Anda di halaman 1dari 6

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 1

Nama Mahasiswa : SINDI INDAH LESTARI

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 043764507

Kode/Nama Mata Kuliah : ADBI4336/Hukum Ketenagakerjaan

Kode/Nama UPBJJ : 20 BANDAR LAMPUNG GAJAH MADA

Masa Ujian : 2022/23.2(2023.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
NASKAH TUGAS MATA KULIAH
UNIVERSITAS TERBUKA

Fakultas : FHISIP/Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu


PolitikKode/Nama MK : ADBI4336/Hukum Ketenagakerjaan
Tugas 1

No Soal
1. JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)
Hariyadi Sukamdani mengatakan, daerah yang memutuskan menaikkan upah
minimum provinsi (UMP) 2021 akan menimbulkan babak permasalahan baru.
Sebab, dipastikan adanya tuntutan dari pekerja atau buruh yang sebelumnya telah
menerima upah di atas upah minimum akan memprotes kebijakan tersebut.
"Dampak kenaikan upah minimum bagi pengusaha otomatis akan menimbulkan
masalah baru. Karena ada teman-teman di atas upah minimum pasti akan
permasalahkan, bakal ada sundulan," ujar Hariyadi dalam konfrensi pers secara
daring, Senin (2/11/2020).

Sumber: https://money.kompas.com/read/2020/11/02/201543326/pengusaha-
kenaikan-upah-minimummenimbulkan-masalah-baru

Bila diteliti lebih jauh, penetapan UMR dan UMD ternyata tidak serta merta
menghilangkan problem gaji dan upah. Berikan analisis anda, mengapa penetapan
UMRdan UMD ternyata tidak serta merta menghilangkan problem gaji/upah ini!

Jawab
Hal ini terjadi setidaknya karena:
pertama pihak pekerja, yang mayoritasnya berkualitas SDM rendah berada dalam
kuantitas yang banyak sehingga nyaris tidak memiliki posisi tawar cukup dalam
menetapkan gaji diinginkan. Walhasil, besaran gaji hanya ditentukan pihak majikan,
dankaum buruh berada pada posisi ‘sulit menolak’.
Kedua pihak majikan sering merasa keberatan dengan batasan UMR. Hal ini
mengingat, meskipun pekerja tersebut bekerja sedikit dan mudah, pengusaha tetap
harus membayar sesuai batas tersebut.
Ketiga posisi tawar yang rendah dari para buruh semakin memprihatinkan dengan
tidak adanya pembinaan dan peningkatan kualitas buruh oleh pemerintah, baik
terhadap kualitas keterampilan maupun pengetahuan para buruh terhadap
berbagai regulasi perburuhan.
Keempat kebutuhan hidup yang memang juga bervariasi dan semakin bertambah,
tetap saja tidak mampu dipenuhi dengan gaji sesuai UMR. Pangkal dari masalah
ini adalah karena gaji/upah hanya satu-satunya sumber pemasukan dalam
memenuhi berbagai kebutuhan dasar kehidupan masyarakat.
Solusi terhadap problem UMR dan UMD ini tentu saja harus terus diupayakan dan
diharapkan mampu membangun kondisi seideal mungkin. Untuk tujuan itu,
setidaknya
ada dua kondisi mendesak yang harus diwujudkan, yaitu kondisi normal yang
mampu menyetarakan posisi buruh-pengusaha sehingga penentuan besarnya
upah disepakati oleh kedua pihak yang besarnya ditentukan oleh besaran peran
serta kerja pihak buruhterhadap jalannya usaha perusahaan yang bersangkutan.

2. Angel bekerja pada perusahaan Distribusi Buku sekolah. Sebelum diterima bekerja
di perusahaan tersebut, Angel telah menandatangani Surat Pernyataan tidak akan
hamil selama masa percobaan 2 tahun. Namun setelah 1 tahun bekerja Angel yang
baru saja menikah hamil. Atas dasar permasalahan tersebut Angel di PHK dari
perusahaan tempatia bekerja

Uraikan disertai analisis anda apakah tindakan PHK terhadap Angel dibenarkan
secaraHukum!

Jawab
Sebelumnya, perlu diketahui bahwa Pasal 150 Undang-Undang Nomor 13 tahun
2003tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) mengatur sebagai berikut:

Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini


meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan
hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan
hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan
usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain
dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Dengan demikian, maka ketentuan ketenagakerjaan, khususnya terkait pemutusan
hubungan kerja (“PHK”) sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan yang
beberapa ketentuannya telah diubah, dihapus, atau dimuat pengaturan baru oleh
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”)
berlaku bagi pemberi kerja dan pekerja sebagaimana disebutkan di atas.

Bolehkah Perusahaan Mewajibkan Karyawan Resign karena Hamil?


Menjawab pertanyaan Anda, pada prinsipnya, perusahaan tidak dapat mewajibkan
Andauntuk mengundurkan diri atau resign karena Anda hamil.

Hal ini didasarkan pada Pasal 81 angka 40 UU Cipta Kerja yang mengubah
Pasal 153 ayat (1) huruf e UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa
pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan pekerja hamil, melahirkan,
gugur kandungan, atau menyusui bayinya.

PHK yang dilakukan atas alasan di atas batal demi hukum dan pengusaha
wajibmempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan.

Selain itu, perusahaan tidak dapat memaksa Anda untuk mengundurkan diri, karena
pada dasarnya pengunduran diri haruslah didasarkan pada kemauan pekerja. Hal ini
sesuai dengan Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154A
ayat (1) huruf i yang menyatakan:

(1) Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:


i. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus
memenuhisyarat:

1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-


lambatnya30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri:
2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
3. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

Lebih lanjut, meskipun pada prinsipnya perusahaan boleh mengatur alasan-alasan


PHK lainnya selain yang telah diatur dalam pasal yang kami sebutkan di atas di
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan (“PP”), atau perjanjian kerja bersama
(“PKB”), namun substansinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang- undangan.

Dengan demikian, menurut hemat kami, perusahaan tidak boleh memberlakukan


aturan yang mewajibkan karyawan mengundurkan diri karena hamil dikarenakan
hal tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

Perlindungan dan Hak Pekerja yang Hamil


Menjawab pertanyaan kedua, dikarenakan PHK dengan alasan pekerja hamil batal
demi hukum, maka pekerja yang hamil tidak boleh di-PHK sehingga tidak berlaku
ketentuan mengenai pesangon dan hak-hak lainnya terkait PHK. Adapun secara
hukum, pekerja yang hamil berhak atas perlindungan dan hak-hak di antaranya
sebagai berikut:

a. Pekerja perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi


kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya dilarang
dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Apabila
dilanggar, pengusaha dikenakan sanksi pidana kurungan minimal 1 bulan
dan maksimal 12 bulan dan/atau denda minimal Rp10 juta dan maksimal
Rp100 juta.

Berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak
dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau
bidan, dan bagi yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh
istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau
bidan. Pekerja perempuan yang menggunakan waktu hak istirahat tersebut tetap
berhak mendapat upah penuh.

3. Husni bekerja pada perusahaan PT. Mundur Selalu sebagai Design grafis dengan
skema Perjanjian Kerja Waktu Tertentu selama 2 tahun. Setelah 2 tahun perjanjian
kerja Husni berakhir, dan Husni menuntut diangkat sebagai karyawan tetap. Atas
permasalahan tersebut, Husni membuat pengaduan ke Dinas Ketenagakerjaan
daerah setempat.

Uraikan dan jelaskan apakah langkah-langkah yang dilakukan PT. Mundur Selalu
sudah tepat, dan berikan analisis hukumnya!

Jawab
perubahan perjanjian kerja, dari PKWT menjadi PKWTT, bisa saja dan
ada
kemungkinan terjadi sepanjang memenuhi syarat dan ketentuan, khususnya di
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh -yang melakukan pekerjaan jasa
penunjang yang bukan bagian dari proses produksi- memang dimungkinkan
melakukan hubungan kerja dengan karywannya melalui PKWT (vide penjelasan
Pasal 59 ayat (2) UU Ketenagakerjaan).

Ketentuannya, sesuai dengan Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan, bahwa


PKWT yang tidak memenuhi syarat/ketentuan dalam Pasal 59 ayat (1), ayat (2),
ayat(4), ayat (5) dan ayat (6) mengenai:
- jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan yang dapat diperjanjikan
melaluiPKWT (ayat [1])

- larangan memperjanjikan pekerjaan yang bersifat tetap melalui PKWT


(ayat[2])

- jangka waktu perpanjangan PKWT (ayat [4])

- space –jangka waktu- memperpanjang PKWT (ayat [5])

- adanya masa jeda untuk pembaruan PKWT (ayat

[6])maka demi hukum berubah menjadi PKWTT.


karyawan outsourcing adalah pekerja kontrak yang direkrut oleh perusahaan
penyedia jasa tenaga kerja untuk dipekerjakan oleh perusahaan pengguna jasa
(user). Pekerja diupah oleh perusahaan alih daya, sementara perusahaan user
membayar perusahaan outsourcing sesuai dengan kontrak kerja yang disepakati.

euntungan dari sistem alih daya ini adalah perusahaan user tidak perlu repot
memikirkan biaya perekrutan karyawan serta menyediakan fasilitas, tunjangan, dan
asuransi BPJS Kesehatan. Semuanya merupakan tanggung jawab perusahaan
outsourcing.

Secara hukum, pekerja outsourcing tidak memiliki hubungan kerja dengan


perusahaan user. Apabila mereka melanggar aturan perusahaan tempat mereka
dipekerjakan atau terjadi perselisihan dengan karyawan internal perusahaan user,
yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan adalah perusahaan penyedia tenaga
kerja.

Jenis pekerjaan yang disediakan perusahaan klien adalah pekerjaan yang tidak
berkaitan dengan kegiatan inti perusahaan dan tidak memiliki jenjang karir, antara
lain petugas keamanan (satpam), pembersih ruangan (cleaning service), operator
telepon, call center, atau teknisi pemeliharaan jaringan komputer kantor atau mesin
pabrik. Sedangkan pekerjaan utama perusahaan, misalnya kegiatan produksi, tidak
boleh dialih-dayakan.

Lalu bagaimana menghitung masa kerja karyawan outsourcing? Masa kerja mereka
bergantung pada jenis kontrak yang disepakati bersama perusahaan alih daya yang
merekrut mereka, yang menurut Pasal 65 dan 66 jo Pasal 59 UU No 13/2003
dibedakan menjadi dua, yakni:

1. Jika karyawan akan dipekerjakan untuk pekerjaan tetap dan terus-menerus,


maka perusahaan outsourcing mengikat mereka sebagai pekerja tetap
dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
2. Jika karyawan dipekerjakan untuk pekerjaan yang akan selesai pada waktu
tertentu, misalnya 1 tahun atau 2 tahun, perusahaan outsourcing bisa
mengontrakmereka dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

Merujuk pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Kep.100/Men/VI/2004, masa kerja pekerja alih daya dihitung sejak mereka menjadi
karyawan tetap (PKWTT) untuk pekerjaan yang berkelanjutan. Sedangkan,
perjanjian kerja sebagai pekerja kontrak (PKWT) untuk pekerjaan yang selesai
masa tertentu tidakdihitung sebagai masa kerja.

Misalnya, Ali bekerja di perusahaan outsourcing dengan kontrak PKWT sebagai


tenaga satpam di sebuah perusahaan konstruksi yang sedang membangun 2 blok
apartemen mewah di Jakarta. Ali dipekerjakan selama masa pembangunan selesai
yang diperkirakan memakan waktu 2 tahun.

Setelah 2 tahun, kontrak Ali putus. Beberapa bulan kemudian, perusahaan


outsourcing kembali merekrutnya sebagai karyawan tetap (PKWTT) untuk
dipekerjakan di perusahaan jasa keuangan yang membutuhkan tenaga keamanan
di kantor pusatnya.
Maka, masa kerja Ali sebagai satpam dihitung sejak ia meneken kontrak PKWTT
tersebut.

Secara prinsip, karyawan outsourcing memiliki kewajiban yang sama dengan


karyawan internal di perusahaan user. Karena, mereka terikat oleh peraturan
perusahaan yang sama, antara lain hadir tepat waktu sesuai dengan jam kerja yang
ditentukan.

Anda mungkin juga menyukai