Seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) penyandang disabilitas mental berinisial DH
diberhentikan setelah 10 tahun lebih mengabdi pada Kemenkeu. DH dipecat saat kondisinya tengah sakit skizofrenia paranoid yang mulai dideritanya yang saat itu tidak tertangani. Berdasarkan Kuasa Hukum DH, kasus ini bermula ketika DH menerima Surat Keputusan (SK) pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dari Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani. Surat itu dikirimkan kepada keluarga DH pada Februari 2021. Dasar pemberhentian tersebut karena DH dianggap mangkir dari pekerjaan dalam beberapa periode waktu pada 2020. Padahal hal tersebut diakibatkan oleh skizofrenia paranoid yang mulai diderita DH yang mana saat itu tidak tertangani. DH baru dapat penanganan dan perawatan psikologis pada pertengahan 2021 dan setelah kondisinya dinyatakan membaik, DH langsung mengajukan permohonan untuk dapat kembali bekerja di Kemenkeu. Dia pun menjelaskan kondisinya disertai hasil diagnosis skizofrenia yang diidapnya. Namun permohonan yang diajukan DH ditolak dan DH disarankan melakukan banding melalui BPASN. Penolakan BPASN atas banding administrasi yang diajukan DH dengan disertai bukti disabilitas mental yang dialaminya adalah tindakan diskriminatif dan melanggar hukum. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan UU 8/2016 yang mana mengatur hak penyandang disabilitas mendapatkan perlakuan khusus, kesamaan kesempatan, dan akomodasi yang layak dalam mengakses pekerjaan dan bahkan proses hukum. DH juga diminta membayar kerugian negara ratusan juta rupiah karena dianggap melanggar ikatan dinas dengan pemberhentian tersebut. Pada September 2021, DH mengajukan banding administratif kepada BPASN. Sebulan kemudian, BPASN menyatakan menolak permohonan tersebut karena dianggap telah lewat waktu (kedaluwarsa) dan DH dianggap harus menerima putusan tersebut. dengan adanya penolakan tersebut, berdasarkan PP 79/2021, DH memutuskan untuk mengajukan gugatan melalui PTTUN Jakarta pada 15 November 2021. Kemenkeu dan BPASN menjadi tergugat dengan Nomor Perkara 22/G/2021/PT.TUN JKT. LBH Jakarta menilai terdapat cacat prosedur dalam penjatuhan sanksi pemberhentian oleh Kementerian Keuangan karena tidak didahului dengan pembentukan tim pemeriksa sebagaimana diatur ketentuan PP No. 53 Tahun 2010 yang kini telah diubah melalui PP No. 94 Tahun 2021 dan hanya didasarkan oleh pemeriksaan atasan langsung sehingga hal ini menunjukan tidak adanya kehati-hatian dalam menjatuhkan sanksi berat bagi pegawainya yang berakibat fatal, yaitu terlanggarnya hak penyandang disabilitas atas pekerjaannya. Sehingga dari paparan tersebut maka penulis ingin mengambil issue terkait bagaimana prosedur pemberhentian yang benar terhadap ASN difabel mental agar hak nya tetap dilindungi dan dapat tetap bekerja