan organisasinya. Elkan juga tipe anak yang
tidak akan memulai pertikaian jika ia tidak
diusik lebih dulu, ia juga akan memilih hal yang
menurutnya berguna daripada harus
mengutamakan hal yang tidak menguntungkan
baginya.

“Elkan, lo gaada niatan buat daftar OSIS


gitu?” Tanya Rein.

“Bisa tuh Elkan ketua lo wakilnya” sahut


Zea sembari tertawa kecil.

“Enggak sih, kenapa emang? Lo mau?”


Elkan membalikkan pertanyaannya.

“Ya gw mau aja sih daftar sebagai wakil


cuma gw gatau mau pasangan sama siapa.”

“Lo daftar aja El, lagian kalian berdua


cocok tau sama-sama pinter terus chemistry
kalian juga bagus.” Zea terus berusaha
memancing Elkan.

“Gw gak yakin sih bisa jadi ketua, lagian


gw juga gapernah ikut organisasi sebelumnya.”
Jawab Elkan dengan rasa tidak percaya diri.
“Kan bisa dicoba dulu Elkan, lagian
nambah pengalaman juga.” Ujar Rein.

“Lo mau pasangan sama gw emang?”

“Emm kalo lo nya mau kenapa enggak,


daripada harus nyari yang lain belum tentu juga
chemistry nya dapet.”

“Gw pikir-pikir lagi deh.”

Suasana kantin begitu ramai Elkan dan


kedua sahabatnya duduk di meja paling pojok
kantin, tempat yang lumayan tenang dari meja-
meja lainnya. Ketiga sahabat ini sedang asyik
bercerita sampai akhirnya Elkan mengajukan
pertanyaan.

“Menurut lo berdua gw cocok gak sih


mencalonkan diri jadi ketua OSIS?” Tanya
Elkan sembari menatap mata kedua sahabatnya
itu.

Adnan dan Gilang seketika diam dan terkejut


mendengar pertanyaan Elkan barusan.

“Lo mau jadi ketos?” Tanya Gilang


dengan wajah penuh heran.

“Lo gak lagi kesambet kan bro.” Sahut


Adnan.

“Gatau sih gw cuma nanya doang, kalau


jawaban lo berdua masuk akal dan bisa jadi
landasan buat gw terjun ke organisasi kenapa
enggak.” Jawab Elkan tegas.

“Kalo dari gw sih cocok-cocok aja lagian


kemampuan lo juga lumayan, publik speaking lo
juga bagus, jadi kalau dari gw sih iya.” Jawab
Gilang.
“Terus kalo dari lo gimana?”

“Gw mah iya-iya aja bisa nambah


pengalaman juga buat lo, biar terhindar juga noh
dari komplotan Erick daripada hari-hari lo diisi
dengan hal-hal yang gak berguna mending lo
jadi ketos aja udah gw dukung.”

Kedua sahabat Elkan memang selalu berusaha


membangun karakter sahabatnya ini agar tidak
terus menerus terjebak dalam ingatan masa
lalunya, apalagi belakangan ini Elkan sering kali
menjadi pusat perhatian warga sekolah karena
aksi perkelahiannya dengan Erick. Hal ini sudah
cukup membuat nama Elkan dan kedua
sahabatnya jelek di mata murid lain.

Jika Elkan niat untuk mencalonkan diri


sebagai ketua, maka hal ini akan menjadi tugas
yang berat untuk membangun kembali rasa
percaya murid lain akan dirinya.

Sepulang sekolah Rein tidak langsung


pulang ke rumah, ia menuju ke arah rumah sakit
untuk melakukan check up. Kali ini Rein harus
mengumpulkan keberanian untuk menanyakan
rencana Rein ke abangnya Leon, bahwa ia ingin
mencalonkan diri sebagai wakil ketua OSIS. Jika
dilihat dari keadaan Rein yang saat ini semakin
memburuk pasti Leon tidak akan mengizinkan
adiknya itu, ditambah lagi jadwal OSIS yang
sangat padat akan menjadi beban yang sangat
berat bagi Rein.

Setelah menunggu cukup lama akhirnya


Leon selesai dengan tugasnya hari itu, ia lalu
masuk ke ruangan miliknya dan didapatinya
Rein yang sedang asik membaca sembari
mendengarkan musik. Karena terlalu asik dalam
dunianya Rein tak menyadari keberadaan
abangnya dalam ruangan tersebut. Hingga
akhirnya Leon menepuk pelan pundak adik
kecilnya itu.

“Heyy.” Sapa Leon lembut.

“Eh bang Leon, udah dari tadi bang?”


Tanya Rein.

“Baru aja, beberapa menit yang lalu”


Jawab Leon.

“Bang, mau nanya tapi abang jangan


marah yah.” Rein berusaha tenang.

“Iya tanya aja, kenapa?”

“Rein boleh gak bang ikutan OSIS, Rein


tau ini bakal jadi hal baru bahkan mungkin
beban baru yang cukup berpengaruh untuk
kesehatan Rein, tapi Rein janji bakal jaga diri
bang.”

Seketika itu raut wajah Leon berubah.

“Sebenarnya abang gak bakal ngelarang


kamu buat join ke organisasi, tapi akhir-akhir ini
keadaan kamu jauh tidak baik-baik saja Rein.
Abang gamau ngambil resiko.”

“Rein janji bang bakal jaga kesehatan


lagian Rein mencalonkan sebagai wakil bukan
ketua, dengan begitu kegiatan Rein tidak akan
sepadat itu bang. Boleh ya bang pleaseeee.”
Rein berusaha membangun kepercayaan
abangnya.

Melihat semangat Rein membuat abangnya


begitu kesulitan dalam mengambil keputusan,
Leon takut jika adik kecilnya itu kenapa-kenapa.
“Kasih abang waktu untuk memberikan
jawaban yang terbaik buat pertanyaan kamu,
yang penting sekarang kita check up dulu.
Abang mau liat perkembangan detak jantung
kamu dengan holter monitor, jadi dua hari ke
depan kamu harus pakai alat ini untuk merekam
aktivitas jantung kamu.” Leon berusaha
memberi pengertian kepada Rein.

“Okey bang, makasih.”

Setelah pembahasan tersebut selesai Leon lalu


membawa adiknya ke ruangan khusus untuk
memasangkan alat Holter Monitor.

“Jangan dilepas alatnya, awas aja.” Leon


memperingatkan adiknya itu.

“Yeeee.. Rein gak sebandel itu juga kali


bang.” Jawab Rein dengan nada kesal.
“Yah kan abang cuma ngingetin.”

Sembari memasangkan alat tersebut ke adiknya.

“Udah ni kamu boleh pulang duluan,


abang minta tolong Zea buat jemput kamu,
soalnya masih ada urusan yang harus abang
selesaikan.”

“Oke deh”

Leon lalu mengambil handphone miliknya


kemudian menghubungi Zea. Sayangnya Zea
tidak mengangkat telepon dari Leon.

“Gimana bang?” Tanya Rein

“Zea gak angkat telepon abang”

“Rein minta jemput teman aja bang,


gapapa.”
“Siapa teman kamu?” Tanya Leon sedikit
cemas.

“Ada teman sekelas cowok, udah sempat


kesini juga waktu Rein drop, terus dia juga yang
nolongin Rein pas pingsan di sekolah.” Jawab
Rein berusaha meyakinkan abangnya.

“Teman apa teman tuhh.”

“Ihhh apaan sih bang Leon.”

“Iya-iya, bilangin ke teman kamu kalau


adik abang harus sampai tepat waktu dalam
keadaan baik-baik saja. Kalau gak kamu tau
sendirikan apa yang bakal abang lakuin.” Leon
kembali memperingatkan Rein.

“Siap bos.”
Sudah cukup tenang Leon lalu berjalan keluar
dari ruangan miliknya. Rein lalu menghubungi
Elkan,

“Halo Ree.. ada apa tumben banget lo


nelpon gw?”

“Lo bisa jemput gw gak di rumah sakit.”

“Sekarang?”

“Iya Elkan sekarang, buruan gapake


lama.”

“Otw.”

Selang tiga puluh menit terdengar suara ketukan


pintu.

“Masuk.”

Elkan kemudian membuka pintu,


“Mau langsung balik?” Tanya Elkan.

“Iya langsung aja takut kenapa-kenapa.”

“Oke deh kalo gitu.”

Mereka lalu berjalan keluar ruangan tersebut dan


meninggalkan area rumah sakit menuju rumah
Rein.

Dalam perjalanan tersebut mereka


membahas seputar rencana yang sudah mereka
bicarakan di sekolah tadi, dan Rein memberitahu
Elkan tentang abangnya Leon yang belum bisa
memberikan keputusan. Sama halnya dengan
Elkan, ia begitu ragu dengan dirinya terlebih lagi
pandangan warga sekolah ke Elkan sudah begitu
buruk akibat sering terlibat perkelahian.

“Gw udah minta izin ke bang Leon, tapi


dia belum bisa ngasih keputusan.” Ucap Rein.
“Sebenarnya gw juga ragu jadi ketos, lo
tau sendiri kan gw gimana dimata murid-murid
lain, hampir setiap hari gw terlibat perkelahian.
Sebenarnya bukan kemauan gw, cuma gw gabisa
ngebiarin Erick nginjak harga diri gw dan
sahabat gw.”

Apa yang Elkan bilang memang ada


benarnya. Akan tetapi Rein tidak akan
mengizinkan Elkan putus asa sebelum mencoba.

“Harus optimis dong, jangan pesimis. Jadi


orang kok ragu banget lo.”

“Bukannya gimana ni ye tapi sadar diri itu


penting Rein.”

Rein lalu menatap Elkan yang sedang fokus


mengendarai mobil.
“Sadar diri memang penting, tapi jangan
biarkan satu kesalahan jadi alasan buat nutup
semua kelebihan yang lo punya.” Rein berusaha
meyakinkan Elkan. Setelah perbincangan yang
cukup panjang akhirnya mereka tiba di rumah.

“Lo gamau singgah?”

“Gw langsung balik aja, soalnya Gilang


dan Adnan di rumah nungguin gw.”

“Yauda kalau gitu, hati-hati di jalan


jangan ngebut. Makasih yah El.”

Elkan lalu melaju meninggalkan


pekarangan rumah Rein.

Tak lama setelah Elkan pergi bang Leon


tiba di rumah.
“Cepat banget bang, tau gitu Rein nunggu
aja tadi di ruangan bang Leon.” Sembari
menatap abangnya bingung.

“Yah kan abang juga gatau Rein kalau


secepat ini, yauda ayo masuk.” Sembari
merangkul pundak adik kecilnya.

Rein sedikit bingung Zea yang biasanya


ada di rumah entah kemana sekarang. Harusnya
ia juga tau hari ini jadwal check up Rein. Entah
lah mungkin Zea ada kesibukan yang benar-
benar penting makanya ia tak sempat mengabari
Rein.

“Bang, Zea gaada kabarin abang kenapa


belum pulang?” Rein sedikit cemas.

“Kalau ga salah Zea hari ini ada rencana


buat ketemu sama papinya, tadi dia udah kabarin
abang lewat telepon.”
“Terus Zea bakal balik kapan bang?”
Tanya Rein sekali lagi.

“Kalau itu abang belum tau pasti mungkin


minggu depan.”

Malam begitu sepi biasanya Rein


melewati malam bersama Zea di balkon kamar
dan sekarang Rein hanya sendirian. Rein tampak
murung sembari menatap langit yang kali ini
mendung.

“Rein..” Sapa Leon.

“Iya bang kenapa?”

“Bang Leon cuma mau ngasih tau kalau


kamu abang izinkan masuk OSIS. Tapi kamu
harus janji bisa jaga kesehatan.”

“HAHH.. serius bang?” Rein terkejut


mendengar hal tersebut.
“Satu lagi dalam waktu dekat kamu bakal
melaksanakan transplantasi jantung.”

“Kok cepat banget bang, udah ketemu


sama orang yang mau donorin ginjalnya buat
Rein?” Rein begitu terkejut.

“Iya, jadi abang minta dalam waktu dekat


kamu harus jaga kesehatan kamu jangan sampai
drop, okey.”

“Okeyy.”

Rein lalu mengabari hal tersebut ke Elkan


melalui whatsApp.

Rein: Elkan, gw ada kabar baik nih. Bang


Leon izinin gw buat masuk OSIS, ada satu hal
lagi yang mau gw sampaikan ke lo Cuma belum
waktunya tapi pasti gw cerita kok.”
Elkan: Widih bisa jadi pasangan unggul
nih. Oke deh kalau gitu. Gdnait Rein.

Rein: Gdnait.

Chapter 6

“Lo dari mana aja sih Zee, udah seminggu


gak ngasih kabar gila lo yah. Gw cemas tau.”

“Hehehe..Sorry-sorry ada hal yang harus


gw selesaikan dengan papi gw.”

“Iya setidaknya lo ngabarin gw Zea, mana


gabisa dihubungin lagi.”

“Sengaja, mau liat lo peduli gak sama


gw.”

“Gak, gapeduli gw Zee.” Jawab Rein


kesal.
Setelah perbincangan dingin antara Zea
dan Rein, Elkan pun menghampiri kedua sahabat
itu.

“Jadi gimana Ree, besok udah debat


OSIS. Lo udah siapin semuanya kan.” Tanya
Elkan

“Aman kok.” Jawab Rein santai.

“Pulang sekolah lo berdua mau ikut gw


bareng Gilang gak?”

“Ngapain?” Jawab Rein dan Zea serentak.

“Hari ini final lomba panah Adnan.”

“Boleh tuh.” Jawab Zea

“Yauda nanti gw kabarin lagi pas mau


berangkat.”


“Gw baru tau kalau Adnan atlet panah.”
Ujar Zea.

“Dia udah ikut olahraga ini dari SD,


penghargaan Adnan juga gak sedikit. Dia juga
udah ikut kejuaraan ke luar negeri.” Sahut
Gilang.

Terdengar suara penonton menyoraki para atlet


andalannya. Setelah melewati beberapa babak
pertandingan akhirnya babak terakhir pun
dimulai, terlihat poin Adnan berada di peringkat
kedua.

Adnan menarik arrow miliknya kemudian


membidik papan sasaran, setelah merasa tepat
Adnan lalu melepas arrow tersebut dan tepat
mengenai bagian tengah papan sasaran. Artinya
Adnan unggul dalam lomba tersebut dan berhasil
meraih juara satu. Melihat hal tersebut Rein dan
Zea bersorak sangat kencang, berbeda dengan
Gilang dan Elkan yang sudah bosan
menyaksikan kemenangan Adnan di setiap
lomba.

“Udah biasa.” Sembari menatap Elkan.

“Begitulah, gw datang mau liat


kekalahannya tapi yah seperti biasa.” Elkan dan
Gilang tertawa.

Setelah pertandingan tersebut selesai


mereka lalu berencana untuk singgah disebuah
cafe. Akan tetapi Rein menolak hari ini ia sudah
cukup kelelahan. Menyadari hal itu Elkan lalu
menawari Rein untuk pulang bersamanya lebih
dulu.
“Lo anterin Rein dulu El, ntar Zea bareng
gw sama Adnan.” Ujar Gilang.

“Oke, thanks bro.”

“Siap.”

Elkan dan Rein kemudian berjalan


meninggalkan tempat tersebut.

Sepanjang perjalanan Elkan ragu untuk


membuka percakapan, Rein kemudian bercerita
ke Elkan tantang rencana transplantasi jantung
yang akan ia laksanakan dalam waktu dekat.

“Dalam waktu dekat gw bakal operasi


transplantasi jantung El, doain gw yah semoga
lancar.”

“Hahh.. serius lo Ree?” Elkan terkejut.


“Iya, mungkin operasinya tepat dengan
hari penghitungan suara pemilihan OSIS,
kemungkinan besar gw gabisa datang di hari
itu.”

“Semoga operasi lo berjalan lancar deh,


gw doakan yang terbaik buat lo.” Sembari
menatap Rein.

Tiba saatnya debat OSIS dimulai Elkan


terlihat begitu canggung dan ragu. Untungnya
Rein selalu berusaha mendorong Elkan untuk
meyakinkan dirinya bahwa ia bisa.

“Udah lo jangan takut, gw yakin lo bisa.”


Rein menyemangati Elkan.

“Bukan gw tapi kita.” Sembari memegang


tangan Rein.
Rein tersenyum mendengar perkataan Elkan
barusan.

Sepanjang debat tersebut Elkan sangat


lihai dalam menjawab setiap mosi yang
diberikan. Rein begitu tercengang dengan
kemampuan yang dimiliki Elkan, begitu juga
dengan Zea, Gilang, dan Adnan. Kedua sahabat
Elkan memang tau kemampuan Elkan dalam
bidang public speaking sangat baik, akan tetapi
kali ini Elkan tampil sangat baik bahkan lebih
baik dari yang mereka kira. Kemampuan Elkan
dalam bidang public speaking ia pelajari dari
papanya yang merupakan pengusaha sukses.
Sejak kecil Elkan sering ikut menghadiri
pertemuan antar perusahaan hal tersebut
kemudian berhasil membentuk Elkan, bahkan
papanya pun mempercayakan sebuah perusahaan
besar miliknya kepada Elkan. Meskipun Elkan
tidak tinggal dalam satu rumah bersama
papanya, hal tersebut bukanlah masalah bagi
mereka berdua untuk tetap bekerja sama sebagai
rekan bisnis antar perusahaan.

Sebelum debat tersebut berakhir, Elkan


juga meminta maaf atas perilaku buruk yang
sering kali ia lakukan belakangan ini.

“Sebelum debat ini ditutup saya ingin


menyampaikan bahwa perkelahian yang sering
kali terjadi belakangan ini bukanlah kemauan
saya sendiri. Saya terpaksa melakukan hal
tersebut untuk melawan tindak kekerasan yang
teman-teman saya rasakan, yang dimana mereka
ditindas bahkan dihajar habis-habisan oleh
beberapa murid yang ternyata satu kelas dengan
mereka. Hal tersebut tidak dapat dibenarkan dan
merupakan suatu tindakan bullying. Sekian dari
saya terima kasih.”
Seketika suasana yang awalnya tegang
mendadak dipenuhi dengan sorakan dan tepuk
tangan dari murid-murid yang menonton debat
tersebut.

Usai kegiatan hari ini Elkan lalu


mengajak Rein untuk menghabiskan waktu
bersamanya sebelum Rein melakukan
operasinya.

“Lo mau gak jalan bareng gw sampai hari


ini, gw juga mau ngobrolin sesuatu ke lo.”
Sembari memegang tangan Rein menunu
parkiran sekolah.

“Tapi gw gabisa lama, sore udah harus


nyampe rumah, soalnya 3 hari lagi gw harus
operasi jadi gaboleh kecapean.”

“Siap, sebelum jam 5 udah nyampe rumah


kok.”
Elkan lalu melaju ke sebuah tempat yang
biasa ia kunjungi bersama papanya sewaktu
kecil. Setibanya di tempat tersebut Elkan lalu
membawa Rein ke sebuah pondok kecil.

“Lo tunggu bentar disini gw mau ambil


sesuatu.”

Elkan lalu berlari ke arah mobil untuk


mengambil makanan ringan yang sudah ia
persiapkan.

“Ini dimakan biar gak kelaparan.”


Sembari menyodorkan paper bag.

“Bagus yah tempatnya.” Ucap Rein


sembari tersenyum menatap danau yang ada di
depannya.
“Hampir sebagian cerita kecil gw ada
ditempat ini Ree, dan lo satu-satunya orang yang
pernah gw bawa kesini.” Sembari menatap Rein.

Mereka berdua terlihat sangat menikmati


hamparan danau tersebut, hingga akhirnya Elkan
memberanikan diri untuk bertanya,

“Rein, gw tau ini sedikit lancang tapi gw


ngerasa kalau lo berhasil masuk dalam dunia gw,
belakangan ini lo berhasil membangun hal-hal
baru yang selama ini hilang dari hidup gw.” Kali
ini mata hazel milik Elkan tak dapat menatap ke
arah Rein.

“Terus gw harus gimana?”

“Izinkan gw masuk ke kehidupan lo,


bukan sebagai lembar baru melainkan setiap
lembar dalam buku lo.” Elkan memberanikan
diri menatap Rein.
Mendengar hal itu Rein lalu
mengutarakan apa yang selama ini ia rasakan
ketika bersama pria yang ada di depannya saat
ini.

“Selama ini gw berusaha ngejauhin lo dari


hal-hal yang ga baik karena gw khawatir lo
kenapa-kenapa, gw gatau kenapa yang jelas gw
gamau kalau lo dinilai sebagai orang jahat.
Alasan gw bawa lo masuk ke organisasi biar
kedepannya lo bisa ngehindarin sesuatu yang
dampaknya ga baik buat diri lo, gw ngelakuin ini
bukan karena gw kasihan dengan lo atau sebagai
tanda permintaan maaf gw atas apa yang sudah
gw lakuin ke lo sebelumnya. Semakin kesini gw
sadar, gw ngelakuin ini semua karena gw sayang
sama lo. Lo berhasil jadi potongan berharga buat
gw El.”
Mendengar hal itu Elkan lalu menarik
tubuh Rein dan memeluknya erat. Ia berhasil
mendapatkan Rein.

Im yours but we can’t together El.

Air mata Rein jatuh membasahi baju Elkan.

“Lo kenapa nangis?” Tanya Elkan.

“Gapapa gw senang aja lo bisa ngutarakan


apa yang lo rasa, dan gw juga sama.”

Sebuah hari yang indah bagi Elkan dan


Rein, semua perkara di hari ini berakhir bahagia.
Chapter 6

Rein duduk menikmati pemandangan kota


dari jendela rumah sakit. Perempuan itu menulis
sesuatu pada kertas lalu memasukkannya
kedalam kotak kecil berisikan gelang hitam.

Tanpa ketukan pintu Zea lalu masuk


kedalam ruangan tersebut. Rein sedikit terkejut.

“Lo bisa gak kalau masuk pintunya


diketuk dulu, udah tau temannya jantungan hoby
banget ngagetin.” Ucap Rein kesal.

“Lagian lo bukannya tidur malah sibuk


sendiri.”

“Gw bakalan selamatkan Zee.”

“Gila lo yah, pasti selamat lah. Makanya


lo doa. Oh iya Elkan tadi message gw katanya
mau jengukin lo, udah otw juga.
“Bagus deh.”

Tak lama kemudian Elkan pun tiba, Zea lalu


meninggalkan mereka berdua di ruangan
tersebut.

“Hai..” Sapa Elkan sembari menarik kursi


yang berada tepat di samping kasur Rein.

“Hai, sendiri aja? Gilang sama Adnan


mana?” Tanya Rein.

“Ada masih diluar kayanya, bentar gw


panggilin.”

Elkan lalu memanggil kedua sahabatnya masuk


ke ruangan tersebut.

“Dicariin Rein noh lo berdua.” Sembari


memanggil kedua sahabatnya.
Adnan dan Gilang lalu masuk ke ruangan
tersebut. Melihat kondisi Rein, Adnan dan
Gilang berusaha menghiburnya.

“Semangat yah Ree, ntar kalo udah


sembuh bisa ngedate barang Elkan.” Ujar
Adnan.

“Nah bener tuh Nan.” Sahut Gilang.

Rein tertawa kecil mendengar kedua temannya


itu bercanda. Berbeda dengan Elkan yang hanya
tunduk diam, ia sangat cemas dengan keadaan
Rein.

Rein menggenggam tangan Elkan erat

“Udah jangan takut, gw gabakal kenapa-


kenapa kok.” Ujar Rein, berusaha meyakinkan
Elkan.
Elkan hanya bisa mengangguk sembari manahan
tangisnya.

Tiba saatnya proses operasi tersebut


berjalan, seorang perawat datang menjemput
Rein untuk segera menuju ke kamar bedah.

Rein sangat cemas ia bahkan tidak yakin


operasi ini akan berjalan dengan lancar. Sebelum
Rein di bius, ia mengucapkan sesuatu untuk
abangnya Leon yang merupakan salah satu
dokter yang akan ikut dalam tindak operasi
tersebut.

“Bang, Rein mau nitip kotak kecil yang


ada di ruangan bang Leon, kalau besok Rein
belum sadar dari bius ini tolong kotaknya di
kasih ke Elkan, makasih bang. Semoga
operasinya berjalan lancar yah bang.” Ucap Rein
dengan rasa takut yang menyelimutinya.

Leon hanya mengangguk setelah mendengar


kata-kata tersebut. Abang yakin Rein bisa lewati
ini semua.

Sepanjang operasi semua tampak berjalan


lancar hingga tiba dimana ketika hendak
menjahit bagian dari rongga jantung milik Rein,
terjadi penolakan. Rein mengalami pendarahan
denyut nadinya mulai melemah. Leon sangat
ketakutan melihat hal tersebut, salah satu
perawat kemudian menarik Leon dari meja
operasi dan membawanya keluar. Dokter
kemudian berusaha untuk menyelesaikan operasi
tersebut, perlahan denyut nadi Rein mulai
menghilang sinyal dari patient monitor
menunjukkan bahwa Rein gagal menerima
transplantasi jantung tersebut.
Leon begitu terpukul, ia menyalahkan
dirinya atas kegagalan dalam operasi tersebut.
Mengetahui hal tersebut Zea tak bisa berkata-
kata, Zea hanya bisa mengeluarkan rasa sakitnya
melalui tangisan. Setelah perpisahan kedua
orang tuanya kini ia harus kembali berpisah
dengan orang yang ia sayangi.

Setelah perpisahan yang terjadi karena


keputusan, kini aku harus kembali mengucapkan
perpisahan bedanya perpisahan kali ini karena
takdir dan waktu.

Hari ini pengunguman suara terbanyak


dalam pemilihan calon ketua dan wakil ketua
OSIS, ternyata Elkan dan Rein unggul dalam
pemilihan tersebut. Elkan lalu menghubungi
Rein lewat telepon.
Sayangnya Rein tak merespon telepon
dari Elkan. Ketika ingin memutuskan telepon
tersebut, terdengar suara pria berbicara dari
telepon milik Rein.

“Halo Elkan, kamu bisa kerumah sakit


sekarang?” Tanya Leon.

“Iya bisa bang.”

Elkan lalu melaju menuju rumah sakit, setibanya


disana Elkan melihat kain putih menutupi tubuh
seseorang.

Zea lalu menghampiri Elkan lalu


memeluknya dengan tangis histeris.

“Dia udah gak sakit lagi El.” Ucap Zea


sesegukan.”

Seketika itu Elkan menangis kencang tak


terima dengan kenyataan yang ada di depan
matanya. Zea berusaha menenangkan Elkan,
akan tetapi hal tersebut benar-benar tidak bisa
Elkan terima.

“Reee.. kita unggul Ree, kita ketua dan


wakil sekarang, lo kenapa tinggalin gw sendiri.
Gw cape Ree gw gatau bakal gimana
kedepannya.” Ucap Elkan sembari membuka
kain putih yang menutupi tubuh Rein.

Tak lama Gilang dan Adnan tiba dirumah


sakit tersebut. Melihat tubuh Rein terbaring kaku
membuat mereka begitu terpukul.

Leon lalu menarik Elkan sembari


memeluknya.

“Abang tau ini berat, tapi kamu harus bisa


terima El, makasih udah jagain Rein selama ini.”
Leon lalu menyodorkan sebuah kotak kecil ke
Elkan.

“Ini permintaan terakhir Rein, dia minta


buat ngasih ini ke kamu.”

Tangisan Elkan seketika pecah sembari


memegang erat kotak tersebut.

Perpisahan perlahan membunuhku.

Seusai pemakaman Rein, Elkan masih


belum berani membuka kotak pemberian Rein.
Ia tau isi dari kotak itu hanya akan membuatnya
semakin sulit untuk menerima kepergian
perempuan yang ia sayangi itu.

Setelah beberapa hari berlalu Elkan lalu


memutuskan untuk membuka kotak tersebut.
Didapatinya sebuah kertas dan gelang hitam. Ia
lalu membaca isi surat tersebut:

Hai El, sulit yah? Dalam waktu dekat


untuk melewati hari-hari kedepannya mungkin
gak seindah sebelumnya, tapi gw yakin lo bisa.
Ini cuma masalah waktu. Perlahan lo bakal
nerima kenyataannya, gw gamau lo sedih terus,
gw mau lo buktiin ke gw kalau lo itu berharga
buat gw bahkan buat semua orang. Gw bakal
terus ngedukung lo dari sini, makasih udah mau
jadi bagian dari diri gw.

Im yours Elkan, but we can’t together.

Rein

Anda mungkin juga menyukai