Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA DAN JENIS-JENIS


PERUNDANGAN

DOSEN PENGAMPU

ABDURAHMAN SYAYUTHI,M.H

DI SUSUN OLEH :

RIKI WANDIRA

20200213015

FAKULTAS HUKUM DAN SYARIAH

PRODI HUKUM TATA NEGARA

INSTITUT AGAMA ISLAM MUHAMMAD AZIM (IAIMA)

JAMBI 2020-2021

0
KATA PENGANTAR

Puji syukur khadirat Allah swt. karena telah memberikan kesempatan pada penulis untuk
menyelesaikan makalah ini. Atas doa dan usaha akhirnya penulis dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “”Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana dan Jenis-Jenis
Perundangan tepat waktu.

Makalah “Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana dan Jenis-Jenis Perundangan”disusun


untuk memenuhi tugas dosen pada “Hukum Pidana”di Institut agama islam Muhammad
azim(IAIMA) Jambi.Selain itu, saya sebagai penulis juga berharap agar makalah ini dapat
menambah wawasan bagi pembaca tentang “Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana dan Jenis-
Jenis Perundangan.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak selaku dosen Hukum
Pidana karena Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan
terkait bidang yang ditekuni penulis.

Saya sebagai penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu,kami menerima kritik dan saran yang membuat penulis lebih baik lagi di makalah
selanjutnya.

Jambi, 24 juni 2021

Penulis

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Keberadaan asas-asas hukum di dalam suatu bidang hukum sangat penting mengingat
asas-asas hukum inilah yang menjadi dasar dan pedoman bagi perkembangan setiap bidang
hukum agar tidak menyimpang. Di dalam hukum pidana sendiri keberadaan asas hukum ini
di tegaskan sebagai suatu upaya agar peradilan pidana di batasi kesewenang-wenangannya
dalam menentukan ada atau tidaknya perbuatan yang dilarang.

Asas legalitas merupakan salah satu dari beberapa asas hukum yang paling tua dalam
sejarah peradaban umat manusia. Keberadaan asas ini tidak sulit untuk ditemukan dalam
berbagai ketentuan hukum nasional berbagai negara. Asas legalitas dipertahankan sebagai
perlindungan terhadap potensi kesewenang-wenangan dalam penyelenggaraan hukum pidana.
Roeslan Saleh menegaskan tujuan utama dari asas hukum ini untuk ”Menormakan fungsi
pengawasan dari hukum pidana”itu sendiri agar jangan sampai di salah gunakan oleh
Pemerintah (pengadilan) yang berkuasa1. Di Indonesia asas legalitas ini dapat ditemui dalam
rumusan pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam bahasa belanda yang
artinya “ tidak ada suatu perbuatan yang dapat di hukum,kecuali berdasarkan ketentuaan
pidana menurut undang-undang yang telah ada terlebih dahulu dari pada perbuatan itu
sendiri.2

Dalam kerangka negara hukum seperti indonesia, keberadaan ini sangat krusial. Asas
legalitas ini dengan tegas disebut dalam konsideran Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana dalam huruf a yang berbunyi:Bahwa negara republik indonesia adalah negara hukum
yang berdasarkan Pancasila dan undang Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak
asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam
hukum dan pemerintah dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya” Dalam prespektif sejarah munculnya asas legalitas ini juga dipengaruhi
oleh peristiwa menjelang dan sesudah pecahnya revolusi Prancis.22

1.2.RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana sejarah asas legalitas dalam hukum pidana ?

1
Christianto, H. (2009). Pembaharuan Makna Legalitas Dalam Pidana Indonesia. Jurnal Hukum Dan
Pembangunan Tahun, 39
2
Lamintang, P. A. . (2007). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Ketiga). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

2
b. Bagaimana rumusan dan pembagian asas legalitas ?

c. Apa makna asas legalitas ?

d.sebutkan aspek dalam asas legalitas ?

e. Bagaimana asas legalitas dalam hukum Indonesia ?

f. sebutkan jenis-jenis peraturan perundangan ?

1.3.TUJUAN MASALAH.3
a. mengetahui bagaimana sejarah asas legalitas di Indonesia.

b.mengetahui rumusan dan pembagian asas legalitas.

c.mengetahui makna asas legalitas.

d.mengetahui apa saja aspek dalam asas legalitas.

e.mengetahui bagaimana asas legalitas dalam hukum Indonesia

f.mengetahui jenis-jenis perundangan.333333333333333333333333

BAB II

PEMBAHASAN

3
2.1.. SEJARAH ASAS LEGALITAS DI INDONESIA.
Keberadaan asas legalitas dimulai ketika hukum pidana belum di tulis yang di tandai
dengan munculnya pristiwa Gejolak Revolusi Rrancis yang masyarakat menuntut keadilan
atas kesewenang-wenangan penguasa pada waktu itu Tingginya reaksi penolakan oleh
masyarakat terhadap kekuasaan yang berisfat mutlak (absolutisme) dari seorang raja, hingga
lahirlah pemikiran yang mengarah pada kebutuhan atas undang-undang yang mana didalam
undang-undang terlebih dahulu dimuat berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang dapat
dipidana, agar rakyat lebih dahulu dapat mengetahui dan oleh karenanya tidak melakukan
perbuatan tersebut dan apabila tetap melakukan hal yang dilarang maka akan berakibat
penrapan sanksi pidana sebagai konsekuensi dari akibat perbuatan tercelanya tersebut.

Pada Konteks berikutnya asas legaitas tersebut telah banyak berkembang dan mulai
diadopsi oleh beberapa negara terutama negara-negara yang memiliki sejarah kelam tentang
korban penjajahan.. Keadaan ini dianulir oleh para filsuf bangsa barat untuk membuat suatu
pemikiran baru dalam dunia hukum, ketatanegaraan dan hak asasi manusia. Keberadaan Asas
Legalitas tidak lepas dari keberadaan Paul Johan Anslem Von Feuerbach (1775-1883)
sebagai pencetus awal dari asas yang dikenal sebagai asas legalitas ini adalah seorang lulusan
sarjana hukum dari jerman yang menulis dalam bukunya berjudul Lehrbuch des Penlichen
recht (1801) Bambang Poernomo mengemukakan berkaitan dengan konteks asas legalitas
yang telah dirumuskan oleh Paul Johan Anslem Von Feuerbach, bahwa asas legalitas
mengandung pengertian yang mendalam, asas yang dengan bahasa latin disebut nulla poena
sine lege, nulla poena sinepraevia legi poenalli”. Oleh Paul Johan Anslem Von Feuerbach
mulai dikembangkan hingga dikenal kini dengan adigium “nullum delictum, nulla poena sine
praevia legi poenalli”.3atau tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa ada ketentuan
udang-undang yang ada terlebh dahulu.

Perumusan Asas Legalitas dengan menggunakan bahasa latin, membuat banyak pihak
berangapan bahwa asas tersebut berasal dari hukun romawi kuno. Moeljatno menanggapi hal
tersebut dengan mengatakan bahwa baik adigium tersebut dan asas legalitas sama sekali tidak
dikenal dalam hukum yang berasal dari romawi kuno. Pendapat tersebut juga di dukung
dengan pendapat Sahetapy yang mengatakan bahwa ketika asas legalitas dalam

3
Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas & Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta,

2009, hlm. 7

4
perumusannya menggunakan bahasa latin, hal tersebut dikarenakan bahwa bahasa latin
adalah bahasa yang ada pada dunia hukum’ yang digunakan pada waktu itu.4

Pendapat lain dikemukakan oleh Montesquieu dalam bukunya berjudul l’Espritn des
Lois, 1748. Ajarannya yang paling terkenal adalah mengenai pemisahan kekuasaan menjadi
tiga jenis (trias politica) yang dimaksudkan untuk melindungi hak-hak atau kepentingan
setiap orang terhadap penguasa yang sewenang-wenang. Montesquieu berpendapat dalam
konteks pemerintahan yang moderat, maka kedudukan hakim harus dipisahkan dari penguasa
dan ketika menjatuhkan hukuman seorang hakim dituntut harus memberikan putusan yang
setepat mungkin dan lurus sesuai dengan ketentuan hukum. Hakim juga dari setiap
pertimbanganya harus bersikap hati-hati hal tersebut guna menghindari tuduhan ketidak
adilan terhadap orang yang tidak bersalah.Tujuan Montesquieu untuk melindungi
kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-wenang pemerintahan negara selaras
dengan tujuan asas legalitas yang juga mempunyai tujuan yang sama, yakni melindungi
individu terhadap perlakuan sewenang-wenang dari pihak peradilan arbitrer, yang yang
terjadi pada zaman sebelum revolusi Perancis yang umum di Eropa Barat.5

Tahun 1789 asas Nullum Delictum sudah dicantumkan dalam Konstitusi Perancis.
Kemudian dicantumkan pula dalam Code Penalnya. Negeri Belanda yang pernah mengalami
penjajahan Perancis mencantumkan pula asas tersebut dalam Wetboek van Strafrechtnya
melalui Code Penal yang dibawa oleh Perancis. Pada tahun 1915 (mulai berlaku tahun 1918)
asas tersebut telah pula dicantumkan dalam KUHP Indonesia yang merupakan jajahan
Belanda ketika itu dan sampai saat ini sejak Indonesia merdeka Asas Legalitas tetap masih
berlaku sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP berdasarkan Undang-Undang
No.1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Jo. Undang-Undang No 73 Tahun 1968 tentang
Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana Untuk Seluruh Wilayah Indonesia dan Perubahan KUHP

hakikatnya asas legalitas di dalam hokum pidana Indonesia tercermin dalam Pasal 1
ayat 1 KUHP yang menyatakan “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan
kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Maka bila apabila
kententuan pidana tersebut tekah dialanggar oleh seseorang setelah dalam kondisi undang-
undang hukum pidana tersebut telah berlaku , maka pelaku tersebut telah dapat dihukum dan
juga ditntut berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam aturan hukum pidana tersebut. Yang
4
Ibid,hlm.8
5
ibid,hlm.9

5
juga dalam pasal tersebut di tegaskan jika sese-orang tidak dapat dikenai hukuman atau
pidana jika tidak ada Undang-Undang yang dibuat sebelumnya. Pada Pasal 1 ayat 1 KUHP
juga mengandung asas-asas lain seperti asas lex temporis delictie yaitu tiap tindak pidana
yang dilakukan seseorang harus diadili menurut ketentuan pidana yang berlaku saat itu.6

2.2. RUMUSAN DAN PEMBAGIAN ASAS LEGALITAS


Rumusan dan pembagian asas legalitas yang digambarkan serta dijabarkan oleh Anslem von
Feuerbach sebagai berikut :

a.Nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ada aturan pidana yang mengatur
dalam undang-undang sebelumnya);

b. Nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana)

c. Nullum crimen sine poena legali (tidak ada tindak pidana tanpa pidana menurut
undang-undang)

Anslem von Feuerbach juga menjelaskan berkaitan dengan asas legalitas ia juga
mencetuskan teori miliknya yang dikenal dengan istlah vom psychologischen zwang teori
tersebut menilai jika ancaman pidana memiliki dampak psikologis yang dapat membuat
orang takut untuk melakukan tindak pidana, dikarenakan orang tersebut mengetahui acaman
pidana sebagai konsekuensi perbuatan pidana maka dalam hal ini konteks psikologis orang
tersebut yang mampu mengurungkannya melakukan tindak pidana.

2.3.MAKNA ASAS LEGALITAS.

Terdapat 3 (tiga) makna dalam asas legalitas yang mengatur berkaitan dengan konteks
berkalunya hukum pidana berdasarkan waktu, yakni : (7)

a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukum pidana jika perbuatan
tersebut belum terlebih dahulu termuat dan dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.

b. Tidak boleh menggunaan analogi Untuk menentukan adanya perbuatan pidana.

c. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

6
Andi Sofyan & Nur Azisa, Buku Ajar Hukum Pidana, Pustaka Pena Press, Makasar, 2016. hlm.22

6
Mengenai makna yang terkandung dalam asas legalitas dikemukakan oleh Enschede bahwa
hanya ada dua yang terkandung dalam asas legalitas yaitu : 26

1) Suatu perbuatan dapat dipidana hanya jika diatur dalam perundangundangan pidana.

2) Kekuatan ketentuan pidana tidak boleh diberlakukan surut.

Moeljatno dalam bukunya Azas-Azas Hukum Pidana, menyebutkan bahwa asas legalitas
mengandung tiga pengertian yaitu : 27

(1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.

(2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).

(3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Menurut Groenhuijsen, sebagaimana dikutip oleh Komariah Emong Sapardja menyebutkan


ada empat makna yang terkandung dalam asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu :
28

(1) Pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku
mundur.

(2) Semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya.

(3) Hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan
pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan.

(4) Terhadap peratuiran hukum pidana dilarang diterapkan analogi

Makna asas legalitas merupakan konsekuensi logis dari gagasan dasar yang
merupakan subtansi asas legalitas yaitu perlindungan hak-hak individu warga negara dengan
cara membatasi kekuasaan penguasa (termasuk hakim) dan pengaturan pembatasan melalui
instrument undang-undang pidana.

7
2.4. ASPEK ASAS LEGALITAS
Beberapa ahli hukum pidana berpendapat tentang berbagai aspek dari asas legalitas. Ada
pendapat yang menyatakan bahwa dalam tradisi Civil Law System ada empat aspek asas
legalitas yang diterapkan secara ketat yaitu : 30

(1) Peraturan perundang-undangan (law)

Penuntutan dan pemidanaan harus didasarkan pada undang-undang (hukum yang


tertulis). Undang-undang harus mengatur mengenai tingkah laku yang dianggap sebagai
perbuatan pidana. Kebiasaan tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut dan memidana
seseorang.

(2) Rektroaktivitas (rektroactivity)

Undang-undang yang merumuskan perbuatan pidana tidak dapat diberlakukan surut


(retroaktif). Seseorang tidak dapat dituntut atas dasar undang-undang yang berlaku surut.
Pemberlakuan secara surut merupakan kesewenang-wenangan dan pelanggaran hak asasi
manusia. Namun demikian dalam praktek, penerapan asas ini terdapat penyimpangan-
penyimpangan. Menurut Romli Atmasasmita bahwa prinsip hukum non-retroaktif tersebut
berlaku untuk pelanggaran pidana biasa sedangkan pelanggaran hak asasi manusia bukan
pelanggaran biasa sehingga prinsip non-rektroaktif tidak bisa dipergunakan.

(3) Lex Certa

Pembuat undang-undang harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai


perbuatan yang disebut dengan perbuatan pidana, mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-
samar sehingga tidak ada perumusan yang ambigu. Hal inilah yang disebut dengan asas lex
certa. Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya memunculkan ketidakpastian
hukum. Dalam praktek tidak selamanya pembuat undang-undang dapat memenuhi
persyaratan itu, sehingga lebih banyak menggunkan metode penafsiran dalam hukum pidana
atau menggali sumber hukum lainnya melalui yurisprudensi, dotrin dan sebagainya.

(4) Analogi

Salah satunya yang dilarang dalam hukum pidana adalah menggunakan analogi untuk
memberikan makna cakupan perbuatan yang dapat dipidana karena dipandang bertentangan
dengan prinsip kepastian hukum dan akan memicu ketidakpastian hukum. Analogi terdapat
bilamana suatu perbuatan yang pada saat dilakukan tidak ada aturan yang mengaturnya

8
sebagai perbuatan pidana tetapi diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk perbuatan
lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan perbuatan itu sehingga kedua
perbuatan itu dipandang analog satu sama lain. Penerapan analogi dalam praktek hukum
dipicu oleh fakta perkembangan masyarakat yang sedemikian cepat yang tidak diiringi oleh
dinamisme hukum pidana tertulis sehingga terkadang hukum tertinggal dari apa yang
diatuirnya.

2.5. ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM INDONESIA


Realitas asas legalitas di Indonesia menjadi piranti utama dalam penegakan hukum
pidana. Sifat kepastian hukum yang melekat pada asas legalitas menjadikan hukum pidana
sebagai salah satu bidang ilmu hukum yang pasti dalam kacamata hukum karena melekat
padanya bingkai-bingkai hukum yangjelas dan tegas, yang menjadikannya sebagai instrument
pedoman, panduan dan pembatas dalam penerapan kasus konkrit.

Asas legalitas dalam konstitusi di Indonesia dimasukkan dalam Amandemen kedua UUD
1945 Pasal 281 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa :

"Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun".

Sedangkan dalam Pasal 28J Ayat (2) menyatakan bahwa :

"Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atau hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis".

Dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dinyatakan bahwa :

9
Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam
undang-undang yang ada terdahulu daripada perbuatan itu.Dalam konteks asas legalitas
tersebut di atas mengandung makna bahwa :

(1) Perundang-undangan pidana harus dirumuskan secara jelas dalam bentuk tertulis,

(2) Perundang-undangan hukum pidana tidak boleh berlaku surut,

(3). Dalam hukum pidana tidak dibenarkan untuk menerapkan analogi.

Realita di Indonesia asas legalitas tidak dianut secara mutlak dengan melihat fakta berikut
ini :

- Perundang-undangan pidana harus dirumuskan secara tertulis Faktanya di Indonesia hukum


yang berlaku (hukum positif) meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa, hukum adat dan
hukum Islam (terutama dalam hukum perdata). Dalam lapangan hukum pidana selain atas
dasar KUHP dan Kitab Undang-Undang di Luar KUHP sebagai dasar legalitas perbuatan
yang dapat dihukum, dalam masyarakat adat juga diakui keberlakuan hukum ada.

2.6. JENIS-JENIS PERUNDANGAN


Berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, definisi Peraturan Perundang-
undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara
umum.Peraturan Perundang-undangan dibentuk dan ditetapkan oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-
undangan.

- Jenis -Jenis Peraturan Perundang-undangan

Jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur dalam UU No. 12 Tahun


2011.Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, maka jenis Peraturan Perundang-undangan sesuai
urutan dari yang tertinggi adalah:

1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)

UUD 1945 adalah hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.UUD 1945 merupakan
peraturan tertinggi dalam tata urutan Peraturan Perundang-undangan nasional.

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)

10
Ketetapan MPR adalah putusan MPR yang ditetapkan dalam sidang MPR meliputi Ketetapan
MPR Sementara dan Ketetapan MPR yang masih berlaku.Sebagaimana dalam Pasal 2 dan
Pasal 4 Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan
Status Hukum Ketetapan MPR Sementara dan MPR 1960 sampai 2002 pada 7 Agustus
2003.Berdasarkan sifatnya, putusan MPR terdiri dari dua macam yaitu Ketetapan dan
Keputusan.Ketetapan MPR adalah putusan MPR yang mengikat baik ke dalam atau keluar
majelis. Keputusan adalah putusan MPR yang mengikat ke dalam majelis saja.

3. UU atau Perppu

UU adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat


(DPR) dengan persetujuan bersama Presiden.

Perppu adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa.Mekanisme UU atau Perppu adalah sebagai berikut:

a. Perppu diajukan ke DPR dalam persidangan berikut.

b. DPR dapat menerima atau menolak Perppu tanpa melakukan perubahan.

c. Bila disetujui oleh DPR, Perppu ditetapkan menjadi UU.

d. Bila ditolak oleh DPR, Perppu harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

4. Peraturan Pemerintah (PP)

PP adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan


UU sebagaimana mestinya.PP berfungsi untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

5. Peraturan Presiden (Perpres)

Perpres adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk


menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

6. Peraturan Daerah (Perda) Provinsi

Perda Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.Termasuk dalam

11
Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan
Daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi
Papua dan Provinsi Papua Barat.

7. Perda Kabupaten atau Kota

Perda Kabupaten atau Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD
Kabupaten atau Kota dengan persetujuan bersama Bupati atau Walikota.Termasuk dalam
Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota adalah Qanun yang berlaku di Kabupaten atau Kota
di Provinsi Aceh.

- Makna tata urutan Peraturan Perundang-undangan

Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, yang dimaksud
dengan hierarki adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-
undangan.Penjenjangan didasarkan asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi.Asas tersebut sesuai dengan Stufen Theory atau Teori Tangga dari ahli hukum Hans
Kelsen dalam General Theory of Law and State (1945).

- Peraturan Perundang-undangan lain

Selain jenis tersebut, masih ada jenis Peraturan Perundang-undangan lain yang diakui
keberadaannya.Peraturan Perundang-undangan lain ini juga mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan.

Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud mencakup peraturan yang ditetapkan oleh:

MPR,DPR,DPD,Mahkamah Agung (MA),Mahkamah Konstitusi (MK),Badan Pemeriksa


Keuangan (BPK),Komisi Yudisial,Bank Indonesia (BI),Menteri, badan, lembaga atau komisi
yang setingkat yang dibentuk dengan UU atau Pemerintah atas perintah UU,DPRD
Provinsi,Gubernur,DPRD Kabupaten atau Kota,Bupati atau Walikota,Kepala Desa atau yang
setingkat

12
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN.
- Pencetus asas Legalitas yakni Paul Johan Anslem Von Feuerbach (1775-1883), seorang
sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des Penlichen recht pada tahun 1801
dengan adagiumnullum delictum, nulla poena sine praevia legi poenalliSalah satu penyebab
dari revolusi Perancis adalah adanya hasrat masyarakat untuk mendapatkan kepastian hukum.
Rakyat tertindas menghendaki adanya kepastian hukum. Tahun 1789 asas Nullum Delictum
sudah dicantumkan dalam Konstitusi Perancis. Kemudian dicantumkan pula dalam Code
Penalnya. Negeri Belanda yang pernah mengalami penjajahan Perancis mencantumkan pula
asas tersebut dalam Wetboek van Strafrechtnya melalui Code Penal yang dibawa oleh
Perancis. Pada tahun 1915 (mulai berlaku tahun 1918) asas tersebut telah pula dicantumkan
dalam KUHP Indonesia yang merupakan jajahan Belanda ketika itu dan sampai saat ini sejak
Indonesia merdeka Asas Legalitas tetap masih berlaku sebagaimana tercantum dalam Pasal 1
ayat 1 KUHP berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Jo.
Undang-Undang No 73 Tahun 1968 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Indonesia
dan Perubahan KUHP

-Asas legalitas adalah tiada perbuatan dapat dihukum kecuali atas dasar kekuatan ketentuan
pidana menurut undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu.

13
- Makna Asas legalitas adalah (a) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang, (b)
Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas),(c)
Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut

- Aspek asas legalitas adalah (a)peraturan perundang-undangan,(b)Rektroaktivitas,(c)Lex


Certa dan (d)Analogi.

- Jenis- Jenis perundangan berdasarkan UU No 12 tahun 2011 maka diurutkan sesuai urutan
dari yang tertingi yakni: (1).UUD 1945,(2)TAP MPR,(3)UU atau PERPPU,(4)Peraturan
pemerintah,(5)perpres,(6)perda provinsi,(7)perda kabupaten atau kota.

3.2. SARAN

Terkait dengan hal tersebut saya selaku penulis menyarankan beberapa hal untuk
diperhatikan sebagai berikut:
 Dalam menerapkan system hukum pemerintah harus sesuai dengan asas legalitas
dalam hukum pidana yakni tidak boleh menggunakan analogi untuk menentukan
adanya perbuatan pidana dan juga dalam menerapkan system hukum jangan berlaku
surut.

 Dalam perundang-undangan penjatuhan pidana harus dirumuskan secara tertulis karna


mengingat diindonesia asas legalitas tidak dianut secara mutlak.

 Penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun dalam penulisan
makalah dikemudian hari.

14

Anda mungkin juga menyukai