1766 7894 2 PB
1766 7894 2 PB
Karya ini dipublikasikan di bawah lisensi Creative Commons Attribution 4.0 International License
ABSTRACT
The World Health Organization (WHO) declared Covid-19 as a Pandemic on March 11, 2020. Several
countries have already issued several policies to decline the spread of the virus. One of these policies is
entry regulation and travel restrictions. This policy aims to prevent the transmission and spread of the virus
due to human movement. On the other hand, human rights conventions protect the right to move and enter a
country and prohibit discrimination. This paper reviews the perspective of international law concerning
entry regulation policy and discusses Indonesia’s domestic policy in dealing with the outbreak. This paper
uses the normative juridical method with secondary data. It consists of primary legal materials, secondary
legal materials, and tertiary legal materials. This paper summarizes that state policy regarding entry
regulation and travel ban restrictions are allowed under international law. It had already made an impact by
reducing the number of corona outbreaks across national borders. However, this policy may violate human
rights if it does not refer to applicable legal provisions and other human rights conventions. This paper
suggests that policymakers be aware and careful in using the entry regulation policy.
Keywords: human rights; entry regulation and travel ban restriction; covid-19.
ABSTRAK
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Covid-19 sebagai Pandemi pada 11 Maret 2020. Sejumlah
negara telah membuat berbagai kebijakan untuk menekan penyebaran virus tersebut. Salah satu kebijakan
tersebut adalah regulasi masuk dan pembatasan perjalanan. Kebijakan ini dipandang perlu untuk mencegah
penularan dan penyebaran virus secara masif akibat pergerakan manusia. Di sisi lain, konvensi hak asasi
manusia memberikan perlindungan terhadap hak untuk bergerak dan memasuki suatu negara dan melarang
tindakan diskriminasi. Tulisan ini mengkaji perspektif hukum internasional tentang kebijakan masuk dan
pembatasan perjalanan serta membahas kebijakan domestik Indonesia dalam menanggulangi wabah
korona. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan data sekunder yaitu bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Tulisan ini merangkum bahwa kebijakan negara
mengenai pengaturan masuk dan pembatasan larangan bepergian merupakan sesuatu yang dibolehkan
menurut hukum internasional. Hal ini berdampak pada pengurangan jumlah wabah korona lintas batas
negara. Meskipun demikian, kebijakan ini mungkin melanggar hak asasi manusia jika tidak mengacu pada
ketentuan hukum yang berlaku seperti konvensi hak asasi manusia. Tulisan ini menyarankan kepada para
pembuat kebijakan untuk berhati-hati dalam menggunakan kebijakan entry regulation.
Kata Kunci: hak asasi manusia; pembatasan perjalanan dan masuk; covid-19.
1
JURNAL HAM
Volume 12, Nomor 2, Agustus
2
Pembatasan Hak Untuk Bergerak (Right To Move) Melalui Larangan
Masuk
3 “Impact assessment of the COVID-19
outbreak on international tourism | UNWTO,”
diakses Juni 18, 2021,
https://www.unwto.org/impact-assessment-of-
the-covid-19-outbreak-on-international-
tourism.
4 Ibid
5 “Rasio Gini 2020 Naik Jadi 0,385, Covid-19
Buat Ketimpangan Makin Lebar - Ekonomi
Bisnis.com,”
3
Pembatasan Hak Untuk Bergerak (Right To Move) Melalui Larangan
Masuk
rasio gini ini tentunya merupakan akibat dari Ada dua teori mendasar dalam konsep
kebijakan pembatasan berskala besar (PSBB) pemenuhan HAM yaitu teori berdasarkan prinsip
yang diambil oleh Pemerintah dimana salah kebebasan (liberty) di negara-negara common law
satunya adanya pembatasan bergerak orang. dan teori berdasarkan prinsip hak (rights) di
Pembatasan hak untuk bergerak akan negara- negara di civil law. Kedua-duanya
melambankan laju pergerakan ekonomi rakyat. mengarah pada hubungan antara negara dan
Keadaan ini seyogyanya mengiring Pemerintah individu. Berupaya mengatur batasan intervensi
pada keadaan dilema dan simalakama yaitu pemerintah dalam kehidupan pribadi individu.
antara menjaga pertumbuhan ekonomi atau Singkat kata, teori liberty menginginkan bahwa
menekan laju penyebaran Covid-19. Pemerintah individu bebas dari intervensi sewenang-
seakan dihadapkan pada Fetakompi antara wenangan negara, adapun teori rights
memilih mengedepankan ekonomi atau mendasarkan pada hak-hak yang melekat pada
kesehatan. Meskipun, kedua hal ini penting dan individu yang harus dihormati oleh negara.7
perlu diperhatikan. Oleh karena itu, Pemerintah Hak untuk bergerak (freedom of movement)
harus dapat memformulasikan kebijakan yang sudah dikenal sebagai narasi tentang hak individu
seimbang antara kedua hak tersebut dan tanpa untuk bermobilisasi dan memasuki negara
mengabaikan satu diantaranya. Tentu, tidak lain, atau dilihat sebagai cara lain untuk dapat
mudah mencari titik keseimbangan (equilibrium berkeliling dan masuk ke negara lain tanpa
point) pemenuhan hak ekonomi dan hak adanya pembatasan imigrasi. Hak untuk bergerak
Kesehatan. Pilihan pembatasan hak bergerak (freedom of movement) muncul dalam tiga
yang dipilih oleh Pemerintah tentunya manifestasi dalam universal deklarasi hak asasi
memberikan dampak baik guna menekan jumlah manusia dan Konvensi Sipil dan Politik.
penyebaran virus korona. Namun, di sisi lain, Sebagaimana dikutip oleh Jane McAdam yaitu
jika kebijakan ini terus digunakan tanpa ada batas first, it encompasses the right to move freely
waktu dan solusi alternatif lainnya, tidak within a country and to choose one’s place of
menutup kemungkinan akan memunculkan residence there, secondly, it includes the right to
masalah sosial baru seperti kemiskinan, cross an international border, expressed as the
kriminalitas dan psikologi. right to leave any country, including one’s own.
Deklarasi Universal tentang HAM Thirdly, it extends to the right to return to one’s
Tahun 1948 adalah puncak perjuangan HAM country.8 Sehingga pada intinya hak untuk
internasional, tindakan-tindakan yang dilakukan bergerak merupakan hak asasi setiap individu
oleh komunitas internasional ini tidak terlepas untuk berpindah/mutasi dari satu wilayah ke
dari idealisme demokrasi dan konsep negara wilayah lain di bumi tanpa adanya pembatasan
hukum (the rule of law), sebagai dari bangunan yang melanggar hak asasi manusia dan dilarang
dasar dari tatanan dunia.6 Demokrasi sebagai diskriminatif.9
paham kedaulatan rakyat menempatkan rakyat
pada centrum kekuasaan yang harus
7 Sefriani,2016, Peran Hukum Internasional Dalam
diprioritaskan pemenuhan hak dan kewajibannya. Hubungan Internasional Kontemporer, (Jakarta:
Begitu pula dengan ciri negara hukum (the rule Rajawali Press), 321.
8 Jane Mcadam, “An Intellectual History of
of law) yang memiliki karakteristik jaminan hak
Freedom of Movement in International Law,”
asasi manusia dalam bingkai hukum. Melbourne Journal of International Law 12, no. 1
(2011): 1–30, http://law.unimelb.edu.au/
data/assets/pdf_file/0011/1686926/McAdam.
diakses Juni 18, 2021, https://ekonomi.bisnis.com/ pdf.
read/20210215/9/1356258/rasio-gini-2020-naik-jadi-
9 Antonio Guterres, “We are all in this Together:
0385-covid-19-buat-ketimpangan-makin-lebar.
Human Rights and COVID-19 Response and
6 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006, Recovery | United Nations,” diakses Agustus 3, 2021,
Hukum Internasional Kontemporer, (Bandung: Refika https://www.un.org/ en/un-coronavirus-
Aditama), 25. communications-team/we-are-all- together-human-
rights-and-covid-19-response-and.
30
JURNAL HAM
Volume 12, Nomor 2, Agustus
30
Pembatasan Hak Untuk Bergerak (Right To Move) Melalui Larangan
Masuk
12 Wouter Van Ballegooij dan Cecilia Navarra,
“An EU mechanism on democracy, the rule of
law and fundamental rights,” last modified
September 2020, diakses Juli 30, 2021,
https://www.europarl.europa.
eu/RegData/etudes/STUD/2020/654186/
EPRS_ STU(2020)654186_EN.pdf.
13 Vitit Muntarbhorn, “The International
Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR) and Thailand,” The Core Human
Rights Treaties and Thailand 999, no.
14668 (2016): 141–194.
30
JURNAL HAM
Volume 12, Nomor 2, Agustus
menimbulkan masalah yang lebih besar dari virus Hak Sipil dan Politik
Covid-19 itu sendiri. Lalu, di saat yang
bersamaan, beberapa pemerintahan di beberapa
negara di awal penanganan menyangkal Covid-
19 telah masuk ke negaranya. Lebih lanjut,
bahkan banyak pihak yang mencoba mengaitkan
penanganan Covid-19 dengan rezim
pemerintahannya karena tidak berhubungan
dengan keberhasilan respons dalam penanganan
Covid-19.14
Walaupun dalam hal tertentu, hukum
internasional membolehkan pembatasan hak
untuk bergerak demi alasan keamanan seperti
yang dicantum dalam Pasal 15 ECHR atau Pasal
4 ayat 1 ICCPR. Pembatasan atas hak tersebut
boleh dilakukan jika diperlukan dengan
memperhatikan prinsip proporsional, tidak
bersifat diskriminatif dan berdasarkan bukti
ilmiah.15 Dengan kata lain, hukum internasional
mensyaratkan sejumlah parameter yang harus
dipenuhi dalam kebijakan pembatasan
perpindahan orang antar negara. Oleh karena itu,
kebijakan tersebut harus dilakukan secara hati-
hati karena berpotensi melanggar hak asasi
manusia, terutama apabila tidak patuh dengan
aturan hukum internasional.
Perdebatan antara hak asasi manusia yang
mana yang dikedepankan atau diprioritaskan
dalam penanganan Covid-19 telah menjadi
diskursus yang panjang dan penuh dengan
dinamika. Hak atas hidup yang melekat pada hak
atas kesehatan menjadi alasan melegalkan
tindakan dengan membuat larangan masuk ke
negara- negara yang memiliki jumlah kasus
relatif tinggi ataupun penutupan. Hal ini
dilakukan dengan alasan perlindungan warga
negara di wilayahnya dari negara manapun, baik
negara rendah kasus penyebarannya, maupun
negara dengan jumlah kasus tinggi dan
penanganan yang lemah.
Sebagai contoh, Indonesia mengakui hak
asasi manusia untuk melakukan perjalanan dan
31
Pembatasan Hak Untuk Bergerak (Right To Move) Melalui Larangan
Masuk
bergerak (freedom of movement), tetapi di sisi 16 John Rawls, “Justice as Fairness” (Bandung:
Nusamedia, 1999), 219.
lain, Indonesia juga memiliki kewajiban asasi
untuk memastikan hak atas Kesehatan bagi
warga negaranya dalam membuat kebijakan
menghadapi pandemi. Ketentuan tersebut
dapat ditemukan didalam Pasal 27 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia juncto Pasal 28
huruf A Undang-Undang Dasar NRI 1945.
Setiap negara termasuk Indonesia harus
mampu melakukan penilaian dan pengukuran
atas setiap kebijakannya terhadap potensi
pelanggaran HAM yang mungkin terjadi.
Salah satu teori yang membahas tentang
menilai keadilan dalam kebijakan publik
adalah pemikiran John Rawls tentang konsep
Maximin (Maximum Minimorum) yaitu setiap
kebijakan yang dibuat sebaiknya menimbang
seberapa besar manfaat yang dapat dihasilkan
dan mudarat yang akan ditimbulkan. Apabila
kebijakan yang dibuat membuahkan
keuntungan yang lebih besar dari kerugian
yang terjadi, kebijakan tersebut dapat
dikatakan baik. Hal ini vis versa apabila
kebijakan yang dibuat menimbulkan dampak
kerugian yang massif dan besar dibandingkan
manfaatnya, maka seharusnya kebijakan
tersebut tidak dipilih.16
Penilaian atas kebijakan publik dan
hukum yang diambil dalam masa pandemik
ini perlu dinilai dan diuji dari segi pemenuhan
hak asasi manusia. Kerap kali, aspek
pemenuhan hak asasi manusia terabaikan
manakala pemerintah membuat kebijakan
dalam menghadapi keadaan darurat, baik
bencana alam maunpun non-alam. Sementara,
dalam konsep hak asasi manusia, pemenuhan
HAM tidak mengenal situasi karena dalam
keadaan apapun HAM patut dipenuhi dan
dihormati.
Sebagaimana dinukilkan oleh Mahfud
MD, sejatinya, ada dua jenis peraturan
perundang- undangan yaitu peraturan
perundang-undangan yang responsif yaitu
yang mampu menjawab kebutuhan hukum
publik dan peraturan perundang- undangan
yang non-responsif (ortodoks) yaitu yang
tidak mampu menjawab tantangan dan
31
JURNAL HAM
Volume 12, Nomor 2, Agustus
31
Pembatasan Hak Untuk Bergerak (Right To Move) Melalui Larangan
Masuk
warganya jika negara dalam keadaan darurat. memiliki kewajiban untuk melindungi hak untuk
Pasal 15 ECHR mengatur mengenai pembatasan hidup,24yang mungkin dapat dijadikan justifikasi
hak pada saat darurat, mengizinkan negara pada dalam membatasi beberapa hak asasi manusia
saat perang atau keadaan darurat publik lainnya lainnya.
yang mengancam kehidupan Bangsa [..] untuk
mengambil tindakan yang menyimpang dari B. Situasi Darurat Menurut Hukum
kewajibannya…’.20 Ketentuan serupa dapat Internasional
ditemukan di Pasal 4 (1) Kovenan Internasional Seperti dikatakan sebelumnya, hukum
tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Pasal 27 internasional memberikan kelonggaran bagi
(1) Konvensi Amerika tentang Hak Asasi negara-negara untuk membatasi hak-hak asasi
Manusia (ACHR), atau Pasal 4 Piagam Arab bagi warganya jika dalam situasi darurat yang
tentang Hak Asasi Manusia. Satu-satunya membahayakan. Oleh karena itu, penilaian
regulasi yang tidak memperkenankan pembatasan terhadap situasi tersebut dapat dibebankan
adalah Piagam Afrika yang tidak memuat kepada negara. Salah satu contoh lagi dari
ketentuan tentang pengurangan/pembatasan hak. Konvensi Uni Eropa Mengenai Hak Asasi
Komisi Afrika menyimpulkan bahwa tidak ada Manusia (ECHR). Menurut ECHR, pembatasan
pembatasan yang mungkin dilakukan.21 hak dapat berlaku pada saat perang atau keadaan
Kemungkinan untuk melakukan pembatasan hak darurat publik lainnya yang mengancam
pada saat darurat tidak menggantikan batasan kehidupan bangsa. Instrumen hukum yang lebih
yang diizinkan atas hak asasi manusia. Jika tanpa baru biasanya tidak mengacu pada perang tetapi
menggunakan tindakan yang membatasi hak-hak, berisi referensi serupa untuk keadaan darurat
sebaiknya hal tersebutlah yang dilakukan. yang mengancam publik. ICCPR mengacu pada
Emilie Hafner-Burton dan kawan kawan “keadaan darurat publik yang mengancam
mendefinisikan derogation (pengurangan/ kehidupan bangsa ...”,25 sementara ACHR
pembatasan) sebagai “tindakan rasional yang menyebutkan “waktu perang, bahaya publik, atau
dilakukan terhadap ketidakpastian, yang keadaan darurat lainnya yang mengancam
memungkinkan Pemerintah untuk mengulur kemerdekaan atau keamanan suatu Negara”.26
waktu dan ruang bernafas dengan menggunakan Di sisi lain, Pengadilan Hak Asasi Manusia
hukum untuk mengatur masyarakat dan Eropa mendefinisikan “keadaan darurat publik
memerangi krisis dengan membatasi sementara yang mengancam kehidupan bangsa sebagai
kebebasan sipil dan politik”.22 Sedangkan, situasi krisis atau darurat yang luar biasa yang
klausul derogasi, menurut Gerald L. Neuman, mempengaruhi seluruh populasi dan merupakan
bertentangan dengan gagasan tentang hak asasi ancaman bagi kehidupan terorganisir komunitas
manusia, tetapi dapat berkontribusi pada di mana Negara disusun”.27 Pengadilan
perlindungan efektif bagi manusia.23 Memang, di memutuskan bahwa keadaan darurat harus ‘aktual
satu sisi, negara atau segera’.28
Kriteria sifat darurat yang akan segera terjadi Keputusan Presiden (Keppres) No. 11 Tahun
adalah sangat penting dalam konteks pandemi, 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan
karena memungkinkan negara untuk segera Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-
mengantisipasi dengan mengambil langkah- 19). Sejalan dengan hal tersebut terbit pula
langkah pembatasan dini untuk menghindari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
pembatasan yang lebih parah di kemudian hari. (Perppu) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Tidak ada keraguan lagi bahwa krisis Covid-19 Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
sesuai dengan kriteria tersebut, dengan ancaman Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona
aktual dan yang akan segera terjadi (tergantung Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam
negaranya) terhadap hak semua individu atas Rangka Menghadapi Ancaman Yang
kesehatan dan hak untuk hidup. Serta negara Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau
biasanya memiliki beberapa keleluasaan Stabilitas Sistem Keuangan. Dapat kita lihat dari
mengenai karakterisasi keadaan darurat publik contoh sebelumnya bahwa, negara secara umum
karena mereka berada pada posisi yang efektif banyak yang tidak siap dalam menghadapi
untuk menilai risikonya. pandemi Covid-19. Sehingga akhirnya banyak
Beberapa negara anggota Uni Eropa negara yang melakukan diskresi untuk tetap
menyatakan negara mereka dalam keadaan memastikan kegiatan pemerintahan negaranya
darurat dan mengklaim hak-hak khusus yang berjalan tetapi tetap menjunjung tinggi Hak Asasi
diatur dalam Pasal 15 ECHR bahwa negara Manusia (HAM).
dibolehkan dalam keadaan darurat untuk
C. Hak atas Bergerak Dimasa Pandemi
membatasi hak-hak tertentu dan harus segera
dicabut jika situasinya telah usai. Pada Pada hakikatnya setiap negara diwajibkan
pertengahan Agustus 2020 Albania, Armenia, mematuhi setiap ketentuan hukum internasional
Estonia, Georgia, Latvia, Makedonia Utara, yang sudah dibuat berdasarkan prinsip pacta
Moldova, Rumania, San Marino, dan Serbia telah sunt servanda30. Di mana ketentuan hukum
memberi tahu Sekretaris Jenderal Majelis Eropa internasional merupakan undang-undang
atas niat mereka untuk mengklaim Pasal 15 (hukum) yang mengikat para pihak. Reputasi dan
ECHR guna menekan penyebaran virus Covid-19 citra suatu negara sangat tergantung atas
dan Sekarang ini, Albania, Estonia, Latvia, ketaatannya dalam menjalankan setiap hukum
Makedonia Utara, Moldova, Rumania, dan San internasional yang sudah menjadi hukum baik
Marino telah menarik keputusan pengurangan, melalui proses perjanjian yang membentuk
karena laju penyebaran virus Covid-19 telah hukum (law making treaty) ataupun kesepakatan
menurun. Beberapa negara anggota lainnya kedua belah pihak (treaty contract).31
memilih untuk tidak menggunakan Pasal 15 Kegagalan dan ketidakmampuan suatu
ECHR dan konsekuensinya mereka tetap harus negara dalam memenuhi kewajiban berdasarkan
mematuhi ketentuan standar ECHR dalam hukum internasional adalah bentuk pelanggaran
menanggulangi virus Covid-19.29 hukum internasional dan menyebabkan negara
Sementara di Indonesia sendiri sudah tersebut dipandang tidak memiliki kredibilitas.32
menginterpretasikan Covid-19 sebagai “keadaan Seperti dikemukan oleh Louis Henkin “If
darurat kesehatan akibat daripada itu Presiden diplomacy can maintain a climate of order and
Joko Widodo, pada 31 Maret 2020 telah provide lawful means for achieving change,
menetapkan these will induce
31
Pembatasan Hak Untuk Bergerak (Right To Move) Melalui Larangan
Masuk
the acceptance of law and the development of Negara memang mempunyai kewajiban
institutions for its observance. Habits of untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia,
accepting and observing law will, in turn, namun negara diizinkan pula untuk membatasi
contribute to international order and stability.”33 kewajiban hak asasi manusia mereka dengan cara
Akibatnya dengan adanya ketidakpatuhan akan tertentu dan dalam keadaan terbatas. ICCPR
kewajiban internasional dapat memengaruhi mengakui bahwa pembatasan pada hak-hak
sistem hukum internasional itu sendiri. tertentu dapat dilakukan selama “keadaan darurat
Konsekuensinya negara- negara memiliki publik yang mengancam kehidupan bangsa”.
kepentingan dalam kepatuhan karena Pasal 4 kovenan mengizinkan suatu negara untuk
ketidakpatuhan dapat mempengaruhi stabilitas mengambil tindakan yang menyimpang, atau
hukum internasional secara keseluruhan yang mengurangi dari kewajibannya dengan syarat: (1)
mungkin dapat merugikan mereka. jika keadaan darurat secara resmi diumumkan,
Kepatuhan dan ketidakpatuhan negara atas (2) pembatasan tersebut merupakan upaya
pemenuhan HAM akan dinilai dalam institusi terakhir dan (3) jika Tindakan tersebut tidak
internasional dan itu berkorelasi dengan citra mengandung diskriminasi semata-mata atas dasar
suatu negara dimata internasional. Selain itu ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama
adanya kepatuhan juga menunjukan komitmen atau asal-usul sosial. Disisi lain pasal tersebut
dan dampak perubahan standar penghormatan membatasi kemampuan untuk membatasi dengan
hak individu yang menjadi harapan dari mencantumkan tujuh hak khusus yang darinya
pengaturan Ham internasional.34 pembatasan tidak diperbolehkan.36 Ketika
Pemenuhan hak asasi manusia menjadi melakukan pembatasan hak-hak, negara
kewajiban bagi negara-negara di dunia, apalagi diwajibkan untuk memberi tahu Sekretaris
bagi negara-negara yang sudah meratifikasi Jenderal PBB tentang “ketentuan yang telah
instrumen HAM internasional. Tidak hanya itu, dibatasi dan alasannya” untuk pembatasan
bagi negara yang berpondasi demokrasi dan tersebut. Pemberitahuan selanjutnya juga
negara hukum maka ciri fundamental yang harus diperlukan saat pembatasan tersebut berakhir.
ada adalah jaminan HAM. HAM sendiri Sekretaris Jenderal menerbitkan pemberitahuan
dikelompok dalam dua tipe yaitu HAM yang ini kepada negara anggota lainnya.
mutlak dan HAM relatif. HAM yang bersifat Jelas dari laporan berbagai macam berita
mutlak, tidak dapat dikurangi dalam bahwa banyak negara telah menyatakan keadaan
pemenuhannya (non- derogable rights). darurat dan mengambil tindakan luar biasa
Dikatakan oleh Malcom Shaw “certain rights untuk memperlambat penyebaran Covid-19.
may not be derogated from in the various human Namun, sejauh ini hanya sepuluh negara yang
rights instrument even in times of war or other telah memberi tahu PBB bahwa mereka telah
public emergency threatening the nation 35. Vis mengurangi kewajiban ICCPR mereka karena
versa terdapat hak asasi yang pemenuhannya pandemi.37 Kewajiban yang dimaksud diatur dalam
masih dapat ditoleransi dengan beberapa alasan. Pasal 4 ayat 3 ICCPR yang mengatur kewajiban
Negara untuk segera melapor ke Sekretaris
31
JURNAL HAM
Volume 12, Nomor 2, Agustus
Jenderal PBB atas klaim mereka terhadap to move) sebagai kebijakan yang dapat diambil
keadaan darurat negaranya disertai dengan alasan dalam penanganan penyebaran penyakit lintas
mengapa mereka menyatakan tersebut. Tidak negara. Ketentuan tersebut termaktub didalam
satu pun negara yang terkena dampak paling Pasal 2 IHR 2005. Selengkapnya berbunyi:
parah, seperti China, Italia, Spanyol, dan
“The purpose and scope of these
Amerika Serikat, telah memberikan Regulations are to prevent, protect against,
pemberitahuan, namun mereka jelas telah control and provide a public health
mengambil tindakan yang menyimpang dari response to the international spread of
kewajiban mereka di bawah ICCPR. Dengan disease in ways that are commensurate
tidak memberikan pemberitahuan, negara with and restricted to public health risks,
melanggar kewajiban hak asasi manusia and which avoid unnecessary interference
meskipun kebijakan tertentu yang dilakukan with international traffic and trade”.
dapat diterima secara wajar. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 IHR 2005
Kuncinya di sini bahwa negara harus me- diatas bertujuan memberikan panduan dalam
laporkan kepada Sekretaris Jenderal PBB atas menangani penyebaran penyakit lintas negara
alasan mereka menyimpang dari kewajiban namun pada frasa terakhir dari ketentuan a quo
mereka yang tercantum didalam ICCPR. Namun, mengisyaratkan bahwa kebijakan penanganan
walaupun negara tidak melapor kepada Sekretaris penyebaran penyakit lintas batas negara sebisa
Jenderal PBB. Komite Internasional tetap berhak mungkin menghindari penggunaan pembatasan
untuk memantau hukum dan praktik suatu hak untuk bergerak dan pembatasan distribusi
Negara Anggota untuk memenuhi pasal 4 ICCPR perdagangan lintas negara.
oleh karena Negara Anggota secara otomatis Meskipun adanya rambu larangan
terikat dengan ketentuan tersebut dan tidak pembatasan hak untuk bergerak, namun bukan
bergantung pada apakah Negara Anggota berarti larangan pembatasan hak untuk bergerak
tersebut telah menyampaikan pemberitahuan, bersifat absolut, sebab Pasal 43 IHR 2005
sehingga jika ada kebijakan dari negara tersebut membolehkan negara-negara anggota WHO
yang tidak sesuai dan melanggar HAM tetap akan untuk melakukan pembatasan bergerak lintas
dipertanggung jawabkan terlepas mereka telah negara guna menekan penyebaran suatu penyakit
melapor atau tidak kepada Sekjen PBB mengenai melalui kebijakan tambahan yang bersifat
kebijakan negara mereka dalam keadaan darurat. kasuitis (additional measures). Artinya negara
D. Kepatuhan Negara terhadap Regulasi dapat saja membatasi pergerakan orang masuk
Kesehatan Internasional (IHR 2005) ke negara mereka dengan alasan-alasan tertentu
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 43 IHR
Regulasi Kesehatan Internasional
2005. Sehingga pembatasan hak untuk bergerak
(International Health Regulation 2005),
dapat dilakukan sebagai kebijakan tambahan dan
selanjutnya disebut IHR 2005, adalah instrumen
wajib memenuhi parameter yang ditetapkan
Hukum Internasional yang mengikat negara-
WHO berupa : pertama, adanya bukti ilmiah
negara di dunia, termasuk anggota Organisasi
bahwa kebijakan tersebut dapat menurunkan
Kesehatan Dunia (WHO). IHR sendiri
penyebaran penyakit lintas negara, kedua,
mempunyai tujuan untuk membantu komunitas
tersedianya bukti ilmiah dan relevan dengan
internasional dalam menghadapi penyakit yang
upaya penuruan penyebaran penyakit yang
mengancam masyarakat dunia termasuk Virus
dikeluarkan oleh WHO atau organisasi
Covid-19. Ketentuan dalam IHR 2005
internasional relevan lainnya, ketiga, tersedianya
memberikan perlindungan bagi warga negara
panduan dan saran secara spesifik yang
anggota dari penyebaran penyakit lintas negara.
dikeluarkan oleh WHO.
Di dalam IHR 2005 memuat ketentuan
larangan pembatasan hak untuk bergerak (right
31
Pembatasan Hak Untuk Bergerak (Right To Move) Melalui Larangan
Masuk
Sejauh ini total terdapat 194 negara yang adanya pembatasan hak untuk bergerak dalam
menjadi anggota WHO, sebagai negara anggota penanganan penyakit lintas negara sebagaimana
maka mutatis mutandis terikat dengan aturan disebut dalam Pasal 2 IHR 2005. Oleh karena itu,
Regulasi Kesehatan Internasional (IHR 2005) dan masing-masing negara memiliki kewajiban untuk
wajib mengikutinya. Indonesia sebagai salah satu mematuhi ketentuan, pedoman dan rekomendasi
negara anggota telah meratifikasi IHR 2005 dan yang dibuat oleh WHO. ketidakpatuhan untuk
sebagai tindak lanjutnya Pemerintah Indonesia melaporkan kebijakan pembatasan hak atas
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun bergerak merupakan pelanggaran hukum
2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. internasional dan menghambat kinerja WHO
Pada Prakteknya, tertanggal 7 Februari dalam penanganan penyakit lintas negara.40
2020, terdapat 72 dari 194 negara anggota WHO
E. Instrumen Hukum Penanganan
yang diidentifikasi menerapkan pembatasan hak
Penyebaran Virus Covid-19 di Indonesia
untuk bergerak dengan menutup perbatasan dan
arus masuk orang ke negara mereka. Namun Hans Kelsen dalam bukunya General
Indonesia bukanlah negara yang menerapkan Theory of Law and State (1973) menjelaskan
ketentuan Pasal 43 tersebut, dari 72 negara yang tentang struktur hierarki norma hukum, berkaitan
menerapkan pembatasan hak untuk bergerak dengan posisi UUD 1945 sebagai norma tertinggi
yang diatur dalam Pasal 43 IHR 2005, hanya 23 di Indonesia, maka sesungguhnya tidak bisa
negara saja (32%) yang melaporkan kebijakan dilepaskan dari fungsinya sebagai konstitusi
pembatasan hak untuk bergerak tersebut secara negara. Dimana konstitusi memuat norma-norma
resmi kepada WHO. Baru tertanggal 9 Maret yang bersifat umum yang kemudian dapat di
2020, bertambah menjadi 45 negara anggota intrepretasikan dalam berbagai kebijakan hukum
yang memberikan alasan bahwa pembatasan hak dibawahnnya.41
atas bergerak yang dilakukan adalah demi Sri Soemantri Martosoewignjo mengatakan
keselamatan kesehatan masyarakat kepada WHO. inti dari konstitusi adalah adanya pembatasan
Hal ini menunjukkan bahwa banyak negara tidak kekuasaan yang mencakup tiga hal yaitu
mematuhi ketentuan dalam Pasal 43 IHR.38 (1) jaminan hak asasi manusia, (2) susunan
Padahal kebijakan pembatasan hak atas bergerak ketatanegaraan yang mendasar, (3) aturan tugas
yang dilakukan dalam penanganan penyebaran dan wewenang dalam negara.42 Karena hak
Covid-19 tersebut berpotensi melanggar hak asasi asasi manusia merupakan salah satu materi
manusia. muatan yang ada didalam konstitusi khususnya
Padahal WHO telah menegaskan bahwa konstitusi modern maka pemenuhan atas jaminan
ketiadaan manfaat pembatasan hak untuk HAM tersebut perlu disoroti. Posisi Undang-
bergerak akan berakibat kebijakan tersebut Undang Dasar sebagai hukum dasar inilah yang
bertentangan dengan ketentuan IHR 2005 itu memberikan konsekuensi hukum bahwa setiap
sendiri yang mensyaratkan harus ada data materi yang diatur dalam peraturan perundang-
ilmiah yang mendukung efektiftas kebijakan undangan yang berada dibawahnya tidak boleh
tambahan berupa pembatasan hak atas bergerak bertentangan dengan materi dalam UUD 1945.
itu.39 Sebab sejatinya, WHO tidak menyarankan Hal
31
JURNAL HAM
Volume 12, Nomor 2, Agustus
ini berkaitan dengan salah satu fungsi konstitusi (machtstaat). Bahkan pemikiran Hatta ini
dalam suatu negara sebagaimana dikemukan oleh didukung pula oleh M Yamin yang justru
Hence Van Masrseveen, sebagai a politico legal menginginkan Pasal tentang HAM tidak hanya
document, yaitu dokumen politik dan hukum dirumuskan dalam satu Pasal saja di dalam
suatu negara yang berfungsi sebagai alat untuk konstitusi tetapi dalam berbagai pasal atau lebih
membentuk sistem politik dan sistem hukum dari satu pasal.45
suatu negara.
Pasca amandemen Undang-Undang
Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar Dasar 1945, Konstitusi Indonesia memiliki
1945, Nuansa perlindungan hak asasi manusia nuansa perlindungan HAM yang lebih rimbun
tidak menjadi materi yang muncul banyak dibandingkan dengan konstitusi di awal
sebagai materi muatan konstitusi di awal kemerdekaan UUD NRI 1945 bahkan pada
kemerdekaan. Hal demikian terjadi karena muncul tahapan perubahan Undang-Undang Dasar 1945
perdebatan antara para pendiri bangsa (founding yang berlangsung dalam kurun 4 tahun mulai
fathers) tentang gagasan HAM di dalam 1999, 2000, 2001, dan 2002 itu perubahan
konstitusi.43 Perdebatan ini berujung dengan konstitusi berlangsung sangat ekstrim dan
nuansa perlindungan HAM yang tidak muncul radikal. Menurut Jimly Asshiddiqie, UUD 1945
secara implisit dalam konstitusi. Hal demikian hasil perubahan mengalami perubahan yang luar
dikarenakan, pemikiran paham integralistik biasa yaitu 300
(kekeluargaan) yang diutarakan oleh Soepomo.44 % berubah dari aslinya. Yaitu yang awalnya
Pemikiran Soepomo tersebut dibantah terdiri atas: pembukaan (4 alinea), 16 Bab, 37
oleh Hatta. Pada prinsipnya Hatta, sama-sama Pasal, 49 ayat, 4 Pasal aturan peralihan dan 2 ayat
menentang dan menolak negara berdasarkan aturan tambahan serta penjelasan berubah
paham individualisme-liberal sebagaimana menjadi terdiri atas: pembukaan (4 alinea), 21
Soepomo, dan setuju dengan konsep negara Bab, 73 Pasal, 170 ayat, 3 pasal aturan peralihan
integralistik (kekeluargaan) yang diusulkan. dan 2 pasal aturan tambahan. Bahkan sebagian
Meskipun demikian, menurut Hatta jaminan ahli beranggapan bahwa yang terjadi bukanlah
hak asasi manusia tetaplah dibutuhkan dalam perubahan atau amandemen konstitusi melainkan
konstitusi Indonesia merdeka. Alasannya adalah lahirnya konstitusi baru.46
untuk mencegah negara berdasarkan kekuasaan Kelahiran Pasal HAM mendapatkan porsi
yang cukup banyak bahkan terdapat bab khusus
43 Para pendiri bangsa terbagi menjadi 2 (dua) yang lahir dan mengatur mengenai hak asasi
kelompok yaitu kelompok yang menolak
pencantuman pasal HAM dalam konstitusi
manusia yaitu Bab XA yang terdiri atas Pasal
Indonesia (Sukarno & Soepomo) dan kelompok 28 huruf A hingga J. Pengaturan perlindungan
yang menginginkan jaminan HAM muncul di HAM dalam konstitusi Indonesia ini tentunya
dalam materi muatan konstitusi Indonesia seperti
deklarasi HAM yang dimiliki oleh Perancis memberikan sinyal komitmen bangsa Indonesia
(Muhammad Hatta & Yamin). untuk memberikan perlindungan dan jaminan
44 Ia sebagai salah satu Begawan hukum Indonesia saat
itu berkeyakinan seyogyanya dalam negara Indonesia
pemenuhan HAM bagi seluruh rakyatnya sebagai
merdeka yang ingin dibentuk adalah negara salah satu syarat negara hukum (rule of law).
berdasarkan paham integralistik (kekeluargaan) Bahkan kesungguhan bangsa Indonesia dalam
sehingga tidak diperlukan adanya jaminan ham diatur
didalam konstitusi Indonesia merdeka. Sebab dalam memberikan jaminan HAM tersebut diikuti
konsep dengan langkah meratifikasi sejumlah konvensi
internasional yang mengatur tentang HAM.
negara integralistik hubungan negara dan warga negara
diibaratkan hubungan ayah dan anak. Sehingga tidak 45 Jimly Asshiddiqqie, “Pokok-Pokok Hukum Tata
mungkin kemudian ayah (negara) membuat aturan Negara Indonesia Pasca Reformasi” (Jakarta: Jakarta:
yang melanggar hak asasi anaknya (warga negara). PT Bhuana Ilmu Populer, 2007), 629–630.
Memasukan pengaturan HAM dipandang menggeser 46 Jimly Asshiddiqqie, “Komentar atas Perubahan Pasal-
paham integralistik menjadi negara berdasarkan Pasal Undang-Undang Dasar 1945” (Jakarta: Rajawali
paham individualisme-liberal Press, 2008), 52.
31
Pembatasan Hak Untuk Bergerak (Right To Move) Melalui Larangan
Masuk
Indonesia dikatakan sebagai negara yang paling Penyebaran wabah Covid-19 direspon agak
besar progresnya dalam meratifikasi konvensi terlambat oleh Pemerintah Indonesia, di mana
internasional berkaitan dengan HAM di kawasan pada awal isu penyebaran Covid-19 awalnya
Asia Tenggara.47 Kebangkitan akan kesadaran sudah masif terjadi di Wuhan-China, Pemerintah
jaminan perlindungan HAM tidak terlepas Indonesia belum merespon secara responsif dan
dari sejarah ketatanegaraan yang mengalami cepat pada saat itu karena Covid-19 merupakan
kepemimpinan yang otoriter dibawah kekuasaan jenis simpton dan penyakit baru dalam dunia
Presiden Soeharto sehingga dalam perubahan kesehatan dan kebijakan hukum di banyak negara
konstitusi memasukan berbagai Pasal HAM termasuk di Indonesia belum mampu memitigasi
tersebut.48 hal tersebut sehingga saat setelah itu pemerintah
Setidaknya, di dalam UUD NRI 1945 baru menanggapi secara responsif mengenai
perubahan dapat ditemukan sejumlah pasal yang kasus penyebaran Covid-19 dengan
memberikan jaminan Kesehatan seperti Pasal mengeluarkan sejumlah ketentuan hukum dalam
28 A tentang hak untuk hidup, Pasal 28 E ayat hal ihwal kegentingan yang memaksa seperti
(1) hak untuk memilih tempat tinggal artinya peraturan pemerintah pengganti undang-undang
berhubungan dengan kebebasan berpindah dari (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020, Peraturan
satu tempat ke tempat yang lain baik dalam Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang
maupun luar negeri, Pasal 28 H ayat (1) tentang pembatasan sosial berskala besar (PSBB),
hak atas Kesehatan, lingkungan hidup yang Keputusan Presiden Nomor
baik dan pelayanan Kesehatan. Dan hak asasi 11 Tahun 2020 tentang penetapan kedaruratan
diatas Sebagian tergolong dalam hak yang tidak kesehatan masyarakat Covid-19, Peraturan
dapat dikurangi pemenuhannya sesuai dengan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang
ketentuan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 yaitu Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar
hak untuk hidup (Pasal 28A), namun selain hak dalam rangka percepatan penanganan Covid-19
atas hidup tersebut tergolong sebagai hak yang dll.
dapat saja pemenuhannya dikurangin (non- 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018
derogable rights) berdasarkan ketentuan Pasal 28 tentang Kekarantinaan Kesehatan
J ayat (1) juncto Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 Disebutkan pada bagian menimbang poin
atas dasar pertimbangan keamanan dan ketertiban c bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018
umum. Oleh karenanya secara konstitusional tentang Kekarantinaan Kesehatan adalah
pembatasan larangan masuk dan perjalanan Undang- Undang yang lahir sebagai bentuk
memiliki landasan konstitusi dalam komitmen Indonesia melakukan upaya untuk
pemberlakuannya. Apalagi dalam keadaan ihwal mencegah kedaruratan Kesehatan dan komitmen
kegentingan memaksa UUD 1945 memberikan Indonesia yang telah meratifikasi regulasi
ruang kebijakan hukum darurat bagi presiden international di bidang kesehatan. Dalam UU a
sebagaimana dijamin dalam Pasal 22 dan quo memberikan definisi yang berbeda mengenai
kemampuan untuk menyatakan negara dalam karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala
keadaan bahaya sebagaimana diatur dalam Pasal besar (PSBB). Dimana isu karantina wilayah dan
12 jika dibutuhkan upaya penanganan keadaan
PSBB ini sempat menjadi debat/diskursus pada
darurat yang ekstra luar biasa.
awal Indonesia merespon isu penyebaran Covid-
47 Azkar Ahsinin et al., “Kesenjangan dalam Komitmen 19 diawal tahun 2020 yang lalu.
dan Implementasi: Mengurai Hambatan Birokratik Definisi dari karantina wilayah (Pasal 1 angka
dalam Penegakan HAM di Indonesia | Perpustakaan
ELSAM,” last modified 2017, diakses Agustus 3, 2021, 10) menyebutkan pembatasan penduduk dalam
http://perpustakaan.elsam.or.id/index.php?p=show_de suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk
tail&id=15254&keywords=kesenjangan. berserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit
48 Denny Indrayana, “Indonesian Constitutional Reform,
1999-2002 : An Evaluation of Constitution-Making in dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk
Transition” (Jakarta: Kompas Press, 2008), 19.
31
JURNAL HAM
Volume 12, Nomor 2, Agustus
32
Pembatasan Hak Untuk Bergerak (Right To Move) Melalui Larangan
Masuk
perlindungan kepada setiap orang untuk bebas UU Penanggulangan Bencana adalah salah
bergerak, berpindah dan bertempat tinggal dalam satu undang-undang yang dirujuk oleh
wilayah negara Republik Indonesia, termasuk Pemerintah Indonesia pada saat mengatasi
hak untuk meninggalkan dan masuk kembali ke Pandemi sebagai Bencana Non-alam. Sehingga
wilayah negara Republik Indonesia, sesuai pemberlakuan sejumlah kebijakan berkaitan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan penanganan penyebaran Covid-19 harus
(Pasal 27 ayat (1) dan (2) UU Ham) sejalan dengan prinsip dalam UU ini. Di
Klausul terakhir yang menyebutkan “sesuai antaranya, koordinasi lintas kelembagaan
dengan ketentuan peraturan perundang- menjadi syarat yang perlu dipatuhi, keterpaduan
undangan” sejatinya adalah norma yang tiap kebijakan, transparansi dalam pelaporan
memberikan ruang kepada negara untuk perkembangan dan akuntabilitas pemerintah
membatasi hak berpindah orang dalam wilayah dalam menangani pandemic ini. Selain itu
Indonesia. Sehingga penerapan pembatasan kebijakan yang dibuat juga tidak boleh
masuk dan pembatasan perjalanan menjadi diskriminasi.
memiliki basis hukum dalam pelaksanaannya. 4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011
Lebih lanjut pembatasan dan larangan tersebut tentang Keimigrasian
juga diatur dalam Bab VI tentang Pembatasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011
dan Larangan Pasal 73 berbunyi “ hak dan tentang Keimigrasian tidak mengatur secara
kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini spesifik larangan atau pembatasan perjalanan
hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan khususnya untuk penanganan Covid-19. Hanya
undang-undang, semata-mata untuk menjamin saja dalam UU a quo mengatur mengenai
pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi pencegahan dan penangkalan orang untuk keluar
manusia serta kebebasan dasar lain, kesusilaan, dan masuk Indonesia dengan alasan keimigrasian.
ketertiban umum dan kepentingan bangsa” Yang dimaksud dengan alasan keimigrasian
dengan kata lain, pembatasan hak berpindah/ adalah alasan yang berkaitan dengan kedaulatan
bergerak dapat dilakukan oleh Pemerintah dan keselamatan rakyat dan negara. Sebagaimana
dengan membentuk aturan selevel UU saja. didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1, angka
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 28 juncto angka 29 UU a quo.
tentang Penanggulangan Bencana
Selain itu disebutkan juga dalam Pasal 13
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 ayat (1) huruf f, bahwa Pejabat Imigrasi menolak
tentang Penanggulangan Bencana adalah orang asing masuk wilayah Indonesia dalam hal
instrumen hukum yang digunakan untuk orang asing tersebut menderita penyakit menular
menghadapi bencana yang terjadi di Indonesia. yang membahayakan. Lebih lanjut Pasal 75 ayat
Berdasarkan jenisnya, penyebaran Covid-19 yang (1) mengatakan bahwa Pejabat Imigrasi dapat
terjadi di Indonesia dikategorikan sebagai melakukan tindakan administratif keimigrasian
bencana non alam. Bencana non alam adalah terhadap WNA yang melakukan kegiatan
bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau berbahaya dan patut diduga membahayakan
serangkaian peristiwa non alam yang diantara keamanan dan ketertiban umum atau tidak
lain berupa gagal teknologi, gagal moderenisasi, menghormati atau tidak menaati peraturan
epidemi dan wabah penyakit (pasal 1 angka 3). perundang-undangan.
Dan untuk menanggulanginya maka terdapat
Artinya dalam kondisi penanganan
sejumlah prinsip yang perlu diperhatikan Pasal 3
penyebaran Covid-19 yang merupakan ancaman
ayat (2). Prinsip itu terdiri atas: a) cepat dan
yang membahayakan tindakan pembatasan hak
tepat; b)prioritas; c) koordinasi; d) keterpaduan;
untuk bergerak dimungkinkan. Lebih dalam
e)berdaya guna dan f) berhasil guna; g)
lagi Pasal 75 ayat (2) huruf c menyebutkan
transparansi; h)akuntabilitas; i) non-diskriminasi;
larangan untuk berada di satu atau beberapa
k) non proletisi
tempat
32
JURNAL HAM
Volume 12, Nomor 2, Agustus
tertentu di wilayah Indonesia. Artinya atas dasar 6. Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2021
peraturan perundang-undang seseorang dapat tentang Protokol Kesehatan Perjalanan
saja dilarang untuk memasuki wilayah Indonesia Internasional Pada Masa Pandemi
termasuk larangan masuk yang disebabkan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
adanya penyebaran Covid-19. Dalam surat edaran ini diatur mengenai
5. Peraturan Menteri Hukum dan Hak protokol kesehatan perjalanan internasional
Asasi Manusia Nomor 11 Tahun 2020 ditengah pandemik. Pertama, Pelaku perjalanan
Tentang Larangan Sementara Orang internasional yang berstatus warga negara
Asing Masuk Wilayah Negara Republik
Indonesia (WNI) dari luar negeri diijinkan
Indonesia
memasukan Indonesia dengan tetap mengikuti
Dalam ketentuan PerMenKumHam Nomor protocol kesehatan ketat sebagaimana ditetapkan
11 Tahun 2020 ini menyebutkan tentang ada oleh pemerintah. Kedua, Larangan memasuki
larangan sementara orang asing untuk wilayah Indonesia baik secara langsung maupun
memasuki/transit di wilayah Indonesia transit di negara asing tetap diberlakukan bagi
sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 2 pelaku perjalanan internasional yang berstatus
Peraturan a quo. Meski ada pembatasan warga negara asing (WNA) kecuali yang
sementara bagi orang asing tetapi pembatasan memenuhi kriteria sebagai berikut: a) sesuai
tersebut tidak berlaku secara umum. Pelarangan ketentuan dalam Permenkumham Nomor 26
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Tahun 2020 tentang visa dan izin dalam masa
PerMenKumHam a quo mengecualikan bagi adaptasi kebiasaan baru; b)sesuai skema
beberapa kelompok orang tertentu sebagaimana perjanjian bilateral travel corridor arrangement
disebut dalam Pasal 3 ayat (1) yaitu a)orang (TCA) dan/atau; c)mendapatkan
Asing pemegang Izin Tinggal Terbatas dan Izin pertimbangan/izin khusus secara tertulis dari
Tinggal Tetap; b)orang Asing pemegang Visa kementerian/ Lembaga.
Diplomatik dan Visa Dinas; c)orang Asing
Berbagai instrumen hukum yang ada di
pemegang Izin Tinggal Diplomatik dan Izin
Indonesia baik berupa peraturan perundang-
Tinggal Dinas; d) tenaga bantuan dan dukungan
undangan yang lahir sebelum maupun pada saat
medis, pangan dan alasan kemanusiaan; e)awak
Covid-19 hadir adalah satu kesatuan upaya dalam
alat angkut; dan Orang Asing yang akan bekerja
memenuhi hak asasi manusia ditengah wabah
pada proyek strategis nasional.
pandemi korona. Meski tidak dapat dipungkiri
Orang Asing dapat masuk wilayah Indonesia bahwa peraturan-peraturan ini tidak akan efektif
setelah memenuhi persyaratan: a)surat menekan angka penyebaran virus Covid-19
keterangan sehat dalam bahasa Inggris dari manakala tidak diikuti dengan ketegasan
otoritas kesehatan di masing-masing negara; penegakan hukum penanganan virus Covid-19
b)telah berada 14 (empat belas) hari di dan kesadaran publik untuk mematuhi setiap
wilayah/negara yang bebas virus Covid-19; peraturan yang telah dibuat oleh Pemerintah.
c)Pernyataan bersedia masuk karantina selama 14 7. Pelaksanaan Peraturan Penanganan
(empat belas) hari yang dilaksanakan oleh Covid-19 di Indonesia
Pemerintah Republik Indonesia.
Sebagaimana dinukilkan oleh Lawrence
Sedangkan bagi WNA pemegang izin W Friedmen bahwa kekuatan dalam sistem
tinggal kunjungan, pemegang izin tinggal hukum berada pada tiga elemen. Pertama,
terbatas dan izin tinggal tetap yang akan berakhir keberadaan substansi hukum (legal substance)
dan/ atau tidak dapat diperpanjang, dilakukan yang memadai dan disusun berdasarkan keadilan.
penangguhan sementara untuk tetapi tinggal di Artinya peraturan dibuat secara baik dan tegas
Indonesia. (Pasal 4 dan Pasal 5 PerMenkumHam dengan mempertimbangkan kebermanfaaatan
a quo) bagi kemaslahatan rakyat (the greatest happiness
32
Pembatasan Hak Untuk Bergerak (Right To Move) Melalui Larangan
Masuk
KESIMPULAN
Virus Korona adalah masalah
kesehatan dan pandemik yang dihadapi oleh
semua negara di dunia. Penanganan
penyebaran korona dilakukan oleh setiap
negara dengan menerapkan pembatasan hak
untuk bergerak (freedom of movement).
Pembatasan hak untuk bergerak dan
larangan/pembatasan perjalanan adalah salah
satu kebijakan yang diterapkan dengan tujuan
menurunkan angka penularan virus.
Sebagaimana diketahui, hak untuk bergerak
merupakan salah satu hak asasi manusia yang
bersifat personal yang dijamin dalam berbagai
instrumen hukum hak asasi manusia
internasional. Dalam perspektif hukum
internasional, negara dibolehkan untuk
melakukan pembatasan dan mengurangi
kewajiban pemenuhan hak asasi manusia
termasuk pembatasan hak untuk begerak.
Adapun beberapa instrumen hukum
internasional yang memberikan lampu hijau
pembatasan hak untuk bergerak adalah
Konvensi Uni Eropa tentang Hak Asasi
Manusia (ECHR), Konvensi Amerika tentang
Hak Asasi Manusia (ACHR), Konvenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
(ICCPR) dan Regulasi Kesehatan
Internasional (IHR) yang dikeluarkan oleh
WHO.
Keseluruhan instrumen hukum
32
Pembatasan Hak Untuk Bergerak (Right To Move) Melalui Larangan
Masuk
untuk bergerak dan larangan perjalanan dalam Kedua, Indonesia sebagai negara demokrasi
menghadapi keadaan darurat (state emergency), yang berlandaskan kedaulatan rakyat, yang
baik darurat kesehatan maupun darurat sosial. identik dengan mengedepankan kepentingan
Di Indonesia, kebijakan pembatasan hak dan keselamatan rakyat (salus populi suprema
untuk bergerak juga diterapkan sejalan dengan lex) harus melakukan pembatasan-pembatasan
penanganan penyebaran Covid-19, diantaranya hak untuk bergerak bagi WNA maupun WNI
diatur dalam sejumlah peraturan perundang- dengan sangat hati-hati, penuh pertimbangan,
undangan baik yang sudah ada sebelum Covid-19 dan berkeadilan tanpa diskriminasi. Selain
maupun yang dibentuk khusus dalam penanganan itu, Pemerintah Indonesia harus mendasarkan
Covid-19 seperti Undang-Undang Nomor 6 kebijakan pembatasan hak untuk bergerak (right
Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, to move) berdasarkan prinsip keadilan seperti
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang yang diutarakan oleh John Rawl yaitu “Maximin”
Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 24 (maximum minimorum) yaitu menimbang
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, manfaat dan mudarat dari kebijakan yang dbuat.
PerMenKumHAM Nomor 26 Tahun 2020 Kebijakan pembatasan yang dibuat harus
tentang Visa dan Izin Tinggal Dalam Masa seimbang dan mengakomodasi keadaan faktual
Adaptasi Kebiasaan Baru dan dalam bentuk Surat masyarakat yang beragam. Pembatasan hak untuk
Edaran Nomor 8 Tahun 2021 tentang Protokol bergerak juga harus memikirkan dampak sosial
Kesehatan Perjalanan Internasional Pada Masa dan ekonomi yang akan ditanggung oleh
Pandemi Corona Virus Diseasea 2019 (Covid- masyarakat rentan ekonomi dan termaginalkan
19). sehingga Pemerintah berkewajiban untuk
memberikan kompensasi dan insentif.
SARAN
Adapun saran Penulis adalah sebagai UCAPAN TERIMAKASIH
berikut. Pertama, sejumlah instrumen hukum Terimakasih Penulis ucapkan kepada pihak-
internasional memberikan kewenangan bagi pihak terkait yang telah membantu dalam
negara untuk melakukan pembatasan pemenuhan penyelesaian penulisan ini. Fakultas Hukum
hak asasi manusia sebagaimana dijamin di Universitas Bengkulu, khususnya Pimpinan
dalam instrument hukum hak asasi manusia. Fakultas dan Perpustakaan Fakultas Hukum
Meskipun terdapat kewenangan pembatasan, Universitas Bengkulu, yang telah memudahkan
hukum internasional juga memberikan rambu- dalam mencari referensi untuk menyelesaikan
rambu dalam pengambilan kebijakan pembatasan tulisan ini dan seluruh Tim Tentara Biru (Blue
tersebut yaitu hanya dapat dilakukan dalam Army), Philip C Jessup International Law Moot
keadaan darurat (emergency), tidak untuk masa Court Fakultas Hukum Universitas Bengkulu
waktu yang terlalu lama, dan tidak dilakukan yang berkompetisi pada putaran dunia (Global
secara diskriminatif. Oleh karena itu, masing- Round) Tahun 2020 yang membahas kasus
masing negara yang melakukan pembatasan penyebaran virus dalam moot problem: JVID-18.
kebebasan bergerak (freedom of movement)
harus melakukan dengan sangat hati-hati dan
diikuti dengan pertimbangan serta analisa resiko
kebijakan secara arif. Tidak hanya itu, kebijakan
pembatasan juga harus dilakukan secara adil
dan tegas tanpa mendiskriminasi negara-negara
tertentu.
32
JURNAL HAM
Volume 12, Nomor 2, Agustus
32
Pembatasan Hak Untuk Bergerak (Right To Move) Melalui Larangan
Masuk
32