Kisah Sukses - BBP
Kisah Sukses - BBP
Siapa tak kenal Inul Daratista? Pemilik goyang ngebor ini pernah menjadi penyanyi dangdut paling fenomenal di
tanah air. Kemunculannyapun banyak dipenuhi pro dan kontra di kalangan masyarakat sehingga sempat terancam
diusir dari kediamannya. Namun perjalanan hidupnya yang perih mengajarkan bagaimana cara bertahan hidup di
tengah berbagai macam goncangan. Ia bahkan semakin mengukuhkan diri sebagai artis kampung yang sukses
meretas asa di belantara Jakarta dengan membangun jaringan bisnis karaoke berlabel Inul Vista. Bagaimanan kisah
suksesnya membesarkan bisnis itu?
Inul pun mulai pandai memadu-padankan gaya busana dan riasannya serta mengembangkan tingkah lakunya
menjadi lebih santun. Ia mempelajari semua itu mulai dari cara berdandan, duduk, pegang sendok, makan, berjalan,
dan berbicara dari hasil mengobrol dengan rekan sesama artis atau kalangan kelas atas. Tapi justru kemampuan
otodidak seperti inilah yang bisa mengantarnya ke sukses yang lebih jauh lagi. Sejak saat itu Inul mulai akrab dan
bergaul bebas dengan golongan jet set tanah air. Segala yang dikenakannya pun tak luput dari sentuhan tangan
desainer ternama. Termasuk secara diam-diam mencari dan mempelajari berbagai jenis bisnis yang kemungkinan
bisa dilakukan suatu saat nanti.
Nama satu ini pasti tidak asing d telinga kita sebagai seorang komedian, host acara talk show, hingga bintang
sejumlah iklan ternama di Indonesia. Tingkah lakunya yang khas seperti tepuk tangan ala monyet dan ucapan
"kembali ke laptop" akrab di banyak orang di Indonesia. Satu hal yang banyak orang tak tahu adalah perjuangan
tukul untuk mencapai kesuksesannya sekarang ini.
Tukul lahir di Semarang 16 Oktober 1963, sejak kecil tukul sudah mulai melawak dari panggung perayaan
kemerdekaan RI setiap 17 Agustus dari satu kampung ke kampung yang lain. Saat beranjak dewasa ia pun sempat
bekerja sebagai sopir omprengan, kru shooting video, sopir pribadi sampai penyiar radio. Setelah sempat menekuni
pekerjaan-pekerjaan tadi, akhirnya ia kembali ke dunia yang membesarkan namanya sekarang yaitu melawak. Ia
mulai karirnya dengan melawak di radio humor SK, kemudian bergabung dengan Srimulat, saat di Srimulat benar-
benar digunakan tukul untuk belajar dan mengoreksi kemampuan melawaknya.
Pelawak yang secara fisik memang jauh dari kata rupawan ini pernah mengalami banyak cobaan, tantangan, hinaan,
bahkan cacian dari orang-orang yang menontonnya melawak. " Saya sudah kenyang diremehkan, dicaci, dan
dicibir dari satu panggung ke panggung yang lain, dari satu kampung ke kampung yang lain. Tapi inilah yang
saya terima sekarang. "
Sekarang Tukul sudah mencapai tingkat kesuksesan yang luar biasa, konon tarif beliau mencapai 90juta sekali
tampil di acara off air. Saat sukses pun tak lupa tukul membantu teman-temannya yang masih berada di saat-saat
susah dengan menyediakan satu rumah untuk teman-temannya dan memodali mereka untuk mandiri. Satu hal yang
saya belajar dari beliau yaitu kerendahan hatinya yang luar biasa. " Saat berada di atas janganlah hanya
memandang ke atas tapi lihatlah ke bawah dan bantulah orang lain untuk naik ke atas. " Prinsip yang sama saat
kita terapkan dalam hidup pasti akan mencapai kesuksesan yang luar biasa.
“Saya ini seperti pisau yang jelek tapi diasah terus sehingga bisa jadi tajam ,”sebut sesosok pria yang kini enam
hari sekali menjumpai pemirsa di stasiun Trans7 melalui program Empat Mata. Mudah ditebak, sosok itu adalah
Tukul Arwana. Banyolan yang khas, tepuk tangan ala monyet, bahasa inggris yang kacau, kepolosan dan
penampilan konyol yang menjadi trade mark-nya, mampu mengantarkan pria bernama asli Tukul Riyanto ini
mencapai puncak keemasannya.
Tukul kini boleh jadi telah menjadi semacam ikon atau simbol orang desa yang mampu ‘menaklukkan’ kota.
Pengakuannya sebagai orang kelahiran desa, dengan tingkah laku ! yang kampungan, slapstik, seakan menjadi
simbolisasi kesuksesan yang benar-benar dimulai dari bawah. Maka, tak heran, ia dianggap mampu menjadi
representasi kebanyakan orang yang ingin sukses. Inilah yang membuat banyak orang mau antri untuk datang ke
acaranya, selain tentu untuk menikmati banyolan-banyolannya.
Perjuangan kelahiran Semarang 16 Oktober 1963 ini memang sangat panjang dan berliku. Untuk mendapatkan
kesuksesan seperti saat ini, Tukul harus berjuang dari panggung ke panggung. Menurut pria yang sudah suka
melawak di panggung 17 Agustusan sejak kecil ini, proses adalah bagian terpenting dalam hidupnya. “Saya sudah
kenyang diremehkan, dicaci, dan dicibir. Saya jalan dari satu kampung ke kampung yang lain, dari satu panggung ke
panggung yang lain. Dan inilah yang sekarang saya terima,” kata bapak satu anak yang sering menggambarkan
dirinya sebagai hasil dari kristalisasi keringat itu.
Menurut mantan sopir omprengan, kru shooting video, sopir pribadi, dan penyiar radio ini, kunci sukses yang utama
pada dirinya adalah menikmati kelemahan dalam diri, dan mengubahnya menjadi berkah. “Makanya saya nikmati
saja diolok-olok, dijelek-jelekkan, wong malah itu yang menghidupi saya sekarang.” Selain itu, Tukul juga
menyebut sejumlah nama, selain istrinya, yang turut memberi andil pada suksesnya. Beberapa di antaranya yaitu
Joko Dewo dan Tony Rastafara yang pertama kali mengajaknya melawak ke Jakarta. Ia juga menyebut Radio
Humor SK dan kelompok lawak Srimulat sebagai prosesnya memperkaya materi lawakan. “Saya bisa mencapai ini
semua berkat bantuan banyak orang juga,” ujar pria yang kini sering mengundang beberapa orang yang dianggap
berjasa pada karirnya, untuk ikut tampil di Empat Mata.
Kini, boleh jadi Tukul telah jadi pelawak paling mahal di Indonesia. Konon, tarifnya sekali manggung mencapai
Rp30 juta. Padahal, untuk acara Empat Mata, ia sudah mengantongi kontrak hingga 260 episode. Jika ditotal, plus
honor jadi bintang iklan beberapa produk, pendapatannya per tahun miliaran rupiah. Sebuah motor Harley Davidson
kini juga menjadi simbol kesuksesan yang sudah diraihnya. Rumahnya pun ada beberapa, sebagian dikontrakkan
untuk menambah pundi-pundi simpanan masa tuanya. Bersama mantan majikannya, ia juga berencana untuk
membuka restoran.
Namun, mendapat kelimpahan rejeki demikian banyak, Tukul tak melupakan asalnya. Karena itu, demi membantu
rekan-rekan sesama pelawak yang belum sukses, ia membelikan beberapa motor untuk dijadikan sarana ojek bagi
rekannya. Selain itu, ia menyediakan satu rumah khusus untuk dijadikan tumpangan rekannya selama di Jakarta.
Rumah yang dinamai Posko Ojo Lali itu juga dijadikan ajang tukar pikiran dan meramu ide kreatif lawakan. Selain
itu, saat ini ia juga ingin merealisasikan sebuah program acara untuk mengakomodasi teman-teman pelawak yang
belum berhasil. “Banyak pelawak yang potensial, namun belum terangkat. Saya yang sedang di puncak ingin
mereka juga bisa berhasil,” harap Tukul.
Perjuangan Tukul dari nol adalah sebuah gambaran ketekunan dan keuletan yang perlu kita contoh. Keyakinannya
yang kuat untuk menjadi pelawak terkenal, ditambah kemauannya belajar banyak hal, telah menjadikannya sebagai
ikon orang desa yang bisa menaklukkan kota. Perhatiannya kepada sesama rekan pelawak yang belum sukses juga
patut diteladani.
Dengan begitu, apapun bentuk kesuksesan yang kita raih, bisa lebih bermakna bagi sesama.
10 HAL YANG BUAT TUKUL ARWANA SUKSES
Tukul Arwana – Siapa sih yang ga kenal dia? yaps, sosok pelawak yang
karirnya melambung tinggi ibarat “Superman” lewat acara Talk Show
EMPAT MATA/BUKAN EMPAT MATA ini sepintas memang terlihat biasa-biasa
saja.. Namun jangan salah dulu, sesuai dengan guyonan dia “Casingnya
boleh kurang bagus, tapi dalamnya bagus donk”., Ya,gue setuju banget
dengan dia. Terbukti, dia sudah berhasil menghasilkan milyar-an rupiah
dari lawakan-lawakan dia yang segar tersebut. Ada beberapa sikap
positif yang bisa kita tiru dari pribadi seorang Tukul Arwana ini.
Tak gampang bagi Agus Pramono meraih sukses sebagai pemilik Ayam Bakar Mas Mono. Ia sempat berjualan
kacang dari satu warung ke warung lain selama setahun. Lelaki asal Madiun ini juga pernah mencecap pekerjaan
office boy dan penjual gorengan. Sampai akhirnya ia nekat berjualan ayam bakar tanpa bekal ilmu kuliner.
Lulus dari SMA di Kota Madiun, Jawa Timur pada 1994, Agus Pramono merantau ke Jakarta. Setibanya di Jakarta,
Mono, panggilan akrab Agus Pramono, tinggal dengan kakak pertamanya di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Saat
itu, makan dan kebutuhan hidup lain ditanggung si kakak yang bekerja sebagai office boy.
Karena tak ingin membebani sang kakak, anak kelima dari enam bersaudara ini lantas mencari pekerjaan. "Saya jadi
sales makanan ringan seperti kacang. Saya jual dari satu warung ke warung lain," katanya. Pulang berdagang, Mono
mengasuh anak kakaknya.
Setahun berjualan makanan, Mono mendapat tawaran kerja sebagai office boy (OB) di sebuah perusahaan di Pasar
Minggu, Jakarta Selatan. Tak punya pilihan lain, ia pun menerima tawaran itu. "Dalam hati saya malu sekali. Saya
disekolahkan paling tinggi dibandingkan dengan saudara-saudara saya yang lain, tapi kok ya jadi OB dengan gaji
pas-pasan," tuturnya.
Selama menjadi OB, Mono tak pulang kampung. Sebab, ia tak punya cukup uang untuk membeli tiket kereta. Bila
banyak orang merayakan Lebaran di tengah keramaian, Mono malah sibuk mencari uang sebagai penjaga rumah
orang yang sedang pergi berlibur.
Pernah ia tidak menjenguk ayahnya yang sakit lantaran tak punya tabungan. "Dari bapak saya sakit sampai
meninggal di tahun 1998, saya tidak bisa ke Madiun. Itu tamparan keras buat saya," katanya mengenang.
Tahun 2001 menjadi awal pijakan Mono merambah dunia usaha. Ia tinggalkan pekerjaannya sebagai OB dan beralih
menjadi penjual gorengan. Dia berani berdagang walau tak punya keahlian apa pun tentang kuliner. "Saya cuma
punya modal nekat," ujarnya.
Di kamar sewaan berukuran 2,5 x 3 meter di Menteng Dalam, tempat tinggal Mono dan istrinya, bahan gorengan
disiapkan. Bila bahan sudah siap, ia mendorong gerobak gorengan tiap pagi.
Mono berjualan keliling sekolah-sekolah dan kompleks perumahan. Jika adzan magrib telah berkumandang, ia
dorong gerobak pulang dengan membawa Rp 15.000 di kantong. Terkadang, bila ramai pembeli, ia bisa bawa
pulang Rp 20.000.
Sering, Mono menyembunyikan sisa gorengan yang tak laku dijual saat pulang ke kamar sewaan. "Sisa gorengan
saya umpetin di bawah gerobak supaya tetangga tak melihat gorengan saya tak laku," ungkap dia.
Mono sering berdagang gorengan di sekitar Universitas Sahid di Jalan Prof. Dr. Soepomo, Tebet, Jakarta Selatan.
Suatu hari, ketika ia tengah menunggu pembeli, Mono terpikir berdagang ayam bakar. "Saat itu, jarang sekali orang
jual ayam bakar. Ditambah lagi, masih ada lahan kosong di sekitar kampus Sahid," ujarnya.
Yakin terjun ke usaha ayam bakar, Mono pun mencari modal. Akhirnya, ia mendapatkan modal Rp 500.000 untuk
membeli bahan dan bumbu ayam bakar serta perlengkapan memasak.
Awalnya, Mono menyajikan ayam bakar, tempe, tahu, dan cah kangkung. Ketika itu, ia menjual seporsi nasi plus
ayam bakar Rp 5.000. Rupanya, banyak yang menyambangi gerobak Ayam Bakar Kalasan miliknya. Baik
mahasiswa, pegawai kantoran, dan orang yang lalu-lalang di Jalan Soepomo.
Waktu itu, ia mengolah 80 ekor ayam per hari. Soal rasa, Mono belajar otodidak dari saran dan kritik para
pelanggan. "Ada yang bilang pakai bumbu ini, pakai kecap itu, nasinya jangan nasi pera,” kata Mono. Ia pun
mencoba menerima saran dan kritik pembelinya itu hingga benar-benar menemukan rasa khas Ayam Bakar Kalasan.
Melihat pengunjung yang makin banyak, Mono pun memperluas lokasi usaha. Dengan bantuan lima karyawan, ia
mengubah konsep tempat makan, dengan menempatkan meja dan kursi berpayung terpal.
Pada tahun 2004, gerai ayam bakar Mono kena gusur. Ia pun memindahkan gerainya ke Jalan Tebet Raya, Jakarta
Selatan. "Waktu itu, Tebet sepi, tidak seramai sekarang. Belum banyak usaha makanan juga," katanya.
Dari sinilah, Ayam Bakar Kalasan makin dikenal luas dan punya banyak penggemar. Mono pun membuka cabang di
banyak tempat hingga beromzet ratusan juta rupiah per bulan