Anda di halaman 1dari 12

1. A. Mengapa hukum itu perlu bagi masyarakat?

Jawab : Cicero pernah menyatakan Ubi Societas Ibi Ius, di mana ada

masyarakat di situ ada hukum.1 Menurutnya individu-individu

dalam masyarakat mempunyai keinginan yang sangat beragam,

oleh karena itu diantara mereka sepakat untuk mengatur sehingga

dapat menciptakan hukum yang seimbang. Kesepakatan diantara

mereka inilah yang biasa kita sebut norma yang terdiri dari norma

sosial, agama, kesusilaan dan norma negara atau bahasa

legalitasnya disebut norma hukum.2 Sedangkan J. Van Kan

menjelaskan hukum sebagai keseluruhan ketentuan kehidupan

yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-

kepentingan orang dalam masyarakat.3 Dapat disimpulkan bahwa

masyarakat memerlukan hukum untuk mengatur kepentingan-

kepentingan dalam bermasyarakat.

B. Mungkinkah keadilan dan ketertiban dapat tercapai tanpa hukum?

Jawab : Dalam menggambarkan hubungan keadilan dan hukum,

Aristoteles menjelaskan perlunya diselidiki perbuatan-perbuatan

mana keadilan itu berhubungan dan di tengah-tengah perbuatan

itu perlu hukum. Menurutnya segala sesuatu yang ditetapkan

dengan undang-undang adalah adil.4 Artinya dalam menentukan

1
Sukarno Aburaera, dkk, Filsafat Hukum Teori dan Praktik, Prenamedia, Jakarta, 2013,
hal. 197.
2
Ibid., hal. 197-198.
3
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hal. 11.
4
Sukarno Aburaera, dkk, Op.cit., hal. 184-185.

1
perbuatan yang adil maka diperlukan hukum. Menurut Satjipto

Rahardjo ide keadilan tidak pernah lepas dari kaitan hukum,

sebab membicarakan hukum jelas atau samar-samar sanantiasa

merupakan pembicaraan mengenai keadilan. Keadilan dan

ketidakadilan menurut hukum akan diukur dan dinilai oleh

moralitas yang mengacu pada harkat dan martabat manusia. 5

Mengenai ketertiban, Roscoe Pound seorang pakar hukum

amerika mengatakan bahwa hukum menjamin social cession

(keterpaduan sosial) dan perubahan tertib sosial dengan cara

menyeimbangkan konflik kepentingan yang mencakup

kepentingan-kepentingan individual, kepentingan-kepentingan

sosial, dan kepentingan-kepentingan publik.6

C. Bisakah hukum tanpa norma dan tanpa sanksi?

Jawab : Rudolf Von Ilering menyatakan bahwa hukum adalah

keseluruhan norma yang memaksa yang berlaku dalam suatu

negara. Hans Kelsen melengkapi pendapat filsuf sebelumnya

dengan mengatakan bahwa hukum adalah kesatuan norma-norma

bagaimana orang harus berperilaku.7 Kelsen hanya mengakui

keadilan yang bersumber dari hukum positif yang ditetapkan oleh

manusia berdasarkan norma dasar berlakunya hukum positif.8

5
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1986, hal. 45.
6
Roger Cotterel, The Sociology of Law, Butterworths, London, 1984, hal. 76.
(diterjemahkan dalam Acmad Ali, Bunga Rampai Bacaan Teori Hukum, Bundel II, tanpa tahun,
tidak dipublikasikan).
7
Sukarno Aburaera, dkk, Op., cit. hal. 42.
8
B. Kusumohamiddjojo, Ketertiban yang Adil: Problematika Filsafat Hukum, Grasindo,
Jakarta, 1999, hal. 129-131.

2
Artinya menurut kedua filsuf ini hukum tidak dapat terlepas dari

norma. Selain norma, hukum juga tidak dapat terlepas dari sanksi.

Menurut Aristoteles keadilan adalah sikap pikiran yang ingin

bertindak adil, yang tidak adil adalah orang yang melanggar

undang-undang. Diantara kepentingan yang tidak sama, hukum

harus berada di tengah, sebab barangsiapa yang menderita

ketidakadilan, maka hakim akan mencabut kepentingan dari orang

yang berbuat tidak adil dan memberikan hukuman.9 Hukuman

yang dimaksud di atas adalah sanksi. Artinya menurut Aristoteles

dalam keadilan hukum diperlukan sanksi.

2. A. Apakah yang dimaksud dengan living law? Dan sebutkan filsufnya!

Jawab : Living law adalah hukum yang hidup dalam masyarakat. Aliran

ini dipelopori oleh seorang ahli hukum dari Austri dan tokoh

pertama yang meninjau dari sudut sosiologi yaitu Eugen Ehrlich.10

B. Apakah hukum positif itu merupakan living law?

Jawab : Eugen Ehrlich melihat ada perbedaan antara hukum positif disatu

pihak dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law)

di lain pihak. Menurutnya, hukum positif baru akan memiliki

daya berlaku yang efektif apabila berisikan, atau selaras dengan

hukum yang hidup dalam masyarakat.11

C. Mana lebih luas antara living law dan hukum positif?

9
Sukarno Aburaera, dkk, Loc. Cit.
10
Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal. 55.
11
Ibid.

3
Jawab : Menurut pandangan Eugen Erhlich living law cakupannya lebih

luas dibandingkan hukum positif. Karena menurutnya titik pusat

perkembangan hukum tidak terletak pada undang-undang,

putusan hakim, atau ilmu hukum, tetapi pada masyarakat itu

sendiri. Dengan demikian, sumber dan bentuk hukum adalah

kebiasaan.12

3. A. Apakah fungsi hukum?

Jawab : Fungsi hukum yang utama ialah menjamin keamanan dalam

hidup. Pandangan yang demikian ditemukan Hobbes, seorang

tokoh empirisme Inggris dari abad XVII.13

B. Samakah fungsi hukum di negara berkembang dan di negara maju? Jika

sama jelaskan alasannya! Jika berbeda jelaskan!

Jawab : Sudah pada tokoh-tokoh besar filsafat yunani dan kristiani

ditemukan suatu istilah yang umumnya dipakai untuk tujuan

negara dan hukum, yakni kepentingan umum. Negara didirikan

demi kepentingan umum, dan hukum adalah sarana utama untuk

merealisasikan tujuan itu.suatu msyarakat baik bila kepentingan

umum diperhatikan, baik oleh penguasa maupun warga negara.

Pengertian ini tetap dipertahankan pada zaman rasionalisme

(Wolff), sampai sekarang ini, dalam hukum Amerika ( Cardoso

dan Pound).14

12
Sukarno
Aburaera, dkk, Op., cit, hal. 125.
13
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982,
hal. 289.
14
Ibid., hal. 286.

4
4. A. Apa yang dimaksud dengan keadilan?

Jawab : Plato (427-347) yang menggambarkan keadilan pada jiwa

manusia dengan membandingkannya pada kehidupan negara,

mengemukakan bahwa jiwa manusia terdiri dari tiga bagian, yaitu

pikiran (logistikom), perasaan dan nafsu baik psikis maupun

jasmani (epithumatikon), dan rasa baik dan jahat (thumoeindes).

Seperti halnya jiwa manusia, negarapun harus diatur secara

seimbang menurut bagian-bagiannya supaya adil, yaitu kelas

orang-orang yang mempunyai kebijaksanaan (kelas filsuf), kelas

kedua adalah kelas orang-orang yang memiliki keberanian (kelas

tentara), kelas ketiga, yaitu para tukang dan petani (yang memiliki

pengendalian diri) yang memelihara ekonomi masyarakat (kelas

ini tidak mempunyai peranan dalam negara). Setiap golongan

berbuat apa yang sesuai dengan tempatnya dan tugas-tugasnya,

itulah keadilan.15

B. Mengapa hukum itu harus adil?

Jawab : Dalam seluruh sejarah filsafat hukum diberikan tempat yang

istimewa kepada keadilan. Hukum harus adil supaya berlaku.

Dalam zaman modern Kant memberikan tekanan baru pada

keadilan dengan menyatakan bahwa tujuan hukum yang

sebenarnya ialah menciptakan keadilan dalam masyarakat.

Seluruh aliran neokantianisme dan beberapa tokoh fenomologi

(Reinach) mengikuti jalan pikiran Kant ini. Juga kelsen yang


15
Ibid., hal. 289.

5
menitik beratkan keadilan sebagai tujuan hukum. Demikian pula

Radbruch.16

C. Apakah keadilan itu didasarkan pada sistem tertentu?

Jawab : Rawls mengatakan bahwa teori keadilan yang memadai harus

dibentuk dengan pendekatan kontrak, dimana prinsip-prinsip

keadilan yang dipilih sebagai pegangan bersama sungguh-

sungguh merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua

person yang bebas, rasional, dan sederajat. Hanya melalui

pendekatan kontrak inilah sebuah teori keadilan mampu

menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan

kewajiban secara adil bagi semua orang.17

5. A. Jelaskan yang dimaksud dengan law as a tool of social engineering

sebagaimana dikemukakan oleh Roscoe Pound!

Jawab : Rouse Pound (1870-1964) terkenal dengan teorinya bahwa

hukum adalah alat untukmemperbaharui (merekayasa)

masyarakat (law as a tool os social engineering). Untuk dapat

memenuhi peranannya sebagai alat tersebut,pound lalau membuat

penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus

dilindungi oleh hukum sebagai berikut :

a. Kepentingan umum (Publik Interest)

1. Kepentingan negara sebagai badan hukum

16
Ibid., hal. 288.
17
Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi, Telaah terhadap Filsafat Politik John
Rawls, Kanisius, Yogyakarta. 2001, hal. 22-23.

6
2. Kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan

masyasrakat.

b. Kepentingan masyarakat (social Interest)

1. Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban

2. Perlindungan lembaga-lembaga sosial

3. Pencegahan kemerosotan akhlak

4. Pencegahan pekanggaran hak

5. Kesejahteraan sosial

c. Kepentingan pribadi (private interest).

Dari klasifikasi tersebut, dapat ditarik dua hal. Pertama,

Pound mengikuti garis pemikiran yang berasal dari von Jhering

dan Bentham, yaitu berupa pendekatan terhadap hukum sebagai

jalan kearah tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan

sosial. Kedua, klasifikasi tersebut membantu menjelaskan premis-

premis hukum, sehingga membuat pembentuk undang-undang,

hakim, pengacara, dan pengajar hukum menayadari akan prinsip-

prinsip dan nilai-nilai yang terkait dalam tiap-tiap persoalan

khusus.18

6. A. Apa gunanya mempelajari aliran-aliran dalam filsafat hukum?

Jawab : Manfaat mempelajari aliran-aliran dalam filsafat hukum yaitu

untuk menambah pemahaman tentang gejala hukum melalui latar

belakang historis dari pengertian hukum pada zaman sekarang.19

18
Rasjidi, Op., cit, hal. 134.
19
Theo Huijbers, Op., cit. hal. 13.

7
B. Sebutkan dan jelaskan minimal 5 tokoh dan aliran dalam filsafat hukum!

Jawab : 1. Aliran Hukum Alam

Perkembangan aliran hukum alam telah dimulai sejak 2.500

tahun yang lalu, yang berangkat pada pencarian cita-cita pada

tingkatan yang lebih tinggi. Dalam konteks lintas sejarah,

Friedman, menyatakan bahwa aliran ini timbul karena

kegagalam ummat manusia dalam mencari keadilan yang

absolut. Hukum alam disini dipandang sebagai hukum yang

berlaku universal dan abadi.20 Aliran hukum alam pada

dasarnya dibedakan menjadi dua macam: (1) aliran hukum

alam irasional, dan (2) aliran hukum alam rasional. Aliran

hukum alam yang irasional berpandangan bahwa segala

bentuk hukum yang bersifat universal dan abadi bersumber

dari Tuhan secara langsung. Sebaliknya, Aliran Hukum

Alam yang rasional berpendapat sumber dari hukum yang

universal dan abadi itu adalah rasio manusia. Para pendukung

aliran Hukum Alam yang irasional antara lain adalah Thomas

Aquinas, Jhon Salisbury, Dante, Piere Dubois, Marsilius

Padua, dan Jhon Wycliffe. Tokoh-tokoh aliran Hukum Alam

yang rasional antara lain adalah Hugo de Groot (Grotius).

Cristian Thomasius, Immanuel Kant, dan Samuel von

Pufendorf.21

20
Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Rajawali, Jakarta, 1990, hal. 47.
21
Sukarno Aburaera, dkk. Op., Cit. hal. 94

8
2. Positivisme Hukum

Positivisme sebagai sistem filsafat muncul pada kisaran abad

ke 19. sistem ini didasarkan pada beberapa prinsip bahwa

sesuatu dipandang benar apabila ia tampil dalam bentuk

pengalaman, atau apabila ia sungguh-sungguh dapat

dipastikan sebagai kenyataan, atau apabila ia ditentukan

melalui ilmu-ilmu pengetahuan apakah sesuatu yang dialami

merupakan sungguh-sungguh suatu kenyataan.22 Positivisme

Hukum dapat dibedakan dalam dua corak: (1) Aliran Hukum

Positif Analitis (Analitical Jurisprudence) atau biasa juga

disebut positivisme sosiologis yang dikembangkan oleh John

Austin, dan (2) Aliran Hukum Murni (Reine Rechtslehre)

atau dikenal juga positivisme yuridis yang kembangkan oleh

Hans Kelsen.23

3. Utilitarianisme

Utilitarianisme atau utilism lahir sebagai reaksi terhadap ciri-

ciri matafisis dan abstrak dari filsafat hukum dan politik pada

abad ke-18. Aliran ini adalah aliran yang meletakkan

kemanfaatan disini sebagai tujuan hukum. Kemanfaatan di

sini diartikan sebagai kebahagiaan (happinnes). Jadi, baik

buruk atau adil tidaknya suatu hukum. Bergantung kepada

apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia

22
Theo Huijabers, Op., cit hal. 22.
23
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Loc., cit. hal. 113

9
atau tidak. Aliran ini didukung oleh Jeremy Bentham, Jhon

Stuart Mill dan Rudolf Von Jhering.24

4. Mahzab Ssejarah

Mazhab Sejarah (Historische Rechtsschule) merupakan reaksi

terhadap tiga hal), yaitu:25

a. rasinalisme abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam,

kekuatan akal, dan prinsip-prinsip dasar yang semuanya

berperan pada filsafat hukum, dengan terutama

mengandalkan jalan pikiran deduktif tanpa memperhatikan

fakta sejarah, kekhususan dan kondisi nasional ;

b. semangat Revolusi Prancis yang menentang wewenang

tradisi dengan misi kosmopolitannya (kepercayaan kepada

rasio dan daya kekuatan tekad manusia untukmengatasi

lingkungannya), seruannya ke segala penjuru dunia26;

c. pendapat yang berkembang saat itu yang melarang hakim

menafsirkan hukum karena undang-undang dianggap

dapat memecahkan semua masalah hukum. Code civil

dinyatakan sebagai kehendak legislatif dan harus dianggap

sebagai suatu sistem hukum yang harus disimpan dengan

baik sebagai suatu yang suci karena berasal dari alasan-

24
Ibid., hal. 117-121.
25
Soekanto, Pengantar Sejarah Hukum, Rajawali, Jakarta, 1979, hal. 26.
26

10
alasan yang murni. Aliran ini dianut oleh Friedrich Karl

Von Savigny, Puchta, dan Henry Summer.27

5. Sosiological Jurisprudence

Menurut aliran sosciological Jurisprudence ini, hukum yang

baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup

di masyarakat. Aliaran ini memisahkan secara tegas antara

hukum positif (the living law). Aliran ini timbul dari proses

dialektika anatar (tesis) Positivisme hukum dan (antitesis)

Mazhab Sejarah. Aliran ini didukung oleh Eugen Ehrlich dan

Roscoe Pound.28

DAFTAR PUSTAKA

Aburaera, Sukarno dkk. Filsafat Hukum Teori dan Praktik. Prenamedia. Jakarta. 2013.

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana

Filsafat Hukum Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2004.

Raharjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1986.

27
Sukarno Aburaera, dkk, Op., cit, hal. 118.
28
Ibid., hal. 124.

11
Cotterel, Roger. The Sociology of Law. Butterworths. London. 1984.

Kusumohamiddjojo, B. Ketertiban yang Adil: Problematika Filsafat Hukum. Grasindo.

Jakarta.1999.

Rasjidi. Dasar-Dasar Filsafat Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1990.

Ujan, Andre Ata. Keadilan dan Demokrasi, Telaah terhadap Filsafat Politik John Rawls.

Kanisius. Yogyakarta. 2001.

Huijbers, Theo. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejara., Kanisius. Yogyakarta. 1982.

Friedmann. Teori dan Filsafat Hukum. Rajawali. Jakarta. 1990.

Soekanto. Pengantar Sejarah Hukum. Rajawali. Jakarta. 1979.

12

Anda mungkin juga menyukai