ArsitekturTropisdanBangunanHematEnergi 1 Tri
ArsitekturTropisdanBangunanHematEnergi 1 Tri
net/publication/305187085
CITATIONS READS
7 20,071
2 authors, including:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Air conditioning and the neutral temperature of the Indonesian university students View project
All content following this page was uploaded by Tri Harso Karyono on 12 July 2016.
Secara sederhana pengertian arsitektur tropis (lembab) adalah suatu rancangan arsitektur
yang mengarah pada pemecahan problematik iklim tropis (lembab). Sementara iklim tropis
lembab sendiri dicirikan oleh beberapa faktor iklim (climatic factors) sebagai berikut:
1. Curah hujan tinggi sekitar 2000-3000 mm/tahun (Jakarta + 2000 mm/th atau rata-rata + 160
mm/bulan). Ada bagian di Indonesia dengan curah hujan rendah seperti Nusa Tenggara
Timur.
2. Radiasi matahari relatif tinggi sekitar 1500 hingga 2500 kWh/m 2/tahun (Jakarta + 1800
kWh/m2/tahun)
3. Suhu udara relatif tinggi untuk kota dan kawasan panatai atau dataran rendah (Jakarta
antara 23o hingga 33oC). Untuk kota dan kawasan di dataran tinggi (Bandung, Lembang,
Malang, Bukit Tinggi, dan lainnya) suhu udara cukup rendah, sekitar 18 o hingga 28oC atau
lebih rendah.
4. Kelembaban tinggi (Jakarta antara 60 hingga 95%)
5. Kecepatan angin relatif rendah (dalam kota Jakarta rata-rata di bawah 5 m/s)
Kondisi iklim tropis lembab tersebut di atas ternyata tidak seluruhnya dapat mendukung
keberlangsungan aktifitas manusia tropis secara nyaman. Dalam banyak hal justru sebagian
besar tuntutan kenyamanan fisik manusia tidak sesuai dengan kondisi iklim yang ada. Dengan
kelembaban yang tinggi, manusia tropis, yang melakukan aktifitas kantor, sekolah, dan lainnya,
cenderung menghindari air hujan mengenai tubuhnya. Air hujan yang membasahi pakaian
dirasakan sebagai faktor yang membuat manusia merasa tidak nyaman, di mana kulit terasa
lengket. Sementara itu hal semacam ini tidak terlalu dirisaukan oleh mereka yang berdiam di
iklim dengan kelembaban rendah, seperti di kawasan sub-tropis. Dengan kelembaban rendah di
kawasan semacam ini, air hujan yang membasahi tubuh dan pakaian akan segera kering
dengan sendirinya, sehingga manusia tidak perlu cemas tersiram air hujan atau salju.
Di lain pihak, dengan radiasi matahari yang cukup tinggi, ditambah suhu udara yang tinggi,
manusia tropis cenderung menghindari sengatan matahari langsung karena dapat
mengakibatkan ketidaknyamanan termal. Sedangkan mereka yang tinggal di daerah dengan
iklim dingin cenderung tidak mengkhawatirkan hal ini, di mana radiasi langsung matahari justru
dapat membantu menghangatkan tubuh mereka di luar musim panas.
Dengan kelembaban yang tinggi, manusia tropis cenderung memerlukan angin yang lebih
kencang agar uap air (keringat) yang berada pada permukaan kulit cepat menguap dan
memberikan efek dingin terhadap tubuh, sehingga kenyamanan termal dapat dicapai. Untuk
1
itulah pergerakkan angin di sekitar dan di dalam bangunan menjadi sangat penting bagi
penyelesaian problematik arsitektur tropis terutama dalam kaitannya dengan pencapaian
kenyamanan termal bagi penghuni bangunan.
2
dari minyak bumi (fossil fuels): batu bara, minyak, dan gas alam, serta sumber energi
terbarukan seperti matahari (photovoltaic), tenaga air, panas bumi dan nuklir [2]. Energi yang
dibangkitkan dalam tubuh manusia sebagai hasil oksidasi makanan tidak termasuk dalam
pengertian energi yang dperbincangkan dalam pembahasan ini.
Dengan demikian pengertian bangunan hemat energi dalam konteks pembahasan ini
adalah bangunan yang dalam operasionalnya dapat menekan (menghemat) penggunaan yang
bersumber (terutama) dari minyak bumi. Sebuah bangunan kantor delapan lantai yang
dibangun tanpa menggunakan lift dapat dianggap hemat energi karena menghemat pemakaian
listrik untuk penggerak mesin lift, meskipun dari sisi lain sebetulnya sangat boros terhadap
pemakaian energi yang dibangkitkan tubuh manusia sebagai hasil pembakaran bahan
makanan ekstra yang perlu dimakan karyawan/wati - sebagai sumber energi untuk manapak
anak-anak tangga bangunan tersebut.
Kaitan antara Bangunan, Kenyamanan dan Energi dapat dilihat pada tiga skenario.
Skenario pertama, bangunan mampu memodifikasi iklim luar yang tidak dikehendaki (tidak
nyaman) menjadi iklim di dalam bangunan yang nyaman tanpa menggunakan energi (Gambar
20.1). Hal ini umumnya terjadi pada rumah-rumah tradisional yang mewadahi aktifitas
tradisional. Pada siang hari penghuni dapat merasakan udara di dalam ruang yang sejuk
(karena sistem ventilasi rumah demikian baiknya - salah satunya karena penggunaan
bilik/anyaman bambu sebagai dinding, yang memungkinkan terjadinya aliran udara secara
tersebar dan merata di dalam bangunan serta suhu udara sekitar bangunan yang cukup
rendah.
Gambar 20.1. Skenario 1: Bangunan sebagai modifikator iklim berhasil merubah iklim
luar yang tidak nyaman menjadi iklim dalam yang nyaman
Meskipun ruangan di dalam pada rumah tradisional pada umumnya gelap (dibanding
dengan rumah modern), kondisi ini tidak akan menimbulkan permasalahan bagi penghuni
karena pada siang hari masyarakat tradisional tidak akan melakukan aktifitas di dalam rumah
yang membutuhkan penerangan dengan level penerangan tinggi seperti halnya pada
masyarakat modern. Pada malam hari rumah tradisional diterangi dengan lampu, lentera atau
pelita, dengan bahan bakar minyak nabati seperti minyak kelapa, minyak kemiri, atau minyak
buah Jarak, yang kesemuanya tergolong terbarukan, tidak bersumber dari minyak bumi.
3
Dengan demikian, secara keseluruhan, bangunan tradisional dapat digunakan sebagai contoh
yang mewakili gambaran skenario pertama.
Pada skenario kedua bangunan yang diharapkan berfungsi sebagai alat modifikasi iklim
seringkali tidak selalu berhasil. Di mana bangunan gagal merubah sebagian atau seluruhnya
iklim luar yang tidak nyaman menjadi iklim di dalam bangunan yang nyaman (Gambar 20.2).
Kondisi ini yang justru seringkali dijumpai. Kegagalan ini dapat terjadi karena, pertama, ada
kemungkinan besar iklim luar di sekitar bangunan terlalu ekstrim, jauh berbeda dengan tuntutan
iklim nyaman di dalam bangunan, misalnya perbedaan suhu luar dengan kebutuhan suhu
nyaman manusia setempat terlalu besar.
Gambar 21.2. Skenario 2: Bangunan gagal merubah iklim luar yang tidak nyaman
menjadi iklim di dalam bangunan yang nyaman
Dengan situasi semacam ini sulit bagi bangunan untuk mendekatkan perbedaan suhu luar
dengan suhu nyaman tanpa bantuan energi (listrik) dengan bentuk rancangan arsitektur
apapun. Faktor kedua, karena kekeliruan rancangan arsitektur yang kurang mempertimbangkan
iklim, di mana arsitek masih terlalu terpaku pada target visual atau estetika, sehingga aspek
kenyamanan termal terabaikan. dan bangunan tidak nyaman secara termal. Seringkali terjadi,
karena lemahnya rancangan arsitektur, bangunan gagal mengantisipasi kondisi iklim luar yang
sesungguhnya tidak ekstrim.
Skenario 3 (Gambar 21.3) memperlihatkan bahwa kenyamanan di dalam bangunan dapat
dicapai dengan bantuan energi.
ENERGI
Gambar 21.3. Skenario 3: Dengan bantuan Energi bangunan akhirnya berhasil merubah iklim luar
yang tidak nyaman menjadi iklim di dalam bangunan yang nyaman
4
Pada skenario 3 ini tidak berarti bahwa rancangan bangunan lalu dianggap buruk karena
perlu menggunakan energi bagi pencapaian kenyamanan ruang dalamnya. Kondisi semacam
ini yang saat ini sering terjadi pada hampir seluruh bangunan yang berada di kota, baik besar
maupun kecil, di mana energi listrik digunakan bagi pemenuhan kebutuhan kenyamanan
meskipun seandainya hanya terbatas pada batas kenyamanan visual (penerangan) malam hari.
Kenyamanan akan sangat mungkin dicapai melalui penyelesaian rancangan arsitektur
apapun. Yang menjadi pertanyaan adalah berapa besar energi yang diperlukan per-satuan luas
tertentu (misalnya meter persegi lantai) untuk membuat bangunan tersebut nyaman. Penilaian
apakah suatu rancangan bangunan dianggap baik atau buruk dari sudut energi terletak pada
seberapa besar energi tersebut diperlukan (persatuan luas) oleh bangunan guna mencapai
angka kenyamanan yang disyaratkan atau distandarkan. Semakin kecil energi yang diperlukan
(guna pencapaian tingkat kenyamanan yang sama) akan menunjukkan semakin baik
rancangan bangunan tersebut dipandang dari sisi energi.
5
Bahwa atap dan overstek lebar mampu menciptakan suhu nyaman di dalam rumah-rumah
tradisional masa lalu atau rumah-rumah di pedesaan, untuk konteks bangunan tropis modern
masa kini penyelesaian semacam itu tampaknya belum cukup. Kondisi iklim di pusat kota
berbeda dengan kondisi iklim di tepi kota atau di kawasan pedesaan. Diperlukan strategi
rancangan tambahan untuk menciptakan arsitektur tropis yang mampu memberikan
kenyamanan pengguna bangunan dengan energi rendah.
Tngginya suhu udara rata-rata di daerah tropis, terutama di dataran rendah, strategi
penghematan energi dalam bangunan harus diarahkan untuk menjaga agar suhu udara di
dalam bangunan tidak meningkat saat siang hari ketika matahari bersinar terik. Dengan kata
lain, bangunan harus mampu meminimalkan 'perolehan panas' (heat gain) matahari.
6
Seandainya pada sisi timur dan barat bangunan tanpa dapat dihindari harus diletakkan
ruang-ruang utama, maka untuk menghindari pemanasan pada ruang tersebut dinding-
dinding ruang perlu diberi penghalang terhadap sinar matahari langsung. Atau dinding dibuat
rangkap di mana di antara kedua dinding tersebut diberi ruang antara yang diberi lubang-
lubang ventilasi. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap perilaku termis ruang utama di
dalamnya, di mana suhu udara ruang akan lebih rendah secara mencolok dibanding hanya
menggunakan dinding tunggal.
5. Mencegah jatuhnya radiasi matahari pada permukaan keras
Karena permukaan keras (aspal, beton, dsb) cenderung merupakan material yang menyerap
panas (kemudian dipancarkan kembali ke udara), maka suhu udara di atas permukaan keras
yang terkena radiasi matahari cenderung lebih tinggi di banding dengan di atas rumput atau
perdu misalnya [4]. Penggunaan material keras sebagai penutup halaman, jalan, tempat
parkir, dsb. akan menaikan suhu udara di sekitar bangunan seandainya permukaan tersebut
dibiarkan terbuka terhadap radiasi langsung matahari. Untuk itu permukaan dengan material
padat/keras sebaiknya dilindungi (dipayungi) dari jatuhnya radiasi langsung matahari agar
suhu udara sekitar bangunan tetap rendah.
6. Memanfaatkan aliran udara malam hari yang bersuhu rendah
Suhu udara minimum rata-rata Jakarta adalah 23oC, dan ini terjadi pada malam menjelang
pagi hari. Dalam rangka penghematan energi dalam bangunan potensi ini dapat
dimanfaatkan dengan cara mengalirkan angin yang bersuhu rendah tersebut melalui dinding
(yang dibuat rangkap-berongga) serta lantai (berongga, dengan raised floor). Tujuan dari
pengaliran udara ini adalah menurunkan suhu massa bangunan (building fabric) serendah
mungkin mendekati atau sama dengan suhu udara minimum tersebut. Suatu ruang yang
memiliki lantai, dinding dan langit-langit dengan suhu rendah akan lebih mudah mencapai
kenyamanan meskipun suhu udara luar relatif tinggi, karena pada kenyataan sensasi suhu
(termis) tidak saja ditentukan oleh suhu udara, namun juga oleh suhu radisi permukaan
ruang (lantai, dinding dan langit-langit). Beberapa percobaan model dengan simulasi
komputer serta uji coba pada bangunan-bangunan baru telah membuktikan keampuhan
teknik pendinginan malam hari ini dalam usaha menekan pengunaan energi dalam
bangunan.
Suhu nyaman untuk daerah beriklim tropis lembab diperkirakan berkisar antara 22o s/d 27oC
[4], sementara itu beberapa penelitian suhu nyaman di daerah Asia Tenggara memperlihatkan
suatu 'range' antara 24o s/d 30oC [5]. Hasil penelitian kenyaman suhu yang pernah dilakukan
oleh Mom [6,7] di Bandung pada tahun 1930-an memperlihatkan suhu nyaman pada sekitar
26o-27oC. Penelitian suhu nyaman paling akhir yang dilakukan di Indonesia (Jakarta) oleh
7
Karyono [8,9] dan untuk sementara dibakukan oleh Tim Peneliti Kenyamanan termal dari
Maquarie University - Australia, University of California Berkley - Amerika serta Institusi
Standard Pengkondisian Udara Amerika, ASHRAE [10] memperlihatkan suhu nyaman
karyawan/wati di Jakarta berada pada 26,4oC dengan deviasi + 2oC, atau antara 24,4 hingga
28,4oC.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah mungkin suhu di dalam ruang (internal
climate) dapat mencapai angka 28,4 oC (batas atas suhu nyaman penelitian Karyono)
sementara suhu udara luar siang hari berada pada 32 oC. Dari simulasi komputer terhadap efek
pendinginan malam hari (night passive cooling) yang dilakukan oleh Cambridge Architectural
Research Limited [11] diperoleh suatu hasil bahwa penurunan suhu hingga 3 oC dapat dicapai
pada bangunan yang menggunakan massa berat (beton, bata) meskipun seandainya
perbedaan suhu siang dan malam hanya berkisar 8 oC (perbedaan suhu siang dan malam di
Jakarta dapat mencapai 10 oC). Sementara itu penelitian Parker [12] dan Akbari [13] di Amerika
Serikat memperlihatkan bahwa dengan penanaman pohon lindung di sekitar rumah tinggal,
penggunaan energi (listrik) untuk AC dapat berkurang dari 30 hingga 50%.
Dengan meng-ekuivalen-kan 10% pengurangan energi setara dengan penurunan suhu
sekitar 0,7 hingga 1oC [14], dapat disimpulkan bahwa penurunan suhu sekitar hingga 3 oC
merupakan suatu hal yang sangat mungkin apabila ruang terbuka sekitar bangunan di penuhi
dengan pohon pelindung atau bahkan dihutankan, dengan pengertian halaman, jalan access
dan halaman parkir terlindung dari sengatan langsung radiasi matahari.
Dari kedua teknik di atas, yakni pendinginan malam hari serta penghijauan sekitar
bangunan, suhu udara dalam bangunan, secara teoritis, dapat turun hingga 6oC. Seandainya
suhu udara kota Jakarta pada siang hari berkisar pada 32 oC, maka bukanlah sesuatu hal yang
mustahil untuk mencapai suhu nyaman di dalam bangunan yang berada di bawah angka
28,4oC.
Sumber Bacaan
Akbari, H. et al (1990), Summer Heat Island, Urban Trees and White Surfaces, ASHRAE
Transactions, pp. 1381-1388.
Baker, N.V. (1994), Energy and Environment in Non-Domestic Buildings A Technical Design
Guide, Cambridge Architectural Research Ltd. and The Martin Centre for Architectural
and Urban Studies, University of Cambridge, UK.
de Dear, R.J., Brager, G., Cooper, D. (1997), Developing an Adaptive Model of Thermal
Comfort and Practice, Macquarie Research Ltd.- Macquarie Univ., Australia and Center
for Env. Design Research, Univ. of California Berkley, USA.
Humphreys, M.A. (1992), Thermal Comfort Require-ments, Climate and Energy, The Second
World Renewable Energy Congress, Reading, UK.
Karyono, T.H. (1995), Thermal Comfort for the Indonesian workers in Jakarta, Building
Research and Information, Vol. 23 No. 6, pp. 317-323, UK.
8
Karyono, T.H. (1996), Antisipasi arsitek dalam memo-difikasi iklim melalui karya arsitektur, Dies
USAKTI.
Karyono, T.H. (1996), Discrepancy between actual and predicted thermal votes of the
Indonesian workers in Jakarta, Indonesia, International Journal of Ambient Energy, Vol.
17, No. 2, UK.
Karyono, T.H. (1996), Pengaruh kaca terhadap kenya-manan suhu dan konsumsi energi pada
bangunan di Indonesia, Seminar Kaca - Arsitektur, UNTAR, 12 Nov.
Karyono, T.H. (1996), Penghijauan kota sebagai usaha menurunkan suhu kota, Majalah
Konstruksi, Mei.
Karyono, T.H. (1996), Thermal Comfort in the Tropical South East Asia Region, Architectural
Science Review, Vol. 39, pp. 135-139, Australia.
Karyono, T.H. (1997), Pathologi bangunan dan kenyamanan suhu, Majalah Konstruksi, April.
Lippsmeier, G., et al (1980), Tropenbau Building in the Tropics, Germany Callwey Verlag,
Muenchen.
Mardliah, S.A. (1997), Liputan Khusus: Realisasi Perancangan Kota Memprihatinkan?, Majalah
Konstruksi, September.
Mom, C.P. et al (1947), The Application of the Effective Temperature Scheme to the Comfort
Zone in the Netherlands Indies (Indonesia), Chronica Naturae, vol. 103, pp. 19-31
Parker, J. (1981), Uses of landscaping for energy conservation, Florida International University
and the Florida Energy Office.
Radsma, W. (1936), Feestbundel 1936 v/h Geneesk. Tijdschr. voor Ned. Indie.
Ramage, J. (1983), Energy A Guide Book, Oxford Univ. Press, UK.
Vitruvius, The Ten Book on Architecture (translated by Morris H. Morgan), Dover Publications,
Inc, NY. 1960.