Anda di halaman 1dari 5

Antara Kirim Pahala dan Acara Selamatan Kematian

rumaysho.com/2412-antara-kirim-pahala-dan-acara-selamatan-kematian.html

April 29, 2012

Masalah sampainya pahala pada si mayit masih dalam ranah perselisihan oleh para
ulama, bukan hal yang mereka sepakati bersama karena barangkali pemahaman akan
dalil-dalil yang berbeda.

Sebagian mereka menyatakan bahwa mengirimkan pahala itu sampai pada si mayit,
yang lainnya tidak menyetujui hal ini. Namun demikianlah kadang pengikut hawa nafsu
seenaknya sendiri mencomot fatwa. Ketika ia mendapati ulama yang menyatakan
bolehnya kirim pahala pada si mayit dan itu sampai, ia pun seolah-olah menyatakan
legalnya acara yang ia maksud yaitu tahlilan dan yasinan –yang sudah sangat ma’ruf di
masyarakat kita ketika ada orang terdekatnya meninggal dunia lalu diselamati dengan 3,
7, 40 atau 100 hari-. Padahal ulama madzhab yang selama ini ia ikuti tidak menyatakan
sampainya dan juga mereka tidak menyetujui kumpul-kumpul setelah kematian.

Di antara ulama yang diambil fatwanya dan disebarluaskan adalah Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah. Imam yang sudah sangat masyhur, namun dibenci di sebagian
kalangan. Seolah-olah Ibnu Taimiyah menjadi salah seorang yang pro dengan acara
selamatan kematian, tahlilan dan yasinan. Padahal tidak demikian. Di antara fatwa beliau
adalah sebagai berikut.

‫م َﻻ ؟‬ َ َ َ ْ ‫ﻦ أ َﻟ‬
ْ ‫ﺢ؟أ‬ ٌ ‫ﺤﻴ‬ ِ ‫ﺻ‬ َ ‫ﺚ‬ ٌ ‫ﺣﺪ ِﻳ‬َ ” ِ ‫ﻦ اﻟﻨﺎ ر‬ ْ ‫ﻣ‬
ِ ‫ﺖ‬ ِ ‫ﻤﻴ‬ َ ْ ‫ن ﺑ ََﺮاَءة ً ﻟ ِﻠ‬
ُ ‫ﺖ ﻳ َﻜ ُﻮ‬ِ ‫ﻤﻴ‬َ ْ ‫ﻣﺮةٍ وَأﻫْﺪ َاه ُ ﻟ ِﻠ‬
َ ‫ﻒ‬ َ ‫ﺳﺒ ْﻌِﻴ‬ َ ‫ﻦ ” ﻫَﻠ‬
َ ‫ﻞ‬ ْ ‫ ﻋ َﻤ‬: ‫ﻞ‬
َ ِ ‫ﺳﺌ‬
ُ َ‫و‬
. ‫م َﻻ ؟‬ َ َ
ْ ‫ﻪأ‬ُ ُ ‫ﻞ إﻟ َﻴ ْﻪِ ﺛ َﻮَاﺑ‬
ُ ‫ﺼ‬ ِ َ‫ﺖ ﻳ‬
ِ ‫ﻤﻴ‬ َ ْ ‫ن وَأﻫْﺪ َاه ُ إﻟ َﻰ اﻟ‬ ُ ‫ﺴﺎ‬ َ ْ ‫ﻞ اْﻹ ِﻧ‬
َ ‫وَإ ِذ َا ﻫَﻠ‬

Ibnu Taimiyah ditanya mengenai hadits “ada yang bertahlil (membaca ‘laa ilaha illallah’)
sebanyak 70.000 kali lalu ia menyedekahkannya kepada si mayit, maka itu bisa
menyelamatkan si mayit dari siksa neraka”, apakah ini termasuk hadits shahih ataukah
tidak? Jika seseorang bertahlil (mengucapkan ‘laa ilaha illallah’) lalu menghadiahkannya
kepada mayit, apakah itu sampai kepada mayit?
ُ َ َ َ َ َ ‫ ﺳﺒﻌﻮ‬: ‫ﻞ اْﻹﻧﺴﺎن ﻫَﻜ َﺬ َا‬ َ
‫ﺣﺪ ِﻳﺜ ًﺎ‬ َ ْ ‫ﻚ وَﻟ َﻴ‬
َ ‫ﺲ ﻫَﺬ َا‬ َ ِ ‫ﻪ ﺑ ِﺬ َﻟ‬ ُ َ‫ﺖ إﻟ َﻴ ْﻪِ ﻧ ََﻔﻌ‬
ُ ‫ﻪ اﻟﻠ‬ ْ َ ‫ وَأﻫْﺪ ِﻳ‬. ‫ن أﻟ ًْﻔﺎ أوْ أﻗَﻞ أوْ أﻛ ْﺜ ََﺮ‬
َ ُْ َ ُ َ ْ ِ َ ‫ إذ َا ﻫَﻠ‬: ‫ب‬ َ ‫ﻓَﺄ‬
َ ‫ﺟﺎ‬
َ ‫ وا َﻟﻠ‬. ‫ﺤﻴﺤﺎ وَﻻ ﺿﻌِﻴًﻔﺎ‬
.‫ﻢ‬ ُ َ ‫ﻪ أﻋ ْﻠ‬
ُ َ َ َ ً ِ ‫ﺻ‬ َ

Ibnu Taimiyah menjawab, “Jika seseorang bertahlil seperti itu sebanyak 70.000 kali atau
kurang atau bahkan lebih dari itu, lalu ia hadiahkan kepada mayit, maka Allah akan
menjadikan amalan tersebut bermanfaat (bagi si mayit). Yang membicarakan hal ini
bukan hadits shahih, bukan pula dho’if. Wallahu a’lam.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 323).
1/5
Kita akan semakin jelas jika membandingkan fatwa beliau dengan perkataan beliau yang
lainnya.

Di tempat yang lain, Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa dalam masalah
sampainya kirim pahala pada mayit itu ada khilaf (beda pendapat) di kalangan para
ulama dan yang shahih (tepat), pahala tersebut sampai. Beliau rahimahullah berkata,
َ َ
‫ﻪ‬
ُ ‫ﻤﺎ أﻧ‬ َ ُ ‫ﺻ ﺤﻬ‬ ِ ‫ﺖ ﻗَﻮَْﻻ‬
َ ‫أ‬:‫ن‬ َ ْ ‫ ﻛ َﺎﻟ ِْﻘَﺮاَءةِ ؛ وَاﻟﺼَﻼةِ وَاﻟﺼﻴ َﺎم ِ إﻟ َﻰ اﻟ‬: ِ‫ت اﻟ ْﺒ َﺪ َﻧ ِﻴﺔ‬
ِ ‫ﻤﻴ‬ ِ ‫ل اﻟ ْﻌِﺒ َﺎد َا‬
ِ ‫ﺻﻮ‬ ْ ُ‫ﻤﺎُء ﻟ َﻬ‬
ُ ُ ‫ﻢ ﻓ ِﻲ و‬ َ َ ‫وَاﻟ ْﻌُﻠ‬
‫ﻞ‬ُ ‫ﺼ‬ ِ َ‫ﻳ‬

“Mengenai sampainya pahala ibadah badaniyah kepada si mayit seperti amalan bacaan
Al Qur’an, shalat, puasa, ada dua pendapat di kalangan para ulama. Yang tepat dalam
masalah ini, pahala tersebut sampai” (Majmu’ Al Fatawa, 31: 41).

Dalam bahasan yang lain, Ibnu Taimiyah menjelaskan,

ِ‫ ﻛ َﺎﻟﺼَﻼةِ وَاﻟﺼﻴ َﺎم ِ ؛ وَاﻟ ِْﻘَﺮاَءة‬: ِ‫ت اﻟ ْﺒ َﺪ َﻧ ِﻴﺔ‬ ِ ‫ب اﻟ ْﻌِﺒ َﺎد َا‬ ِ ‫ب اﻟﺘَﻼوَةِ ﻓَﻬَﺬ َا ﻳ َﻨ ْﺒ َﻨ ِﻲ ﻋ َﻠ َﻰ إﻫْﺪ َاِء ﺛ َﻮَا‬ ِ ‫ط إﻫْﺪ َاِء ﺛ َﻮَا‬ ُ ‫ﺷﺘ َِﺮا‬ ْ ‫وَأ َﻣﺎ ا‬
ِ‫ﻣﺬ ْﻫَﺒ ِﻪ‬
َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﻣ‬ ِ ‫ن‬ َ ‫ﻦ ﻛ َﺎ‬
ْ ‫ﻤ‬َ َ‫ ﻓ‬. ‫ن‬
ِ ‫ﺸﻬُﻮَرا‬ ْ ‫ﻣ‬َ ‫ن‬ ِ ‫ﺔ ﻓَِﻔﻴﻬَﺎ ﻗَﻮَْﻻ‬ ُ ‫ﺠﻮُز إﻫْﺪ َاُء ﺛ َﻮَاﺑ ِﻬَﺎ ﺑ َِﻼ ﻧ َِﺰاٍع وَأ َﻣﺎ اﻟ ْﺒ َﺪ َﻧ ِﻴ‬ ُ َ‫ﺔ ﻳ‬ َ ‫ﻤﺎﻟ ِﻴ‬َ ْ ‫ت اﻟ‬ِ ‫ﻓَﺈ ِن اﻟ ْﻌِﺒ َﺎد َا‬
َ َ َ
‫ﻦ‬
ْ ‫ﻣ‬ َ ‫ن‬ َ ‫ﻦ ﻛ َﺎ‬ْ ‫ﻣ‬ َ َ‫ و‬.… ‫ﻢ ﺑ َﺎﻃ ًِﻼ‬ْ ُ‫ﻋﻨ ْﺪ َﻫ‬
ِ ‫ط‬ُ ‫ن ﻫَﺬ َا اﻟﺸْﺮ‬ َ ‫ﻚ وَاﻟﺸﺎﻓِﻌِﻲ ﻛ َﺎ‬ ٍ ِ ‫ﻣﺎﻟ‬ َ ‫ب‬ِ ‫ﺤﺎ‬ َ ‫ﺻ‬ْ ‫ ﻛ َﺄﻛ ْﺜ َﺮِ أ‬: ‫ﺠﻮُز إﻫْﺪ َاُء ﺛ َﻮَاﺑ ِﻬَﺎ‬ ُ َ ‫ﻪ َﻻ ﻳ‬ ُ ‫أﻧ‬
َ ‫ﺔ وﻃ َﺎﺋ َِﻔﺔ ﻣ‬ َ َ َ َ ‫ﻣﺬ ْﻫَﺒ‬
.‫ﻚ‬ ٍ ِ ‫ﻣﺎﻟ‬َ ‫ب‬ ِ ‫ﺤﺎ‬ َ ‫ﺻ‬ ْ ‫ﻦأ‬ ْ ِ ٍ َ َ ‫ﺣﻨ ِﻴَﻔ‬ َ ‫ب أﺑ ِﻲ‬ ِ ‫ﺤﺎ‬ َ ‫ﺻ‬ْ ‫ﻤﺪ َ وَأ‬ َ ‫ﺣ‬ ْ ‫ ﻛ َﺄ‬: ِ‫ت اﻟ ْﺒ َﺪ َﻧ ِﻴﺔ‬
ِ ‫ب اﻟ ْﻌِﺒ َﺎد َا‬
ِ ‫ﺠﻮُز إﻫْﺪ َاُء ﺛ َﻮَا‬ ُ َ‫ﻪ ﻳ‬
ُ ‫ﻪ أﻧ‬ُ ُ َ

“Adapun disyaratkan (dalam masalah nadzar, pen) menghadiahkan pahala bacaan


Qur’an, maka hal ini kembali pada permasalahan menghadiahkan pahala ibadah
badaniyah seperti shalat, puasa, bacaan Al Qur’an. Untuk ibadah maliyah (berkaitan
dengan harta), maka boleh menghadiahkan pahala kepada si mayit dan hal ini tidak
diperselisihkan oleh para ulama. Untuk ibadah badaniyah, hal ini diperselihkan oleh
mereka dan ada dua pendapat yang masyhur dalam masalah ini. Bagi mereka dalam
madzhabnya menyatakan tidak boleh menghadiahkan pahala kepada si mayit –seperti
menjadi madzhab kebanyakan pengikut Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i, maka jika
disyaratkan demikian, maka itu syarat yang batil. … Dan siapa yang madzhabnya
membolehkan mengirimkan pahala ibadah badaniyah kepada si mayit –seperti dalam
madzhab Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah dan sebagian pengikut Imam Malik- ….”
(Majmu’ Al Fatawa, 31: 50).

Ibnu Taimiyah pernah ditanya,


َ
. ‫ﺐ اﻟﺸﺎﻓِﻌِﻲ‬ َ ‫ﻦ اﻟ ْﻮَﻟ َﺪ ِ أوْ َﻻ ؟ ﻋ َﻠ َﻰ‬
ِ َ‫ﻣﺬ ْﻫ‬ ْ ‫ﻣ‬
ِ ‫ﺖ‬ َ ْ ‫ﻞ إﻟ َﻰ اﻟ‬
ِ ‫ﻤﻴ‬ ِ َ ‫ﻞ اﻟ ِْﻘَﺮاَءة ُ ﺗ‬
ُ ‫ﺼ‬ ْ َ‫ ﻫ‬: ‫ﻞ‬
َ ِ ‫ﺳﺌ‬
ُ َ‫و‬

“Apakah pahala membaca Al Qur’an dari anak sampai pada si mayit menurut madzhab
Syafi’i?”

Beliau rahimahullah menjawab,


َ َ َ
‫ﻦ‬
ْ ‫ﻣ‬ِ ٍ‫ﺔ وَﻃ َﺎﺋ َِﻔﺔ‬
َ ‫ﺣﻨ ِﻴَﻔ‬
َ ‫ﻤﺪ وَأﺑ ِﻲ‬َ ‫ﺣ‬ْ ‫ﺐأ‬ َ َ‫ ﻛ َﺎﻟ ِْﻘَﺮاَءةِ وَاﻟﺼَﻼةِ وَاﻟﺼﻮْم ِ ﻓ‬: ِ‫ت اﻟ ْﺒ َﺪ َﻧ ِﻴﺔ‬
ُ َ‫ﻤﺬ ْﻫ‬ ِ ‫ب اﻟ ْﻌِﺒ َﺎد َا‬
ِ ‫ل ﺛ َﻮَا‬
ُ ‫ﺻﻮ‬ُ ُ ‫أ ﻣﺎ و‬
َ ‫ﻞ وا َﻟﻠ‬ َ َ َ َ َ
.‫ﻢ‬ُ َ ‫ﻪ أﻋ ْﻠ‬
ُ َ ُ ‫ﺼ‬ ِ َ ‫ﻚ وَاﻟﺸﺎﻓِﻌِﻲ إﻟ َﻰ أﻧﻬَﺎ َﻻ ﺗ‬ ٍ ِ ‫ﻣﺎﻟ‬
َ ‫ب‬
ِ ‫ﺤﺎ‬ ْ ‫ﺐ أﻛ ْﺜ َُﺮ أ‬
َ ‫ﺻ‬ ِ َ ‫ﻚ وَاﻟﺸﺎﻓِﻌِﻲ إﻟ َﻰ أﻧﻬَﺎ ﺗ‬
ُ ‫ﺼ‬
َ َ‫ﻞ وَذ َﻫ‬ ٍ ِ ‫ﻣﺎﻟ‬
َ ‫ب‬ِ ‫ﺤﺎ‬َ ‫ﺻ‬
ْ ‫أ‬

2/5
“Adapun mengirim pahala ibadah badaniyah seperti membaca Al Qur’an, shalat dan
puasa menurut madzhab Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah dan sebagian pengikut Imam
Malik, pahala tersebut sampai. Namun kebanyakan pengikut Imam Malik dan Imam Asy
Syaf’i menyatakan tidak sampai. Wallahu a’lam.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 324)

Meskipun beliau menyetujui sampainya pahala bacaan Al Qur’an atau amalan badaniyah
lainnya pada si mayit namun beliau nyatakan bahwa pahala yang ditujukan untuk diri
sendiri itu lebih afdhol.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanyakan, “Bagaimana dengan orang yang
membaca Al Qur’an Al ‘Azhim atau sebagian Al Qur’an, apakah lebih utama dia
menghadiahkan pahala bacaan kepada kedua orang tuanya dan kaum muslimin yang
sudah mati, ataukah lebih baik pahala tersebut untuk dirinya sendiri?”

Beliau rahimahullah menjawab:

Sebaik-baik ibadah adalah ibadah yang mencocoki petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para sahabatnya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menyampaikan dalam khutbahnya,
ُ
ٌ َ ‫ﺿَﻼﻟ‬
‫ﺔ‬ َ ٍ‫ﺤﺪ َﺛ َﺎﺗ ُﻬَﺎ وَﻛ ُﻞ ﺑ ِﺪ ْﻋ َﺔ‬
ْ ‫ﻣ‬ ُ ‫ﺷﺮ اْﻷ‬
ُ ِ ‫ﻣﻮر‬ َ َ ‫ﺤ ﻤﺪ ٍ و‬
َ ‫ﻣ‬ ِ ْ ‫ﺧﻴ ُْﺮ اﻟ ْﻬَﺪ‬
ُ ُ‫ي ﻫَﺪ ْي‬ ُ ‫ﺧﻴ ُْﺮ اﻟ ْﻜ ََﻼم ِ ﻛ ََﻼ‬
َ َ ‫م اﻟﻠ ﻪ ِ و‬ َ

“Sebaik-baik perkataan adalah kalamullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk


Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang
diada-adakan. Setiap bid’ah adalah sesat.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

ْ ُ‫ﻦ ﻳ َﻠ ُﻮﻧ َﻬ‬


‫ﻢ‬ ِ ‫َ ﻴ ُْﺮ اﻟ ُْﻘُﺮو‬
َ ‫ن ﻗَْﺮﻧ ِﻲ ﺛ ُﻢ اﻟﺬ ِﻳ‬

“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka.”

Ibnu Mas’ud mengatakan,


َ َ ِ ‫ﺔ أ ُوﻟ َﺌ‬
ُ َ ‫ﻦ ﻋ َﻠ َﻴ ْﻪِ اﻟ ِْﻔﺘ ْﻨ‬
ٍ ‫ﺤ ﻤﺪ‬
َ ‫ﻣ‬
ُ ‫ب‬
ُ ‫ﺤﺎ‬
َ ‫ﺻ‬
ْ ‫ﻚأ‬ َ ْ ‫ﺤﻲ َﻻ ﺗ ُﺆ‬
ُ ‫ﻣ‬ َ ْ ‫ت ؛ ﻓَﺈ ِن اﻟ‬ َ ْ ‫ﻦ ﻗَﺪ‬
َ ‫ﻣﺎ‬ ْ ‫ﻤ‬ ْ َ ‫ﺴﺘ َﻨﺎ ﻓَﻠ ْﻴ‬
َ ِ ‫ﺴﺘ َﻦ ﺑ‬ ْ ‫ﻣ‬ ْ ُ ‫ﻣﻨ ْﻜ‬
ُ ‫ﻢ‬ َ ‫ﻦ ﻛ َﺎ‬
ِ ‫ن‬ ْ ‫ﻣ‬
َ

“Siapa saja di antara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka ambillah petunjuk dari
orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang masih hidup tidaklah aman dari fitnah.
Mereka yang harus diikuti adalah para sahabat Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa
sallam-.”

Jika kita sudah mengenal beberapa landasan di atas, maka perkara yang telah ma’ruf di
tengah-tengah kaum muslimin generasi utama umat ini (yaitu di masa para sahabat dan
tabi’in, pen) bahwasanya mereka beribadah kepada Allah hanya dengan ibadah yang
disyari’atkan, baik dalam ibadah yang wajib maupun sunnah; baik amalan shalat, puasa,
atau membaca Al Qur’an, berdzikir dan amalan lainnya. Mereka pun selalu mendoakan
mukminin dan mukminat yang masih hidup atau yang telah mati dalam shalat jenazah,
ziarah kubur dan yang lainnya sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Allah. Telah
3/5
diriwayatkan pula dari sekelompok ulama salaf mengenai setiap penutup sesuatu ada
do’a yang mustajab. Apabila seseorang di setiap ujung penutup mendoakan dirinya,
kedua orang tuanya, guru-gurunya, dan kaum mukminin-mukminat yang lainnya, ini
adalah ajaran yang disyari’atkan. Begitu pula doa mereka ketika shalat malam dan
tempat-tempat mustajab lainnya.

Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan sedekah pada mayit dan memerintahkan pula untuk
menunaikan utang puasa si mayit. Jadi, sedekah untuk mayit merupakan amal sholeh.
Begitu pula terdapat ajaran dalam agama ini untuk menunaikan utang puasa si mayit.
Oleh karena itu, sebagian ulama membolehkan mengirimkan pahala ibadah maliyah
(yang terdapat pengorbanan harta, semacam sedekah) dan ibadah badaniyah kepada
kaum muslimin yang sudah mati. Sebagaimana hal ini adalah pendapat Imam Ahmad,
Imam Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah. Jika mereka
menghadiahkan pahala puasa, shalat atau pahala bacaan Qur’an maka ini diperbolehkan
menurut mereka. Namun, mayoritas ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mengatakan bahwa
yang disyari’atkan dalam masalah ini hanyalah untuk ibadah maliyah saja.

Tidak kita temui pada kebiasaan para ulama salaf, jika mereka melakukan shalat,
puasa, haji, atau membaca Al Qur’an; mereka menghadiahkan pahala amalan
mereka kepada kaum muslimin yang sudah mati atau kepada orang-orang yang
istimewa dari kaum muslimin. Bahkan kebiasaan dari salaf adalah melakukan
amalan yang disyari’atkan yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, setiap
orang tidak boleh melampaui jalan hidup para salaf karena mereka tentu lebih utama
dan lebih sempurna dalam beramal. Wallahu a’lam.” –Demikian penjelasan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah- (Majmu’ Al Fatawa, 24: 321-323).

Terakhir, kami dapat simpulkan beberapa point bahasan sebagai berikut:

Pertama: Mengirimkan pahala ibadah maliyah seperti sedekah disepakati oleh para
ulama akan sampainya.

Kedua: Mengirimkan pahala ibadah badaniyah seperti shalat, puasa dan bacaan Al
Qur’an mengenai sampainya diperselisihkan oleh para ulama. Imam Asy Syafi’i dan
kebanyakan ulama Malikiyah berpendapat tidak sampainya menghadiahkan pahala
kepada si mayit. Adapun Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah dan sebagian ulama Malikiyah
berpendapat sampainya pahala pada si mayit.

Namun anehnya orang-orang yang menukil pendapat sampainya pahala pada si mayit,
kebanyakan menukil pendapat di luar madzhab Syafi’i, mereka mengambil pendapat Imam
Ahmad dan Ibnu Taimiyah karena hal itu yang dapat mendukung ritual amalan mereka
dalam merayakan kematian si mayit dengan tahlilan dan yasinan.

Ketiga: Tidak kita temui pada kebiasaan para ulama salaf, jika mereka melakukan shalat,
puasa, haji, atau membaca Al Qur’an; mereka menghadiahkan pahala amalan mereka
kepada kaum muslimin yang sudah mati atau kepada orang-orang yang istimewa dari
4/5
kaum muslimin. Bahkan kebiasaan dari salaf adalah melakukan amalan untuk diri
mereka sendiri.

Keempat: Jika ada pendapat yang menyetujui sampainya pahala yang dihadiahkan
untuk si mayit seperti lewat bacaan Qur’an dan tahlil, itu bukan berarti mereka
menyetujui acara tahlilan atau selamatan kematian. Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah
tidak pernah menyetujui acara tersebut. Yang menukil pendapat mereka tidak pernah
membuktikan perkataan tegas bahwa Ibnu Taimiyah melegalkan dan melakukan
yasinan, tahlilan atau selamatan kematian pada hari ke-3, 7, 40 atau 100. Yang menukil
cuma bisa berhenti sampai pernyataan Ibnu Taimiyah yang menyatakan sampainya
pahala pada si mayit. Padahal Ibnu Taimiyah sudah menyatakan bahwa amalan untuk
diri sendiri itu lebih utama daripada menghadiahkan pahala untuk yang lain.

Juga sebagai renungan, bagaimana mungkin pahala bisa sampai kepada si mayit,
sedangkan yang biasa diundang yasinan atau tahlilan ada yang menyatakan ingin cari
duit atau cari makanan saja. Ini jelas tidak ikhlas. Kalau sudah tidak ikhlas ketika
membaca Al Qur’an, bagaimana mungkin bisa dihadiahkan pada si mayit?! Amalan yang
tidak ikhlas jelas-jelas tertolak.

Ya Allah, berilah kami petunjuk untuk berada di atas kebenaran dan terhindar dari jalan
keliru yang jauh dari tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wa billahit taufiq, hanya Allah yang memberi taufik.

@ KSU, Riyadh, KSA, 8 Jumadats Tsaniyah 1433 H

www.rumaysho.com

5/5

Anda mungkin juga menyukai