Khitan Dan haID
Khitan Dan haID
Hukum Khitan
Rasulullah saw bersabda tentang masalah fitrah berupa khitan ini: ُط َرة ْ ِْالف
ب ِ ار َوقَصُّ ال َّش
ِ ار ْ ط َر ِة ْال ِختَانُ َوااِل ْستِحْ دَا ُد َونَ ْتفُ اِإْل ْب ِط َوتَ ْقلِي ُم اَأْل
ِ َظف ْ ِ َخ ْمسٌ َأوْ َخ ْمسٌ ِم ْن ْالف Artinya : Fithrah
itu ada lima : Khitan , mencukur rambut kemaluan ,mencabut bulu
ketiak , memotong kuku , dan memotong kumis . ( HR. Bukhary dan
Muslim ) .
Sebagai sebuah fitrah, khitan juga dilakukan oleh kaum terdahulu.
Dari Abu Hurairah, Nabi saw. bersabda, "Nabi Ibrahim a.s. berkhitan
setelah usianya mencapai delapan puluh tahun, dan ia berkhitan
dengan kapak. Sedangkan Rasulullah diperintahkan oleh Allah untuk
mengikuti agama Ibrahim, sebagaimana tercantum dalam firman yang
artinya, "Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): 'Ikutilah
agama Ibrahim yang hanif.'" (QS. An-Nahl: 123).
Menurut sebagian ulama, hukum khitan untuk lelaki itu wajib.
Sementara, menurut riwayat yang cukup terkenal dari imam Malik,
beliau mengatakan khitan hukumnya sunnah.
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Mughni, mengatakan bahwa khitan
bagi lelaki hukumnya wajib dan kemuliaan bagi perempuan. Meskipun
ada perbedaan pendapat, karena hukum minimalnya adalah sunnah,
khitan merupakan sebuah ajaran yang semestinya tidak ditinggalkan
umat Islam.
Rasulullah saw. memerintahkan orang yang masuk islam untuk
ِ ْع َر ْال ُك ْف000ك َش
ْ ر َو000
berkhitan sesuai sabdanya اختَتِ ْن ِ َأ ْل Artinya: "Hilangkan
َ 000ق َع ْن000
darimu rambut kekafiran ( yang menjadi alamat orang kafir ) dan
berkhitanlah." (HR. Abu Dawud, dan dihasankan oleh Syeikh Al-Albany).
Menurut Syaikh Abdullan Nasih Ulwaan dalam buku Kitab Tarbiyatul Aulaad
fiil Islam, khitan memiliki faedah sebagai berikut:
HAID
aidh atau haid (dalam ejaan bahasa Indonesia) adalah darah yang keluar dari rahim seorang wanita pada
waktu-waktu tertentu yang bukan karena disebabkan oleh suatu penyakit atau karena adanya proses
persalinan, dimana keluarnya darah itu merupakan sunnatullah yang telah ditetapkan oleh Allah kepada
seorang wanita. Sifat darah ini berwarna merah kehitaman yang kental, keluar dalam jangka waktu
tertentu, bersifat panas, dan memiliki bau yang khas atau tidak sedap.
Wanita yang haid tidak dibolehkan untuk shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan
berhubungan intim dengan suami pada kemaluannya. Namun ia diperbolehkan membaca Al-
Qur’an dengan tanpa menyentuh mushaf langsung (boleh dengan pembatas atau dengan
menggunakan media elektronik seperti komputer, ponsel, ipad, dll), berdzikir, dan boleh
melayani atau bermesraan dengan suaminya kecuali pada kemaluannya.
“Mereka bertanya kepadamu tentang (darah) haid. Katakanlah, “Dia itu adalah suatu kotoran
(najis)”. Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di tempat haidnya
(kemaluan). Dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci (dari haid). Apabila
mereka telah bersuci (mandi bersih), maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan
Allah kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 222)
“Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan
tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (HR. Al-Bukhari No. 321 dan Muslim No. 335)
Batasan Haid :
Menurut Ulama Syafi’iyyah batas minimal masa haid adalah sehari semalam, dan batas
maksimalnya adalah 15 hari. Jika lebih dari 15 hari maka darah itu darah Istihadhah dan
wajib bagi wanita tersebut untuk mandi dan shalat.
STIHADHAH
Istihadhah adalah darah yang keluar di luar kebiasaan, yaitu tidak pada masa haid dan
bukan pula karena melahirkan, dan umumnya darah ini keluar ketika sakit, sehingga
sering disebut sebagai darah penyakit. Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah
Muslim mengatakan bahwa istihadhah adalah darah yang mengalir dari kemaluan wanita
yang bukan pada waktunya dan keluarnya dari urat.
Sifat darah istihadhah ini umumnya berwarna merah segar seperti darah pada umumnya,
encer, dan tidak berbau. Darah ini tidak diketahui batasannya, dan ia hanya akan berhenti
setelah keadaan normal atau darahnya mengering.
Wanita yang mengalami istihadhah ini dihukumi sama seperti wanita suci, sehingga ia
tetap harus shalat, puasa, dan boleh berhubungan intim dengan suami.
Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha :
عُ اَفَا َ َد،ُطهُرْ َت يا َ َرسُوْ ُل هللاِ اِنِّى ا ْم َراَةٌ اُ ْستَ َحاضُ فَالَ ا ْ َصلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوقَل َ ش اِلَى النَّبِ ُّيٍ ت اَبِى ُحبَ ْيُ َجا َءتَ فا َ ِط َمةُ بِ ْن
،َصالَة َ ت ْال َحي
َّ ْضةُ فَا ْت ُر ِكى ال ِ َض ِة فَا ِ َذااَ ْقبَلَ ْس بِ ْال َح ْي
َ ق َولَيٌ ْك ِعر َ ِ اِنَّ َما َذل،َ ال:صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم
َ ِصالَةَ؟ فَقَا َل يا َ َرسُوْ ُل هللا َّ ال
صلىِّ َ ك ال َّد َم َو ْ ْ َ
ِ َب ق ْد ُرهَا فاغ ِسلِى َعن َ َ
َ فاِذا ذه َ َ
Fatimah binti Abi Hubaisy telah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu
berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang wania yang mengalami
istihadhah, sehingga aku tidak bisa suci. Haruskah aku meninggalkan shalat?” Maka
jawab Rasulullah SAW: “Tidak, sesungguhnya itu (berasal dari) sebuah otot, dan bukan
haid. Jadi, apabila haid itu datang, maka tinggalkanlah shalat. Lalu apabila ukuran
waktunya telah habis, maka cucilah darah dari tubuhmu lalu shalatlah.”
Wallahu a’lam.