Anda di halaman 1dari 93

MAKALAH

PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN SAINS

POTENSI PENGEMBANGAN MODUL BERBASIS


KONSTRUKTIVIS-METAKOGNITIF PADA MATERI
SISTEM SIRKULASI UNTUK MENINGKATKAN BERPIKIR
KRITIS SISWA SMA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Problematika Pembelajaran Sains


Dosen Pengampu Dr. Baskoro Adi Prayitno, M.Pd

Oleh:
Bartolomeus Kristi Brahmantia Putra
NIM: S831608008

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN SAINS : MINAT


BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2016

1
I. Judul Makalah
“Potensi Pengembangan Modul Berbasis Konstruktivis-Metakognitif Pada
Materi Sistem Sirkulasi untuk Meningkatkan Berpikir Kritis Siswa SMA”

II. Pendahuluan
Proses pembelajaran Biologi yang berkualitas dapat mememberikan
kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan siswa untuk mengatasi
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan berpikir kritis
merupakan bagian dari kemampuan yang esensial yang dibutuhkan untuk
memasuki dunia kerja pada era globalisasi. Pendidikan menjadi salah satu
wahana untuk mencapai keterampilan-keterampilan yang diperlukan pada era
globalisasi seperti kemampuan berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis
dapat diberdayakan dalam pembelajaran melalui pemilihan strategi
pembelajaran, media pembelajaran, pengadaan literatur/buku/modul yang
tepat. Pemenuhan hal tersebut berdampak pada optimalnya kemampuan
berpikir kritis dan metakognisi siswa sebagai bekal menghadapi masa depan..
Menurut Liliasari (2003), salah satu tujuan pendidikan nasional adalah
untuk mengembangkan kemampuan berpikir pada umumnya dan
mengembangkan keterampilan berpikir kritis pada khususnya. Berpikir kritis
dapat diartikan kemampuan yang sangat esensial untuk kehidupan, pekerjaan
dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan lainnya. Berpikir kritis
merupakan topik yang penting dan vital dalam pendidikan modern. Berpikir
kritis sebagai salah satu komponen dalam proses berpikir tingkat tinggi,
menggunakan dasar menganalisis argumen dan memunculkan wawasan
terhadap tiap-tiap makna dan intepretasi, untuk mengembangkan pola
penalaran yang kohesif dan logis. Salah satu cara yang digunakan untuk
mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa adalah melalui
pembelajaran BIOLOGI. Dengan pembelajaran BIOLOGI, siswa diajarkan
untuk mampu mengaitkan dengan keadaan permasalahan yang nyata terjadi di
kehidupan dan memperoleh pengetahuan melalui kegiatan pengamatan,

2
pengumpulan data, kegiatan praktikum dan mengkomunikasikan suatu hasil
yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Pada kenyataannya, interpretasi berbagai pengkajian terhadap beberapa
penelitian menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa Indonesia
masih rendah. Selain itu, analisis terhadap kemampuan berpikir kritis siswa
kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta diperoleh profil rendahnya kemampuan-
kemampuan tersebut, proses pembelajaran belum memenuhi standar ideal
secara maksimal, dan analisis bahan ajar yang ada di sekolah menunjukkan
aspek pemenuhan terhadap kemampuan berpikir kritis yang rendah.Hal
tersebut berdampak pada kemampuan berpikir kritis siswa rendah, sehingga
siswa sulit menghadapi kondisi yang memerlukan kemampuan berpikir
kritis..
Berdasarkan hasil observasi di SMA NEGERI 7 SURAKARTA terdapat
beberapa masalah atau kendala yang terjadi dalam proses pembelajaran di
kelas.Permasalahantersebut berdampak pada hasil belajar siswa dan
kemampuan berpikir untuk memecahkan suatu permasalahan yang cenderung
rendah. Selanjutnya permasalahan siswa akan dikelompokkan dan ditetapkan
menjadi masalah yang paling penting untuk segera diatasi dengan cara
melakukan analisis akar permasalahan guna mendapatkan solusi penyelesaian
masalah yang dapat digunakan untuk memperbaiki permasalahan dalam
proses pembelajaran.

3
III. Observasi Masalah
Berdasarkan observasi proses pembelajaran BIOLOGI di SMA Negeri
7 Surakarta ditemukan permasalahan sebagai berikut:
Kelompok
No Deskripsi Gejala Masalah
Masalah
1 Siswa Standar Proses
1. Siswa kurang aktif dalam pembelajaran siswa hanya
mendengarkan dan mencatat apa yang disampaikan
guru,
2. Masih banyak siswa yang tidak berani bertanya pada
saat pembelajaran apabila ada materi yang kurang
jelas,
3. Siswa terlihat bosan dan tidak termotivasi dalam
mencatat apa yang disampaikan guru dan juga dalam
mengerjakan soal-soal yang ada di LKS,
4. Siswa hanya mencatat atau menyalin dan cenderung
menghafal materi yang sudah dicatat dengan tanpa
makna dan pengertian.
5. Minat akan belajar masih rendah, hal ini terlihat siswa
malas mengerjakan tugas yang diberikan guru baik
tugas di sekolah maupun tugas di sekolah,
6. Pada saat mengerjakan tugas siswa cenderung
meminjam dan mencontek tugas dari siswa yang rajin,
7. Siswa lebih suka diberikan tugas di rumah secara rutin
darBiologida tugas yang dikerjakan di kelas,
8. Siswa kurang terampil dalam menggunakan alat
laboratorium,
9. Siswa kurang mampu merancang kegiatan eksperimen
atau percobaan sederhana,
10. Kurangnya motivasi berprestasi, hanya siswa yang
pintar terlihat sangat mendominasi,

4
11. Siswa kurang berkonsentrasi dalam memusatkan
perhatian pada saat pembelajaran berlangsung,
12. Kurangnya kesiapan siswa dalam mengikuti pelajaran,
yaitu terlihat masih ada beberapa siswa yang
beralasan bukunya ketinggalan atau hilang,
13. Siswa kurang percaya diri terhadap pendapat yang
disampaikan di depan umum,
14. Siswa belum mampu menjawab pertanyaan spontan
yang diberikan guru secara tepat sesuai dengan materi,
15. Belum semua siswa berani mengutarakan pendapat
dan mampu untuk mempertahankan pendapatnya,
16. Banyak siswa yang cenderung berbicara sendiri atau
mengobrol dengan teman sebangkunya dan tidak
fokus ketika pembelajaran berlangsung,
17. Siswa kurang mampu mengolah bahan belajar yaitu
kemampuan siswa untuk menerima isi dan cara
pemerolehan ajaran sehingga menjadi bermakna bagi
siswa,
18. Siswa mudah lupa ketika diberikan pertanyaan pada
materi sebelumnya,
19. Siswa kurang teliti dalam mengamati suatu
permasalahan dan cenderung acuh tak acuh,
20. Siswa kurang terampil mengembangkan pengetahuan
sendiri dalam mengungkap suatu masalah karena
kebanyakan siswa hanya meniru pada apa yang
disampaikan oleh guru.
21. Siswa cenderung malas membaca materi dan
kemampuan berargumen atau mengungkapkan alasan
untuk memecahkan masalah yang diberikan guru
masih rendah,
22. Siswa belum mampu melaporkan hasil percobaan

5
sesuai dengan permasalahan yang diberikan guru
secara tepat.
23. Siswa belum mampu menyimpulkan suatu materi
yang telah disampaikan guru dengan menggunakan
kata-kata sendiri,
24. Belum adanya interaksi untuk saling menanggapi
antara siswa yang mengajukan argumen atau pendapat
dengan siswa yang lain,
25. Dalam proses pembelajaran siswa belum mampu
mengaitkan materi dengan lingkungan sekitar,
26. Saat pembelajaran masih ada siswa yang mengalami
miskonsepsi dalam mengutarakan pendapat,
27. Sebagian siswa tidak mengetahui nama alat
laboratorium
28. Siswa sering menggeser-geser meja pada saat
pembelajaran
29. Banyak siswa yang tidak memasukkan seragam sesuai
peraturan sekolah
30. Sering mencorat-coret meja dan kursi dengan
menggunakan bolpoin atau tipeX
31. Ada beberapa siswa yang berkeliling ke meja yang
lain pada saat pembelajaran berlangsung
32. Ada beberapa siswa yang meletakkan kepalanya di
atas meja pada saat pembelajaran
33. Ada beberapa siswa yang tidak mau mencatat apa
yang sudah di catatkan guru di papan tulis
34. Ada beberapa siswa yang mencontek pada waktu
ulangan harian
35. Beberapa siswa tidak mengerti tentang apa yang
dipelajari sewaktu praktikum
36. Siswa belum bisa menggunakan penalarannya ketika

6
guru menyampaikan beberapa masalah pada saat
pembelajaran
37. Siswa sulit memahami pertanyaan yang disampaikan
oleh guru
38. Masih ada beberapa siswa yang melamun ketika
pembelajaran
39. Pelajaran BIOLOGI hanya terfokus pada materi
hafalan saja
40. Pencapaian nilai KKM masih terlihat rendah
Siswa Standar Penilaian
41. Hasil belajar kognitif siswa rendah yaitu terlihat dari
hasil nilai UTS semester genap yaitu untuk nilai yang
mencapai KKM hanya 40% dari jumlah siswa
keseluruhan.
2 Guru Standar Proses
1. Proses pembelajaran masih bersifat ceramah atau
konvensional.
2. Dalam pembelajaran Biologi, guru masih
membelajarkan Biologisecara Fragmented, sehingga
keBiologian dalam pembelajaran Biologi sangat minim.
3. Guru masih kesulitan dalam memahami dan
menerapkan pendekatan pembelajaran dan model
pembelajaran Biologi
4. Guru jarang melakukan kegiatan praktikum atau
percobaan di dalam laboratorium.
5. Guru kesulitan merancang percobaan dalam proses
pembelajaran Biologi
Guru Standar Penilaian atau Evaluasi
6. Cara penilaian guru dalam proses pembelajaran belum
autentik.
Guru Standar sarana dan Prasarana

7
7. Media pembelajaran yang digunakan guru masih
terbatas,
8. Referensi atau bahan ajar yang digunakan guru masih
terbatas, karena guru mengalami kesulitan untuk
mengembangkan bahan ajar yang bersifat Biologi
sehingga dapat berpengaruh terhadap kemampuan
berpikir kritis dan hasil belajar siswa
9. Guru lebih sering menggunakan LKS dari penerbit
dalam proses pembelajaran yang hanya berisi ringkasan
materi dan soal-soal.
3 Sekolah Standar Sarana dan Prasarana
1. Sekolah sebenarnya sudah memiliki laboratorium,
tetapi alat atau sarana prasarana pendukung belum
memadai dan masih minim, sehingga mengakibatkan
guru jarang melakukan praktikum.
2. Jumlah buku literatur Biologi yang ada di perpustakaan
masih minim.
3. Keterbatasan media pembelajaran yang ada di sekolah

8
IV. Pengelompokan Masalah
Masalah yang telah ditemukan kemudian dikelompokkan sebagai berikut:
1. Motivasi Belajar
Dalam kegiatan belajar, maka motivasi dapat dikatakan sebagai
keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan
belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan
arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek
belajar itu dapat tercapai (Sardiman, 2000).
Sardiman (2011) mengemukakan ciri-ciri motivasi yang ada pada siswa
di antaranya adalah:
a. Tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terus-menerus dalam waktu yang
lama, tidak pernah berhenti sebelum selesai)
b. Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa) tidak memerlukan
dorongan dari luar untuk berprestasi sebaik mungkin (tidak cepat puas
dengan prestasi yang telah dicapainya)
c. Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah
d. Lebih senang bekerja mandiri
e. Cepat bosan pada tugas yang rutin (hal-hal yang bersifat mekanis,
berulang-ulang begitu saja, sehingga kurang efektif
f. Dapat mempertahankan pendapatnya (kalau sudah yakin akan sesuatu)
g. Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu
h. Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal
Motivasi belajar siswa dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik
yang berasal dari diri siswa (faktor internal) maupun dari luar (faktor
eksternal). Faktor internal diantaranya minat, bakat, kebiasaan belajar dan
orientasi diri. Sedangkan faktor eksternal diantaranya adalah faktor metode
pembelajaran dan lingkungan baik berasal dari lingkungan keluarga maupun
lingkungan sekolah. Selain faktor lingkungan dan keluarga, faktor eksternal
melingkupi sarana prasarana yang mendukung kegiatan belajar mengajar
(Prastowo, 2002).

9
Martinis (2007: 219) juga berpendapat bahwa motivasi belajar
merupakan daya penggerak psikis dari dalam diri seseorang untuk dapat
melakukan kegiatan belajar dan menambah ketrampilan, pengalaman.
Berdasarkan pendapat Sardiman (2009), penulis lebih memilih
pendapat Sardiman, penulis lebih memilih indikator yang dikemukakan oleh
Sardiman karena pendapat tersebut mampu mewakili motivasi belajar yang
mendukung proses pembelajaran. Indikator motivasi belajar menurut
Sardiman adalah sebagai berikut:

10
Indikator Motivasi Belajar Menurut Sardiman (2009)

Indikator Data Masalah


No Argumen
Motivasi belajar Hasil Observasi
1 Tekun menghadapi  Siswa malas mengerjakan tugas Dari hasil observasi dapat dilihat bahwa siswa kurang tekun
tugas yang diberikan guru baik tugas di dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru baik
sekolah maupun tugas di rumah. tugas di sekolah maupun tugas di rumah.
Pada proses pembelajaran, motivasi dapat dikatakan
sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang
menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan
dari kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan
belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar
itu dapat tercapai (Sardiman, 2000).
2 Ulet menghadapi  Siswa mudah menyerah dalam Dalam indikator ini terlihat bahwa siswa mudah menyerah
kesulitan menjawab pertanyaan ketika dalam menyelesaikan permasalahan dari guru, siswa
diberikan permasalahan oleh guru cenderung hanya menjawab pertanyaan yang mudah-mudah
dalam pembelajaran. saja.
Jika siswa memiliki motivasi belajar yang tinggi,
maka seluruh proses pembelajaran akan diikuti dengan

11
baik mulai dari rasa ingin tahu, intensitas dalam
memperhatikan penjelasan pelajaran, membaca materi
sampai pada mencari strategi yang paling tepat guna
meraih prestasi akademik yang tinggi bagi dirinya
(Sardiman, 2011)
3 Menunjukkan minat  Siswa terlihat bosan dan tidak Siswa terlihat berbicara sendiri pada waktu pembelajaran
terhadap macam- termotivasi dalam mencatat apa sehingga siswa terlihat tidak termotivasi dalam mengerjakan
macam masalah yang disampaikan guru dan juga dan memperhatikan pembelajaran dari guru.
dalam mengerjakan soal-soal Slavin (2009: 106) berpendapat bahwa siswa yang
yang ada di LKS. termotivasi akan dengan mudah diarahkan, diberi penugasan,
 Banyak siswa yang cenderung cenderung memiliki rasa ingin tahu yang besar, aktif dalam
berbicara sendiri atau mengobrol mencari informasi tentang materi yang dijelaskan oleh guru
dengan teman sebangkunya dan serta menggunakan proses kognitif yang lebih tinggi untuk
tidak fokus ketika pembelajaran mempelajari dan menyerap pelajaran yang diberikan.
berlangsung,

4 Lebih senang bekerja  Pada saat ada tugas siswa Dalam aspek inisiswa cenderung mencontek siswa yang rajin
mandiri cenderung meminjam dan sehingga siswa yang kurang pandai hanya terlihat mengobrol
mencontek tugas dari siswa sendiri dan kurang aktif dalam pembelajaran.

12
yang rajin. Motivasi juga bisa diartikan sebagai usaha yang
dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang
tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin
mencapai tujuan yang
dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya
(Sardiman, 2011).
5 Cepat bosan pada  Siswa lebih suka diberikan tugas Siswa banyak yang mengeluh ketika diberikan tugas dari guru,
tugas-tugas yang di rumah secara rutin baik tugas dirumah maupun tugas yang yang ada di sekolah.
Rutin darBiologida tugas yang Motivasi belajar adalah kondisi psikologis yang
dikerjakan di kelas mendorong siswa untuk belajar dengan senang dan
belajar secara sungguh-sungguh, yang pada gilirannya
akan terbentuk cara belajar siswa yang sistematis,
penuh konsentrasi dan dapat menyeleksi kegiatan-
kagiatannya (Setyowati, 2007).
6 Dapat  Belum semua siswa berani Jika guru memberikan hasil kesimpulan praktikum yang
mempertahankan mengutarakan pendapat dan berbeda dengan hasil diskusi, maka hanya sebagian siswa yang
pendapatnya mampu untuk mempertahankan dapat mempertahankan jawabannya, siswa yang lain akan
pendapatnya, berubah pemikiran ddan menganggap bahwa yang dikerjakan
tersebut salah. Hal ini kemampuan dalam mempertahankan

13
 Siswa jarang bertanya dan jawaban siswa masih rendah.
mengemukakan pendapat Hamalik (2003:161) motivasi dapat mendorong
terhadap pembelajaran dan timbulnya kelakuan dan mempertahankan suatu
pertanyaan dari guru perbuatan.

7 Tidak mudah  Siswa kurang percaya diri Dari aspek tersebut terlihat bahwa siswa kesulitan
melepaskan hal yang terhadap pendapat yang menyampaikan pendapat di depan umum, sehingga masih
diyakini itu disampaikan di depan umum, terjadi kesalahan-kesalahan yang dialami oleh siswa.
Martinis (2007: 219) juga berpendapat bahwa
motivasi belajar merupakan daya penggerak psikis dari
dalam diri seseorang untuk dapat melakukan kegiatan
belajar dan menambah ketrampilan, pengalaman.
8 Senang mencari dan  Siswa cenderung malas membaca Kemampuan siswa dalam senang mencari dan memecahkan
memecahkan masalah materi dan memecahkan masalah masalah masih rendah, hal ini dapat dilihat ketika guru
soal-soal yang diberikan guru. memberikan siswa permasalahan siswa cenderung tidak
memecahkan permasalahan tersebut, selain itu siswa
cenderung mudah menyerah ketika mengalami kesulitan
dalam mengerjakan soal.
Hamzah B. Uno(2011) menyatakan bahwa

14
motivasi belajar menentukan ketekunan dalam belajar
serta senang dalam memecahkan permasalahan

15
2. Keterampilan Proses Sains
Pendekatan keterampilan proses sains (KPS) merupakan pendekatan
pembelajaran yang berorientasi kepada proses BIOLOGI (sains) (Rustaman et
al 2003). Hal ini tidak berbeda jauh dengan pendapat Wartono (2003) yang
menyatakan bahwa pendekatan keterampilan proses sains merupakan
pendekatan pembelajaran yang dalam penyusunan strategi mengajarnya
mengembangkan keterampilan-keterampilan proses sains bersamaan dengan
fakta-fakta dan konsep-konsep serta prinsip dengan pendekatan keterampilan
proses sains.
KPS terdiri atas keterampilan-keterampilan dasar (basic skills) dan
keterampilan terintegrasi (integrated skills). Keterampilan-keterampilan dasar
meliputi enam keterampilan, yakni: mengobservasi, mengklasifikasi,
memprediksi, mengukur, menyimpulkan, mengomunikasikan, Sedangkan
keterampilan-keterampilan terintegrasi terdiri atas: mengidentifikasi variabel,
membuat tabulasi data, menyajikan data dalam bentuk grafik,
menggambarkan hubungan antar 12 variabel, mengumpulkan dan mengolah
data, menganalisis penelitian, menyusun hipotesis, mendefinisikan variabel
secara operasional, merancang penelitian dan melaksanakan eksperimen
(Dimyati dan Mudjiono, 2009).
Keterampilan proses terdiri atas sejumlah keterampilan yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan lainnya, namun ada penekanan khusus dalam masing-
masing keterampilan tersebut. Mundilarto dalam Widayanto (2007), membagi
keterampilan proses sains menjadi keterampilan proses dasar dan
keterampilan proses sains Biologi atau terintegrasi.
Berdasarkan pendapat Rustaman (2005), penulis lebih memilih pendapat
Rustaman, penulis lebih memilih indikator yang dikemukakan oleh Rustaman
karena pendapat tersebut mampu mewakili keterampilan proses sains yang
mendukung proses pembelajaran. Indikator keterampilan proses sains menurut
Rustaman adalah sebagai berikut:

16
Indikator Ketrampilan Proses Sains menurut Rustaman (2005)
Data Masalah
No Aspek Indikator Argumen
Hasil Observasi
1 Observasi  Menggunakan Dalam proses Dalam pembelajaran siswa masih kurang aktif untuk
sebanyak pembelajaran siswa mengaitkan materi yang sedang dipelajari dengan
mungkin indra belum mampu lingkungan sekitar.
mengaitkan materi Menurut Semiawan et al., (1990), keterampilan
dengan lingkungan proses adalah keterampilan fisik dan mental terkait
sekitar, kemampuan-kemampuan mendasar yang dimiliki,
dikuasai, dan diaplikasikan dalam suatu kegiatan ilmiah,
sehingga para ilmuan berhasil menemukan sesuatu yang
baru.
Pada saat pembelajaran berlangsung siswa belum
mampu menemukan fakta atau kenyataan dari setiap
pemramasalahan yang disampaikan oleh guru, siswa
masih mengalami miskonsepsi sehingga membuat siswa
 Saat pembelajaran menjadi semakin tidak paham terhadap materi.
masih ada siswa yang Keterampilan proses sains dapat juga diartikan
mengalami sebagai kemampuan atau kecakapan untuk

17
 Menggunakan miskonsepsi dalam melaksanakan suatu tindakan dalam belajar sains
fakta relevan mengutarakan sehingga menghasilkan konsep, teori, prinsip, hukum
pendapat, maupun fakta Mundilarto dalam Widayanto (2007

2 Klasifikasi  Mencatat setiap Siswa kurang teliti Dalam pembelajaran siswa kurang teliti dalam
pengamatan dalam mengamati suatu mengamati suatu pertanyaan maupun permasalahan
permasalahan dan yang diberikan oleh guru, siswa terlihat tidak peduli
cenderung acuh tak dengan pembelajaran
acuh Keterampilan memperoleh pengetahuan dapat
dikembangkan dengan menggunakan kemampuan olah
pikir atau psikis atau kemampuan olah perbuatan atau
fisik (Devi, 2010).
3 Intepretasi  Menemukan pola  Tidak teramati Dikarenakan instrumen yang digunakan belum tajam,
dalam 1 seri artinya tidak dapat digunakan untuk mengetahui
pengamatan indikator secara menyeluruh.

18
Dalam pembelajaran siswa belum mampu
menyampaikan kesimpulan sesuai dengan pembelajaran
 Menyimpulkan Siswa belum mampu dengan menggunakan kata-kata sendiri, siswa
menyimpulkan suatu cenderung mengungkapkan kesimpulan sesuai dengan
materi yang telah buku teks atau buku paket
disampaikan guru Dimyati & Mudjiono (2009) menjelaskan
dengan menggunakan keterampilan proses sebagai wawasan pengembangan
kata-kata sendiri keterampilan-keterampilan intelektual, sosial, dan fisik
yang bersumber dari kemamapuan-kemampuan
mendasar yang telah ada dalam diri.

4 Prediksi  Menggunakan  Tidak teramati Dikarenakan instrumen yang digunakan belum tajam,
pola/hasil artinya tidak dapat digunakan untuk mengetahui
pengamatan indikator secara menyeluruh.
Di dalam pembelajaran siswa belum berani
mengungkapkan apa yang menjadi permasalahan atau
 Mengemukakan Belum semua siswa belum berani bertanya kalau kurang jelas, sehingga
apa yang berani mengutarakan berakibat pada tingkat pengetahuan siswa yang kurang.

19
mungkin terjadi pendapat dan mampu Widya Tama, 2000 menyatakan bahwa KPS dapat
pada keadaan untuk mempertahankan mengembangkan dan menerapkan konsep sains.
yang belum pendapatnya,
diamati

5 Mengajukan  Bertanya apa, Masih banyak siswa Masih banyak siswa yang hanya pasif diam
pertanyaan bagaimana, yang tidak berani mendengarkan apa yang disampaikan oleh guru, apabila
mengapa bertanya pada saat siswa belum paham tentang materi yang disampaiakan,
 Bertanya untuk pembelajaran apabila belum ada siswa yang berani bertanya atau
mendapatkan ada materi yang kurang mengungkapkan pendapatnya di depan umum.
penjelasan jelas, Rustaman, (2005) ketrampilan proses sains melibatkan
ketrampilan kognitif dimana melibatkan ketrampilan
intelektual, manual dan sosial. Kemampuan intelektual
digunakan untuk berfikir misalnya mengukur, menyusun
dan menyimpulkan.
6 Berhipotesis  Mengetahui  Saat pembelajaran Dalam pembelajaran siswa sering terjadi miskonsepsi
bahwa ada lebih masih ada siswa yang atau kesalahan konsep yang mengakibatkan siswa

20
dari 1 mengalami cenderung tidak mengerti apa yang disampaikan oleh
kemungkinanpe miskonsepsi dalam guru.
njelasan dari 1 mengutarakan Keterampilan observasi menjadi keterampilan
kejadian pendapat, fundamental yang menjadi dasar utama dari
 Menyadari pertumbuhan sains. Dahar dalam Hidayat (2009),
bahwa suatu berpendapat bahwa keterampilan observasi merupakan
penjelasan perlu dasar dari pengembangan KPS yang lain, sehingga
diuji informasi yang diperoleh dari hasil observasi akan
kebenarannya menuntun siswa ke jenjang KPS yang lebih tinggi.
dengan
memperoleh
bukti
7 Merencanak  Menentukan Siswa kurang mampu Di dalam pembelajaran siswa belum mampu
an alat/bahan yang merancang atau menggunakan atau merancang percobaan sesuai dengan
percobaan digunakan merencanakan kegiatan prosedur yang telah ditetapkan oleh guru. Sehingga
eksperimen atau siswa keterampilan dalam menggunakan alat dan bahan
percobaan sederhana, di laboratorium terbilang masih rendah.
Menurut Dahar dalam Kurnia (2010), KPS
menggunakan alat dan bahan merupakan salah satu

21
keterampilan yang wajib dalam percobaan karena untuk
melakukan percobaan membutuhkan alat dan bahan.
Menurut Dahar dalam Kurnia (2010), KPS
menggunakan alat dan bahan merupakan salah satu
keterampilan yang wajib dalam percobaan karena untuk
melakukan percobaan membutuhkan alat dan bahan.
8 Menggunak  Mamakai  Siswa belum terampil Di dalam kegiatan praktikum siswa belum mampu
an alat dan alat/bahan menggunakan alat dan menggunakan alat dan bahan di laboratorium secara
bahan bahan di laboratorium tepat sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.

Di dalam kegiatan praktikum siswa juga belum


 Siswa belum mengetahui nama alat serta bahan yang digunakan,
mengetahui nama dan sehingga siswa juga tidak mengetahui fungsi dari
 Mengetahui kegunaan alat dan masing-masing alat dan bahan tersebut.
alasan mengapa bahan di laboratorium Hidayat (2009), bahwa observasi dikatakan berhasil
menggunakanalat jika siswa dapat menginformasikan dan
/bahan mengkomunikasikan hasil yang diperoleh dalam
percobaan.

22
9 Menerapkan  Menggunakan  Tidak teramati Dikarenakan instrumen yang digunakan belum tajam,
konsep konsep baru artinya tidak dapat digunakan untuk mengetahui
untuk indikator secara menyeluruh.
menjelaskan apa
yang terjadi

10 Mengkomu  Menyampaikan Siswa belum mampu Di dalam akhir praktikum pada saat siswa diminta untuk
nikasikan laporan sistematis melaporkan hasil menyampaikan hasil praktikum, banyak siswa yang
percobaan sesuai belum percaya diri menyampaikan hasil praktikum di
dengan permasalahan depan umum.
yang diberikan guru Rustaman, (2005) ketrampilan proses sains
secara tepat. melibatkan ketrampilan kognitif dimana melibatkan
ketrampilan intelektual, manual dan sosial. Kemampuan
intelektual digunakan untuk berfikir misalnya
mengukur, menyusun dan menyimpulkan.

23
3. Berpikir Kritis
Menurut Mustaji (2009) Berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan
dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang
harus dipercayai atau dilakukan. Proses pembelajaran yang dilaksanakan
perlu mempersiapkan siswa agar menjadi pemecah masalah yang tangguh,
pembuat keputusan yang matang, dan orang yang tidak pernah berhenti
belajar.
Berpikir kritis memiliki beberapa ciri-ciri atau kriteria dalam
penilaiannya. Untuk mengetahui apakah seseorang tersebut telah berpikir
secara kritis ataupun belum, sebenarnya hal tersebut sangatlah sulit untuk
diketahui karena berpikir kritis merupakan fenomena yang abstrak. Namun
demikian, Fahrudin Faiz (2012) telah menyusun ciri-ciri orang yang berpikir
kritis dalam hal pengetahuan, kemampuan, sikap, dan kebiasaan adalah
sebagai berikut: (1) menggunakan fakta-fakta secara tepat dan jujur; (2)
mengorganisasi pikiran dan mengungkapkannya dengan jelas, logis atau
masuk akal; (3) membedakan antara kesimpulan yang didasarkan pada logika
yang valid dengan logika yang tidak valid; (4) mengidentifikasi kecukupan
data; (5) menyangkal suatu argumen yang tidak relevan dan menyampaikan
argument yang relevan; (6) mempertanyakan suatu pandangan dan
mempertanyakan implikasi dari suatu pandangan; (7) menyadari bahwa fakta
dan pemahaman seseorang selalu terbatas; (8) mengenali kemungkinan keliru
dari suatu pendapat dan kemungkinan bias dalam pendapat.
Beyer (dalam Hassoubah, 2004) mengatakan bahwa keterampilan
berpikir kritis meliputi beberapa kemampuan sebagai berikut :
1. Menentukan kredibilitas suatu sumber
2. Membedakan antara yang relevan dari yang tidak relevan
3. Membedakan fakta dari penilaian
4. Mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi yang tidak terucapkan
5. Mengidentifikasi bias yang ada
6. Mengidentifikasi sudut pandang
7. Mengevaluasi bukti yang ditawarkan untuk mendukung pengakuan

24
Facione (1990) merumuskan beberapa karakteristik berpikir kritis
melalui kemampuan kognitif dan disposisi afektif. Kemampuan kognitif
terdiri dari kemampuan utama kognitif dan subkemampuan kognitif.
Kemampuan utama kognitif terdiri dari: 1) interpretasi (melakukan
katagorisasi, menjelaskan arti), 2) analisis (meneliti ide-ide, mengidentifikasi
dan menganalisis argumen), 3) evaluasi (menilai pendapat), 4) pengambilan
kesimpulan (mencari bukti dan alternatif, membuat kesimpulan), 5)
menjelaskan (menyatakan hasil, membenarkan prosedur, dan menyajikan.
Menurut Ennis (1996) indikator kemampuan berpikir kritis
dikelompokkan dalam lima aspek:
1. Memberikan penjelasan sederhana
 Memfokuskan pertanyaan
 Menganalisis pertanyaan
 Bertanya dan menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan atau
tantangan
2. Membangun ketrampilan dasar
 Mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak.
 Mengamati dan mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi
3. Menyimpulkan
 Mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi
 Menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi
 Membuat dan menentukan nilai pertimbangan
4. Membuat penjelasan lebih lanjut
 Mendefinisikan istilah dan pertimbangan dalam tiga dimensi
 Mengidentifikasi asumsi
5. Strategi dan taktik
 Berinteraksi dengan orang lain
 Menentukan tindakan
Berdasarkan bermacam pendapat ahlli diatas, penulis lebih memilih
pendapat Facione (2013), penulis lebih memilih indikator yang dikemukakan

25
oleh Facione(2013) karena pendapat tersebut mampu mewakili kemampuan
berpikir kritis siswa yang mencantumkan regulasi diri, pendapat tersebut
senada dengan Ennis(2000) yang menyatakan salah satu indikator orang
memiliki kemampuan berpikir kritis adalah mampu menyusun taktik dan
strategi. Kegatan monitoring siswa secara mandiri, dengan begitu
kemampuan berpikir kritis bukan hanya menjadi kemampuan berpikir akan
tetapi dapat dilatihkan untuk diaplikasikan dikehidupan sehari-hari. Indikator
kemampuan berpikir kritis menurut Facione adalah sebagai berikut:

26
Indikator Kemampuan Berpikir Kritis menurutFacione(2013)

Indikator
Data Masalah
No Aspek Kemampuan Argumen
Hasil Observasi
Berpikir kritis
1 Interpretasi  Melakukan  Siswa mudah lupa Dalam pembelajaran siswa sering lupa terhadap materi atau
kategorisasi ketika diberikan permasalahan yang sudah dipelajari, siswa juga mengalami
pertanyaan pada kesulitan untuk mengembangkan pertanyaan sesuai dengan
materi sebelumnya, permasalahan yang dihadapi Hal ini menandakan bahwa siswa
kurang fokus dalam pembelajaran
Di dalam pembelajaran Siswa mengalami kesulitan dalam
memahami pertanyaan yang diberikan oleh guru jika guru
memberikan suatu pertanyaan. Siswa menganggap pertanyaan
yang diberikan guru tidak pada intinya, yang menandakan
 Siswa sulit bahwa kemampuan menganalisis sebuah pertanyaan masih
memahami rendah.
 Menjelaskan pertanyaan yang Banyak siswa yang belum mampu menanggapi atau
arti diberikan oleh guru menjawab pertanyaan dari guru secara spontan, hal ini
menunjukkan bahwa kurangnya kesiapan dan kemampuan

27
berpikir kritis siswa
Setiawan dalam Santoso (2010) bahwa pembelajaran
yang meminta siswa untuk memahami atau merumuskan
masalah, tujuan dan hipotesis, serta menganalisis untuk
menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dapat
 Siswa belum mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa.
menjawab pertanyaan
spontan yang
 Bertanya dan diberikan guru secara
menjawab tepat sesuai dengan
pertanyaan materi,
tentang suatu
penjelasan

28
2 Evaluasi  Mempertim  Siswa cenderung Dalam proses pembelajaran siswa cenderung malas untuk
bangkan apakah malas membaca membaca materi dan kemampuan untuk mengembangakan
sumber dapat materi dan kemampuan berargumen juga masih rendah hal ini
dipercaya atau kemampuan menandakan bahwa siswa masih belum bisa
tidak berargumen atau mempertimbangkan sumber dapat dipercaya atau tidak
mengungkapkan
alasan untuk
memecahkan masalah
yang diberikan guru
masih rendah,

 Meneliti ide-ide

3 Analisis  Mengobservasi Siswa mengandalakan guru saat memberikan klarifikasi hasil


 Siswa belum mampu
dan praktikum karena siswa merasa sulit dalam mengambil data
melaporkan hasil
mempertimbangk praktikum. Hal ini yang menyebabkan siswa kurang terampil
percobaan sesuai
an/menganalisiss dalam mengumpulkan data praktikum sehingga kemampuan
dengan permasalahan

29
uatu laporan hasil yang diberikan guru mengobservasi dan mempertimbangkan suatu hasil observasi
observasi secara tepat masih rendah.
Curto dan Bayer (2005) menyatakan bahwa berpikir kritis
dapat dikembangkan dengan memperkaya pengalaman siswa
yang bermakna. Kegiatan praktikum yang menuntut
pengamatan terhadap fenomena akan menantang kemampuan
berpikir kritis siswa

30
4 Menyimpul  Mendeduksi dan  Siswa belum mampu Siswa masih kesulitan dalam menyimpulkan suatu hasil
kan mempertimbangk menyimpulkan suatu percobaan, siswa belum mampu menyimpulkan dengan
an hasil deduksi materi yang telah menggunakan bahasa sendiri.
disampaikan guru Tujuan berpikir kritis yang dikemukakan oleh Supriya
dengan menggunakan (2009), adalah untuk menilai suatu pemikiran, menaksir nilai
kata-kata sendiri, bahkan mengevaluasi pelaksanaan atau praktik dari suatu
pemikiran dan praktik tersebut. Selain itu, berpikir kritis
meliputi aktivitas mempertimbangkan berdasarkan pada
pendapat yang diketahui.
Siswa belum mampu merancang eksperimen dalam
percobaan. Dan belum mampu mengutarakan pendapat di
depan umum secara baik dan belum mampu mempertahankan
pendapatnya di depan umum.
 Siswa kurang mampu Hal ini menandakan bahwa kemampuan menginduksi dan
merancang kegiatan mempertahankan hasil induksi siswa masih rendah.
 Menginduksi dan eksperimen atau Santoso (2010) menyatakan bahwa melalui penarikan
mempertimbangk percobaan sederhana, kesimpulan yang dilakukan siswa akan lebih mampu untuk
an hasil induksi  Belum semua siswa meningkatkan kemampuan berpikir kritisnya.
berani mengutarakan Menurut Ennis (2011), berpikir kritis adalah berpikir

31
pendapat dan mampu secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pada
untuk pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau
mempertahankan dilakukan.
pendapatnya Menurut Muhfahroyin (2009), berpikir kritis adalah suatu
 Siswa hanya mencatat proses yang melibatkan operasi mental seperti deduksi
atau menyalin dan induksi, klasifikasi, evaluasi, dan penalaran.
cenderung menghafal
materi yang sudah
dicatat dengan tanpa
makna dan
pengertian.

5 Menjelaska  Mendefinisi  Siswa belum bisa Dalam aspek memberikan penjelasan lebih lanjut siswa belum
n istilah dan menggunakan bisa memecahkan suatu permasalahan maupun atau
mempertim penalarannya ketika menggunakan penalaran terhadap suatu materi ajar.
bangkan suatu guru menyampaikan
definisi dalam materi berupa kata-
tiga dimensi kata sendiri Kemampuan berpikir kritis adalah proses mental untuk
 Ketika guru menganalisis atau mengevaluasi informasi. Informasi tersebut

32
memberikan suatu bisa didapatkan dari suatu hasil pengamatan, pengalaman,
 Mengidentifi permasalahan siswa proses deduksi induksi, atau komunikasi (Prayoga, 2013).
kasi asumsi cenderung tidak
memecahkan
persoalan tersebut
6 Regulasi  Menentukan  Siswa kurang terampil Kemampuan siswa untuk mengembangkan kemampuan untuk
diri suatu tindakan mengembang berpendapat dan mengungkapkan masalah masih kurang,
kan pengetahuan siswa hanya sekedar meniru apa yang disampaikan guru.
sendiri dalam
mengungkap suatu
masalah karena
kebanyakan siswa
hanya meniru pada
apa yang disampaikan
oleh guru.
 Belum adanya
interaksi untuk saling Dalam kegiatan presentasi siswa hanya membacakan hasil
menanggapi antara pekerjaannya di depan umum tanpa bisa mengembangkan apa
siswa yang yang sudah ditulis, dan siswa lain belum mampu menanggapi

33
mengajukan argumen secara kritis terhadap apa yang disampaikan siswa yang
 Berinteraksi atau pendapat dengan presentasi.
dengan orang lain siswa yang lain, Menurut Redhana dan Liliasari (2008), pembelajaran yang
memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih
menggunakan sejumlah kemampuan berpikir kritis adalah
pembelajaran berbasis masalah.
Menurut Ennis (2011), berpikir kritis adalah berpikir
secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pada
pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau
dilakukan.

34
4. Sikap Ilmiah
Dimyati dan Mudjiono (2002) berpendapat bahwa sikap adalah motif
yang dipelajari. Ciri-ciri sikap yaitu merupakan kecenderungan berpikir,
merasa, kemudian bertindak; memiliki daya dorong bertindak; relatif bersifat
tetap; berkecenderungan melakukan penilaian; dapat timbul dari pengalaman;
dapat dipelajari atau berubah.
Menurut Muslich (2008) sikap ilmiah merupakan sikap yang harus ada
pada diri seorang ilmuwan atau akademisi ketika menghadapi persoalan-
persoalan ilmiah. Sikap ilmiah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Sikap ingin tahu yaitu sikap ingin tahu ini terlihat pada kebiasaan bertanya
tentang berbagai hal yangberkaitan dengan bidang kajiannya.
b. Sikap kritis yaitu sikap kritis ini terlihat pada kebiasaan mencari informasi
sebanyak mungkinberkaitan dengan bidang kajiannya untuk dibanding-
banding kelebihankekurangannya,kecocokan-tidaknya, kebenaran-
tidaknya, dan sebagainya.
c. Sikap terbuka yaitu sikap terbuka ini terlihat pada kebiasaan mau
mendengarkan pendapat,argumentasi, kritik, dan keterangan orang lain,
walaupun pada akhirnyapendapat, argumentasi, dan keterangan orang lain
tersebut tidak diterimakarena tidak sepaham atau tidak sesuai.
d. Sikap objektif yaitu sikap objektif ini terlihat pada kebiasaan menyatakan
apa adanya, tanpadiikuti perasaan pribadi.
e. Sikap rela menghargai karya orang lain yaitu sikap menghargai karya
orang lain ini terlihat pada kebiasaan menyebutkansumber secara jelas
sekiranya pernyataan atau pendapat yang disampaikanmemang berasal dari
pernyataan atau pendapat orang lain.
f. Sikap berani mempertahankan kebenaran yaitu sikap ini menampak pada
ketegaran membela fakta dan hasil temuanlapangan atau pengembangan
walapun bertentangan atau tidak sesuai denganteori atau dalil yang ada.
Sikap ilmiah merupakan salah satu bentuk kecerdasan yang dimiliki
oleh setiap individu. Sikap ilmiah siswa pada dasarnya tidak berbeda dengan
keterampilan-keterampilan lain (kognitif, sosial, proses, dan psikomotor).

35
(Fakhruddin, 2010). Adapun indikator sikap ilmiah tersebut adalah : 1) Sikap
ingin tahu, 2) Berpikir bebas, 3) Jujur, 4) Bekerja sama secara terbuka, dan 5)
Kedisiplinan. Muslich (2008) menyatakan bahwa sikap ilmiah merupakan
sikap yang harus ada pada diri seseorang ilmuan atau akademisi ketika
menghadapi persoalan-persoalan ilmiah. Harlen (1992) ada 9 aspek sikap
ilmiah, iaitu : Sikap ingin tahu, sikap ingin mendapat sesuatu yang baru, sikap
kerja sama, sikap tidak putus asa, sikap tidak berprasangka, sikap jujur, sikap
bertanggung jawab, sikap Berpikir bebas, dan sikap kedisiplinan diri.
Dimyati dan Mujiono (2002), dimensi sikap ilmiah yang diteliti dalam
penelitian ini adalah rasa ingin tahu yang tinggi, sikap jujur, sikap kritis,
sikap luwes, dan teliti. Dimensi dan indikator pencapaiannya adalah sebagai
berikut:
1. Sikap ingin tahu
Sikap berani siswa dalam bertanya
2. Sikap luwes
PartisBiologisi siswa dalam melakukan praktikum dan diskusi
3. Sikap kritis
siswa mempresentasikan hasil percobaan yang telah dilakukan di depan
kelas.
4. Sikap jujur
Tidak mencontek hasil LKK kelompok lain
5. Ketelitian
Siswa melakukan langkah-langkah percobaan dengan benar/ siswa dapat
menjawab LKK dengan benar.
Berdasarkan pendapat Dimyati dan Mujiyono (2002) penulis lebih
memilih pendapat Dimyati dan Mujiyono, penulis lebih memilih indikator
yang dikemukakan oleh Dimyati dan Mujiyono karena pendapat tersebut
mampu mewakili sikap ilmiah siswa yang mendukung proses pembelajaran.
Indikator sikap ilmiah menurut Dimyati dan Mujiyono adalah sebagai
berikut:

36
Indikator menurut Dimyati dan Mujiyono (2002)

Indikator Data Masalah


No Argumen
Sikap Ilmiah Hasil Observasi
1 Sikap ingin  Masih banyak siswa Di dalam pembelajaran siswa belum aktif bertanya kepada guru tentang materi
tahuSikap berani yang tidak berani yang kurang jelas, siswa cenderung hanya diam dan pasif di dalam kegiatan
siswa dalam bertanya pada saat pembelajaran.
bertanya pembelajaran
apabila ada materi
yang kurang jelas,
2 Sikap luwes  Siswa kurang Dalam kegiatan praktikum siswa kurang terampil dan luwes menggunakan
PartisBiologisi terampil dalam alat-alat laboratorium, karena dalam pembelajaran siswa jarang diajak untuk
siswa dalam menggunakan alat praktikum
melakukan laboratorium,
praktikum dan
diskusi
3 Sikap kritis  Siswa belum Dalam kegiatan presentasi, siswa hanya menyampaikan apa yang sudah dicatat
siswa mampu melaporkan tanpa bisa mengembangkan dengan menggunakan bahasa sendiri.
mempresentasikan hasil percobaan

37
hasil percobaan sesuai dengan
yang telah permasalahan yang
dilakukan di diberikan guru
depan kelas. secara tepat,
4 Sikap jujur  Pada saat Tingkat kejujuran siswa disaat mengerjakan tugas, ulangan maupun tes masih
Tidak mencontek mengerjakan tugas terbilang rendah, kebanyakan siswa hanya tergantung dan mencontek
hasil LKK siswa cenderung pekerjaan teman yang pandai atau teman yang sudah mengerjakan.
kelompok lain meminjam dan
mencontek tugas
dari siswa yang
rajin,
5 Ketelitian  Siswa kurang Siswa mengalami kesulitan dalam kegiatan praktikum, siswa kurang teliti
Siswa melakukan mampu merancang dalam menggunakan alat maupun bahan sehingga banyak terjadi kesalahan-
langkah-langkah kegiatan kesalahan dalam kegiatan praktikum.
percobaan dengan eksperimen atau
benar/ siswa dapat percobaan
menjawab LKK sederhana,
dengan benar.

38
5. Kemampuan Metakognisi Siswa
Istilah metakognisi pertama kali diperkenalkan oleh John Flavell pada
tahun 1976. John Flavell, mendefinisikan metakognisi sebagai kesadaran
peserta didik, pertimbangan, pengontrolan terhadap proses serta strategi
kognisi milik dirinya. Metakognisi memiliki peran penting dalam
pembelajaran matematika dan dalam pemecahan masalah matematika. Terkait
dengan hal tersebut, metakognisi merupakan suatu kesadaran peserta didik
(awarenes), pertimbangan (consideration), dan pengontrolan atau
pemantauan terhadap strategi serta proses kognitif diri mereka sendiri (Jeny
Wilson, 2004).
Menurut Husamah dan Yanur (2011), metakognisi adalah suatu kata
yang berkaitan dengan apa yang diketahui tentang dirinya sebagai individu
yang belajar dan bagaimana dia mengontrol serta menyesuaikan perilakunya.
Seseorang perlu menyadari kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya.
Metakognisi adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri,
sehingga apa yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal. Dengan
kemampuan seperti ini, seseorang dimungkinkan memiliki kemampuan tinggi
dalam memecahkan masalah, sebab disetiap langkah yang ia kerjakan
senantiasa muncul pertanyaan : Apa yang saya kerjakan?,Mengapa saya
mengerjakan ini?, Hal apa yang membantu saya untuk menyelesaikan
masalah ini?
Menurut Laily Agustina Mahromah (2013), berikut ini indikator-
indikator yang digunakan untuk mengukur metakognisi peserta didik yaitu :
1. Aspek Perencanaan, Indikator yang digunakan dalam mengukur
metakognisi pada aspek ini adalah:
a. Kemampuan peserta didik dalam memahami masalah
b. Kemampuan peserta didik dalam merencanakan strategi penyelesaian
masalah
2. Aspek Pemantauan, Indikator yang digunakan dalam mengukur
metakognisi pada aspek ini adalah:

39
a. Kemampuan peserta didik dalam menyadari hal-hal yang sedang
dBiologintau dalam menyelesaikan masalah
3. Aspek Penilaian, Indikator yang digunakan dalam mengukur metakognisi
pada aspek ini adalah: Kemampuan dalam melakukan evaluasi dalam
penyelesaian masalah.
Berdasarkan pendapat Laily Agustina Mahromah (2013), penulis lebih
memilih pendapat Laily Agustina Mahromah, penulis lebih memilih indikator
yang dikemukakan oleh Laily Agustina Mahromah karena pendapat tersebut
mampu mewakili kemampuan metakognisi siswa yang mendukung proses
pembelajaran. Indikator sikap ilmiah menurut Laily Agustina
Mahromahadalah sebagai berikut:

40
Indikator menurut Laily Agustina Mahromah (2013)

Indikator
Data Masalah
No Kemampuan Argumen
Hasil Observasi
Metakognisi
1 Aspek  Siswa mengalami Dalam kegiatan merencanakan praktikum siswa masih mengalami kesulitan hal
perencanaan kesulitan dalam tersebut dikarenakan siswa kurang memperhatikan ketika dijelaskan oleh guru
merencanakan atau pada pertemuan sebelumnya.
merancang kegiatan Brown (Weinert dan Kluwe, 1987) mengemukakan bahwa proses atau
praktikum keterampilan metakognitif memerlukan operasi mental khusus dimana
seseorang dapat memeriksa merencanakan, membuat perencanaan untuk
mendapatkan suatu permasalahan yang dipelajari,
2 Aspek  Siswa kurang teliti Dalam mengatasi suatu permasalahan siswa masih mengalami kesulitan, siswa
pemantauan dalam mengamati cenderung acuh dan tidak peduli terhadap maslah pembelajaran yang sedang
suatu permasalahan dihadapi.
dan cenderung acuh Metakognisi berhubungan dengan apa yang orang ketahui tentang kognisi
tak acuh, secara umum dan mengenai proses memori dan kognitif mereka secara khusus
dan bagaimana mereka memahami dan menguasai materi pelajaran
menggunakan pengetahuan untuk mengatur proses informasi dan perilaku

41
(Koriat, 2002).
3 Aspek penilaian  Siswa belum mampu Diakhir pembelajaran siswa belum mampu menyimpulkan hasil pembelajaran
menyimpulkan suatu secara tepat, siswa hanya membacakan hasilnya sesuai dengan buku tanpa
materi yang telah mampu mengembangkan dengan menggunakan bahasa sendiri.
disampaikan guru
dengan
menggunakan kata-
kata sendiri,
 Saat pembelajaran
masih ada siswa
yang mengalami
miskonsepsi dalam
mengutarakan
pendapat,

42
6. Kemampuanberkomunikasi
Istilah komunikasi atau dalam Bahasa Inggris communication berasal
dari kata latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti
sama dalam hal pemaknaan (Uchjana Effendy, 1999: 9). Komunikasi adalah
pertukaran pesan verbal maupun non verbal antara si pengirim dengan si
penerima pesan untuk mengubah tingkah laku (Arni Muhammad, 2000: 5).
Proses komunikasi yang terjadi merupakan proses yang timbal balik karena si
pengirim dan si penerima saling mempengaruhi satu sama lain. Sedangkan
pengertian yang lain dari komunikasi adalah memberikan informasi, pesan,
gagasan, ide, pikiran, perasaan, kepada orang lain dengan maksud agar orang
lain berpartisBiologisi yang pada akhirnya informasi, pesan, gagasan, ide,
pikiran, perasaan tersebut menjadi milik bersama antar komunikator dan
komunikan (Karti Soeharto, 1995: 11).
Menurut Sumarno (2004) indikator yang menunjukkan keterampilan
komunikasi adalah:
a. Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide ;
b. Menjelaskan ide, situasi dan relasi matematik, secara lisan atau tulisan
dengan benda nyata, gambar, grafik dan aljabar;
c. menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau symbol matematik;
d. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang ;
e. Membaca dengan pemahaman suatu presentasi tertulis.
Indikator keterampilan komunikasi menurut Hutagalung (2007: 71-
72), yaitu
a. Mendengarkan pembicaraan dengan penuh konsentrasi, meyakinkan diri
bahwa isi pembicaraan yang dilakukan perlu, dan menyimak segala
sesuatu yang dikatakan oleh lawan bicara;
b. Ikut aktif dalam pembicaraan, merespon apa yang dikatakan lawan
pembicara;
c. Bertanya, apabila isi yang dibicarakan tidak dimengerti, maka harus
mengajukan pertanyaan;

43
d. Descriminating, mendengarkan isi pembicaraan secara kritis tanpa
memilih-milih informasi yang harus didengar;
e. Affective listening, mendengarkan pembicaraan dengan rasa suka.
Berdasarkan pendapat Hutagalung (2007), penulis lebih memilih
pendapat Hutagalung, penulis lebih memilih indikator yang dikemukakan
oleh Hutagalung karena pendapat tersebut mampu mewakili kemampuan
berkomunikasi siswa yang mendukung proses pembelajaran. Indikator sikap
ilmiah menurut Hutagalung adalah sebagai berikut:

44
Indikator menurut Hutagalung (2007)

Indikator
Data Masalah
No Kemampuan Argumen
Hasil Observasi
berkomunikasi
1 Mendengarkan  Banyak siswa yang Dalam kegiatan pembelajaran siswa belum mengikuti pembelajaran dengan
pembicaraan dengan cenderung penuh konsentrasi, siswa cenderung masih mengobrol dengan teman
penuh konsentrasi, berbicara sendiri sebangkunya ketika pelajaran sudah dimulai.
meyakinkan diri bahwa atau mengobrol Di sekolah, siswa dituntut untuk bisa beradaptasi dan bergaul dengan
isi pembicaraan yang dengan teman lingkungan sekolah. Seperti bergaul dengan siswa lain, dengan guru dan
dilakukan perlu, dan sebangkunya dan menyesuaikan diri dengan aturan atau keadaan sekolah. Oleh karena itu
menyimak segala tidak fokus ketika kemampuan komunikasi siswa harus dioptimalkan karena hal tersebut
sesuatu yang dikatakan pembelajaran penting untuk membantu proses adaptasi dan bergaulnya.
oleh lawan bicara; berlangsung,
2 Ikut aktif dalam  Belum adanya Dalam merespon lawan bicara siswa masih mengalami
pembicaraan, merespon interaksi untuk kesulitan, hal ini dipengaruhi oleh tingkat pemahaman siswa
apa yang dikatakan saling menanggapi terhadap materi dan apa yang disampaikan oleh guru.
lawan pembicara antara siswa yang Menurut Santrock (2008), terdapat tiga aspek utama dari
mengajukan komunikasi dalam pembelajaran, yaitu keterampilan berbicara,

45
argumen atau mendengar dan komunikasi nonverbal. Berbicara di hadapan kelas
pendapat dengan dan di hadapan siswa harus dapat mengkomunikasikan informasi
siswa yang lain, secara jelas. Kejelasan dalam berbicara penting agar pengajaran
yang dilakukan oleh guru dan proses belajar yang diikuti siswa
dapat berjalan responsive.
3 Bertanya, apabila isi  Masih banyak Apabila ada materi yang kurang jelas siswa enggan untuk bertanya, siswa
yang dibicarakan tidak siswa yang tidak cenderung hanya diam dan tidak memiliki keberanian dalam bertanya, ini
dimengerti, maka harus berani bertanya membuat motivasi belajar dan kemampuan berkomunikasi menjadi rendah.
mengajukan pada saat Sebagai mana yang diungkapkan oleh Gagne yang dikutip oleh
pertanyaan; pembelajaran Abdul Majid (2008:69) Siswa sadar akan tujuan yang harus dicapai
apabila ada materi dan bersedia melibatkan diri. Hal ini sangat berperan karena siswa
yang kurang jelas, harus berusaha untuk memeras otaknya sendiri. Kalau kadar
motivasinya rendah siswa akan cenderung membiarkan
permasalahan yang diajukan. Maka peran guru dalam hal ini adalah
menimbulkan motivasi siswa dan menyadarkan siswa akan tujuan
pembelajaran yang harus dicapai.
4 Descriminating,  Siswa kurang aktif Kemampuan menyerap pembelajaran siswa tergolong masih rendah, siswa
mendengarkan isi dalam hanya menyerap materi yang dianggap menarik sedangkan materi yang
pembicaraan secara pembelajaran lebih penting tidak diperhatikan.

46
kritis tanpa memilih- siswa hanya Bentuk komunikasi interpersonal antara guru dengan guru, guru
milih informasi yang mendengarkan dan dengan siswa, dan siswa dengan siswa merupakan kondisi yang
harus didengar; mencatat apa yang memungkinkan berlangsung proses belajar mengajar yang efektif,
disampaikan guru, karena setiapa orang diberi kesempatan untuk terlibat dalam
pembelajaran. Sehingga timbul situasi sosial dan emosional yang
menyenangkan pada tiap personal, baik guru maupun siswa dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawab masing-masing.
5 Affective listening,  Siswa kurang teliti Dalam kegiatan mendengarkan pembelajaran siswa terkadang tidak fokus
mendengarkan dalam mengamati dan teliti dalam mendengarkan apa yang disampaikan oleh guru, ini
pembicaraan dengan suatu membuat tingkat pemahaman materi siswa menjadi rendah.
rasa suka. permasalahan dan Guru harus menempatkan usaha memotivasi siswa pada
cenderung acuh tak perencanaan pembelajarannya. Sebagai mana yang diungkapkan
acuh, oleh Gagne yang dikutip oleh Abdul Majid (2008:69) Siswa sadar
akan tujuan yang harus dicapai dan bersedia melibatkan diri. Hal ini
sangat berperan karena siswa harus berusaha untuk memeras
otaknya sendiri. Kalau kadar motivasinya rendah siswa akan
cenderung membiarkan permasalahan yang diajukan.

47
7. Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan bagian terpenting dalam pembelajaran. Nana
Sudjana (2009) mendefinisikan hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah
perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang lebih luas
mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dimyati dan Mudjiono
(2006) juga menyebutkan hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi
tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri
dengan proses evaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan
berakhirnya pengajaran dari puncak proses belajar.
Sistem pendidikan nasional dan rumusan tujuan pendidikan; baik tujuan
kurikuler maupun tujuan instruksional pada umumnya menggunakan
klasifikasi hasil belajar Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi
tiga ranah, ranah kognitif, afektif, dan psikomotoris. Ranah kognitif
berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek,
yakni: knowledge (pengetahuan), comprehension (pemahaman), aplikasi,
analisis, sintesis, dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat
rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi. Ranah
afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni:
penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.
Ranah psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan
kemampuan bertindak yang terdiri atas enam aspek, yakni: gerakan refleks,
keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan atau
ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, dan gerakan ekspresif dan
interpretatif (Sudjana, 2005).

48
Data Masalah
Argumen
Hasil Observasi
 Pencapaian nilai KKM UTS Belum tercapainya nilai KKM siswa dan nilai ulangan harian yang masih rendah menndakan
semester genap masih bahwa hasil belajar kognitif siswa masih rendah.
rendah yaitu haynya 40% Menurut Catharina Tri Anni (2002:4) hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang
dari jumlah siswa diperoleh pembelajar setelah mengalami aktivitas belajar. Hasil belajar juga merupakan
 Nilai ulangan harian dan kemampuan yang diperoleh siswa setelah melalui kegiatan belajar (H. Nashar, 2004: 77)
tugas siswa rata-rata rendah Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar banyak jenisnya, tetapi dapat digolongkan
menjadi dua golongan yaitu saja, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern adalah
faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar, sedangkan faktor ekstern adalah
faktor yang ada di luar individu. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu
yang sedang belajar. Faktor internal meliputi: faktor jasmaniah, faktor psikologis dan faktor
kelelahan. Faktor eksternal adalah faktor yang ada di luar individu. Faktor eksternal
meliputi: faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor masyarakat (Slameto, 2010).
Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan menggunakan klasifikasi hasil
belajar dari Benyamin S. Bloom dalam Catharina Tri Ani (2006:7-12) secara garis besar
membaginya menjadi tiga ranah, yaitu:
a. Ranah Kognitif
Ranah kognitif berkaitan dengan kemampuan intelektual seseorang. Hasil belajar kognitif

49
melibatkan siswa kedalam proses berpikir seperti mengingat, memahami,menerapkan,
menganalisa sintesis dan
evaluasi.
b. Ranah Afektif
Ranah afektif berkaitan dengan kemampuan yang berkenaan dengan
sikap, nilai perasaan dan emosi. Tingkatan-tingkatannya aspek ini dimulai dari yang
sederhana sampai kepada tingkatan yang kompleks, yaitu penerimaan, penanggapan
penilaian, pengorganisasian, dan karakterisasi nilai.
c. Ranah Psikomotor
Ranah Psikomotor berkaitan dengan kemampuan yang menyangkut gerakan-gerakan otot.
Tingkatan-tingkatan aspek ini, yaitu gerakan refleks keterampilan pada gerak dasar
kemampuan perseptual, kemampuan dibidang pisik, gerakan-gerakan skil mulai dari
keterampilan sederhana sampai kepada keterampilan yang kompleks dan kemampuan yang
berkenaan dengan non discursive komunikasi seperti gerakan ekspresif dan interpretative.
Seseorang dapat dikatakan telah belajar sesuatu apabila dalam dirinya telah terjadi suatu
perubahan, akan tetapi tidak semua perubahan yang terjadi. Jadi hasil belajar merupakan
pencapaian tujuan belajar dan hasil belajar sebagai produk dari proses belajar, maka didapat hasil
belajar (Setyowati, 2007)

50
8. Media Pembelajaran
Media pembelajaran adalah sarana penyampaian pesan pembelajaran
kaitannya dengan model pembelajaran langsung yaitu dengan cara guru berperan
sebagai penyampai informasi dan dalam hal ini guru seyogyanya menggunakan
berbagai media yang sesuai. Media pembelajaran adalah alat bantu proses belajar
mengajar. Segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk merangsang pikiran,
perasaan, perhatian dan kemampuan atau ketrampilan pebelajar sehingga dapat
mendorong terjadinya proses belajar. Menurut Heinich yang dikutip oleh Azhar
Arsyad (2011), media pembelajaran adalah perantara yang membawa pesan atau
informasi bertujuan instruksional atau mengandung maksud-maksud pengajaran
antara sumber dan penerima.
Menurut Azhar Arsyad (2011) fungsi utama media pembelajaran adalah
sebagai alat bantu mengajar yang turut mempengaruhi iklim, kondisi, dan
lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan oleh guru. Sedangkan menurut
Hamalik (dalam Azhar Arsyad, 2011) bahwa pemakaian media pembelajaran
dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang
baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan
membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa.

51
Data Masalah
Argumen
Hasil Observasi
 Keterbatasan media Di sekolah ketersediaan media merupakan hal yang sangat penting untuk menunjang proses dan
pembelajaran yang keberhasilan dalam pembelajaran, akan tetapi keterbatasan media pembelajaran membuat siswa kurang
ada di sekolah termotivasi dan cenderung menganggap pembelajaran menjadi membosankan, hal itu akan berdampak
membuat proses terhadap hasil dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.
belajar mengajar di Gagne & Briggs dalam Arsyad (2002) mengemukakan bahwa media pembelajaran meliputi alat yang
kelas terlihat secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pembelajaran yang terdiri dari, antara lain: buku,
membosankan dan tape-recorder, kaset, video kamera, video recorder, film, slide (gambar bingkai), foto, gambar, grafik,
motivasi belajar siswa televisi, dan komputer.
menjadi rendah, Robert Hanick dkk yang disitir oleh Benni Agus Pribadi (1996) mendefinisikan media adalah sesuatu
karena guru hanya yang membawa informasi antara sumber (source) dan penerima (receiver) informasi. Masih dalam sudut
menggunakan metode yang sama, Kemp dan Dayton mengemukakan, peran media dalam proses komunikasi sebagai alat
ceramah pada saat pengirim (transfer) yang mentransmisikan pesan dari pengirim (sender) kepada penerima pesan atau
proses pembelajaran. informasi (receiver) Pemanfaatan media pengajaran pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan
efisiensi dan efektivitas pengajaran. Dengan bantuan media, siswa diharapkan menggunakan sebanyak
mungkin alat inderanya untuk mengamati, mendengar, merasakan, meresapi, menghayati dan pada
akhirnya memiliki sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan sebagai hasil belajar (Umar, 2013).
Menurut Strauss dan Frost dalam Dina Indriana (2011) , mengidentifikasikan sembilan faktor kunci yang

52
harus menjadipertimbangan dalam memilih media pengajaran. Kesembilan faktor kuncitersebut antara lain
batasan sumber daya institusional, kesesuaian mediadengan mata pelajaran yang diajarkan, karakteristik siswa
atau anakdidik, perilaku pendidik dan tingkat keterampilannya, sasaranpembelajaran mata pelajaran, hubungan
pembelajaran, lokasipembelajaran, waktu dan tingkat keragaman media.

53
9. Sumber atau Bahan Ajar
Bahan ajar adalah seperangkat sarana atau alat pembelajaran yang
berisikan materi pembelajaran, metode, batasan-batasan, dan cara
mengevaluasi yang didesain secara sistematis dan menarik dalam rangka
mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu mencapai kompetensi atau
subkompetensi dengan segala kompleksitasnya (Widodo dan Jasmadi dalam
Lestari, 2013).
Data Masalah
Argumen
Hasil Observasi
Sumber belajar dan bahan Proses pembelajaran harus didukung adanya buku
ajar yang digunakan siswa ataupun bahan ajar yang dapat digunakan siswa belajar
masih mengandalkan LKS mandiri, akan tetapi di SMAN 7 Surakarta masih
dari penerbit yang berisi mengandalkan LKS dari penerbit yang hanya berisi
soal-soal soal-soal dan ringkasan materi saja, sehingga pada
 Guru juga hanya kenyataanya siswa cenderung hanya belajar
menggunakan LKS dan mengerjakan soal darBiologida memperdalam materi
Buku ajar dari penerbit yang sudah diajarkan guru di dalam kelas.
sebagai sumber dan bahan Ada beragam bentuk buku, baik yang digunakan
ajar dalam proses untuk sekolah maupun perguruan tinggi, contohnya
pembelajaran buku referensi, modul ajar, buku praktikum, bahan ajar,
 Bacaan siswa hanya dan buku teks pelajaran. Jenis-jenis buku tersebut
terpaku pada buku paket tentunya digunakan untuk mempermudah peserta didik
yang nantinya harus untuk memahami materi ajar yang ada di dalamnya.
dikembalikan ke Bahan ajar yang efektif digunakan dalam pembelajaran
perpustakaan adalah bahan ajar yang memiliki beberapa karakteristik,
yaitu self instructional, self contained, stand alone,
adaptive, dan user friendly (Widodo dan Jasmadi dalam
Lestari, 2013).

54
10. Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran adalah proses yang di dalamnya terdapat kegiatan
interaksi antara guru-siswa dan komunikasi timbal balik yang berlangsung
dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan belajar (Rustaman, 2001).
Dalam proses pembelajaran, guru dan siswa merupakan dua komponen yang
tidak bisa dipisahkan. Antara dua komponen tersebut harus terjalin interaksi
yang saling menunjang agar hasil belajar siswa dapat tercapai secara optimal.
Data Masalah
Argumen
Hasil Observasi
Proses pembelajaran Di dalam proses pembelajaran
masih dilakukan dengan masih berpusat pada guru, dimana
menggunakan metode guru yang berbicara panjang lebar
ceramah dan guru belum menyampaikan materi atau yang lebih
menekankan konsep dan dikenal dengan ceramah,
aplikasi BIOLOGIdalam pembelajaran yang bersifat ceramah
pembelajaran dan ini membuat siswa kurang aktif, siswa
kehidupan sehari-hari hanya diam dan mencatat apa yang
guna mewujudkan disampaikan atau yang dituliskan guru
pembelajaran yang efektif di papan tulis tanpa makna, siswa
Guru mengalami kesulitan cenderung bosan dengan pelajaran
untuk mengembangkan yang bersifat konvensional.
bahan ajar dan percobaan Undang-Undang Republik
sederhana yang diterapkan Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
dalam BIOLOGIBiologi tentang Sistem Pendidikan Nasional,
menjelaskan bahwa pembelajaran
adalah proses interaksi peserta didik
dengan pendidik dan sumber belajar
pada suatu lingkungan belajar.
Menurut Hamzah B. Uno (2008)
merumuskan danmenulis tujuan-
tujuan pengajaran merupakan satu

55
tahap dalam prosesdesain pengajaran.
Tujuan merupakan dasar untuk
mengukur hasilpengajaran, yang dapat
dijadikan landasan dalam menentukan
strategipembelajaran.
Sejalan dengan pendapat diatas Robert F.
Mager dalam Hamzah B. Uno (2008)
menyatakan bahwa “tujuan
pembelajaranadalah perilaku yang hendak
dicapai atau yang dapat dikerjakan olehsiswa
pada kondisi dan tingkat kompetensi
tertentu”. Sedangkan menurut Oemar
Hamalik (2005), menjelaskan bahwa
tujuanpembelajaran adalah suatu deskripsi
menyerupai tingkah laku yangdiharapkan
tercapai siswa setelah berlangsung
pembelajaran.

11. Sarana dan Prasarana


Fasilitas belajar identik dengan sarana prasarana pendidikan. Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Nasional Pendidikan, Bab
VII Standar Sarana dan Prasarana, menegaskan bahwa (1) Setiap satuan
pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan
pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber ajar lainnya, (2) setiap
satuan pendidikan wajib memiliki sarana meliputi lahan, ruang kelas, ruang
pendidik, ruang tata usaha, perpustakaan, tempat olahraga, tempat beribadah,
tempat bermain, kantin, dan tempat lain yang diperlukan untuk menunjang
proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
Data Masalah
Argumen
Hasil Observasi
Sekolah sebenarnya sudah Sarana dan prasarana yang kurang

56
memiliki laboratorium Biologi, memadai juga akan membuat proses
tetapi alat atau sarana prasarana belajar mengajar terganggu, kurang
pendukung belum memadai dan lengkapnya sarana dan prasarana yang
masih minim, sehingga ada di laboratorium dan perpustakaan
mengakibatkan guru jarang berdampak dari segi menjadi
melakukan praktikum. rendahnya keterampilan siswa dalam
Jumlah buku literatur bereksperimen, siswa kurang terampil
BIOLOGIBiologi yang ada di merancang kegiatan praktikum dan
perpustakaan masih minim. siswa kesulitan menggunakan alat-alat
laboratorium, selain itu jumlah buku
yang tersedia di perpustakaan sebagai
penunjang pembelajaran juga masih
kurang, hal ini akan berdampak dari
segi pengetahuan siswa juga menjadi
rendah.
Standar sarana prasarana
pendidikan setiap satuan
pendidikan wajib memiliki
sarana yang meliputi perabot,
peralatan pendidikan, media
pendidikan, buku dan sumber
belajar lainnya, serta
perlengkapan lainnya yang
diperlukan untuk menunjang
proses pembelajaran yang
teratur dan
berkelanjutan. Setiap satuan
pendidikan wajib memiliki prasarana
yang meliputi lahan, ruang kelas,
ruang pimpinan, ruang pendidik, ruang
tatausaha, perpustakaan, laboratorium,

57
ruang bengkel kerja, ruang unit
produksi, kantin, tempat olahraga,
tempat ibadah, tempat bermain, dan
tempat lainnya yang diperlukan untuk
menunjang proses pembelajaran yang
teratur dan berkelanjutan.
Menurut Bafadal (2003:2)
sarana pendidikan adalah
semua perangkat, peralatan,
bahan dan perabot yang secara
langsung digunakan dalam
proses pendidikan di sekolah.
Sedangkan prasarana
pendidikan adalah semua
kelengkapan dasar yang secara
tidak langsung menunjang
pelaksanaan proses pendidikan
di sekolah.
Pengelolaan sarana
prasarana yang baik akan
menunjang kelancaran dalam
proses pembelajaran sebab
tersedianya sarana prasarana
siap pakai
saatdibutuhkan.Pengelolaan
sarana dan prasarana sangat
penting dalam dunia
pendidikan, karena dengan
adanya pengelolaan yang baik
maka sarana dan prasarana
akan dapat di gunakan dengan

58
jangka waktu yang lebih lama,
selain itu pengelolaan sarana
dan prasarana bertujuan agar
tercipta suatu kondisi yang
kondusif, nyaman dan aman
dalam proses pembelajaran
(Rosivia,2014).

12. Evaluasi Pembelajaran


Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara
nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan, diantaranya terhadap peserta didik,
lembaga, dan program pendidikan. Dalam arti luas, evaluasi adalah suatu
proses merencanakan, memperoleh, dan menyediakan informasi yang sangat
diperlukan untuk membuat alternatif-alternatif keputusan.
Data Masalah
Argumen
Hasil Observasi
 Cara penilaian guru Penilaian hasil belajar siswa pada
dalam proses jenjang pendidikan dasar dan menengah
pembelajaran belum didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai
autentik. berikut:
 Guru hanya menilai 1. sahih, berarti penilaian didasarkan pada
berdasarkan hasl yang data yang mencerminkan kemampuan
dikerjakan siswa soal- yang diukur.
soal dalam LKS 2. objektif, berarti penilaian didasarkan pada
prosedur dan kriteria yang jelas, tidak
dipengaruhi subjektivitas penilai.
3. adil, berarti penilaian tidak
menguntungkan atau merugikan siswa
karena berkebutuhan khusus serta

59
perbedaan latar belakang agama, suku,
budaya, adat istiadat, status sosial
ekonomi, dan gender.
4. Biologi, berarti penilaian oleh pendidik
merupakan salah satu komponen yang tak
terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.
5. terbuka, berarti prosedur penilaian, kriteria
penilaian, dan dasar pengambilan
keputusan dapat diketahui oleh pihak yang
berkepentingan.
6. menyeluruh dan berkesinambungan,
berarti penilaian oleh pendidik mencakup
semua aspek kompetensi dengan
menggunakan berbagai teknik penilaian
yang sesuai, untuk memantau
perkembangan kemampuan siswa.
7. sistematis, berarti penilaian dilakukan
secara berencana dan bertahap dengan
mengikuti langkah-langkah baku.
8. beracuan kriteria, berarti penilaian
didasarkan pada ukuran pencapaian
kompetensi yang ditetapkan.
9. akuntabel, berarti penilaian dapat
dipertanggungjawabkan, baik dari segi
teknik, prosedur, maupun hasilnya.

V. Penetapan Masalah
Dari berbagai macam masalah di atas, masalah yang ditetapkan penelitiuntuk
diselesaikan adalah kemampuan berpikir kritis. Beberapa alasan dalam
penetapan masalah adalah sebagai berikut :

60
a. Alasan memilih masalah berpikir kritis
Ada beberapa alasan terkait dengan pemilihan masalah yaitu tentang
kemampuan berpikir kritis yaitu antara lain:
1) Kenyataan yang ada di sekolah
Kemampuan berpikir kritis siswa menjadi salah satu masalah
yang harus segera diselesaikan karena terkait terhadap tujuan yang
akan dicapai dalam kegiatan pembelajaran. Tujuan yang akan
dicapai dalam proses pembelajaran adalah untuk mendapatkan hasil
belajar yang maksimal sesuai dengan rencana. Dalam
pengelompokan masalah berdasarkan hasil observasi, dapat dilihat
bahwa kemampuan berpikir kritis siswa masih sangat rendah. Dalam
proses pembelajaran, nampaknya belum banyak guru yang
menciptakan kondisi dan situasi yang memungkinkan siswa untuk
melakukan proses berpikir kritis. Hal ini terlihat dari kegiatan guru
dan siswa pada saat kegiatan belajar-mengajar. Guru hanya
menjelaskan apa yang telah disiapkan dan memberikan soal latihan
yang bersifat rutin dan prosedural. Siswa hanya mencatat atau
menyalin dan cenderung menghafal materi yang sudah dicatat
dengan tanpa makna dan pengertian.
Siswa mudah lupa ketika diberikan pertanyaan pada materi
sebelumnya, siswa belum mampu menjawab pertanyaan spontan
yang diberikan guru secara tepat sesuai dengan materi, siswa
cenderung malas membaca materi dan kemampuan berargumen atau
mengungkapkan alasan untuk memecahkan masalah yang diberikan
guru masih rendah,siswa belum mampu melaporkan hasil percobaan
sesuai dengan permasalahan yang diberikan guru secara tepat, siswa
belum mampu menyimpulkan suatu materi yang telah disampaikan
guru dengan menggunakan kata-kata sendiri, siswa kurang mampu
merancang kegiatan eksperimen atau percobaan sederhana, belum
semua siswa berani mengutarakan pendapat dan mampu untuk
mempertahankan pendapatnya, siswa hanya mencatat atau menyalin

61
dan cenderung menghafal materi yang sudah dicatat dengan tanpa
makna dan pengertian, siswa kurang terampil mengembangkan
pengetahuan sendiri dalam mengungkap suatu masalah karena
kebanyakan siswa hanya meniru pada apa yang disampaikan oleh
guru, belum adanya interaksi untuk saling menanggapi antara siswa
yang mengajukan argumen atau pendapat dengan siswa yang lain.

2) Permasalahan bersifat Nasional dan Internasional


Shodig (2007), menambahkan bahwa proses pembelajaran yang
terjadi di kelas kurang meningkatkan kemampuan berpikir tingkat
tinggi dan kurang berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari.
Hal tersebut ditandai dengan:
a) Karakteristik pembelajaran lebih mengacu pada tujuan jangka
pendek (lulus ujian sekolah), lebih fokus pada kemampuan
prosedural, komunikasi satu arah, lebih dominan soal rutin dan
pertanyaan tingkat rendah
b) Hasil Video Study menunjukkan bahwa ceramah menjadi metode
yang paling baik digunakan selama mengajar, waktu siswa untuk
Problem Solving hanya 32% dari seluruh waktu di kelas dan
sebagian besar guru memberikan soal rutin.
Dari beberapa pendapat di atas, salah satu penyebab lemahnya
kemampuan berpikir kritis siswa adalah pembelajaran BIOLOGI di
Indonesia yang masih menggunakan pembelajaran konvensional,
yaitu pembelajaran yang hanya berpusat pada guru, yaitu guru
menjelaskan materi melalui metode ceramah, sedangkan murid-
murid hanya diam dan pasif, pertanyaan siswa terkadang diabaikan,
hanya berorientasi terhadap satu jawaban yang benar dan kegiatan di
kelas hanya menulis dan mendengarkan (Herman, 2009). Dengan
pembelajaran seperti itu, kemampuan BIOLOGI siswa tidak
diwadahi dengan baik, seperti kemampuan memecahkan masalah,

62
penalaran, komunikasi dan koneksi. Sebagai hasilnya, kemampuan
berpikir kritis siswa masih rendah.
Rajendran (2002) menemukan kurangnya kemampuan siswa
dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan di
sekolah dan kelas ke permasalahan yang mereka temui dalam
kehidupan sehari-hari. Dia menegaskan bahwa banyak siswa tidak
mampu memberikan bukti tak lebih dari pemahaman yang dangkal
tentang konsep dan hubungan yang mendasar bagi mata pelajaran
yang telah mereka pelajari, atau ketidakmampuan untuk menerapkan
ilmu pengetahuan yang telah mereka peroleh ke dalam permasalahan
dunia nyata (Rajendran, 2002). Menurut kajian ini kebutuhan untuk
mengajarkan kemampuan berpikir sebagai bagian yang menyatu
dengan kurikulum sekolah merupakan hal yang sangat penting.
Sebagian besar negara mempedulikan kenaikan standar pendidikan
melalui wajib belajar pada pendidikan formal.

3) Dampak rendahnya kemampuan berpikir kritis


a) Jangka pendek
Manfaat kemampuan berpikir kritis dalam pembelajaran
sangat besar peranannya dalam meningkatkan proses dan hasil
belajar. Selain manfaat kemampuan berpikir kritis dalam
pembelajaran juga mempunyai peranan sebagai bekal siswa untuk
menghadapi masa depan. Beberapa penelitian membuktikan
manfaat kemampuan berpikir kritis dalam pembelajaran maupun
sebagai bekal masa depan yaitu Lawson dalam Hadi (2007)
menyatakan bahwa menurut teori Piaget, perkembangan
kemampuan penalaran formal sangat penting bagi perolehan
(penguasaan) konsep, karena pengetahuan konseptual merupakan
akibat atau hasil dari suatu proses konstruktif, dan kemampuan
penalaran tersebut adalah alat yang diperlukan pada proses itu.

63
Kemampuan penalaran formal merupakan kemampuan
berpikir kritis. Norland dan De Vito dalam Corebima (2007)
menemukan adanya korelasi antara penalaran dengan hasil belajar
BIOLOGI. Hasrudin 2004 dalam Hadi 2007 menemukan bahwa
siapa yang memiliki penalaran tertinggi (yang menggunakan
pembelajaran berpola PBMP) ternyata juga memiliki hasil belajar
kognitif tertinggi. Setiawan (2005) menemukan bahwa
pembelajaran kontekstual dengan metode pembelajaran
berdasarkan masalah maupun dengan startegi inkuiri mampu
membuat siswa berkemampuan akademik rendah dan pada saat
yang sama mampu membuat siswa berkemampuan akademik
rendah memiliki penguasaan konsep-konsep Biologi yang tidak
berbeda dengan siswa berkemampuan akademik tinggi. Dari
penemuan-penemuan penelitian tersebut telah menjadi bukti
bahwa kemampuan berpikir kritis mempunyai manfaat yang
konkrit dalam meningkatkan hasil belajar siswa.
Kohoe dalam Hadi (2007) menyatakan bahwa pikiran adalah
kekuatan paling dahsyat, sikap, pilihan, kepribadiaan, dan siapa
mereka sebagai individu merupakan produk pikiran. Bagi siapa
yang memiliki kemampuan berpikir akan memiliki kepribadian
yang unggul dalam setiap sisi kehidupannya. Kemampuan
berpikir kritis dapat meningkatkan hasil belajar dan mengubah
kehidupan dalam lingkup individu maupun masyarakat luas maka
sudah jelas memberdayakan kemampuan berpikir kritis
khususnya dalam pembelajaran dinilai sangatmendesak.
b) Jangka panjang
Nilai strategis untuk masa depan keterkaitan berpikir kritis
dalam pembelajaran adalah perlunya mempersiapkan siswa agar
menjadi pemecah masalah yang tangguh, pembuat keputusan
yang matang, dan orang yang tak pernah berhenti belajar. Penting
bagi siswa untuk menjadi seorang pemikir mandiri sejalan dengan

64
meningkatnya jenis pekerjaan di masa yang akan datang yang
membutuhkan para pekerja handal yang memiliki kemampuan
berpikir kritis. Selama ini, kemampuan berpikir masih belum
merasuk ke jiwa siswa sehingga belum dapat berfungsi maksimal
di masyarakat yang serba praktis saat ini. Sebuah laporan di
Malaysia menyebutkan bahwa pembelajaran kognisi tingkat
tinggi membantu siswa untuk menjadi pebelajar mandiri,
mengembangkan keterampilan berpikir siswa lebih umum
dinyatakan sebagai tujuan pendidikan saja (Rajendran, 2002).

b. Nilai kestrategisan
Tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan
kemampuan berpikir pada umumnya dan mengembangkan keterampilan
berpikir kritis pada khususnya. Berpikir kritis dapat diartikan
kemampuan yang sangat esensial untuk kehidupan, pekerjaan dan
berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan lainnya. Berpikir kritis
merupakan topik yang penting dan vital dalam pendidikan modern.
Berpikir kritis sebagai salah satu komponen dalam proses berpikir
tingkat tinggi, menggunakan dasar menganalisis argumen dan
memunculkan wawasan terhadap tiap-tiap makna dan intepretasi, untuk
mengembangkan pola penalaran yang kohesif dan logis (Lilisari, 2003).
Semua pendidik semestinya tertarik untuk mengajarkan berpikir kritis
kepada para siswanya. Berpikir kritis dimaksudkan sebagai berpikir
yang benar dalam pencarian pengetahuan yang relevan dan reliabel
tentang dunia realita.
Berpikir kritis tidak akan merugikan, bahkan akan sangat
diuntungkan jika telah terbiasa berpikir secara kritis untuk setiap situasi
dan permasalahan apapun yang dihadapi. Namun sebagian besar
pekerjaan yang lebih memerlukan pemikiran kritis adalah profesi
seperti pencari bakat, perawat, dokter, pilot, serta pemilik suatu usaha
atau bisnis. Profesi-profesi tersebut memerlukan pemikiran yang kritis,

65
praktis, serta cepat. Jenis profesi tersebut sering dihadapkan pada situasi
dan kondisi dimana harus segera mengambil keputusan. Dan hal ini
tidak akan dapat dilakukan jika tidak terbiasa berpikir kritis dan cepat.
Karena setiap keputusan yang diambil akan berdampak pada banyak
orang lain tidak hanya berdampak pada diri sendiri, baik itu keputusan
yang positif maupun negatif. Jadi keputusan tersebut dapat berdampak
sebagai manfaat atau bahkan menolong orang lain, atau sebaliknya akan
berdampak merugikan orang lain.
Sebenarnya profesi lain pun juga memerlukan pola berpikir kritis,
jadi tidak hanya profesi-profesi tersebut diatas. Berpikir kritis juga tidak
hanya digunakan dalam pekerjaan, dalam hal terkecil di dalam sebuah
keluarga pun berpikir kritis sangat diperlukan. Misalnya seorang ibu
yang harus memutuskan harus berbuat apa jika anaknya tiba-tiba sakit,
atau apa yang harus dilakukan oleh seorang suami ketika istrinya akan
melahirkan. Banyak sekali contoh kejadian tak terduga yang
memerlukan untuk berpikir kritis. Jadi akan lebih baik bagi untuk
membiasakan berpikir kritis mulai dini atau sekarang. Setidaknya hal
ini akan bermanfaat dan membantu dalam berlatih dan membiasakan
diri membuat keputusan secara tepat, cepat dan bermanfaat.

c. Kajian mengenai kemampuan berpikir kritis

1) Definisi Kemampuan Berpikir Kritis


Berpikir Kritis merupakan bagian dari kemampuan berpikir
tingkat tinggi. Ennis dalam Costa (2000) mengelompokan
kemampuan berpikir tingkat tinggi ke dalam empat kelompok yang
meliputi pemecahan masalah (problem solving), pengambilan
keputusan (decision making), berpikir kritis (critical thinking), dan
berpikir kreatif (creative thinking). Berpikir Kritis menurut Johnson
(2010) yaitu kemampuan untuk mengatakan sesuatu dengan penuh
percaya diri. Siswa yang berpikir kritis diharapkan dapat

66
merumuskan dan mengevaluasi keyakinan dan pendapat mereka
sendiri. Tujuan dari berpikir kritis ini adalah untuk mencapai
pemahaman yang mendalam sehingga siswa akan mengerti maksud
dibalik ide yang mengarahkan pada kehidupan sehari-hari.
Kemampuan yang berhubungan erat dengan konsep berpikir kritis
yakni kemampuan untuk memahami masalah, menyeleksi informasi,
menemukan solusi, memahami asumsi–asumsi, merumuskan dan
menyeleksi hipotesis yang relevan, serta menarik kesimpulan yang
valid dan menentukan kevalidan dari kesimpulan– kesimpulan (Amri
dan Ahmadi,2010). Pendapat tersebut selaras dengan Yamin (2008)
yang mengungkapkan bahwa berpikir kritis merupakan kemampuan
indivdu dalam menggunakan proses berpikirnya untuk menganalisis
argumen dan memberikan interpretasi berdasarkan presepsi yang
benar dan rasional, analisis asumsi, dan intepretasi logis sehingga
mampu menemukan solusi yang masuk akal dari permasalahn yang
dijumpai.
Konsep dasar lain mengenai berpikir kritis menurut Burris dan
Garton (2006), antara lain sikap yang mencakup kemampuan untuk
mengakui adanya 9 permasalahan dan menerima kebutuhan secara
umum terhadap bukti–bukti yang mendukung permasalah.
Kemampuan berpikir kritis juga meliputi kemampuan yang
menunjukan kebenaran, abstraksi, dan generalisasi yang akurat, serta
kemampuan dalam mengaplikasikan afektif, psikomotorik, dan
afektif secara berimbang. Kemampuan berpikir kritis
mengindikasikan bahwa pengetahuan merupakan aspek dan ukuran
kemampuan intelektual seseorang yang paling dasar dalam proses
berpikir. Kunci utama memunculkan kemampuan berpikir kritiss
seseorang adalah mengonstruksi pemikiran sebagai hasil dari
menganalisa dan menilainya secara efektif.
Pemaparan dari beberapa ahli di atas hakikatnya memiliki
kesamaan yakni berpikir kritis memiliki aspek mengumpulkan

67
informasi yang jelas, mengevaluasi, dan menggunakan informasi
secara efektif. Kemampuan berpikir kritis diperlukan siswa agar
dapat membuat keputusan yang tepat, efektif, dan masuk akal dalam
setiap kejadian di kehidupan mereka.

2) Aspek Kemampuan Berpikir Kritis


Facione (2015) menyatakan pemikir kritis mempunyai
pemikiran yang ideal, memiliki rasa ingin tahu, berpikir terbuka,
fleksibel, jujur, objektif, memiliki pertimbangan kuat, tekun mencari
informasi yang relevan, fokus dan gigih dalam menemukan
kesimpulan suatu penyelidikan. Secara garis besar aspek berpikir
kritis menurut Facione (2015) dapat dijabarkan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Aspek Kemampuan Berpikir Kritis


Kemampuan Deskripsi Sub Kemampuan
Interpretasi Memahami dan mengekspresikan makna dari Mengelompokan,
keberartian berbagai macam pengalaman, situasi, menyamakan
data, kejadian, penilaian, kaidah–kaidah, aturan, makna,
prosedur, atau kriteria. menjelaskan
makna.
Penjelasan Kemampuan untuk menyatakan hasil atau alasan, Menyatakan hasi,
kemampuan membenarkan suatu alasan mendukung
berdasarkan bukti, konsep, metodologi, suatu prosedur,
kriteria tertentu dan perimbangan yang masuk akal, menyajikan
dan kemampuan untuk mempresentasikan alasan argumen,
seseorang berupa argumenasi yang meyakinkan. memaparkan
alasan.
Analisis Mengenali hubungan inferensial yang diharapkan Menguji ide–ide,
dan sesungguhnya antara pernyataan, pertanyaan, mengenali
deskripsi, yang diharapkan mengekspresikan pendapat,
keyakinan, penilaian, pengalaman, alasan, mengenali alasan
informasi, atau pilihan. dan pernyataan.

Kesimpulan Kemampuan untuk mengidentifikasi dan memilih Mengenali bukti,


unsur–unsur yang diperlukan untuk membentuk menjawab
hipotesis dengan memperhatikan informasi yang hipotesis, menarik

68
relevan, kesimpulan baik
secara induktif
atau deduktif.
Evaluasi Menilai pernyataan yang terpercaya atau penyajian Menilai
lainnya yaitu catatan–catatan atau deskripsi tentang pernyataan yang
presepsi, pengalaman, situasi, atau bentuk–bentuk terpercaya,
representasi seseorang. menilai kualitas
pendapat yang
dibuat dengan
induktif/deduktif.

Pengaturan Kesadaran untuk memonitor proses kognisi diri Pemantauan diri,


diri sendiri, elemen–elemen yang digunakan dalam perbaikan diri.
proses berpikir dan hasil yang dikembangkan,
khususnya dengan mengaplikasikan kemampuan
dalam menganalisis kemampuan diri dalam
mengambil kesimpulan dengan bentuk pertanyaan,
konfirmasi, validasi, atau koreksi.

d. Alat untuk mengukur kemampuan berpikir kritis


Keterampilan berpikir kritis siswa perlu diukurdengan alat ukur tes
yang sesuai. Instrumen tesyang baik dapat meningkatkan kualitas
hasilpenilaian yaitu profil kemampuan peserta didik (Emy Rofiah,
2013).Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untukmengkaji
karakterisktik instrumen tesketerampilan berpikir kritis yang telah
disusun.Instrumen tes disusun dari lima indikator yangdikembangkan
berdasarkan keterampilanberpikir kritis menurut Ennis pada aspek
ability, yaitu: mengidentifikasi kriteria untuk mempertimbangkan
jawaban yang mungkin; menemukan persamaan dan perbedaan;
kemampuan memberikan alasan; membuat hipotesis; dan
mengidentifikasi kriteria untuk mempertimbangkan solusi yang
mungkin (Ennis, 1985). Instrumen tes yang dikembangkan bertujuan
untuk dapat mengukur dan mengetahui profil keterampilan berpikir
kritis siswa SMA pada materi sitem sirkulasi
Tes merupakan salah satu alat ukur untuk mengumpulkan
informasi karakteristik suatu objek, baik berupa kemampuan peserta
didik, sikap, minat, maupun motivasi (Emy Rofiah, 2013). Menurut
Surapranata, terdapat sebelas tahapan yang perlu dilakukan dalam

69
mengembangkan tes tertulis agar diperoleh informasi yang reliabel dan
valid, yaitu penentuan tujuan, penyusunan kisi-kisi, penulisan,
penelaahan dan perbaikan, uji coba, analisis, perakitan, penyajian,
skoring, pelaporan, dan pemanfaatan (Surapranata, 2007). Kualitas
sebuah perangkat tes dapat dilihat dengan melakukan analisis tes, yaitu
suatu kegiatan mengkonstruksi tes untuk mendapat gambaran tentang
mutu tes, baik secara keseluruhan maupun tiap butir soal. Analisis tes
dapat dilakukan secara kualitatif atau teoritik maupun kuantitatif atau
empiris. Analisis soal secara kualitatif dilakukan sebelum soal diuji
cobakan, yaitu dengan mencermati butir-butir soal yang telah disusun,
idealnya dilakukan oleh tim penelaah yang terdiri atas ahli-ahli materi,
evaluasi, dan bahasa. Sedangkan analisis soal secara kuantitatif
dilakukan setelah tes disusun dan diuji cobakan kepada sejumlah subjek
untuk mendapatkan informasi empirik mengenai segala hal yang dapat
mempengaruhi validitas
(soal Surapranata, 2007)
Untuk mengetahui keberhasilan suatu pembelajaran maka perlu
melakukan pengukuran (evaluasi) terhadap pembelajaran tersebut.
Pengukuran sebaiknya dilakukan bukan hanya pada hasilnya tapi juga
pada prosesnya. Untuk ketrampilan berpikir kritis penilaian proses
mutlak diperlukan. Lalu bagaimana caranya? Apa saja yang perlu
diukur. Douglas dan Nancy (dalam Rahmat, 2010) menyatakan
bahwayang mendasari pengembangan kemampuan siswa adalah
kecakapan berpikir kritis sebagai ketrampilan tertinggi dan
meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu perlu
dibuat instrumen yang berurusan dengan kedua fokus tersebut.
Nitko & Brookhart (2011: 237-239) menambahkan bahwa
instrumen tes utuk mengukur kemampuan berpikir kritis adalah berupa
tes uraian. Di dalamnya mengandung deskripsi situasi, kemudian diikuti
dengan pertanyaan yang mengarah pada indikator kemampuan berpikir
kritis tertentu. Hal ini sejalan dengan pendapat Mundilarto (2010: 58,

70
61), yaitu tes berbetuk uraian sangat sesuai untuk mengukur
kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik. Kemampuan berpikir
kritis termasuk dalam kemampuan berpikir tingkat tinggi, sehingga
tepat bila diukur dengan menggunakan tes uraian. Karena jawaban
responden pasti beragam, maka untuk meminimalisir unsur subjektifitas
dalam melakukan penilaian, diperlukan rubrik penilaian yang jelas dan
rinci.
e. Upaya peningkatan kemampuan berpikir kritis
Menurut Zamroni dan Mahfudz (2009) ada empat  cara
meningkatkan keterampilan berpikir kritis yaitu dengan: (1) model
pembelajaran tertentu, (2) pemberian tugas  mengkritisi buku, (3)
penggunaan cerita, dan, (4) penggunaan model pertanyaan.
Meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada siswa dapat
dilakukan melalui pengajaran dan pembelajaran dari setiap mata
pelajaran di kurikulum sekolah. Pertanyaan-pertanyaan tingkat tinggi
dapat mendorong kemampuan berpikir tingkat tinggi (Facione 2015).
Oleh karena itu, pertanyaan yang diajukan oleh guru haruslah menarik
dan menantang yang berhubungan dengan topik dan yang memang
dirancang untuk melibatkan pemikiran siswa, sehingga memancing
siswa untuk terlibat berpikir aktif dalam proses pembelajaran di kelas.
Di dalam kelas atau ketika berinteraksi dengan orang lain, cara-cara
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan berpikir kritis adalah:
1) Membaca dengan kritis
Untuk berpikir secara kritis seseorang harus membaca dengan kritis
pula. Dengan membaca secara kritis, diterapkan keterampilan-
keterampilan berpikir kritis seperti mengamati, menghubungkan teks
dengan konteksnya, mengevaluasi teks dari segi logika
dan kredibilitasnya, merefleksikan kandungan teks dengan pendapat
sendiri, membandingkan teks satu dengan teks lain yang sejenis.
2) Meningkatkan daya analisis

71
Dalam suatu diskusi dicari cara penyelesaian yang baik, untuk suatu
permasalahan, kemudian mendiskusikan akibat terburuk yang
mungkin terjadi.
3) Mengembangkan kemampuan observasi atau mengamati
Dengan mengamati akan didapat penyelesaian masalah yang
misalnya menghendaki untuk menyebutkan kelebihan dan
kekurangan, pro dan kontra akan suatu masalah, kejadian atau hal-
hal yang diamati. Dengan demikian memudahkan seseorang untuk
menggali kemampuan kritisnya.
4) Meningkatkan rasa ingin tahu, kemampuan bertanya dan refleksi
Pengajuan pertanyaan yang bermutu, yaitu pertanyaan yang tidak
mempunyai jawaban benar atau salah atau tidak hanya satu jawaban
benar, akan menuntut siswa untuk mencari jawaban sehingga mereka
banyak berpikir.
Duron (2006) menyatakan lima langkah mengembangkan kemampuan
berpikir kiritis siswa sebagai berikut, 1) Langkah pertama yaitu menentukan
tujuan pembelajaran. guru harus mengidentifikasi tujuan pembelajaran sebagai
kunci yang menentukan prilaku yang ditunjukan siswa sehingga menuju
pemikiran kritis. 2) mengajar melalui pertanyaan. Pertanyaaan dapat
merangsang komunikasi dua arah dan menantang siswa mempertahankan
jawaban atau argumennya. 3) Langkah ketiga yaitu adanya praktek sebelum
mengambil nilai. Guru harus memilih kegiatan pembelajaran yang
menyenangkan dan memanfaatkan semua komponen yang mendukung
pembelajaran aktif. 4) langkah keempat, yaitu mereview, memperbaiki, dan
meningkatkan. Guru harus berusaha untuk terus menyempurnakan program
siswa menuju pengembangan kemampuan berpikir kritis. Untuk mencapai hal
tersebut, guru wajib selalu memantau kegiatan kelas guna melacak partisipasi
siswa, menggambarkan aktivitas kelas, dan memberikan penilaian keberhasilan
mereka. 5) Langkah kelima, yaitu memberikan umpan balik dan penilaian
belajar. Selain itu, siswa juga harus diberikan kesimpatan untuk menilai dirinya
sendiri (Self-assesment). Feedback-feedback yang dilontarkan oleh siswa

72
tersebut mampu mendorong siswa untuk memunculkan kemampuan berpikir
kritisnya.
Ayedemi (2012) menambahkan berpikir kritis merupakan komponen vital
dalam proses pembelajaran. Konten pembelajaran tersebut terdiri dari dua
tahap, yakni tahap pertama terjadi ketika peerta didik membangun pengetahuan
awal, ide– ide, dan teori dalam pemikiran mereka untuk pertama kali
(skemata). Tahap kedua terjadi ketika peserta didik secara efektif
menggunakan pengetahuan awalnya, ide– ide, dan prinsip dalam kehidupan
sehari–hari mereka atau disebut proses aplikasi.
Guru yang menumbuhkan berpikir kritis mendorong proses refleksi pada
siswa dengan mengajukan pertanyaan–pertanyaan untuk memancing siswa
mengkonstruk pengetahuan mereka secara mandiri. Cara mengajar untuk
membangun berpikir kritis siswa memiliki ciri karakteristik khusus, yaitu: 1)
meningkatkan interaksi diantara siswa sebagai pembelajar, 2) mengajukan
pertanyaan open-ended. 3) memberikan waktu pada siswa untuk merefleksi
pertanyaaan yang diberikan, dan 4) teaching for transfer, yaitu mengajarkan
penggunaaan kemampuan yang baru saja diperoleh terhadap situasi dan
pengalaman yang dimiliki para siswa(Amri dan Ahmadi,2010).

f. Penelitian yang relevan


Hasil penelitian dari Santoso (2010) menyatakan bahwa pembelajaran
kontruktivistik mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.
Pembelajaran inkuiri yang didalamnya terdapat proses perencanaan prosedur
penyelidikan dan penarikan kesimpulan yang dilakukan oleh siswa lebih
mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dari pada pembelajaran
inkuiri yang proses perencanaan prosedur penyelidikannya dilakukan oleh
guru. Winarni (2006) dan Setiawan (2005) dalam Santoso (2010) juga
menyatakan bahwa pembelajaran yang meminta siswa untuk memahami atau
merumuskan: masalah, tujuan, dan hipotesis, melakukan pengamatan atau
penyelidikan, mencari data, serta menganalisis untuk menjawab permasalahan
yang telah dirumuskan dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis

73
siswa. Hal ini dikarenakan siswa terlibat secara optimal dalam proses
pembelajarannya.
Penelitian Wiradana (2011) menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan
prestasi belajar fisika antara siswa yang mengikuti strategi konflik kognitif
dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional, terdapat
pengaruh interaktif antara strategi pembelajaran konflik kognitif dengan
pembelajaran konvensional dan kemampuan berpikir kritis terhadap prestasi
belajar fisika.
Hasil penelitian oleh Wicaksono (2014), menjelaskan bahwa selain
keterampilan metakognitif, berpikir kritis merupakan faktor lain yang
mempengaruhi hasil belajar kognitif yaitu dengan menunjukkan adanya
hubungan antara keterampilan metakognitif dan berpikir kritis terhadap hasil
belajar kognitif siswa dalam pembelajaran Biologi dengan strategi reciprocal
teaching dengan nilai R= 0,853 (p < 0,05). sumbangan keterampilan
metakognitif dan berpikir kritis terhadap hasil belajar kognitif sebesar 72,7%
(R2=0,727) dengan perincian bahwa keterampilan metakognitif memberikan
sumbangan sebesar 30,70% dan berpikir kritis memberikan sumbangan sebesar
41,99% terhadap hasil belajar kognitif. Hubungan antara berpikir kritis dan
hasil belajar kognitif dijelaskan oleh Page (2007), yang menyatakan bahwa
berpikir kritis berhubungan dengan kognitif tingkat tinggi seperti kemampuan
analsis, evaluasi dan sintesis. Fascione (1990), juga menyatakan bahwa
berpikir kritis merupakan hasil dari proses interpretasi, analisis, evaluasi.
Hasil Penelitian Puspitasari (2014) menyimpulkan bahwa modul berbasis
kemampuan berpikir kritis efektif dalam memberdayakan hasil belajar.
Penelitian Tandel, Sudhir H. (2012) menyimpulkan bahwa pendekatan
konstruktivisme berpotensi sangat besar dalam mengembangkan keterampilan
metakognisi siswa.
Hasil penelitian oleh Robih (2015), menyatakan bahwa Kemampuan
berpikir kritis berpengaruh secara signifikan berdasarkan dengan t = 14,338
dengan nilai siginifikansi sebesar 0,00 (p<0,05) terhadap hasil belajar siswa
mata pelajaran pengantar administrasi kelas X jurusan APK di SMK Negeri 1

74
Lamongan, Hal ini berarti bahwa semakin baik kemampuan berpikir kritis
diikuti semakin tingginya hasil belajarnya. kemampuan berpikir kritis
merupakan faktor penting dalam mencapai hasil belajar, meskipun penerapan
model pembelajaran inkuiri merupakan faktor kedua yang dapat memberikan
pengaruh terhadap hasil belajar. Adanya keselarasan penerapan model
pembelajaran inkuiri dengan kemampuan berpikir kritis akan memberikan
dampak positif.

VI. Analisis Akar Masalah


Berdasarkan penetapan masalah diatas, maka dapat dianalisis akar
permasalahan yang ditemui sebagai berikut:
Kesulitan guru dalam menerapkan pembelajaran berbasis saintific
approach akibat ketersediaan bahan ajar yang terbatas sehingga pembelajaran
masih cenderung ke arah konvensional. Siswa menjadi kurang termotivasi
dalam pembelajaran dan akan merasa pelajaran membosankan, sehingga
membuat motivasi dan hasil belajar siswa menjadi rendah. Siswa hanya
menggunakan sumber belajar berupa LKS dari penerbit sebagai referensi saat
kegiatan pembelajaran. Siswa juga hanya mencatat dan menghafal apa yang
dicatatkan guru di papan tulis. Bahan ajar kurang dikembangkan karena guru
sendiri pun kesulitan untuk mengembangkan bahan ajar yang sesuai dengan
kebutuhan dan karakteristik siswa, sehingga akan berdampak pada kurangnya
pemahaman dan pengetahuan siswa serta berpengaruh terhadap hasil belajar
siswa.
Sumber belajar dan bahan ajar yang digunakan oleh guru dan siswa
juga masih sangat terbatas. Bahan ajar belum mencukupi untuk
didistribusikan ke semua siswa. Ketersediaan referensi tentang buku Biologi
juga masih minim dan guru mengalami kesulitan untuk mengembangkan
bahan ajar. Ada beberapa alasan, mengapa guru perlu untuk mengembangkan
bahan ajar. Beberapa alasan-alasan tersebut didasarkan antara lain;
ketersediaan bahan sesuai tuntutan kurikulum, karakteristik sasaran, dan
tuntutan pemecahan masalah belajar. Selain itu, pengembangan bahan ajar

75
harus memperhatikan tuntutan kurikulum, artinya bahan belajar yang akan
kita kembangkan harus sesuai dengan kurikulum. Dalam Kurikulum 2013
terdapat Standar NasionslPendidikan (SNP)yang telah ditetapkan oleh
pemerintah, namun bagaimana strategi untuk mencapainya serta apa saja
bahan ajar yang hendak digunakan merupakan kewengan penuh dari para
pendidik sebagai tenaga profesional. Dalam hal ini, guru dituntut sebagai
pengembang kurikulum termasuk di dalamnya memiliki kemampuan dalam
mengembangkan bahan ajar sendiri. Oleh karena itu berdasarkan
permasalahan yang terjadi maka pengembangan bahan ajar oleh guru harus
disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik siswa, sehingga
permasalahan tentang kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar dapat
diatasi dan dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.
Hasil wawancara dengan guru Biologi menunjukan bahwa tidak mudah
untuk memberikan pelatihan kemampuan berpikir kritis siswa. Seorang siswa
dikatakan mempunyai kemampuan berpikir kritis jika memiliki cara berpikir
yang sistematis, kesadaran dalam berpikir, dan memiliki kemampuan untuk
membedakan suatu kebenaran dari kesalahan. Dengan demikian, seorang
guru Biologi perlu berupaya secara maksimal agar siswa mempunyai
kemampuan yang baik dalam berpikir kritis dengan melakukan variasi proses
pembelajaran baik pendekatan, metode, atau model pembelajaran yang
inovatif sehingga tujuan yang dicanangkan berhasil dicapai.
Kemampuan berpikir kritis siswa yang rendah adalah salah satu
masalah yang dihadapi dalam pembelajaran Biologi di sekolah. Kemampuan
berpikir kritis siswa yang rendah dapat terlihat dari beberapa hal yang terjadi
saat kegiatan pembelajaran berlangsung.Pertama, siswa lebih memaknai
pelajaran Biologisebagai sebuah materi yang hanya perlu dihafalkan.
Kemampuan menghafal siswa memang terlihat dengan baik dan siswa pun
cukup menguasai materi. Siswa bisa dengan lancar menjelaskan materi
Biologisaat mereka diberi tugas kelompok untuk mengkaji sebuah materi,
hanya saja apa yang mereka jelaskan bukan merupakan pemikiran yang
dirangkai dengan kata-kata sendiri. Yang siswa jelaskan adalah kalimat-

76
kalimat yang hampir sama persis dengan yang ada pada buku sumber yang
mereka gunakan. Ketika guru memberi tantangan kepada siswa untuk
menjelaskan materi Biologi hasil kajian kelompoknya, siswa terkesan
menolak dan tidak mau melakukannya.
Kedua, saat guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengajukan pertanyaa, ada beberapa yang bertanya. Namun pertanyaan yang
diajukan adalah pertanyaan yang tidak membuat siswa berpikir kritis dengan
baik. Jawaban dari pertanyaan yang siswa ajukan sudah ada pada buku
sumber yang mereka miliki. Tanpa siswa perlu bertanya kepada guru ataupun
siswa yang lainnyapun, pertanyaan itu sebenarnya bisa dijawab oleh mereka
sendiri dengan cara membaca buku sumber, sehingga saat guru membimbing
siswa untuk mengajukan pertanyaanyang benar merupakan wujud dari
ketidakpahaman siswa terhadap materi dan pertanyaan siswa menunjukkan
bahwa mereka berpikir kritis tentang apa yang telah terjadi, siswa terlihat
kesulitan untuk melakukannya.
Ketiga, siswa tidak dapat mencari keterkaitan atau keterhubungan
antara peristiwa masa lalu dengan apa yang sedang terjadi di masa sekarang
dan siswa pun terlihat kebingungan untuk menghubungkan materi satu
dengan materi lainnya yang memiliki keterhubungan. Hal ini terlihat saat
guru seringkali menyelipkan pertanyaan-pertanyaan yang mengajak siswa
untuk menghubungkan peristiwa BIOLOGI yng sedang dipelajari dengan apa
yang sedang terjadi di masa sekarang di sela-sela kegiatan pembelajaran.
Siswa terlihat kebingungan dan tidak bisa menjawab pertanyaan guru
tersebut. Pertanyaan guru yang dapat dijawab oleh siswa hanya sebatas
pertanyaan yang berisikan materi BIOLOGI yang bersifat faktual.
Keempat, siswa kesulitan menarik sebuah kesimpulan dari setiap materi
pelajaran biologi yang telah dipelajari. Setiap guru mencoba bertanya kepada
siswa tentang kesimpulan apa yang dapat diambil pada setiap materinya,
siswa tidak bisa menyebutkannya. Siswa hanya bisa mengulang kebali
beberapa kalimat yang berisi tentang materi yang baru saja diajarkan, tetapi
bukan berupa kesimpulan, hanya berupa pengalaman saja.

77
Hal-hal tersebut di atas menggambarkan kemampuan berpikir kritis
siswa yang rendah. Pembelajaran biologi semestinya bukan hanya tentang
menghafal materi dan pemahaman materi semata, tetapi siswa perlu untuk
memahami betul makna dan nilai yang terkandung dalam suatu peristiwa.
Sehingga dengan mengkritisi suatu peristiwa, akan melatih siswa berpikir
kritis pula pada apa yang sedang dialami bangsa Indonesia di masa sekarang.
Sehingga sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Supriyatna (2007),
bahwa pendekatan kritis dalam pembelajaran Biologi dapat mendorong
terjadinya dialog kritis, baik antara guru dengan siswamaupun kalangan siswa
sendiri mengenai masalah-masalah yang sedang mereka hadapi dan mencari
solusi pmecahannya. Dengan melakukan dialog kritis ini, siswa dapat
berdiskusi dan bertukar pikiran tentang apa yang siswa tahu tentang makna
yang mendalam tentang materi Biologi
Fakta secara nasional ditunjukkan oleh penelitian dari Shodig (2007),
menambahkan bahwa proses pembelajaran yang terjadi di kelas kurang
meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan kurang berkaitan
langsung dengan kehidupan sehari-hari. Hal tersebut ditandai dengan:
1. Karakteristik pembelajaran lebih mengacu pada tujuan jangka pendek
(lulus ujian sekolah), lebih fokus pada kemampuan prosedural, komunikasi
satu arah, lebih dominan soal rutin dan pertanyaan tingkat rendah
2. Hasil Video Study menunjukkan bahwa ceramah menjadi metode yang
digunakan selama mengajar, waktu siswa untuk Problem Solving hanya
32% dari seluruh waktu di kelas dan sebagian besar guru memberikan soal
rutin.
Dari pendapat di atas, menunjukkan bahwa lemahnya kemampuan
berpikir kritis siswa Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah pembelajaran
Biologi di Indonesia yang masih menggunakan pembelajaran konvensional,
yaitu pembelajaran yang hanya berpusat pada guru, yaitu guru menjelaskan
materi melalui metode ceramah, sedangkan murid-murid hanya diam dan
pasif, pertanyaan siswa terkadang diabaikan, hanya berorientasi terhadap satu
jawaban yang benar dan kegiatan di kelas hanya menulis dan mendengarkan

78
(Herman, 2009). Dengan pembelajaran seperti itu, kemampuan kemampuan
memecahkan masalah, penalaran, komunikasi dan koneksi kurang
dioptimalkan. Sebagai hasilnya, kemampuan berpikir kritis siswa masih
rendah.
Untuk mengatasi hal tersebut maka kemampuan berpikir kritis siswa harus
dioptimalkan sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Cara
mengoptimalkan berpikir kritis menurut Duron (2006) ada lima cara
meningkatkan keterampilan berpikir kritis yaitu dengan: 1) Langkah pertama
yaitu menentukan tujuan pembelajaran. guru harus mengidentifikasi tujuan
pembelajaran sebagai kunci yang menentukan prilaku yang ditunjukan siswa
sehingga menuju pemikiran kritis; 2) mengajar melalui pertanyaan.
Pertanyaaan dapat merangsang komunikasi dua arah dan menantang siswa
mempertahankan jawaban atau argumennya; 3) Langkah ketiga yaitu adanya
praktek sebelum mengambil nilai. Guru harus memilih kegiatan pembelajaran
yang menyenangkan dan memanfaatkan semua komponen yang mendukung
pembelajaran aktif; 4) langkah keempat, yaitu mereview, memperbaiki, dan
meningkatkan. Guru harus berusaha untuk terus menyempurnakan program
siswa menuju pengembangan kemampuan berpikir kritis. Untuk mencapai hal
tersebut, guru wajib selalu memantau kegiatan kelas guna melacak partisipasi
siswa, menggambarkan aktivitas kelas, dan memberikan penilaian keberhasilan
mereka; 5) Langkah kelima, yaitu memberikan umpan balik dan penilaian
belajar. Selain itu, siswa juga harus diberikan kesimpatan untuk menilai dirinya
sendiri (Self-assesment). Feedback-feedback yang dilontarkan oleh siswa
tersebut mampu mendorong siswa untuk memunculkan kemampuan berpikir
kritisnya.
Meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada siswa dapat dilakukan
melalui pengajaran dan pembelajaran dari setiap mata pelajaran di kurikulum
sekolah. Pertanyaan-pertanyaan tingkat tinggi dapat mendorong kemampuan
berpikir tingkat tinggi (Facione 2015). Oleh karena itu, pertanyaan yang
diajukan oleh guru haruslah menarik dan menantang yang berhubungan
dengan topik dan yang memang dirancang untuk melibatkan pemikiran siswa,

79
sehingga memancing siswa untuk terlibat berpikir aktif dalam proses
pembelajaran di kelas. Dari hasil penelitian, L. M. Sartorelli dan R. Swartz
dalam Hassoubah (2004), beberapa cara meningkatkan keterampilan berpikir
kritis diantaranya adalah dengan meningkatkan daya analisis dan
mengembangkan kemampuan observasi/mengamati.
R.Swart dalam Zaleha (2002: 95) mengemukakan beberapa cara dan
strategi dalam melatih siswa berpikir kritis diantaranya:
1. Membaca dengan kritis. Untuk berpikir kritis seseorang harus membaca
secara dengan kritis pula.
2. Meningkatkan daya analisis
3. Mengembangkan kemampuan observasi
4. Meningkatkan rasa ingin tahu, kemampuan bertanya dan refleksi
5. Metakognisi/memahami cara berpikir sendiri.
6. Mengamati model dalam berpikir kritis
7. Diskusi yang kaya
Selama ini pelatihan berpikir kritis disekolah belum berjalan sesuai
dengan rencana sehingga siswa belum memiliki kemampuan untuk berpikir
kritis. Banyak kendala yang dialami siswa, guru serta sarana prasarana
sehingga kemampuan berpikir kritis belum bisa optimal dengan baik sehingga
berdampak pada hasil belajar siswa yang rendah pula. Seperti yang sudah
dijelaskan di atas bahwa rendahnya kemampuan berpikir kritis yang dimiliki
siswa disebabkan karena beberapa hal yaitu guru menggunakan pembelajaran
konvensional, yaitu pembelajaran yang hanya berpusat pada guru, yaitu guru
menjelaskan materi melalui metode ceramah, sedangkan murid-murid hanya
diam dan pasif, pertanyaan siswa terkadang diabaikan, hanya berorientasi
terhadap satu jawaban yang benar dan kegiatan di kelas hanya menulis dan
mendengarkan.
Bahan ajar yang mempu membantu siswa dalam belajar secara
mandiri yaitu modul, akan tetapi hasil analisis menggunakan matriks modul
pelatihan kemampuan berpikir kritis menunjukan modul yang ada di lapangan
belum ada yang melatihkan kemampuan berpikir kritis.Hasil analisis modul

80
di SMAN Surakarta terkait penggunaan modul menunjukkan modul yang
digunakan masih belum optimal dalam melatihkan kemampuan berpikir kritis
siswa. Hasil analisis menunjukan pelatihan aspek berpikir kritis yang
terintegrasi komponen Konstruktivis-Metakognitif menunjukan persentase
yang terkategori rendah. Pelatihan kemampuan interpretasi hanya sebesar
33,7%, pelatihan kemampuan analisis dan evaluasi sebesar 21,5%, Pelatihan
Regulasi diri sebesar 44,7%, tidak terdapat komponen pelatihan aspek
menjelaskan dan inferensi atau 0%. Tampilan modul dinilai kurang
menarik ,dari segi tampilan karena terdiri hanya satu kombinasi warna,
sehingga kurang menarik perhatian siswa untuk menggunakan modul secara
optimal. Modul yang digunakan juga sangat minim kegiatan yang mendukung
siswa untuk aktif, berdiskusi, dan melakukan percobaan guna mengkonstruksi
konsep secara mandiri. Urutan dalam penyajian modul belum sesuai dengan
silabus yang diberikan pemerintah sehingga susah unuk diterapkan.

VII. Solusi Penyelesaian Masalah


Ada beberapa tindakan dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh
guru untuk memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun
pengetahuannnya sendiri dengan mendayagunakan kemampuanya untuk
berpikir. Guru dapat membantu proses ini, dengan cara-cara membelajarkan,
mendesain informasi menjadi lebih bermakna dan lebih relevan bagi
kebutuhan siswa. Caranya dengan memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide, dan dengan mengajak
mereka agar menyadari dan secara sadar menggunakan strategi-strategi
mereka sendiri untuk belajar. Menurut Nur (1999), guru sebaiknya hanya
memberi “tangga” yang dapat membantu siswa mencapai tingkat pemahaman
yang lebih tinggi, namun harus diupayakan agar siswa sendiri yang memanjat
tangga tersebut.
Rendahnya kemampuan berpikir kritis dikarenakan pembelajaran
Biologi yang masih menggunakan pembelajaran konvensional, yaitu
pembelajaran yang hanya berpusat pada guru, yaitu guru menjelaskan materi

81
melalui metode ceramah. Seperti yang diungkapkan oleh Sani (2014: 16)
bahwa guru di Indonesia sudah terlampau biasa mengajar dengan metode
ceramah. Oleh karena itu, tindakan yang harus dilakukan untuk mengatasi
masalah tersebut adalah dengan merubah pendekatan pembelajaran dari
teacher centered menjadi student centered yaitu pembelajaran yang berpusat
pada siswa. Sehingga dalam proses pembelajaran siswa menjadi aktif dan
mampu menerima konsep dengan mengetahui proses untuk menemukan
konsep tersebut. Selain itu siswa juga mampu menemukan sendiri konsep-
konsep dari materi yang diajarkan sehingga dengan begitu kemampuan
berpikir kritis meningkat.
Tindakan selanjutnya untuk mengatasi masalah tersebut adalah
dengan mengembangkan modul biologi. Modul merupakan salah satu bentuk
bahan ajar yang dikemas secara utuh dan sistematis, di dalamnya memuat
seperangkat pengalaman belajar yang terencana dan didesain untuk
membantu peserta didik menguasai tujuan belajar yang spesifik. Modul
minimal memuat tujuan pembelajaran, materi/substansi belajar dan evaluasi.
Modul berfungsi sebagai sarana belajar yang bersifat mandiri, sehingga
peserta didik dapat belajar secara mandiri sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan masing-masing siswa dalam mendalami materi (Daryanto,
2013:9).
Modul yang dikembangkan nanti merupakan modul yang mampu
meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa sehingga dengan mempelajari
modul tersebut siswa lebih memaknai bahwa pelajaran biologi tidak hanya
untuk dihafalkan tetapi juga siswa mampu untuk menjelaskan materi saat
diberi tugas mengkaji suatu materi dengan menggunakan kata-kata sendiri.
Modul tersebut nantinya juga mampu membangkitkan siswa untuk aktif
bertanya secara kritis terhadap materi yang belum jelas. Siswa juga mampu
mencari keterkaitan dan keterhubungan antara materi biologi yang satu
dengan materi biologi yang lain, sehingga siswa mampu menjawab
pertanyaan dari guru yang tidak hanya bersifat faktual tetapi mnejawab
pertanyaan sesuai dengan pola pemikiran siswa masing-masing. Dan yang

82
terakhir modul yang dikembangkan membuat siswa mampu menarik
kesimpulan dari setiap materi yang sudah disampaikan, siswa mampu
mengutarakan didepan kelas dengan menggunakan kata-kata sendiri dengan
tepat. Dengan kemampuan berikir kritis yang baik dan meningkat maka hasil
belajar pun juga akan meningkat. (Liliasari, 2003)
Modul adalah sarana pembelajaran dalam bentuk tertulis atau cetak
yang disusun secara sistematis, memuat materi pembelajaran, metode, tujuan
pembelajaran berdasarkan kompetensi dasar atau indikator pencapaian
kompetensi, petunjuk kegiatan pembelajaran mandiri (self intructional) dan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menguji diri sendiri melalui
latihan yang disajikan dalam bentuk modul. Modul membantu dan
mendorong siswa untuk membelajarkan disri sendiri dan dalam
penggunaanya tidak bergantung pada media lain (Hamid,2013).
Sebagai salah satu bentuk bahan ajar, modul memiliki fungsi sebagai
berikut (Prastowo, 2012:107):
1) Bahan ajar mandiri. Maksudnya, penggunaan modul dalam proses
pembelajaran berfungsi meningkatkan kemampuan peserta didik untuk
belajar sendiri tanpa tergantung pada kehadiran pendidik,
2) Pengganti fungsi pendidik. Maksudnya, modul sebagai bahan ajar yang
harus mampu menjelaskan materi pembelajaran dengan baik dan mudah
dBiologihami oleh peserta didik,
3) Sebagai alat evaluasi. Maksudnya, dengan modul, peserta didik dituntut
untuk dapat mengukur dan menilai sendiri tingkat penguasaanya terhadap
materi yang telah dipelajari,
4) Sebagai bahan rujukan bagi peserta didik. Maksudnya, karena modul
mengandung berbagai materi yang harus dipelajari oleh peserta didik.
Untuk menghasilkan modul yang mampu meningkatkan motivasi
belajar, pengembangan modul harus memperhatikan karakteristik yang
diperlukan sebagai modul, yaitu:
1) SelfInstruction

83
Merupakan karakteristik penting dalam modul, dengan karakter tersebut
memungkinkan seorang siswa belajar secara mandiri dan tidak
tergantung pada pihak lain.
2) SelfContained
Modul dikatakan SelfContained bila seluruh materi pembelajaran yang
dibutuhkan termuat di dalam modul tersebut. Tujuan dari pemberian
konsep ini adalah memberikan kesempatan peserta didik mempelajari
materi pembelajaran secara tuntas, karena materi pembelajaran dikemas
ke dalam satu kesatuan yang utuh. Jika harus dilakukan pembagian atau
pemisahan materi dari satu standar kompetensi atau kompetensi dasar
harus dilakukan dengan hati-hati dan memperhatikan keluwesan standar
kompetensi atau kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh peserta
didik.
3) Berdiri Sendiri
Berdiri sendiri merupakan karakteristik modul yang tidak tergantung
pada bahan ajar/media lain, atau tidak hanya digunakan bersama-sama
dengan bahan ajar/media lain. Dengan menggunakan modul, peserta
didik tidak perlu bahan ajar yang lain untuk mempelajari dan atau
mengerjakan tugas pada modul tersebut. Jika peserta didik masih
menggunakan dan bergantung pada bahan ajar yang lain selain modul
yang digunakan, maka bahan ajar tersebut tidak dikategorikan sebagai
modul yang berdiri sendiri.
4) Adaptif
Modul hendaknya memiliki daya adaptif yang tinggi terhadap
perkembangan ilmu dan teknologi yaitu dapat menyesuaikan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta fleksibel/luwes
digunakan di berbagai perangkat keras.
5) Bersahabat/akrab (User Friendly)
Modul hendaknya juga memenuhi kaidah user friendly atau bersahabat
dengan pemakainya. Setiap instruksi dan paparan informasi yang tampil
bersifat membantu dan bersahabat dengan pemakainya, termasuk

84
kemudahan pemakai dalam merespon dan mengakses sesuai dengan
keinginan. Penggunaan bahasa yang sederhana, mudah dimengerti, serta
menggunakan istilah yang umum digunakan, merupakan salah satu
bentuk user friendly (Daryanto, 2013:9).
Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian dari Robih (2015),
menyatakan bahwa Kemampuan berpikir kritis berpengaruh secara signifikan
berdasarkan dengan t = 14,338 dengan nilai siginifikansi sebesar 0,00
(p<0,05) terhadap hasil belajar siswa mata pelajaran pengantar administrasi
kelas X jurusan APK di SMK Negeri 1 Lamongan, hal ini berarti bahwa
semakin baik kemampuan berpikir kritis diikuti semakin tingginya hasil
belajarnya. kemampuan berpikir kritis merupakan faktor penting dalam
mencapai hasil belajar, meskipun penerapan model pembelajaran inkuiri
merupakan faktor kedua yang dapat memberikan pengaruh terhadap hasil
belajar. Adanya keselarasan penerapan model pembelajaran inkuiri dengan
kemampuan berpikir kritis akan memberikan dampak positif.
Modul yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir
kritis siswa adalah modul dengan Pendekatan Konstruktivi-Metakognitif.
Konstruktivis-Metakognitif merupakan suatu model pembelajaran yang
terdiri dari tiga aspek, yaitu Konstruktivis peronal, Konstruktivis sosial
(kolaboratif), dan Metakognitif. Menurut Prayitno (2014), titik berat
pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif adalah konsep sains yang dipelajari
dengan siswa dibangun secara mandiri melalui kegiatan asimilasi dan
akomodasi, perencanaan, presentasi dan monitoring diri.
Modul konstruktivis-metakognitif dikembangkan konsep-konsep
konstruktivis personal, konstruktivis sosial (kolaboratif), dan strategi
metakognitif. Modul pembelajaran berbasis kontruktivis-metakognitif
memfasilitasi siswa untuk melakukan kegiatan konstruktivisme personal dan
sosial yaitu: 1) mengaktifkan skemata awal, 2) menerima asimilasi, 3)
melakukan akomodasi dengan dipacu oleh ketidak seimbangan kognitif, 4)
melakukan proses scaffolding hingga mencapai zona proximal develpoment
(ZPD). Aktivitas yang terdapat dalam modul diperkuat dengan pelatihan-

85
pelatihan strategi metakognitif seperti keterampilan, 1) perencanaan, 2)
memanajemen informasi, 3) memonitor, 4) merevisi, dan 5) mengevaluasi.
(Prayitno, 2014). Dalam konteks kontruktivisme, peserta didik dapat diajak
berbincang tentang berbagai macam pengetahuan dan dari berbagai macam
titik awal tergantung pengetahuan dasar yang dimiliki oleh peserta didik
bersangkutan.
Komponen konstruktivis-metakognitif yang diturunkan menjadi
langkah-langkah kegiatan yang berpotensi dalam meningkatkan kemampuan
berpikir kritis siswa (Matanluk, Mohammad, Norizah, Kiflee, & Imbug,
2013). Langkah-langkah kegiatan dalam konstruktivis-metakognitif tersebut
yaitu: (1) pembentukan kelompok kolaboratif, berisikan perintah untuk
siswa melakukan pengkonstruksian konsep dalam kelompok kecil hingga
mencapai Zona Proximal Development (ZPD), (2) Aktivasi skemata awal,
kegiatan ini membimbing siswa dalam memunculkan kembali penetahuan
awal tentang materi yang akan dipelajari dalam bentuk peta pemikiran, (3)
Konflik Kognitif, melatihkankemampuan evaluasi siswa dengan
mengkonstruk kembali pengetahuan yang telah dimiliki dengan pengetahuan
baru yang didapat sehingga terjadi proses asimilasi dan akomodasi (4)
Pengkonstruksian Konsep, Fase iniberpotensi meningkatkan kemampuan
berfikir kritis dikarenakan mengharuskan siswa mampu membangun konsep
dengan melakukan diskusi dan eksperimen sehingga melatihkan kemampuan
analisis, menyimpulkan, dan regulasi diri, kemudian mengelaborasikannya
dengan berbagai sumber teori yang membutuhkan kemampuan analisis dan
evaluasi, (5) Presentasi Kelas, berisikan panduan siswa menyajikaan data
hasil pengkonstruksian konsep dan mengkomunikasikannya, kegiatan tersebut
mampu melatih kemampuan penjelasan dan interpretasi siswa. (6) Tes
Individu, berisikan soal latihan yang mengacu pada soal-soal evaluasi yang
mencakup indikator berpikir kritis, (7) Rekognisi Tim, bagian terakhir ini
melatihkan soswa memonitor kemajuan belajarnya dengan menuliskan
peningkatan nilai setelah melakukan kegiatan belajar, menuliskan materi yang
masih susah dipahami, kendala-kendala dalam belajar.

86
Pemilihan Modul berbasis Konstruktivis-Metakognitif sebagai solusi
penyelesaian akar masalah rendahnya berpikir kritis memiliki pertimbangan
sebagai berikut:
1) Kelebihan modul dibandingkan model
Menurut teori master e-learnig, pembelajaran yang dilakukan
dalam kelas memiliki kelemahan yaitu terbatasnya waktu dalam
melakukan kegiatan belajar. Siswa yang memiliki tingkat akademik bawah
(AB) memiliki kebuuhan waktu yang lebih lama dari pada siswa dengan
tingkat akademik atas (AA). Pembelajaran yang terfokus hanya pada
penerapan model pembelajaran akan sulit mengakomodasi kebutuhan
siswa AB. Maka dari itu, dipilihlah Modul yang mampu menjadi bahan
ajar yang mandiri bagi siswa kapanpun, dan dimanapun tanpa waktu yang
terbata sehingga kesenjangan kemampuan akademik AA dengan AB
menjadi sedikit
2) Keunggulan konstuktvis-metakognitif
Konstruktivis-metakognitif memiliki keunggulan dibanding
pembelajaran berbasis saintifik yang lain, misalnya Inquiry Learning.
Keunggulan tersebut yaitu, konturkstivis-metakognitif memberikan
tambahan aktivitasinti konflik kognitif di awal pembelajaran siswa akan
menjadi memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Dengan rasa ingin tahu
yang tinggi tersebut membuat siswa termotivasi dalam belajar. Membuat
siswa termotivasi dalam belajar merupakan kegiatan kunci suksesnya
pembelajaran dalam kelas, sehingga siswa mampu untuk diajak ke
kegiatan proses berpikir tingkat tinggi sekalipun. Rasa ingin tahu
merupakan dasar utama siswa melontarkan pertanyaan. Sesuai dengan
Duron (2006) kemampuan berpikir kritis dapat ditingkatkan dengan
proses pembelajaran basis pada peatihan betanya.
3) Pentingnya kemandirian belajar siswa
kegiatan siswa dalam membangun pengetahuannya secara mandiri
merupakan optimalisasi pelatihan kemampuan berpikir kritis. Cara
belajar siswa mandiri menjadikan guru hanya bersifat sebagai fasilitator.

87
Dengan begitu, perlu adanya modul yang mempu membantu siswa dalam
belajar secara mandiri
Modul Biologi yang dipilih adala modul cetak pada materi Sirkulasi.
Hasil analisis UN nasional 2015/2016 menunjukan beberapa materi dengan
hasil yang masih tergolong rendah. Salah satu materi yang tergolong rendah
adalah Sistem Sirkulasi. Hal tersebut dapat dilihat pada tingkat ketuntasan
siswa pada materi sistem sirkulasi di Kota Surakarta masih rendah, yakni
20% pada tahun 2014/2015 dan kurang dsri 30% pada tahun 2015/2016. Hal
ini digunakan dasar sebagai pemiliihan materi modul yang akan
dikembangkan.
Konstruktivis-metakognitif sebagai salah satu pendekatan pembelajaran
berpotensi meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Pembelajaran berbasis
Konstruktivis-Metakognitif tidak hanya menekankan ke produk tetapi juga
menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan
menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan
(Prayitno, 2014). Siswa tidak hanya pasif mendengarkan penjelasan guru
secara verbal, tetapi jugamenemukan inti dari materi pelajaran secara mandiri
sehingga seluruh aktivitas yang dilakukansiswa diarahkan mengkonstruk
pengetahuan melalui penemuan. Penelitian Arianovita (2015) menunjukan
pengaruh model konstruktivis-metakognitif dalam meningkatkan hasil belajar
siswa lebih optial dibanding dengan pembelajaran yang bersifat konvensional
(Arianovita, 2015).

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Berpikir Kritis merupakan kemampuan yang belum dilatihkan


secara oprimal dalam pembelajaran di sekolah. Kemampuan berpikir kritis
merupakan kemampuan yang penting dalam menghadapi permaalahan

88
sehari-hari di masa depan. Rendahnya kemampuan berpikir kritis
disebabkan karena kurangnya pebelajaran yang berorientai pada proses.
Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dalam
pembelajaran adalah dengan mengembangkan modul berbasis
konstruktivis-metakognitif. Beberapa bagian dalam modu bisa
dimodifikasi sesuai langkah kegitan inti model konstruktivis-metakognitif
yang bertujuan meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.
Berdasarkan kajian teori yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan
bahwa modul berbasis konstruktivis-metakognitif berpotensi meingkatkan
kemampuan berpikir kritis siswa.

SARAN

1. Guru
a. Guru harus memperhatikan manajemen waktu di dalam kelas, jangan
sampai ada terlalu banyak waktu kosong yang membuat siswa
bingung.
b. Guu harus lebih memberikan kesempatan pada siswa untuk bertanya
dan merencanakan sebuah kegiatan untuk mencapai tujuan
pembelajaran.
c. Guru harus lebih bisa memanfaatkan bahan ajar dan sarana Guru bisa
membuat suasana kelas menjadi lebih aktif dengan memperhatikan
blocking.
d. Reward akan memacu siswa dalam belajar.

2. Siswa
Kemampuan akademik setiap siswa tidak bisa dianggap sama. Siswa
harus bisa menemukan / mengembangkan cara belajar mereka masing-
masing untuk memperoleh hasil pembelajaran yang optimal.

3. Peneliti

89
Berdasarkan makalah ini perlu dilakukan penelitian pengembangan
dengan judul “Pengembangan Modul Berbasis Konstruktivis-
Metakognitif Materi Sistem Sirkulasi untuk Meningkatkan Berpikir
Kritis Siswa Kelas XI MIPA SMA."

DAFTAR PUSTAKA

Amy, J. P & Cherin, L. 2003. The Power of Practice: What Students Learn From
How We Teach. Journal of Chemical Education, 80 (7): 829 – 832.
Arianovita, R. D. (2015). The Influence of Constructivis-Metacognitive Model
Toward Cognitive Learning Outcome and Students Retention Main Subject
Coordinatiom System on Students Of XI MIPA SMAN 3 Surakarta In
Academic Year 2014/2015. BIOPAEDAGOGI.
Arsyad, Azhar. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Press.
Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Djamarah. S. B., & Zain, A. 2005. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka
Cipta.
Degeng, I N. S, 2001. Landasan Dan Wawasan Kependidikan. Malang: Lembaga
Pengembangan dan Pendidikan (LP3) Universitas Malang.
Duron, R., Limbach, B., & Waugh, W. (2006). Critical Thinking Framework For
Any Discipline. International Journal of Teaching and Learning in Higher
Education, 17(2), 160–166. https://doi.org/10.1016/j.nepr.2006.09.004
Ennis R H. 1985. Goals for A Critical Thinking Curriculum. In A.L. Costa (Ed.).
Developing Minds: A Resource Book for Teaching Thinking. Virginia:
Assosiation for Supervisions and Curriculum Development (ASCD).
Ennis R H. 1993. Critical Thinking Assesment. Journal Theory and Practice 32
(2): 179-186.
Fahrudin Faiz. 2012. Thinking Skill( Pengantar Menuju Berpikir Kritis).
Yogyakarta: SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga.
Facione, P. A. (2015). Critical Thinking : What It Is and Why It Counts, 1–30.

90
Filsaime, D.K. 2008. Menguak Rahasia Berpikir Krits dan Kreatif. Jakarta :
Prestasi Pustaka.
Hamalik, Oemar. 2005. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan
Sistem. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Hassoubah, Izhab Zaleha. 2004. Developing Creatif and Critical Thinking Skill
(Cara Berpikir Kreatif dan Kritis). Bandung: Nuansa.
Hidayat, T. 2009. Analisis Keterampilan Observasi Siswa SMA Kelas X Dalam
Praktikum Teradisi Audio Visual Pada Sub Materi Pokok Larutan
Elektrolit dan Non Elektrolit. (Skripsi). Jurusan Pendidikan Kimia,
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Husamah dan Yanur Setyaningrum. 2011. Desain Pembelajaran Berbasis
Pencapaian Kompetensi. Bandung: Prestasi Pustaka.
Janjai, S. (2012). Improvement of the Ability of the Students in an Education
Program to Design the Lesson Plans by Using an Instruction Model based on
the Theories of Constructivism and Metacognition. Procedia Engineering,
32, 1163–1168. https://doi.org/10.1016/j.proeng.2012.02.072
Jeni Wilson dan Clark David. 2004. Toward the Modelling of Mathematical
Metacognition. Mathematics Education Research Journal, University of
Melbourne, (Vol. 16 , No 2).
.Kemendikbud. 2013. Konsep Pendekatan Scientific. Jakarta: Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Kenneth D. Moore. 2005. Effective Instructional Strategies From Theory to
Practice. London: Sage Publications, Inc.
Kurnia, E. 2010. Analisis Keterampilan Proses Sains Siswa SMA Pada
Pembelajaran Sistem Koloid Menggunakan Metode Praktikum Berbasis
Masalah. (Skripsi). Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan
Indonesia, Bandung
Lestari, Ika. 2013. Pengembangan Bahan Ajar Kompetensi (sesuai dengan
kurikulum KTSP). Padang: Akademia Permata.
Lilisari. 2003. Peningkatan Mutu Guru dalam Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi
melalui Model Pembelajaran Kapita Selekta Kimia Sekolah Lanjutan. Jurnal
Pendidikan Matematika dan Sains. Edisi 3 Tahun 2003. Hal 175.
Matanluk, O., Mohammad, B., Norizah, D., Kiflee, A., & Imbug, M. (2013). The
Effectiveness of Using Teaching Module Based on Radical Constructivism
toward Students Learning Process. Procedia - Social and Behavioral
Sciences, 90(InCULT 2012), 607–615.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.07.132
Minarti I. 2012. Perangkat Pembelajaran BIOLOGIBiologi Bervisi K-M Berbasis
Edutainment pada Tema Pencernaan. Journal of Innovative Science
Education. Volume 1 Nomor 2.
Muslich, Masnur. 2008. Apa Itu
KTI.http://muslichm.blogspot.com/2008_03_01_archive.htm (diakses
pada 13 Juni 2016).
Muhfahroyin. 2009. Memberdayakan kemampuan berpikir kritis siswa melalui
pembelajaran konstruktivik. Jurnal Pendidikan & Pembelajaran 16 (1):
88-93.

91
Page, D. & Mukherjee, A. 2006. Using Negotiation Excercises to Promote Critical
Thinking Skills. BusinessSimulation and Experimental Learning.
30(1):71-78.
Permendikbud No. 81. A. 2013. Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta:
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Prantiya. 2008. Kontribusi Fasilitas Belajar dan Motivasi Berprestasi Terhadap
Hasil Belajar Kimia Siswa SMA Negeri 1 Karangnongko Kabupaten
Klaten. Tesis tidak diterbitkan. Surakarta: Program Pascasarjana UMS
Prastowo, Andi. 2002. Memahami Metode-metode Penelitian. Jogjakarta. Ar-Russ
Media.
Primarinda, Ikha. 2014. Pengembangan Modul Berorientasi Problem Based
Learning(PBL) Pada Materi Pencemaran Untuk
MemberdayakanKemampuan Berpikir Kritis Dan Sikap Peduli
Lingkungan SiswaSMA Negeri 1 Karanganyar. Jurnal Program Studi
Magister Pendidikan Sains Fakultas Keguruan Dan Ilmu
PendidikanUniversitas Sebelas Maret Surakarta.
.
Putra, Sitiatava Rizema. 2013. Desain Belajar Mengajar Kreatif Berbasis Sains.
Yogyakarta: DIVA Press.
Robih, M. Wildan. 2015. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri dan
Kemampuan Berpikir Kritis terhadap Hasil Belajar Siswa di SMK Negeri
1 Lamongan. Jurnal Fakultas Ekonomi , Jurusan Pendidikan Ekonomi,
Universitas Negeri Surabaya.
Rusman. 2012. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rustaman, N. 2001. Ketrampilan Bertanya dalam Pembelajaran BIOLOGI.
Dalam Hand Out Bahan Pelatihan Guru-guru BIOLOGI SLTP Se Kota
Bandung di PPG BIOLOGI. Depdiknas.
Rustaman N, S Dirjosoemarto, Y Ahmad, S A Yudianto, D Rochintaniawati, M
Nurjhani K. & Subekti R.. 2003. Strategi Belajar Mengajar Biologi.
Bandung: Jurusan Pendidikan Biologi FPMBIOLOGI UPI.
Santoso, H. 2009. Pengaruh Penggunaan Laboratorium Riil dan Laboratorium
Virtuilpada Pembelajaran Fisika Ditinjau dari Kemampuan Berpikir
Kritis Siswa. Tesis. Solo: PPS UNS.
Santoso, H. 2010. Memberdayakan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Melalui
Pembelajaran Konstruktivik. Jurnal Bioedukasi 1 (1): 50-56.
Sardiman. 2007. Media Pendidikan. Pengertian, Pengembangan dan
Pemanfaatan. Jakarta: Rajawali Pers.
Sardiman. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta. PT.
Rajagrafindo.
Sudarman. 2007. Pola Peningkatan Kualitas Pembelajaran Lingkungan Hidup
Siswa Kelas XI IA SMA Negeri 9 Semaang pada Pokok Bahasan
Pencemaran Lingkungan Melalui Pendekatan Kontekstual Berwawasan
K-M 1 . Jurnal Lembaran Ilmu Kependidikan Universitas Negeri
Semarang. Jilid 36 Nomor 1:53-60.
Sudjana, Nana. 2005. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.

92
Sumanto, 2005, Pengembangan Kreativitas Seni Rupa Anak TK,Jakarta:
DireturPembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan
PerguruanTinggi.
Supriya. 2009. Pendidikan IPS. Bandung: PT Reamaja Rosdakarya.
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi
Konstruktivistik.Jakarta: Prestasi Pustaka.
Trianto. 2013. Model Pembelajaran Biologi. Surabaya: Bumi Aksara.
Utami Munandar.2009. Kreativitas dan Keberbakatan. Jakarta: PT Gramedia
Utama.Wartono. 2003. Strategi Belajar Mengajar Fisika. Malang:
Universitas Negeri Malang.
Wicaksono, Candra. A. G. 2014. Hubungan Keterampilan Metakognitif Dan
Berpikir KritisTerhadap Hasil Belajar Kognitif Siswa Sma Pada
Pembelajaran Biologi Dengan Strategi Reciprocal Teaching. Jurnal
Pendidikan Sains, Pendidikan Biologi-Universitas Negeri Malang,Vol.2,
No.2, Juni 2014, Hal 85-92.
Widayanto. 2009. Pengembangan Keterampilan Proses dan Pemahaman Siswa
Kelas X Melalui KIT Optik. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 5(1): 1-
9.
Wiradana, I Wayan Gde. 2012. Pengaruh Strategi Konflik Kognitif Dan Berpikir
KritisTerhadap Prestasi Belajar BIOLOGI Kelas VII SMA Negeri 1
NusaPenida. Jurnal Program Studi Teknologi Pembelajaran, Program
Pasca Sarjana UniversitasPendidikan Ganesha Singaraja.
Zamroni  & Mahfudz. 2009.Panduan Teknis Pembelajaran Yang
Mengembangkan Critical Thinking. Jakarta: Depdiknas

93

Anda mungkin juga menyukai