Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit respiratorik kronik yang paling sering

ditemukan, terutama dinegara maju. Penyakit ini pada umumnya dimulai

sejak masa anak-anak, asma merupakan suatu keadaan di mana saluran

nafas mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap

rangsangan tertentu yang meyebabkan peradangan. Biasanya

penyempitan ini sementara, penyakit ini paling banyak menyerang anak

dan berpotensi untuk menggangu pertumbuhan dan perkembangan anak.

Nelson mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan gejala

wheezing (mengi) dan atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut:

timbul secara episodik dan atau kronik, cenderung pada malam hari/dini

hari (nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus di antaranya aktivitas

fisik dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan

pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada

pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan(1)

Asma adalah penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan

mayarakat di hampir semua negara di dunia, diderita oleh anak-anak

sampai dewasa dengan derajat penyakit yang ringan sampai berat,

bahkan dapat mematikan. Lebih dari seratus juta penduduk di seluruh

dunia menderita asma dengan peningkatan prevalensi pada anak-anak(2)


Asma merupakan gangguan saluran nafas yang sangat kompleks, tidak

memiliki sifat yang khas, baik gambaran klinis, faktor pencetus proses

perjalanan penyakit, maupun pola mekanisme terjadinya sangat

bervariasi. Meskipun begitu, asma memiliki ciri klasik berupa mengi

(wheezing), bronkokontriksi, terjadi sembab mukosa dan hipersekresi (3)

Penelitian epidemiologi di berbagai negara mengenai prevalensi

asma menunjukkan angka yang sangat bervariasi, di Skandinavia 0,7-

1,8%; Norwegia 0,9-2,0%; Finlandia 0,7-0,8%; Inggris 1,6-5,1%; Australia

5,4-7,4%, India 0,2%; Jepang 0,7%; Barbados 1,1% (4). Prevalensi asma

di seluruh dunia adalah sebesar 8-10% pada anak dan 3-5% pada

dewasa, dan dalam 10 tahun terakhir ini meningkat sebesar 50% (5).

Penelitian prevalensi asma di Australia 1982-1992 yang didasarkan

kepada data atopi atau mengi menunjukkan kenaikan prevalensi asma

akut di daearah lembah (Belmont) dari 4,4% (1982) menjadi 11,9%

(1992), dari daerah perifer yang kering adalah sebesar 0,5% dari 215

anak dengan bakat atopi sebesar 20,5% dan mengi 2% (6). Beberapa

survei menunjukkan bahwa penyakit asma menyebabkan hilangnya 16%

hari sekolah pada anak-anak di Asia, 43% anak-anak di Eropa, dan 40%

hari pada anak-anak di Amerika Serikat (7). Serangan asma yang terjadi

pada anak-anak tersebut, didiagnosis oleh para ahli sebagai asma

ekstrinsik yang dapat disebabkan oleh alergen (8). Penelitian multisenter

di beberapa pusat pendidikan di Indonesia mengenai prevalensi asma

pada anak usia 13-14 tahun (SLTP) menghasilkan angka prevalensi di


Palembang 7,4%; di Jakarta 5,7%; dan di Bandung 6,7% (9). Sidhartani

di Semarang tahun 1994 meneliti 632 anak usia 12-16 tahun dengan

menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergy in

Children (ISAAC) dan pengukuran Peak Flow Meter (PFM) menemukan

prevalensi asma 6,2% (10). Laporan kasus penyakit tidak menular pada

Dinas Kesehatan Jawa Tengah khusus penderita asma bronkiale dari

beberapa rumah sakit Kabupaten Kudus tahun 2005 sebanyak 6.315

penderita, tahun 2006 sebanyak 6.579 penderita, sedangkan pada tahun

2007 sampai pada bulan Maret sebanyak 2.958kasus asma bronkial pada

anak Rumah Sakit Daerah Kudus tahun 2005 sebanyak 160 penderita

asma bronkial, sedangkan tahun 2006 sebanyak 118 anak, dan pada

tahun 2007 sebanyak 89 penderita bronkial anak (12).

Pelayanan kesehatan anak terpadu dan holistik adalah pendekatan

yang paling tepat dalam penanganan penyakit asma. Hal ini meliputi

aspek promotif (peningkatan), preventif (pencegahan), kuratif

(penyembuhan) dan rehabilitatif (pemulihan) yang dilaksanakan secara

holistik (paripurna) untuk mencapai tumbuh kembang anak yang optimal.

Agar asma terkontrol dengan baik maka kemandirian anak dalam

menghadapi asma perlu dikembangkan, karena dengan kemandirian ini

akan meningkatkan rasa percaya diri, baik pada orang tua maupun anak

yang menderita asma. Untuk menumbuhkan dan meningkatkan

kemandirian orang tua dan anak, perlu ditingkatkan pengetahuan dan

ketrampilan mengenai asma serta segi-segi cara penanggulangannya


(12). Masalah penanganan penderita yang tidak adekuat disebabkan

oleh keluarga tidak memahami kondisi penyakit dan pengobatannya

karena tidak dapat mendapat (11). Laporan pengetahuan yang cukup

tentang penyakit asma, petugas medis kurang mampu mendiagnosis

dengan tepat dan kurang mampu melakukan penilaian beratnya penyakit

asma sehingga berakibat pengobatan yang dilakukan penderita kurang

memadai. Masalah lingkungan fisik adalah semakin besarnya polusi yang

terjadi lingkungan indoor dan outdoor, serta perbedaan cara hidup yang

kemungkinan ditunjang dari sosioekonomi individu (13). Karena

lingkungan dalam rumah mampu memberikan kontribusi besar terhadap

faktor pencetus serangan asma, maka perlu adanya perhatian khusus

pada beberapa bagian dalam rumah. Perhatian tersebut ditujukan pada

keberadaan alergen dan polusi udara yang dapat dipengaruhi oleh faktor

kondisi lingkungan rumah dan perilaku keluarga. Komponen kondisi

lingkungan rumah yang dapat mempengaruhi serangan asma seperti

keberadaan debu, bahan dan desain dari fasilitas perabotan rumah

tangga yang digunakan (karpet, kasur, bantal), memelihara binatang yang

berbulu (seperti anjing, kucing, burung), dan adanya keluarga yang

merokok dalam rumah. Disamping itu agent dan host memiliki andil

seperti: makanan yang disajikan, riwayat keluarga, perubahan cuaca, jenis

kelamin. Pengelolaan penderita asma di Unit Gawat Darurat dan di rumah

sakit sebenarnya sudah cukup baik, namun yang masih kurang adalah

pencegahan faktor kejadian kekambuhan asma pada anak. Kebanyakan


pasien asma membiarkan sampai muncul keluhan sesak nafas baru

kemudian ke dokter. Pengelolaan asma sendiri sebetulnya adalah

bagaimana agar pasien tersebut tidak sesak nafas kembali. Sekali saja

pasien dirawat di rumah sakit biayanya lebih besar/sama dengan membeli

obat inhaler selama satu tahun.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Etiologi Asma

Sampai saat ini etiologi asma masih belum jelas diketahui secara

pasti, namun ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan

presipitasi timbulnya serangan asma bronkhial

a. Faktor Predisposisi

 Genetik

Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum

diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan

penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita

penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah

terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan fokus pencetus.

Selain itu hipersensitifitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan

b. Faktor Presipitasi

 Alergen

Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :

1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernafasan

Contoh : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri

dan polusi

2. Ingestan, yang masuk melalui mulut

Contoh : makanan dan obat-obatan


3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit

Contoh : perhiasan, logam dan jam tangan

 Perubahan Cuaca

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sring

mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor

pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan

berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau,

musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan

debu.

 Stress

Stress/ gangguan emosi bukan penyebab asma namun dapat

menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat

serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul

harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/ gangguan

emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya.

 Lingkungan kerja

Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan

asma. Hal ini berkaitan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja

dilaboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas.

Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti

 Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat


Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika

melakukan aktifitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat paling

mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas

biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

 Obat-obatan

Beberapa klien asma bronkhial sensitif atau alergi terhadap obat

tertentu. Seperti pennisilin, salisilat, beta blocker dan kodein.

II.1.1 Klasifikasi Asma Berdasarkan Etiologi

1. Asma Bronkiale Tipe Atopik (Ekstrinsik)

Asma timbul karena seseorang yang atopi akibat pemaparan

alergen. Alergen yang masuk tubuh melalui saluran pernafasan, kulit,

saluran pencernaan dan lain-lain akan ditangkap oleh makrofag yang

bekerja sebagai antigen presenting cells (APC). Setelah alergen diproses

dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut, alergen dipresentasikan ke

sel Th. Sel APC melalui penglepasan interleukin I (II-1) mengaktifkan sel

Th. Melalui penglepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yang diaktifkan,

kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasthma

dan membentuk IgE.

IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam

jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh

karena kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk

IgE. Sel eosinofil, makrofag dan trombosit juga memiliki reseptor untuk IgE

tetapi dengan afinitas yang lemah. Orang yang sudah memiliki sel-sel
mastosit dan basofil dengan IgE pada permukaan tersebut belumlah

menunjukkan gejala. Orang tersebut sudah dianggap desentisisasi atau

baru menjadi rentan

Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih

dengan alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh

IgE yang sudah ada pada permukaan mastofit dan basofil. Ikatan tersebut

akan menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan dalam

sel yang menurunkan kadar cAMP.

Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel.

Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah

mediator yang sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) di

dalam sitoplasma yang mempunyai sifat biologik, yaitu histamin,

Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor

(NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator tersebut

ialah obstruksi oleh histamin.

Hiperreaktifitas bronkus yaitu bronkus yang mudah sekali mengkerut

(konstriksi) bila terpapar dengan bahan / faktor dengan kadar yang rendah

yang pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apa-apa,

misalnya alergen (inhalan, kontaktan), polusi, asap rokok / dapur, bau-

bauan yang tajam dan lainnya baik yang berupa iritan maupun yang

bukan iritan. Dewasa ini telah diketahui bahwa hiperreaktifitas bronkus

disebabkan oleh inflamasi bronkus yang kronik. Sel-sel inflamasi terutama

eosinofil ditemukan dalam jumlah besar dalam cairan bilas bronkus pasien
asma bronkiale sebagai bronkhitis kronik eosinofilik. Hiperreaktifitas

berhubungan dengan derajat berat penyakit. Di klinik adanya

hiperreaktifitas bronkhus dapat dibuktikan dengan uji provokasi yang

menggunakan metakolin atau histamin.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas saat ini penyakit asma

dianggap secara klinik sebagai penyakit bronkhospasme yang reversibel,

secara patofisiologik sebagai suatu hiperreaksi bronkus dan secara

patologik sebagai suatu peradangan saluran nafas.

Akibat dari bronkhospasme, edema mukosa dan dinding bronkhus serta

hipersekresi mukus maka terjadi penyempitan bronkhus dan

percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa sesak, nafas berbunyi

(wheezing) dan batuk yang produktif.

Adanya stressor baik fisik maupun psikologis akan menyebabkan

suatu keadaan stress yang akan merangsang HPA axis. HPA axis yang

terangsang akan meningkatkan adeno corticotropic hormon (ACTH) dan

kadar kortisol dalam darah. Peningkatan kortisol dalam darah akan

mensupresi immunoglobin A (IgA). Penurunan IgA menyebabkan

kemampuan untuk melisis sel radang menurun yang direspon oleh tubuh

sebagai suatu bentuk inflamasi pada bronkhus sehingga menimbulkan 

asma bronkiale.
2. Asma Bronkiale Tipe Non Atopik (Intrinsik)

Asma non alergenik (asma intrinsik) terjadi bukan karena pemaparan

alergen tetapi terjadi akibat beberapa faktor pencetus seperti infeksi

saluran nafas atas, olah raga atau kegiatan jasmani yang berat, serta

tekanan jiwa atau stress psikologik. Serangan asma terjadi akibat

gangguan saraf otonom terutama gangguan saraf simpatis yaitu blokade

adrenergik beta dan hiperreaktifitas adrenergik alfa. Dalam keadaan

normal aktifitas adrenergik beta lebih dominan daripada adrenergik alfa.

Pada sebagian penderita asma aktifitas adrenergik alfa diduga meningkat

yang mengakibatkan bronkhokonstriksi sehingga menimbulkan sesak

nafas.

Reseptor adrenergik beta diperkirakan terdapat pada enzim yang

berada dalam membran sel yang dikenal dengan adenyl-cyclase dan

disebut juga messengger kedua. Bila reseptor ini dirangsang, maka enzim

adenyl-cyclase tersebut diaktifkan dan akan mengkatalisasi ATP dalam

sel menjadi 3’5’ cyclic AMP. cAMP ini kemudian akan menimbulkan

dilatasi otot-otot polos bronkus, menghambat pelepasan mediator dari

mastosit / basofil dan menghambat sekresi kelenjar mukus. Akibat

blokade reseptor adrenergik beta maka fungsi reseptor adrenergik alfa

lebih dominan akibatnya terjadi bronkhus sehingga menimbulkan sesak

nafas. Hal ini dikenal dengan teori blokade adrenergik beta.

(baratawidjaja, 1990).
3. Asma Bronkiale Campuran (Mixed), Pada tipe ini keluhan diperberat

baik oleh faktor-faktor intrinsik maupun ekstrinsik.

Berdasarkan Keparahan Penyakit

1. Asma intermiten

Gejala muncul < 1 kali dalam 1 minggu, eksaserbasi ringan dalam

beberapa jam atau hari, gejala asma malam hari terjadi < 2 kali dalam 1

bulan, fungsi paru normal dan asimtomatik di antara waktu serangan,

Peak Expiratory Folw (PEF) dan Forced Expiratory Value in 1 second

(PEV1) > 80%

2. Asma ringan

Gejala muncul > 1 kali dalam 1 minggu tetapi < 1 kali dalam 1 hari,

eksaserbasi mengganggu aktifitas atau tidur, gejala asma malam hari

terjadi > 2 kali dalam 1 bulan, PEF dan PEV1 > 80%

3. Asma sedang (moderate)

Gejala muncul tiap hari, eksaserbasi mengganggu aktifitas atau

tidur, gejala asma malam hari terjadi >1 kali dalam 1 minggu,

menggunakan inhalasi beta 2 agonis kerja cepat dalam keseharian,

PEF dan PEV1 >60% dan < 80%

4. Asma parah (severe)

Gejala terus menerus terjadi, eksaserbasi sering terjadi, gejala

asma malam hari sering terjadi, aktifitas fisik terganggu oleh gejala

asma, PEF dan PEV1 < 60%


(Muchid dkk, 2007)

Asma juga dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat serangan asma

yaitu:

1. Serangan asma ringan dengan aktivitas masih dapat berjalan, bicara

satu kalimat, bisa berbaring, tidak ada sianosis dan mengi kadang

hanya pada akhir ekspirasi,

2. Serangan asma sedang dengan pengurangan aktivitas, bicara

memenggal kalimat, lebih suka duduk, tidak ada sianosis, mengi

nyaring sepanjang ekspirasi dan kadang -kadang terdengar pada saat

inspirasi,

3. Serangan kata demi kata, mulai ada sianosis dan mengi sangat nyaring

terdengar tanpa asma berat dengan aktivitas hanya istirahat dengan

posisi duduk bertopang lengan, bicara stetoskop,

4. Serangan asma dengan ancaman henti nafas, tampak kebingunan,

sudah tidak terdengar mengi dan timbul bradikardi.

II.2 Patofisiologi

Suatu serangan asma timbul karena seorang yang atopi terpapar

dengan alergen yang ada dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk

imunoglobulin E ( IgE ). Faktor atopi itu diturunkan. Alergen yang masuk

kedalam tubuh melalui saluran nafas, kulit, dan lain-lain akan ditangkap

makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cell (APC). Setelah

alergen diproses dalan sel APC, alergen tersebut dipresentasikan ke sel


Th. Sel Th memberikan signal kepada sel B dengan dilepaskanya

interleukin 2 ( IL-2 ) untuk berpoliferasi menjadi sel plasma dan

membentuk imunoglobulin E (IgE).

IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam

jaringan dan basofil yang ada dalan sirkulasi. Bila proses ini terjadai pada

seseorang, maka orang itu sudah disensitisasi atau baru menjadi rentan.

Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan

alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada

dalam permukaan mastoit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk

Ca++ kedalam sel dan perubahan didalam sel yang menurunkan kadar

cAMP.

Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel.

Degranulasi sel ini akan menyebabkan dilepaskanya mediator-mediator

kimia yang meliputi : histamin, slow releasing suptance of anaphylaksis

( SRS-A), eosinophilic chomotetik faktor of anaphylacsis (ECF-A) dan lain-

lain. Hal ini akan menyebabakan timbulnya tiga reaksi utama yaitu :

kontraksi otot-otot polos baik saluran nafas yang besar ataupun yang kecil

yang akan menimbulkan bronkospasme, peningkatan permeabilitas

kapiler yang berperan dalam terjadinya edema  mukosa yang menambah

semakin menyempitnya saluran nafas , peningkatansekresi kelenjar

mukosa dan peningkatan produksi mukus. Tiga reaksi tersebut

menimbulkan gangguan ventilasi, distribusi ventilasi yang tidak merata

dengan sirkulasi darah paru dan gangguan difusi gas ditingkat alveoli,
akibatnya akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada tahap

yangsangat lanjut,(Barbara C.L,1996, Karnen B. 1994, William R.S. 1995 )

Berdasarkan etiologinya, asma dapat dikelompokkan menjadi dua

jenis yaitu asma intrinsik dan asma ektrinsik. Asma ektrinsik (atopi)

ditandai dengan reaksi alergik terhadap pencetus-pencetus spesifik yang

dapat diidentifikasi seperti : tepung sari jamur, debu, bulu binatang, susu

telor ikan obat-obatan serta bahan-bahan alergen yang lain. Sedangkan

asma intrinsik ( non atopi ) ditandai dengan mekanisme non alergik yang

bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik seperti : Udara dingin, zat

kimia,yang bersifat sebagai iritan seperti : ozon ,eter, nitrogen, perubahan

musim dan cuaca, aktifitas fisik yang berlebih , ketegangan mental serta

faktor-faktor intrinsik lain. ( Antoni C, 1997 dan Tjen Daniel, 1991 ).

Serangan asma mendadak secara klinis dapat dibagi menjadi tiga

stadium. Stadium pertama ditandai dengan batuk-batuk berkala dan

kering. Batuk ini terjadi karena iritasi mukosa yang kental dan mengumpul.

Pada stadium ini terjadi edema dan pembengkakan bronkus. Stadiun

kedua ditandai dengan batuk disertai mukus yang jernih dan berbusa.

Klien merasa sesak nafas, berusaha untuk bernafas dalam, ekspirasi

memanjang diikuti bunyi mengi (wheezing ). Klien lebih suka duduk

dengan tangan diletakkan pada pinggir tempat tidur, penberita tampak

pucat, gelisah, dan warna kulit sekitar mulai membiru. Sedangkan stadiun

ketiga ditandai hampir tidak terdengarnya suara nafas karena aliran udara
kecil, tidak ada batuk,pernafasan menjadi dangkal dan tidak teratur, irama

pernafasan tinggi karena asfiksia, ( Tjen daniel,1991 ).

II. 3 Mekanisme test untuk asma

Umumnya, diagnosis asma tidaklah sulit, tetapi pada kasus tertentu

kadang-kadang sukar dibedakan dengan penyakit lain yang memberikan

gejala yang serupa. Ada kalanya gejala yang muncul hanya batuk atau

sesak atau mungkin hanya rasa berat di dada. Maka untuk kasus-kasus

seperti ini diperlukan pemeriksaan yang lebih cermat dan mungkin perlu

beberapa pemeriksaan penunjang. Rangkaian pemeriksaan yang

dilakukan untuk mendiagnosis penyakit asma, terdiri dari: anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis

Anamnesis pada penderita asma sangatlah penting. Tujuannya,

selain untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis

banding, anamnesis juga berguna untuk menyusun srategi pengobatan

pada penderita asma. Pada anamnesis akan kita jumpai adanya keluhan,

batuk, sesak, mengi dan atau rasa berat di dada yang timbul secara tiba-

tiba dan hilang secara spontan atau dengan pengobatan. Tetapi

adakalanya juga penderita hanya mengeluhkan batuk-batuk saja yang

umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani ataupun

hanya pada musim-musim tertentu saja. Disamping itu, mungkin adanya


riwayat alrgi baik pada penderita maupun pada keluarganya, seperti

rhinitis alergi, dermatitik atopic dapat membantu menegakakan diagnosis.

Yang perlu juga diketahui adalah faktor-faktor pencetus serangan,

dengan mengetahui factor pencetus kemudian menghindarinya,

diharapkan gejala asma dapat dicegah. Faktor-faktor pencetus pada

asma, terdiri dari:

 Allergen, baik yang berupa inhalasi seperti debu rumah, tungau,

serbuk sari, bulu binatang, kapas, debu kopi atau the, maupun yang

berupa makanan seperti udang, kepiting, zat pengawet, zat  pewarna

dan sebagainya.

 Infeksi saluran napas, terutama oleh virus seperti Respiratory

syncitial, parainfluensa dan sebagainya.

 Kegiatan jasmani/ olahraga, seperti lari.

 Ketegangan atau tekanan jiwa.

 Obat-obatan, seperti penyekat beta, salisilat, kodein, AINS dan

sebagainya.

 Polusi udara atau bau yang merangsang, seperti asap rokok,

semprot nyamuk, parfum dan sebagainya.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka seseorang dicurigai menderita asma

apabila:

 Sesak atau batuk yang berkepanjangan setelah menderita influenza


 Batuk-batuk setelah olahraga, terutama pada anak-anak atau rasa

berat atau tercekik pada dada sehabis olahraga (yang terbukti tidak

ada kelainan jantung)

 Sesak atau batuk-batuk pada waktu ruang berdebu atau berasap

 Batuk-batuk setelah mencium bau tertentu

 Batuk-batuk atau sesak yang sering timbul pada malam hari dan

tidak berkurang sesudah duduk.

Dengan kata lain, bila seseorang mengeluh sesak, batuk atau mengi

yang tidak bisa diterangkan penyebabnya, kita perlu mencurigai itu suatu

asma. Atau yeng membedakan asma dengan penyakit paru lain yaitu

pada asma serangan dapat hilang dengan atau tanpa obat. Artinya,

serangan asma ada yang hilang dengan sendirinya tanpa pengobatan.

Tetapi, membiarkan penderita asma dalam serangan tanpa obat selain

tidak etis, juga bisa membahayakan nyawa penderita.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik, selain berguna untuk menegakkan diagnosis dan

menyingkirkan diagnosis banding, juga berguna untuk mengetahui

penyakit-penyakit yang mungkin menyertai asma. Pemeriksaan fisik

meliputi seluruh badan, mulai dari kepala sampai ke kaki.

Kelainan fisik pada penderita asma tergantung pada obstruksi

saluran napas (beratnya serangan) dan saat pemeriksaan. Pada saat


serangan, tekanan darah bisa naik, frekuensi pernapasan dan denyut nadi

juga meningkat, mengi (wheezing) sering dapat terdengar tanpa

statoskop, ekpirasi memanjang (lebih dari 4 deik atau 3 kali lebih panjang

dari inspirasi) disertai ronki kering dan mengi. Hiperinflasi paru yang

terlihat dengan peningkatan diameter anteroposterior rongga dada,

dimana pada perkusi akan terdengan hipersonor. Pernapasan cepat dan

susah, ditandai dengan pengaktifan otot-otot bantu pernapasan, sehingga

tanpak retraksi suprasternal, supraklavicula dan sel iga dan pernapasan

cuping hidung.

Dalam praktek, jarang dijumpai kesulitan dalam menegakkan

diagnosis asma, tetapi batuk, sesak ataupun mengi (wheezing) tidak

hanya dijumpai pada penderita asma, untuk itu, perlu dilakukan

pemeriksaan lebih lanjut lagi untuk menegakkan diagnosis.

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

1. Pemeriksaan sputum

Pemeriksaan sputum pada penderita asma akan didapati :

 Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari

kristal eosinopil.

 Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel

cetakan) dari cabang bronkus.

 Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.


 Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya

bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang

terdapat mucus plug. (Medicafarma, 2008)

2. Pemeriksaan darah

 Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat

pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.

 Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan

LDH.

 Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas

15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.

 Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari

Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas

dari serangan

 Pada pemeriksaan darah tepi, terutama jumlah eosinofil total

sering meningkat pada pasien asma, dan hal ini dapat

membantu untuk membedakan asma dengan bronchitis

kronik. Jumlah    eosinofil menurun dengan pemberian

kortikosteroid, sehingga dipakai juga untuk patokan cukup

tidaknya dosis kortikosteroid yang dibutuhkan pada pasien

asma.

b. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologis dada ditujukan untuk menyingkirkan

penyakit lain yang memberikan gejala serupa, seperti ggal jantung kiri,
atau menemukan penyakit lain yang menyertai asma

seperti tuberculosis, atau mendeteksi adanya komplikasi asma seperti

pneumothoraks, pneumomediastinum, atelektasis dan lain-lain.

c. Uji Kulit

Tujuan tes ini adalah untuk mengetahui adanya antibody IgE yang

spesifik pada kulit, yang secara tidak langsung menggambarkan

adanya antibody yang serupa pada saluran napas penderita    asma.

Tes ini hanya menyokong anamnesis, karena allergen yang

menunjukkan tes kulit positif tidak selalu merupakan pencetus

serangan asma, demikian pula sebaliknya.

d. Pemeriksaan Spirometri

Spirometri merupakan alat yang digunakan untuk mengukur faal

ventilasi paru. Pemeriksaan ini sangat penting baik dalam diagnostic

dan penilaian beratnya asma maupun dalam pengelolaan    dan

penilaian keberhasilan pengobatan, sama dengan tensimeter dalam

diagnostic dan pengelolaan hipertensi atau glukometer pada diabetes

mellitus. Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan

diagnosis asma adalah dengan melihat respons pengobatan dengan

bronkodilator. Reversibilitas penyempitan saluran napas yang

merupakan ciri khas asma dapat dinilai dengan meningkatnya FEV1

dan atau FVC sebanyak 20% atau lebih sesudah pemberian

bronkodilator.    Tetapi tidak adanya peningkatan sebesar 20% tidak

berarti bukan asma. Hal ini dapat dijumpai pada penderita yang sudah
normal atau mendekati normal. Respons mungkin juga tidak dijumpai

pada obstruksi saluran napas yang berat oleh karena dosis tunggal

aerosol tidak cukup memberikan efek seperti yang diharapkan

mungkin perlu pemberian obat kombinasi (agonis beta 2,    teofilin dan

kortikosteroid).Penilaian beratnya obstruksi dapat dilihat pada

rendahnya FEV1 dan FEV1/FVC atau perbandingan FEV1 yang

diukur dengan FEV1 yang prediktif.

Apabila tes spirometri dengan bronkodilator hasilnya diragukan

dapat dilakukan tes pemantauan faal paru untuk jangka waktu 1-3

minggu dengan Miniright Peak Flowmeter, dimana APE diukur 3 kali

sehari ditambah ekstra pada saat munculnya sesak. Apabila selisih

APE yang tertinggi dengan yang terendah 20% atau lebih merupakan

petanda asma.

Pengukuran arus puncak ekspirasi (APE) dengan

menggunakan alat peak flow meter mempunyai batasan yang masih

signifikan sedangkan penggunaan dengan spirometri merupakan uji

pengukuran yang lebih akurat. Indikator asma berdasarkan APE :

 Peningkatan APE > 15% setelah inhalasi bronkodilator (short-

actingb2 agonist), atau setelah pemberian short-acting b2 agonist

ditambah kortikosteroid.

 Variabilitas APE dapat ditentukan dengan mengukur APE

terendah (pagi) dan APE tertinggi (12 jam kemudian). Variasi

nilai APE > 20% diantara dua pengukuran pada pasien yang
mendapatkan bronkodilator (10% pada pasien yang tidak

mendapatkan bronkodilator).

 Penurunan APE > 15% setelah latihan. 33

% Variabilitas = (APE tertinggi – APE terendah) x 100

APE tertinggi

Pengukuran dilakukan sebelum dan 10 menit setelah pemberian

bronkodilator.

e. Tes Provokasi Brokial

Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya

hiperaktivitas bronkus dilakukan tes provokasi bronkus. Tes ini tidak

dilakukan apabila tes spirometri menunjukkan    resersibilitas 20%

atau lebih. Ada beberapa cara yang dilakukan untuk tes provokasi

bronchial seperti tes provokasi histamine, metakolin, allergen,

kegiatan jasmani, hiperventilasi dengan udara dingin bahkan inhalasi

dengan aqua destila. Penurunan FEV1 sebesar 20% atau lebih

setelah tes provokasi merupakan pertanda adanya hiperaktivitas

bronkus.

II. 4 Penatalaksanaan Asma

Sebagaimana penyakit lain, penatalaksanaan asma didasarkan

pada pemahaman mengenai pathogenesis penyakit. Penatalaksanaan

asma dibagi menjadi dua, yaitu: penatalaksanaan asma saat serangan

(reliever) dan penatalaksanaan asma di luar serangan (controller).


Berdasarkan panduan asma internasional (GINA: Global Intiative for

Asthma), tujuan penatalaksanaan asma yang berhasil adalah bagaimana

penyakit asma tersebut bisa dikontrol. Menurut GINA yang telah diakui

oleh WHO dan National Healt, Lung and Blood Institute-USA (NHBCLI),

ada beberapa kriteria yang dimaksudkan dengan asma terkontrol.

Idealnya tidak ada gejala-gejala kronis, jarang terjadi kekambuhan, tidak

ada kunjungan ke gawat darurat, tidak ada keterbatasan aktivitas fisik,

seperti latihan fisik dan olahraga, fungsi paru normal atau mendekati

normal, minimal efek samping dari penggunaan obat dan idealnya tidak

ada kebutuhan akan obat-obat yang digunakan kalau perlu.

Dalam penatalaksanaan asma, yang penting adalah menghindari

pencetus (trigger) dan memilih pengobatan yang tepat untuk mencegah

munculnya gejala asma. Selain itu, menghilangkan gejala dengan cepat

dan menghentikan serangan asma yang sedang terjadi.

a. Penatalaksanaan Asma Saat Serangan

Penatalaksanaan asma saat serangan bertujuan untuk:

mencegah kematian, dengan segera menghilangkan obstruksi

saluran napas; mengembalikan fungsi paru sesegera mungkin;

mencegah hipoksemia dan mencegah terjadinya serangan

berikutnya. Penatalaksanaan asma saat serangan dibagi lagi

menjadi dua, yaitu penatalaksanaan saat serangan di rumah dan

penatalaksanaan asma saat serangan di rumah sakit.


b. Penatalaksanaan Saat Serangan di Rumah

1. Terapi awal

Berikan segera Inhalasi agonis beta2 kerja cepat 3 kali

dalam 1 jam berarti setiap 20 menit, contohnya Salbutamol 5mg,

Terbutalin 10 mg, Fenoterol 2,5 mg Jika tidak tersedia inhalasi

agonis beta2 maka dapat diberikan agonis beta2 oral 3x1tablet 2

mg .Evaluasi respon pasien. Jika keadaan pasien membaik yaitu

gejala batuk, sesak dan mengi berkurang atau tidak terjadi

serangan ulang selama 4 jam maka pemberian beta2 agonis

diteruskan setiap 3-4 jam selama 1-2    hari. Jika keadaan pasien

tidak membaik atau malah memburuk maka berikan kortikosteroid

oral seperti 60-80 mg metilprednisolon kemudian pemberian beta2

agonis diulangi dan segera rujuk pasien ke rumah sakit.

c. Pengelolaan Serangan Asma di Rumah Sakit

1. Terapi awal

Inhalasi beta2 agonis kerja singkat secara nebulisasi 1 dosis

tiap 20 menit selama 1 jam atau agonis beta2 injeksi seperti

Terbutalin o,5 ml subkutan atau adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan.

Berikan oksigen dengan kanul nasal 4-6 l/menit untuk mencapai

saturasi 90% pada dewasa dan 95% pada anak-anak. Berikan

kortikosteroid sistemik seperti hidrokortison 100-200mg

atau metilprednisolon IV jika:
a. Serangan asma berat

b. Tidak ada respon segera dengan beta2 agonis

c. Jika pasien sedang mendapat kortikosteroid peroral

d. Lakukan penilaian ulang APE, saturasi oksigen dan

pemeriksaan lain bila diperlukan

Jika respon baik maka pasien dipulangkan, teruskan

pengobatan inhalasi beta2 agonis dan dapat ditambahkan

kortikosteroid oral, berikan arahan pada pasien untuk minum obat

secara teratur.    Jika respon pasien tidak sempurna dalam 1-2 jam

maka pasien dirawat di rumah sakit dengan:

 Pemberian inhalasi beta2 agonis dan inhalasi antikolinergik

 Beri kortikosteroid sistemik

 Berikan oksigen sama seperti sebelumnya

 Dapat diberikan aminofilin IV

Jika respon buruk dalam 1 jam maka pasien dirawat di ICU dengan

diberikan

 Inhalasi beta2 agonis dan inhalasi antikolinergik

 Kortikosteroid IV

 Beta2 agonis subkutan, IM dan IV

 Beri oksigen

 Aminofilin IV

 Berikan intubasi dan ventilasi mekanik


d. Penatalaksanaan Asma di Luar Serangan

Penatalaksanaan asma diluar serangan, mengacu kepada berat

ringannya gejala asma. Berdasarkan berat ringannya gejala asma, maka

penatalaksanaan asma di luar serangan dapat dibagi menjadi;

penatalaksanaan asma intermiten , penatalaksanaan asma persisten

ringan, sedang dan berat.

e. Penatalaksanaan Asma Intermiten

Gambaran klinis sebelum pengobatan, terdiri dari: gejala intermiten

(kurang dari satu kali seminggu), serangan singkat (beberapa jam sampai

hari), gejala asma malam kurang dari dua kali sebulan, diantara serangan

pasien bebas gejala dan fungsi paru normal, nilai APE dan VEP1 > 80%

dari nilai prediksi, variabilitas < 20%. Pada asma intermiten ini, tidak

diperlukan pengobatan pencegahan jangka panjang. Tetapi obat yang

dipakai untuk menghilangkan gejala yaitu agonis beta 2 inhalasi, obat lain

tergantung intensitas serangan, bila berat dapat ditambahkan

kortikosteroid oral.

f. Penatalaksanaan Asma Persisten Ringan

Gambaran klinis sebelum pengobatan, terdiri dari: gejala lebih dari

1x seminggu, tapi kurang dari 1x per hari, serangan mengganggu aktivitas

dan tidur, serangan malam lebih dari 2x per bulan dan nilai APE atau

VEP1 > 80% dari nilai prediksi, variabilitas 20-30%. Pengobatan jangka

panjang terdiri dari: inhalasi kortikosteroid 200-500 mikrogram,

kromoglikat, nedocromil atau teofilin lepas lambat. Dan jika diperlukan,


dosis kortikosteroid inhalasi dapat ditingkatkan sampai 800 mikrogram

atau digabung dengan bronkodilator kerja lama (khususnya untuk gejala

malam), dapat juga diberikan agonis beta 2 kerja lama inhalasi atau oral

atau teofilin lepas lambat. Sedangkan untuk menghilangkan gejala

digunakan: agonis beta 2 inhalasi bila perlu tapi tidak melebihi 3-4 kali per

hari dan obat pencegah setiap hari.

g. Penatalaksanaan Asma Persisten Sedang

Gambaran klinis sebelum pengobatan, terdiri dari: gejala setiap hari,

serangan mengganggu aktivitas dan tidur, serangan malam lebih dari 1x

per minggu dan nilai APE atau VEP1 antara 60-80% nilai prediksi,

variabilitas > 30%. Pengobatan jangka panjang terdiri dari: inhalasi

kortikosteroid 800-2000 mikrogram, bronkodilator kerja lama, khususnya

untuk gejala malam: inhalasi atau oral agonis beta 2 atau teofilin lepas

lambat. Sedangkan obat yang digunakan untuk menghilangkan gejala,

terdiri dari: agonis beta 2 inhalasi bila perlu tapi tidak melebihi 3-4 kali per

hari dan obat pencegah setiap hari.

h. Penatalaksanaan Asma Persisten Berat

Gambaran linis sebelum pengobatan, terdiri dari: gejala terus-

menerus, sering mendapat serangan, sering serangan malam, aktivitas

fisik terbatas dan nilai APE atau VEP1 kurang dari 60% nilai prediksi,

variabilitas > 30%. Pengobatan jangka panjang terdiri dari: inhalasi

kortikosteroid 800-2000 migrogram; bronkodilator kerja lama (inhalasi

agonis beta 2 kerja lama, teofilin lepas lambat, dan atau agonis beta 2
kerja lama tablet atau sirup; kortikosteroid kerja lama tablet atau sirup.

Sedangkan, obat yang digunakan untuk menghilangkan gejala, agonis

beta 2 inhalasi bila perlu dan obat pencegah setiap hari.

Jadi, pada prinsipnya pengobatan asma dimulai sesuai dengan

tingkat beratnya asma, bila asma tidak terkendali lanjutkan ke tingkat

berikutnya. Tetapi sebelum itu perhatikan dulu, apakah teknik pengobatan,

ketaatan berobat serta pengendalian lingkungan (menghindari factor

pencetus) telah dilaksanakan dengan baik. Setelah asma terkendali

dengan baik, paling tidak untuk waktu 3 bulan, dapat dicoba untuk

menurunkan obat-obat anti asma secara bertahap, sampai mencapai

dosis minimum yang dapat mengandalikan gejala.

Akhir-akhir ini diperkenalkan terapi anti IgE untuk asma alergi yang

berat. Penelitian menunjukkan anti IgE dapat menurunkan berat asma,

pemakaian obat anti asma serta kunjungan ke gawat darurat karena

serangan asma akut dan kebutuhan rawat inap.

Berbagai penelitian telah dilakukan mengenai kombinsi

kortikosteroid dan bronkodilator, untuk mencegah kerusakan kronik dan

gangguan fungsi paru. Panduan pengobatan menganjurkan pemakaian

kortikosteroid sedini mungkin pada pasien yang mengkonsumsi agonis

beta 2 inhalasi aksi pendek lebih dari sekali sehari. Ada dua penelitian

yang melaporkan bahwa penambahan salmeterol pada pasien asma

ringan, sedang maupun berat yang sedang dalam pengobatan

kortikosteroid inhalasi menghasilkan perbaikan fungsi paru dan gejala


asma. Bila dibandingkan dengan menaikan dosis kortikosteroid inhalasi

dua kali lipat. Penelitian lain melaporkan perbaikan gejala fungsi paru dan

penurunan eksaserbasi pada pasien yang mendapat salmaterol yang

dikombinasi dengan flutikason propionate dibandingkan denganpasien

yang memperoleh dosis kortikosteroid dua kali lipat. Penelitian lain juga

menemukan, keberhasilan kombinasi budesonide dengan formoterol

dalam satu sediaan untuk mengontrol asma dan meningkatkan kualitas

hidup.

Disamping itu semua, dalam pengobatan asma, ketaatan

pemakaian obat juga menentukan keberhasilan terapi. Ketaatan

pemakaian obat akan menurunkan dalam kompleksitas pengobatan dan

seringnya frekuensi pemakaian obat. Untuk itu, diperlukan

penyederhanaan rejimen pengobatan dengan mengkonsumsikan agonis

beta 2 aksi panjang dengan kortikosteroid dalam suatu sediaan.

Kombinasi ini dipakai 2 kali sehari diharapkan akan memperbaiki

pengendalian asma dan kualitas hidup pada pasien-pasien yang

membutuhkan ke arah jenis pengobatan di atas.2

II.5 Pengobatan Tradisional

Pengobatan dari bahan alam merupakan salah satu alternatif yang

banyak dipilih oleh pasien karena kurangnya efek samping dibanding obat

sintetik. Obat-obat yang dapat langsung diperoleh dari alam antara lain :
 Ramuan 1 :

15 gram bunga kenop segar direbus dengan 400 cc air hingga tersisa

200 cc, kemudian airnya diminum selagi hangat.

Pemakaian : Konsumsi secara teratur 2 kali sehari

 Ramuan 2 :

30 gram akar putri malu/sikejut direbus dengan 400 cc air hingga

tersisa 200 cc, kemudian airnya diminum selagi hangat.

Pemakaian : Konsumsi secara teratur 2 kali sehari

 Ramuan 3 :

Irisan jahe setebal 3 mm ditempelkan dengan menggunakan koyo

hangat/koyo cabe pada titik dazhui.

Pemakaian : Konsumsi secara teratur 2 kali sehari

 Ramuan 4 :

15 gram bunga melati direbus dengan 400 cc air hingga tersisa 200 cc,

kemudian airnya diminum selagi hangat.

Pemakaian : Konsumsi secara teratur 2 kali sehari

 Ramuan 5 :

15 gram bunga melati dan 15 gram jahe direbus dengan 600 cc air

hingga tersisa 300 cc, kemudian airnya diminum selagi hangat

sebanyak ½ gelas

Pemakaian : Konsumsi secara teratur 2 kali sehari

 Ramuan 6 :
3 siung bawang putih ditumbuk halus, lalu dicampur dengan 1 sendok

makan madu, dan gula batu secukupnya. Dicampur sampai merata,

kemudian campuran diperas dan disaring.

Pemakaian : Minum setiap pagi sampai sembuh.

 Ramuan 7 :

Seduh 10 tetes minyak adas dengan 1 sendok makan air panas.

Pemakaian : Minum selagi hangat dan lakukan 3 kali sehari sampai

sembuh.

 Ramuan 8 :

Cuci bersih 10 gram pegagan kering, 20 gram patikan kebo kering, dan 20

gram daun sendok kering. Rebus dengan 5 gelas air hingga hanya tersisa

3 gelas air.

Pemakaian : Minum 3 kali sehari. Minum masing-masing satu gelas,

satu jam sebelum makan atau dua jam setelah makan.

Obat-obat yang sudah ada dipasaran dalam bentuk sediaan jadi antara

lain :

1. Antas, komposisi : Euphorbia Hirta,

Centella Asiatica, Andrographis

Paniculata, Zingiber Officinale,

Syzygium Aromatica, madu.


2. An BCV, Komposisi : Andrographis paniculata, Curcuma xhantorriza,

Curcuma zedoaria, Azadiracta indica, madu, dll.

3. Neuro, komposisi : Centella Asiatica, Persea americana  Anti racun,

anti infeksi, Revitalisasi syaraf otak & Pembuluh darah.

4. NRG Instant Tea ini terbuat dari daun teh Guarana dari Brazil, yang

sejak dulu dikenal dan dikonsumsi oleh suku Indian Amazon untuk

mendapatkan energi dan semangat. Rasa teh N.R.G INSTANT TEA ini

sangat berbeda karena berasa halus dan lembut serta tidak

menyengat. Kelebihan N.R.G INSTANT TEA adalah dapat membantu

meningkatkan stamina yang optimal, meningkatkan daya pikir dan

konsentrasi, sangat bagus untuk memperbaiki sistem pernafasan

seperti asma, radang tenggorokan dan alergi. Cara Konsumsi: campur

1/2 sendok teh NRG Instant Tea dengan 1 liter air hangat, kocok dan

minum. Maksimal 3 kali pembuatan. Isi : 60 gram

5. Kapsul Asma,

Manfaat : menyembuhkan asma, sesak napas,

dan gangguan saluran pernapasan

Komposisi : kemukus, kapulaga, muju, dll.

100 % dari bahan alami

Isi : 50 kapsul, @ 500 mg

6. Super herbafit nurusy-syifa - (herbal)

Komposisi:

- Gamat
- Habasyi Sauda

- Bee Pollen

Fungsi membantu:

- Meningkatkan produksi ASI

- Sexualitas dan kesuburan

- Alergi, jerawat, dan eksim

- Insomnia, Asthma

Masa penyembuhan:

Anak-anak : 3 x 1 kapsul, Dewasa : 3 x 2 kapsul

II.6 Obat – obat asma

1. Antialergika

Antialergika adalah zat- zat yang berkhasiat menstabilkan

mastsel sehingga tidak pecah dan mengakibatkan terlepasnya

histamine dan mediator peradanganlainnya. Yang terkenal adalah

adalah kromoglikat, obat ini sangat berguna untuk prevensi asma

dan rhinitis alergi.

2. Agonis Reseptor Beta-2 Adrenergik

Merupakan obat terbaik untuk mengurangi serangan

penyakit asma yang terjadi secara tiba-tiba dan untuk mencegah

serangan yang mungkin dipicu oleh olahraga. Bronkodilator ini

merangsang pelebaran saluran udara oleh reseptorbeta-

adrenergik. Bronkodilator yang bekerja pada semua reseptor beta-2


adrenergik (misalnya adrenalin), menyebabkan efek samping

berupa denyut jantung yang cepat, gelisah, sakit kepala dan tremor

(gemetar) otot.Bronkodilator yang hanya bekerja pada reseptor

beta-2 adrenergik (yang terutama ditemukan di dalam sel-sel di

paru-paru), hanya memiliki sedikit efek samping terhadap organ

lainnya. Bronkodilator ini (misalnya albuterol), menyebabkan lebih

sedikit efek samping dibandingkan dengan bronkodilator yang

bekerja pada semua reseptor beta-2 adrenergik.

Sebagian besar bronkodilator bekerja dalam beberapa menit, tetapi

efeknya hanya berlangsung selama 4-6 jam. Bronkodilator yang

lebih baru memiliki efek yang lebih panjang, tetapi karena mula

kerjanya lebih lambat, maka obat ini lebih banyak digunakan untuk

mencegah serangan.Bronkodilator tersedia dalam bentuk tablet,

suntikan atau inhaler (obat yang dihirup) dan sangat efektif.

Penghirupan bronkodilator akan mengendapkan obat langsung di

dalam saluran udara, sehingga mula kerjanya cepat, tetapi tidak

dapat menjangkau saluran udara yang mengalami penyumbatan

berat. Bronkodilator per-oral (ditelan) dan suntikan dapat

menjangkau daerah tersebut, tetapi memiliki efek samping dan

mula kerjanya cenderung lebih lambat. Jenis bronkodilator lainnya

adalah teofilin. Teofilin biasanya diberikan per-oral (ditelan);

tersedia dalam berbagai bentuk, mulai dari tablet dan sirup short-

acting sampai kapsul dan tablet long-acting.Pada serangan


penyakit asma yang berat, bisa diberikan secara intravena (melalui

pembuluh darah). Jumlah teofilin di dalam darah bisa diukur di

laboratorium dan harus dipantau secara ketat, karena jumlah yang

terlalu sedikit tidak akan memberikan efek, sedangkan jumlah yang

terlalu banyak bisa menyebabkan irama jantung abnormal atau

kejang.Pada saat pertama kali mengkonsumsi teofilin, penderita

bisa merasakan sedikit mual atau gelisah. Kedua efek samping

tersebut, biasanya hilang saat tubuh dapat menyesuaikan diri

dengan obat. Pada dosis yang lebih besar, penderita bisa

merasakan denyut jantung yang cepat atau palpitasi (jantung

berdebar). Juga bisa terjadi insomnia (sulit tidur), agitasi

(kecemasan, ketakuatan), muntah, dan kejang.

3. Obat Antikolinergik

Obat ini bekerja dengan menghalangi kontraksi otot polos

dan pembentukan lendir yang berlebihan di dalam bronkus oleh

asetilkolin. Lebih jauh lagi, obat ini akan menyebabkan pelebaran

saluran udara pada penderita yang sebelumnya telah

mengkonsumsi agonis reseptor beta2-adrenergik. Contoh obat ini

yaitu atropin dan ipratropium bromida.

4. Kortikosteroid

Kortikosteroid menghalangi respon peradangan dan sangat efektif

dalam mengurangi gejala penyakit asma. Jika digunakan dalam

jangka panjang, secara bertahap kortikosteroid akan menyebabkan


berkurangnya kecenderungan terjadinya serangan penyakit asma

dengan mengurangi kepekaan saluran udara terhadap sejumlah

rangsangan.

Tetapi penggunaan tablet atau suntikan kortikosteroid jangka

panjang bisa menyebabkan:

 gangguan proses penyembuhan luka

 terhambatnya pertumbuhan anak-anak

 hilangnya kalsium dari tulang

 perdarahan lambung

 katarak prematur

 peningkatan kadar gula darah

 penambahan berat badan

 kelaparan

 kelainan mental

Tablet atau suntikan kortikosteroid bisa digunakan selama 1-2

minggu untuk mengurangi serangan penyakit asma yang berat.

Kortikosteroid per-oral (ditelan) diberikan untuk jangka panjang

hanya jika pengobatan lainnya tidak dapat mengendalikan gejala

penyakit asma.Untuk penggunaan jangka panjang biasanya

diberikan inhaler kortikosteroid karena dengan inhaler, obat yang

sampai di paru-paru 50 kali lebih banyak dibandingkan obat yang

sampai ke bagian tubuh lainnya.

Anda mungkin juga menyukai