Anda di halaman 1dari 34

1.

PROSES BERACARA PERKARA PERDATA

TATA CARA PELAKSANAAN


PERMOHONAN PENDAFTARAN PERKARA PERDATA
PELAKSANAAN PENDAFTARAN GUGATAN TINGKAT PERTAMA

1. Penggugat atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan gugatan


yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri pada Pengadilan  
Negeri Jakarta  Pusat di Meja 1 bagian Perdata, dengan beberapa
kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi :
    a. Surat Permohonan / Gugatan ;
    b. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan
Advokat);
2. Gugatan dan Surat Kuasa Asli harus mendapat persetujuan dari
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
3. Setelah mendapat persetujuan, maka Penggugat / Kuasanya
membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir;
4. Memberikan SKUM yang telah dibayar ke Meja 2 dan menyimpan
bukti asli untuk arsip.
5. Menerima tanda bukti penerimaan Surat Gugatan dari Meja 2.
6. Menunggu Surat Panggilan sidang dari Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat yang disampaikan oleh Juru Sita Pengganti.
7. Menghadiri Sidang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan

PELAKSANAAN PENDAFTARAN GUGATAN TINGKAT BANDING

1. Pemohon atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan


permohonan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di Meja 3
bagian Perdata, dengan beberapa kelengkapan/syarat yang harus
dipenuhi :
    a. Surat Permohonan Banding;
    b. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan
Advokat);
    c. Memori Banding
2. Pemohon / Kuasanya membayar biaya gugatan/SKUM di Kasir;
3. Memberikan SKUM yang telah dibayar ke Meja 3 dan menyimpan
bukti asli untuk arsip.
4. Menerima tanda bukti penerimaan Surat Permohonan dari Meja 3.
5. Menunggu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Berkas (Inzage),
Pemohon diberikan jangka waktu 14 hari untuk datang ke
Pengadilan   Negeri  setempat untuk mempelajari berkas.
6. Menunggu Surat Pemberitahuan Kontra Memori Banding dan
salinan Kontra Memori Banding.
7. Menunggu kutipan putusan dari Pengadilan Tinggi yang akan
disampikan oleh Juru Sita Pengganti.

PELAKSANAAN PENDAFTARAN GUGATAN TINGKAT KASASI

1. Pemohon atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan


permohonan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di Meja 3
bagian Perdata, dengan beberapa kelengkapan/syarat yang harus
dipenuhi :
    a. Surat Permohonan Kasasi;
    b. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan
Advokat);
    c. Memori Kasasi
2. Pemohon / Kuasanya membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir;
3. Memberikan SKUM yang telah dibayar ke Meja 3 dan menyimpan
bukti asli untuk arsip.
4. Menerima tanda bukti penerimaan Surat Permohonan dari Meja 3.
5. Menunggu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Berkas (Inzage),
Pemohon diberikan jangka waktu 14 hari untuk datang ke
Pengadilan Negeri  setempat untuk mempelajari berkas.
6. Menunggu Surat Pemberitahuan Kontra Memori Kasasi dan
salinan Kontra Memori Kasasi.
7. Menunggu kutipan putusan dari Mahkamah Agung yang akan
disampaikan oleh Juru Sita Pengganti.

PROSES BERACARA PERKARA PERDATA


Permohonan
Gugatan
Penyitaan
Perlawanan
Eksekusi
Lelang

PERKARA PERMOHONAN

Permohonan harus diajukan dengan surat permohonan yang


ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang sah dan
ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, tempat tinggal
pemohon.
Permohonan disampaikan kepada Pengadilan Negeri, kemudian
didaftarkan dalam buku Register dan diberi Nomor urut, setelah
pemohon membayar persekot biaya perkara, yang besarnya sudah
ditentukan oleh Pengadilan Negeri (pasal 121 HIR).
Bagi pemohon yang benar-benar tidak mampu membayar biaya
perkara, hal mana harus dibuktikan dengan surat keterangan dari
Kepala Desa yang bersangkutan, dapat mengajukan permohonannya
secara prodeo.
Pemohon yang tidak bisa menulis dapat mengajukan
permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri,
yang akan menyuruh mencatat permohonan tersebut (pasal 120
HIR).
Perkara permohonan termasuk dalam pengertian yurisdiksi volunter.
Berdasarkan permohonan yang diajukan itu, Hakim akan memberi
suatu penetapan.
Ada permohonan tertentu yang harus dijatuhkan berupa putusan
oleh Pengadilan Negeri, misalnya dalam hal diajukan permohonan
pengangkatan anak oleh seorang Warga Negara Asing (WNA)
terhadap anak Warga Negara Indonesia (WNI), atau oleh seorang
Warga Negara Indonesia (WNI) terhadap anak Warga Negara Asing
(WNA). (SEMA No. 6/1983).
Tidak semua permohonan dapat diajukan kepada Ketua Pengadilan
Negeri. Pengadilan Negeri hanya berwenang untuk memeriksa dan
mengabulkan permohonan, apabila hal itu ditentukan oleh suatu
peraturan perundang-undangan atau yurisprudensi.
Contoh permohonan yang dapat diajukan dan ditetapkan oleh
Pengadilan Negeri adalah:
o Permohonan pengangkatan wali bagi anak yang belum dewasa.
o Permohonan pengangkatan pengampu bagi orang dewasa yang
kurang ingatannya atau orang dewasa yang tidak bisa mengurus
hartanya lagi,  misalnya karena pikun.
o Permohonan dispensasi nikah bagi pria yang belum mencapai
umur 19 tahun dan bagi wanita yang belum mencapai umur 16
tahun, yang dapat   diajukan kepada Pengadilan Agama atau
Pengadilan Negeri (pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974).
o Permohonan izin nikah bagi calon mempelai yang belum berumur
21 tahun (pasal 6 ayat (5) Undang-undang No. I tahun 1974).
o Permohonan pembatalan perkawinan (pasal 25, 26 dan 27
Undang-undang No.1 tahun 1974).
o Permohonan pengangkatan anak (diperhatikan SEMA No. 6/1983).
o Perwohonan untuk memperbaiki kesalahan dalam akta catatan
sipil, misalnya apabila nama anak secara salah disebutkan dalam
akta tersebut.
o Permohonan untuk menunjuk seorang atau beberapa orang wasit,
oleh karena para pihak tidak bisa atau tidak bersedia untuk
menunjuk wasit.
o Permohonan untuk pencatatan kelahiran, setelah lewat 1 (satu)
tahun sejak tanggal kelahiran.

Permohonan untuk menetapkan, bahwa sebidang tanah adalah milik


pemohon tidak dapat dikabulkan oleh Pengadilan Negeri. Hak Milik
atas sebidang tanah harus dibuktikan dengan sertifikat tanah atau
apabila dipermasalahkan dalam suatu gugatan, dibuktikan dengan
alat bukti lain dipersidangan.
Dernikian juga permohonan untuk rnenetapkan seseorang atau
beberapa orang adalah ahliwaris almarhurn, tidak dapat diajukan.
Penetapan ahli waris dapat dikabulkan dalam suatu gugatan
mengenai warisan almarhum.
Untuk mengalihkan hak atas tanah, menghibahkan, mewakafkan,
menjual, membalik nama sebidang tanah dan rumah, yang semula
tercatat atas nama almarhum atau almarhumah, cukup dilakukan:
o Bagi mereka yang berlaku Hukum Waris BW, dengan surat
keterangan hak waris, yang dibuat oleh Notaris.
o Bagi mereka yang berlaku Hukum Waris Adat dengan surat
keterangan ahliwaris yang dibuat oleh ahli waris yang bersangkutan
sendiri, yang  disaksikan oleh Lurah dan diketahui Camat dari desa
dan kecamatan tempat tinggal almarhum.
o Bagi mereka yang berlaku Hukum Waris lain-lainnya, misalnya
Warga Negara Indonesia keturunan India, dengan surat keterangan
ahliwaris yang dibuat oleh Balai Harta Peninggalan (perhatikan Surat
Edaran Menteri Dalam Negeri, Direktur Jenderal Agraria, Kepala
Direktorat Pendaftaran Tanah, u.b. Kepala Pembinaan Hukum, R.
Soepandi, tertanggal 20 Desember 1969, No. Dpt/I12/63/12/69,
yang terdapat dalarn buku Tuntunan bagi Pejabat Pembuat Akte
Tanah, Dep. Dalam Negeri, Ditjen.-Agraria, halaman 85).
Tidak dibenarkan untuk mengabulkan suatu permohonan dan
rnenetapkan seorang atau beberapa orang sebagai pemilik atau
mempunyai hak atas suatu barang.
Tidaklah pula dapat dikeluarkan penetapan atas surat permohonan
untuk menyatakan suatu dokumen atau sebuah akta adalah sah.

Akta Dibawah Tangan Mengenai Keahliwarisan


Akta ini dibuat oleh ahli waris almarhum. Mereka membuat suatu
surat pemyataan bahwa diri mereka adalah ahli waris, dan dengan
menyebutkan kedudukan masing-masing dalam hubungan keluarga
yang telah meninggal. Pernyataan yang dibuat tersebut dapat
dimintakan untuk disahkan tanda-tangannya oleh Notaris atau
Ketua Pengadilan Negeri.
Setelah dibacakan dan dijelaskan dihadapan para pihak oleh Ketua
Pengadilan Negeri atau Hakim yang ditunjuk, tanda tangan mereka
disyahkan dengan mendasarkan ketentuan pasal 2 (1) Stbld. 1916-
46 dengan cara, dibawah pernyataan tersebut dibubuhi:
Yang bertanda tangan dibawah ini, Ketua/Hakim Pengadilan Negeri
Sleman menerangkan, bahwa orang bernama_________ telah saya
kenal atau telah diperkenalkan kepada saya, dan kepadanya/mereka
telah saya jelaskan isi pernyataan dalam akta tersebut diatas, dan
setelah itu ia/mereka membubuhkan tanda tangannya di hadapan
saya.
Surat keterangan ahli waris tersebut hanya berlaku untuk suatu
keperluan tertentu, karena itu agar di bawahnya dicantumkan
dengan huruf-huruf besar sebagai berikut (sebagai contoh):
CATATAN:
AKTA DI BAWAH TANGAN INI YANG TELAH DISAHKAN INI KHUSUS
BERLAKU UNTUK MENGAMBIL UANG DEPOSITO DI BANK __________
ATAS NAMA _____________
Dan kemudian dibubuhi cap Pengadilan Negeri.
Sesuai dengan pasal 3 ayat (1), akta tersebut dicatat dalam Buku
Register yang khusus disediakan untuk itu.

GUGATAN
Gugatan harus diajukan dengan surat gugat yang ditandatangani
oleh penggugat atau kuasanya yang sah dan ditujukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri.
Gugatan disampaikan kepada Pengadilan Negeri, kemudian akan
diberi nomor dan didaftarkan dalam buku Register setelah
penggugat membayar panjar biaya perkara, yang besarnya
ditentukan oleh Pengadilan Negeri (pasal 121 HIR).
Bagi Penggugat yang benar-benar tidak mampu membayar biaya
perkara, hal mana harus dibuktikan dengan surat keterangan dari
Kepala Desa yang bersangkutan, dapat mengajukan gugatannya
secara prodeo.
Penggugat yang tidak bisa menulis dapat mengajukan gugatannya
secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri, yang akan
menyuruh mencatat gugatan tersebut (pasal 120 HIR).

KOMPETENSI RELATIF (pasal 118 (1) HIR)

Pengadilan Negeri berwenang memeriksa gugatan yang daerah


hukumnya, meliputi:
Dimana tergugat bertempat tinggal.
Dimana tergugat sebenarnya berdiam (jikalau tergugat tidak
diketahui tempat tinggalnya).
Salah satu tergugat bertempat tinggal, jika ada banyak tergugat
yang tempat tinggalnya tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan
Negeri.
Tergugat utama bertempat tinggal, jika hubungan antara tergugat-
tergugat adalah sebagai yang berhutang dan penjaminnya.
Penggugat atau salah satu dari penggugat bertempat tinggal dalam
hal:
o tergugat tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak diketahui
dimana ia berada.
o tergugat tidak dikenal.
o Dalam hal tersebut diatas dan yang menjadi objek gugatan adalah
benda tidak bergerak (tanah), maka ditempat benda yang tidak
bergerak terletak.
o (Ketentuan HIR dalam hat ini berbeda dengan Rbg. Menurut pasal
142 RBg, apabila objek gugatan adalah tanah, maka gugatan selalu
dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri dimana tanah itu terletak).
Dalam hal ada pilihan domisili secara teI1!llis dalam akta, jika
penggugat menghendaki, ditempat domisili yang dipilih itu.
Apabila tergugat pada hari sidang pertama tidak mengajukan
tangkisan (eksepsi) tentang wewenang mengadili secara relatif ini,
Pengadilan Negeri tidak boleh menyatakan dirinya tidak berwenang.
(Hal ini adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 133 HIR, yang
menyatakan, bahwa eksepsi mengenai kewenangan relatip harus
diajukan pada permulaan sidang, apabila diajukan terlambat, Hakim
dilarang untuk memperhatikan eksepsi tersebut).

KUASA/WAKIL
Untuk bertindak sebagai Kuasa/Wakil dari penggugat/tergugat
ataupun pemohon, seseorang harus memenuhi syarat-syarat:
o Mempunyai surat kuasa khusus yang harus diserahkan
dipersidangan. atau pemberian kuasa disebutkan dalam surat
gugatan/permohonan, atau kuasa/wakil ditunjuk oleh pihak yang
berperkara/pemohon didalam persidangan secara lisan.
o Memenuhi syarat yang ditentukan dalam peraturan Menkeh No.
1/1985 jo Keputusan Menkeh tanggal 7 Oktober 1965 No. J.P.14-2-
11.
o Telah terdaftar sebagai Advokat/Pengacara praktek di kantor
Pengadilan Tinggi/Pengadilan Negeri setempat atau secara khusus
telah diizinkan untuk bersidang mewakili penggugat/ tergugat
dalam perkara tertentu.
o Permohonan banding atau kasasi yang diajukan oleh Kuasa/Wakil
dari pihak yang bersangkutan barus dilampiri dengan surat kuasa
khusus untuk   mengajukan permohonan tersebut atau surat kuasa
yang dipergunakan di Pengadilan Negeri telah menyebutkan
pemberian kuasa pula untuk mengajukan permohonan banding atau
kasasi.Untuk menjadi kuasa dari pihak tergugat juga berlaku hal-hal
tersebut diatas.

o Kuasa/Wakil Negara/Pemerintah dalam suatu perkara perdata


berdasarkan Stbl. 1922 No. 522 dan pasal 123 ayat 2 HIR, adalah:
        a. Pengacara Negara yang diangkat oleh Pemerintah.
        b. Jaksa.
        c. Orang tertentu atau Pejabat-pejabat yang diangkat/ditunjuk
oleh Instansi-instansi yang bersangkutan.
Jaksa tidak perlu menyerahkan Surat Kuasa khusus. Pejabat atau
orang yang diangkat/ditunjuk oleh instansi yang bersangkutan,
cukup hanya menyerahkan Salinan Surat pengangkatan/penunjukan,
yang tidak bermaterai.

PERKARA GUGUR
Apabila pada hari sidang pertama penggugat atau semua penggugat
tidak datang, meskipun telah dipanggil dengan patut dan juga tidak
mengirim kuasanya yang sah, sedangkan tergugat atau kuasanya
yang sah datang, maka gugatan digugurkan dan penggugat
dihukum untuk membayar biaya perkara. Penggugat dapat
mengajukan gugatan tersebut sekali lagi dengan membayar panjar
biaya perkara lagi. Apabila telab dilakukan sita jaminan, sita
tersebut ikut gugur.
Dalam hal-hal yang tertentu, misalnya apabila penggugat tempat
tinggalnya jauh atau ia benar mengirim kuasanya, namun surat
kuasanya tidak memenuhi syarat, Hakim boleh mengundurkan dan
menyuruh memanggil penggugat sekali lagi. Kepada pihak yang
datang diberitahukan agar ia menghadap lagi tanpa panggilan.
Jika penggugat pada hari sidang pertama tidak datang, meskipun ia
telah dipanggil dengan patut, tetapi pada hari kedua ia datang dan
pada hari ketiga penggugat tidak hadir lagi, perkaranya tidak bisa
digugurkan (pasal 124 HIR).

PUTUSAN VERSTEK
Apabila pada hari sidang pertama dan pada hari sidang kedua
tergugat atau semua tergugat tidak datang padahal telah dipanggil
dengan patut dan juga tidak mengirim kuasanya yang sah,
sedangkan penggugat/para penggugat selalu datang, maka perkara
akan diputus verstek.
Meskipun tergugat tidak hadir pada hari sidang pertama atau tidak
mengirim kuasanya yang sah, tetapi'jlka ia mengajukan jawaban
tertulis berupa tangkisan tentang tidak berwenang mengadili, maka
perkara tidak diputus dengan verstek.

TANGKISAN/EKSEPSI
Tangkisan atau eksepsi yang diajukan oleh tergugat, diperiksa dan
diputus bersama-sama dengan pokok perkaranya, kecuali jika
eksepsi itu mengenai tidak berwenangnya Pengadilan Negeri untuk
memeriksa perkara tersebut.
Apabila diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara, dalam
pertimbangan hukum dan dalam diktum putusan, tetap disebutkan:
Dalam eksepsi:.............. (pertimbangan lengkap).
Dalam pokok perkara..... (pertimbangan lengkap).

PENCABUTAN SURAT GUGATAN


Gugatan dapat dicabut secara sepihak jika perkara belum diperiksa.
Tetapi jika perkara sudah diperiksa dan tergugat telah memberi
jawabannya, maka pencabutan perkara harus mendapat persetujuan
dari tergugat (pasal 271, 272 RV).

PERUBAHAN/PENAMBAHAN GUGATAN
Pembahan dan/atau penambahan gugatan diperkenankan, asal
diajukan pada hari sidang pertama dimana para pihak hadir, tetapi
hat tersebut harus ditanyakan pada pihak lawannya guna pembelaan
kepentingannya.
Penambahan dan/atau penambahan gugatan tidak boleh sedemikian
rupa, sehingga dasar pokok gugatan menjadi lain dari materi yang
menjadi sebab perkara antara kedua belah pihak tersebut. Dalam
hal demikian, maka surat gugat harus dicabut.

PERDAMAIAN
Jika kedua beIah pihak hadir dipersidangan, Hakim harus berusaha
mendamaikan mereka. Usaha tersebut tidak terbatas pada hari
sidang pertama saja, melainkan dapat dilakukan meskipun taraf
pemeriksaan telah lanjut (pasal 130 HIR).
Jika usaha perdamaian berhasil, maka dibuatlah akta perdamaian,
yang harus dibacakan terlebih dahulu oleh Hakim dihadapan para
pihak, sebelum Hakim menjatuhkan putusan yang menghukum
kedua belah pihak untuk mentaati isi perdamaian tersebut.
Akta perdamaian mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan
Hakim yang berkuatan hukum tetap dan apabila tidak dilaksanakan,
eksekusi dapat dimintakan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
bersangkutan.
Terhadap putusan perdamaian tidak dapat diajukan upaya hukum
banding.
Jika usaha perdamaian tidak berhasil, hal mana harus dicatat dalam
berita acara persidangan, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan
dengan membacakan surat gugatan dalam bahasa yang dimengerti
oleh para pihak, jika perlu dengan menggunakan penerjemah (pasal
131 HIR).
Khusus untuk gugat cerai:
   o Apabila dalam perkawinan tersebut ada anak, agar berusaha
untuk mendamaikan kedua belah pihak dan sedapat
      mungkin suami-isteri harus datang sendiri.
   o Apabila usaha perdamaian berhasil, gugatan harus dicabut.
Sehubungan dengan perdamaian ini tidak bisa dibuat akta
perdamaian.
   o Apabila usaha perdamaian gagal, gugat cerai diperiksa dengan
sidang tertutup.

PENGGUGAT/TERGUGAT MENINGGAL DUNIA


Jika Penggugat atau tergugat setelah mengajukan gugatan
meninggal dunia, maka ahliwarisnya dapat melanjutkan perkara.
BIAYA YANG DAPAT TIMBUL DALAM PERSIDANGAN
Jika selama pemeriksaan perkara atas permohonan salah satu pihak
ada hal-hal/perbuatan yang barus dilakukan, maka biaya
dibebankan kepada pemohon dan dianggap sebagai persekot biaya
perkara, yang dikemudian hari akan diperhitungkan dengan biaya
perkara yang harus dibayar oleh pihak yang dengan putusan Hakim
dihukum untuk membayar biaya perkara, biasanya pihak yang
dikalahkan.
Pihak lawan, apabila ia mau, dapat membayarnya Jika kedua belah
pihak tidak mau membayar biaya tersebut, maka hal/perbuatan
yang barus dilakukan itu tidak jadi dilakukan, kecuali jika
hal/perbuatan itu menurut Hakim memang sangat diperlukan.
Dalam hal itu, biaya tersebut sementara akan diambil dari uang
panjar biaya perkara yang telah dibayar oleh Penggugat (pasal 160
HIR).

PENGGABUNGAN PERKARA
Beberapa gugatan dapat digabungkan menjadi satu, apabila antara
gugatan-gugatan yang digabungkan itu, terdapat hubungan erat
atau ada koneksitas. Hubungan erat ini harus dibuktikan
berdasarkan faktanya.
Penggabungan gugatan diperkenankan apabila menguntungkan
proses, yaitu apabila antara gugatan yang gabungkan itu ada
koneksitas dan penggabungan akan memudahkan pemeriksaan,
serta akan dapat mencegah kemungkinan adanya putusan-putusan
yang saling bertentangan.

VOEGING, INTERVENSI DAN VRIJWARING


HIR/RBg tidak mengenal voeging, interventie, dan vrijwaring, tetapi
apabila benar-benar dibutuhkan dalam praktek sedangkan belum
terdapat kaidah hukum yang mengaturnya, ketiga lembaga hukum
ini dapat dipergunakan dengan berpedoman pada Rv. (pasal 279 Rv
dan seterusnya, dan pasal 70 Rv dan seterusnya), karena pada
dasarnya Hakim wajib mengisi kekosongan, baik dalam hukum
materiil maupun hukum formil.
Putusan Hakim bertujuan untuk memberi penyelesaian terhadap
perkara yang sedang diadilinya sedemikian rupa, sehingga apabila
perkara tersebut menyangkut pihak yang lain daripada penggugat
dan tergugat, maka Hakim atas permintaan, dapat mengabulkan
permintaan pihak ketiga untuk ikut serta dalam' proses, sehingga
Hakim dapat memberi putusan bagi semua orang yang
berkepentingan.

Voeging terjadi, apabila dalam sidang datang pihak ketiga yang


mengajukan permohonan untuk bergabung pada penggugat atau
tergugat. Voeging dikabulkan atau ditolak dengan putusan sela.
Interventie (tussenkomst) terjadi:
o apabila pihak ketiga merasa mempunyai kepentingan yang akan
terganggu, jika ia tidak ikut dalam proses perkara itu.
o Misalnya dalam interventie barang milik intervenient, yang
diperebutkan oleh penggugat dan tergugat. Untuk mendapatkan
barang itu dan agar barang itu dinyatakan sebagai miliknya, maka
interventie diajukan. Interventie dikabulkan atau ditolak dengan
putusan sela.
o Sebenamya apabila pihak yang berkepentingan itu tidak
mencampuri proses yang bersangkutan, ia dapat mempertahankan
haknya dalam suatu proses tersendiri, akan tetapi perlindungan
haknya itu akan lebih mudah ditempuh dengan cara interventie,
yang hal dapat pula mencegah putusan putusan yang saling
bertentangan.
Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab.
Vrijwaring diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses
pemeriksaan perkara oleh tergugat secara lisan atau tertulis.
Misalnya: Tergugat digugat oleh penggugat, karena barang yang
dibeli oleh Penggugat mengandung cacat tersembunyi. Pada hal
tergugat yang membeli barang itu dari pihak ketiga. Maka tergugat
menarik pihak ketiga ini, agar bertanggung jawab atas cacat itu.
Permohonan vrijwaring ditolak atau dikabulkan dengan putusan
sela.

GUGATAN DALAM REKONPENSI (GUGAT BALIK ATAU GUGAT


BALASAN)
Gugatan rekonpensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban
selambat-lambatnya sebelum pemeriksaan mengenai pembuktian,
baik jawaban secara tertulis maupun lisan (pasal 132 b HIR/pasal
158 Rbg).
Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak diajukan gugatan
dalam rekonpensi, maka dalam pemeriksaan tingkat banding tidak
diizinkan lagi untuk mengajukan gugatan balik.
Kedua gugatan (dalam konpensi dan dalam rekonpensi diperiksa
bersama-sama dan diputus dalam satu putusan.
Akan tetapi Hakim dapat memeriksa gugatan yang satu terlebih
dahulu, yaitu jika gugatan yang satu ini dapat diselesaikan terlebih
dahulu dari yang lain, yang mungkin masih menunggu saksi yang
ada diluar negeri atau saksi yang sakit, kedua perkara itu tetap
diadili oleh majelis Hakim yang sama.
Antara gugatan dalam konpensi dan gugatan dalam rekonpensi
tidak diharuskan ada hubungan. Gugatan dalam rekonpensi dapat
berdiri sendiri dan oleh tergugat sebenarnya dapat diajukan
tersendiri, menurut acara biasa kapan saja.
Apabila gugatan konpensi dicabut, maka gugatan rekonpensi tidak
bisa dilanjutkan

PENYITAAN
SITA JAMINAN
Sita jaminan dilakukan atas perintah Hakim/Ketua Majelis sebelum
atau selama proses pemeriksaan berlangsung. Hakim/Ketua Majelis
membuat surat penetapan. Penyitaan dilaksanakan oleh Juru
Sita/Panitera Pengadilan Negeri dengan dua orang pegawai
pengadilan sebagai saksi.
Dalam hal dilakukan sita jaminan sebelum sidang dimulai, maka
harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Penyitaan hendaknya dilakukan terhadap barang milik tergugat
(atau dalam hal sita revindicatoir terhadap barang bergerak tertentu
milik penggugat yang ada di tangan tergugat yang dimaksud dalam
surat gugat) sekedar cukup untuk menjamin pelaksanaan putusan
dikemudian hari.
Apabila yang disita adalah sebidang tanah, dengan atau tanpa
rumah, maka berita acara penyitaan harus didaftarkan sesuai
ketentuan yang terdapat dalam pasal 227 (3) jo pasal 198 dan pasal
199 HIR. Apabila penyitaan tersebut telah didaftarkan di Badan
Pertanahan Nasional atau Kelurahan, maka sejak didaftarkannya itu,
tersita dilarang untuk menyewakan, mengalihkan dengan cara
apapun, atau membebankan/menjaminkan tanah tersebut. Tindakan
tersita yang bertentangan dengan larangan tersebut adalah batal
demi hukum.
Barang yang disita itu, meskipun jelas adalah milik penggugat yang
disita dengan sita conservatoir, harus tetap dipegang/dikuasai oleh
tersita. Adalah salah, untuk menitipkan barang itu kepada Lurah
atau kepada Penggugat atau membawa barang itu untuk disimpan
di gedung Pengadilan Negeri.
Ada dua macam sita jaminan, yaitu sita conservatoir (terhadap milik
tergugat), dan sita revindicatoir (terhadap milik penggugat) - (pasal
227, 226 HIR).

SITA CONSERVATOIR:
Harus ada sangka yang beralasan, bahwa tergugat sedang berdaya
upaya untuk menghilangkan barang-barangnya untuk menghindari
gugatan penggugat.
Yang disita adalah barang bergerak dan barang yang tidak bergerak
milik tergugat.
Apabila yang disita adalah tanah, maka harus dilihat dengan
seksama, bahwa tanah tersebut adalah milik tergugat dan luas serta
batas-batasnya harus disebutkan dengan jelas.
(Perhatikan SEMA No. 89/K11018/M/1962, tertanggal 25 April
1962). Untuk menghindari salah sita, hendaknya Kepala Desa diajak
serta untuk melihat keadaan tanah, bartas serta luas tanah yang
akan disita.
Penyitaan atas tanah harus dicatat dalam buku tanah yang ada di
desa, selain itu sita atas tanah yang ada sertifikat harus pula
didaftarkan, dan atas tanah yang belum sertifikat diberitahukan
pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
Tentang penyitaan itu dicatat di buku khusus yang disediakan di
Pengadilan Negeri yang memuat catatan mengenai tanah-tanah
yang disita, kapan disita dan perkembangannya. Buku ini adalah
terbuka untuk umum.
Sejak tanggal pendaftaran sita itu, tersita dilarang untuk
menyewakan, mengalihkan atau menjaminkan tanah yang disita itu.
Semua tindakan tersita yang dilakukan bertentangan dengan
larangan itu adalah batal demi hukum.
Kepala Desa yang bersangkutan dapat ditunjuk sebagai pengawas
agar tanah tersebut tidak dialihkan kepada orang lain.
Penyitaan dilakukan terutama atas barang bergerak milik tergugat
juga jangan berlebihan, hanya cukup untuk menjamin dipenuhinya
gugatan penggugat. Apabila barang bergerak milik tergugat tidak
cukup, barulah tanahl/tanah dan rumah milik tergugat yang disita.

Apabila gugatan dikabulkan, sita jaminan dinyatakan sah dan


berharga oleh Hakim dalam amar putusannya. Apabila gugatan
ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima, sita harus
diperintahkan untuk diangkat.
Apabila gugatan dikabulkan untuk sebagian dan selebihnya ditolak,
sita jaminan untuk sebagian dinyatakan sah dan berharga dan untuk
bagian yang lain diperintah untuk diangkat. Namun apabila yang
disita itu adalah sebidang tanah dan rumah, seandainya gugatan
mengenai ganti rugi dikabulkan hanya untuk sebagian, tidaklah
dapat diputuskan menyatakan sah dan berharga sita jaminan
(misalnya, atas 1/3 tanah dan rumah yang bersangkutan).
Sita jaminan dan sita eksekusi terhadap barang-barang milik negara
dilarang, kecuali seizin dari Mahkamah Agung, setelah mendengar
Jaksa Agung (pasal 65 dan 66 ICW).

SITA REVINDICATOIR:
Yang disita adalah barang bergerak milik penggugat yang
dikuasai/dipegang oleh tergugat.
Gugatan diajukan untuk memperoleh kembali hak atas barang
tersebut. Kata revindicatoir berasal dari kata revindiceer, yang
berarti minta kembali miliknya.
Barang yang dimohon agar disita harus disebutkan dalam surat
gugat secara jelas dan terperinci, dengan menyebutkan ciri-cirinya.
Apabila gugatan dikabulkan untuk seluruhnya, sita revindicatoir
dinyatakan sah dan berharga dan tergugat dihukum untuk
menyerahkan barang tersebut kepada penggugat.
Dapat terjadi, bahwa gugatan dikabulkan hanya untuk sebagian dan
untuk selebihnya ditolak. Apabila hal itu terjadi, maka sita
revindicatoir untuk barang-barang yang dikabulkan, dengan
putusan tersebut akan dinyatakan sah dan berharga, sedangkan
untuk barang-barang lainnya, diperintahkan untuk diangkat.
Dalam rangka eksekusi barang yang dikabulkan itu diserahkan
kepada penggugat.
Untuk selanjutnya, segala sesuatu yang dikemukakan dalam
membahas sita conservatoir secara mutatis mutandis berlaku untuk
sita revindicatoir.

SITA EKSEKUSI

Ada dua macam sita eksekusi:

   - Yang langsung.


   - Yang tidak langsung.

1. Sita eksekusi yang langsung


Sita eksekusi yang langsung diletakkan atas barang bergerak
dan barang tidak bergerak milik debitur atau pihak yang kalah.
Sehubungan dengan pelaksanaan grosse akta pengakuan
hutang yang berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa atau pelaksanaan grosse akta hipotik
(berfungsi sebagai grosse akta hipotik adalah sertifikat hipotik
yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Lihat pasal 7 Peraturan
Menteri Agraria No. 15 Tahun 1961 dan pasal 14 (3)
Undangundang No. 16 Tahun 1985 jo PP No. 24 Tahun 1997.
Sita eksekusi lanjutan. Apabila barang-barang yang disita
sebelumnya dengan sita conservatoir, yang dalam rangka
eksekusi telah berubah menjadi sita eksekusi dan dilelang,
hasilnya tidak cukup untuk membayar jumlah uang yang harus
dibayar berdasarkan putusan Pengadilan, maka akan dilakukan
sita eksekusi lanjutan terhadap barang-barang milik tergugat,
untuk kemudian dilelang.
2. Sita eksekusi yang tidak langsung
Sita eksekusi yang tidak langsung adalah sita eksekusi yang
berasal dari sita jaminan yang telah dinyatakan sah dan
berharga dan dalam rangka eksekusi otomatis berubah
menjadi sita eksekusi.
Dalam rangka eksekusi dilarang untuk menyita hewan atau
perkakas yang benar-benar dibutuhkan oleh tersita untuk
mencari nafkah (pasal 197 (8) HIR, 211 RBg). Perlu
diperhatikan, bahwa yang tidak dapat disita adalah hewan,
yang benar-benar dibutuhkan untuk mencari nafkah oleh
tersita, jadi satu atau dua ekor sapi/kerbau yang benat-benar
dibutuhkan untuk mengerjakan sawah. Jadi bukan sapi-sapi
dari sebuah perternakan, ini selalu dapat disita. Binatang-
binatang lain, yaitu, kuda, anjing, kucing, burung, yang
kadang-kadang sangat tinggi harga, dapat saja disita.

SITA PERSAMAAN
Istilah dalam bahasa Belanda adalah Vergelijkend beslag,
terjemahan baku belum ada. Ada yang memakai istilah sita
perbandingan, ada pula yang menerjemahkan dalam sita
persamaan. Mahkamah Agung memakai istilah sita persamaan.
Sita tersebut antara lain diatur dalam pasal 463 R.V. yang berbunyi:
Apabila jurusita hendak melakukan penyitaan dan menemukan
bahwa barang-barang yang akan disita itu sebelumnya telah disita
terlebih dahulu, maka jurusita tidak dapat melakukan penyitaan
sekali lagi, namun ia mempunyai kewenangan untuk
mempersamakan barang-barang yang disita itu dengan Berita Acara
penyitaan, yang untuk itu oleh tersita harus diperlihatkan
kepadanya. Ia kemudian akan dapat menyita barang-barang yang
tidak disebut dalam Berita Acara itu memerintahkan kepada penyita
pertama untuk menjual barang-barang tersebut secara bersamaan
dalam waktu sebagaimana ditentukan dalam pasal 466 Rv. Berita
Acara sita persamaan ini berlaku sebagai sarana pencegahan hasil
lelang kepada penyita pertama. (diterjemahkan secara bebas oleh
redaksi.)
Pasal 463 Rv termasuk dalam bab Eksekusi barang bergerak.
Dengan demikian jelaslah, bahwa pasal 463 Rv. berlaku untuk sita
eksekusi terhadap barang bergerak. Jadi, apabila telah dilakukan
sita eksekusi, tidak dapat dilakukan sita eksekusi lagi terhadap
barang bergerak yang sama.
Ketentuan yang hampir serupa terdapat dalam pasal 11 (12)
Undang-undang PUPN, Undang-undang No. 49 tahun 1960, yang
berbunyi sebagai berikut:
Atas barang yang terlebih dahulu disita untuk orang lain yang
berpiutang tidak dapat dilakukan penyitaan. Jika jurusita
mendapatkan barang yang demikian, ia dapat rnemberikan salinan
putusan Surat paksa sebelum tanggal penjualan tersebut kepada
Hakim Pengadilan Negeri, yang selanjutnya menentukan, bahwa
penyitaan yang dilakukan atas barang itu akan juga dipergunakan
sebagai jaminan untuk pembayaran hutang menurut Surat Paksa.
Apabila setelah dilakukan penyitaan, tetapi sebelum dilakukan
penjualan barang yang disita diajukan permintaan untuk
melaksanakan suatu putusan Hakim yang diajukan terhadap
penanggung hutang kepada Negara, maka penyitaan yang telah
dilakukan itu dipergunakan juga sebagai jaminan untuk pembayaran
hutang menurut putusan Hakim itu dan Hakim Pengadilan Negeri
jika perlu memberi perintah untuk melanjutkan penyitaan atas
sekian banyak barang yang belum disita terlebih dahulu, sehingga
akan dapat mencukupi untuk membayar jumlah uang menurut
putusanputusan itu dan biaya penyitaan lanjutan itu.
Dalam hal yang dimaksud dalam ayat-ayat (1) dan (2)2, Hakim
Pengadilan Negeri menentukan cara pembagian hasil penjualan
antara pelaksana dan orang yang berpiutang, setelah mengadakan
pemeriksaan atau melakukan panggilan selayaknya terhadap
penanggung hutang kepada Negara, pelaksana dan orang yang
berpiutang.
Pelaksanaan dan orang yang berpiutang yang menghadap atas
panggilan termaksud dalam ayat (3), dapat minta banding pada
Pengadilan Tinggi atas penentuan pembagian tersebut.
Segera setelah putusan tentang pembagian tersebut mendapat
kekuatan pasti, maka Hakim Pengadilan Negeri mengirimkan suatu
daftar pembagian kepada juru lelang atau orang yang ditugaskan
melakukan penjualan umum untuk dipergunakan sebagai dasar
pembagian uang penjualan.
Oleh karena pasal tersebut berhubungan dengan penyitaan yang
dilakukan oleh PUPN, maka jelaslah pula, bahwa sita tersebut adalah
sita eksekusi dan bukan sita jaminan. Obyek yang disita bisa barang
bergerak dan bisa barang tidak bergerak.
PERLAWANAN
PERLAWANAN TERHADAP PUTUSAN VERSTEK
Pasal 129 HIR/153 Rbg memberi kemungkinan bagi tergugat/para
tergugat, yang dihukum dengan verstek untuk mengajukan verzet
atau perlawanan.
Kedua perkara tersebut dijadikan satu dan diberi satu nomor.
Sedapat mungkin perkara tersebut dipegang oleh Majelis Hakim
yang sama. yaitu yang telah menjatuhkan putusan verstek.
Hakim yang melakukan pemeriksaan perkara verzet atas putusan
verstek harus memeriksa gugatan yang telah diputus verstek
tersebut secara keseluruhan. Pembuktiannya agar mengacu pada
SEMA No.9 Tahun 1964.

PERLAWANAN TEREKSEKUSI TERHADAP SITA EKSEKUSI


Perlawanan tereksekusi terhadap sita eksekusi barang bergerak dan
barang yang tidak bererak, diatur dalam pasal 207 HIR atau pasal
225 RBg.
Perlawanan ini pada azasnya tidak menangguhkan eksekusi (Pasal
207 ayat (3) HIR atau 227 RBg). Namun, eksekusi harus
ditangguhkan, apabila segera nampak, bahwa perlawanan tersebut
benar dan beralasan, paling tidak sampai dijatuhkannya putusan
oleh Pengadilan Negeri.
Terhadap putusan dalam perkara ini, permohonan banding
diperkenankan.

PERLAWANAN PIHAK KETIGA TERHADAP SITA CONSERVATOIR, SITA


REVINDICATOIR, DAN SITA EKSEKUSI
Perlawanan pihak ketiga terhadap sita conservatoir, sita
revindicatoir, dan sita eksekusi, hanya dapat diajukan atas dasar
hak milik, jadi hanya dapat diajukan oleh pemilik atau orang yang
merasa bahwa ia adalah pemilik barang yang disita dan diajukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri dari Pengadilan Negeri yang secara
nyata menyita (pasal 195 (6) HIR, pasal 206 (6) RBg).
Jelaslah bahwa penyewa, pemegang hipotik atau credietverband,
pemegang hak pakai atas tanah, tidak dibenarkan untuk
mengajukan perlawanan semacam ini.
Pemegang hipotik atau credietverband, apabila tanah/tanah dan
rumah yang dijaminkan kepadanya itu disita, berdasarkan klausula
yang selalu terdapat dalam perjanjian yang dibuat dengan debiturya
langsung dapat minta eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri
atau Kepala PUPN.
Pemegang gadai tanah, yang kedudukannya sama dengan pemilik
tanah, sebelum adanya Perpu No. 56 Tabun 1960, dapat
mengajukan perlawanan pihak ketiga. Sekarang, karena gadai tanah
terbatas sampai paling lama 7 (tujuh) tahun, pemegang gadai tanah
tidak dibenarkan untuk mengajukan perlawanan pihak ketiga lagi.
Agar pelawan berhasil, maka ia harus membuktikan, bahwa barang
yang disita itu adalah miliknya. Apabila ia berhasil, maka ia akan
dinyatakan sebagai pelawan yang benar dan sita akan diperintahkan
untuk diangkat.
Apabila pelawan tidak dapat membuktikan, bahwa ia adalah pemilik
dari barang yang disita itu, pelawan akan dinyatakan sebagai
pelawan yang tidak benar atau pelawan yang tidak jujur, dan sita
akan dipertahankan.
Dalam praktek banyak sekali diajukan perlawanan pihak ketiga oleh
isteri atau suami dari tersita.Perlawanan pihak ketiga yang diajukan
oleh isteri atau suami, dalam hal harta bersama yang disita, sudah
barang tentu tidak dapat dibenarkan oleh karena harta bersama
selalu merupakan jaminan untuk pembayaran hutang isteri atau
suami yang terjadi dalam perkawinan, yang memang harus
ditanggung bersama.
Apabila yang disita adalah harta bawaan atau harta asal suami atau
isteri, maka isteri atau suami bisa mengajukan perlawanan pihak
ketiga dengan sukses, artinya ia dapat dinyatakan sebagai pelawan
yang benar, kecuali:
Mereka yang menikah berdasarkan BW dengan persatuan harta atau
membuat perjanjian perkawinan berupa persatuan hasil dan
pendapatan.
Suami atau isteri tersebut telah ikut menandatangani surat
perjanjian hutang, sehingga ia ikut bertanggungjawab.
Perlawanan pihak ketiga adalah upaya hukum luar biasa dan oleh
karenanya pada azasnya tidak menangguhkan eksekusi.
Eksekusi mutlak harus ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri
yang memimpin eksekusi yang bersangkutan, apabila perlawanan
tersebut segera nampak, bahwa benar-benar beralasan, misalnya,
apabila sertifikat tanah yang akan dilelang sejak semula jelas
tercatat atas nama orang lain, atau dari BPKB yang diajukan, jelas
terbukti, bahwa mobil yang akan dilelang itu, sejak lama adalah
milik pelawan. Apabila tanah atau mobil tersebut baru saja tercatat
atas nama pelawan, harap hati-hati, karena mungkin saja tanah atau
mobil itu diperoleh, oleh pelawan, setelah tanah atau mobil itu
disita, sehingga perolehan itu tidak syah.
Sehubungan dengan diajukannya perlawanan pihak ketiga ini, Ketua
Majelis yang memeriksa perkara tersebut, selalu harus melaporkan
perkembangan perkara itu kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Laporan tersebut diperlukan oleh Ketua Pengadilan Negeri untuk
menentukan kebijaksanaan mengenal diteruskannya atau
ditangguhkannya eksekusi yang dipimpin olehnya.
Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan, yaitu sita
conservatoir dan sita revindicatoir, tidak diatur baik dalam HIR, RBg
atau R V, namun dalam praktek menurut yurisprudensi, perlawanan
yang diajukan oleh pihak ketiga selaku pemilik barang yang disita
dapat diterima, juga dalam hal sita conservatoir ini belum
disyahkan. (putusan Mahkamah Agung tanggal 31-10-1962, No.
306K/Sip/1962. Rangkuman Yurisprudensi II halaman 270).

EKSEKUSI GROSSE AKTA


Menurut pasal 1224 HIR/pasal 258 R.Bg ada dua macam grosse
yang mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu grosse akta
pengakuan hutang dan grosse akta hipotik.
Yang dimaksud dengan grosse adalah salinan pertama dari akta
otentik. Salinan pertama ini diberikan kepada kreditur.
Oleh karena salinan pertama dari akta pengakuan hutang yang
dibuat oleh Notaris mempunyai kekuatan eksekusi, maka salinan
pertama ini sengaja diberi kepala/irah-irah yang berbunyi “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Salinan lainnya
yang diberikan kepada debitur tidak memakai kepala/irah-irah.
Aslinya, yang disebut minit, yang akan disimpan oleh Notaris dalam
arsip, juga tidak memakai kepala/irah-irah.
Grosse akta pengakuan hutang yang berkepala Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh Notaris diserahkan
kepada kreditur, untuk, apabila dikemudian hari diperlukan,
langsung dimohonkan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Orang yang mengaku berhutang, yaitu debitur, diberi juga salinan
dari akta pengakuan hutang itu, tetapi salinan yang diserahkan
kepada debitur tidak memakai kepala “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Grosse Akta Pengakuan Hutang dapat digunakan khusus untuk
kredit Bank berupa Fixed Loan. Jadi untuk Fixed Loan, Notaris dapat
membuat akta pengakuan hutang dan melalui grossenya yang
berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
yang dipegang oleh kreditur, yaitu bank. Bank dapat mengajukan
permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
bersangkutan.
Eksekusi berdasarkan Grosse akta pengakuan hutang mengenai
Fixed Loan ini, hanya bisa dilaksanakan, apabila debitur sewaktu
ditegur, membenarkan jumlah hutangnya itu.
Apabila debitur membantah jumlah hutang tersebut, dan besarnya
hutang menjadi tidak fixed, maka eksekusi tidak bisa dilanjutkan
dan kreditur, yaitu bank harus mengajukan tagihannya melalui
suatu gugatan. Dalam hal ini, apabila syarat-syarat terpenuhi,
putusan dapat dijatuhkan dengan serta merta.

Menurut pasal 14 Undang-undang Pelepas Uang, (geldschieters


ordonantie, S.1938-523), Notaris dilarang untuk membuat akta
pengakuan hutang dan mengeluarkan grosse aktanya untuk
perjanjian hutang-piutang dengan seorang pelepas uang. Pasal 224
HIR, pasal 258 RBg, tidak berlaku untuk grosse akta semacam ini.
Yang dimaksud dengan grosse akta pengakuan hutang yang diatur
dalam pasal 224 HIR, pasal 258 RBG, sebenarnya adalah sebuah
akta yang dibuat oleh notaris antara orang biasa/Badan Hukum
yang dengan kata-kata sederhana yang bersangkutan mengaku
berhutang uang sejumlah tertentu dan ia berjanji akan
mengembalikan uang itu dalam waktu tertentu, misalnya dalam
waktu 6 (enam) bulan. Bisa ditambahkan, dengan disertai bunga
sebesar 2 % sebulan.
Jadi yang dimaksud jumlahnya sudah pasti dalam akta pengakuan
hutang itu, bentuknya sangat sederhana dan tidak dapat
ditambahkan persyaratan-persyaratan lain, apalagi yang berbentuk
perjanjian.
Dalam praktek banyak terjadi penyalahgunaan Perjanjian kredit
bank rekening koran dengan plafond kredit, perjanjian jual-beli
dengan hak membeli kembali, yang dituangkan dalam akta
pengakuan hutang, sudah tentu tidak bisa dieksekusi langsung.
Grosse akta pengakuan hutang yang berkepala “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang dipegang oleh
kreditur, dalam hal debitur melakukan ingkar janji, dapat langsung
dimohonkan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
bersangkutan.
Ketua Pengadilan akan segera memerintahkan Jurusita untuk
memanggil debitur untuk ditegur.
Eksekusi selanjutnya akan dilaksanakan seperti eksekusi atas
putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

EKSEKUSI JAMINAN HIPOTIK


Pasal 7 Peraturan Menteri Agraria No. 15 Tahun 1961 menyatakan:
Salinan dari Akta yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 2 (yang
dimaksud adalah akta pembebanan hipotik yang dibuat oleh PPAT)
yang dibuat oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah, dijahit menjadi
satu oleh pejabat tersebut dengan sertifikat hipotik, crediet verband
yang bersangkutan dan diberikan kepada kreditur yang berhak.
Sertifikat hipotik dan crediet verband, yang disertai salinan akta
yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, mempunyai fungsi sebagai
grosse akta hipotik dan credietverband, serta mempunyai kekuatan
eksekutorial sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 224 HIR/258
RBg serta pasal 18 dan 19 Peraturan tentang credietverband (S.
1908-542).
Pasal 14 (3) Undang-undang Rumah Susun, yaitu Undang-undang
No. 16 Tahun 1985, menyebutkan:
Sebagai tanda bukti adanya hipotik, diterbitkan sertifikat hipotik
yang terdiri dari salinan buku tanah hipotik dan salinan akta Pejabat
Pembuat Akta Tanah.
Pasal 14 (5) menegaskan: Sertifikat hipotik sebagaimana
dimaksudkan dalam ayat (3) mempunyai kekuatan eksekutorial dan
dapat dilaksanakan seperti Putusan Pengadilan Negeri.
Sertifikat hipotik merupakan tanda bukti adanya hipotik dan
dibagian depannya, yaitu diatas sampulnya, memakai irah-irah
Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kadang-kadang irah-irah itu juga tercantum diatas akta
pembebanan hipotik yang dibuat oleh PPAT. lni adalah salah dan
berkelebihan, karena akta pernbebanan itu saja, tidak cukup untuk
minta eksekusi.
Akta pembebanan hipotik yang dibuat oleh PPAT, seringkali dibuat
berdasarkan surat kuasa (untuk mernasang hipotik). Surat kuasa ini
harus otentik (pasal 1171 BW), dan pada umumnya dibuat oleh
Notaris.
Dengan demikian akta pernbebanan hipotik yang dibuat oleh
seorang kuasa, harus dilakukan berdasarkan surat kuasa yang
otentik. Apabila dibuat oleh seorang kuasa berdasarkan surat kuasa
yang dituangkan dalam akta dibawah tangan sebagai tidak
rnemenuhi syarat subyektif, dan hipotiknya dapat dimohonkan
pembatalannya berdasarkan pasal 1154 BW.
Eksekusi hipotik dilaksanakan seperti eksekusi putusan Pengadilan
yang berkekuatan hukurn yang tetap.
Eksekusi dilakukan berdasarkan sertifikat hipotik.
Perjanjian hutang-piutang yang menyebabkan adanya hipotik bisa
dituangkan dalam akta dibawah tangan, tertera diatas kwitansi,
bahkan bisa terjadi secara lisan. Jadi tidak usah ada grosse aktanya.
Eksekusi cukup dilakukan berdasarkan sertifikat hipotik. (perhatikan
pasal 7 Peraturan Menteri Agraria No. 15 tabuh 1961), Eksekusi
selain dapat dilakukan sendiri juga dapat dilakukan atas perintah
Ketua Pengadilan Negeri
Eksekusi atas perintah dan di bawah Pimpinan Ketua Pengadilan
Negeri dari wilayah hukum, dimana tanah yang dihipotikkan itu
terletak.
Eksekusi dimulai dengan teguran dan berakhir dengan pelelangan
tanah yang dibebani dengan hipotik.
Pasal 200 (6) HIR menyatakan: Penjualan (lelang) benda tetap
dilakukan setelah penjualan (lelang) diumumkan menurut kebiasaan
setempat. Penjualan (lelang) tidak boleh dilakukan sebelum hari
kedelapan setelah barang-barang itu disita.
Dengan telah dilakukan pelelangan terhadap tanah yang
dihipotikkan dan diserahkan uang hasil lelang kepada kreditur,
selesailah sudah tagihan kreditur dan hipotik-hipotik yang
membebani tanah tersebut akan diroya dan tanah tersebut akan
diserahkan secara bersih, dan bebas dari semua beban, kepada
pembeli lelang.
Apabila terlelang tidak mau meninggalkan tanah tersebut, maka
berlakulah ketentuan yang terdapat dalam pasal 200 (11) HIR.
Hal ini adalah berbeda dengan penjualan berdasarkan janji untuk
menjual atas kekuasaan sendiri berdasarkan pasal 1178 (2) BW, dan
pasal 6 UU No.4/1997 yang juga dilakukan melalui pelelangan oleh
Kantor Lelang Negara atas permohonan pemegang hipotik pertama.
Janji ini hanya berlaku untuk pemegang hipotik pertama saja.
Apabila pemegang hipotik pertama telah pula membuat janji untuk
tidak dibersihkan, (pasal 1210 BW dan pasal 11 (2) UU Hak
Tanggungan), maka apabila ada hipotik-hipotik lain-lainnya dan
hasil lelang tidak cukup untuk membayar semua hipotik yang
membebani tanah yang bersangkutan, maka hipotik-hipotik yang
tidak terbayar itu, akan tetap membebani persil yang bersangkutan,
meskipun sudah dibeli oleh pembeli dari pelelangan yang sah. Jadi
pembeli lelang memperoleh tanah tersebut dengan beban-beban
hipotik yang belum terbayar. Terlelang tetap harus meninggalkan
tanah tersebut dan apabila ia membangkang, ia dan keluarganya,
akan dikeluarkan dengan paksa.
Untuk menjaga penyalahgunaan, maka penjualan lelang, juga
berdasarkan pasal 1178 BW (kecuali penjualan lelang ini
dilaksanakan berdasarkan pasal 6 Undang Undang Hak
Tanggungan) selalu baru dapat dilaksanakan setelah ada izin dari
Ketua Pengadilan Negeri.
Dalam hal lelang telah diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri,
maka lelang tersebut hanya dapat ditangguhkan oleh Ketua
Pengadilan Negeri dan tidak dapat ditangguhkan dengan alasan
apapun oleh pejabat instansi lain. Sebab lelang yang diperintahkan
oleh Ketua Pengadilan Negeri, dan dilaksanakan oleh Kantor Lelang
Negeri, adalah dalam rangka eksekusi, dan bukan merupakan
putusan dari Kantor Lelang Negara.
Penjualan (lelang) benda tetap harus diumumkan dua kali dengan
berselang lima belas hari di harian yang terbit di kota itu atau kota
yang berdekatan dengan obyek yang akan dilelang (pasal 200 (7)
HIR, pasal 217 Rbg).

EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE ATAU PERWASITAN


Ketentuan yang mengatur Arbritrase atau Perwasitan adalah pasal
615 s/d pasal 651 R.V.
Putusan Arbitrase domestik, yang terdiri dari putusan Arbitrase ad
hoc dan putusan Arbitrase Institusional (seperti putusan Arbitrase
dari Badan Arbitrase Nasional Indonesia-BANI) yang berkekuatan
hukum tetap dan tidak dilaksanakan secara sukarela, dapat
dimohonkan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri dimana
putusan Arbitrase itu telah dijatuhkan (pasal 637 RV).
Perhatikan juga ketentuan yang terdapat dalam pasal 634 RV dan
seterusnya.
Putusan Arbitrase Asing, yang berkekuatan hukum tetap, apabila
tidak dilaksanakan secara sukarela, dilaksanakan dengan
berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1990,
tertanggal l Maret 1990.

EKSEKUSI PUTUSAN YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP


Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan Pengadilan
Negeri yang diterima baik oleh kedua belah pihak yang berperkara,
putusan perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak
diajukan verzet atau banding, putusan Pengadilan Tinggi yang
diterima baik oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi,
dan putusan Mahkamah Agung dalam hal kasasi.

Menurut sifatnya ada 3 (tiga) macam putusan, yaitu:


putusan declaratoir
putusan constitutief
putusan condemnatoir.

Putusan declaratoir, yang hanya sekedar menerangkan atau


menetapkan suatu keadaan saja, tidak perlu dieksekusi, demikian
juga putusan constitutief, yang menciptakan atau menghapuskan
suatu keadaan, tidak perlu dilaksanakan.
Yang perlu dilaksanakan adalah putusan condemnatoir, yaitu
putusan yang berisi penghukuman. Pihak yang kalah dihukum
untuk melakukan sesuatu.
Putusan untuk melakukan suatu perbuatan, apabila tidak
dilaksanakan secara sukarela, harus dinilai dalam sejumlah uang
(pasal 225 HIR, pasal 259 RBg) dan selanjutnya akan dilaksanakan
seperti putusan untuk membayar sejumlah uang.
Putusan untuk membayar sejumlah uang, apabila tidak dilaksanakan
secara sukarela, akan dilaksanakan dengan cara melelang barang
milik pihak yang dikalahkan, yang sebelumnya harus disita (pasal
200 HIR, pasal 214 s/d pasal 224 RBg).
Putusan mana dengan tergugat dihukum untuk menyerahkan
sesuatu barang, misalnya sebidang tanah, dilaksanakan oleh
jurusita, dengan disaksikan oleh pejabat setempat, apabila perlu
dengan bantuan alat kekuasaan negara.
Eksekusi hendaknya dilaksanakan dengan tuntas. Apabila setelah
dilaksanakan, dan barang yang dieksekusi telah diterima oleh
pemohon eksekusi, kemudian diambil kembali oleh tereksekusi,
maka eksekusi tidak bisa dilakukan kedua kalinya.
Jalan yang dapat ditempuh oleh yang bersangkutan adalah
melaporkan tentang hal tersebut diatas itu, kepada pihak yang
berwajib (pihak kepolisian) atau mengajukan gugatan untuk
memperoleh kembali barang (tanah/ tanah dan rumah tersebut).
Putusan Pengadilan Negeri atas gugatan penyerobotan, apabila
diminta dalam petitum, bisa diberikan dengan serta-merta, atas
dasar hak milik yang diserobot.

PENANGGUHAN EKSEKUSI
Eksekusi hanya bisa ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri,
yang memimpin eksekusi. Dalam hal sangat mendesak dan Ketua
Pengadilan Negeri berhalangan, Wakil Ketua Pengadilan Negeri
dapat memerintahkan, agar eksekusi ditunda.
Dalam rangka pengawasan atas jalannya peradilan yang baik, Ketua
Pengadilan Tinggi selaku voorpost dari Mahkamah Agung, dapat
memerintahkan agar eksekusi ditunda atau diteruskan. Dalam hal
sangat mendesak dan Ketua Pengadilan Tinggi berhalangan, Wakil
Ketua Pengadilan Tinggi dapat memerintahkan agar eksekusi
ditunda.
Wewenang untuk menangguhkan eksekusi atau agar eksekusi
diteruskan, pada puncak tertinggi, ada pada Ketua Mahkamah
Agung. Dalam hal Ketua Mahkamah Agung berhalangan, wewenang
yang sama ada pada Wakil Ketua Mahkamah Agung.
Kepercayaan masyarakat dan wibawa Pengadilan bertambah, apabila
eksekusi berjalan mulus, tanpa rintangan.
Agar eksekusi berjalan mulus dan lancar, kerjasarna yang baik antar
instansi terkait didaerah, perlu terus menerus dibina dan
ditingkatkan.

Anda mungkin juga menyukai