Anda di halaman 1dari 24

CASE REPORT

BAGIAN ILMU PENYAKIT MULUT

“MUKOSITIS ORAL PADA GERIATRI”

Diajukan guna memenuhi salah satu tugas Kepaniteraan Klinik


Pada Bagian Oral Medicine

Oleh
Zahroh jamilah dan Ulfah balqis DZ
19100707360804035 dan 19100707360804036

Dosen Pembimbing : drg. Utmi Arma, MDSc

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG
2020
MODUL III

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

PADANG

HALAMAN PENGESAHAN

Telah didiskusikan dan dipresentasikan makalah Case Report yang berjudul

“Mukositis Oral Pada Geriatri” guna melengkapi persyaratan Kepaniteraan

Klinik pada Modul 2.

Padang, Agustus 2020

Disetujui Oleh

Dosen Pembimbing

(drg. Utmi Arma, MDSc)


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan telah untuk memenuhi salah satu

syarat dalam menyelesaikan kepanitraan klinik modul penyakit mulut dapat

diselesaikan.

Dalam penulisan laporan kasus ini penulis menyadari, bahwa semua proses

yang telah dilalui tidak lepas dari drg. Fitria mailizi Sp. OM selaku dosen

pembimbing, bantuan, dan dorongan yang telah diberikan berbagai pihak lainnya.

Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu.

Penulis juga menyadari bahwa laporan kasus ini belum sempurna sebagaimana

mestinya, baik dari segi ilmiah maupun dari segi tata bahasanya, karena itu kritik dan

saran sangat penulis harapkan dari pembaca.

Akhir kata penulis mengharapkan Allah SWT melimpahkan berkah-Nya kepada

kita semua dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat serta dapat memberikan

sumbangan pemikiran yang berguna bagi semua pihak yang memerlukan.


BAB I
PENDAHULUAN
Istilah mukositis oral muncul pada akhir tahun 1980, untuk menggambarkan
proses inflamasi dan ulseratif pada mukosa orofaringeal yang diinduksi oleh
kemoterapi dan/atau radioterapi, atau transplantasi darah dan sel stem sumsum tulang.
Mukositis oral merupakan inflamasi akut pada mukosa oral akibat nekrosis dari
lapisan basalis dari mukosa oral, yang ditandai dengan adanya eritema dan atau
ulserasi pada mukosa oral, dan dapat menimbulkan nyeri hebat, membutuhkan
analgesik opioid, mengganggu asupan nutrisi, dan kualitas hidup pasien. Mukositis
oral dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien, meningkatkan risiko infeksi,
menyebabkan penundaan/ interupsi bahkan kegagalan perawatan kanker itu sendiri,
dan berakibat perlunya hospitalisasi serta meningkatnya biaya perawatan.
Insidensi mukositis oral diperkirakan 40% pada pasien yang menerima
kemoterapi, 70%-90% pada pasien yang menjalani transplantasi darah dan sel stem
sumsum tulang, dan 80%-100% pada pasien yang menjalani terapi radiasi yang
melibatkan daerah oro-faring. Pada penatalaksanaan mukositis oral, penting untuk
menilai derajat keparahannya, umumnya digunakan sistem penyekoran World Health
Organization (WHO) 1979, dan sistem penyekoran National Cancer InstituteCommon
Toxicity Criteria (NCI-CTC). Karena adanya kelemahan yang dirasakan dari sistem
penilaian derajat mukositis oral yang ada, di tahun 2004 telah ditetapkan sistem
penyekoran internasional baru yang disebut the Oral Mucositis Assesment Scale
(OMS).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Mukositis adalah kerusakan membran mukosa sebagai akibat sekunder dari terapi
kanker, dapat terjadi pada rongga mulut, faring, laring, esophagus, dan area lain pada
saluran gastrointestinal. Hal ini seringkali terjadi pada beberapa hari setelah
pemberian obat kemoterapi, dan dapat menetap sampai satu minggu setelahnya
(Priestman, 2012). Mukositis oral merupakan inflamasi akut pada mukosa oral akibat
nekrosis dari lapisan basalis dari mukosa oral, yang ditandai dengan adanya eritema
dan atau ulserasi pada mukosa oral, dan dapat menimbulkan nyeri hebat,
membutuhkan analgesik opioid, mengganggu asupan nutrisi, dan kualitas hidup
pasien (Chiappelli, 2005; Volpato et al., 2007; Lalla et al., 2014).

2.2 Insiden Mukositis Oral


Di Amerika Serikat, sekitar 132.000 kasus mukositis oral terjadi setiap tahun
(Epstein & Schubert, 2004), 40% diantaranya terjadi pada pasien onkologi yang
mendapatkan kemoterapi dan radioterapi (Fulton, Middleton, & McPail, 2002; Brown
& Wingard, 2004; Dodd, 2004; Cawley & Benson, 2005; Lalla, Sonis, & Peterson,
2008), terutama di area kepala dan leher (Avritscher, Cooksley, & Elting, 2004;
Brown & Wingard, 2004). Frekuensi kejadian dari mukositis oral yang dilaporkan
sekitar 20-40% pada pasien yang mendapatkan kemoterapi konvensional, 80% pada
pasien dengan kemoterapi dosis tinggi, dan terjadi pada hampir semua pasien yang
mendapatkan radiasi area kepala dan leher (Miranzadeh et al., 2014). Beberapa studi
bahkan menyatakan, insiden mukositis oral pada anak lebih tinggi dibandingkan
orang dewasa. Hal ini berhubungan dengan protokol terapi yang diperoleh lebih
intensif dan menggunakan dosis yang tinggi (Didem et al., 2014).

2.3 Faktor Risiko yang Mempengaruhi terjadinya Mukositis Oral


Beberapa faktor yang dapat berkontribusi dalam meningkatkan terjadinya
mukositis oral terbagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor risiko yang berhubungan
dengan pasien sendiri, dan faktor risiko yang berhubungan dengan terapi. Faktor
risiko yang berhubungan dengan pasien, meliputi umur dan jenis kelamin.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Barasch dan Peterson (2003) dalam Gupta
(2013), didapatkan kesimpulan bahwa usia mempengaruhi terjadinya mukositis oral,
terutama pada usia lanjut akibat ketidak efektifan perbaikan DNA, sehingga
perbaikan jaringan menjadi lebih lama. Sedangkan, menurut Sonis dan Fey (2002)
dalam Gupta (2013), populasi anak-anak juga memiliki risiko lebih tinggi karena
proliferasi jaringan epitel sel anak lebih cepat dibandingkan orang dewasa. Menurut
Eilers (2004), anak-anak memiliki sel epitel yang lebih sensitif mengalami toksisitas,
dan keganasan hematologi dapat menyebabkan mielosupresi yang memicu terjadinya
mukositis oral. Secara keseluruhan berdasarkan jenis kelamin, perempuan memiliki
risiko lebih tinggi dibandingkan laki-laki, terutama bila mereka mendapatkan
kemoterapi jenis 5 Fluorouracil (FU).
Terkait dengan faktor risiko yang berhubungan dengan terapi yang diperoleh,
mukositis oral dipengaruhi oleh agen kemoterapi, dosis kemoterapi, intensitas
pengulangan terapi. Agen kemoterapi yang paling sering terkait dengan mukositis
adalah antimetabolit yang meliputi etoposide, 5 FU, dan methotrexate (Cawley &
Benson, 2005). Obat ini sangat sering diberikan pada pasien kanker darah dan
nasofaring. Anak yang mendapat terapi dengan dosis lebih besar, seperti misalnya
pada anak yang resisten terhadap pengobatan akan lebih rentan mengalami mukositis.
Kemoterapi yang dilakukan dalam waktu yang lama, seperti pada anak yang
mengalami relaps juga meningkatkan risiko terjadinya mukositis. Selain itu pasien
yang mendapat kombinasi terapi juga memiliki risiko lebih tinggi mengalami
mukositis dibandingkan dengan terapi tunggal (Eilers, 2004; Chang, Cheng & Yuen,
2008). Tingkat keparahan mukositis berpengaruh langsung pada perencanaan terapi
yang perlu mempertimbangkan pengurangan dosis, penundaan, bahkan penghentian
kemoterapi. Kondisi ini juga dapat memperparah infeksi yang dapat mengancam
nyawa, khususnya bila pasien jatuh dalam kondisi neutropenia ( D’ Hondt et al.,
2006)
Faktor risiko lainnya yang berkontribusi menyebabkan terjadinya mukositis
oral pada pasien, antara lain adalah riwayat terkena Virus Herpes Simpleks dan
pengobatannya seperti penggunaan acyclovir (Zovirax) dan valacyclovir (Valtrex),
pasien yang mengalami transplantasi sumsum tulang, dan pasien yang mengalami
penurunan produksi saliva serta pH saliva. Adanya penurunan produksi dan pH saliva
tersebut juga merupakan efek samping dari kemoterapi yang diberikan (Chu &
Devita, 2015). Status gizi juga mempengaruhi terjadinya mukositis. Pada asupan
glukosa dan protein yang tinggi, serta malnutrisi kekurangan protein berkontribusi
menyebabkan mukosa mulut kering sehingga meningkatkan risiko terjadinya iritasi
dan penurunan pertumbuhan sel-sel epitel mukosa (Eilers, 2004). Hal ini juga
dipertegas dengan penelitian yang dilakukan oleh Peterson dan Carrielo (2004) yang
menyatakan bahwa anak dengan status gizi kurang atau gizi buruk lebih berisiko
mengalami mukositis, namun penelitian lain yang dilakukan oleh Robien et al.
(2004), anak dengan Body Mass Index (BMI) yang lebih tinggi, seperti gizi normal,
overweight, dan obesitas lebih berisiko mengalami mukositis dibandingkan dengan
anak yang memiliki Body Mass Index rendah, yaitu pada pasien kurus dan sangat
kurus.
2.4 Patofisiologi Mukositis Oral
Mekanisme terjadinya mukositis oral akibat kemoterapi dapat terjadi secara
langsung (direct mucosatoxicity) dan tidak langsung (indirect mucosatoxicity). Direct
mucosatoxicity terjadi bila kemoterapi secara langsung menyerang sel epitel yang
mengalami pembelahan sehingga sel tersebut berhenti membelah dan menyebabkan
atropi jaringan yang berakhir pada ulserasi, sedangkan indirect mucosatoxicity terjadi
bila kemoterapi menyebabkan penekanan pada sistem imun pasien (imunosupresi)
yang dapat meningkatkan risiko infeksi di rongga mulut yang pada akhirnya
mencetuskan mukositis oral.
Beberapa studi menunjukkan bahwa patofisiologi dari mukositis oral
sangatlah kompleks, meliputi efek langsung dari agen kemoterapi pada sel epitel,
bahkan dapat mencapai submukosa dan matriks ekstrasellular, disertai dengan
aktivitas dari sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-1β, dan IL-6. Berbagai faktor
lain berinterferensi pada proses ini, seperti mikroorganisme oral, status imunitas
pasien, trauma lokal, dan kondisi oral hygiene pasien. Lebih jauh lagi, terdapat suatu
kemungkinan adanya polimorfisme pada respon inflamasi, yang dapat membuat
individu lebih rentan terhadap mukositis dibandingkan dengan individu lainnya
(Sonis, 2004).
Proses terjadinya mukositis oral meliputi 5 fase, fase awal adalah fase inisiasi
yang merupakan fase awal kontaknya agen kemoterapi dengan sel mukosa yang
membawa radikal bebas. Fase berikutnya merupakan proses transkripsi dari nuclear
factor kappaB (NFkB) yang mengaktivasi mediator proinflamatori seperti interleukin
(IL)-1 beta dan tumor necrosis factor (TNFalpha). IL-1beta dapat meningkatkan
konsentrasi agen kemoterapi pada sel yang diserang dan TNF-alpha dapat
menyebabkan kerusakan jaringan. Fase ketiga adalah respon terhadap stimulasi
mediator proinflamatori, seperti adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang
menyebabkan udema pada mukosa, atropi, dan akhirnya mengalami fase ulserasi.
Fase ulserasi merupakan fase mulai timbulnya lesi. Pada fase ini akan terjadi
kolonisasi bakteri maupun organisme patogen lainnya, seperti Candida albicans pada
ulserasi yang terjadi, dan kemudian mengarah pada infeksi sekunder. Kondisi ini
diperparah dengan adanya kondisi neutropenia sehingga tidak mampu melawan
kolonisasi bakteri yang terbentuk. Bakteri akan mengeluarkan endotoksin yang akan
menstimulasi IL-1 dan TNF-alpha lebih banyak lagi. Pada fase ini, pasien akan
mengeluhkan nyeri yang hebat dan sensasi seperti terbakar pada mukosa oral.
Ulserasi juga diperberat dengan adanya mikrotrauma yang terjadi pada saat pasien
membuka mulut, makan, mengunyah, dan berbicara. Fase terakhir adalah fase
penyembuhan, yaitu adanya proliferasi sel dan reepitelisasi pada ulkus sehingga
mukosa akan kembali normal. Perbaikan jaringan juga disertai dengan peningkatan
leukosit, khususnya neutrophil untuk mengontrol pertumbuhan bakteri. Fase
penyembuhan berlangsung selama kurang lebih 12-16 hari tergantung dari kecepatan
proliferasi atau epitelisasi jaringan, perbaikan sistem hematopoetik, dan ada tidaknya
faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka seperti proses infeksi dan iritasi
mekanik (Kostler, 2001; Shih et al., 2003; Naidu et al., 2004; Sonis, 2004; Price &
Wilson, 2005; Lalla et al., 2008; Sonis, 2009).
2.5 Manifestasi Klinis Mukositis Oral
Mukositis oral ini biasa terjadi 5-10 hari setelah inisiasi kemoterapi dan
berakhir pada hari ke-7-14, tergantung derajat keparahannya. Manifestasi klinisnya
dapat bervariasi tergantung derajat keparahannya. Seringkali tidak hanya berupa rasa
tidak nyaman, namun juga dapat sangat mengganggu bila disertai dengan
terbentuknya ulserasi mukosa. Karena pasien seringkali dalam kondisi neutropenia,
kondisi ini dapat diperparah dengan berkembangnya infeksi jamur di rongga mulut,
yang tersering adalah oral moniliasis yang tampak sebagai bercak – bercak keputihan
pada permukaan mukosa rongga mulut dan lidah (Priestman, 2012). Manifestasi
klinis yang sering muncul antara lain ulserasi berukuran 0,5-4 cm, eritema yang
ditutupi garis kuning atau fibrin berwarna putih yang disebut sebagai
pseudomembran.

Gambar 2.1 Manifestasi Klinis Mukositis Oral


(Sumber: Kostler et al., 2001)
Pada mukositis oral yang dalam, pasien akan merasakan nyeri, sensasi seperti
terbakar, sulit untuk membuka mulutnya, dan kesulitan memasukkan makanan atau
minuman melalui mulut, dan sulit untuk berbicara. Lesi dapat terjadi bilateral, di
bagian ventral atau lateral dari lidah, mukosa labial, bagian dasar mulut, palatum
mole, dan area orofaringeal. Penyembuhan spontan mukositis oral (mulai dari
timbulnya eritema sampai perbaikan jaringan), tanpa pembentukan scar atau
jaringan ikat membutuhkan waktu sekitar 2-3 minggu. Beberapa pasien yang
mendapatkan radiasi atau kemoterapi, terkadang juga mengalami trombositopenia,
sehingga terkadang ditemukan perdarahan pada ulserasi mukositis oral (Dodd,
2004). Pasien mukositis oral juga menunjukkan adanya penurunan produksi saliva
sehingga lidah menjadi kering. Hal ini menyebabkan lidah mengalami penurunan
fungsi pengecapan sehingga penderita mengeluhkan mengenai pengecapan yang
dirasa berbeda, bahkan tidak dapat mengecap rasa, serta menurunkan nafsu makan
(Priestman, 2012).

Derajat keparahan dari mukositis oral tergantung pada dosis terapi, fraksi dari
dosis agen kemoterapi, volume dari jaringan yang terkena paparan agen kemoterapi,
status nutrisi, tipe dari radiasi, riwayat paparan dengan kombinasi
radioterapi dan kemoterapi, adanya penyakit sistemik sepeti diabetes melitus dan
kelainan vaskuler (Volpato et al., 2007).
Untuk kepentingan klinis dan penelitian, oleh WHO dan NCI dibuat suatu
pembagian derajat mukositis dengan kriteria yang sudah terstandarisasi sebagai
berikut:
Tabel 2. Pembagian Derajat Mukositis
Deraj World Health National Cancer Institute
at Organization
Mukositis (WHO) (NCI) Derajat
0 Tanpa tanda dan gejala -
Derajat 1 Ulkus yang tiak Derajat 2
nyeri, Erit
disertai edema, atau ema
soreness yan
rin g
ga sang
n at
nyer
i, edema, atau ulkus, Ulkus yang tiak
namun masih bisa makan nyeri,
Derajat 3 Eritema yang sangat disertai edema,
nyeri, edema, atau ulkus, atau
tidak bisa makan soreness
Derajat 4 Memerlukan ringan
dukungan nutrisi enteral Eritema yang sangat
atau parenteral nyeri, edema, atau ulkus,
namun masih bisa makan
Eritema yang sangat
nyeri, edema, atau
ulkus, tidak bisa makan
Memerlukan dukungan
nutrisi enteral
atau
parenteral (Sumber:
WHO, 1979 ;Wilkes, 1998; Bensadoun et al., 2001)
2.6 Penatalaksanaan Mukositis Oral
Penatalaksanaan lesi dilakukan secara farmakologis dan non farmakologis.

Penatalaksanaan farmakologis dapat dilakukan melalui empat tindakan, yaitu debridemen

oral, dekontaminasi oral, manajemen topikal, dan mengontrol peradarahan. Debridemen

oral dilakukan dengan melepaskan pseudomembran dari lesi, dan perlu dilakukan secara

hati-hati karena pasien mukositis oral biasanya disertai dengan trombositopenia dan

neutropenia yang berisiko terjadinya perdarahan dan infeksi. Selanjutnya dekontaminasi

oral dilakukan dengan memberikan regimen antifungal, antibakteri, atau antiseptik, namun

kandungan kimia dari agen tersebut dapat menimbulkan mukosa oral kering dan mudah

iritasi. Manajemen topikal digunakan untuk mengurangi nyeri yang dirasakan oleh

pasien baik lokal ataupun sistemik. Terakhir untuk mengontrol perdarahan, pasien

diberikan antifibrinolitik (Gupta, 2013; Lalla et al., 2014).

Penatalaksanaan non farmakologis dapat dilakukan dengan berbagai upaya, antara

lain perawatan mulut, pengaturan diet, dan pencegahan infeksi. Perawatan mulut

merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan kesehatan dan integritas mukosa

mulut. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rubenstein et al. (2004),

yaitu intervensi perawatan mulut dapat meminimalkan risiko mukositis akibat kemoterapi

karena dapat mengurangi bakteri dan jamur sehingga meminimalkan risiko infeksi,

mengurangi nyeri, dan perdarahan. Menurut Saldanha dan Almeida (2014), perawatan

mulut dengan berkumur menggunakan larutan salin 0,9% menjadi salah satu pilihan dalam

mengurangi derajat mukositis oral. Perawatan mulut yang dianjurkan pada anak adalah

berkumur-kumur minimal empat kali sehari (Tomlinson & Kline, 2005), atau minimal

melakukan perawatan mulut dua kali setelah makan dan sebelum tidur, dan setiap dua jam

sekali bila sudah mengalami mukositis (Otto, 2001).

Terkait pengaturan diet, makanan dengan konsistensi lembut menjadi pilihan untuk

pasien dengan mukositis oral. Pasien juga harus menjaga kelembaban mulutnya dengan
meningkatkan asupan cairan peroral atau menghisap es batu. Pasien dengan mukositis oral

yang berat wajib memperoleh Total Parenteral Nutrition (TPN) untuk mencukupi

kebutuhan nutrisi pasien. Pasien juga harus menghindari makanan yang bersifat iritatif,

seperti makanan asam, pedas, asin, ataupun makanan kering ( Lalla et al., 2008; Lalla et

al., 2014).
BAB III
LAPORAN KASUS

Seorang pasien wanita usia 65 tahun datang ke bagian oral medicine rumah sakit gigi
dan mulut dengan keluhan mukosa bukal kanan dan kiri terdapat eritema dan plak putih
kekuningan sepanjang garis oklusal pada regio gigi kaninus sampai regio molar tiga dan
merasa tidak nyaman. Pasien menyadari sudah 1 bulan yang lalu, pasien juga menggunakan
gigi tiruan dan keadaan rongga mulut pasien buruk.
A. Anamnesis
 Keluhan Utama

Pasien mengeluh mukosa bukal kanan dan kiri terdapat eritema dan plak putih
kekuningan.
 Keluhan Tambahan
Pasien menyadarinya sejak 1 bulan yang lalu dan pasien merasa sakit pada mukosa bukal
kiri dan kanannya.
 Riwayat perawatan gigi

Pasien belum pernah datang ke dokter gigi


 Riwayat penyakit sistemik

Pasien menyangkal pernah mengidap penyakit sistemik dan belum pernah dirawat
sebelumnya.
 Riwayat penyakit dalam keluarga

Tidak ada

B. Pemeriksaan Ekstra Oral


Wajah : Simetri
Bibir : normal
Sirkum oral : normal
Mata : normal
Hidung : normal
KGB : Kanan tidak teraba, tidak sakit
Kiri tidak teraba, tidak sakit
TMJ : normal
C. Pemeriksaan Intra Oral
Mukosa labial : normal
Frenulum : normal

Mukosa bukal : terdapat eritema pada sisi kiri dan kanan dan plak putih kekuningan
sepanjang garis oklusal pada regio gigi kaninus sampai gigi mular
tiga.
Gingiva : udem, memerah
Palatum : normal
Lidah : normal
Dasar Mulut : normal
Uvula : normal
Tonsil : normal
Kebersihan mulut : buruk
Kelainan gigi geligi : Tidak ada
Lengkung Rahang : Kecil
D. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
E. Diagnosa Oral Medicine
Diagnosa : Mukositis Oral

F. Rencana Perawatan

Berdasarkan hasil pemeriksaan diatas instruksikan pasien untuk selalu menjaga

kebersihan rongga mulutnya. Menginstruksikan pasien untuk selalu makan makanan

yang bergizi seperti buah dan sayur dan banyak mengkonsumsi air putih. Pasien

diresepkan obat kumur yang mengandung klorheksidin glukonat 0,2 % , dan

triamcinolone acitoned 0,1%.


BAB IV

KESIMPULAN

4.1 kesimpulan

Mukositis oral merupakan inflamasi akut pada mukosa oral akibat nekrosis dari
lapisan basalis dari mukosa oral, yang ditandai dengan adanya eritema dan atau ulserasi pada
mukosa oral, dan dapat menimbulkan nyeri hebat, membutuhkan analgesik opioid,
mengganggu asupan nutrisi, dan kualitas hidup pasien. Beberapa faktor yang dapat
berkontribusi dalam meningkatkan terjadinya mukositis oral terbagi menjadi dua kelompok,
yaitu faktor risiko yang berhubungan dengan pasien sendiri, dan faktor risiko yang
berhubungan dengan terapi. Manifestasi klinis yang sering muncul antara lain ulserasi
berukuran 0,5-4 cm, eritema yang ditutupi garis kuning atau fibrin berwarna putih yang
disebut sebagai pseudomembran. Penatalaksanaan lesi dilakukan secara farmakologis dan
non farmakologis.
DAFTAR PUSTAKA

Abbasi, N.M., Sadrolhefazi, B., Nikoofar, A., Ervan, M., Azizian, H., & Alamy, M. (2007).
Allupurinol mouthwashes for prevention or alleviation radiotherapy induced oral
mucositis: A randomized, placebo-control trial. Oncology Nursing Journal,
15(4), 227-230.

Al-Snafi, A.E. (2015). Therapeutic properties of medical plants: A review of plants with
anti-inflamatory, antipyretic and analgesic activity (part 1). International Journal of
Pharmacy, 5(3), 125-147.

Almeida et al. (2008). Saliva composition and functions: A comprehensive review.


The Journal of Contemporary Dental Practice, 9(3), 1-11.

Avritscher, E. B. C., Cooksley, C. D., & Elting, L. S. (2004). Scope and


epidemiology of cancer therapy-induced oral and gastrointestinal mucositis.
Seminars in Oncology Nursing, 20(1), 3-10.

Barasch, A., & Epstein, J.B. (2011). Management of cancer therapy-induced oral mucositis.
Dermatol Ther, 24, 424-431.

Bardy, J., Slevin, N., Male, K.L., & Mollasiotis, A. (2008). A systematic review of honey
uses and its potential value within oncology care. Journal of Clinical Nursing,
17(1), 2604-2623.

Bensinger, W et al. (2008). NCCN Task Force Report: Prevention and management of
mucositis in cancer care. J National Compr Canc Netw Suppl, 1, 1-21.

Bowden, V.R., & Greenberg, C.S. (2010). Children and their families the continuum of
care (2nd ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Brown, C. G., & Wingard, J. (2004). Clinical consequences of oral mucositis.


Seminars in Oncology Nursing, 20(1), 16-21.

Cancer Care Nova Stovia. (2008). Best practice guidelines for the management of oral
complication from cancer therapy. California: Nova Stovia Government. Diperoleh
dari http://www.cancercare.ns.ca, diakses tanggal 20 November
2015.

Cawley, M. M., & Benson L.M. (2005). Current trends in managing oral mucositis.
Clin J Oncol Nurs. 9(5), 584-592.
Corsello et al. (2004). Compositions for the relief of xerostomia and the treatment of
asscociated disorders. Diperoleh dari http://www.freepatentsonline.com,
diakses tanggal 23 Mei 2015

Costa, E.M., Fernandes, M.Z., Quinder, L.B., De Souza, L.B., & Pinto, L.P. (2003).
Evaluation of an oral preventive protocol in children with acute lymphoblastic
leukemia. Pesquisa Odontologica Brasileira, 17(2), 147-150.

Chu, E., & Devita, V.T. (2015). Cancer chemotherapy: Drug manual. Burlington: Jones &
Bartlett.

Dahlan, M.S. (2011). Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Salemba
Medika

D’Hondt et al . Oral mucositis induced by anticancer treatments: physiopathology and


treatments. Therapeutics and Clinical Risk Management, 2(2), 159–168.

Depkes RI. (2011). Press release hari kanker anak sedunia. Diperoleh dari
http://www.tvl.com/pressreleaseharikankeranakseduniahtml, diakses tanggal 15
April 2015.

Didem, A., Ayfer, E., & Ferda, O.A. (2014). The effect of chewing gum on oral mucositis
in children receiving chemotherapy. Health Science Journal, 8(3),
373-382.

Dodd, M.J. (2004). The pathogenesis and characteristic of oral mucositis associated with
cancer therapy. Oncology Nursing Forum, 31(4), 5-12.

Dodd, M.J., Miaskowski, C., Dibble, A.L., Paul, S.M., MacPhail, L., Greenspan, D., et
al., (2000). Factors influencing oral mucositis in patients receiving chemotherapy.
Cancer Practice Journal, 8(6), 291-304.

Dodds, M.W. (2012). The oral health benefits of chewing gum. Journal of the Irish
Dental Association, 58(5), 253-261.

Eilers, J. (2004). Nursing intervention and supportive care for the prevention and treatment
of oral mucositis associated with cancer treatment. Oncology Nursing Forum, 31(4),
13-18.

Eilers, J., Berger, A.M., & Petersen, M.C. (1988). Development, testing and application of
oral assessment guide. Oncology Nursing Forum, 15, 325-330.

Elting, L.S., Cooksley, C., Chamber, M., Cantor, S.B., Manzullo, E., & Rubenstein, E.B.
(2003). The burdens of cancer therapy, clinical, and economic outcomes of
chemotherapy induced mucositis. Cancer, 98(7), 1531-1539.
Epstein, J. B., & Schubert, M. M. (2004). Managing pain in mucositis. Seminars in
Oncology Nursing, 20(1), 30-37.

Ertekin, M.V., Cok, M., Karslioglou, L., & Sezen, O. (2004). Zinc sulfate in the prevention
of radiation-induced oropharyngeal mucositis: A prospective, placebo-control trial,
randomized study. International Journal of Radiation Oncology, Biology and
Physic, 58(1), 167-174.

Fulton, J., Middleton, G., & McPail, J. (2002). Management of oral complications.
Seminars in Oncology Nursing, 18(1), 28-35.

Gupta, N., & Khan, M. (2013). Oral Mucositis. E-Journal of Dentistry. 3(3), 405-410.

Guyton & Hall. (2008). Buku ajar fisiologi kedokteran (Edisi 11). Jakarta: EGC.

Harris, J.D., Eilers, J., Harriman, A., Cashavelly, B., & Maxwell, C. (2008). Putting
evidence into practice: Evidence based intervention for management of oral
mucositis. Clinical Journal of Oncology Nursing, 12(1), 141-147

Hashemi, A., Bahrololoumi, Z., Khaksar, Y., Saffarzadeh, N., Neamatzade, H., &
Foroughi, E. (2015). Mouth-rinses for the prevention of chemotherapy induced oral
mucositis in children: A systematic review. Iranian Journal of Pediatric
Hematology Oncology, 15(2), 106-112.

He, M. (2011). Interventions for preventing oral mucositis in patients with cancer receiving
treatment. Clinical Nurse Spesialist, 25(6), 284-285.

Heydari, A., Sharifi, H., & Salek, R. (2012). Effect of oral chryotherapy on combination
chemotherapy-induced oral mucositis: A randomized clinical trial. Middle East
Journal of Cancer, 3(2 & 3), 55-64.

Hockenberry, M.J., & Wilson, D. (2009). Wong’s essential of pediatric nursing (8th
ed). Missouri: Mosby Company.

Kakoei, S., Ghassemi, A., & Nakhaee, N. (2013). Effect of cryotherapy on oral mucositis
in patients with head and neck cancers receiving radiotherapy. International Journal
of Radiation Research, 11(2), 117-120.

Kostler, W.J., et al. (2001). Oral mucositis complicating chemotherapy and/or


radiotherapy: Option for prevention and treatment. CA Cancer J Clin, 51(5),
290-315.

Lalla, R.V., Bowen, J., Barasch, A., Elting, L., Epstein, J., Keefe, D.M., et al. (2014).
MASCC/ISOO clinical practice guidelines for the management of mucositis
secondary to cancer therapy. Cancer, 120(10), 1453–1461
Lalla et al. (2008). Management of oral mucositis in patients who have cancer. Dent
Clin North Am, 52, 61-77.
Llop, M.R., Jimeno, F.G., Acien, R,M., & Dalmau, L.J.B. (2010). Effect of xylitol chewing
gum on salivary flow rate, ph, buffering capacity and presence of Streptococcus
mutans in saliva. European Journal of Paediatric Dentistry,
11(1), 9-14.

McGraw, H., & Arnhold, M. (2014). Sex differences in cortisol levels. Diperoleh dari
https://minds.wisconsin.edu, diakses tanggal 6 Juni 2016.

Miranzadeh, S., Adib-Hajbaghery, M., Soleymanpoor, L., & Ehsani, M. (2014).


Effect of adding the herb Achiella millefolium on mouthwash on chemotherapy
induced oral mucositis in cancer patients: A double-blind randomized controlled
trial. European Journal of Oncology Nursing, 1-7. doi:
10.1016/j.ejon.2014.10.019

Murthykumar, K. (2014). Saliva composition and function: A review. International Journal


of Pharmaceutical Science and Health Care, 3(4). Diperoleh dari:
http://www.rspublication.com/ijphc/index.html, diakses tanggal 15 Juni 2016.

Naidu, et al. (2004). Chemotherapy-induced and/or radiation therapy–induced oral


mucositis—complicating the treatment of cancer. Neoplasia, 6(5), 423-431.

National Cancer Institute. (2012). Fact Sheet: Childhood Cancers. National Institutes of
Health, National Cancer Institute. Diperoleh dari
http://www.cancer.gov/cancertopics/factsheet/Sites‐Types/childhood, diakses
tanggal 14 Februari 2016.

National Cancer Institute. (2010). Surveilance, epidemiology and end result (SEER).
Diperoleh dari http://www.seer.cancer.gov/canque/incidence.html, diakses
tanggal 3 Mei 2015.

NHS Foundation Trust. (2007). Evidence based mouthcare policy. London:


Doncaster and Bassetlaw Hospital Release. Diperoleh dari www.dhb.nhs.uk,
diakses tanggal 3 Mei 2015.

Nurhidayah, I. (2011). Pengaruh pemberian madu dalam tindakan keperawatan oral care
terhadap mukositis akibat kemoterapi pada anak di RSUPN DR. Cipto
Mangunkusumo Jakarta (Tesis tidak dipublikasikan). Universitas Indonesia, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai