Anda di halaman 1dari 194

1

Syari'ah dan Tafsîr al-Qur’ân


Elaborasi Maqâshid dalam tafsir Ibn ‘Âsyûr

TESIS
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister
dalam Ilmu Agama Islam

oleh:
Abdul Aziz Muchammad
NIM: 06.2.00.1.14.08.0069

Pembimbing:
Dr. Yusuf Rahman, MA

KONSENTRASI ULÛM AL-QUR’ÂN


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008
2

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Abdul Aziz Muchammad


NIM : 06.2.00.1.14.08.0069
Tempat, Tanggal Lahir : Surabaya, 04 Pebruari 1979

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul “Syari'ah dan


Tafsîr al-Qur’ân: Elaborasi Maqâshid dalam tafsir Ibn ‘Âsyûr”
ini benar-benar merupakan karya asli saya kecuali kutipan-kutipan yang saya
sebutkan sumbernya. Segala kesalahan dan kekurangan di dalamnya sepenuhnya
menjadi tanggung jawab saya dengan konsekuensi pencabutan gelar.

Jakarta, 18 Desember 2008

Abdul Aziz Muchammad


3

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis saudara Abdul Aziz Muchammad NIM: 06.2.00.1.14.08.0069


yang berjudul “Syari'ah dan Tafsîr al-Qur’ân: “Elaborasi
Maqâshid dalam tafsir Ibn ‘Âsyûr” telah diperiksa dan dinyatakan
layak untuk diajukan ke Sidang Ujian Tesis.

Jakarta, 18 Desember 2008

Pembimbing

Dr. Yusuf Rahman, MA


4

PENGESAHAN

Tesis saudara Abdul Aziz Muchammad NIM:


06.2.00.1.14.08.0069 yang berjudul “Syari'ah dan Tafsîr al-

Qur’ân: “Elaborasi Maqâshid dalam tafsir Ibn ‘Âsyûr” yang


diujikan pada tanggal 27 Desember 2008, dan telah diperbaiki sesuai
saran serta rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.

Jakarta, 30 Desember 2008

1. Dr. Yusuf Rahman, MA 1…………………..


Pembimbing/Ketua/Merangkap Penguji

2. Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA 2…………………..


Penguji I

3. Dr. Asep Saepuddin Jahar 3………………….


Penguji II
5

PEDOMAN TRANSLITERASI DAN TRANSLASI

A. Konsonan

‫ب‬ = b = th
‫ت‬ = t = zh
‫ث‬ = ts = ‘
‫ج‬ = j = gh
‫ح‬ = h = f
‫خ‬ = kh = q
‫د‬ = d = k
‫ذ‬ = dz = l
‫ر‬ = r = m
‫ز‬ = z = n
‫س‬ = s = w
‫ش‬ = sy = h
‫ص‬ = sh = `
‫ض‬ = dh = y

B. Vokal

Vokal Tunggal : ‫ = ـــَــ‬a ‫ = ـــِــ‬I ‫ = ـــُــ‬u


Vokal Panjang : ‫ = ـــَـﺎ‬â ‫ﻲ‬
ْ ‫ = ــِـ‬Î ‫ = ــُـ ْﻮ‬û
Vokal Rangkap : ‫ﻲ‬
ْ ‫ = ــَـ‬ay ‫ = ــَـ ْﻮ‬aw

C. Lain-lain

- Transliterasi syaddah atau tasydîd ( ّ ) dilakukan dengan menggandakan huruf


yang sama.
6

- Transliterasi ta` marbûthah ( ‫ ) ة‬adalah “h”, termasuk ketika ia diikuti oleh kata
sandang “al” ( ‫) ال‬, kecuali dalam transliterasi ayat al-Qur`an.
- Nama-nama dan kata-kata yang telah ada versi populernya dalam tulisan latin,
pada umumnya, akan ditulis berdasarkan versi populer tersebut.

D. Translasi
- Kecuali terjemahan al-Qur`an, dan kecuali dinyatakan sebaliknya, seluruh
terjemahan dalam tesis ini adalah milik penulis.
- Untuk terjemahan al-Qur`an, penulis mengutip Mushaf al-Qur`an Terjemah,
Departemen Agama RI, edisi tahun 2006, dengan beberapa penyesuaian.
7

ABSTRAK

Tesis ini membuktikan bahwa penafsiran dengan


menggunakan Maqâshid al-Qur’ân akan membuahkan tafsiran
makna lafadz secara elastis. Karena ia merujuk kepada keumuman
dakwah, kandungannya mesti bisa dipahami oleh orang-orang yang
hidup di masa penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kesimpulan diatas menguatkan gagasan Rasyîd Ridhâ dalam
al-Wahyu al-Muhammady [Maktabah al-Islami], sebagaimana
kedua gurunya Muhammad ‘Abduh dan al-Afghâni yang
mewajibkan penerapan maqâshid al-Qur’ân dalam penafsiran
[sebagaimana ditulis oleh al-Daghamin dalam karyanya manhaj al-
Ta’amul ma’a al-Qur’ân fî fikri Syeikh Muhammad Rasyîd Ridhâ.
Belakangan Muhammad Izzat Darwaza juga meformulasikan
Maqâshid al-Qur’an dengan istilah al-Usus wa al-Wasa’il [pokok-
pokok/ fundamental dan instrumen].
Fokus utama penelitian ini bersumber dari prinsip-prinsip
tafsir yang dirumuskan oleh Ibn ‘Âsyûr dalam dua buah karyanya,
Maqâshid al-Syarî’ah al- Islâmiyyah dan al-Tahrîr wa al-Tanwîr.
Penelitian ini juga berupaya untuk melakukan penilaian terhadap
prinsip-prinsip tersebut berdasarkan kriteria rigiditas dan ortodoksi
penafsiran kontemporer.
Pendekatan struktural (analysis structure) digunakan diletakkan
dalam kerangka yang bersifat historis dan komparatif_“historis” karena
penelitian ini juga mengkaji kondisi-kondisi psikologis, sosial, politik,
dan intelektual yang memengaruhi pemikiran Ibn ‘Âsyûr, dan
“komparatif” karena ia mencoba membandingkan pemikiran Ibn
‘Âsyûr itu dengan al-Syâtibî seputar Maqâshid dan prinsip-prinsip
tafsirnya.
Penelitian ini juga ingin menunjukkan bahwa gagasan Ibn ‘Âsyûr sering
digunakan untuk menggugat tekstualisme/rigiditas dalam tafsir. Selain itu, hasrat
untuk mencari legitimasi dari masa lalu demi kepentingan masa kini bisa
menyebabkan distorsi pada sejarah. Pembacaan terhadap karya-karya Ibn ‘Âsyûr
melalui konteks sosial dan intelektual pada zamannya menyiratkan dugaan bahwa
karya-karya tersebut sebetulnya diajukan sebagai kritik sosial-keagamaan bagi
masyarakat Tunisia pada khususnya, dan masyarakat muslim dunia secara makro.
8

ABSTRACT

This Thesis proves that interpretation by using Maqâshid al-


Qur’ân will produce exegesis [lafadz] in elastic meaning. Because,
Maqâshid al-Qur`ân refers to generally principle of missionary
endeavors [‘umûm al-da’wah]. Consequently, al-Qur`ân must
contain things that can be comprehended [understanding] by life
people in a period of science and technology spreading.
The Conclusion above strengthen of Rasyîd Ridhâ idea’s in al-
Wahyu al-Muhammady, as the same manner as both his teachers;
Mohammed ‘Abduh and al-Afghâni. They oblige applying Maqâshid
al-Qur’ân in interpretation [as the same manner as written by al-
Daghamin in his works of manhaj al-Ta’amul ma’a al-Qur’ân fî fikri
Syeikh Mohammed Rasyîd Ridhâ. Latter Mohammed Izzat Darwaza
also formulates Maqâshid al-Qur’an with the basic
specifics/fundamental media and instrument [al-Usus wa al-
Wasa’il].
Concerning the source of interpretation principles that formulated by Ibn
‘Asyûr in two unit [of] his works there are; Maqâshid al-Syarî’ah al
Islâmiyyah and al-Tahrîr wa al-Tanwîr. This Research also copes to
conduct assessment to principles referred [as] base criteria of rigidities
and orthodoxy contemporary interpretation.
Structural Approach (analysis structure) in this research puts down
in framework that has character of historical and
comparability_“historical” because this research also assesses
psychological set of circumstances, social, politics, and intellectual that
influence idea of Ibn ‘Asyûr, and “comparability” because he tries to
compare idea Ibn ‘Asyûr between/with al-Syâtibî around Maqâshid and his
principles of interpretation/exegesis.
Finally, This research proves that Ibn ‘Âsyûr’s ideas are frequently used to
criticize orthodoxy in Quran exegesis. And also the contention of this study that
those criticisms can, perhaps, be adopted completely only if Ibn ‘Âsyûr himself is
overstepped. In addition, the desire to seek legitimacy from the past for the sake of
the present time can cause distortions in history. The reading of Ibn 'Âsyûr’s works
suggestion through his social and intellectual context in the period that indicate and
implies that those works are proposed primarily as suspected papers are actually filed
as a criticism of social-religious society for Tunisia especially, and the world
community as a whole.
‫‪9‬‬

‫ﺍﻟﻤﻠﺨﺹ‬

‫ﻫﺫﻩ ﺍﻟﺭﺴﺎﻟﺔ ﺘﺅﻜﺩ ﻋﻠﻲ ﺃﻥ ﺘﻔﺴﻴﺭ ﺍﻟﻘﺭﺁﻥ ﺒﻤﻘﺎﺼﺩ ﺍﻟﻘﺭﺁﻥ ﺘﺅﺩﻱ ﺇﻟﻲ ﻤﻌﺎﻥ ﻤﺘﻌﺩﺩﺓ‪ ،‬ﻷﻨﻪ‬
‫ﺭﺍﺠﻌﺔ ﺇﻟﻲ ﻋﻤﻭﻡ ﺍﻟﺩﻋﻭﺓ ﻭﻫﻭ ﻤﻌﺠﺯﺓ ﺒﺎﻗﻴﺔ ﻓﻼ ﺒﺩ ﺃﻥ ﻴﻜﻭﻥ ﻓﻴﻪ ﻤﺎ ﻴﺼﻠﺢ ﻷﻥ ﺘﺘﻨﺎﻭﻟﻪ ﺃﻓﻬﺎﻡ ﻤﻥ‬
‫ﻴﺄﺘﻲ ﻤﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻲ ﺇﻨﺘﺸﺎﺭ ﺍﻟﻌﻠﻭﻡ ﻓﻲ ﺍﻷﻤﺔ‪.‬‬
‫ﻭ اﻟﺼﻴﺎﻏﺔ اﻟﺘﻔﺴﻴﺮ اﻟﺬي ﻃﺮﺣﻬﺎ اﺑﻦ ﻋﺎﺷﻮر ﺘﺅﻴﺩ ﻤﺎﻗﺎﻟﻪ ﺍﻟﺴﻴﺩ رﺷﻴﺪ رﺿﺎ ﻓﻲ آﺘﺎﺑﻪ‬
‫اﻟﻮﺣﻲ اﻟﻤﺤﻤﺪي آﻤﺎ یﺮاهﺎ أﺴﺘﺎﺫﺍﻩ ﻤﺤﻤﺩ ﻋﺒﺩﻩ ﻭ ﺍﻷ ﻓﻐﺎﻨﻲ‪ ،‬ﻭﻴﻘﺩﻡ ﺼﻴﺎﻏﺔ ﺍﻟﺠﺩﻴﺩﺓﺘﻜﻤﻠﺔ ﻟﻤﺎ‬
‫ﻗﺒﻠﻬﺎ‪ .‬ﻭﻓﻲ ﺍﻭﺍﻥ ﻋﺰة دروزة ﺃﺘﻲ ﺒﻤﻔﻬﻭﻡ ﺠﺩﻴﺩ )ﺑﻨﻤﻂ ﺟﺪیﺪ( ﺑﺄن ﻡﺤﺘﻮیﺎت اﻟﻘﺮﺁن ﻥﻮﻋﺎن‬
‫ﻡﺘﻤﻴﺰان وهﻤﺎ اﻷﺱﺲ واﻟﻮﺱﺎﺋﻞ‪ ،‬وإن اﻟﺠﻮهﺮي ﻓﻴﻪ هﻮ اﻷﺱﺲ ﻷﻥﻬﺎ هﻲ اﻟﺘﻲ إﻥﻄﻮت ﻓﻴﻬﺎ‬
‫أهﺪاف اﻟﺘﻨﺰیﻞ اﻟﻘﺮﺁﻥﻲ واﻟﺮﺱﺎﻟﺔ اﻟﻨﺒﻮة ﻡﻦ ﻡﺒﺎدئ وﻗﻮاﻋﺪ وﺷﺮاﺋﻊ وأﺣﻜﺎم‪.‬‬
‫ﻴﻌﺘﻨﻲ ﻫﺫ ﺍﻟﺒﺤﺙ ﺒﻌﺭﺽ ﺠﻤﻠﺔ ﻤﻥ ﺃﺼﻭل ﺍﻟﺘﻔﺴﻴﺭ ﻭﻗﻭﺍﻋﺩﻩ ﺍﻟﺘﻲ ﺘﻨﺎﻭﻟﻬﺎ ﺍﺒﻥ ﻋﺎﺸﻭﺭ‬
‫ﻓﻲ ﻜﺘﺎﺒﻴﻪ‪ :‬ﺍﻟﻤﻘﺎﺼﺩ ﺍﻟﺸﺭﻴﻌﺔ ﺍﻹﺴﻼﻤﻴﺔ ﻭﺍﻟﺘﺤﺭﻴﺭ ﻭﺍﻟﺘﻨﻭﻴﺭ‪ .‬ﻓﻴﺤﺎﻭل ﻫﺫﺍ ﺍﻟﺒﺤﺙ ﺃﻴﻀﺎ ﺒﺤﻜﻡ ﺘﻠﻙ‬
‫ﺍﻷﺼﻭل ﺘﺤﺕ ﻤﻘﺎﻴﻴﺱ ﻭﺃﺭﺜﻭﺫﻜﺴﻴﺔ ﺍﻟﺘﻔﺴﻴﺭ ﺍﻟﻤﻌﺎﺼﺭ‪.‬‬
‫ﻭﻴﻬﺩﻑ ﻫﺫﺍ ﺍﻟﺒﺤﺙ ﺘﻌﺒﻴﺭ ﺃﺴﺱ ﻨﻅﺭﻴﺔ ﺍﻟﻤﻘﺎﺼﺩ ﻋﻨﺩ ﺇﺒﻥ ﻋﺎﺸﻭﺭ‪ ،‬ﻭﻤﻨﻬﺞ ﻫﺫﺍ ﺍﻟﺒﺤﺙ‬
‫ﺍﻟﺘﺭﺘﻴﺏ ﺍﻟﺘﺎﺭﻴﺨﻲ ﺍﻟﺘﻨﺎﺯﻟﻲ ﺤﻴﺙ ﻴﺒﺤﺙ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺨﻠﻔﻴﺔ ﺍﻟﺘﺎﺭﻴﺨﻴﺔ ﻓﻲ ﻤﺠﺎل ﺍﻟﻨﻔﺱ‪ ،‬ﺍﻹﺠﺘﻤﺎﻋﻲ‪،‬‬
‫ﻭﺍﻟﺴﻴﺎﺴﺔ‪ ،‬ﻭﺍﻟﺭﺤﻠﺔ ﺍﻟﻌﻠﻤﻴﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﺜﺭﺕ ﺁﺭﺍﺀ ﺇﺒﻥ ﻋﺎﺸﻭﺭ‪ ،‬واﻟﻤﻘﺎرﻥﺔ; ﻷﻥﻪ ﺣﺎول ﻡﻘﺎرﻥﺔ ﺑﻴﻦ‬
‫أﻓﻜﺎر اﺑﻦ ﻋﺎﺷﻮر و اﻟﺸﺎﻃﺒﻲ ﺣﻮل اﻟﻤﻘﺎﺹﺪ‬
‫ل ﻫﺫﺍ ﺍﻟﺒﺤﺙ ﻓﻲ ﺍﻷﺨﻴﺭ ﺃﻥ ﺁﺭﺍﺀ ﺍﺒﻥ ﻋﺎﺸﻭﺭ ﺍﺴﺘﺨﺩﻤﺕ ﻜﺜﻴﺭﺍ ﻓﻲ ﻨﻘﺩ ﺍﻟﻨﺼﻭﺹ‬ ‫ﻭﻴﺩ ّ‬
‫ﻭﺍﻟﺼﻼﺒﺔ ﺃﻭ ﺍﻟﺼﺭﺍﻤﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﻔﺴﻴﺭ‪ .‬ﻭﺒﺠﺎﻨﺏ ﺫﻟﻙ ﺃﻥ ﺍﻟﻌﺯﻡ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﺤﺙ ﻋﻥ ﺍﻟﻘﻀﻴﺔ ﺍﻟﺸﺭﻋﻴﺔ ﻓﻲ‬
‫ﺏ ﺍﻟﺘﺸﻭﻴﻪ ﻭﺍﻟﺘﺤﺭﻴﻑ ﻨﺤﻭ ﺍﻟﺘﺎﺭﻴﺦ‪ .‬ﻭﻜﺎﻥ‬‫ﻗﺩﻴﻡ ﺍﻟﺯﻤﺎﻥ ﻟﻸﻫﻤﻴﺎﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺼﺭ ﺍﻟﺤﺎﻀﺭ ﻴﺴﺒ ّ‬
‫ﺍﻟﺘﻔﺴﻴﺭ ﺃﻭﺍﻟﻘﺭﺍﺀﺓ ﻤﻥ ﻤﺅﻟﻔﺎﺕ ﺍﺒﻥ ﻋﺎﺸﻭﺭ ﻨﺤﻭ ﺘﻠﻙ ﺍﻟﻨﺼﻭﺹ ﻋﻨﺩ ﻋﺼﺭﻩ ﺍﺠﺘﻤﺎﻋﻴﺔ ﻜﺎﻨﺕ‬
‫ﺃﻭﻓﻜﺭﻴﺔ ﻓﺘﺤﺕ ﺍﻟﻅﻨﻭﻥ ﺃﻥ ﺘﻠﻙ ﺍﻟﻤﺅﻟﻔﺎﺕ ﺘﻘﺩّﻡ ﻜﺎﻟﻨﻘﺩ ﺍﻻﺠﺘﻤﺎﻋﻲ ﻭﺍﻟﺩﻴﻨﻲ ﻟﻠﻤﺠﺘﻤﻊ ﺍﻟﺘﻭﻨﺴﻲ‬
‫ﺨﺼﻭﺼﺎ ﻭﺍﻟﻤﺠﺘﻤﻊ ﺍﻟﻤﺩﻨﻲ ﻋﺎﻤّﺎ‪.‬‬
10

KATA PENGANTAR

Tesis ini berutang kepada banyak orang yang tidak seluruhnya bisa disebutkan
di sini. Kepada mereka semua, penulis menghaturkan terima kasih, penghargaan,
serta permohonan maaf setulus-tulusnya. Pertama, Dr. Yusuf Rahman yang telah
membimbing penulis selama melakukan penelitian. Kritik, saran, dan bantuannya
membuat penulisan tesis ini menjadi sesuatu yang menghibur dan menggairahkan.
Juga Dr. Fuad Djabali dan Prof. Suwito Dengan cara masing-masing, mereka telah
membantu rencana penulisan tesis ini menjadi sedikit lebih “distingtif” dengan
beberapa kali “work in progress” .
Bahan-bahan penulisan tesis ini diperoleh dari pelbagai sumber di Jakarta,
Yogyakarta, dan Surabaya, terutama di perpustakaan-perpustakaan UIN Jakarta dan
Yogyakarta, PSQ Jakarta, Iman Jama’ Jakarta. Tesis ini rasanya tidak akan selesai
sesuai harapan tanpa kemudahan akses yang diberikan oleh seluruh staf dan pegawai
di perpustakaan-perpustakaan tersebut. Secara personal, penulis ingin berterimakasih
kepada Syukron, pegawai Perpustakaan Pascasarjana UIN Jakarta, untuk segala
bantuan dan keramahannya. Juga kepada teman-teman Ulûmul Qur’ân yang banyak
memberi atensi dan motivasi semangat dan bantuan literatur-literatur yang mereka
berikan, pinjamkan, atau kirimkan.
Ada momen-momen tertentu ketika penulisan tesis ini terasa melelahkan dan
menjemukan, terutama saat-saat ketika ia seakan-akan tiba pada sebuah cul-de-sac.
Tetapi selalu ada sesuatu yang membuat semua itu menjadi tertanggungkan:
kehadiran Ibuku Hj. Achmada Sholichah yang dengan tabah dan sabar dalam
membimbing putra putrinya sepeningal ayah sebagai Single Parent yang tak kenal
patah arang/semangat, selalu memotivasi dan mendo’aakanku setiap saat dalam
meraih asa dan ridho-Nya, semoga segala kebaikannya dilipatgandakan oleh Allah
Ta’âla dan mendapat ridho-Nya sebagai bekal menuju kebahagiaan Akhirat, amin.
Tidak lupa penulis persembahkan al-Fâtihah kepada (almaghfurlah) H.M. Hidayat
11

Tauhid ayah saya sendiri, tujuh tahun yang lalu telah menghadap Ilahi Rabbi semoga
segala amal kebaikan dilipatgandakan dan dosa-dosanya diampuni Allah ’Azza wa
Jalla, semoga dikumpulkan kelak bersama orang-orang saleh. Untuk saudara-
saudaraku Mas Rosyid, Mbak Sita, adikku Isa dan Anis yang selalu memberikan
motivasi, semoga semuanya diberi kelancaran dalam segala hal atas motivasinya
kepada penulis. Yang selalu mendampingiku dan mendoakanku setiap saat istriku
tercinta; Yayuk Rachmawati dan anakku Salfa Salsabila Nadya Aziz, tetanggaku baik
di kost, maupun di rumah terima kasihku kepada kalian semuanya.
Bagian-bagian tertentu dari tesis ini dirumuskan, dipertajam, diperbaiki, dan
disempurnakan berdasarkan inspirasi, diskusi, saran, serta kritik dari beberapa pihak.
Selain Pak Yusuf, Pak Fuad Djabali, dan Pak Muchis Hanafi, dan mereka yang telah
disebutkan di atas.
Dalam satu dan lain hal, tesis ini juga harus dipandang sebagai bagian dari
proses “perjalanan intelektual” penulis selama masa studi di Program Khusus Ulûm
al-Qur’ân Beasiswa Depag, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Karena itu, penulis juga ingin berterima kasih kepada Prof. Dr. Quraish Shihab, Dr.
Muchlis Hanafi, Dr. Sahabuddin, Prof. Dr. Zainun Kamal, Prof.Dr. Suwito, MA, Dr.
Lutfi Fathullah, Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, Dr. Fuad Jabali, Prof. Dr. Salman
Harun, Dr. Uka Tjandrasasmita, Prof. Dr. Matsna HS,MA, Prof. Dr. Tajuddin, Dr.
Yusuf Rahman, Dr. Romlah, Dr. Faizah Ali Syibramalisi, serta untuk kuliah-kuliah
yang inspiratif dan mencerahkan.
Terakhir, guru-guruku mulai dari waktu kecil sampai sekarang yang namanya
sudah hampir lupa semuanya semoga ilmu yang mereka berikan bermanfaat kelak.
Semoga Allah memperkenankan doa yang seetiap kita panjatkan dan semoga Allah
selalu mencurahkan Rahmat dan ridho-Nya untuk mereka dan kita semua khususnya
pembaca dan penyempurna tesis ini, amin.

Ciputat, 18 Desember 2008


12

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................. i


SURAT PERNYATAAN ........................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. iii
PENGESAHAN PENGUJI
......................................................................................iv
PEDOMAN TRANSLITERASI DAN TRANSLASI .......................... v
ABSTRAK ........................................................................... vii
KATA PENGANTAR .............................................................. x
DAFTAR ISI ....................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN
A.................................................................................................... Lat
ar Belakang Masalah/Dasar Pemikiran
......................................1
B. Permasalahan ................................................... 20
1. Identifikasi Masalah
................................................................21
2. Pembatasan Masalah
...............................................................21
3. Rumusan Masalah
...................................................................22
C. Survei Literatur/Penelitian terdahulu yang relevan . 21
D. Tujuan Penelitian .............................................. 26
E. Signifikansi Penelitian ....................................... 27
F. Metodologi Penelitian ......................................... 27
1. Jenis Penelitian dan Sumber Data ................... 27
2. Pendekatan Masalah ...................................... 28
13

G. Sistematika Penulisan ....................................... 29

BAB II MAQÂSHID DAN PEMBACAAN AL-QUR’ÂN


.............................31..........................................
A. Ibn ‘Âsyûr dan Penafsiran
kontemporer........................................33
B. Maqâshid Perspektif Ulama’ Salaf dan
Khalaf.............................55
C. Kebebasan, Kemaslahatan, dan batasan-
batasannya.................... 63
D. Rigiditas dan Elastisitas Tafsir: Generalitas dan Pengujian
Teori 69
14

BAB III FORMULASI MAQÂSHID DAN PRINSIP-PRINSIP TAFSÎR IBN


‘ÂSYÛR …………………………………………………………….. 79
A. Prinsip-prinsip dasar penafsiran Ibn ‘Âsyur
...................................79
B. Maqâshid al-ashliyyah dalam tafsir Ibn
‘Âsyûr.............................107
1) Memperbaiki dan mengajarkan
akidah..................................107
2) Penanaman dasar
akhlak........................................................109
3) Menetapkan hukum-hukum syariat [Umum dan
Khusus].....110
4) Strategi Pemberdayaan Umat (siyâsah al-
ummah)................111
5) Maqâshid al-ashliyyah al-Qasas al-Qur’ân
..........................112
6) Pengajaran Syari’at sesuai dengan perkembangan
zaman.....113
7) Motivasi dan ancaman [al-targhîb wa al-
tarhîb]................. .114
8) I’jâz al-Qur’ân sebagai bukti risalah
Kenabian.................... 114
C. Maqâshid al-Qur’ân/asliyyah dan urgensitasnya
bagi ilmu al-Qur’ân
.................................................................... 117
15

BAB IV APLIKASI MAQÂSHID DALAM PENAFSIRAN DAN RESPON


AKADEMIK
....................................................................................
...123
A. Aplikasi Maqâshid al-asliyah pada ayat-ayat
Hukum...................126
1) Perintah Shalat dan zakat dalam surah al-
Baqarah................133
2) Perintah Puasa dan Hikmahnya dalam surah al-
Baqarah .....145
B. Respon akademik terhadap gagasan Maqâshid
dan penafsiran Ibn
‘Âsyûr............................................................150
C. Ibn ‘Âsyûr dan ortodoksi penafsiran
Kontemporer........................154
16

BAB V PENUTUP
..........................................................................................
160
A. Kesimpulan ……………………………………………………....160
B. Saran-saran ……………………………………………………....163

DAFTAR PUSTAKA
........................................................................................ 164
17

BAB I
PENDAHULUAN
18

A. Latar belakang masalah


Kajian Maqâshid pada umumnya mengikuti pada bagian kajian ilmu ushûl
(fiqh), dan syarî’ah. Seperti halnya al-Syâtibî (730 H/1388 M),1 dia membangun
kembali kerangka sistematika ilmu ushûl (fiqh) yang konvensional dari arsitek
sebelumnya yaitu Al-Syâfi'i (w.204 H).2 Kemudian al-Syâtibî menambahkan bahwa
“Dasar dan tujuan diletakkannya syari’at tidak lain, yaitu untuk kemaslahatan
manusia di dunia dan akhirat.3 Ruang lingkup Maqâshid Syarî’ah mencakup semua
hukum publik, individual, kesehatan, bahkan kesopanan serta moral dan akhlak.4
Kemaslahatan disini dipahami sebagai bentuk kemanfaatan yang dikehendaki
Allah yang Maha Bijak (Al-Hakîm) bagi hambanya [umat manusia] agar senantiasa

1
Nama lengkapnya adalah Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsa ibn Muhammad al-Lakhmi al-Garnati
al-Syâtibî . Lihat lebih lanjut Khayr al-Dîn al-Dzirikli, Al-A‘lâm: Qâmus Tarâjim li Asyhâr al-Rijâl wa
al-Nisâ` min al-‘Arâb wa al-Musta‘ribin wa al-Mustâsyriqîn, vol. 1 (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin,
cet. 9, 1990), hal. 75. Bandingkan dengan ‘Umar Ridhâ Kahhalah, Mu‘jam al-Mu`âllifin: Tarâjim
Musânnifi al-Kutub al-‘Arâbiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1957), hal. 118. .
Sementara itu, ‘Abd al-Muta‘âlî al-Sa‘îdî bahkan membandingkan jasa al-Syâthibî dalam perumusan
maqâshid al-syarî‘ah dengan jasa al-Syâfi‘î dalam perumusan ushul fiqh. Lihat Hammâdî al-‘Ubaydî,
Al-Syâthibî wa Maqâshid al-Syarî‘ah, hal. 132.
2
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb
dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut
merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad
saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad
saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan
yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi
Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26
3
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb
dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut
merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad
saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad
saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan
yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi
Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26
4
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb
dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut
merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad
saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad
saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan
yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi
Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26
19

agamanya, jiwa dan raganya, akal dan keturunannya serta hartanya [secara hirarkis]
terjaga dan terpelihara dalam pelbagai kondisi secara berkesinambungan."5
Selain itu, ketika Fahmi Huwaydi menyatakan bahwa pembacaan yang benar
(al-qirâ`ah al-shahîhah) terhadap al-Qur`ân harus mempertimbangkan aspek
Maqâshid al-Syarî’ah, selain aspek bahasa, dia menyandarkan pendapatnya itu
kepada pandangan ‘Abdullah Darrâz dalam pengantar untuk kitab al-Muwâfaqât,
karya al-Syâtibi.6

Al-Syâtibî (1388 M) tidak saja menandai pergeseran disiplin keilmuan di bidang


ushul fiqh, melainkan juga di bidang tafsir dan hermeneutika al-Qur`ân.7 Ia
menjadikan penyangganya (Maqâshid al-syarî’ah) kokoh serta mencapai kemapanan
secara integral, hal tersebut terbukti bahwa substansi teori al-Syâtibî mampu
memberikan pemahaman kepada kita tentang konstruksi intelektual mengenai hukum
modern.8

5
Lihat lebih lanjut uraian Sa'id Ramadhân Al Bûty dalam Dhawâbit al-Maslahâh fi syarî’ah
Islâmiyah (Mu’assasah Risalah, 1987) hal. 27-28, bandingkan dengan pandangan Mahmûd Syaltût
dalam Islam 'Aqîdatan wa Syarî’atan , dar-el Syuruq 1975, hal. 496. Lihat juga Abd. Salam 'Arif
mengeksplorasi pandangan hukum Syaltut dalam pembaruan pemikiran hukum Islam (pembaruan dan
fakta), LESFI Yoyakarta, cet-1 2003, hlm 177-181, lihat, Al-Qaradhâwi, Dirâsah fî fiqhi Maqâshid al
syarî’ah bayna al Maqâshid al kulliyah wa al-nushus al juzyiyyah ( Kairo, Dar al Syuruq cet I 2006 )
hal 19-20
6
Lihat Fahmi Huwaydi, Al-Qur`ân wa al-Sultân (Kairo: Dar al-Syuruq, cet. 5, 2002), hal. 53-
56.
7
Lihat dalam David Johnston, “A Turn in the Epistemology and Hermeneutics of Twentieth
Century Usul al-Fiqh”, dalam Islamic Law and Society, Edisi 11, No. 2, Juni 2004, hal. 252-253. Lihat
juga uraian Wael B. Hallaq tentang gagasan al-Syâtibî , A History of Islamic Legal Theories: An
Introduction to Sunni Ushûl al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hal. 206. ‘Âbid
al-Jâbiri menyatakan bahwa al-Syâtibî telah memodifikasi atas asumsi-asumsi dasar epistemologi
bayâni—sebuah epistemologi yang salah satu proyek teoretisnya adalah penetapan aturan-aturan
interpretasi bagi al-Qur`an, al-khitâb al-mubin. Lihat Muhammad ‘Abid al-Jâbiri, Bunyah al-‘Aql al-
‘Arabi: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah li Nuzhûm al-Ma‘rifah fi al-Tsaqâfah al-‘Arabiyyah (Beirut:
al-Dar al-Bayda`, cet. 7, 2000), hal. 534-536.
8
Ahmad Al Râisūny, ia menegaskan bahwa al-Syâtibî belum memberikan definisi Maqâshid
syarî’ah secara jelas, sehingga Raisuny mengadopsi pandangan Ibnu ‘Âsyûr, dengan penyematan gelar
“al-Mu‘allim al-Tsâni”. Lebih lanjut lihat Nazhâriyyah ……..hlm 17-18. Gagasan al-Syâtibî terlihat
jelas dalam hal perumusan konsep Maqâshid al-syarî’ah yang kemudian menisbatkan gelar “al-
Mu‘âllim al-awwâl”, Abdullah Darraz, “Muqaddimah”, dalam al-Syâtibi, Al-Muwâfaqât fi Ushûl al-
Syarî’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), hal. 5; mengatakan “Hujjah min hujaj al-syarî’ah wa
‘alam min a‘lâm Maqâshidihâ” kepadanya. lihat juga Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid
al Syarîah al Islâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 139. Lihat al-Syâtibî , Al-Muwâfaqât fi Ushûl
20

Maqâshid al-Syarî’ah yang dibangun al-Syatibi sebagaimana disebut ‘Âbid al-


Jâbiri sebagai “I’âdah ta’shîl al-ushûl” (peletakan kembali dasar-dasar ilmu ushûl),
kemudian pandangan ini diadopsi oleh muridnya yaitu ‘Abdul Majîd Turkiy, yang
mengataan bahwa pendasarannya [ilmu ushul] sebagai pondasi titik awal
bertumpunya dasar metodologi dalam [beristinbath] hukum.9

Berkaitan dengan pendasaran ilmu (ushûl) inilah Ibnu ‘Âsyûr mulai


mengelaborasi gagasan pendahulunya yang kemudian ia sebut dengan “pendasaran
Ilmu Maqâshid al-Syarî’ah.” Hal ini disinyalir, bahwa teori yang diusung Ibn ‘Âsyûr
berusaha menggali dan menemukan cara pandang sejarah secara ilmiah dan
metodologis yang digunakan untuk penelitian dan peletakan dasar ilmu Maqâshid al-
Syarî’ah yang komprehensif. Ibn ‘Âsyûr melihat bahwa kajian ilmu Maqâshid al-
Syarî’ah ini memilki perbedaan yang signifikan dengan kajian ilmu ushul.10

Menurutnya muara kajian [ilmu ushul] tidak kembali pada esensi dan Hikmah
al-tasyrî’, namun ia hanya berputar pada permasalahan istinbath hukum dari nash
sharîh melalui kaidah-kaidah yang digunakan pakar hukum (fuqahâ’) dalam
beristinbath hokum, dari atau melalui cabang-cabang (furû’) maupun sifat-sifat
(‘illat) hukum yang disarikan dari Al-Qur’ân, sebagai kajian untuk

al-Syarî’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), (Tahqîq 'Abdullah Darrâz), dalam
“Muqaddimah”, hal. 5. Bandingkan, ‘Abid al-Jâbiri, dengan menyebut apa yang dilakukan al-Syâtibî
dalam al-Muwâfaqât sebagai i‘âdah tâ`sil al-usul (pendasaran kembali ilmu usul fiqh). Muhammad
‘Abid al-Jâbiri, Wijhâh al-Nazhâr (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1994), cet. 4, hal.
547. Istilah ta`sil al-usul itu sebetulnya berasal dari al-Syâtibî sendiri. Lihat al-Syâtibî , Al-Muwâfaqât
fi Ushûl al-Syarî’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.), vol. 1, hal. 70. Bandingkan pula dengan
Maribel Fierro, “Al-Shatibi”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD
Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003).
9
Lihat Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarîah al Islâmiyah, 2001. hal. 86-95
10
Lihat Abdul Majîd Turkî Manâzharat fî ushûl al-Syarî’ah bayna ibn Hazm dan al-Bâjî, oleh
Abdul al-Shabûr Syâhin, Beirut Dâr al-Gharb al-Islamiy cet. 1414 H/ 1994, hal. 361,484. lihat
Maqâshid al-Syarîah al-Islâmiyah hal. 5-6. lihat juga tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî
dalam Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah, 2001. hal. 96-99. baca juga Abdul Azîz bin ‘Ali Abd ar-
Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ Maktabah Muluk Fahd al-Wathaniyyah
atsna al-Nasyr, hal. 41-43.
21

menginterpretasikan lafadz-lafadz yang diyakini sebagai kehendak Tuhan (tentunya


sebatas kemampuan seorang Fâqih dalam berijtihad).11

Kajian ilmiah yang dilakukan Ibn ‘Âsyûr (1878-1973 M) mengenai ilmu


Maqâshid al-Syarî’ah memiliki korelasi/hubungan erat dengan penelitian lain,
keduanya disinyalir mempunyai muara dan esensi tujuan yang sama, yaitu penelitian
tentang ”Norma-norma/aturan sosial Kemasyarakatan yang Islami” (ushûl an-Nizhâm
al-Ijtimâ’î fi al-Islam/The rule of Islamic Civilization). Ibn ‘Âsyûr menyatakan bahwa
pemerhati penelitian tentang tema besar ini membutuhkan kaidah-kaidah yang luas,
rinci dan mendetail dari kaidah-kaidah ushul fiqh yang ada selama ini. Menurutnya;
perihal-perihal yang ditampakkan lebih luas dan elastis yang tidak hanya sekedar
mengaplikasikan kaidah-kaidah syarî’ah untuk menyelesaikan problematika hukum di
masyarakat, ia juga mengkonversikan dan mengelaborasikannya dengan qiyâs,
sebagaimana disinyalir memiliki persamaan muatan teori. Dengan menyingkap
rahasia (hikmah) dibalik (tasyrî’) tersebut, maka konsep yang dihasilkan dari kajian
Maqâshid ini tidak hanya sebagai sebuah wacana atau paradigma dalam bingkai
kajian yang hampa [utopis].12

Sejatinya cara pandang Ibn ‘Âsyur (1878-1973 M), tentang nilai (ilmu
Maqâshid) ini adalah mengulangi kembali pakar pendahulunya. Ahmad Raisûny
menulis; bahwa Ibn ‘Âsyûr mengulangi kembali peletakkan ilmu Maqâshid sebagai
disiplin ilmu yang mandiri, pandangan ini dikuatkan oleh Abdul Azîz bin ‘Ali Abd
ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam karyanya ‘Ilm Maqâshid al-Syâri.

Tentunya dengan mengelaborasi cara pandang ilmiah dan metodologis guna


menjadikan intisari kajian sebagai dasar ilmu ushul fiqh, kemudian

11
Abdul al-Shabûr Syâhin Manâzharat fî ushûl al-Syarî’ah, hal. 361,484. lihat Maqâshid al
Syarî’ah al Islâmiyah hal. 5-6. lihat juga tahqîq dirâsah al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al
Islâmiyah, 2001. hal. 96-99. baca juga Abdul Azîz bin ‘Ali, ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ hal. 41-43.
12
Abdul Azîz bin ‘Ali,‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ hal. 41-43. Lihat juga Muhammad Thâhir Ibn
‘Âsyûr, ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islam, al-Syirkah al-Tûnîsiyyah littawzî’ (Tunis) dan Dâr al-
Wathaniyah lilkitab (al-Jazâir), 1985, hal. 21. Bandingkan dengan al-Mâisâwî dalam Maqâshid al
Syarî’ah al Islâmiyah, 2001. hal. 90-91.
22

diimplementasikan pada kurikulum-kurikulum belajar mengajar pada Madrasah-


madrasah atau lembaga-lembaga pendidikan, sampai-sampai mereka (pengarang
buku) menjumpainya dengan rasa jemu, semantara siswa yang belajar (ilmu ushûl
fiqh) juga semakin bosan (dengan materi ini), kecuali mereka yang dianugrahi Allah
kesabaran dalam mengkajinya secara terus menerus.13

Adapun tujuan yang hendak dicapai (dari kajian ilmu ushûl) pada pengajaran
tingkat perguruan tinggi “kulliyyah Islam”; diharapkan mampu menyingkap petunjuk
jalan yang ditempuh para Mujtahid (dalam berijtihad), mereka senantiasa menjaga
stabilitas hukum syarî’ah berjalan sesuai dengan rule (neraca syari’at) dan
sunnatullah. Sehingga keniscayaan upaya (para mujtahid) sampai pada tingkat
kedudukan yang disebut Ibn ‘Âsyûr sebagai ‫ﺴ ِﻔﻴْﻨﺔ‬
َ ‫( ِإﺑْﺮة اﻟﻤﻐﻨﺎﻃﻴْﺲ ﻟ ُﺮ َﺑّﺎن اﻟ‬Ibrah al-
Maghnâtîs lirubbâni al-Safînah)14

Keberadaan Syari’ah dan pemberlakuan hukum-hukum syarî’ah pada abad


pertama hijriah ini masih dipertanyakan/dimentahkan oleh sarjana hukum barat
seperti Joseph Shacht dalam tesisnya, ia menyimpulkan kegelisahan pandangannya
ini dengan menyatakan bahwa; Nabi Muhammad saw. tidak mempunyai otoritas atas
hukum-hukum adat yang telah ada pada saat itu, demikian halnya hadits.
Menurutnya, hadits baru muncul pada awal abad kedua hijriah. Dan pondasi hukum
Islam dalam pandangannya baru diletakkan oleh para pakar Hukum Islam yang
diangkat pada masa pemerintahan Khalifah Umayyah.15

13
Lihat Ibn ‘Âsyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al Islâmiyah, al-Syirkah al-Tûnîsiyyah littawzî’
(Tunis) dan Dâr al-Wathaniyah lilkitâb (al-Jazâir), 1979, hal. 165. lihat juga tahqîq dirâsah al-Mâisâwî
dalam Maqâshid al Syarî’ah 2001. hal. 90-91 dan 128-129. Abdul Azîz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin
‘Ali ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ hal. 41-43
14
Lihat Ibn ‘Âsyûr, ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islam hal. 21. lihat juga Al-Mâisâwî dalam
Maqâshid al-Syarî’ah al Islâmiyah, 2001. hal. 90-91.
15
Bertumpu pada ide-ide pendahulunya C.Snouck Hurgronje dan Ignaz Goldziher, Joseph
Shacht mengeksplorasi pandangannya dalam bukunya An Introduction to Islamic Law,
(oxford:clarendon, 1964) hal.23-27. lihat juga ulasan Faisar Ananda Arfa dalam, sejarah pembentukan
Hukum Islam, Pustaka Firdaus cet. Pertama 1996 hlm 5-27. dalam hal yang sama sarjana barat yang
mendukung keberadaan hukum Islam pada awal hijriah diantaranya, M.M. al-Azami, Noel J. Coulson.
SD. Goitein, dan Wael B. Hallaq. Lihat artikel Goitein yang diulas oleh Faisar dalam buku yang sama,
34-53.
23

Dalam konteks ini, Joseph Shact mengadopsi pandangannya ini dari Ignaz
Goldziher.16 Ia bertolak dari pandangan bahwa kehidupan dengan segala
problematika yang bertautan dengannya (ketika itu), nyaris tidak terdapat/ditemukan
persoalan yang signifikan pada masa hidup Nabi Muhammad saw. Terutama
persoalan yang menyangkut maksud/tujuan dan kandungan hukumnya, Muhammad -
shallawwah ‘alaih wasallam dengan segala otoritasnya sebagai mubayyin langsung
memberikan penjelasan secara rinci dan mendetail.17

Bagaimanapun juga pandangan tesis Joseph Shact diatas perlu diuji dan
dibuktikan melalui literatur-literatur yang berkenaan dengan sejarah, tentunya dengan
data autentik pedoman hidup Al-Qur’ân dan Hadits, serta kajian kepustakaan yang
komprehensif, dalam penelitian ini penulis mencoba membuktikannya melalui
konstruksi teori ‘ilm Maqâshid dan prinsip-prinsip penafsiran Ibn ‘Âsyur (1973 M),
selanjutnya perdebatan ini akan penulis uraikan pada sub judul seputar Maqâshid dan
pembacaan al-Qur’ân di bab dua.
Ahmad Raisuny memetakan dalam disertasinya, bahwa Maqâshid al-Syarî’ah
telah dilakukan (ditelaah) oleh Al-Turmudzî (Abad III), Abu Mansur al-Mâturidî ( w.
333 H), Abu Bakar Al-Qâffal ( w.365 H ), Abu Bakar Al-Abhâry (w.375 H) al-
Baqillânî (w.403 H) dilanjutkan Imâm Al-Haramain [al-Juwaini] (w.478 H), Imam Al
Ghazali (w.505 H), Al Râzî (w.606 H), Saifuddin Al-Âmidy (w.631 H), Ibn Hâjib
(646H) Izzuddin Abdul al-Salâm ( 660H), al- Baidhâwî (w.685 H) Al-Asnawi (772H)
Ibn al-Subkî (w.771 H), kemudian disinyalir mencapai kemapanan pada masa al-
Syâtibî. Pandangan ini didukung data dari ‘Abdur Rahmân Kaylâni, namun lanjutnya,
mereka baru meletakkan (Maqâshid) pada tataran sebagai sub kajian dari ilmu
ushul/Syarî’ah.18

16
Ignaz Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmî, terj. ‘Abd al-Halîm al-Najjâr (Kairo:
Maktabah al-Sunnah al-Muhammadiyyah, 1955), hal. 73.
17
Abbâs Mahmûd al-‘Aqqâd, al-Falsafah al-Qur’âniyyah (Mesir; Lajnah Bayân al-‘Arabi,
1974), hal. 27.
18
Ahmad Al Raisyûni, Nazhâriyyah ... hal 40-68. bandingkan dengan tulisan ‘Abd al-Rahmân
Ibrâhîm al-Kaylânî, Qawâ‘id al-Maqâshid ‘Inda al-Imâm al-Syâthibî ‘Ardlan wa Dirâsatan wa
24

Berangkat dari data diatas, penulis meyakini urgensi teori/konsep Maqâshid


yang diusung Ibnu Âsyûr (1878-1973 M) akan nampak dan terlihat dalam peletakan
Dasar-dasar Ilmu Maqâshid al-Syarî’ah. Sebagaimana ditekankan bahwa ia
merupakan segala makna dan tujuan hukum (Tajâwuz al-Manhâ al-Tajzî’iy fî
tafahhumi Ahkâm al-Syarî’ah bimurâtabihâ al-muhtalifah) yang diletakkan dalam
pelbagai kondisi Tasyri’, secara makro dalam pelestariannya, diaplikasikan dan
dimplementasikan secara khusus/partikular [tajzî’iy] sesuai neraca hukum syariat.
Secara Inheren tujuan umum dan sifat-sifat syarî’ah yang luas dapat
terimplementasikan secara menyeluruh, tidak hanya problematika yang berkaitan
dengan masalah hukum melainkan segala problematika kehidupan didalamnya
(dunia).19
Selanjutnya kajian diatas akan penulis sajikan dan paparkan uraian tentang
teori, konsep Ibnu ‘Âsyûr tentang formulasi Maqâshid dan prinsip-prinsip
komplementer dalam penafsiran Al-Qur’ân pada bab tiga.20
Setelah mengelaborasi teori dan konsep pendahulunya, Ibn Âsyûr juga
mengkritisi prinsip-prinsip tafsir al-Syâtibî (730 H/1388 M) dalam Muwâfaqât nya
mengenai tiga hal: pertama, status al-Qur`ân sebagai substansi ajaran Islam
(kulliyyah al-syarî’ah); kedua, status al-Qur`ân sebagai kitab berbahasa Arab; serta
ketiga, status al-Qur`ân sebagai kitab yang diturunkan kepada seorang rasul yang
ummî dan di tengah bangsa Arab yang juga ummî.

Tahlîlan (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2000), hal. 14. lihat juga, ‘Abid al-Jâbiri dengan menyebutkan apa
yang dilakukan al-Syâtibî dalam al-Muwâfaqât sebagai i‘âdah tâ`shîl al-ushûl (pendasaran kembali
ilmu usul fiqh). Muhammad ‘Abid al-Jâbiri, Wijhâh al-Nazâr (Beirut: Markaz Dirâsat al-Wihdah al-
‘Arabiyyah, 1994), hal. 57. Istilah ta`sil al-Ushûl itu sebetulnya berasal dari al-Syâtibî sendiri. Lihat
al-Syâtibî , Al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syarî’ah (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.), vol. 1, hal. 70.
Bandingkan pula dengan Maribel Fierro, “Al-Shatibi”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The
Encyclopedia of Islam, WebCD Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003). Bandingkan
dengan tesis Ismaîl Hasani Nazhâriyyah al Maqâshid ind Imâm Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, dalam
penerbit yang sama hal. 60-73.
19
Baca kembali Ibn ‘Âsyûr dalam, Maqâshid syarî’ah, 1979. hal. 51. lihat juga versi tahqîq Al-
Maisawi, 2001, hal. 96-97.
20
Lihat Ibnu ‘Âsyûr “Muqâddimah al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” Dâr-el Tunîsiyah linnasar. [T. th.
hal. 38-46
25

Senada dengan Abid al-Jabiri, pengarang al-Tahrîr wa al-Tanwîr [Muhammad


Thâhir Ibn ‘Âsyûr] mengcounter pandangan diatas, karena pandangan tersebut dapat
dibawa ke titik ekstrem untuk menyatakan bahwa petunjuk al-Qur`ân hanya
diperuntukkan kepada bangsa Arab abad 7 Masehi. Selanjutnya ia menambahkan
bahwa ada hikmah-hikmah (hikmah al-Tasyrî’) di balik pilihan Allah untuk
menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur`ân. Walaupun demikian, kenyataan
bahwa al-Qur`ân diturunkan kepada bangsa Arab itu tidak berarti hukum-hukum
syari’at hanya diperuntukkan bagi mereka atau untuk kepentingan-kepentingan
mereka belaka, namun sebaliknya ia bersifat umum [general] dan abadi
[berkesinambungan], dan al-Qur`ân sebagai mukjizat baik dari segi bahasa dan
makna (lafdzan wa ma’nan) yang autentitas dan relevansinya diuji sepanjang masa,
dengan demikian ketidak sesuaian (kebenaran anggapan) tersebut akan tertolak.”21
Delapan tujuan dasar (al-Maqâshid al-asliyyah) yang dirumuskan Ibn ‘Âsyûr
(1878-1973 M) kemudian disebut sebagai prinsip tafsirnya yaitu; pertama,
mengajarkan dan memperbaiki akidah; kedua, mengajarkan nilai-nilai akhlak yang
mulia; ketiga, menetapkan hukum-hukum syariat; keempat, menunjukkan jalan
kebenaran kepada umat Islam (Siyâsah al-Ummah); kelima, memberikan pelajaran
dan hikmah dari kisah bangsa-bangsa terdahulu; keenam, pengajaran syari’at sesuai
dengan perkembangan zaman; ketujuh, al-Targhîb wa al-Tarhîb; kedelapan,
membuktikan kebenaran risalah Nabi Muhammad shallawwâh ‘alaih wasallam.22
Sering dikatakan bahwa kajian tentang penafsiran tidak dapat dilepaskan dari
subyektifitas interpretasi dari penafsir dalam penafsirannya sampai akhir zaman. Hal
ini disebabkan muatan-muatan bahasa/lafal-lafal yang terdapat dalam Al-Qur’an
sangat kaya makna sehingga digambarkan dalam surah al-Kahfi [18:109-110];

21
Ibnu ‘Âsyûr “Muqâddimah al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” Dar-el Tunisiyah linnasar. T. th., vol. 1
[T. th. vol. 1] hal. 39.
22
Ibnu ‘Âsyûr “Muqâddimah, hal. 39-41. lihat juga uraian Quraish Shihab, bahwa penolakan al-
Syâtibî terhadap tafsir saintifik merupakan antitesis dari pandangan al-Ghazâli tentang al-Qur`ân yang
mencakup seluruh jenis ilmu pengetahuan. Kedua pandangan tersebut, menurut Quraish Shihab, sama-
sama berlebihan dan “sukar dipahami”. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi dan
Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, cet. 19, 1999), hal. 102.
26

$uΖ÷∞Å_ öθs9uρ ’În1u‘ àM≈yϑÎ=x. y‰xΖs? βr& Ÿ≅ö7s% ãóst6ø9$# y‰ÏuΖs9 ’În1u‘ ÏM≈yϑÎ=s3Ïj9 #YŠ#y‰ÏΒ ãóst7ø9$# tβ%x. öθ©9 ≅è%

u!$s)Ï9 (#θã_ötƒ tβ%x. yϑsù ( Ó‰Ïn≡uρ ×µ≈s9Î) öΝä3ßγ≈s9Î) !$yϑ¯Ρr& ¥’n<Î) #yrθムö/ä3è=÷WÏiΒ ×|³o0 O$tΡr& !$yϑ¯ΡÎ) ö≅è% ∩⊇⊃∪ #YŠy‰tΒ Ï&Î#÷WÏϑÎ/

∩⊇⊇⊃∪ #J‰tnr& ÿϵÎn/u‘ ÍοyŠ$t7ÏèÎ/ õ8Îô³ç„ Ÿωuρ $[sÎ=≈|¹ WξuΚtã ö≅yϑ÷èu‹ù=sù ϵÎn/u‘

Pandangan Ahmad Ibn Hanbal sejalan yang menyatakan bahwa tafsir


(penafsiran) tidak memiliki pijakan (‫ ) ﻟﻴﺲ ﻟﻬﺎ أﺻﻞ‬karena ia tak mengenal henti, ia
seperti Malâhim dan Maghazî.23
Sebagai catatan bahwa manusia dalam menafsirkan kalimat-kalimat Allah
hanya bisa sampai pada derajat pemahaman yang relatif dan tidak sampai pada posisi
absolut. Karenanya pesan Tuhan-pun tidak dipahami sama dari waktu kewaktu,
melainkan ia senantiasa dipahami selaras dengan realitas, kondisi sosial yang seiring
dengan berlalunya zaman, selaras dengan kebutuhan umat sebagai konsumennya.
Yang pada gilirannya menempatkan Exegesis sebagai disiplin keilmuan yang tidak
mengenal kering. Penggemar dan peneliti tafsir telah benyak menunjukkan pelbagai
model interpretasi semenjak awal kemunculan disiplin ilmu tersebut sampai ke era
kontemporer.24
Upaya pembacaan kritis terhadap teks keagamaan (Al-Qur’ân) tanpa didasari
Greget dengan kemampuan pemahaman akan khazanah klasik (at-turarts) secara
maksimal merupakan sesuatu yang ahistoris. Disamping itu dalam wilayah teks
keagamaan dan teladan salaf al-Shâlih masih menjadi sebuah keniscayaan, maka dari
sinilah timbul celah-celah interpretasi dan pendefinisian dari interpretasi satu kepada
yang lain. Munculnya ortodoksi (selanjutnya disebut rigiditas) adalah sesuatu yang

23
Jalâl al-Dîn Al-Suyûti, al-Itqân fî Ulûm al-Qur’ân, hal. 87.
24
Lihat karya-karya kontemporer seperti adz-Dzahabi al-Tafsir wa al-Mufassirûn, Amin al-
Khuli dengan Manâhij al-Tajdîd fî al-nahw wa al-balâghah wa al-tafsîr wa al-adab (cairo 1976),
Hassan Hanafi dengan Manâhij tafsir wa Mashâlih al-Ummah dalam al-Dîn wa al-Tsawra: al-Yamîn
wa al-yasar fî al-fikr al-dînî (cairo 1989), Ignaz Goldziher, J.JG. Jansen dengan The Interpretation of
the Qur’an in Modern Egypt, (Leiden, E.J. Brill, 1974), John Wansbrough dengan Qur’anic Studies:
Sources an Methods of sriptural Interpretation (oxford University Press 1977). Lihat lebih lanjut
dalam Jurnal studi Al-Qur’ân (PSQ) vol. 1 Januari 2006, hal. 79-83
27

tidak asing dalam konteks Islam [Rahmatan lil’alamin], karena tidak ada dalam Islam
sebuah institusi, [seperti lembaga gereja misalnya] yang memiliki otoritas [claim
mainded] untuk menentukan kriteria rigiditas tersebut.25
Tetapi kita bisa dengan cukup aman menggunakan konsep Rigiditas/ortodoksi
ini dalam kajian tafsir berdasarkan alasan-alasan berikut;
Pertama, Rigiditas penafsiran yang dipahami sebagai sebuah konsep ternyata
dapat ditemukan dalam karya para pemikir muslim awal, terutama di bidang teologi
dan heresiografi.26 Dalam konteks ini, rigiditas dipahami dalam kerangka pembedaan
antara “yang benar” dan “yang salah”. Kajian tafsir pun tidak luput dari kategorisasi
diatas. Sebagaimana dapat dilihat dengan jelas, literatur-literatur tafsir dan ‘Ulûm al-
Qur`ân dipenuhi oleh kriteria-kriteria serta contoh-contoh “deviasi” dalam
penafsiran. Hal tersebut menyiratkan adanya sebuah konsep tentang ortodoksi dalam
tafsir.27
Kedua, proses standardisasi dalam disiplin keilmuan selalu berlangsung sampai
pemapanan ilmu yang dimaksud.28 Dalam disiplin keilmuan tafsir misalnya,
kecenderungan yang sama juga terjadi. Prinsip-prinsip, metode-metode serta
terminologi-terminologi tafsir dan ‘Ulûm al-Qur`ân telah mengalami proses
pemapanan yang berlangsung sekian lama, yang mapan serta yang standar kemudian

25
Karena tidak adanya sebuah institusi dalam Islam yang bisa membuat sebuah doktrin menjadi
resmi dan ortodoks, maka Montgomery Watt lebih suka menggunakan istilah “pandangan mayoritas”
(the view of the main body) atau “pandangan Sunni” (the Sunnite view). Lihat W. Montgomery Watt,
The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), hal. 268.
26
Jika ortodoksi dipahami sebagai upaya untuk membedakan antara keyakinan yang benar dan
keyakinan yang salah, maka orang-orang seperti al-Asy‘ari, al-Ghazali, al-Syahrastanî dan lain-lain
pernah mencoba mendefinisikan parameter keislaman yang “benar” dan mengkategorikan sikap-sikap
yang bertentangan dengannya sebagai pola keberagamaan yang “salah”. Parameter itu kemudian
menjadi acuan dasar untuk memapankan ortodoksi Sunni serta menegaskan heterodoksi kelompok-
kelompok lain di luarnya, seperti Syi‘ah, Muktazilah, Khawarij dan lain-lain. Lihat Fauzan Saleh,
Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX (Jakarta: Serambi, 2004),
hal. 77-78.
27
Lihat buku yang berjudul Al-Isrâiliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadits Majma’ Buhuts al-
Islâmiyyah, terj. Didin Hafidhuddîn, diterbitkan oleh Litera antar Nusa, cet.1 1989.
28
Ortodoksi adalah sebuah fenomena yang tidak saja terjadi dalam bidang agama, tetapi juga
terjadi dalam banyak disiplin keilmuan, seperti bahasa dan historiografi. Lihat Ursula Günther,
“Mohammed Arkoun: towards a radical rethinking of Islamic thought”, dalam Suha Taji-Farouki [ed.],
Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004), hal. 142.
28

menjadi arus-utama dan dianut oleh mayoritas ulama tafsir. Setiap pemikiran yang
berbeda dari mainstream tersebut cenderung dianggap sebagai penyimpangan dari
pemahaman yang sudah mapan tersebut.
Persoalannya, mungkinkah kriteria ortodoksi/rigiditas sebuah tafsir itu
didefinisikan dan dibatasi? Atas dasar apa serta mengapa sebuah teori penafsiran bisa
dikategorikan rigid dan bukan heterodoks/elastis? Para fuqahâ belum menggunakan
konsep Maqâshid penafsiran? Bagaimana mungkin kita membatasi sebuah teritori
banyak orang, dengan pendapat masing-masing yang berbeda-beda, ingin dianggap
sebagai bagian darinya?
Berhadapan dengan problem-problem di atas, penelitian ini meyakini bahwa
adalah mungkin untuk membatasi dan mendefinisikan struktur dasar penafsiran yang
rigid seperti pembatasan terhadap ortodoksi Sunni yang dilakukan oleh Norman
Calder misalnya, dalam artikelnya, “The Limits of Islamic Orthodoxy”.29
Hanya saja, mesti diupayakan bahwa pembatasan itu, pertama; bersifat general
dan elastis; “general” dalam arti bahwa ia dituntut untuk mencari prinsip-prinsip yang
relatif permanen dan tidak berubah dari masa ke masa; “elastis” dalam arti bahwa ia
tidak dirumuskan berdasarkan asumsi yang rigid bahwa ortodoksi dibangun sekali
dan untuk selamanya serta tidak pula berpretensi untuk menengahi atau mereduksi
perdebatan-perdebatan yang mengemuka dalam kajian tafsir sepanjang beberapa abad
lamanya. Kedua; pembatasan itu juga diusahakan untuk lebih bersifat sosiologis
daripada normatif. Artinya, ia digunakan sekedar untuk menjawab pertanyaan
mengapa sebuah teori atau pandangan dalam tafsir diterima oleh komunitas mufassir
sementara teori atau pandangan lain ditolak.
Dengan cara yang sama, kriteria elastisitas tersebut berfungsi menjadi basis
untuk menganalisa mengapa Ibnu ’Âsyûr dalam hal ini penting. Apresiasi terhadap
karya dengan cara proporsional dari sudut pandang sebuah tafsir yang elastis,
sementara di sisi lain, pendapat-pendapatnya juga digunakan untuk mendukung dan

29
Norman Calder, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, dalam Farhad Daftary [ed.]. Intellectual
Traditions in Islam (London: I.B. Tauris, 2000), hal. 66-86.
29

menjustifikasi penafsiran yang rigid. Ketiga; demi menghindari simplifikasi yang


berlebihan, upaya penilaian terhadap metode tafsir Ibnu ’Âsyur akan dilakukan
kepada masing-masing bagiannya untuk menghasilkan kesimpulan bahwa, prinsip-
prinsip Maqâshid dalam tafsir Ibn ’Âsyur bertentangan atau tidak sesuai dengan
struktur ortodoksi/penafsiran yang rigid.
Norman Calder menambahkan; dalam penelitian tidak ada satu pun karya di
bidang tafsir yang bisa dianggap memberi kata akhir bagi apa yang disebut ortodoksi
/rigiditas penafsiran. Karena itu, penelitian ini tidak mencoba melacak rigiditas tafsir
melalui pandangan atau karya seorang ulama tertentu, melainkan melalui pembatasan
terhadap struktur dasar ortodoksi, dari mana unsur-unsur deviasi dari rigiditas itu bisa
dinilai.30
Bertolak dari asumsi tersebut, penelitian ini juga memilih untuk tidak terlalu
memusatkan perhatiannya kepada relasi antara rigiditas penafsiran dan elastisitas
tafsir, melainkan kepada proses diskursif yang berlangsung di antara para ulama’
tafsir. Dan karena belum ada satu pun literatur yang menguraikan struktur dasar
rigiditas dalam tafsir secara utuh dan sistematis, maka struktur tersebut akan digali,
terutama, dari literatur-literatur tafsir dan ‘ulûm al-Qur`ân, berdasarkan kerangka
teori yang akan diuraikan pada bagian mendatang.31
Sebuah penafsiran rigid agak sulit dibatasi, karenanya penelitian ini memilih
untuk mendefinisikan rigiditas dengan memotret perdebatan para teolog kelompok-
kelompok Syi‘ah, Muktazilah, dan Khawârij. Pendekatan semacam ini dilakukan juga
oleh, misalnya, Wael B. Hallaq dalam karyanya, A History of Islamic Legal Theories:
An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh —yang dimaksudnya dengan “Sunni Usûl al-

30
Norman Calder, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, hal. 69-71.
31
Literatur-literatur tafsir dan ‘Ulûm al-Qur`ân juga meliputi karya-karya tentang
“heresiografi”, perdebatan, serta tipologi tafsir (seperti al-Ittijâhât al-Munharifah fî Tafsîr al-Qur`ân
al-Karîm karya al-Dzahabi, Ikhtilaf al-Mufassirîn: Asbâbuhû wa Dhawâbituhû, Madzâhib al-
Mufassirîn, dan lain-lain), serta karya-karya tentang kaidah dan aturan tafsir (seperti al-Qawâ‘id al-
Hisân li Tafsîr al-Qur`ân, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû, dan lain-lain).
30

Fiqh” adalah ushûl fiqh yang dikembangkan oleh sebuah kelompok mayoritas
(Sunni) di luar Syi‘ah.32
Sering dikatakan bahwa upaya memahami Al-Qur’ân sebatas kemampuan
manusia (tafsir) terus berkembang, dan klaim atas otoritas tafsir sampai hari ini masih
terbuka. Hanya saja prasyarat bagi mufasir sebelum menafsirkan al-Qur’ân
diperlukan kematangan pemahaman, dasar-dasar ilmu yang berkaitan dengan
Maqâshid Al-Qur’ân secara komprehensif merupakan suatu kelaziman, disamping
kaidah-kaidah penafsiran dan tujuannya harus dikuasai. Konteks merupakan bagian
yang tidak dapat ditinggalkan guna mewujudkan elaborasi dan elastisitas makna
secara komprehensif. Konsep dan metode Maqâshid yang ditawarkan dalam
penelitian ini diyakini penulis mampu menjawab problematika tersebut.33
Disiplin ilmu-ilmu tafsir sudah dimulai pada zaman Rasulullah, kemudian baru
pada akhir abad kedua Hijriah,34 dan mulai bermunculan tulisan-tulisan yang
mengarah kepada perumusan kaidah-kaidah tafsir al-Qur`ân dalam bentuknya yang
sederhana, seperti al-Asybah wa al-Nazhâ`ir fî al-Qur`ân al-Karîm, karya Muqâtil
ibn Sulayman (w. 150 H.); Ma‘ânî al-Qur`ân, karya al-Farrâ`(w. 207 H.); serta Majâz
al-Qur`ân, karya Abu ‘Ubaydah Ma‘mar ibn al-Mutsannâ (w. 215 H.).35 Tetapi orang

32
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, hal. 7
33
Disinyalir oleh Mahmud Syahatah bahwa Rasyîd Ridhâ (murid ‘Abduh dan juga guru dari
Ibn ‘âsyur) menggunakan Maqâshid al-Qur’an dalam penafsiran sebagaimana kedua gurunya al-
Afghâni dan Muhammad ‘Abduh, Lihat Abdullah Mahmud Syahatah, dalam karyanya manhaj al-
Imâm Muhammad Abduh fi tafsir al-Qur’ân al-karim (Kairo:al Majlis al a’lâli Ri’âyah alfunûn wal
adab wa al- Ulûm al Ijtimâ;iyyah 1963, hal. 33. dan karyanya yang berjudul ahdâf kulli sûrah wa
maqâsiduhâ fî al-Qur’ân al Karîm, (Mesir; Haiah al-Mishriyyah, 1986), hal. 93-94. dalam buku yang
terakhir yang disebut Mahmud Syahatah mulai menggunakan Istilah untuk tujuan-tujuan pokok Al-
Qur’ân antara lain Maqâshid, ahdâf, fikrah ‘Ammah mabâdi’, yang selanjutnya ia lebih cenderung
memakai istilah ahdâf sebagaimana judul bukunya.
34
‘Abid al-Jâbiri, Bunyâh al-‘Aql al-‘Arâbi, hal. 16. lihat juga Khalid ibn ‘Utsman al-Sabt,
Qawâ‘id al-Tafsîr Jam‘ân wa Dirâsatan (Kairo: Dar Ibn ‘Affan, 1421 H.), hal. 42; dan Khalid ‘Abd
al-Rahman al-‘Akk, Ushûl al-Tafsîr wa Qâwa‘iduhu, (Beirut: Dar al-Nafais, cet. 2, 1986), hal. 32-33.
35
Al-Jâbiri, Bunyâh al-‘Aql al-‘Arâbi, hal. 16-17. Dengan karyanya di atas, Muqatil ibn
Sulayman dianggap sebagai salah seorang yang paling awal menulis karya di bidang ‘ulûm Al Qur'ân.
Ulama-ulama belakangan, seperti al-Zarkasyi dan al-Suyuti, mengutip banyak hal dari karyanya itu.
Lihat ‘Abdullah Mahmud Syahatah, “Muqâtil ibn Sulayman: Dirâsah ‘an al-Mu`allif” dalam Muqatil
31

yang dianggap berperan paling penting dalam meletakkan pondasi bagi perumusan
kaidah-kaidah tafsir al-Qur`ân adalah al-Syafi‘i (w. 204 H.) melalui karyanya, al-
Risâlah.36
Luay Shâfiy mengadaptasi pandangan Syaikh Mahdi Syamsuddin sebagaimana
dipaparkan pertanyaan; bagaimana agar Al-Qur’ân (sebagai wahyu langit) membumi.
Luay Shafiy menggunakan pendekatan dua metodologi yang di pandang saling
melengkapi guna menjawab pertanyaan diatas. Pertama; metode istinbath (deduksi)
yang dibangun oleh Imam Al-Syafi’I (w.204 H) yang selama ini digunakan dalam
perkembangan metode Ijtihad dalam Ushul fiqh dan fiqh, metode ini merupakan
“metodologi nushûshiyyah” yang formulasi hukumnya berkembang seiring dengan
peradaban zaman dan keilmuan umat bertumpu pada rasionalitas (akal), didasari pada
perspektif Al-Qur’ân (dalil naqli) secara berangsur-angsur menghantarkan pada
pandangan (kaidah-kaidah) para Fuqahâ’, yang jika ditarik pada titik ekstrem dapat
berimplikasinya pada penafsiran rigid dan kemudian menghasilkan konsep hukum
yang kaku. Kedua; ia mengemukakan metode qiyâs-nya dari pandangan partikular
menuju pada pandangan general (al-intiqâl min al-nadhri juzî’iy ilâ nadhri al-kulliy)
dengan formulasi Maqâshid Al-Qur’ân untuk mencapai elaborasi dan elastisitas
makna teks, selanjutnya pemahaman metode ini biasanya digunakan oleh mujtahid.37

ibn Sulayman, Al-Asybah wa al-Nazhâ`ir fî al-Qur`ân al-Karîm (Kairo: Al-Hay`ah al-Misriyyah al-
‘Ammah li al-Kitab, cet. 2, 1994), hal. 77.
36
Khalid Al-‘Akk, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû, hal. 35. Khalid ibn ‘Utsman al-Sabt
menambahkan Ahkâm al-Qur`ân sebagai karya lain al-Syafi‘i yang memuat kaidah-kaidah interpretasi
al-Qur`an. Lihat Khalid al-Sabt, Qawâ‘id al-Tafsîr, hal. 42. Al-Jâbiri bahkan menyebut al-Syafi‘i
dengan al-Risâlah-nya sebagai “peletak pertama aturan-aturan tafsir al-khitâb al-bayâni dan perintis
terbesar (al-musyarri‘ al-akbar) bagi nalar Arab.” Lihat al-Jâbiri, Bunyâh al-‘Aql al-‘Arâbî, hal. 17.
37
Luay Shofiy, Kinerja akal, min al- nadhrâh tajzi'iyyah ilâ al- Ru'yâh al-Takâmuliyyah (dari
yang partikular menuju yang general), Dar el Fikr, Damaskus, 1419 H / 1998 M, hal. 195. lihat juga,
Hammadi al-‘Ubaydi, Al-Syâtibî wa Maqâshid al-Syarî’ah (Tripoli: Kulliyyah al-Da‘wah al-
Islâmiyyah, 1992), hal. 12-13.
32

Norman Calder menyatakan,38 bahwa metode yang digunakan seorang mufassir


dapat dianggap lebih penting dari produk tafsir yang dihasilkan, karena perbedaa
interpretasi tersebut lahir terutama akibat perbedaan metode yang digunakan oleh
masing-masing mufassir.39 Penjelasan diatas dimaksudkan untuk membangun
sebagian teori disiplin keilmuan yang berkaitan dengan 'Ulûm Al-Qur’ân dan 'Ulûm
al-Tafsir. Kajian terhadap keduanya berbeda, namun saling terkait satu sama lain,
karena muara keduanya sama yakni tujuan-tujuan ideal (Maqâshid syarî’ah)
diturunkannya syarî’ah, yaitu kemaslahatan kehidupan umat manusia duniawi dan
ukhrawi (lil ‘Âjil wa al-Âjil).40
Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr pakar tafsir dan Mufti berkebangsaan Tunisia
bermadzhab Maliki al-Asy’ari, lahir di Tunis pada tahun 1296 H / 1878 M, Ia
mengelaborasi pandangan Maqâshid dari penggagas sebelumnya, kemudian
memberikan corak nuansa tersendiri dengan mendasarkan prinsip-prinsip tafsirnya
yang tertuang panjang lebar dalam mukaddimah penafsirannya,41 hal ini disinyalir
oleh Ahmad Raisuny sebagai penggagas ilmu Maqâshid al-Syarî’ah, apresiasi
Raisuny terhadap Ibn ‘Âsyûr terlihat dengan menyematkan gelar penghormatan
[sebutan] kepadanya sebagai Al-Muâllim al-Tsâni.42

38
Norman Calder seperti yang dikutip oleh Nasr Hamid Abu Zaid dalam disertasinya, kemudian
Yusuf Rahman menganalisa melalui theory metode yang digunakan Nasr Hamid, ditulis bahwa
“Kualitas-kualitas yang membedakan mufassir satu dengan lainnya terletak pada kesimpulan mereka
tentang makna teks al-Qur`an, melainkan pada bagaimana mereka mengembangkan dan menunjukkan
teknik-teknik yang menandai keterlibatan serta penguasaan mereka terhadap sebuah disiplin literer.”
Lihat Norman Calder, “Tafsir from Tabari to Ibn Kathir: Problems in the description of a genre,
illustrated with reference to the story of Abraham”, dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader A. Shareef
[ed.], Approaches to the Qur’ân (London dan New York: Routledge, 1993), hal. 106.
39
Yusuf Rahman, “The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Abû Zayd: The Analytical Study
of His Method of Interpreting the Qur’an” (Disertasi pada Institute of Islamic Studies, McGill
University, 2001), hal. 105-106.
40
Lihat lebih lanjut dalam tulisan Ahmad Al-Raisyûni, Nazhariyyah al-Maqâshid ind al-Imâm
al-Syâtibi cet IV th 1995 hal 255.
41
‘Abdul Qâdir Muhammad Shâleh " Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘ashri al-Hadîts" , Cet
ke-1; hal. 541, Dar-al Ma’rifah Libanon 2003.
42
Ahmad Al Raisyûni, Nazhariyyah al Maqâshid ind al-Imâm al-Syâtibi, cet IV th 1995 hal.
335-341
33

Ismaîl Hasani dalam tesisnya dengan judul Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind


Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, secara rinci mengeksplorasi gagasan pendasaran ‘Ilm
Maqâshid. Ia menekankan akan urgensi dari ilmu Maqâshid al-Syarî’ah sebagai
proyek ilmiah (masyrû’ ‘ilmiy) yang bertujuan (yataghayyan) membuka jalan/kran
pemahaman tentang syari’at berdasarkan atas dasar-dasar tujuan Maqâshid (ushûl
maqâshidiyyah), merupakan pengejawantahan suatu korelasi pendekatan metode
kajian ilmiah dengan ketauhidan (al-taqrîb bayna al-Madârik al-‘ilmiyyah wa al-
tawhîd) dalam gambaran pandangan para Fuqahâ’ (fî al-tashawwurât al-Nazhariyyah
li al-Fuqahâ’).43
‘Abdul Ghaffâr ‘Abdul Rahîm mengelompokkan Ibn ‘Âsyûr dalam Abnâ
madrâsâh ‘Abduh, menurutnya corak pemikirannya dapat dikatakan sejalan dengan
Muhammad ‘Abduh [dengan model berbeda/’alâ namtin Jadîd], menurutnya Ibn
‘Asyûr telah meringkas pendapat dari mufassir klasik dan pandangan pakar tafsir
modern (jama’a fîhi khulâshah Ârâ’i al- Sâbiqîn wa zubdatu afkâri al-Mu’âsirîn)
dituangkannya dalam penafsiran dengan gaya bahasa sastra (uslûb adabiy) dan
keindahan susunannya (wa taqsîm ‘ala badî’) semangat dalam pembumian Al Qur’ân
sebagai petunjuk umat manusia tercurahkan dalam tafsirnya secara komprehensif,
namun disisi lain penulis juga menemukan perbedaan-perbedaan yang mendasar, hal
ini akan penulis eksporasi dalam bab IV.44
Formulasi Maqâshid dalam penafsiran yang ditawarkan Ibn ‘Âsyûr sejatinya
memiliki kesamaan dengan apa yang ditulis oleh Rasyîd Ridhâ dalam Al-Wahyu al-

43
Lihat Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyat al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, (al Ma'had Al-‘Â'limiy
lil fikri al Islamiy, Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 113.
44
Abdul Ghaffâr, Abdurrahîm, Al-Imâm Muhammad 'Abduh wa mânhâjuhu fî al-tafsîr, Mesir:
Al markaz Al Arâbi li ats tsaqâfah wal ulûm, 1980, hlm 354-359. Lihat corak penafsiran Ibnu Asyur
dalam tafsirnya al-Tahrîr wa al-Tanwîr juz 1 hal. 222. Bandingkan dengan apa yang ditulis oleh
Abdullah Mahmud Syahatah dalam karyanya manhaj al-Imam Muhammad ‘Abduh fi tafsîr al-Qur’ân
al-Karîm (Kairo:al Majlis al a’lâli Ri’âyah alfunûn wal adab wa al- Ulûm al Ijtimâ;iyyah 1963, hal. 33.
dan karyanya yang berjudul ahdâf kulli sûrah wa maqâsiduhâ fî al-Qur’ân al Karîm, (Mesir; Haiah al-
Mishriyyah, 1986), hal. 93-94.
34

Muhammady, dimana dia merinci pokok pokok yang menjadi misi Al-Qur’ân itu
sendiri. Dan formulasi ini yang kemudian dielaborasi oleh Ibn ‘Âsyûr.45
Selain gagasan metodologis yang ditawarkan oleh Ibn ‘Âsyûr dalam kitab
Maqâshid syarî’ah al-Islâmiyyah, pandangannya juga banyak berbeda dengan
formulasi yang dibangun penggagas sebelumnya al-Syâtibî, disisi lain Thâhir Ibn
‘Âsyûr memiliki karya tafsîr yang belum banyak mendapatkan perhatian selayaknya,
kalau kita kelompokkan dengan tipologi yang telah dipetakan Iffat Syarqâwi dalam
corak penafsiran modern,46 yang secara umum maka akan memposisikannya kedalam
tafsir yang bercorak sosial kemasyarakatan (ittijâh ijtihâdi/adab ijtimâ'iy)
sebagaimana corak tafsir al-Manâr karya Muhammad Abduh yang disusun oleh
Muridnya Rasyîd Ridhâ. 47
Dalam telaah penulis seputar Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Ibn ‘Âsyûr
48 49
mengkombinasikan tafsir Riwâyat dan tafsir Dirâyat, yang sejatinya cara ini
hampir dipakai para pakar tafsir sebelumnya; seperti Fakhruddîn Al-Râzi (1209 M)
dalam tafsir al-Kabîr,50 Tafsir Jawâhîr karya Thântâwi Jauharî, Tafsir al-Manâr karya
Muhammad 'Abduh yang ditulis oleh muridnya Rasyîd Ridhâ (1865-1935), yang
45
Râsyid Ridhâ, Al-Wahyu al-Muhammady, [Mesir: Al-Zahrâ lil I’lâm al arâby 1988] hal. 106 -
234
46
Iffat Syarqâwi, Qâdhâya insâniyyah fi ‘âmâl al mufassirin, Mesir: maktabah Syabâb, 1980
hal 80, lihat juga uraian Ali Iyâzi tentang Ibnu ‘Âsyûr dalam al-Mufassirun Hayâtuhum wa
manhajuhum, Mu'assah Thaba'ah wa an Nasyr wizârah al Islâmi, cet-1. hal.240-246.
47
Râsyid Ridhâ, Tafsir Al-Manâr, Kairo-Mesir: 1367 H juz I hal 7, Abd Hâyy Farmawi, al
Bidâyah fi Tafsîr al Maudu'I Kairo, al- Haharah al-arabiah, cet. Ke-2, 1977, hlm 23-24. lihat lebih
lanjut uraian Quraish Shihab dalam Membumikan al-Qur’ân (Mizan, cet XXIX, 2006) hlm 111-123.
juga uraian tentang corak dan ciri-ciri penafsiran 'Abduh dan Rasyîd Ridhâ dalam Rasionalitas al-
Qur'ân (studi kritis atas tafsir al-Manâr), Lentera hati 2006, hlm 24
48
Tafsir Riwayat atau bi al-ma’tsur adalah tafsir yang dikutip dari al Qur’an, Hadits, atsar
sahabat dan tabi’in. Lihat: Muhammad Husain al Zahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Maktabah
Mus’ab bin Umair al Islâmiyah, juz I h.112
49
Tafsir Dirâyat atau bi al-Râ’yi adalah tafsir al Qur’ân yang didasarkan pada ijtihad. Lihat:
Muhammad Husain al Zahabi, al Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz I h.183.
50
Tafsir Mafâtih al Ghayb (al-Kabir) karya al-Imam FakhruddÎn al-Râzi (544 H) tafsir ini
tergolong penafsiran bi al-Ra’y/dirâyah/ma’qul/bi al-ijtihad, tafsir ini mengutamakan penyebutan
hubungan antar surah-surah Al-Qur’ân dan ayat-ayatnya satu sama lain, dengan membubuhkan
pendapat para filosof, ahli ilmu kalam, sesekali menyimpang ke pembahasan tentang ilmu matematika,
filsafat, biologi dan lainnya. Secara global tafsir ar-Razy lebih pantas untuk dikatakan sebagai
ensiklopedia dalam ilmu alam, biologi, dan ilmu-ilmu yang berhubungan secara langsung atau tidak
dengan ilmu tafsir dan semua ilmu yangmenjadi sarana untuk memahaminya (tafsir ‘Ilmi)
35

ketiganya disinyalir mengembangkan tafsir ilmi'.51 Kemudian Ibn ‘Âsyûr mendasari


sumber penafsirannya dengan metode muqârin dan corak filologik (balaghiah) dalam
hal ini penulis menggaris bawahi perbedaannya dengan formulasi tafsir Muhammad
'Abduh sebagaimana dinyatakan oleh Abdul Ghaffâr ‘Abdur Rahîm. Ibn ‘Âsyûr juga
memiliki kekhasan dengan menambahkan formulasi penjelasan pada makna-makna
mufradat (kata demi kata) dalam surah-surah dan ayat-ayat Al-Qur'ân dan
]keterpautan antar keduanya/munâsâbah], serta membatasi dan meneliti ulang dari
yang telah dilakukan sebagian mufassir sebelumnya.52
Kajian ini dilakukan untuk memetakan dan mengkomparasikan metodologi
penafsiran kontemporer. Berangkat dari hipotesis bahwa elaborasi Maqâshid yang
ditawarkan sebagai metodologi penafsiran dirumuskan Thâhir Ibn Âsyûr tidak
menyimpang dari rigiditas tafsir dalam tradisi penafsiran tekstual. Artinya, penelitian
ini meyakini bahwa proses interpretasi al-Qur`ân yang sepenuhnya mengikuti konsep
elaborasi Maqâshid yang kemudian akan menghasilkan pemahaman makna teks
secara lunak.

51
Komentar Golziher dalam penafsiran 'ilmi bahwa; "Al Qur'ân mencakup hal segala hakikat
ilmiah yang diungkapkan oleh pendapat-pendapat kontemporer (pada masanya), terutama pada
bidang filsafat dan sosiologi" lihat mazhâhib al tafsir al Islamiy terj.dalam bahasa arab oleh 'Abd
Mun'im al Najjâr, al Sunnah Muhammadiyyah, Kairo, 1955, h. 375. lebih lanjut lihat al-Syâtibi dengan
komentarnya tentang tafsir ilmiy, muwâfaqât,(Dar al Ma'rifah, Beirut t.th.) Jilid 2 hal. 80-2. dalam
penafsiran ilmiy Ibnu Taimiyah juga mengomentari tafsir Ar-Râzi dengan mengatakan mengandung
segala sesuatu kecuali tafsir itu sendiri. Kemudian belakangan komentar Ibnu Taimiyyah tersebut
diulangi oleh Manna' Al Qatthan yang dinisbatkan pada karya Thanthâwi Jauhari. Lihat dalam
Mabâhits fi Ulûm al-Qur’ân Mannâ’ Khalil al-Qaththân (Studi ilmu-ilmu al-Qur’ân), al-mansyûrat al-
‘ashr al-hadits) cet. 3 1973
52
Muhammad Thâhir Ibnu ‘Âsyûr “Muqâddimah al-Tâhrîr wa al-Tanwîr al-râbi’ah” hal. 8-9
Dar-el Tunisiyah linnasar. T. th. ditulis :
‫ﻭﱂ ﺃﻏﺎﺩﺭﺳﻮﺭﺓ ﺇﻻ ﺑﻴﻨﺖ ﻣﺎﺃﺣﻴﻂ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺃﻏﺮﺍﺿﻬﺎ ﻟﺌﻼ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻨﺎﻇﺮ ﰱ ﺗﻔﺴﲑ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻣﻘﺼﻮﺭﹰﺍ ﻋﻠﻰ ﺑﻴﺎﻥ ﻣﻔﺮﺩﺍﺗﻪ ﲨﻠﺔﻛﺄﻬﻧﺎ ﻓﻘﺮ ﻣﺘﻔﺮﻗﺔ‬
‫ﻧﺼﺮﻓﻪ ﻋﻦ ﺭﻭﻋﺔ ﺍﳒﺴﺎﻣﻪ ﻭﲢﺠﺐ ﻋﻨﻪ ﺭﻭﺍﺋﻊ ﲨﺎﳍﺰ ﻭﺍﻫﺘﻤﻤﺖ ﺑﺘﺒﻴﲔ ﻣﻌﺎﱐ ﺍﳌﻔﺮﺩﺍﺕ ﰲ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﺑﻀﺒﻂ ﻭﲢﻘﻴﻖ ﳑﺎ ﺧﻠﺖ ﻋﻦ ﺿﺒﻂ ﻛﺜﲑ‬
..............‫ﻣﻨﻪ ﻗﻮﺍﻣﻴﺲ ﺍﻟﻠﻐﺔ‬
"saya tidak akan pernah meninggalkan sebuah surah sebelum menyingkap dan menjelaskan
maksud ayat sampai jelas dan rinci sehingga pembaca/pemerhati (tafsir) tidak mendapati tafsir Al-
Qur’ân yang terbatas pada penjelasan makna-makna per kalimat dan makna umum. seakan-akan
sebagai kesatuan yang terpisah dan tidak lagi ditemukan keserasian antar surah dan ayat sehingga
keindahan al-Qur’ân termahjub. Saya lebih memfokuskan orang lain dari kamus-kamus bahasa.........."
36

Lebih jauh lagi, penelitian ini juga menduga bahwa nuansa perbedaan
interpretasi dan cara pandang al-Syâtibi dan Ibn ‘Âsyûr antara keduanya berbeda.
Kompleksitas problematika yang dihadapi semakin berkembang, ia tidak hanya
membutuhkan reformulasi metode dan cara pandang terhadap teks secara
proporsional, relevansi penafsiran sesuai perkembangan zaman harus dikawal dengan
keilmuan dan penelitian secara berkelanjutan. Bagaimanapun juga al-Syâtibi
dilahirkan lebih dulu, tentunya pandangannya sangatlah dominan dalam
mempengaruhi pemikiran Ulama’ dan Mufassir setelahnya, terbukti penelitian yang
banyak dilakukan pakar ushûl mengedepankan pokok-pokok pikiran al-Syâtibi.
Berikut contoh penafsiran Ibn ‘Âsyûr dalam kitab tafsirnya Al-Tâhrîr wa al-
Tanwîr : Dalam Firman Allah (QS. Al-Baqarah [2]:43);
‫ﻦ‬
َ ‫وَأﻗِﻴ ُﻤﻮْاﻟﺼﱠﻼة وَﺁﺗُﻮاﻟﺰﱠآﺎة وَا ْر َآ ُﻌﻮْا ﻡ َﻊ اﻟﺮﱠا ِآ ِﻌ ْﻴ‬.....
yang artinya kurang lebih; "Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah
kepada-Ku bersama orang -orang yang ruku.” Adalah perintah melakukan syiar
Islam setelah perintah memeluk akidah Islam.
Jadi, ayat "Dan berimanlah (kamu: bani Israil) pada apa yang saya turunkan
.....([2] :41) maksudnya tidak lain adalah Iman kepada Nabi Muhammad
shallawwâhu ‘alaih wasallam juga kepada perantara wahyu dan tujuannya. Yang
menjadi pengantarnya adalah ayat; “Dan ingatlah nikmatku..... .([2]:40), sampai ayat
.....maka takutlah kepadaku ([2]:48), yang sementara targetnya (ghâyah) adalah ayat
”Dan berimanlah pada apa yang saya turunkan karena membenarkan apa yang
bersamamu. Kemudian tujuannya adalah ayat dirikanlah shalat dan tunaikanlah
zakat ([2]:43).
Dibalik itu juga terdapat larangan dari perbuatan merusak yang dan
menghalangi dari hal-hal yang telah diperintahkan, sesuai dengan bentuk
37

perintahnya.53 Firman Allah," ‫ " وَأﻗِﻴ ُﻤﻮْاﻟ ﺼﱠﻼة‬adalah perintah pada pondasi Islam yang
paling agung setelah perintah Iman dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Dan sebaliknya (ta’ridl) sindiran kepada orang-orang Munafik, diterangkan
bahwasannya iman adalah perjanjian primordial (‘ahdun qalbiyyun) antara (hamba
dengan Tuhannya), indikator perjanjian tersebut dengan ucapan (lâ yadullu ‘alaihi
illa al-nutqa). Ucapan lisan (iman) sesuatu yang mudah. Ia bisa saja diucapkan walau
hati tidak membenarkannya, sebagaimana halnya orang-orang munafik yang
dilukiskan oleh ayat 8 pada surah ini. Nah untuk membuktikan kebenaran ucapan itu
mereka dituntut agar melaksanakan shalat, karena shalat merupakan aktivitas yang
menunjukkan keagungan kepada Allah semata, dan sujud kepada-Nya merupakan
bukti pengingkaran terhadap berhala-berhala. 54

B. Permasalahan
1. Identifikasi masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,
permasalahan yang muncul dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1) Dimanakah perbedaan formulasi Maqâshid al-syari’ah Ibn ‘Âsyûr dan al-
Syâtibi?.
2) Sejauh mana Urgensi Maqâshid al-Qur’ân sebagai metode dalam penafsiran
al-Qur’ân?

53
(QS. Al-Baqarah [2]:40-48), lihat lebih lanjut penafsiran ayat ini dalam al-Tâhrir wa al-
tânwîr hlm 472-4
54
Lihat Ibn ‘Âsyûr al-Tahrir wa al-Tanwîr (QS. Al-Baqarah [2]:40-48), vol. 1 hal. 472-4, lihat
juga M. Qurasih Shihab dalam, Tafsir al-Misbâh, cet-1 hal.171-172. lihat juga redaksi penafsiran
Muhammad ‘Abduh dalam tafsir al-Manar yang menafsirkan setelah ajakan iman yakin kepada bani
isrâîl mereka diminta untuk menunaikanshalat dan membayar zakat sebagai bentuk solidaritas
kekeluargaan dan kemaslahatan diantara mereka (Muwâsâh l’iyâlihi wa musâ’adah’alâ mashâlihihim
allatî hiya malâku mashlahatihi) bagi ‘Abduh ketiga perintah diatas tertata rapi secara hirarkis;
menunaikan shalat sebagai berntuk pertama yang merupakan rûhul ‘ibadah dan ujian keikhlasan dalam
mengerjakannya, kemudian membayar zakat sebagai bentuk penyucian diri dan kekuatan iman,
berikutnya ruku’ bersama orang-orang yang ruku’ sebagai gambaran (surâh) shalat/sebagiannya,
sebagai penghambaan diri secara khusu’ dihadapn keagungan-Nya. Lihat Muhammad Abduh dengan
ta’lif Râsyid Ridhâ al-Tafsîr al-Manâr (Huqûq thaba’ah wa al-tarjamah mahfûdhah liwaratsatihi/ Dâr
al-Manâr 1948/1366 H) cet. 2, hal. 294.
38

3) Sinergikah prinsip tafsir dan teori Maqâshid Ibn ‘Âsyûr dengan


penafsirannya?
4) Bagaimana respon akademik terhadap teori Maqâshid dan prinsip-prinsip
tafsir yang dirumuskan Ibn ‘Âsyûr?

2. Batasan Masalah
Dari identifikasi permasalahan diatas, dalam penelitian ini penulis memusatkan
perhatiannya pada poin 1, 2, dan 3. Penelitian ini berupaya menguraikan teori
Maqâshid dan prinsip-prinsip tafsir Ibn ‘Âsyûr secara utuh, kemudian
membandingkannya dengan mufassir sebelum dan pada masanya, untuk melakukan
penilaian terhadap penafsiran Ibn ‘Âsyûr berdasarkan komparasi tersebut. Hasil
penilaian itu akan dibawa ke dalam konteks yang lebih luas untuk melakukan analisis
terhadap gagasan Ibn ‘Âsyûr dalam dua perspektif yang berbeda.

3. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dapat dirumuskan;
1) Bagaimana konsep pendasaran ‘ilm Maqâshid perspektif Ibn ‘Âsyûr?.
2) Urgensi Maqâshid ‘al-Qur’ân dalam penafsiran Ibn ‘Asyur.

C. Survei Literatur/Penelitian terdahulu yang relevan


Salah satu hal yang mendorong penulis untuk memilih judul diatas adalah,
bahwa kajian Maqâshid selama ini masih berputar pada kaidah-kaidah ushul fiqh dan
Syari’ah. Pemetaaan yang dilakukan Ibn Asyur yaitu mendasarkan‘Ilm Maqâshid al-
syarî’ah. Adapun prinsip-prinsip penafsirannya diintegrasikan secara integral dengan
gagasan Maqashid-nya.
Abdullah Muhammad Syahâtah, Ziyâd Khâlil Muhammad al Dhaghâmin,
Muhammad Husain Al-Dzahabi, Muhammad ‘Ali Iyâzi, ‘Abdul Hayyi al-Farmâwi,
Iffat Syarqâwi dan ‘Abdur Ghaffâr Abdur Rahîm, mereka menyimpulkan apa yang
dilakukan Ibn Âsyûr mempunyai kesamaan dengan penafsiran yang dilakukan oleh
39

Muhammad Abduh dan Sayyid Rasyîd Ridhâ dalam al-Manâr, walaupun secara
eksplisit sebagian dari mereka tidak mencantumkan hal tersebut dan sebagian yang
lain mencantumkannya.55
Karya (Thesis) Ismaîl Hasani Nazhâriyyah al-Maqâshid ‘ind al-Imâm
Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr (the International Institute of Islamic Thought)
Herndo-Virginia U.S.A), dapat mewakili sumber primer karena dia membahas
panjang lebar tentang formulasi dan pendasaran ilmu Maqâshid al-syarî’ah. Pada
percetakan yang sama Ahmad Raysûni dalam disertasinya (1995) Nazhâriyyah al
Maqâshid ind al-Imâm al-Syâtibî (the International Institute of Islamic Thought) yang
kemudian dalam telaahnya dan penelitiannya ia menyematkan gelar kepada al-Syâtibî
(w. 790 H) Mu’allim awwal dan Muallim Tsâni (Ibn ‘Âsyûr). Perbedaan pandangan
antara mereka antara lain; formulasi Maqâshid al-syarî’ah al-Syâtibî dibangun di atas
hubungan dialektis antara prinsip-prinsip general (kulliyyât),56 dan unsur-unsur
partikularnya (juz`iyyât). Keduanya harus sama-sama dipertimbangkan karena “siapa
pun yang mengambil unsur-unsur partikular tanpa menghiraukan prinsip general yang
menyatukannya, atau siapa pun yang mengambil prinsip general tanpa
mempertimbangkan unsur-unsur partikularnya, maka ia telah berbuat kesalahan al-

55
Meski mereka Muhammad Husain al-Dzahabi, Muhammad Ali Iyazi, dan ‘Abdul Hayy al-
Farmawi tidak mencantumkan secara eksplisit itilah Maqâshid al-Qur’ân di dalam karyanya, namun
mereka menyebutkan salah satu unsur penting dalam corak penafsiran madrasah Muhammad ‘Abduh
secara umum dan penafsiran yang dilakukan Sayyid Râsyid Ridhâ secara khusus yakni unsur
Maqâshid al-âyah,lihat Husain al-Dzahabi, al-tafsir, vol.2, hal. 401; lihat juga, ‘Abdul Hayyi al-
Farmâwi dalam al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Mawdhû’i (t.th 1977) cet. Ke-2 hal. 41; lihat juga
Muhammad ‘Ali Ayâzi, al- Mufassirûn Hayâtuhum wa Manâhijuhum (Thehran; Mu’assasah al-
Thaba’ah), hal. 49.
56
Kalimat “kullîy” pada umumnya diterjemahkan menjadi “general” atau “universal”. Penulis
mencoba menilik artikel Hallaq yang berjudul “The Primacy of the Qur`an in Shatibi’s Legal Theory”.
Pada sebuah kasus, Hallaq menerjemahkan “kulliyyat” menjadi “general foundations”. Sementara di
tempat lain, Hallaq menerjemahkan “Ushûl kulliyyah” menjadi “universal principles”. Bahkan dia
juga tercatat menggunakan kedua kata itu secara bersama-sama seperti tampak dalam pernyataannya,
“…lay down the most general and universal legal principles….” Lihat Hallaq, “The Primacy of the
Qur`an in Shatibi’s Legal Theory”, hal. 75-76. Dalam penelitian ini, padanan kata yang dipilih adalah
“general”, bukan “universal”, karena padanan pertama itu lebih tepat untuk dilawankan dengan
“partikular” sebagai padanan kata “juz`i”. Lihat Cambridge Advanced Learner’s Dictionary on CD-
ROM, versi 1.0 (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), entri “general”.
40

Syâtibî sebagaimana disebut ‘Abid al-Jâbiri sebagai penyempurna kembali dasar-


dasar ilmu ushûl (‘Iâdah Ta’shîl al-Ushûl).”57
Perbedaan dan urgensi pandangan Ibn ‘Âsyûr dari pendahulunya terkait dengan
problematika (Isykâl al-qitha’u wa al-dzann fî ‘ilm al-ushûl) esensi dari konsep dan
kajian yang ditawarkan Ibn Âsyûr ini sejajar/mirip dengan penelitian mencari konsep
“Tatanan masyarakat Islam yang ideal” (ushûl al-Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islâmi).
Dijelaskan bahwa konsep tersebut bertolak lintas batas pemahaman hukum-
hukum syara’ yang partikular (Tajâwaz al-manhiy tajzî’iy) menuju kepada pandangan
atau prinsip-prinsip general (ru’yah kulliyyah tanzilu al hulûl syar’iyyah) bertumpu
pada kondisi yang amat penting dan dibutuhkan bagi mayoritas umat dan
kemaslahatan manusia (‘Alâ al-waqâ’ii wa al-nawâzil min haits hâlah jamâiyyah
tuhimmu al-ummah) bukan bertumpu pada sebaliknya. Hal ini sejalan dengan gerakan
ijtihad fikih Târikhiyyan.58
Literatur diatas tidak memusatkan dan mengintegrasikan perhatiannya kepada
penafsiran Ibn ‘Âsyûr, sebagaimana yang dilakukan penulis dalam penelitian ini.
Di sisi lain, prinsip-prinsip tafsir mencakup wilayah literatur yang sangat luas.
Hampir seluruh karya tentang tafsir dan ‘ulûm al-Qur`ân mengandung pembahasan
tentang prinsip-prinsip tertentu yang harus dipatuhi dalam melakukan penafsiran al-
Qur`ân. Hanya saja, belakangan muncul karya-karya yang mencoba mengkaji kaidah-
kaidah tafsir secara komprehensif, seperti apa yang ditulis oleh ‘Abd al-Rahmân ibn
Nâsir al-Sa‘di,59 Khalid ‘Abd al-Rahmân al-‘Akk,60 Khâlid ibn ‘Utsman al-Sabt,61

57
al-Syâtibî, Al-Muwâfaqât, vol. 3, hal. 5.
58
Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyat al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 98-114. Lihat juga lebih
lanjut uraian ‘Abd Majid Shaghir, dia murid dari ‘Âbid al-Jâbiri, dalam”al-fikr ushûliy wa isykâliyyah
al-sulthah ilmiyyah fi al-Islam, Beirut Dar al-Muntakhab ‘Arabiy 1994M / 1415H hal. 614.
bandingkan dengan ulasan guru dari ‘Abd Majîd Shaghîr yaitu Muhammad ‘Âbid Jâbiri pandangan al-
Syâtibî mengenai “Ta’sil al-ushûl al-Syarî’ah”, dalam “Bunyah al-‘aql al-‘arabiy” Beirut markaz
dirâsat wahdah al-‘arabiyyah1994 cet. 4 hal. 548.
59
‘Abd al-Rahman ibn Nasir al-Sa‘di, al-Qawâ‘id al-Hisan li Tafsir al-Qur`ân (Riyad:
Maktabah al-Ma‘arif, 1980).
60
Karya Khâlid ‘Abd al-Rahmân al-‘Akk, Ushûl al-Tafsir wa Qawâ‘iduhu (Beirut: Dar al-
Nafa`is, cet. 2, 1986).
41

dan ‘Abd al-Hâdi al-Fadli.62 Berbeda dengan literatur-literatur di atas yang


mengelaborasi prinsip-prinsip tafsir tanpa mengaitkannya dengan tokoh tertentu,
prinsip-prinsip tafsir yang akan diuraikan dalam penelitian ini dibatasi oleh obyek
kajiannya, yaitu pemikiran dan karya-karya Ibn ‘Âsyûr. Selain itu, penelitian ini juga
mencoba membawa konsep tentang prinsip-prinsip tafsir tersebut kepada persoalan-
persoalan yang lebih mendasar, seperti asumsi, pra-anggapan, serta aplikasi
Maqâshid dalam penafsirannya.63
Abdullah Mahmud Syahatah, dalam bukunya ditulis bahwa Rasyîd Ridhâ
(murid ‘Abduh dan juga guru dari Ibn ‘Âsyûr) menggunakan Maqâshid al-Qur’ân
dalam penafsiran sebagaimana kedua gurunya al-Afghâni dan Muhammad ‘Abduh
[1905 M], Lihat Abdullah Mahmud Syahatah, dalam karyanya manhaj al-Imam
Muhammad ‘Abduh fi tafsir al-Qur’ân al-Karîm (Kairo:al Majlis al a’lâli Ri’âyah
alfunûn wal adab wa al- Ulûm al Ijtimâ;iyyah 1963) hal. 33. dan karyanya yang
berjudul Ahdâf kulli sûrah wa Maqâshiduhâ fî al-Qur’ân al Karîm, (Mesir; Haiah al-
Mishriyyah, 1986), hal. 93-94. dalam buku yang terakhir yang disebut Mahmud
Syahatah mulai menggunakan Istilah untuk tujuan-tujuan pokok Al-Qur’ân antara
lain Maqâshid, ahdâf, fikrah ‘Ammah mabâdi’, yang selanjutnya ia lebih cenderung
memakai istilah ahdâf sebagaimana judul bukunya.
Karya Muhammad al-Dhagâmin dalam tulisannya yang berjudul Manhaj al-
Ta’âmul ma’a al-Qur’ân fî fikri al-Syaikh Muhammad Rasyîd Ridhâ, dalam majalah
yang diterbitkan oleh Universitas Kuwait. Ia menekankan bahwa Rasyîd Ridhâ
memberikan perhatian yang sangat besar terhadap Maqâshid al-Qur’ân, bahkan ia
menilai bahwa Rasyîd Ridhâ mewajibkan penggunannya dalam menafsirkan al-
Qur’ân. Karya diatas terkait dengan kajian Maqâshid al-Qur’ân yang dibangun oleh
Rasyid Ridha. Mengingat Ibnu Âsyur adalah murid dari Abduh dan Rasyid Ridhâ

61
Khâlid ibn ‘Utsman al-Sabt, Qawâ‘id al-Tafsir Jam‘an wa Dirâsatan (Kairo: Dar Ibn ‘Affan,
1421 H.).
62
‘Abd al-Hadi al-Fadli, Al-Wasîth fi Qawâ‘id Fahm al-Nushûsh al-Syar‘iyyah (Beirut:
Mu`assasah al-Intisyar al-‘Arabi, 2001).
63
Lihat lebih lanjut pripsip-prinsip tafsir Ibn ‘Âsyûr, Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 39-43.
42

sehingga keterkaitan kajian diantara keduanya mengenai tafsir dan prinsip-prinsip


penafsiran sangatlah erat.
Karya Luay Shofiy, Kinerja akal (I’mâl al-‘Aql) “min al- nazhrah tajzi'iyyah ilâ
al- Ru'yah al-Takâmuliyyah (dari yang partikular menuju yang general), dimana dia
mempunyai pandangan yang mengapresiasi gagasan Ibn ‘Âsyûr tentang Maqâshid al-
syarî’ah. Dengan menggunakan metode qiyâshiyyah yang menurutnya sebagai upaya
untuk memahami nushûs syarî’ah secara integral, dengan menemukan makna yang
tepat kemudian memberikan kesimpulan formulasi hukum-hukum secara
komprehensif.
Karya Thameem Ushama, “ Methodologies of The Qur’anic Exegesis” telah
diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Hasan Basri dengan judul
“Metodologi Tafsir al-Qur’ân, Kajian Kritis, Obyektif Dan Komprehensif” (Jakarta:
Riora Cipta, 2000 M). Dalam buku ini dijelaskan beberapa kekeliruan madzhab-
madzhab penafsiran di abad-abad awal Islam, dan keganjilan-keganjilan yang
terdapat dalam penafsiran al Qur’ân serta syarat-syarat menafsirkan al Qur’ân.
Karya M.Quraisy Shihâb; Tafsir al-Misbâh (Jakarta: Lentera Hati 2000),
Membumikan al-Qur’ân, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
(Bandung: Mizan, 2006), dan “Rasionalitas Al Qur’ân, Studi Kritis atas Tafsir al
Manâr” (Jakarta: Lentera Hati 1428 H/ 2007 M). Tafsir yang bernuansa sosial
kemasyarakatan ini benyak memuat pesan dan keserasian dari pelbagai keterangan
ayat beserta pandangan Ulama’ dan Mufassir baik Klasik maupun kontemporer
seperti Imâm al-Ghazali, Fakhruddin al-Râzî, Abû Hayyân, Ibn Âsyûr, al-Biqâî, dan
masih banyak lagi. Dan kedua buku setelahnya selain mengekplorasi pembumian al-
Qur’ân dengan pelbagai pandangan Ulama yang dirujuk, memaparkan keistimewaan
tafsir al Manâr, serta mengungkap kekurangan-kekurangannya. Khususnya buku yang
kedua. Diantara kekurangan yang mendapat sorotan Quraish Shihab adalah bahwa
Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rasyîd Ridhâ masih belum mampu melepaskan
akidah dan madzhab mereka dalam menafsirkan al-Qur’ân. Asumsi ini diketahui dari
adanya sekian banyak penakwilan tanpa menggunakan alasan yang dianaut mayoritas
43

ulama, hanya dengan dalih bahwa tanpa penakwilan tersebut maka makna yang
dikandung ayat itu tidak dipahami berdasarkan ukuran akal penafsirannya, bukan
berdasarkan ukuran kekuasaan dan kudrat Allah.
Pada variabel kedua penulis menemukan dua tulisan yang keduanya berbentuk
tesis; pertama penelitian yang dilakukan oleh saudara Ghozi Mubarak tentang
prinsip-prinsip tafsir al-Imam al-Syâtibî dan ortodoksi tafsir Sunni, Penelitian ini
berangkat dari perdebatan mengenai posisi al-Syâtibî , dari sebuah pertanyaan:
apakah, secara sederhana, gagasan-gagasannya bisa digunakan untuk menentang
pandangan serta teori yang telah mapan dalam disiplin tafsir? Pertanyaan tersebut
bersifat kontemporer, dalam arti bahwa ia diajukan untuk merespons penilaian orang
lain di masa modern ini terhadap al-Syâtibî . Uraian tentang prinsip-prinsip tafsir
yang dikemukakan al-Syâtibî serta evaluasi terhadapnya berdasarkan kriteria-kriteria
ortodoksi memperlihatkan bahwa, secara umum, prinsip-prinsip tafsirnya tidak
bertentangan dengan, ortodoksi tafsir dalam tradisi Sunni.
Kedua, Duski. “Metode Penetapan Hukum Islam Menurut al-Syâtibî : Suatu
Kajian tentang Konsep al-Istiqrâ` al-Ma‘nawî”. Disertasi pada Program Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006. dimana dia mengemukakan formulasi
penetapan hokum modern dengan metode yang dikembangkan Syatibi secara integral
dan Komprehensif.
Ketiga, Muh. Nurung “Maqâshid al-Qur’ân menurut Rasyîd Ridha” dalam
Karyanya Al-Wahyu al-Muhammady, seri Disertasi UIN Jakarta 2008, boleh jadi Ibn
‘Âsyûr terinspirasi dari gagasan Rasyîd Ridhâ ini, namun perbedaan diantara
keduanya nampak sekali.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Menguraikan formulasi Maqâshid dan prinsip-prinsip tafsir Ibn ‘Âsyûr.
2. Membuktikan prinsip-prinsip tafsir yang telah dirumuskan Ibn ‘Âsyûr selaras
dengan penafsirannya, sesuai dengan konsep ‘Ilm Maqâshid dan pendasaran
norma-norma/aturan sosial kemasyarakatan Islami dalam karya-karyanya.
44

E. Manfaat/Signifikasi Penelitian
Realisasi penelitian ini akan bermanfaat / signifikan secara teoritis maupun
praktis. Secara teoritis penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut:
a) Menggugah kesadaran terhadap urgensi Maqâshid al-Qur’ân dalam
penafsiran.
b) Membangkitkan dan menstimulasi kepada upaya mengkaji bagian yang
fundamental dari struktur pemikiran dalam disiplin keilmuan tafsir al-
Qur`ân.
c) Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan sebuah pola pandang
alternatif dalam membaca relasi antara rigiditas dan deviasi dalam
kajian-kajian tafsir serta ‘Ulûm al-Qur`ân
Sedangkan secara praktis, penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut:
a) Memberi kontribusi ilmiah dalam disiplin ilmu-ilmu al Qur’ân dan Tafsir
serta kajian ilmu ushul.
b) Memberikan arah bagi penelitian serupa yang lebih intensif dikemudian hari.
Kesinambungan antara penelitian ini dengan yang lain akan dapat
memperkuat formulasi dasar disiplin keilmuan Tafsir khususnya dan
mengelaborasi metodologi kajian ilmiah pada umumnya.

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Sumber Data


Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library research).
Data-data penelitian ini sepenuhnya diperoleh dari bahan-bahan pustaka tertulis yang
berupa buku, laporan hasil penelitian, makalah, jurnal ilmiah, atau literatur-literatur
lain. Sumber data primernya adalah beberapa buku karya Ibn ‘Âsyûr, yaitu Al-Tahrir
wa al-Tanwîr, al-Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Al-Nizhâm al-Ijtimâ’iy, alaisa
shubhu biqarîb dll. Masih banyak karya Ibn ‘Âsyûr yang telah dicetak, namun dari
45

keempat buku ini terletak intisari pemikiran Ibn ‘Âsyûr.64 Sedangkan data-data
sekunder akan digali dari sumber-sumber dalam empat kategori berikut. Pertama,
literatur-literatur tentang Ibn ‘Âsyûr, terutama yang mengkaji pemikirannya tentang
Maqâshid dan corak penafsirannya. Kedua, kajian-kajian tafsir dan ‘ulûm al-Qur`ân
dan problematikanya. Ketiga, karya-karya tentang hukum-hukum Islam. Keempat,
literatur-literatur lain yang relevan, seperti tentang fiqh, usul fiqh, metodologi
penelitian, sejarah Islam, linguistik, ensiklopedi dll.
Dengan data penelitian yang tersebar di banyak literatur, penelitian ini menggunakan
teknik pengumpulan data dokumenter65 atau teknik elisitasi dokumen.66 Dengan teknik
tersebut, setiap keping informasi akan diperlakukan dan bernilai sama untuk
kemudian diklasifikasi, diuji, dan diperbandingkan satu sama lain.

2. Pendekatan Masalah
Karena penelitian ini ingin mengungkap Elaborasi Maqâshid dalam penafsiran
pada karya Ibn ‘Âsyûr, maka digunakan pendekatan struktural dalam kerangka yang
bersifat historis dan komparatif.
Pendekatan struktural (analysis structure) berangkat dari asumsi bahwa suatu
pemikiran merupakan sebuah struktur yang otonom dan dapat dipahami melalui relasi antar
unsur-unsurnya.67 Dengan pendekatan tersebut, karya-karya Ibn ‘Âsyûr akan dipandang
sebagai suatu kesatuan yang utuh dan terstruktur, dengan substruktur-substruktur yang

64
Karya Ibn ‘Âsyûr berporos pada Ulûm al-Islâmiyah, dalam kedua kategori ini terletak ide
besarnya yaitu: tafsir dan Maqâshid al-syarî’ah al-Islâmiyah, lihat dalam Muhammad Thâhir Al-
Maisâwi "Maqâshid al syarî’ah Al Islâmiyah, [Dar al Nafais Urdun, cet-2 2001] hal. 48-77
65
Teknik dokumenter adalah teknik pengumpulan data dari sumber-sumber tertulis. Lihat
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, cet. 12,
2002), hal. 206.
66
Maryaeni, Metode Penelitian Kebudayaan (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hal. 73.
67
Tirto Suwondo, “Analisis Struktural: Salah Satu Pendekatan dalam Penelitian Sastra”, dalam
Jabrohim dan Ari Wulandari [ed.], Metodologi Penelitian Sastra (Yogyakarta: Hanindita, 2001), hal.
54-56. Taufik Abdullah menilai bahwa pendekatan struktural sangat produktif untuk digunakan dalam
kajian teks. Lihat Taufik Abdullah, “Agama Sebagai Kekuatan Sosial (Sebuah Ekskursi di Wilayah
Metodologi Penelitian)”, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim [ed.], Metodologi Penelitian
Agama: Suatu Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana, cet. 2, 2004), hal. 45-46.
46

saling berhubungan, melalui mana Maqâshid dan prinsip-prinsip tafsir yang


dirumuskannya akan dielaborasi dalam penafsirannya.
Pendekatan struktural (analysis structure) dalam penelitian ini diletakkan dalam
kerangka yang bersifat historis dan komparatif_“historis” karena penelitian ini juga
mengkaji kondisi-kondisi psikologis, sosial, politik, dan intelektual yang memengaruhi
pemikiran Ibn ‘Âsyûr, dan “komparatif” karena ia mencoba membandingkan pemikiran
Ibn ‘Âsyûr itu dengan al-Syâtibî seputar Maqâshid dan prinsip-prinsip tafsirnya.
Sedangkan dalam teknik penulisan dan transliterasi, penulis mengacu kepada
buku “ Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi),” karya
Hamid Nasuhi, dan kawan-kawan. ( Jakarta: CeQDA Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, cet.2, 2007).

G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan suatu bentuk tulisan yang sistematis sehingga tampak
adanya gambaran yang jelas, terarah, logis dan saling berhubungan antara bab satu
dengan bab berikutnya, maka tesis ini penulis klasifikasikan menjadi lima bab, yang
terdiri dari satu bab pendahuluan, tiga bab pembahasan dan satu bab kesimpulan.
Bab pertama, merupakan landasan umum penelitian dari tesis ini. Bagian ini
berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi dan
pembatasan masalah, tujuan dan guna dan tujuan penelitian, kajian pustaka, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, penulis akan membangun kerangka teoritis tentang Maqâshid dan
pembacaan al-Qur’an, perspektif salaf dan khalaf. Pandangan kebebasan,
kemaslahatan dan batasannya. Kemudian komparasi pandangan seputar tema
tersebut, dan diakhiri dengan sub bab tentang pandangan sarjana barat seputar
rigiditas dan elastisitas tafsir.
Bab ketiga, dikhususkan pada formulasi Maqâshid dan prinsip-prinsip tafsir Ibn
‘Âsyûr, elaborasi delapan Maqâshid al-’asliyyah dalam penafsiran Ibn ‘Âsyûr, serta
47

pembahasan tentang prinsip-prinsip tafsirnya dalam mukaddimah kitab al-Tahrîr wa


al-Tanwîr.
Bab keempat, penulis mendeskripsikan aplikasi Maqâshid dalam penafsiran
ayat-ayat hukum; khususnya mengenai ibadah; shalat, zakat dan puasa. Kemudian
penilaian dan respon akademik terhadap gagasan Ibn ‘Âsyûr seputar Maqâshid dan
penafsiran al-Qur’ân, Ibn ‘Âsyûr dan ortodoksi penafsiran Al-Qur’ân Kontemporer
diperuntukkan untuk melihat sejauh mana relevansi gagasan Ibn ’Asyur dapat
diterapkan.
Bab kelima, bab penutupan, penulis menulis kesimpulan-kesimpulan dari isi
tesis secara keseluruhan sebagai penegasan jawaban atas permasalahan yang
dikemukakan sebelumnya, disertai dengan saran-saran yang dianggap penting
berkaitan dengan tema ’ilm al-Maqâshid dan prinsip-prinsip penafsiran seputar
interaksi sosial kemasyarakatan.
48

BAB II
MAQÂSHID DAN PEMBACAAN AL-QUR’ÂN

Maqâshid dalam perspektif pakar linguistik seperti Ibn Manzhûr, Fairuz


Âbadî keduanya mensinyalir bahwa kalimat ini merupakan jama’ dari kata maqshad
yang terambil dari kata kerja qashada, yaqshudu, qashdan;68 yang mempunyai arti
lurusnya jalan, merupakan bentuk jamak dari maqshid69 yang berarti: Makân al-
Qashd (arah tujuan; maksud) juga dapat dipahami sebagai keadilan (lihat an-Nahl;
[16:9]).70 Namun yang sering dipakai oleh Fuqahâ’ dan pakar ilmu Ushûl adalah arti
bersandar pada unsur dasar (al-umm) kesengajaan yang berjalan sesuai dengan arah
keinginan yang dicapainya. Seperti pandangan mayoritas mereka yang mengatakan
bahwa Maqâshid terdapat pada hukum pertukaran (al-Tasharrufât).71 Abdul Aziz bin
‘Ali dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ mendefinisikan al-Maqâshid ádalah apa yang
dikehendaki hukum-hukum syara’ [al-murâd min tasyrî’i al-Ahkâm] dengan kata lain
tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh hukum-hukum syara’.72

68
Lihat lebih lanjut makna ini dalam Ibn Manzhûr (Abû Fadl Jamâluddîn Muhammad ibn
Mukrim) (w. 117 H) dalam Lisan al-arab “Dâr Lisân al-Arab” Beirut, jld. 3 hal. 96. bandingkan
dengan Fairuz Âbadî dalam al-Qâmûs al-Muhîth,cet.1, Maktabah ar-Risalah, 1406 H/1986, Mesir hal.
396. terdapat beberapa makna juga yang sering dijadikan sandaran lihat juga Abdul Aziz bin ‘Ali
dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ hal. 19-20. keterangan Ahmad Fayyûmi dalam al-Misbah mu’jam
Arab-arabi (Beirut Maktabah Lubnân, 1990), hal. 192; lihat juga, Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam
(Beirut Dâr al-Masyriq, 1986) cet. Ke-28 hal. 632; lihat juga Hans Whr, a Dictionary of Modern
Written Arabic (Beirut Maktabah Lubnân, 1980), cet. Ke-3 hal. 767.
69
Lihat Ahmad Fayyûmi, al-Misbah hal. 192. lihat juga, Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam
(Beirut Dâr al-Masyriq, 1986) cet. Ke-28 hal. 632; lihat juga Hans Whr, a Dictionary of Modern
Written Arabic (Beirut Maktabah Lubnân, 1980), cet. Ke-3 hal. 767.
70
Lihat Mahmud Yunus, Kamus Arab- Indonesia (Jakarta:Hidakarya, 1990), hal. 344.
71
Lihat lebih lanjut uraian ini dalam Syamsu al-Dîn Abû Abdillah Muhammad bin Abi Bakar
Ibn Qayyim I’lâm al-Mu’awwiqîn ‘an Rabb al-‘âlamîn, tahqîq Abdu Rauf Saîd, Maktabah Kulliyyah
al-Azhariyah 1967, juz 3 hal. 98, lihat juga al-Syâtibî dalam Muwâfaqat fî Ushûl al-Syarî’ah juz 2, Dâr
al-Ma’rifah 1395 H/ 1975 hal. 323.
72
Abdul Azîz bin ‘Ali,‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ hal. 20. Bandingkan dengan al-Maysâwî dalam
Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah, 2001. hal. 90-91.
49

Menurut Abû Hamid al-Ghazâli rahasia (sirr), hati (lubb), dan tujuan
(maqâshid) al-Qur’an adalah menyeru hamba menuju Tuhan-nya yang Maha Kuasa.73
Sedangkan menurut Fârid Wâjidi dalam Tafsirnya, al-Mushhaf al-Mufassar,
Maqâshid al-Qur’ân adalah mendidik manusia dengan didikan yang benar dan
menjadikan mereka manusia-manusia pada tingkat kesempurnaan, dimana
menemukan jati dirinya baik secara lahiriah maupun Batiniah.74
Pengertian yang lebih luas diberikan oleh pengarang Manâhil al-Irfân fî Ulûm
al-Qur’ân Muhammad ‘Abd al-Azhîm al-Zarqâni, menurutnya Allah dalam
menurunkan kitab-Nya (al-Qur’an) sebagai mu’jizat yang Mulia mempunyai tiga
Maqâshid raîsiyyah (tujuan-tujuan pokok): yakni sebagai petunjuk bagi manusia dan
jin, disisi lain sebagai bukti kebenaran risalah Nabi Muhammad saw. serta sebagai
sumber pahala karena membacanya.75
Pembacaan yang dimaksud disini adalah tafsir itu sendiri, yang secara
etimologis merupakan serapan dari bentuk taf’îl kata benda al-fasr76 yaitu kata kerja
fassara – yufassiru dengan arti “keterangan dan ta’wil”77 yang satu-satunya ungkapan
dalam Al-Qur’ân terdapat pada surah al-Furqân (25):33:

73
Abû Hamid al-Ghazâli, Jawâhir al-Qur’ân wa Duraruhu (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1988), cet. Ke-1, hal.11.
74
Lihat Mukaddimah tafsir Muhammad Farid al-Wâjidi, al-Mushhaf al-Mufassar (Kairo:
Mathâbi Dâr al-Sya’b, 1977), hal. 95.
75
Muhammad Abdu al-Azhîm al-Zarqâni dalam karyanya Manâhil al-Irfân fî ulûm al-Qur’ân,
(Kairo:Dâr al-Hadits, 2001), vol.2 hal.104. bandingkan dengan pandangan Ibn ‘Asyûr yang
mengatakan bahwa penafsiran al-Qur’ân memiliki tiga tujuan-tujuan pokok yaitu; pertama sisi Al-
Qur’ân yang meliputi kemaslahatan umum [duniawi dan ukhrawi]; kedua sisi yang menerangkan
generalitas keilmuan [kulliyyât al-‘ulûm] dan intisari kesimpulannya [ma’âqid istinbâtihâ]; ketiga; sisi
al-Qur’an yang sarat dengan filologik [balaghah] yang melekat pada redaksinya. Ismaîl Hasani dalam
Nazhariyyat al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 90-91.
76
Menurut Ibn Manzhûr, kalimat fasr berarti al-bayân yaitu keterangan yang memberikan
penjelasan, sedangkan tafsir dipahami dengan membuka sesuatu yang dimaksud oleh lafadz yang sukar
dipahami, Lisan ’Arab, Jilid 5, hal. 55.
77
Kata ta’wil berasal dari kata kerja awwala kata bendanya ”awl” yang berarti kembali keasal)
yang berarti mengembalikan sesuatu kepada maknanya, lihat Al-Râzy, Muhtar shihhah , hal. 33. lihat
juga Mahmud Yunus, kamus arab-Indonesia (Jakarta- Hidakarya Agung, 1990) hal.316.ada juga yang
berpendapat bahwa ta’wil identik dengan tafsir. Lihat Majid al-Dîn aal-Fairuzzabadi, al-Qâmûs al-
Muhîth (al-Mathba’ah Misriyyah, 1933, jld II, hal. 110
50

∩⊂⊂∪ #·Å¡øs? z|¡ômr&uρ Èd,ysø9$$Î/ y7≈oΨ÷∞Å_ ωÎ) @≅sVyϑÎ/ y7tΡθè?ù'tƒ Ÿωuρ

“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang


ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang
paling baik penjelasannya”.

Sedangkan secara terminologis tafsir adalah penjelasan tentang arti atau


maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufassir). Yang
sementara tujuannya untuk mengklarifikasi sebuah teks. Dalam hal ini, tafsir selain
menjelaskan makna tersirat, Ia juga berfungsi secara simultan mengadaptsikan teks
pada situasi/konteks yang sedang dihadapi seorang Mufassir. Dengan kata lain,
kebanyakan penafsiran tidaklah murni teoritis, namun ia juga mempunyai aspek
praktis utnuk membuat teks dapat diterapkan dalam memantapkan keimanan dan
menjadi pandangan dan petunjuk orang-orang mu’min.78

A. Ibn ’Âsyûr dan Penafsiran kontemporer


Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr adalah seorang reformis dan pembaharu
Tunisia yang hidup pada dua periode perubahan; pertama periode penjajahan Tunis
mulai tahun (1298 H/1881) sampai (1363 H/1956 M) kedua periode Kemerdekaan
Tunis tahun (1956 M-1973 M/1393 H) yang terakhir ini adalah tahun wafatnya,
demikian tulis Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr.79 Ia
lahir disaat gejolak pembaruan dan perubahan terhadap pandangan yang jumud dan
budaya taqlid yang sudah mengakar di seantero dunia khususnya pada generasi di
Timur Tengah, daerah kelahirannya adalah (al-Marsâ/î) sekitar 20 kilo dari Ibukota
Tunisia pada tahun 1879 M/ 1296 H dimana kakek Ibn ‘Âsyûr tinggal. Mulai itulah
Ibn ‘Âsyûr diasuh kakeknya Muhammad al-‘Azîz Bû’attûr, disebut demikian karena
di daerah tempat tinggalnya tersebut dijadikan tempat persinggahan kapal-kapal laut,

78
Al-Zarqâni, Manâhil al-Irfân fî ulûm al-Qur’ân, (Kairo:Dâr al-Hadits, 2001), vol.2 hal.104.
79
Lihat Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyat al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, (al Ma'had Al-‘Â'limiy
lil fikri al Islamiy, Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 75-82. lihat juga al-Mawsû’ah al-‘Arabiyyah
al-‘Âlamiyyah (7357); dan al-Mawsû’ah al-‘Arabiyyah (7/200).
51

kemudian jalan menuju tempat ini sekarang diabadikan dengan nama Syaikh Imâm
Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr.80
Nama asli dari kitab ini adalah “Tahrîr al-Ma’nâ al-Sadîd wa Tanwîr al-‘Aql
al-Jadîd min tafsîr al-Kitâb al-Majîd”, dari judulnya menggambarkan ekspresi
penulis yang berupaya ingin melepaskan makna yang kaku dan mengelaborasinya
pada penafsiran yang elastis, disisi lain membentuk prinsip mainside [pola pikir]
muslim.81 Metodologi penafsiran Ibnu ‘Âsyûr (w.1393H/1973) termasuk memakai
pola narasi pemikiran dalam menerapkan metode (muqârin) perbandingan antara lain;
perbandingan ayat Al-Qur’ân dengan yang lain, kemudian perbandingan ayat Qur’ân
dengan hadits, dan perbandingan mufasir satu dengan yang lainnya. Dalam tafsirnya
nuansa fiqh sangat dominan karenanya, upaya menafsirkan ayat dalam kaitannya
dengan persoalan hukum-hukum Islam banyak dijumpai, tidak heran tafsir ini
tergolong panjang lebar dalam pembahasan, aspek kebahasaan (filologik) juga terlihat
dominan karena penulisnya mahir bahasa juga ahli sastra.82
Pandangan-pandangannya mencerminkan revolusi terhadap taqlid dan
kemandegan berfikir, upaya tersebut dibuktikan dalam karya-karyanya setelah sekian
lama paradigma berfikir dan konsep tatanan masyarakat berperadaban yang selama
ini dipandang hanya sebagai wacana/paradigma dalam angan-angan atau hilang dari
peredaran kehidupan implementatif/praktis kaum Muslim. Ia dianggap sebagai Pioner
Mufassir di zaman modern. Karya tafsirnya al-Tahrîr wa al-Tanwîr dapat
dikelompokkan dalam penafsiran yang didalamnya memuat ringkasan pendapat-

80
Lihat juga dan baca lebih lanjut Ayâd Khâlid Thabbâ’, ‘Ulamâu wa Mufakkirîn Mu’âshirîn,
lanmahâtu min hayâtihim wa ma’rifatu bimu’allafâtihim, (Dâr al-Qalam, Damaskus, cet-1, 2005) hal.
25. Lihat juga karya ‘Abdul Qâdir Muhammad Shâlih dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Ashri al-
Hadîts, menurutnya, Ibn ‘Âsyûr termasuk pakar tafsir umum kontemporer (tafsîr al-‘Âm). Lihat Ismaîl
Hasani, Nazhariyyah hal. 75-82. diadopsi dari al-Shahabiy al-‘Atîq, al-Tafsîr wa al-Maqâshid ind
Syaikh Muhammad Thâhir Ibn ‘Asyûr (Dâr Tûnis al-Sanâbil, 1410 H/1989 M) cet-1 hal. 11.
81
Ibnu ‘Âsyûr al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” hal. 7-8, Lihat Ismaîl Hasani, Nazhariyyah hal. 90-91.
82
Ibnu ‘Âsyûr al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” hal. 7-8, Lihat juga Mani’ Abdul Halim, Prof. Dr.
“Metodologi Tafsir” [terj. Raja Grafindo persada Jakarta 2006] hal. 314-315
52

pendapatnya yang bernuansa Ijtihad dan memperbaharui cakrawala berfikir global


dengan usaha dan upaya elaborasi paradigma penafsiran yang ada selama ini.83
Ia juga merupakan orang pertama yang menafsirkan al-Qur’ân di daerah
(Ifriqiiyah) Tunis, yang digelari pertama kali dengan sebutan Syaikh Islam dan
Syaikh Jâmi’al-A’zham, selanjutnya ia menghidupkan kembali Maqâshid al-Syarî’ah
setelah al-‘Izz ibn ‘Abd al-Salâm (w. 660 H) dan al-Syatibi (w. 790 H), dan
mendasarkan ilmu Maqâshid Syarî’ah Islâmiyah sebagai kajian yang lebih luas dari
(ushul fiqh), sebagai pioner perubahan paradigma pengajaran dan manajemennya,
salah satunya memasukkan kurikulum pengajaran ilmu-ilmu eksakta (ilmu
Kimia,Fisika, al-Jabar dll). Ia menutup mata menghadap Ilahi Rabb di desanya (al
Marsa) dalam umur 94 pada hari Ahad bertepatan dengan 13 Rajab 1393/12 Agustus
1973, kemudian didedikasikan sebagai pioner bangsa Tunis pada abad 1400 Hijriah.84
Beberapa pertanyaan besar yang dapat diajukan sehubungan dengan penafsiran
Al-Qur’ân adalah; mengapa Al-Qur’ân perlu ditafsirkan? Apa hukumnya? Pra syarat
yang dipenuhi seorang mufassir? Untuk dapat menjawab secara tegas perlu
ditegaskan bahwa penafsiran dapat membantu manusia untuk mengungkap rahasia-
rahasia Allah dan alam semesta baik yang tampak maupun tidak. Penafsiran dapat
membebaskan manusia dari belenggu perbudakan baik oleh manusia maupun harta
serta membimbingnya untuk berkeyakinan penuh terhadap Allah yang maha adil.
Dengan demikian manusia dapat berhubungan baik secara vertikal maupun
horizontal. Dalam al-Qur`ân tersirat segala petunjuk yang komprehensif mengenai
seluruh aktifitas kehidupan manusia mulai ajaran-ajaran beribadah, etika, transaksi,

83
Ismaîl Hasani, Nazhariyyah ........ hal. 75-82. Lihat juga Muhammad Khidr Husain, Tarjamah
Ibn ‘Âsyûr dalam (Majalah al-Hidâyah al-Islâmiyyah 2/29) akses juga www.almostafa.com, (Tarâjum
al-Mu’allifîn al-Tunîsiyyîn). Lihat lebih lanjut tulisan ‘Abdul Qâdir Muhammad Shâlih (Muhamad
Shalih al-Alûsi) dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Ashri al-Hadîts, (Dâr al-Ma’rifah Beirut
Libanon), cet-1. 2003 M-1424 H, hal. 109-152. lihat juga karya al-Fâdhil Ibn ‘Asyûr dalam al-Tafsîr
wa rijâluhu, (Kairo; Dâr al-Salâm 2007) hal. 242. ia adalah putra dari Thahir Ibn ‘Âsyur yang
meninggal sebelum Ibn ‘Asyur wafat (1973) yaitu sekitar tahun 1970.
84
Ismaîl Hasani, Nazhariyyah ..... hal. 113-128. lihat dan baca juga tulisan Ayâd Khâlid al-
Thabbâ’, dalam Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr ..... hal. 78-87. bandingkan dengan Abdul ‘Aziz ibn
‘Abd al-Rahman al-Rabî’ah, ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’, (Maktabah al-Mulk Mamlakah al-‘Arabiyah, cet
1 2002/1423), hal.73-85.
53

hukum, perang dan damai, sistem ekonomi utama yang diwahyukan Allah sebagai
anugrah bagi umat manusia.85
Terdapat dua istilah yang digunakan dalam penafsiran Al-Qur’ân yaitu tafsir
dan ta’wîl. Dua istilah ini dapat dijelaskan perbedaannya. Menurut terminologi tafsir
berarti klarifikasi, eksplanasi, dan ilustrasi, seperti termaktub dalam Al-Qur`ân
(QS.al-furqân:33).86 Kemudian kata tafsir mengacu kepada pemahaman secara
komprehensif tentang kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi SAW, adanya
keterpautan antar makna asli dan manqûl (yang tidak menjadikan ambiguitas) secara
ringkas didalamnya.87
Dari uraian diatas dapat diambil pengertian bahwa (ilmu) tafsir ilmu yang
mempelajari kitabullah dan menerangkan makna didalamnya dengan menggali
hukum-hukumnya dan mengambil hikmah dan pelajarannya bersandar pada ilmu
bahasa, nahwu, sharf, ilmu bayân, ushûl fiqh, dan juga mengetahui sebab-sebab
turunnya ayat serta tidak mengabaikan Nâsikh mansûkh. Tafsir dapat disebut juga
dengan ilmu penelitian tentang al-Qur’ân kemudian disebut dengan penafsiran.88
Disiplin kajian ilmu tafsir memberikan kontribusi dan pengaruh besar
terhadap keilmuan Islam seperti jurisprudensi Islam, tasawuf, falsafah. Urgensi dan
relevansinya yang dibutuhkan oleh masyarakat muslim sepanjang masa. Khâlid abdul
Rahman al-’Akk,89 dan ’Abdul Hayy Farmâwi,90 keduanya disinyalir mengadaptasi

85
Lihat pengantar tafsir Thameem Ushama, Metodologies the Qur’anic Exegesis, terj. Hasan
Bashri dan Amroeni, Riora Cipta, Jakarta, 2000, hal. 3-4.
86
Mannâ’ Khâlîl al-Qaththân, Mabâhits fî ulûm al-Qur’ân, Mu’assasah al-Risâlah, Beirut, 1983,
hal. 323. lihat redaksi ayat yang secara bahasa dalam (QS. 25 :33). Lihat juga Yusuf al-Qaradhâwi,
berinteraksi dengan al-Qur`ân, Gema Insani Press , Jakarta 1999, hal. 233.
87
Ibnu ‘Âsyur “Muqaddimah al-Ûlâ at-Tahrîr wa at-Tanwîr” hal. 11-13
88
Khâlid ‘Abd al-Rahmân al-‘Akk, Ushûl al-Tafsîr wa Qâwâ‘iduhu, hal. 32-40. pendekatan
nahwu dilakukan oleh Abû aswad As-Du’aliy (w. 69 H), Nashr bin ‘Âshim (w’ 89 H), yahya bin
Yamar (w. 129 H), Abu ‘Amr bin al-‘Ila (w. 145), dan Isa bin Umar ats-Tsaqafy (w. 149 H).sayangnya
kitab tafsir yang muncul di abad awal sampai pertengahan abad ke 2 hijriah hilang dan tidak sampai
kepada kita kecuali dalam bentuk kutipan dibuku-buku Ulama’ yang muncul belakangan. Lihat juga
Badruddin Muhammad Abdullâh az-Zarkasyî, al-Burhân fî ulûm al-Qur’ân, Bâb al-Halabi, jld 1, 1972,
hal., Muhammad Ali Shabûniy, al-Tibyân fî ulûm al-Qur’ân, Maktabah al-Ghazâli Damaskus, 1401 H,
hal. 61.
89
Khâlid ‘Abdur Rahmân al-‘akk, ia juga mengadaptasi dari karya al-Shabûny, al-Tibyân fî
ulûm al-Qur’ân, lihat lebih lanjut dalam karya al-‘akk Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû, hal. 27.
54

pandangan as-Suyûthi,91 dan pandangan ini bersumber dari pendapat al-Asfahâni


yang menyatakan bahwa hasil karya manusia yang paling mulia adalah tafsir al-
Qur’ân. Karena kemuliannya dapat dilihat dari tiga aspek berikut ini:
Pertama, dari sisi objek kajiannya, ilmu tafsir adalah kalam Allah Ta’âla yang
merupakan sumber dari segala hikmah dan keutamaan (syaraf ‘ilm syarafa al-
ma’lûm). Kedua, dari sisi tujuannya, ilmu tafsir berpegang teguh pada urwah al
wutsqâ (agama) untuk mencapai kebahagiaan yang abadi. Dengan ilmu tafsir
seseorang akan mengetahui maksud dan kehendak Allah Ta’ala dalam kalam-Nya
yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., mengetahui perintah-perintah-
Nya, sehingga mampu mengerjakannya dengan baik, dan mengetahui larangan-
larangan-Nya sehingga ia mampu menjauhinya, bekal inilah (takwa) yang
menghantarkan seseorang kepada sa’âdah didunia dan akhirat. Ketiga, sisi kebutuhan
terhadap ilmu tafsir ini dijelaskan bahwa kesempurnaan agama maupun dunia
sekarang dan yang akan datang pasti membutuhkan penjelasan ilmuilmu syara’dan
pengetahuannya terhadapnya (agama) yang bertolak pada pengetahuan terhadap Al-
Qur’ân. Mujahid berkata: “Makhluk yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah yang
paling mengetahui kitab Allah yang diturunkan”.92
Urgensi ilmu tafsir ini terlihat jelas karena pertautannya dengan kalam Allah,
dan ilmu tafsir merupakan induk dari pelbagai ilmu; baik ilmu syara’ maupun umum.
Para ulama dari berbagai disiplin ilmu tidak dapat melepaskan diri dari ilmu tafsir ini.
Seperti halnya seorang Fakih mesti harus menguasai ilmu tafsir sebelum beristimbat
hukum. Begitu juga mutakallim harus mampu menguasai ilmu ini sebelum beristidlâl
untuk memperkuat ajarannya, demikian juga seorang muhaddits, sufi, dan seterusnya.

90
Abd Hâyy Farmâwi, al-Bidâyah fî Tafsîr al Mawdhû'î [Kairo, al- Hadharah al-arabiah] cet.
Ke-2, 1977, hlm 12-13/ www.hadielislam.com
91
Al-Suyûthi, al-Itqân fî ulûm al-qur’ân, jld. 4, hal. 173.
92
Abd Hâyy Farmâwi, al Bidâyah hal. 12/ www.hadielislam.com. Ia mengatakan setiap
kesempurnaan urusan agama dan dunia, baik jangka pendek maupun jangka panjang, tidak akan
sempurna kecuali dengan bantuan ilmu-ilmu syari’at dan pengetahuan-pengetahuan tentang agama.
Ilmu dan pengetahuan tersebut haruslah diambil melalui hadits yang tidak dicampuri oleh kekeliruan
dan diambil pula dari kitab yang diturunkan kepada orang yang terpercaya (Muhammad saw.), yaitu
Al-Qur’ân.
55

Yusuf Qarâdhâwi menekankan bahwa al-Qur`ân diturunkan dengan bahasa arab yang
mengandung banyak kemungkinan arti, dari Sharîh, Kinâyah, hakikat, Majâz, khâs
‘âm, mutlak dan muqayyad, Manthûq- Mafhûm, dan apa yang dipahami dengan
isyarat dan dengan ibarat. Kemampuan dalam memahaminya berbeda-beda. Ada yang
mampu memahami makna tampak (Zhâhir) dan makna dibalik teks (Bâthin) [ada juga
yang memahaminya dengan makna dasar dan relasional/leksikal], juga terdapat pula
yang berupaya memahaminya secara metaforis. Demikian juga keterpautan makna
dengan konteks sejarah sebab turunnya ayat [leksikal] dikorelasikan relevansinya
pada kehidupan kekinian. Karenanya, manusia sangat membutuhkan ilmu tafsir.93
Dalam hal ini ’Abdul Hâyy Farmâwi juga demikian, dalam karyanya ia
menyatakan bahwa ilmu tafsir memiliki urgensi yang tidak kalah yaitu; mengetahui
segi-segi kemu’jizatan Al-Qur’ân, sehingga ketika orang menelaahnya akan
mengimani kebenaran risalah kenabian Muhammad saw.94
Prasyarat bagi mufassir yang ditekankan Ibnu ‘Âsyûr sebelum menafsirkan
adalah: pertama, definisi (terminology) lafadz, dan kedua; keterangan lazim yang
mendekati -makna ayat- (dalâlah iltizâm). Poin terakhir ini didasari oleh karena
penelitian tentang tafsir ini pertama; akan Menarik kesimpulan dari pelbagai ilmu,
dan kaidah-kaidah yang general (umum). Kedua: Merupakan prasyarat dari
problematika penafsiran dan sebagai dasar generalitas keilmuan terutama ilmu-ilmu
eksakta. Ketiga; Menjadikan definisi lafadz (terminology) sebagai jawaban atas
pandangan sebagaian muhaqqiq dalam mengawali tulisannya. Keempat: Membuat
penelitian ilmu tafsir ini tidak dapat terlepas dari kaidah-kaidah general (umum).
Kelima; Menjadikan bahwa sesungguhnya penafsiran yang semestinya (haq) itu

93
Yûsuf Qaradhâwi, kaifa nata’âmal ma’a al-Qur’ân, diterj. Oleh (gema Insani Press. Cet 1
1999) dengan judul berinteraksi dengan Al-Qur’ân, hal. 285-286. bandingkan al Imam Abdullah
Zarkasyi, al-burhân fî ulûm al-Qur’ân , (Mesir, Dâr al- Ihyâ al-kutub al-‘arabiy), 1957, hal. 2-3. lihat
juga Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’ân (Bandung Mizan, 1994), hal. 83.
94
Abd Hâyy Farmâwi, al-Bidâyah fî Tafsîr al Mawdhû'î hlm 12-13/ www.hadielislam.com.
Bandingkan dengan Khâlid ‘Abd al-Rahmân al-‘Akk, Ushûl al-Tafsîr wa Qâwâ‘iduhu, hal. 27. lihat
juga Gamal al-banna, tafsir al-Qur`ân al-Karim baina al-qudama’ wa al-muhadditsin, (terjemahannya,
evolusi tafsir, Qisthi Press 2004 hal 138).
56

terletak pada penjelasan yang komprehensif (yasytamila bayân), ushûl tasyrî’ dan
generalitas problematikanya. Keenam; Ilmu tafsir merupakan awal dari segala
penelitian tentang ilmu-ilmu lainnya yang cukup mendapat perhatian dari Ulama’,
sebelum penelitian dari pelbagai ilmu dan teknologi era global menyibukkan
mereka.95
a. Syari’ah dan interpretasi al-Qur’ân
Secara etimologis; syarî’ah berarti jalan menuju kesumber air, jalan ke arah
sumber (al-Mawrid al-‘adzb alladzî turidhu al-Syâribah wa yastaqî minhu) pokok
bagi kelangsungan hidup manusia (idzâ kâna ‘adan lâyanqathi’u sahl al-Tanâwul).96
Kata ini merupakan derivasi dari kata syara’a yang berarti menetapkan atau
mendekritkan. Dalam al-Qur’ân kata syarî’ah muncul satu kali dalam (QS. 45:18)
dengan pengertian jalan yang mesti diikuti. Sedangkan kata syara’a muncul dua kali
dengan Tuhan sebagai subyeknya (QS.42;13), dan yang berkaitan dengan orang
membangkang kepada agama Tuhan (QS. 7:163). Karenanya kata tersebut lebih
populer dikenal dengan Dîn (agama) yang secara harfiah berarti ketaatan atau
kepatuhan. Namun perbedaannya jika syarî’ah adalah penentuan jalan yang
subyeknya adalah Tuhan, maka Dîn adalah tindakan mengikuti jalan tersebut dan
subyeknya adalah manusia itu sendiri.
Jadi, syarî’ah dalam pengertian awal yang dipakai hingga kini adalah jalan
yang ditetapkan oleh Allah dimana manusia harus mengarahkan hidupnya untuk
merealisir kehendak Tuhan. Ia adalah konsep praktis yang menyangkut seluruh

95
Ibnu ‘Âsyur “Muqaddimah al-Ûlâ al-Tahrîr wa al-Tanwîr” hal. 12-13.
96
Lihat Muhammad Ibn Ya’kûb al-Fairuz Abadî, al Qâmus al-Muhîth (Mathba’ah al-Sa’âdah,
Mesir 817 H) juz 3. hal. 44. bandingkan dengan Ibn Manzur, Lisan al-’arab, (Dâr Dâr al-Shâdir) juz.
8. hal. 175. nama aslinya Jamâluddîn Muhammad ibn Mukrim ibn ’Ali.... Ibn Manzûr al-Anshârî al-
Mishrî ia lahir pada tahun 630 H, ia mempunyai karya yang banyak selain it ia juga mahir dalam
bahasa adab dan sastra dan lainnya, lihat, Jalâluddîn Abdur Rahmân al-Suyûthi Bughyah al-Wu’ât fî
thabaqât allughawiyyîn wa al-Nuhat, tahqûq Abû Fadl Ibrâhîm, (’Isa al-Bâb al-Halabî 1384 H cet-1)
juz 1.hal. 248. lihat lebih lanjut Abdur Rahmân ’Abdur Rahîm Ibn Abdullah al-Dirwisy, al-Syarâ’i’al-
Sâbiqâh, (Huqûq al-Thaba’ mahfûdzah li al-Mua’llif, Riyadh) cet-1 hal. 17.
57

tingkah laku manusia, spiritual, mental, dan fisik untuk keberlangsungan hidup
sekarang dan yang akan datang.97
Kata syarî’ah biasanya digunakan dengan dua pengertian; Pertama, ajaran
Islam secara umum yang meliputi akidah, ibadah, mu’amalat dan akhlak. Kedua;
ajaran Islam yang berkaitan dengan perbuatan manusia seperti ibadah dan
mu’amalat.98 Disisi lain syarî’ah juga dipahami juga dengan suatu penekanan
terhadap absolutisme teks suci yang teraplikasikan dalam interpretasi-interpretasi atas
teks itu sendiri sebatas kemampuan manusia (tafsir), syarî’ah merupakan suatu
konsep yang komprehensif, mencakup kebenaran spiritual Sufi (haqîqah), kebenaran
rasional (’aql), para filsuf dan teolog, serta hukum.99
Dalam pemikiran Islam kontemporer ia hanyalah kesimpulan logis yang
ditarik dari suatu pikiran bahwa teks adalah ucapan verbal Realitas Absolut
Ketuhanan yang pasti. Tetapi sekalipun konsep ini merupakan doktrin ekstrimis
dalam Kristen bahwa teologi berjalan dan tidak pernah melepaskan problematika
ekslusifis.100 Bahkan konsep ini juga merupakan doktrin esensial teologi Islam sejak
abad 3 H/ 8 M yang secara politis dilarutkan untuk memenuhi (doktrin) ortodoksi
bahkan heterodoksi.101

97
lihat juga Fazlur Rahmân dalam Islam terj. Bandung : Pustaka, 2003, cet. V, h. 140-141
Rifyal Ka’bah, penegakan syarî’ah Islam di Indonesia, Jakarta Khairul Bayân, 2004, h. 3-4.
Bandingkan dengan; Zakaria al Anshâri, al-Hudûd al-anîqah wa al-Ta’rîfat al-daqîqah, hal 14.
Bairut, Dâr al Masyari’ cet. I 2004.
98
Al-Qaradhâwi, Dirâsah fî fiqhi Maqâshid al syarî’ah baina al Maqâshid al kulliyah wa al
nushûs al juzi’yah ( Kairo, Dar al Syuruq cet I 2006 ) hal 19-20.
99
Ibnu Taimiyyah, Muwâfaqât al-sharîh al-Ma’qûl li shahîh manqûl, Cairo 1321 H, I, hal 48
(buku ini dicetak pada pinggiran kitab Minhâj al-Sunnâ karangan Ibn Taimiyyah). Lihat juga uraian
Fazlur Rahman dalam Islam Bandung : Pustaka, 2003, cet. V, h.158-159
100
Sikap bertahan teologi ini dapat dipahami; bahwa filsafat fakta keagamaan itu tidak segera
mengantarkan pada tujuan (berbagai agama). Namun sebaliknya agama-agama yang sedang
ditransformasi dibawah tindakan yang merusak dari berbagai faktor yang cenderung menyisihkan
hingga pada (tingkat) kerisauan filosof (seperti yang disinyalir Al-Ghazâli dalam Tahâfut al-
Falâsifah-penulis). Arkoen dalam Lectures du the Coran G.P. Maissoneuve et Larose, 1982, (terj.
Hidayatullah dalam kajian Kontemporer Al-Qur’ân) Pustaka, Bandung, 1998 hal. 66.
101
Ortodoksi atau pemahaman ekslusif merupakan fenomena yang tidak saja terjadi dalam
bidang agama, namun juga terjadi dalam pelbagai disiplin keilmuan, seperti bahasa dan historiografi.
Lihat Ursula Günther, “Mohammed Arkoun: ”towards a radical rethinking of Islamic thought”, dalam
Suha Taji-Farouki [ed.], Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University
58

Seiring dengan perkembangan zaman dan kompleksitas problematika


kehidupan di masyarakat, pakar tafsir kontemporer termotivasi untuk
merealisasikannya dalam penafsiran yang solutif dari pelbagai metode pendekatan
dan beragam corak penafsiran dijadikan tumpuan untuk mewujudkan penafsiran
tematik dengan nuansa sosial kemasyarakatan (adab Ijtimâ’iy), corak ini disinyalir
menjadi rujukan pakar tafsir modern.102
Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Qur’ân yang keadaannya seperti
digambarkan oleh ‘Abdulah Darrâz dalam An-Naba’ al-‘Azhîm; Bagaikan intan yang
setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari
sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain
memandangnya, maka akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.”103
Dalam hal ini Muhammad Arkoun seorang pemikir Al-Jazair berpandangan
bahwa; Al-Qur’ân memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang terbatas. Kesan
yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat
wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk diinterpretasi )

Press, 2004), hal. 142. lihat juga ulasan Norman Calder dalam, “The Limits of Islamic Orthodoxy”,
dalam Farhad Daftary [ed.]. Intellectual Traditions in Islam (London: I.B. Tauris, 2000), hal. 66-86
102
Râsyid Ridhâ, Tafsir Al-Manâr, Kairo-Mesir: 1367 H juz I hal 7, Abd Hâyy Farmawi, al
Bidâyah fi Tafsir al Maudu'I Kairo, al- Haharah al-arabiah, cet. Ke-2, 1977, hlm 23-24. lihat lebih
lanjut uraian Quraish Shihab dalam membumikan al-Qur’ân (Mizan, cet XXIX, 2006) hlm 111-123.
juga uraian tentang corak dan ciri-ciri penafsiran 'Abduh dan Rasyid Ridha dalam Rasionalitas al-
Qur'ân (studi kritis atas tafsir al-Manâr), Lentera hati 2006, hlm 24Abdul Ghoffar, Abdurrohim, Al
Imam 'Abduh wa mânhâjuhu fî al tafsîr, Mesir: Al markaz Al Arâbi li ats tsaqâfah wal ulum, 1980.
Lihat corak penafsiran Ibnu ‘Âsyûr dalam tafsirnya al-Tahrîr wa al-Tanwîr juz 1 hal. 222. lihat juga
Iffat Syarqâwi, Qâdhâya insâniyyah fi ‘âmâl al mufassirin, Mesir: maktabah Syabâb, 1980 hal 80, lihat
juga uraian Ali Iyâzi tentang Ibnu ‘Âsyûr dalam al-Mufassirûn Hayâtuhum wa manhâjuhum, Mu'assah
[Thaba'ah wa an Nasyr wizârah al Islâmi] cet-1. hal.109-151.
103
‘Abdullah Darrâz, Al-Naba’ Al-‘Azhîm, Dar al-‘Urubah Mesir, 1960, hal. 111. lihat uraian
J.J.G.Jansen dimana dia mensinyalir diantara tafsir modern yang perlu mendapat perhatian karena
dianggap mempunyai elaborasi konsep penafsiran seperi Izzat Darwaza dengan al-Tafsir al-Hadîts,
Muhammad ‘Abduh dengan Tafsir Juz ‘Amma dan Muhammad Thâhîr Ibn ‘Âsyur dengan al-Tahrîr
wa al-Tanwîr, dalam The Interpretation of the koran in modern Egypt, (Leiden,: E.J.Brill 1974), h. 17.
Bandingkan dengan J.M.S Baljon, Modern Muslim Interpretation S.A. Kamalî, Abuk kalâm azad’s
commentary on the Qur’ân’, in The Moslem world, vol. 49, 1959; hal. 1-18. lihat juga Isa.J.Boullata
dalam ‘modern Qur’an Exegesis’ A study of bint al-Syâti’ method’. The presents Status of Tafsir
Studies’ inth moslem world, vol. 72, 1982, hal.224-238. Bandingkan Abdul Fattah al-Khâlidi, Ta’rîf al-
Dârisîn bî Manâhij al-Mufassirîn, (Damaskus; Dâr al-Qalam, t.th), hal. 562-563. juga dengan
tulisan‘Abdul Hayy Farmâwi al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-maudhû’î, hal. 23.
59

baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal dan selalu
berkembang.104
Dalam kesempatan lain Jeffery menekankan bahwa apa yang kita butuhkan,
bagaimanapun, adalah tafsir kritis yang mencontohi karya yang telah dilakukan oleh
orientalis modern, sekaligus menggunakan metode-metode penelitian kritis modern
untuk tafsir al-Qur’an.105
Sebenarnya, yang dimaksud dengan pendekatan modern oleh Jeffery adalah
metode kritis-historis (the historical-critical method). Metode tersebut memang
sangat mapan dalam studi Bibel. Metode tersebut diformulasi oleh para sarjana bibel
karena persoalan teks Bibel. Metode tersebut diformulasikan oleh para sarjana Bibel
karena persoalan teks Bibel. Berbagai jenis analisa muncul disebabkan problematika
teks Bible. Diantaranya: analisa teks (textual criticism), kajian filologis (philological
study), analisa sumber (source criticism) dan analisa sejarah (historical criticism).
Jeffery mengaplikasikan berbagai analisa Bibel tersebut untuk mengkaji sejarah al-
Qur’ân. Dalam perkembangannya metodologi tersebut juga sudah menyebar ke
sebagian kalangan cendekiawan Muslim kontemporer. Mohammad Arkoun,
misalnya, sangat menyayangkan jika sarjana muslim tidak mau mengikuti jejak kaum
Yahudi-kristen. Ia berkata: “sayang sekali bahwa kritik-kritik filsafat tentang teks-
teks suci yang telah digunakan kepada Bibel Ibrani dan perjanjian baru, sekalipun
tanpa menghasilkan konsekuensi negatif untuk ide wahyu, terus ditolak oleh pendapat
kesarjanaan muslim.106
Mohammed Arkoun juga menegaskan bahwa studi al-Qur’ân sangat
ketinggalan dibanding dengan studi Bible (Quranic Studies lag considerably behind

104
Muhammad Arkoun, “Algeria dalam shireen T.Hunter (ed.) the politics of Islamic
revivalism, Bloomigton Indiana University Press, 1988, h,182-183.
105
Arthur Jeffery, Proggerss in the Study of the Qur’an texts, The Moslem World 25 (1935), No
1, hal. 4., (What we needed, hoever, was a critical commentary which should embody the work done by
modern orientalists as well as apply the methods of modern research to the elucidation of the Koran).
106
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, Common Question, Uncommon Answer, pen robert D
Lee, hal. 25. dia menulis ”It is unfortunate that philosophical critique of sacred text which has been
applied to the hebrew bible. And to the new Testamen without thereby ergendering negatif
consequences for the notion of revelation-continues to be rejected by muslim scholary opinion”.
60

biblical studies to which the must be compared).107 Menurutnya metodologi John


Wansbrough memang sesuai dengan apa yang selama ini ingin ia kembangkan.
Arkoun berkata: “Intervensi ilmiah Wansbrough menemukan tempatnya di dalam
framework yang saya usulkan. Framework tersebut memberikan prioritas kepada
metode-metode analisa sastra yang—seperti bacaan antropologis-historis—
menggiring kepada pertanyaan-pertanyaan yang ditinggalkan untuk disiplin-disiplin
lain dan tingkat refleksi yang tidak terbayangkan di dalam konteks fundamentalis saat
ini.108
John Wansbrough yang dimaksud oleh Arkoun adalah seorang orientalis
kontemporer (2002) yang menerapkan form criticism dan redaction criticsm kepada
al-Qur’an. Metodologi tersebut menggiring John Wansbrough untuk menyimpulkan
bahwa teks al-Qur’ân yang tetap itu tidak ada sehingga tahun 800 M. riwayat-riwayat
mengenai al-Qur’ân versi Utsmân adalah fiksi terkemudian yang direkayasa oleh
komunitas Muslim yang sedang muncul dalam usahanya untuk mengambarkan asal
mulanya dan melacak mereka ke Hijaz.109
Mohammed Arkoun juga memaparkan alasan mengapa kaum Muslimin
menolok pendekatan kritis-historis al-Qur’ân. Dalam pandanganya, alasan tersebut
sebernarnya bernuansa politis karena mekanisme demokratis masih belum berlaku,
karena kegagalan pandangan muktazilah, tegasnya, mengakibatkan kaum Muslimin
menganggap bahwa semua halaman yang ada di dalam mushaf adalah Kalam Allah.
Al-Qur’ân yang ditulis dan yang dibaca, dalam pandangan kaum Muslimin, adalah

107
Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought (London: Saqi
Books,2002), hal. 42.
108
Moh Arkoun, (Wansbrough’s scientific intervention finds its place in the framework I
propose. It gives priority to method of literay criticism which, like the historical anthropological
reading, lead to questions left to other disciplines and a level of reflection unimagineabale in the
curren fundamentalist context).“Contemporay critical Practices an the Qur’an”, di Encyclopedia of the
Qur’an, Editor Jane Dammen McAuliffe (Leiden: Brill, 2001), Jilid I, A-D hal. 430.
109
Issa J. Boullata, “the traditions about the “Utsmanic recension of the Qur’an are later
fiction desihgend by the emerging Muslim community in its effort to describe its origins and trace them
to the Hijaz“, Books Reviews: Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation”
The Muslim World 67 (1977), No 4, hlm 306-07.
61

emanasi langsung dari Lawh al-Mahfuz.110 Padahal, menurut Mohammed Arkoun,


mushaf Ustmâni tidak lain adalah hasil sosial budaya masyarakat yang kemudian
dijadikan Unthinkable dan makin menjadi Unthinkable dikarenakan kekuatan dan
pemaksaan penguasa resmi.111 Istilah yang lebih tepat untuk menyebut Mushaf
Utsmani, sebut Mohamed Arkoun, adalah Mushaf Resmi Tertutup (Close Official
Corpus).112
Selain itu Mohammed Arkoun juga berpendapat apa yang dilakukannya sama
dengan apa yang diusahakan oleh Nasr Hamid Abû Zayd, seorang intelektual asal
Mesir. Arkoun menyayangkan sikap para ulama Mesir yang menghakimi Nasr
Hamid. Padahal metodologi Nasr Hamid yang mengaplikasika pendekatan sastra
kotemporer memang layak untuk diaplikasikan kepada al-Qur’an.113
Nasr Hamid berpendapat bahwa al-Qur’ân adalah ‘produk budaya’ (muntaj
tsaqafi). Artinya, teks al-Qur’ân, kata dia, terbentuk dalam realitas dan budaya,
selama lebih dari 20 tahun. Namun al-Qur’ân juga mengubah budaya, karena ia juga
produsen budaya (muntij li al-thaqâfah). Al-Qur’ân menjadi teks yang hegemonik
dan menjadi rujukan bagi teks yang lain.114
Bagi Nasr Hamid, realitas dan budaya tidak bisa dipisahkan dari bahasa. Oleh
sebab itu, al-Qur’ân juga merupakan teks bahasa (nash lughawî). Ketertarikan
realitas, budaya, dan bahasa, menjadikan al-Qur’ân sebagai teks historis sekaligus
teks manusiawi. Al-Qur’ân adalah teks manusiawi karena berada di dalam ruang dan
waktu tertentu. Kemanusiawiannya, bahkan sudah dimulai saat Rasulullah saw
menyampaikan wahyu itu ke para sahabat. Nasr Hamid berpendapat bahwasannya
teks sejak awal diturunkan ketika teks diwahyukan dan dibaca oleh Nabi, ia berubah

110
Issa J. Boullata, “Books Reviews: Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural
Interpretation” The Muslim World 67 (1977), No 4, hal. 37.
111
Mohammed Arkoun, “Rethinking Islam Today” dalam Mapping Islamic Studies, ed Azim
Nanji, 237 seterusnya di ringkas Islam
112
Arkoun, “Rethinking Islam Today” Mapping Islamic Studies, ed Azim Nanji, 238.
113
Mohammed Arkoun, The Unthought, hal. 60-61
114
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhûm al-nash: Dirâsah fi ‘ulûm al-Qurân (Beirut: al-Markaz al-
Tsaqafi al-‘Arabi, edisi II, 1994).
62

dari sebuah nash ilâhiy (teks Ilahi) menjadi sebuah konsep atau nash insâni (teks
manusiawi), karena ia berubah dari tanzil menjadi takwil. Pemahaman Muhammad
atas teks mempresentasikan tahap paling awal dalam interaksi teks dengan akal
manusia.”115
b. Tafsir Tematis dan Metodologi Kontemporer
Agak sulit untuk menentukan secara pasti siapa yang pertama kali
merumuskan konsep tentang surah dalam al-Qur`ân sebagai sebuah unit tematis.116
El-Thâhir El-Maisâwi menyebut nama Fakhruddîn al-Râzî sebagai salah satu yang
paling awal.117 Sonia Wafiq menyebut al-Syâtibî.118 Belakangan, konsep tersebut
dikembangkan secara elaboratif misalnya oleh, Burhân al-Dîn al-Biqâ‘î (w. 885 H.)
dalam dua karyanya: “Nadzm al-Durar fî Tanâsub al-Âyy wa al-Suwar” dan
“Mashâ‘id al-Nazhar li al-Isyrâf ‘alâ Maqâshid al-Suwar”;119 Sayyid Quthb (w.
1966) dalam Fî Zilâl al-Qur`ân;120 serta banyak pemikir modern lainnya.121

115
Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitâb al-Dînî (Kairo: Sina li al-Nashr, edisi Pertama,
1992).
116
Tafsir mawdû‘î bisa dilakukan terhadap sebuah surah, atau terhadap ayat-ayat tentang tema
yang sama dari pelbagai surah, atau kepada istilah dan lafaz tertentu dalam al-Qur`an. Lihat Shalâh
‘Abd al-Fattah al-Khâlidî, Al-Tafsir al-Mawdû‘î bayna al-Nazariyyah wa al-Tatbîq, hal. 52-59.
117
Mohamed El-Thâhir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdû‘i”, hal. 128-129.
118
Sonia Wafiq, “Manhaj al-Tafsir al-Mawdhû‘i wa al-Hâjah ilayh”, dalam Buhûts Mu`tamar
Manâhij Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm wa Syarh al-Hadîts al-Syarîf, hal. 654. Selain dua nama tersebut,
ada pula yang menyebut nama al-Fayruzabâdî (w. 817 H.) dengan karyanya, Bashâ`ir Dzawî al-
Tamyîz fî Lathâ`if al-Kitâb al-‘Azîz. Lihat ‘Abdullâh Mahmûd Syahâtah, Ahdâf Kulli Sûrah wa
Maqâsiduhâ fî al-Qur`ân al-Karîm (Kairo: al-Hay`ah al-Mis}riyyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, cet. 3,
1986), vol. 1, hal. 4.
119
Tentang kitab Nadzm al-Durar, ‘Abd al-Fattâh al-Khâlidî berkomentar, “…di dalam kitab
tafsir tersebut, [al-Biqâ‘î] memusatkan perhatiannya kepada hubungan dan pertautan antara ayat-ayat
dalam satu surah yang sama. [Dengan cara tersebut], sebuah surah menjadi suatu kesatuan yang
[bagian-bagiannya] saling berhubungan, saling mendukung, dan terikat satu sama lain”. Lihat al- al-
Khâlidî, Ta‘rîf al-Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn (Jedah: Dâr al-Basyîr, 2002), hal. 450.
120
Musthafâ Muslim, Mabâhits fî al-Tafsîr al-Mawdhû‘î (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1989), hal.
26 dan Issa J. Boullata, “Sayyid Qutb’s Literary Appreciation of the Qur’ân”, dalam Issa J. Boullata
[ed.], Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’ân (Surrey: Curzon Press, 2000), hal. 354-
371.
121
Di antara para pemikir tersebut, terdapat nama-nama seperti Asyraf ‘Alî Tsanâwi, Hamid al-
Dîn al-Farâhî, serta Amîn Ahsan Islâhî di India dan Pakistan; ‘Izzat Darwazah dan Sayyid Qutb di
Mesir; serta Muhammad Husayn al-Thabathabâ`î di Iran. Lihat Mustansir Mir, “The sûra as unity: A
twentieth century development in Qur’ân exegesis”, dalam dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader A.
Shareef [ed.], Approaches to the Qur’ân (London dan New York: Routledge, 1993), hal. 211-224.
63

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: adakah perbedaan corak antara


pendekatan yang digunakan oleh Mufassir klasik dengan para mufassir modern dalam
memperlakukan surah al-Qur`ân sebagai sebuah unit tematis?
Beragam definisi tafsir mawdhû‘î yang dikemukakan oleh banyak ulama dan
penulis.122 Berdasarkan eksposisi terhadap beberapa definisi tersebut, El-Thâhir El-
Misâwi merumuskan dua ciri utama dari pendekatan Mawdhû‘î dalam tafsir.
Pertama, perhatian kepada tema sebagai titik fokus dari kegiatan interpretasi al-
Qur`ân. Kedua, gagasan tentang al-Qur`ân sebagai sebuah kesatuan koheren yang
terbentuk dari bagian-bagiannya.123 Selain itu, meski sebagian besar literatur tafsir
yang menggunakan metode Mawdhû‘î tidak mengemukakan kerangka epistemologis
dan teoretis yang dibutuhkan untuk melakukan tafsir dengan cara tersebut, namun
semua literatur itu berangkat dari keprihatinan yang sama: bahwa tafsir tradisional
yang bersifat atomistik, yang menafsirkan al-Qur`ân ayat perayat, dianggap tidak lagi
memuaskan.124
Dalam hal ini Ibnu ‘Âsyûr termasuk dalam kategori diatas, beberapa buku
tafsir yang sering dijadikan rujukan dan studi kritisnya diantaranya tafsir al-Kasyâf
karya Zamakhsari, al-Muharrar al-Wajîz karya Ibn ‘Atiyyah, Mafâtih al-ghaib karya

Menurut Quraish Shihab, ide tentang surah sebagai sebuah unit tematis baru diwujudkan pertama kali
dalam sebuah kitaf tafsir oleh Mahmûd Syaltût pada tahun 1960. Lihat M. Quraish Shihab,
Membumikan al-Qur`an, hal. 113.
122
Salah satu definisi tafsir mawdhu‘î yang diajukan oleh Mushtafâ Muslim adalah “Sebuah
ilmu yang mengkaji persoalan-persoalan tertentu sesuai dengan al-Maqâshid al-Qur`âniyyah, baik
yang dirumuskan dari sebuah surah atau lebih.” Lihat Musthafâ Muslim, Mabâhits fî al-Tafsîr al-
mawdhu‘î (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1989), hal. 15-16. Sementara itu, Sonia Wafiq
mendefinisikannya sebagai “Sebuah metode (manhaj) dalam penafsiran al-Qur`an yang bertujuan
untuk memperlihatkan kesesuaian (munâsabah) antara teks-teks al-Qur`an (al-nushûsh al-
Qur`âniyyah) dalam sebuah surah atau lebih berdasarkan kesatuan tematis yang jelas rambu-rambunya
guna menghasilkan sebuah teori, atau paling tidak sebuah pandangan qur`ani, yang membantu
tercapainya salah satu atau lebih dari maqâshid al-Qur`ân serta (digunakan untuk) menyelesaikan
problem-problem nyata (masyâkil wâqi‘iyyah).” Lihat, Sonia Wafiq, “Manhaj al-Tafsîr mawdhu‘î wa
al-Hâjah ilayh”, dalam Buhûts Mu`tamar Manâhij Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm wa Syarh al-Hadits al-
Syarîf, hal. 653-654.
123
Muhammad El-Thâhir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdhû‘i”, hal.
128-129.
124
El-Misawi, hal. 125-126. Secara tersirat, hal senada juga diungkapkan oleh al-Khalidî. Lihat
Shalâh ‘Abd al-Fattâh al-Khâlidi, Al-Tafsîr al- mawdhu‘î bayna al-Nadzariyyah wa al-Tatbîq, hal. 42-
48.
64

Fakhrudîn al-Râzi, tafsir al-Baidhâwi yang merupakan ringkasan dari tafsir al-
Kasyâf , dan Mafâtih al-Ghaib dengan tahqîq yang indah dan tafsir Syihâb al-Alûsi.
Demikian pula dengan komentar-komentar at-Thâibi, al-Qazwaini, al-Quthb, dan at-
Taftazâni atas tafsir al-Kasyâf, serta komentar al-Khafaji atas tafsir al-Baidhâwî. Di
samping tafsir Ibnu Sa’ud, tafsir Qurthûbi, dan yang dari tafsirnya Ibnu ‘Atiyyah at-
Tunisi dari penulisan muridnya, al-Ubay. Meskipun sifatnya hanya komentar (ta’lîq),
tafsir Ibnu Atiyyah, karena tidak lengkapnya mereka dalam menafsiri semua ayat Al-
Qur`ân maka tidak dapat dikatakan sebuah tafsir tersendiri. Berikutnya yang banyak
disoroti adalah tafsir al-Ahkâm karya Al-Imam Muhammad Jarîr at-Thabarî dan kitab
Dzurrat at-tanzîl yang diduga karya Imâm Fakhrudîn al-Râzî (544 H) atau kadang
diklaim sebagai milik Râghib al-Asfahâni.125
c. Metodologi penafsiran
Metodologi tafsir al-Qur`ân secara umum terbagi kepada tiga macam, pertama
Tafsir bi al-Ma’tsûr kedua tafsir bi al-ra’yi dan ketiga tafsir bi al-Isyâri (berdasarkan
isyarat/indikasi).126 Metode tafsir ini dipahami sebagai seperangkat pedoman dan
aturan yang dipilih oleh seorang penafsir untuk melakukan pendekatan terhadap ayat-
ayat al-Qur`ân demi tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapainya.127
Dalam beberapa literatur, metode-metode tafsir yang kerap dibicarakan adalah
metode ijmâlî (global), metode tahlîlî (analitis), metode muqârin (komparatif), atau
metode mawdû‘î (tematik).128 Bila ditinjau secara menyeluruh, empat metode tafsir
diatas sejatinya lebih berurusan dengan bagaimana memilih ayat-ayat al-Qur`ânserta
bagaimana mengolah dan menuliskan tafsir atasnya. Metode tafsir yang didefinisikan

125
Ibnu ‘Âsyûr “at-Tâhrîr wa at-Tanwîr” hal. 6-7 Dar-el Tunîsiyah linnasar. T. th.
126
Al-‘akk, ia mengadaptasi dari karya al-Shabûny, al-Tibyân fî ulûm al-Qur’ân, lihat lebih
lanjut dalam karya al-‘akk Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû, Dâr al-Nafâis, Beirut-Libanon, hal. 35.
127
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),
hal. 2.
128
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`an, hal. 4. Al-Khâlidi menyebut empat
kategori tersebut dengan “bentuk-bentuk tafsir” (anwâ‘ al-tafsîr)—sesuatu yang didefinisikannya
sebagai “rancangan-rancangan (khuthath), rincian-rincian (tafshîlat), serta gaya-gaya penulisan
(asâlîb) yang digunakan oleh para mufassir dalam tafsir mereka dan yang kepadanya mereka
mengaplikasikan pendekatan (manhaj) mereka masing-masing.” Lihat Salâh ‘Abd al-Fattâh al-Khâlidî,
Al-Tafsîr al-Mawdû‘î bayna al-Nazhariyyah wa al-Tatbîq, hal. 27-28.
65

sebagai “seperangkat pedoman dan aturan untuk menafsirkan al-Qur`ân” tentu saja
memiliki ruang lingkup yang jauh lebih luas dari empat kategori di atas.
Dalam hal ini Norman Calder menulis,129 bahwa metode yang digunakan
seorang mufassir dapat dianggap lebih penting daripada produk penafsiran yang dia
hasilkan, bahwa perbedaan interpretasi lahir terutama akibat perbedaan metode yang
digunakan oleh masing-masing mufassir.130
Pertama; Metode tafsir bi al-Ma’tsur (riwâyat); Tafsir yang menggunakan
metode ini merujuk pada penafsiran Al-Qur’ân dengan Al-Qur`ân atau penafsiran Al-
Qur’ân dengan al-Hadits melalui penuturan sahabat. Metode ini merupakan dua tasir
tertinggi diantara penafsiran yang ada karena mereka (Sahabat) menyaksikan
turunnya al-Qur`ân.131
Kedua; Metode tafsir bi al-ra’yi (dirâyat); Jenis tafsir ini juga disebut dengan
dirâyah (berdasarkan pengetahuan) atau tafsir bi al-ma’qul bagi para mufassir yang
mengandalkan ijtihad dan tidak didasarkan pada riwayat sahabat dan tâbi’în.
Sandaran mereka adalah bahasa, budaya arab yang terkandung didalamnya, dan

129
Tulisan Norman Calder diadaptasi oleh Nashr Hamid Abu Zaid dalam disertasinya,
kemudian dianalisa kembali oleh Yusuf Rahman melalui teori metode yang digunakan Nasr Hamid,
ditulis bahwa “Kualitas-kualitas yang membedakan mufassir satu dengan lainnya terletak pada
kesimpulan mereka tentang makna teks al-Qur`an, melainkan pada bagaimana mereka
mengembangkan dan menunjukkan teknik-teknik yang menandai keterlibatan serta penguasaan mereka
terhadap sebuah disiplin literer.” Lihat Norman Calder, “Tafsir from Tabari to Ibn Kathir: Problems in
the description of a genre, illustrated with reference to the story of Abraham”, dalam G.R. Hawting
dan Abdul-Kader A. Shareef [ed.], Approaches to the Qur’an (London dan New York: Routledge,
1993), hal. 106.
130
Yusuf Rahman, “The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Abu Zayd: The Analytical Study
of His Method of Interpreting the Qur’an” (Disertasi pada Institute of Islamic Studies, McGill
University, 2001), hal. 105-106.
131
Tafsir Riwayat atau bi al ma’tsur adalah tafsir yang dikutip dari al Qur’an, Hadits, atsar
sahabat dan tabi’in. Lihat: Muhammad Husain al Zahabi, al Tafsîr wa al Mufassirûn, Maktabah
Mus’ab bin Umair al Islâmiyah, juz I h.112, lihat juga Lihat Mannâ’ Khâlîl al-Qaththân, Mabâhits fî
ulûm al-Qur’ân, Mu’assasah al-Risâlah, Beirut, 1983, hal. 347. lihat ruang lingkup tafsir bi al-Ma’tsur
dalam Jalâluddîn ‘Abdur Rahmân bin Abî bakar As-Suyûthi, al-itqân fî ulûm al-qur’ân, jld. 4, hal.
192. diadaptasi dari tafsir Ibn Katsir juz 1, hlm 3. Definisi tentang sahabat dapat dilihat di a’lâm
muawwiqîn, jld 4 hal. 116-157. Al-Burhân fî ulûm al-qur’ân, jld.2 hal.172., al-itqân, jld.4 hal. 174-
181, al-Muwâfaqât, jld.3 hal.369.lihat juga muqaddimah Ibn Shalâh wa mahâsin istilâh hal. 486.,
Muhammad Husain al Dzahabi, al-Tafsîr wa al Mufassirûn, Maktabah Mus’ab bin Umair al Islâmiyah,
juz I h.38-40.
66

pengetahuan tentang gaya bahasa sehari-hari dan kesadaran akan pentingnya sains
(pengetahuan) yang diperlukan oleh mereka (mufassir). 132
Istilah ra’yun dekat maknanya dengan ijtihad (kebebasan menggunakan akal)
yang berdasarkan atas prinsip-prinsip yang benar, menggunakan akalsehat dengan
persyaratan yang ketat. Tidak terikat pada pemikiran dan keinginan (hawa) nafsu dan
kecenderungan-kecenderungan lain. Seperti dinyatakan oleh al-qurtubi bahwa barang
siapa yang menucapkan sesuatu berdasarkan pikiran atau kesannya tentang Al-Qur’ân
atau memberikan isyarat dengan sengaja tentang prinsip-prinsip dasar maka ia patut
dicap sebagai penyimpangan dan melakukan kesalahan serta yang bersangkutan
adalah pembohong besar.133
Nabi Muhammad diutus oleh Allah bukan sekedar menyampaikan pesan-
pesan Al-Qur’ân, sekaligus ditugaskan untuk menjelaskannya kepada Umat manusia
sebagaimana ditegaskan dalam ayat [44 dan 64 surah 16:Nahl]:

ωÎ) |=≈tGÅ3ø9$# y7ø‹n=tã $uΖø9t“Ρr& !$tΒuρ ∩⊆⊆∪ šχρã©3xtGtƒ öΝßγ¯=yès9uρ öΝÍκös9Î) tΑÌh“çΡ $tΒ Ä¨$¨Ζ=Ï9 tÎit7çFÏ9 tò2Ïe%!$# y7ø‹s9Î) !$uΖø9t“Ρr&uρ

∩∉⊆∪ šχθãΖÏΒ÷σム5Θöθs)Ïj9 ZπuΗ÷qu‘uρ “Y‰èδuρ   ϵŠÏù (#θàn=tG÷z$# “Ï%©!$# ÞΟçλm; tÎit7çFÏ9

Jadi berdasarkan ayat-ayat diatas dapat dipahami penjelasan yang diberikan


oleh Nabi sepanjang melalui periwayatan yang shahih harus diterima karena semua
yang disampaikan berasal dari wahyu dan bukan dorongan hawa nafsu [surah al-
Najm 53:3-4], dan sebaliknya penafsiran selain dari Nabi Muhammad saw. bukan
merupakan wahyu ia merupakan sebuah ijtihad yang boleh jadi benar dan tak
mustahil salah. Disinilah letak urgensitas penafsiran, dimana mufassir dituntut
menguasai ilmu-ilmu pengetahuan diniyyah terutama yang menyangkut
komponen/perangkat tafsir sebelum menafsirkan, tidak hanya itu, ia harus
mempunyai prinsip-prinsip tujuan penafsirannya sehingga apa yang dimaksud dengan

132
Muhammad Ali Shabûniy, al-Tibyân fî ulûm al-Qur’ân, Maktabah al-Ghazâli Damaskus
1401 H, hal. 153-155.
133
Muhammad Zafzaf, al-Ta’rîf bi al-Qur’ân wa al-hadits, Maktabah alFalâkh, Kuwait 1984,
hal178-180. hadits diriwayatkan oleh Turmûdzi dan Nasâ’i. Dengan redaksi makna ‘barang siapa
yang menafsirkan al-Qur’ân berdasarkan fikirannya maka ia akan menempati neraka’.
67

tujuan ideal (Maqâshid al-Qur’ân) akan dapat tercapai secara maksimal, tentunya hal
tersebut sebatas kemampuan manusia, demikian Ibn ‘Âsyûr dalam pengantar
tafsirnya.134
Dalam kitab Thabaqât al-kubrâ Ibn Sa’ad (w. 230 H) diceritakan bahwa
sejarawan Mûsa bin ‘Uqbah dititipi oleh Kuraiyb bin Muslim (w.97 H) ’sepikulan’
onta karangan (tulisan) gurunya Ibnu Abbâs (w. 68 H) –Tarjûman al-Qur’ân-.
kemudian disebutkan bahwa ‘Ali bin Abdullâh bin Abbâs (w. 118 H) berkirim surat
berkali-kali kepada Mûsa bin ‘Uqbah guna mendapatkan kumpulan karya ayahnya
guna ditulis ulang.135 Buah pikiran Ibn Abbâs dalam tafsir banyak yang sampai
kepada kita melalui riwayat yang shahîh, terutama melalui jalur ‘Ali bin Abî Thalhah.
Dalam tafsir ath-Thabary misalnya terekam sekitar 1000 riwayat melalui jalur ini
walaupun, sebagian pakar melemahkannya karena ‘Ali bin abî Thalhah tidak
meriwayatkannya secara langsung dari Ibn ‘Abbâs, namun belakangan diketahui
“perantara” keduanya melalui murid Ibn Abbas yang tsiqah yaitu Mujâhid (w. 104 H)
dan Ikrîmah (w. 105 H) sehingga tuduhan tersebut tidak relevan.136
Secara umum tafsir dengan pendekatan bahasa dan logika berkembang pada
murid-murid Ibn Abbâs seperti Sa’id bin Jubair (w. 95 H), Mujâhid. Ikrîmah, al-
Dhahhâk (w. 105 H) dan Atha’ bin Rabah (w. 114 H). Belakangan pada akhir abad
kedua Hijriah mulai bermunculan tulisan-tulisan yang mengarah kepada perumusan
kaidah-kaidah tafsir al-Qur`ân dan penafsiran secara sintaksis (pendekatan nahwu)
mulai diperkenalkan dalam bentuknya yang sederhana.137 Seperti al-Asybah wa al-

134
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 41-42. lihat juga penelitian yang dilakukan
oleh Dr. Muhammad Biltâjî dalam, Umar Ibn al-Khaththâb fî al-Tasyrî’, (Dâr al-Salam li al-Thaba’a
wa al-Nasyar wa al-Tawzî’ wa al-Tarjamah) cet-2, 2003 M/1424 H, hal. 35-39.
135
Ibn Sa’ad Thabaqât al-Kubrâ, t.t. jld.5, hal. 216.
136
Ath-Thahâwî, Musykil Atsar, jld. 3, hal. 186. lihat juga komentar Fuat Sezgin dalam Târikh
Turats ‘Arabiy, Jld I hal. 180.
137
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyâh al-‘Aql al-‘Arâbi: Dirâsah Tâhlîliyyah Naqdiyyah li
Nuzum al-Ma‘rifah fî al-Tsaqâfah al-‘Arâbiyyah (Beirut: al-Dar al-Bayda`, cet. 7, 2000), hal. 16. lihat
juga Khâlid ibn ‘Utsmân al-Sabt, Qâwa‘id al-Tafsîr Jam‘ân wa Dirâsatan (Kairo: Dâr Ibn ‘Affân,
1421 H.), hal. 42; dan Khâlid ‘Abd al-Rahmân al-‘Akk, Ushûl al-Tafsîr wa Qâwâ‘iduhu, (Beirut: Dar
al-Nafâis, cet. 2, 1986), hal. 32-33. pendekatan nahwu dilakukan oleh Abû aswad As-Du’aliy (w. 69
H), Nashr bin ‘Âshim (w’ 89 H), yahya bin Yamar (w. 129 H), Abu ‘Amr bin al-‘Ila (w. 145), dan Isa
68

Nazhâ`ir fî al-Qur`ân al-Karîm, karya Muqâtil ibn Sulayman (w.150 H); Ma‘ânî al-
Qur`ân, karya al-Farrâ`(w. 207 H.); serta Majâz al-Qur`ân, karya Abu ‘Ubaydah
Ma‘mar ibn al-Mutsannâ (w. 215 H.).138 Tetapi orang yang dianggap berperan paling
penting dalam meletakkan pondasi bagi perumusan kaidah-kaidah tafsir al-Qur`ân
adalah al-Syafi‘i (w. 204 H.) melalui karyanya, al-Risâlah.139
Penafsiran terhadap teks ayat yang dilakukan pada periode tersebut pada
dasarnya terbatas pada aspek-aspek harfiah dan dimana tempat ia diturunkan, yang
terkadang dilakukan dengan bantuan ayat lain. Jika ayat tersebut menuturkan tentang
peristiwa sejarah atau realitas penciptaan maupun kebangkitan, dan seterusnya,
maka dalam hal ini tak jarang digunakan sejumlah hadis Nabi saw agar menjadikan
arti ayat yang dimaksud menjadi terang dan gamblang. Pertanyaannya adalah; apakah
Nabi Muhammad saw. menjelaskan seluruh ayat Al-Qur’ân ?
Aktifitas penafsiran al-Qur’ân yang dilakukan oleh para intelektual Muslim,
dari generasi salaf hingga kontemporer, bahkan masa yang akan datang selalu berada
dalam satu bingkai teoritik yang sama, sebagaimana ditegaskan oleh Andrew Rippin,
yakni to explain the text and to explore its ramifications as fully as possible, as well
as to make the text understandable.140 Tetapi muncul sebuah persoalan, yakni
bagaimana seharusnya seorang muslim menafsirkan al-Qur’ân, sehingga pesan-pesan

bin Umar ats-Tsaqafy (w. 149 H).sayangnya kitab tafsir yang muncul di abad awal sampai pertengahan
abad ke 2 hijriah hilang dan tidak sampai kepada kita kecuali dalam bentuk kutipan dibuku-buku
Ulama’ yang muncul belakangan.
138
Al-Jabirî, Bunyâh al-‘Aql al-‘Arâbi, hal. 16-17. Dengan karyanya di atas, Muqaâil ibn
Sulayman dianggap sebagai salah seorang yang paling awal menulis karya di bidang ‘ulûm Al Qur'ân.
Ulama’-ulama’ belakangan, seperti al-Zarkâsyî dan al-Suyûti, mengutip banyak hal dari karyanya itu.
Lihat ‘Abdullâh Mahmûd Syahâtah, “Muqâtil ibn Sulayman: Dirâsah ‘an al-Mu`allif” dalam Muqâtil
ibn Sulayman, Al-Asybah wa al-Nazhâ`ir fî al-Qur`ân al-Karîm (Kairo: Al-Hay`ah al-Misriyyah al-
‘Ammah li al-Kitab, cet. 2, 1994), hal. 77.
139
Khâlid Al-‘Akk, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû, hal. 35. Khalid ibn ‘Utsmân al-Sabt
menambahkan Ahkâm al-Qur`ân sebagai karya lain al-Syâfi‘i yang memuat kaidah-kaidah interpretasi
al-Qur`ân. Lihat Khâlid ‘Ustsmân al-Sabt, Qawâ‘id al-Tafsîr, hal. 42. Al-Jâbiri bahkan menyebut al-
Syafi‘i dengan al-Risâlah-nya sebagai “peletak pertama aturan-aturan tafsîr al-khitâb al-bayâni dan
perintis terbesar (al-musyarri‘ al-akbar) bagi nalar Arab.” Lihat al-Jabiri, Bunyâh al-‘Aql al-‘Arâbî,
hal. 17.
140
Andrew Rippin, Muslims; Their Religious Beliefs and Practices, Vol II, (New York;
Routledge; 1995), hal. 85.
69

Ilahi yang terekam di dalamnya dapat ditangkap secara baik dan benar. Dalam
perkembangannya hingga saat ini, setidaknya ada tiga perbedaan pendapat di
kalangan Muslim dalam menafsirkan al-Qur’ân.141
Pertama, Pandangan Quasi - Obyektivis Tradisionalis. Menurut pandangan ini
ajaran-ajaran al-Qur’ân harus dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada masa kini,
sebagaimana ia dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada situasi, di mana al-
Qur’ân diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan disampaikan kepada generasi
muslim awal.142 Umat Islam yang mengikuti pandangan ini, seperti Ikhwân al
Muslimîn di Mesir dan kaum Salafi.
Pada beberapa negara Islam, berusaha menafsirkan al-Qur’ân dengan bantuan
berbagai perangkat metodologis ilmu tafsir klasik, seperti ilmu asbâb al-nûzûl, ilmu
munâsabât al - âyât, ilmu tentang ayat-ayat muhkam dan mutasyâbih dan lain-lain
dengan tujuan dapat menguak kembali makna obyektif atau makna asal (objective
meaning/ original meaning) ayat tertentu. Seluruh yang tertera secara literal dalam al-
Qur’ân, menurut mereka, harus diaplikasikan juga di masa kini dan masa yang akan
datang. Bagi mereka pesan utamanya adalah tetap ungkapan literalnya.143
Kedua, Pandangan Quasi - Obyektivis Modernis. Pandangan golongan ini
hampir sama dengan pandangan golongan pertama, dalam hal, bahwa mufassir di

141
Beberapa hal yang menyebabkan perbedaan penafsiran: 1) perbedaan bacaan (qira’at), 2)
adanya perbedaan macam-macam I’rab meskipun ada kesepakatan bacaan, 3) perbedaan ahli bahasa
dalam memaknai sebuah kata, 4) adanya satu kata yang mempunyai makna ganda atau lebih, 5) adanya
ambiguitas lafadz; antara mutlaq atau muqayyad, 6) adanya ambiguitas lafadz; antara umum dan
khusus, 7) adanya ambiguitas lafadz; antara haqiqat dan majâz, 8) adanya kemungkinan penambahan
kata, 9) adanya kemungkinan sebuah hukum itu mansûkh atau tidak, 10) adanya perbedaan riwayat
dalam penafsiran yang datang dari Nabi SAW dan generasi salaf al-shalih. Lihat Khâlid Abd al
Rahman, Ushûl al-Tafsir Wa Qawâ’iduhû, cet I, (Beirut: Dar al Nafais: 1986), hal 86.
142
Pada masa generasi muslim awal (sahabat) sumber yang digunakan dalam menafsirkan al-
Qur’ân adalah al-Qur’ân, Hadist Nabi, Ijtihâd dan Quwat al Istinbât, dan ahli kitab; Yahudi dan
Nasrani. Hanya saja, banyak terjadi manipulasi riwayat yang disandarkan kepada Nabi oleh para
tukang cerita. Lihat Muhammad Husein al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirûn, juz I, (T.tp.: Mush’ab
bin Umar: 2004), hal. 31-38.
143
Golongan ini berpegang kepada pendapat Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa Rasulullah
SAW telah menjelaskan seluruh makna al-Qur’ân kepada para sahabatnya, sebagaimana beliau telah
menjelaskan kepada mereka seluruh lafal-lafalnya. Lihat Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Usul al-
Tafsîr, tahqiq Adnan Z., cet I, (Kuwait: Dar al-Qur’ân: 1971), hal 35.
70

masa kini tetap berkewajiban untuk menggali makna asal dengan menggunakan, di
samping perangkat metodis ilmu tafsir, juga perangkat-perangkat metodis lain, seperti
informasi tentang konteks sejarah makro dunia Arab saat penurunan wahyu, teori-
teori ilmu bahasa, sastra modern dan hermeneutika. Hanya saja, aliran yang dianut
oleh Fazlurrahmân dengan konsepnya double movement, Muhammad al-Syâtibî
dengan konsepnya al-Tafsîr al-Maqâsidî dan Nasr Hâmid Abû Zaid dengan
konsepnya al-Tafsîr al-Târîkhi al-Siyâqi, memandang makna asal (bersifat historis)
hanya sebagai pijakan awal bagi pembacaan al-Qur’ân di masa kini; makna asal
literal tidak lagi dipandang sebagai pesan utama al-Qur’ân. Bagi mereka, sajana-
sarjana Muslim saat ini harus juga berusaha memahami makna di balik pesan literal,
yang disebut oleh Rahman dengan ratio legis, dinamakan oleh al-Syâtibî dengan al-
Maqâshidî (tujuan-tujuan ayat) atau disebut oleh Nasr Hâmid Abû Zaid dengan
maghzâ (signifikansi ayat). Makna di balik pesan literal inilah yang harus
diimplementasikan pada masa kini dan akan datang.
Ketiga, Pandangan Subyektivis. Golongan ini menegaskan bahwa setiap
penafsiran sepenuhnya merupakan subyektivitas penafsir, dan karena itu kebenaran
interpretatif bersifat relatif. Atas dasar inilah, setiap generasi mempunyai hak untuk
menafsirkan al-Qur’ân sesuai dengan perkembangan ilmu dan pengalaman pada saat
al-Qur’ân ditafsirkan.144

144
Lihat Sahiron Syamsuddin, Integrasi Hermeneutika Hans Georg Gadamer ke dalam Ilmu
Tafsir? Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Al-Qur’ân pada Masa Kontemporer,
Makalah dipresentasikan pada Annual Conference Kajian Islam yang dilaksanakan oleh Ditpertais
DEPAG RI pada tangal 26-30 November 2006 di Bandung. Masalah obyektifitas penafsiran, baik dari
ketiganya tidak ada yang mampu mencapai pada makna teks Al-Qur’ân secara obyektif, mengingat
keterbatasan potensi dan berbagai kekurangan yang dimiliki manusia, maka jauh dari memadai untuk
mengetahui maksud Tuhan Yang Maha Sempurna dan Obsolut. Lihat Nasr Hâmid Abû Zaid, Al-
Qur’ân, Hermeneutik dan Kekuasaan, terj. Dede Iswadi dkk, cet I, (RQiS; Bandung; 2003), hal 36.
Oleh karena itu wajar ketika dikatakan bahwa hasil penafsiran seseorang hanyalah berupa prasangka-
prasangka. Untuk selanjutnya pandangan ini menjadi peluang bagi para ahli takwil untuk bergerak
lebih bebas dalam menyingkap dan megeksplorasi pesan makna al-Qur’ân. bandingkan dengan tulisan
Ahmad Syukri Shaleh dalam [Hermeunetika dan Tafsir al-Qur’ân], Metodologi Tafsir al-Qur’ân
Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman, (Sulthan Thaha Press dengan Gaung Persada Press
Jakarta), cet-1. 2007. hlm 43-84
71

Golongan yang terakhir ini meyakini bahwa teks al-Qur’ân adalah rekaman
kalâm Allah subhânahu wa Ta’âla yang abadi dan universal, sehingga tak ada
keharusan untuk mempelajari asbâb al-nûzûl (konteks turunnya ayat)145 dan sejarah
Rasulullah SAW. Bagi mereka cukuplah teks al-Qur’ân berbicara sendiri pada
pembacanya, jika sekiranya pembacaan146 harus selalu dikembalikan ke masa lalu;
situasi Arab ketika ia diturunkan, maka makna universalitasnya akan berkurang.147
Pandangan seperti ini antara lain dianut oleh Muhammad Syahrûr, yang mana
dia tidak lagi tertarik untuk menelaah makna asal dari sebuah ayat atau kumpulan
ayat-ayat. Mufassir modern, menurutnya, seharusnya menafsirkan al-Qur’ân sesuai
dengan perkembangan ilmu modern, baik itu ilmu eksakta maupun non-eksakta.
Syahrûr menegaskan bahwa kebenaran interpretatif terletak pada kesesuaian sebuah
penafsiran dengan kebutuhan dan situasi serta perkembangan ilmu pada saat al-
Qur’ân ditafsirkan.148
Ibn Taimiyyah mewakili kelompok pertama berpandangan bahwa Rasulullah
telah menafsirkan setiap lafadz dan makna-makna Al-Qur’ân kepada para sahabatnya
yang mana hal ini wajib untuk diketahui, sebagaimana firman Allah ;”litubayyina
linnâsi mâ nuzzila ilaihim”149

145
Dalam hal ini Syahrûr bukanlah orang pertama yang berpendapat bahwa asbâb al-nûzûl tidak
penting dalam penggalian makna asal al-Qur’ân. Pendapat semacam ini sudah ada sejak lama.
Setidaknya hal ini terindikasi dari sanggahan para ulama ulûmul qur’ân yang tersaji dalam bab asbâb
al-nûzûl, yang kemudian menyajikan pendapat mereka tentang pentingnya mengetahui asbâb al-nûzûl
dalam pembacaan al-Qur’ân. Lihat kitab-kitab ulûmul qur’ân bab asbâb al-nûzûl.
146
Muhammad Syahrûr menggunakan istilah “qira’ah atau pembacaan” mengacu pada wahyu
yang pertama kali turun. Menurutnya pembacaan adalah mencari dalil (istidlâl), merenungi
(ta’âmmul), menemukan (idrâk), memaparkan (isti’radl), dan menganalisa (tahlil), yang mana seorang
pembaca, setelah melakukan aktifitas pembacaan ini akan sampai kepada suatu pemahaman apa yang
ia baca. Lihat Muhammad Syahrûr, Nahw Ushûl Jadîdah Li al-Fiqh al-Islâmi, (Damaskus; Al Ahali:
2000), cet I, hal. 117. Al Ahali adalah media yang biasa digunakan Syahrûr dalam mempropagandakan
pemikirannya di samping TV dan internet.
147
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hal. 164.
148
Sahiron Syamsuddin hal 10. bandingkan dengan tulisan Ahmad Syukri Shaleh dalam
[Hermeunetika dan Tafsir al-Qur’ân], Metodologi Tafsir al-Qur’ân Kontemporer dalam pandangan
Fazlur Rahman, (Sulthan Thaha Press dengan Gaung Persada Press Jakarta), cet-1. 2007. hlm 41-84
149
Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi ushûl tafsîr, hal 9.
72

Pandangan kelompok kedua menyatakan Rasulullah hanya menjelaskan


sebagian kecil dari makna Al-Qur’ân kepada sahabat. As-Suyûthi (w.911 H)
menguatkan pendapat Al-Khûbi (w. 637 H), bahwa riwayat yang shahih dari Nabi
berkaitan dengan penafsiran Al-Qur’ân sangatlah sedikit, bahkan riwayat yang datang
dari Nabi tentang persoalan itu pun sangat sedikit.150 Pada periode kedua inilah sudah
mulai banyak berkembang dan bermunculan hadits-hadits palsu ditengah-tengah
masyarakat. Sementara itu perubahan-perubahan sosial semakin menonjol maka
timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah,
Sahabat dan Tabi’în.151
Sebuah penafsiran dianggap bernuansa rigid bermula pada studi kajiannya
yang mencakup segala sesuatu yang tak terlukiskan dalam wilayah kajian teolog yang
ruang lingkup pengetahuannya tidak bersifat mesti (dharûriy), dan tak didapat
(muktasab).152

B. Maqâshid Perspektif Ulama’ Salaf dan Khalaf


Terdapat dua pandangan dasar yang kemungkinan besar hal ini dijadikan
sandaran pemikiran al-Maqâshidî oleh para pakar ushul yaitu makna dibalik teks dan
dasar-dasar kemaslahatan (Ma’ânî manshûshah wa ushûl Mashlahiyyah). Kedua
komponen disamping yang nampaknya terlihat dalam konsepsi yang ditawarkan
Imam al-Juwaini dan al-Ghazali.153

150
Al-Burhân fî ulûm al-Qur’ân, jilid I, hal. 16. lihat biografi al-Khûbi dalam Syadzarât adz-
Dzahâb,, jilid V, hal. 183. lihat juga al-Itqân fî ulûm al-Qur’ân, jld II, hal. 228.
151
Quraish Shihab, membumikan Al-Qur’ân, Bandung Mizan. Cet. 19, hlm 72-73.
152
Tentang perdebatan ini lihat lebih lanjut dalam Abu Ishâk Ibrahîm bin ’Ali al-Shirâzi syarh
Luma’,ed. Abd Majîd Turki, (Dâr al-Gharb al-Islami, 1988 vol.I hal.148-152. Abu al-Wâlid bin khalaf
al-Bâji, Ihkâm fushûl fî ahkâm al-ushûl, Abd Majîd Turki,ed. (Beirut, Dar al-Gharb al-Islami, 1986
vol.I hal.170-171. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazâli, al-Mankhûl min ta’lîqât al-
Ushûl edt. Muhammad Hasan Haytu (Dar al-Fikr Damaskus, 1980 hal. 42-46; lihat juga al-Mustasyfâ
min ‘ilm al-Ushûl, vol 2 (Kairo al-Mathba’ah al-‘Amiriyya 1324/1906), I, hal. 10. Wael B. Hallaq, a
history of Islamic Legal Theories Cambrigde University Press, cet. 1, 1997, hlm 37-38
153
Lihat Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, (al Ma'had Al-
‘Â'limiy lil fikri al Islamiy, Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 41. lihat Maqâshid al Syarî’ah al
Islâmiyah hal. 5-6. lihat juga tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al
Syarî’ah al Islâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 90-99.
73

Disiplin ilmu Maqâshid telah dibahas oleh pakar ilmu ushûl seperti Abû
’Abdullâh Muhammad ibn ’Ali (at-Tirmîdzî al-Hakîm) pada Abad ke-3 hijriah, yang
disinyalir oleh al-Raisyûni (la’allahû aqdamu man wadha’a) sebagai pengkodifikasi
pertama peneliti pertama khusus pada kajian Maqâshid al-Syarî'ah, juga pengguna
pertama kalimat ”Maqâshid”, hal tersebut tercermin dalam kitabnya ”as-Shalâh wa
maqâsidihâ” yang sampai sekarang masih dapat diakses.154

Pakar ilmu Ushul dan Fuqahâ’ dalam memakai istilah Maqâshid al-Syarî’ah
ini mereka tidak membatasi makna secara (partikular), namun dengan menggunakan
makna general (kulliyat/al-‘Âmmah) yang inheren didalamnya makna partikular
(juz’iyyat) atau adalah tujuan yang akan dicapai dan rahasia-rahasia (hikmah tasyrî’)
yang ditetapkan Allah untuk hambanya dalam setiap cabang hukum dari segala
hukum-hukum-Nya (sunnatullah).155
Maqâshid al-Syarî’ah perspektif al-Imam Haramain/al-Juwayni (w.478 H)
dibagi menjadi dua, pertama; tujuan-tujuan ideal (Maqâshid al-syar’îyyah) yang tidak
tersurat (al-mustaqra’ah ghair al-manshûshah) yakni yang meliputi dasar-dasar
kemaslahatan dalam syari’at, kedua; al-Maqâshid al-Syar’iyyah al-Mushtafâdah
yakni yang tersirat dan integrated dalam teks syar’iyyah (al-nushûs al-syar’iyyah)
yaitu al-Qur’ân.156 Demikian juga dengan al-Ghazâli dalam al-Mushtashfâ fî ’ilm al-
Ushûl, bahwa pandangannya tentang Maqâshid al-syari’ah tidak lepas dari dua unsur:
pertama; Maqâshid al-syarî’ah sebagai dasar-dasar kemaslahatan (ka ushûl al-
mashlahiyyah) dan yang kedua; Maqâshid al-syari’ah sebagaimana penjelasan-

154
At-Tirmidzî, âbu ‘Abdullah al-hakim, as-Shalâh wa Maqâshidihâ, tahqîq Husni Nasrun
Zaidan, Dâr el Kitâb al-‘Arabiy Mesir, 1965. lihat ulasan Raisûny dalam Nadhâriyyat al Maqâshid 'ind
al Imâm al-Syâtibi (The International Institute of Islamic Thought, Virginia-USA. 1995) hal. 40.
155
Lihat Abdul ‘Azîz bin ‘Ali ‘Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-
Syâri’ Maktabah Muluk Fahd al-wathaniyyah atsna al-Nasyr, cet. 1 1423 H/2002 M, hal. 19-20. lihat
juga al-Ustâdz Allâl al-Fâsî, Maqâshid syarî’ah Islâmiyyah wa makârimuhâ, Maktabah Wihdah al-
‘Arabiyyah, al-Dâr al-Baidhâ’ 1963, hal. 3.
156
al-Juwayni Abû al-Maâ’lî, al-Burhân fî ushûl al-fiqh, tahqiq Abd al-‘Azîm al-Dayb,
(Mesir, Dâr al-Anshar 1400) cet-2, juz 1, hlm 295. Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid
‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 41-45.
74

penjelasan/tujuan yang dimaksud. Nampaknya al-Ghazâli memperkuat pandangan


gurunya.157
Maqâshid perspektif al-Râzi (606 H) bertumpu pada dua landasan: pertama;
bertolak dari pemilahan illat hukum hukum syari’at, kedua; fokus perhatiannya pada
hubungan dan keterpautan pada peralihan dalil-dalil naql (teks) dari dugaan (al
dzann) kepada yana pasti (al qath’i).158 Al-Âmidiy (w. 631 H) sebagaimana
pendahulunya, al-Juwaynî dan al-Ghazâli. Hal yang baru dalam Maqâshidnya dengan
menekankan dasar-dasar kemaslahatan syari’at dalam men-tarjih (menguatkan)
diantara analogi-analogi kemudian menjelaskan dan membatasinya pada (hifdz al-
nafs, al-’aql, al-din, al mâl, dan al nasl).159
al Maqâshid al- syarî’ah perspektif al-‘Izz Ibn ‘abd al-Salâm (w.660 H)
adalah penegakan maslahah dan menjauhkannya dari kerusakan (al mafsadah),
sebagaimana dikatakan;
“Ketahuilah bahwa Allah tidak akan pernah memberlakukan hukum-hukum
syari’atnya kecuali untuk kemaslahatan umat manusia yang diperuntukkan
sekarang maupun yang akan datang, sebagai bentuk keutamaan bagi
makhluknya (tafadldlulan minhu ’ala ’ibâdihi) .”160

157
Al-Ghazâli al-Mustasyfâ min ‘ilm al-Ushûl, (Kairo al-Mathba’ah al-‘Amiriyya 1324/1906), I
hal. 286-290. lihat juga Syifâu al-Ghalîl fî bayâni al-Syibhi wa al-makhîl wa masâlik al-ta’lîl (Baghdad
Mathba’ah Irsyâd 1971/1390 M) tahqîq Ahmad al-Kubaysî, hal.159. lihat juga Ismaîl Hasani dalam
Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 45-47. lihat Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin
‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ 60-61.
158
Fakhruddin al-Râzî, al-Mahsûl fî ilm ushûl al-fiqh, tahqiq Tahâ Jabiri Fayâdh Alwâni
(Mathbû’at Jâmiah al-Imam Muhammad Ibn Saûd al Islâmiyyah) cet-1 juz , hal. 388. lihat juga Ismaîl
Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 49. lihat Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-
Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ 61-62.
159
Syaifuddîn al-Âmidiy, al-Ihkâm fî ushûl al-ahkâm, (Beirut; Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah 1983)
jld 4. hal. 376. lihat juga Ismaîl Hasani Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 49-50. baca
juga Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ 62-63.
160
Redaksinya sebagai berikut:
‫ »ﺍﻋﻠﻡ ﺃﻥ ﺍﷲ ﺴﺒﺤﺎﻨﻪ ﻟﻡ ﻴﺸﺭﻉ ﺤﻜﻤًﺎ ﻤﻥ ﺃﺤﻜﺎﻤﻪ ﺇﻻ ﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﻋﺎﺠﻠﺔ‬:‫ﻗﺎل ﺍﻟﻌﺯ ﺒﻥ ﻋﺒﺩ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﺭﺤﻤﻪ ﺍﷲ ﺘﻌﺎﻟﻰ‬
‫ »ﻭﻟﻴﺱ ﻤﻥ ﺁﺜﺎﺭ ﺍﻟﻠﻁﻑ ﻭﺍﻟﺭﺤﻤﺔ ﻭﺍﻟﻴﺴﺭ‬:‫ ﺜـﻡ ﻗﺎل‬،«‫ﻼ ﻤﻨﻪ ﻋﻠﻰ ﻋﺒﺎﺩﻩ‬ ‫ ﺘﻔﻀ ﹰ‬،‫ ﺃﻭ ﻋﺎﺠﻠﺔ ﻭﺁﺠﻠﺔ‬،‫ﺃﻭ ﺁﺠﻠﺔ‬
‫ ﻟﻜﻨﻪ ﺩﻋﺎﻫﻡ ﺇﻟﻰ ﻜل ﻤﺎ ﻴﻘﺭﺒﻬﻡ ﺇﻟﻴﻪ« ﺸﺠﺭﺓ‬،‫ﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔ ﺃﻥ ﻴﻜﻠﻑ ﻋﺒﺎﺩﻩ ﺍﻟﻤﺸﺎﻕ ﺒﻐﻴـﺭ ﻓﺎﺌﺩﺓ ﻋﺎﺠﻠﺔ ﻭﻻ ﺁﺠـﻠﺔ‬
. 401‫ ﺹ‬،‫ ﻟﻪ‬،‫ﺍﻟﻤﻌﺎﺭﻑ ﻭﺍﻷﺤﻭﺍل‬

Lihat juga pernyataan al-Qarâfi yang menyatakan diletakkannya syari’at atas dasar
kemaslahatan umum, dalam Syarh tanqîh al-fushûl, hal. 427
75

Poin-poin gagasan dan pandangan Tasyrî’î ‘Izz Ibn Abd al-Salâm sebagai
berikut, pertama; fitrah manusia yang mampu mewujudkan dan menekankan
kemaslahatan, dan sebaliknya, kedua; batas-batas kemaslahatan dan kerusakan
(mafsadah) didunia yaitu segala problematika dalam kategori hukum
mendesak/penting untuk segera diwujudkan (dlarûriyyât, Hâjiyyat, al Tatimmât wa
al-Takammulât), ketiga; klasifikasi/susunan kemaslahatan didunia (sebagaimana poin
kedua) dan akhirat juga demikian (amal wajib, sunah muakkadah, mandûbât).161
Demikian halnya dengan al-Qarâfî (w. 685 H) yang juga murid dari al-‘Izz
Ibn abd al-Salam menekankan pada penegakan perbedaan dalam interaksi sosial
masyarakat yang egelitarian (al-tasharrufât al-nabawiyyah), ia mendasarkan
pandangan Maqâshid al-syarî’ah-nya pada penjagaan (al-murâ’ât) maksud dan
tujuan (al-nushûs) yang tidak sejalan dengan cara dan aplikasinya, implementasi
dalam penyampaiannya diupayakan menjelaskan perihal yang dikehendaki dan
(maqâmât al-Qadâ’ wa al-Imâmah).162 al-Thûfî (w. 716 H) melihat bahwa menjaga
kelestarian maslahah lebih kuat dasarnya dari Ijma’, dengan demikian ia menempati
posisi teratas (prioritas) dari ketentuan hukum syara’ (‘adillah al-syar’i), karena
[dasar] sesuatu yang lebih kuat dari yang kuat menghasilkan yang kuat (lianna al-
aqwâmin al-aqwâ Aqwâ).163

‫ ﻭﻗﺎل ﺍﻟﻌﻼﻤﺔ ﺍﻟﻘﺭﺍﻓﻲ‬،‫ ﻭﻤﺎ ﺒﻌﺩﻫﺎ‬45‫ ﺹ‬،‫ ﻟﻠﺩﻜﺘﻭﺭ ﻤﺤﻤﺩ ﺴﻌﻴﺩ ﺭﻤﻀﺎﻥ ﺍﻟﺒﻭﻁﻲ‬،‫ ﻀﻭﺍﺒﻁ ﺍﻟﻤﺼﻠﺤﺔ‬:‫ﺍﻨﻅﺭ‬
‫؛ ﻭﻗﺎل ﺍﺒﻥ ﺘﻴﻤﻴﺔ ﺭﺤﻤﻪ ﺍﷲ‬427‫ ﺹ‬،‫ ﺸﺭﺡ ﺘﻨﻘﻴﺢ ﺍﻷﺼﻭل‬،"\‫ \"ﺍﻟﺸﺭﺍﺌﻊ ﻤﺒﻨﻴﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺼﺎﻟﺢ‬:‫ﺭﺤﻤﻪ ﺍﷲ ﺘﻌﺎﻟﻰ‬
،‫ ﺍﻟﻔﺘﺎﻭﻯ ﺍﻟﻜﺒﺭﻯ‬،"\‫ ﻭﺘﻘﻠﻴل ﺍﻟﻤﻔﺎﺴﺩ ﻭﺘﻌﻁﻴﻠﻬﺎ‬،‫ \"ﺠﺎﺀﺕ ﻫﺫﻩ ﺍﻟﺸﺭﻴﻌﺔ ﻟﺘﺤﺼﻴل ﺍﻟﻤﺼﺎﻟﺢ ﻭﺘﻜﻤﻴﻠﻬﺎ‬:‫ﺘﻌﺎﻟﻰ‬
. 47‫ ﺹ‬،‫ ﻟﻪ‬،‫؛ ﺍﻟﺴﻴﺎﺴﺔ ﺍﻟﺸﺭﻋﻴﺔ‬48/20
161
Al-‘Izz Ibn ‘abd al-Salâm, Qawâid al-Ahkâm fî Mashâlih al-anâm, (Beirut; Lubnân Dâr al-
Jîl 1980) cet-2. hal. 376. lihat juga Ismaîl Hasani Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 50-
53. baca juga Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-
Syâri’ 63-64.
162
Lihat al-Qarâfi, Syarh tanqîh al-fushûlfî ikhtishâri al-Mahsûl, (Kairo Mesir; Dâ al-Fikr
Lithaba’ah wa tawzi’wa al-nasyr 1973/1393 H) cet-1 hal. 397. Ismaîl Hasani Nazhariyyah al-
Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 54-57.
163
Lihat lebih lanjut al-mashlahah fî al-tasyrî’ al-Islâmi wa Najm al Dîn alThûfî, hal. 71. 74,
120. baca juga Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-
Syâri’ 65-66. Ismaîl Hasani Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 60-62. baca lebih lanjut
76

Ibn Taimiyah (w. 728 H) dalam karyanya Majmû’ Fatâwâ ia menekankan


bahwa mendasarkan ilmu dengan Maqâshid al-Syarî’ah merupakan pengkhususan
fiqh terhadap agama. Kemudian menekankan Maqâshid al khamsah pada peribadatan
untuk kelangsungan dan kemaslahatan hidup duniawi dan ukhrawi. Selanjutnya
Syaikh al-Islam memfokuskan pada urgensitas permasalahan pada sadd al-Dzarî’ah,
solusi dari illat hukum-hukum (ta’lîl al-hukm) kemudian menjelaskannya secara
gamblang, selanjutnya memfokuskan pada nilai-nilai maslahah dalam kajiannya
(secara makro), dengan memperhatikan pertimbangan, kaidah-kaidah serta alasan
penguatannya (wayubayyin mâ yatarajjah wa sabab al-Tarjîh), selanjutnya ia tidak
lupa menyebutkan tujuan-tujuan ideal dan hikmah darinya (Maqâshid al-Syarî’ah wa
Hikamihi).164
Demikian halnya dengan murid Ibn Taimiyyah, yaitu Ibn Qayyim al-
Jawziyyah (w.751 H) yang mendasarkan Maqâshid al-Syarî’ah pada empat prinsip
pokok: pertama; memfokuskan pada penetapan tujuan-tujuan syariat [secara umum],
penentuan sebab (illat) hukum dan cara penetapannya, kemudian menjelaskannya.
Kedua; memprioritaskan problematika yang berkaitan erat dengan Maqâshid al-
Syarî’ah, seperti permasalahan sebab hukum (ta’lîl), dan solusi [hukum] Hiyal, Sadd
al-Dzarî’ah, yang dijelaskan secara luas dan mendetail. Ketiga; memperhatikan
kajiannya pada tujuan-tujuan mukallifîn dan niat pelaksanaannya karena ia memiliki
korelasi hubungan yang kuat dengan tujuan-tujuan peletak syari’at (maqâshid al-
Syâri’). Keempat; ia memusatkan juga perhatian kajiannya terhadap problematika
hukum-hukum dan tujuan-tujuan ideal yang hendak dicapai.165

al-Fatâwa Ibn Taimiyyah, ( al Ribath; Maktabah Maâ’rif) 32/324. baca juga al-Qiyâs fî al Tasyrî’al-
Islâmi, (Beirut, Libanon,; Dâr al-âfâq al-jadîdah) cet-4 1980, hal. 55.
164
Lihat Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-
Syâri’ 64. Ismaîl Hasani Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 58-60.
165
Lihat Ibn al-Qayyim, Miftâh al-Dâr al-Sa’âdah wa Mansyûrah wilâyah al-‘Ilm wa al-
Idârah, (Mesir, Mathba’ah al-Sa’âdah) 1323 H cet. 1. hal. 2/2. lihat juga Ibn Taimiyyah, I’lâm al-
Muwaqqiîn ‘an Rabb al-‘Alamin, (Beirut Libanon, Dâr al-Fikr, Mah’baah al-Sa’âdah), tahqîq
Muhammad Muhyiddin ‘abd al-Hamîd. Jld 3/14. Lihat Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali
bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ 66-678. Ismaîl Hasani Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind
Ibn ‘Âsyûr, hal. 62-65.
77

Setelah dikemukakan berbagai perspektif Maqâshid al-Syarî’ah diatas, pada


bab yang akan datang penulis melanjutkan dengan perbedaan pandangan al-Imam al-
Syâtibi dengan Muhamamd Thâhir Ibn ‘Âsyûr dalam Maqâshid al-Syarî’ah,
kemudian akan dejelaskan lebih lanjut pada bab berikutnya.
1) Perbedaan Maqâshid al-Syâtibî dengan Ibnu ‘Asyûr
Pandangan umum tentang Maqâshid al-syarî‘ah, seperti diklaim sendiri oleh
Al-Syâtibi,166 telah mencapai kemapanan secara sistematis dan metodologis.167 Al-
Syâtibi (peletak kembali dasar ilmu ushûl) dalam konsep Maqâshid-nya
(induktif/istiqra’) bertumpu general untuk mewujudkan konsep partikular, ia tidak
saja menandai pergeseran epistemologis di bidang usûl fiqh, melainkan juga di
bidang tafsir dan hermeneutika al-Qur`ân.168

166
Lihat al-Syâtibî, Al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syarî’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.),
vol. 1, hal. 70. Bandingkan, ‘Abid al-Jabiri, dengan menyebut apa yang dilakukan al-Syâtibî dalam al-
Muwâfaqât sebagai i‘âdah tâ`sil al-usul (pendasaran kembali ilmu usul fiqh). Muhammad ‘Âbid al-
Jâbirî, Wijhâh al-Nazâr (Beirut: Markaz Dirâsat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1994), hal. 57. Istilah ta`sîl
al-Ushûl itu sebetulnya berasal dari al-Syâtibî sendiri. Sebelum Ibn Âsyûr mengelaborasi kembali
konsep al-Syâtibi, Maqâshid al-syarî’ah telah digunakan al-Tirmidzî al-Hâkim (w. 318 H.), Abû
Mansûr al-Mâturîdî (w. 333 H.), Abû Bakr al-Syasyî (w. 365 H.), al-Bâqillânî (w. 403 H.), al-Juwaynî
(w. 478 H.), al-Gazâli (w. 505 H.), ‘Izz al-Dîn ibn ‘Abd al-Salâm (w. 660 H.), al-Tûfî (w. 716 H.), dan
lain-lain. Ada bermacam-macam pendapat tentang siapakah orang pertama yang mengenalkan konsep
Maqâshid al-syarî’ah. Hammâdî al-‘Ubaydi menyebut nama Ibrâhim al-Nakha‘î (w. 96 H.), seorang
tâbi‘î, sekaligus guru dari Hammad ibn Sulayman yang kemudian menjadi guru Abû Hanifah. Lihat
Hammadi al-‘Ubaydi, Al-Syâtibi wa Maqâshid al-Syarî’ah, hal. 134. Sementara ‘Abd al-Rahmân al-
Kaylânî menganggap al-Juwaynî (w. 478 H.) sebagai orang pertama yang mengenalkan konsep
tersebut. Lihat ‘Abd al-Rahmân Ibrâhîm al-Kaylânî, Qawâ‘id al-Maqâshid ‘Inda al-Imâm al-Syâtibi
‘Ardlan wa Dirâsatan wa Tahlîlan (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2000), hal. 14, bandingkan dengan apa
yang ditulis oleh Ahmad Al-Raisûny dalam nadhariyyât al-Maqâshid ‘Inda al-Imâm al-Syâtibi, al
Ma'had Al a'limiy lil fikri al Islamiy cet IV th 1995 hal 39-71.
167
‘Abd al-Rahmân al-Kaylânî menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh para ulama sebelum
al-Syâtibi di bidang Maqâshid al-syarî’ah bernilai sama seperti sebuah pengantar (muqaddimah) jika
dibandingkan dengan apa yang ditulisnya dalam al-Muwâfaqât. Lihat ‘Abd al-Rahmân Ibrâhîm al-
Kaylânî, Qawâ‘id al-Maqâshid ‘Inda al-Imâm al-Syâtibi, al Ma'had Al a'limiy lil fikri al Islamiy 1421
H/2000 M hal. 14. Sementara itu, ‘Abd al-Muta‘âli al-Sa‘îdi bahkan membandingkan jasa al-Syâtibî
dalam perumusan Maqâshid al-syarî’ah dengan jasa al-Syâfi‘î dalam perumusan usul fiqh. Lihat
Hammâdi al-‘Ubaydî, Al-Syâtibî wa Maqâshid al-Syarî’ah, hal. 132.
168
David Johnston mensinyalir bahwa al-Syâtibi membuka kran penafsiran dengan
menggunakan metode hermenetik. Lihat David Johnston, “A Turn in the Epistemology and
Hermeneutics of Twentieth Century Usûl al-Fiqh”, dalam Islamic Law and Society, Edisi 11, No. 2,
Juni 2004, hal. 252-253. Al-Syâtibi memang sering dianggap memberikan inspirasi bagi munculnya
orientasi non-tekstual dalam penafsiran al-Qur`ân. Wael B. Hallaq, misalnya, menyatakan bahwa
metode induksi yang dirumuskan al-Syâtibi, “yang bergantung kepada penyerapan tujuan dan
78

Ibn ‘Âsyûr (w.1394 H) mengelaborasi konsep Maqâshid yang telah dibangun


Al-Syâtibi, namun ia bertolak dari yang konsep lintas batas partikular (tajâwaz al-
manha al-tajzî’iy...) untuk mewujudkan konsep-konsep yang partikular dalam
memahami hukum-hukum dan mencari solusi dari kompleksitas pelbagai
problematika sosial yang berkembang dimasyarakat, dengan mendasarkan
(mendahulukan) kepentingan umum atau mayoritas atas individu.169 Konsep ini
disinyalir mirip dengan model ijtihad fiqh Târîkhiy seperti yang pernah dilakukan
oleh Baqr Shadr dan fazlur Rahmân.170

Maqâshid syarî’ah yang dibangun al-Syâtibi disebut ‘Âbid al-Jâbiri sebagai


“I’âdah ta’sîl al-ushûl” (peletakan kembali dasar-dasar ilmu ushul) yang kemudian
diikuti oleh muridnya Abdul Majîd Turkiy merupakan titik awal bertumpunya dasar
metodologi dalam beristinbath hukum.171

semangat hukum—tanpa membatasi dirinya pada dalil tekstual tertentu…telah membuat teori tersebut
menarik bagi sekelompok pemikir modern yang minat utama mereka adalah membebaskan pikiran
umat Islam dari belenggu yang terbentuk oleh makna-makna lahiriah yang terkadang bersifat
mengekang dari teks-teks yang diwahyukan.” Lihat Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal
Theories: An Introduction to Sunni Ushûl al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
hal. 206. ‘Abid al-Jâbirî bahkan menyatakan bahwa al-Syâtibi melakukan modifikasi atas asumsi-
asumsi dasar epistemologi bayânî—sebuah epistemologi yang salah satu proyek teoretisnya adalah
penetapan aturan-aturan interpretasi bagi al-Qur`an, al-khitâb al-mubîn. Lihat Muhammad ‘Âbid al-
Jâbirî, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabî: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah li Nuzûm al-Ma‘rifah fî al-Tsaqâfah
al-‘Arabiyyah (Beirut: al-Dâr al-Bayda`, cet. 7, 2000), hal. 534-536. Selain itu, ketika Fahmi Huwaydi
menyatakan bahwa pembacaan yang benar (al-qirâ`ah al-shahîhah) terhadap al-Qur`an harus
mempertimbangkan aspek Maqâshid al-syarî‘ah selain aspek bahasa, dia mendasarkan pendapatnya
itu kepada pandangan ‘Abdullâh Darrâz dalam pengantar untuk kitab al-Muwâfaqât, karya al-Syâtibi.
Lihat Fahmi Huwaydî, Al-Qur`ân wa al-Sultân (Kairo: Dâr al-Syurûq, cet. 5, 2002), hal. 53-56.
169
Muhammad Thâhir al-Maysâwi, Maqâshid al-syarî’ah al-Islâmiyah, Dâr al-nafâis-Urdun,,
1421 H/2001, hlm 96-100.
170
Seperti ditulis oleh Thâhir al-Maysâwi, bahwa tulisan ini disadur dari Muhammad Syaikh
Mahdi Syamsuddîn dalam, al-Ijtihâd fî al-Islam, majalah Ijtihâd (Dâr al-Ijtihâd Beirut)1411/1990 hal.
49-50. lihat lebih lanjut Ijtihâd wa al-tajdîd fî fiqh al-Islâmiy (Beirut: Mu’assasah al-Dauliyyah cet.1
1419 H/1999 ) hal. 73-74. lihat juga karya Baqr Shadr al-Sunan al-Târîkhiyyah fî al-Qur’ân (Beirut:
Dâr al-Ta’âruf li al-Mathba’ât. Lihat kemiripan ungkapan Fazlur Rahmân the Major Themes of The
Qur’ân, Minneapolis: Bibliotheca Islmamica, 1994. dan buku Rahmân sebelumnya Islam and
Modernity, Chicago:The University of Chicago Press, 1984). Bandingkan dengan Hammâdî Ubaidi
dalam Ibnu Rusyd wa al-ulûm al-syarî’ah al-Islâmiyah,( Dar-el Fikr al-Arabiy, 1991) h. 99.
171
Lihat Abdul Majid Turki Manâdharat fî ushûl al-Syarî’ah bayna ibn Hazm dan al-Bâjî, oleh
Abdul al-Shabûr Syâhin, Beirut Dâr al-Gharb al-Islamiy cet. 1414 H/ 1994, hal 512. lihat juga, ‘Abid
al-Jâbiri, Muhammad ‘Âbid al-Jâbiri, Wijhâh al-Nazâr (Beirut: Markaz Dirâsat al-Wihdah al-
79

Terkait dengan pendasaran kembali ilmu (ushûl) inilah terlihat urgensi


gagasan Ibnu ‘Âsyûr ketika hendak mengelaborasi pandangan pendahulunya yang
disebutnya dengan “pendasaran Ilmu Maqâshid al-Syarî’ah.” Hal ini disinyalir,
bahwa teori yang diusung Ibn ‘Âsyûr berusaha menggali dan menemukan cara
pandang sejarah secara ilmiah dan metodologis yang digunakan untuk penelitian dan
peletakan dasar ilmu Maqâshid al-Syarî’ah yang integral, karena lanjut Ibn ’Âsyûr
kajian ilmu Maqâshid ini berbeda dengan kajian ilmu ushul, menurutnya penelitian
dari kajian ushûl tidak kembali pada esensi hikmah al-tasyrî’. Namun sebaliknya, ia
hanya berputar-putar pada permasalahan istinbath hukum dari nash sharîh melalui
kaidah-kaidah yang digunakan pakar (fuqahâ’) untuk beristinbath hukum dari
cabang-cabang ataupun sifat-sifat (‘illat) hukum yang diambil dari Al-Qur’ân,
sebagai kajian untuk menginterpretasikan lafadz-lafadz yang diyakini sebagai
kehendak Tuhan (sebatas kemampuan seorang faqîh dalam berijtihad).172

Pandangan dan gagasan Ibn ‘Âsyûr (w. 1393 H) tentang ilmu Maqâshid al-
Syarî’ah baginya sangat berhubungan erat dengan penelitian lain, yang mempunyai
muara esensi tujuan yang sama yakni penelitian tentang ”Norma-norma/aturan sosial
Kemasyarakatan yang Islami” (The rule of Islamic Civilization), dalam pandangan
Ibn ‘Âsyûr bahwa pemerhati penelitian tentang tema besar ini membutuhkan kaidah-
kaidah yang luas, rinci dan mendetail dari kaidah-kaidah pakar ushul fiqh yang ada
selama ini. Karena menurutnya; perihal-perihal yang ditampakkan akan lebih elastis

‘Arabiyyah, 1994), cet. 4, hal. 547. baca Tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam
Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 86-95
172
Lihat Abdul Majîd Turkî Manâdharat fî ushûl al-Syarî’ah bayna ibn Hazm dan al-Bâjî, oleh
Abdul al-Shabûr Syâhin, Beirut Dâr al-Gharb al-Islamiy cet. 1414 H/ 1994, hal. 361,484. lihat
Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah hal. 5-6. lihat juga tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî
dalam Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 90-99. dikatakan bahwa
keterpautan antara kajian Maqâshid al-Syari’ah dan pendasaran ilmu social kemasyarakatan yang
egeliter sangat ereat dan kajiannya membutuhkan kaidah-kaidah yang lebih luas dari sementara
kaidah-kaidah yang dipakai pakar ushûl fiqh (ahwaju ilâ qawâid awsa’u min qawâid ahl ushul) baca
juga Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’
Maktabah Muluk Fahd al-wathaniyyah atsna al-Nasyr, hal. 41-43. Lihat juga Ismaîl Hasani dalam
Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, (al Ma'had Al-‘Â'limiy lil fikri al Islamiy, Herendun USA)
cet. I thn. 1995 hal. 98-102 dan 113-114.
80

dan tidak hanya sekedar mengaplikasikan kaidah-kaidah syarî’ah untuk


menyelesaikan problematika hukum dimasyarakat, dengan mengkonversikan dan
mengelaborasikannya dengan qiyas yang disinyalir memiliki persamaan muatan teori,
namun dengan menyingkap rahasia (hikmah) dibalik itu tidak menjadi utopis.173
Tolok ukur yang menjadi esensi muara dari kajian ini adalah; sejauh mana
pencapaian kemaslahatan terealisasikan dalam kehidupan sosial berkemanfaatan
secara berkesinambungan?174 Saîd Ramadhân Al-Bûty menambahkan perbedaan
pandangan manfaat terjadi pada para filsuf dan psikolog, keduanya mempunyai tolok
ukur yang berbeda dengan pakar ushul. Ketika berbicara tentang filsuf dan psikolog
(Ulamâ’ al-falsafah wa al-akhlâq), adalah mereka yang memforsir dan menguras
pikiran dan pencarian mereka pada materi oriented, dan hanya sebagian kecil dari
mereka mengkorelasikannya dengan semangat beragama (sosial kemasyarakatan).175

C. Kebebasan, Kemaslahatan dan batasan-batasannya


Hurriyah/ kebebasan secara etimologi sebagaimana ditegaskan Ibn ’Âsyûr
dalam karyanya Ushul al-Nidham al-Ijtimâ’i al-Islâmi ia berarti lawan dari

173
Lihat Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, Ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islam, al-Syirkah al-
Tûnîsiyyah littawzî’ (Tunis) dan Dâr al-Wathaniyah lilkitab (al-Jazâir), 1985, hal.20-21. lihat juga
tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah, Dâr el
Nafâis- Urdun, 2001. hal. 90-91.
174
Sa'id Ramadhân Al Bûty dalam Dhawâbit al maslahâh fî syarî’ah Islâmiyah (muassasah
Risâlah, 1987) hal. 27-28,"Maslahah tidak lain adalah kemanfaatan yang dimaksudkan Allah yang
Maha Bijak (Al Hâkim) untuk umat manusia, yang senantiasa dipelihara agamanya, jiwa dan raganya,
akal dan keturunannya serta hartanya, -ditetapkan secara hirarkis-, dan kemanfaatan itu adalah
ketentraman (keberkahan-penulis-) yang abadi atau menuju -kebahagiaan- yang abadi", lihat juga
uraian Al-Imâm Izzuddin 'Abd Al-Salâm seperti ditulis oleh Abdullâh Yahya al-Kamâli dalam
"Maqâshid al syarî’ah fî dhau'I fiqh al Muwâzânâh (Dar Ibn Hazm,cet 1 Beirut-Lebanon), hlm 10.
mempunyai pandangan "bahwa maslahah dan mudharat baik dunia maupun akhirat; dalam tingkatan
â'lâ , âdnâ,- mutâwâssit dan ketiganya terbagi dalam yang muttâfaq (disepakati) dan mukhtâlaf fîh
(diperdebatkan). Dan “al-ahkâm fî maslahah al anâm” tahqîq 'Abdul Ghâniy al Dhuqr (damaskus dar
athToba', 1992) hlm 27. bandingkan dengan pandangan Syaltût dalam Islam 'Aqîdah wa Syarî’ah , dar-
el Syurûq 1975 ,hlm 496, lihat juga 'Abd. Salam 'Arif mengeksplorasi pandangan hukum Syaltut
pembaruan pemikiran hukum Islam (pembaruan dan fakta), LESFI Yoyakarta, cet-1 2003, hlm 177-
181, lihat, Al-Qaradhâwi, Dirâsah fî fiqhi Maqâshid al syarî’ah bayna al Maqâshid al kulliyah wa al
nushus al juzyiyah ( Kairo, Dar al Syuruq cet I 2006 ) hal 19-20.
175
Saîd Ramadhân Al Bûty dalam Dhawâbit al maslahâh fî syarî’ah Islâmiyah (muassasah
Risalah, 1987) hal. 29-30.
81

perbudakan dan penghambaan (al-Riqq wa al-’Ubûdiyyah), secara zâhir lafadz ini


[mengandung arti] nisbi, karena ia terlepas (al-takhallash) dari unsur penghambaan
dan perbudakan. Disisi lain ia dapat dikatakan ia merupakan kebebasan keinginan
individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya tanpa ada yang menghalanginya
[kamâ yasâ’u’ dûna mu’âridl]. Demikian juga Ustadz ’Allâl al-Fâsi melihat bahwa
kebebasan (al-Hurriyyah) bukan berarti manusia berbuat semaunya dan
meninggalkan apa yang diingininya (yatruk mâ yurîd). Akan tetapi, berbuat sesuai
dengan keyakinan bahwa dirinya sebagai mukallaf [yang dibebani] dari yang
diperbuatnya mempunyai nilai kebaikan bagi kemaslahatan kemanusiaan secara
umum [lishâlihi al-basyar ajma’în], Ustadz ’Allâl juga mengklasifikasikan beberapa
bentuk kebebasan yakni; Hurriyyatu al-Îmân, Hurriyyatu al-Wathaniyyah,
Hurriyyatu al-Fardliyyah, Hurriyyatu al-Siyâsah, Hurriyyah al-Bahts al-’Ilmiy, dan
Hurriyyatu al-’amal.176
Sejatinya makna Hurriyyah telah dipakai dari tahun III Hijriah dengan
pemahaman segala pekerjaan yang mampu dikerjakan manusia/yang bersangkutan
dengan catatan [pekerjaan] tersebut tidak menghalangi urusan orang lain (amrun
ghairihi). Selanjutnya Ibn ’Âsyûr mengalihkan pembicaraan mengenai kebebasan
yang beredar dizaman kekinian, yaitu segala perbuatan/pekerjaan yang diinginkan
setiap individu [manusia] tanpa ada [kemungkinan] yang menghalangi
kenginginannya tersebut sesuai dengan ukuran keberadaannya (Bimiqdâri
imkânihi).177

176
Lihat Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyah tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî
dalam Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 390-2. lihat juga Thâhir
Ibn ‘Âsyûr dalam ushûlu al-Nidhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islam, (Syirkah alTunisiyyah littawzî’ wa Dâr al
wathaniyyah lilkitab, al-Jazair 1985, hal. 150-1. lihat juga ‘Allâl al-Fâsî, Maqâshid al Syarî’ah al
Islâmiyah wa Makârimuhâ, (Maktabah al-Wihdah al-‘Arabiyyah, Dâr al-Baidhâ’)1963/1383, hal. 244-
256. dari sekian klasifikasi bentuk kebebasan diatas hendaknya berdasarkan keyakinan kepada wahyu
[al-Qur’ân], karena kesemuanya mempunyai konsekwensi pertanggung jawaban masing-masing kelak,
demikian ‘Allâl al-Fâsî. Baca juga Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam
‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ Maktabah Muluk Fahd al-wathaniyyah atsna al-Nasyr, hal. 41-43.
177
Lihat juga Thâhir Ibn ‘Âsyûr dalam ushûlu al-Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islam, (Syirkah
alTunisiyyah littawzî’ wa Dâr al wathaniyyah lilkitab, al-Jazair 1985, hal. 150-1. Lihat Maqâshid al-
Syarî’ah al-Islâmiyah tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al
82

Dalam perjalanannya, problematika kajian hukum Islam (syarî’ah) yang telah


disinggung diatas dituntut mampu menyesuaikan konteks, sehingga dalam konteks
inilah ia mempunyai muara/tujuan ideal yang hendak dicapai dari Maqâshid al-
syarî'ah (maksud-maksud/tujuan hukum) yaitu kemaslahatan manusia secara makro
di dunia dan akhirat, dalam entitas tujuannya Ibn ‘Âsyur juga menyebutnya sebagai
membangun tujuan-tujuan ideal/utama dalam frame norma-norma hukum ( Maqâshid
‘ala washafi al-Syarî’ah al-A’dham ), ia merupakan fitrah.178 Kemudian Ibn ‘Âsyur
mendefinisikannya fitrah itu sendiri sebagai aturan-aturan/norma yang dibuat oleh
Allah diperuntukkan untuk setiap makhluk hidup. Definisi ini bersumber dari (surah
ar-Rûm [30:30]) yang kemudian ditafsirkan.179

Islâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 390-1. bandingkan dengan ‘Allâl al-Fâsî, Maqâshid al
Syarî’ah al Islâmiyah wa Makârimuhâ, (Maktabah al-Wihdah al-‘Arabiyyah, Dâr al-
Baidhâ’)1963/1383, hal. 244-256., demikian ‘Allâl al-Fâsî. baca juga Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-
Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ Maktabah Muluk Fahd al-wathaniyyah
atsna al-Nasyr, hal. 41-43.
178
Lihat keterangan ini dalam Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, (tahqîq Muhammad Thâhir
al-Maisawi, Dâr-el-Nafâis-Beirut 2001) hal. 259-261.
179
Lihat penafsiran al-Râzî yang dikutip Ibn’ Asyur dalam Tafsîr al-Kabîr/ Mafâtîh al-Ghayb,
(Beirut, (Dâr al-Kutub al-‘ilmiyyah, 1990) Jld 13, Juz 25, hlm 105. ia menafsirka ‘fitrah Allah’ yaitu
ketauhidan-Nya, karena Allah –Jualah yang menjadikan adanya fitrah manusia, dan ciptaan Allah tidak
akan pernah tergantikan (Lâ tabdîla likhalqillâh), keesaan yang melekat pada sifat wajib bagi Allah.
Bandingkan dengan penafsiran yang dilakukan oleh al-Baidhâwi dalam, Anwâr al-Tanzîl wa asrâr al-
Ta’wîl, ia menafsirkannya dengan penciptaannya, dan kemampuan makhluk penciptannya untuk
menangkap kebenaran akan agama Islam, dan tidak mampu seseorangpun untuk merubah ciptaan-Nya
ini...lihat (Beirut, Dâr al-Kutub al ‘ilmiyyah 1993/ 1413 H) jld-2, hal. 220. Ibn ‘Atiyah dalam
Muharrar al-Wajîz fî tasîr al-Kitâb al-‘Azîz, tahqîq ‘Abdul al-Salâm ‘Abd al-Syâfî Muhammad
dinyatakan banyak perbedaan pandangan dengan kalimat fitrah ini, yang menurutnya ia dinisbatkan
kepada (Beirut, Dâr al-Kutub al ‘ilmiyyah 1993/ 1413 H) juz 4, hal 336
83

Senada dengan Al-Ghazâli dan al-Syâtibi,180 Ibnu 'Âsyûr berpandangan


bahwa tujuan utama syariat adalah untuk menjaga dan memperjuangkan tiga kategori
hukum, yang disebutnya sebagai Al-Dharûriyyat (primer), Al-Hâjiyyat (sekunder) dan
Al-Tahsîniyyat-(terrier), namun baginya belum cukup untuk membuka kran/jalan
berijtihad dan menempatkannya/memposisikan dalam kajian yang tepat (wa tuqîmuhâ
‘alâ asâs makîn) atau hematnya (khâssah) penelitian yang memfokuskan tegaknya
norma-norma agama untuk memprioritaskan kemaslahatan umat secara general
dengan pelbagai problematikanya secara global yang berkaitan dengannya, ini
ditekankan kalaupun tujuan umum diletakkannya Syarî’ah untuk memelihara norma-
norma kemasyarakatan (hifdzu nidhâm al-ummah).181
Maksud/tujuan yang hendak dicapai dari masing-masing kategori tersebut
adalah untuk memastikan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun akhirat.
Karena dasar dan asas syari’at tersebut sudah barang tentu/semestinya mengandung
keadilan dan hikmah yang terbaik bagi umat manusia182.

180
Imam Al-Syâtibi pemilik nama asli Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lâkhumi al-
Ghûrnâti, Abû Ishâq, dia membagi dua model Ijtihad yaitu istinbâti dan tatbîqi, dalam memahami al-
Qur’ân pandangan as-Syâtibi hendaknya maksud/tujuan Syarî’ah dari bahasa arab, uslub-uslubnya,
'am dan khâs, munâsabah ayat dan sûrah, I'jâz, dengan mengetahui dialektika arab maka akan dapat
memahami Al-Qur'ân, karena dialektika arab merupakan terjemahan dari Maqâshid as-Syari' itu
sendiri (lihat lebih lanjut al-Muwâfaqât 2:65-66 dan 4:324) tahqîq Abdullâh ad-Darrâz dar-el Ma'rifah
Beirut.
Karena kepiawaiannya dalam berbagai bidang keilmuan ia banyak memperoleh gelar kebesaran
seperti al-Hâfidz, al- Jalîl al-Mujtahid. Penulis al-Muwâfaqât dikenal dengan sebutan Bapak Maqâshid
Syarî’ah, kepiawaianya dalam materi fiqh, sampai ada suatu ungkapan peletak Ilmu Ushûl Fiqh itu
Imâm Syâfi'I dan pengembangannya dilakukan oleh Al-Syâtibi-lihat lebih lanjut dalam Ensiklopedia
Hukum Islam, Pt. Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta cet VII h. 1699-0.
181
Lihat kembali dalam A-Muwâfaqât tahqîq dirâsah Abdullâh Darrâz wa I'dâd Ibrahîm
Ramadhân, (Beirut, dar el-Ma'rifah cet-2 1416 H/1996) juz 1, hal. 30. , dan lihat kembali Ibnu 'Âsyûr
Maqâshid al-Syarî'ah al-Islâmiyah (Dar al-Nafais Linnasar, Urdun 2001) tahqîq M. Thâhir al-Maisâwi
hal. 92, 93, 300-2. bandingkan dengan Muqaddimah Ibn Khaldûn tahqîq Durwaeisy al-Juwaydî,
(Beirutal-Maktabah al-‘Ashriyyah cet-2 1997/1416 H), hal. 43. ditulis bahwa Maqâshid al-Syarî’ah Fî
al-Ahkâm kulluhâ mabniyyatun ‘ala al-Muhâfazah ‘Ala al-‘Umrân. Lihat juga Dirâsat fî fiqh
Maqâshid al-Syarî'ah karya Yusuf al-Qaradhâwî.(Dâr-el-Syurûq, 2006), lihat juga tulisan Hammâdî
Ubaidi dalam Ibnu Rusyd wa al-ulûm al-syarî’ah al-Islâmiyah,( Dar-el Fikr al-Arabiy, 1991) h. 99.
182
Ibnu ‘Âsyûr Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyah, (tahqîq Muhammad Thâhir al-Maisawi,
Dâr-el-Nafâis-Beirut 2001) h. 301, Lihat lebih lanjut al-Ghazâli dalam karyanya al-Mustasfâ fi 'ilmi al-
'ushûl tahqîq Dr. Muhammad Sulaiman Asyqar (Beirut Muassasah ar-Risalah 1417 H/1997) jld. 1 h.
417-421. lihat lebih lanjut uraian Maqâshid syarî’ah dalam sejarah teori hukum Islam terj. Dari A
84

Dharûriyyat (secara bahasa berarti kebutuhan yang medesak/primer),


Pandangan Ibnu ‘Âsyûr mirip dengan taksonomi al-Ghazâli (w.505) dalam al-
Mustasfâ-nya, dan al-Syatibi (w.1388 H) terhadap kebutuhan primer yang harus
dipelihara sejalan dengan kemaslahatan yaitu; hifdzu ad-Dîn, an-Nufûs,wa al-'uqûl,
wa al-amwâl, wa al-ansâb, kemudian al-Qarâfi dan Tajuddin as-Subkî
menambahkan al-a'râdh sebagai sub kategori dharûriyyat, penambahan tersebut
ditolak oleh Ibnu 'Âsyûr karena menurutnya (kehormatan/harga diri) termasuk dalam
kategori hâjiyyat (sekunder), sebagaimana al-Ghazâli tidak menempatkan a'râdh
dalam kategori dharûriyat, menurutnya harga diri telah ditanamkan sejak dini dan
telah tertancap kuat dalam kebiasaan, yang kemudian pada perkembangannya dengan
memanfaatkan syariat semaksimal mungkin untuk dapat mencapai keutamaannya
(harga diri).183
Hâjjiyat (secara bahasa berarti kebutuhan/sekunder), adalah merupakan aspek
hukum yang meringankan beban yang teramat berat, sehingga hukum dapat
dilaksanakan tanpa beban, tertekan dan terkekang, dan harus ditunaikan/dilaksanakan
sesuai karena kebutuhan. Seperti; nikah, kebolehan jual beli dengan cara 'araya yang

history a Islamic legal Theories karya Wael B. Hallaq (oleh E.Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin
Wahid, Raja Grafindo, 2001) hal. 247-256.
183
Ibnu ‘Âsyûr , Maqâshid al-syarî’ah al-Islâmiyah 306, Hammâdî Ubaydi menambahkan Ibnu
Rusyd (lahir 520H/1126M), Ibnu Rusyd wa al-‘Ulûm al-Syarî’ah al-Islâmiyah,(Dâr-el Fikr al-Arabiy,
1991) h.99-101, bahwasannya :"keberlangsungan kehidupan manusia tidak stabil apabila kelima hal
diatas tidaklah tercukupi (terselamatkan). Demikian Ibnu Rusyd mengutip pernyataan al-Syâtibi dalam
Muwâfaqâtnya juz 1,hal. 13. disisi lain Ibn Rusyd seperti yang ditulis Hammâdî Ubaydî (tahqîq
Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyah, hal.17) mengadaptasi Ibn Âsyûr yang mengatakan bahwa seorang
fakih tentu membutuhkan pemahaman Maqâshid al-Syarî’ah dan belum cukup kalau hanya memiliki
keahlian dalam ilmu ushul untuk melakukan penafsiran karena secara global ia hanyalah kumpulan
dari segenap kaidah-kaidah yang mengartikulasikan makna lafadz-lafadz dan pemahamannya serta
menyingkap makna dibalik teks dengan menggunakan metode qiyâs.
85

menimbulkan resiko,184 kemudian dengan memperingan pelaksanaan ibadah dalam


keadaan sakit.185
Tahsîniyyat (secara bahasa berarti sebagai hal penyempurna/terrier) dengan
menyempurnakan keadaan dalam berkehidupan yang bermasyarakat, sehingga hidup
dengan aman, tentram dan sentausa. Saling bahu-membahu sebagai makhluk sosial
yang berperadaban dan berbudi luhur, dengan menciptakan lingkungan yang
kondusif. Seperti bersedekah, memerdekakan budak, dll.186

184
‘Araya merupakan jual beli dimana buah belum masak (masih dipohon) namun dijual dengan
harga yang sudah masak. Meskipun hukum Islam melarang transaksi jual beli yang mengandung
resiko ini, jual beli 'araya diakui tanpa mengabaikan resiko dan ketidak pastian yang meliputinya,
Lihat kembali as-Subki, takmîlât al-majmû'; XI hal. 2
185
Lihat kembali Hammâdi Ubaydî, hal.100. seperti dikutip dari Maqâshid al-syarî’ahnya Ibnu
'Âsyûr, hlm 306, ia mengadopsi pandangan al-Syatibi dalam Muwâfaqât hal.326.
186
Ibnu 'Âsyûr Maqâshid al-syarî’ah al-islâmiyah 307, lihat juga Al-Ghazali al-mustasfâ juz 1
hal. 418.lihat lebih lanjut sejarah teori hukum Islam terj. Dari A history a Islamic legal Theories karya
Wael B. Hallaq (oleh E.Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid, Raja Grafindo, 2001) hal. 247-
256.
86

D. Rigiditas dan Elastisitas penafsiran: Generalitas dan Pengujian Teori


1) Pandangan Sarjana Barat tentang Ortodoksi/Rigiditas
Sering dikatakan bahwa ortodoksi (selanjutnya disebut rigiditas penafsiran)
adalah sesuatu yang asing dalam konteks Islam Rahmatan lil’âlamîn, karena tidak
ada dalam Islam sebuah institusi, seperti lembaga gereja misalnya, yang memiliki
otoritas untuk menentukan kriteria ortodoksi.187 Tetapi kita bisa dengan cukup aman
menggunakan konsep ortodoksi dalam kajian tafsir berdasarkan alasan-alasan berikut.
Pertama, Rigiditas penafsiran yang dipahami sebagai sebuah konsep ternyata
dapat ditemukan dalam karya para pemikir muslim awal, terutama di bidang teologi
dan heresiografi.188 Dalam konteks ini, rigiditas dipahami dalam kerangka pembedaan
antara “yang benar” dan “yang salah”. Kajian tafsir pun tidak luput dari kagtegorisasi
diatas. Sebagaimana dapat dilihat dengan jelas, literatur-literatur tafsir dan ‘ulûm al-
Qur`ân dipenuhi oleh kriteria-kriteria serta contoh-contoh “deviasi” dalam
penafsiran. Hal tersebut menyiratkan adanya sebuah konsep tentang ortodoksi dalam
tafsir (tafsir yang rigid).
Kedua, proses standardisasi dalam disiplin keilmuan selalu berlangsung
sampai pemapanan ilmu yang dimaksud.189 Dalam disiplin keilmuan tafsir misalnya,

187
Karena tidak adanya sebuah institusi dalam Islam yang bisa membuat sebuah doktrin
menjadi resmi dan ortodoks, maka Montgomery Watt lebih suka menggunakan istilah “pandangan
mayoritas” (the view of the main body) atau “pandangan Sunni” (the Sunnite view). Lihat W.
Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press,
1973), hal. 268.
188
Jika ortodoksi dipahami sebagai upaya untuk membedakan antara keyakinan yang benar dan
keyakinan yang salah, maka orang-orang seperti al-Asy‘arî, al-Gazâlî, al-Syahrastânî dan lain-lain
pernah mencoba mendefinisikan parameter keislaman yang “benar” dan mengkategorikan sikap-sikap
yang bertentangan dengannya sebagai pola keberagamaan yang “salah”. Parameter itu kemudian
menjadi acuan dasar untuk memapankan ortodoksi Sunni serta menegaskan heterodoksi kelompok-
kelompok lain di luarnya, seperti Syi‘ah, Muktazilah, Khawarij dan lain-lain. Lihat Fauzan Saleh,
Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX (Jakarta: Serambi, 2004),
hal. 77-78.
189
Ortodoksi adalah sebuah fenomena yang tidak saja terjadi dalam bidang agama, tetapi juga
terjadi dalam banyak disiplin keilmuan, seperti bahasa dan historiografi. Lihat Ursula Günther,
“Mohammed Arkoun: towards a radical rethinking of Islamic thought”, dalam Suha Taji-Farouki [ed.],
Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004), hal. 142.
87

kecenderungan yang sama juga terjadi. Prinsip-prinsip, metode-metode serta


terminologi-terminologi tafsir dan ‘ulûm al-Qur`ân telah mengalami proses
pemapanan yang berlangsung sekian lama. Standar kemapanan inilah kemudian
menjadi arus-utama dan dianut oleh mayoritas ulama tafsir. Adapun setiap pemikiran
yang berbeda dari mainstream tersebut cenderung dianggap sebagai ’deviasi/takhrîf’
dari pemahaman yang sudah mapan tersebut.
Persoalannya, mungkinkah kriteria ortodoksi/rigiditas sebuah tafsir itu
didefinisikan dan dibatasi? Atas dasar apa serta mengapa sebuah teori penafsiran bisa
dikategorikan ortodoks/rigid dan bukan heterodoks/elastis? apakah fuqahâ belum
menggunakan konsep Maqâshid dalam penafsiran? Bagaimana mungkin kita
membatasi sebuah teritori banyak orang, dengan pendapat masing-masing yang
berbeda-beda, ingin dianggap sebagai bagian darinya?
Berhadapan dengan problem-problem di atas, penelitian ini meyakini bahwa
adalah mungkin untuk membatasi dan mendefinisikan struktur dasar
ortodoksi/penafsiran yang rigid seperti pembatasan terhadap ortodoksi Sunni yang
dilakukan oleh Norman Calder misalnya, dalam artikelnya, “The Limits of Islamic
Orthodoxy”.190
Hanya saja, mesti diupayakan bahwa pembatasan itu, pertama, bersifat
general yang elastis; “general”, dalam arti bahwa ia dituntut untuk mencari prinsip-
prinsip yang relatif permanen dan tidak berubah dari masa ke masa; “elastis” dalam
arti bahwa ia tidak dirumuskan berdasarkan asumsi yang rigid bahwa ortodoksi
dibangun sekali dan untuk selamanya serta tidak pula berpretensi untuk menengahi
atau mereduksi perdebatan-perdebatan yang mengemuka dalam kajian tafsir
sepanjang beberapa abad lamanya. Kedua, pembatasan itu juga diusahakan untuk
lebih bersifat sosiologis daripada normatif. Artinya, ia digunakan sekedar untuk
menjawab pertanyaan mengapa sebuah teori atau pandangan dalam tafsir diterima
oleh komunitas Mufassir sementara teori atau pandangan lain ditolak. Dengan cara

190
Norman Calder, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, dalam Farhad Daftary [ed.]. Intellectual
Traditions in Islam (London: I.B. Tauris, 2000), hal. 66-86.
88

yang sama, kriteria ’elatis’ tersebut berfungsi menjadi dasar untuk menganalisa
mengapa Ibnu ‘Âsyûr dalam hal ini penting dan diapresiasi dengan cara yang
proporsional dari sebuah tafsir yang rigid, sementara di sisi lain, pendapat-pendapat
Ibn ’Âsyûr juga digunakan untuk mendukung dan menjustifikasi ortodoksi. Ketiga,
demi menghindari simplifikasi yang berlebihan, upaya penilaian terhadap prinsip-
prinsip Maqâshid dalam tafsir Ibnu ’Âsyur akan dilakukan kepada masing-masing
bagiannya untuk menghasilkan kesimpulan bahwa, prinsip-prinsip Maqâsid dalam
tafsir Ibn ’Âsyur bertentangan atau tidak sesuai dengan struktur ortodoksi/penafsiran
yang rigid.
Norman Calder,191 penelitian ini berpendapat bahwa tidak ada satu pun karya
di bidang tafsir yang bisa dianggap memberi kata akhir bagi apa yang disebut
ortodoksi /rigiditas penafsiran. Karena itu, penelitian ini tidak mencoba melacak
ortodoksi tafsir melalui pandangan atau karya seorang ulama tertentu, melainkan
melalui pembatasan terhadap struktur dasar ortodoksi dengan mana deviasi dari
ortodoksi/rigiditas itu bisa dinilai. Bertolak dari asumsi tersebut, penelitian ini juga
memilih untuk tidak terlalu memusatkan perhatiannya kepada relasi antara
ortodoksi/penafsiran yang rigid dan pilihan politik penguasa, melainkan kepada
proses diskursif yang berlangsung di antara para ulama tafsir. Dan karena belum ada
satu pun literatur yang menguraikan struktur dasar ortodoksi dalam tafsir secara utuh
dan sistematis, maka struktur tersebut akan digali, terutama, dari literatur-literatur
tafsir dan ‘ulûm al-Qur`ân,192 berdasarkan kerangka teori yang akan diuraikan pada
bagian mendatang.
Sebuah penafsiran yang rigid agak sulit dibatasi, karenanya penelitian ini
memilih untuk mendefinisikan rigiditas dengan memotret munculnya ortodoksi,

191
Norman Calder, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, hal. 69-71.
192
Literatur-literatur tafsir dan ‘ulûm al-Qur`ân juga meliputi karya-karya tentang
“heresiografi”, perdebatan, serta tipologi tafsir (seperti al-mufassirûn hayâtuhum wa manhajuhum, al-
Ittijâhât al-Munharifah fî Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm, Ikhtilaf al-Mufassirîn: Asbâbuhû wa
Dawâbituhû, Madzâhib al-Mufassirîn, dan lain-lain), serta karya-karya tentang kaidah dan aturan tafsir
(seperti al-Qawâ‘id al-Hisân li Tafsîr al-Qur`ân, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû, dan lain-lain).
89

dengan menelusuri tafsir Sufi klasik, dan perdebatan para teolog kelompok-kelompok
Syi‘ah, Muktazilah, dan Khawarij. Pendekatan semacam ini dilakukan juga oleh,
misalnya, Wael B. Hallaq dalam karyanya, A History of Islamic Legal Theories: An
Introduction to Sunni Usul al-Fiqh —yang dimaksudnya dengan “Sunni Usul al-
Fiqh” adalah ushûl fiqh yang dikembangkan oleh sebuah kelompok mayoritas
(Sunni) di luar Syi‘ah.193
Selain itu, terma ortodoksi/rigiditas tafsir” menyiratkan bahwa terdapat juga
sejenis ortodoksi tafsir dalam kelompok-kelompok lain seperti terlihat pada tafsir Sufi
klasik.194
Pada seminar XV diselenggarakan di Al Jazair pada september 1981, kongres
tersebut mengerahkan kajiannya pada Al-Qur’ân, kajian tersebut diharapkan dapat
membantu untuk merumuskan strategi pengkajian dan berbagai arahan dari yang
terpikir yang dipaksakan wacana Islam secara makro.195 Dalam hal ini Arkoen
mencatat bahwa metode filologis yang dipraktekkan di barat sejak abad XVI
sekalipun, dengan kekayaan (metode) yang luas dipertahankan dalam yang terpikir
dan yang tak dipikirkan begitu berkaitan dengan berbagai sumber-sumber (ushûl)
wacana islami umum, terutama barkaitan dengan al-Qur’ân dan hadits. Berbagai
penolakan itu tidak pernah menggunakan argumen filologis dan historisis dalam
pengertian modern. Tetapi senantiasa menonjolkan wewenang naskah-naskah yang
sebernarnya menjadi obyek pembahasan ; al-Qur’ân dab Hadits, skema historiografis
yang telah dibekukan sejak abad IV/X dibawah tekanan teologi ortodoks.
Demikianlah kita melihat cara kerja semua nalar keagamaan.196

193
Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, hal. vii.
194
Lihat Michael A.Sells, diterj. Dari Early Islamic Mysticism, oleh D.Slamet Riyadi, (Sufisme
Klasik; menelusuri tradis teks Sufi), Mimbar Pustaka Bandung 2003, hal. 88 sampai akhir.
195
Lihat Arkoun Lectures du Coran terj. Hidayatullah ‘Kajian Kontemporer al-Qur’ân (Penerbit
Pustaka Bandung 1998) hal.20-21.
196
Diadaptasi dari Lectures du Coran terj. Hidayatullah ‘Kajian Kontemporer al-Qur’ân
(Penerbit Pustaka Bandung 1998) hal.20-21., lihat juga berbagai kontroversi yang dilancarkan tanpa
henti terhadap karya-karya Joseph Shact An Introduction to Islamic Law,(oxford:clarendon, 1964) dan
Ignaz Galdziher. Lihat lebih lanjut ulasannya dalam Faisar Ananda Arfa, sejarah pembentukan Hukum
Islam, Pustaka Firdaus cet. Pertama 1996 hlm 5-27. dalam hal yang sama sarjana barat yang
90

2) Tekstualisme dan Problematika Linguistik


Adalah menarik bahwa lukisan pengalaman-pengalaman mistik kerasulan
dalam periode Makkah dan Madinah seperti disinggung dalam Al-Qur’ân (QS. 17:1 ;
53: 1-12 dan 13-18; 81 : 19-25) terlihat adanya ungkapan yang progresif dari cita
religio-moral dan pendasaran tata kemasyarakatan dari komunitas muslim yang baru
terbentuk, namun kita hampir tak menemukan alusi-alusi apapun dalam Al-Qur’ân
tentang pengalaman-pengalaman batin. Hal ini sejalan degan orientasi kesadaran
Kenabian dimana pengalaman spritual tidak untuk dijadikan tujuan akhir atau dengan
kata lain dinikmati sendiri, tetapi yang utama untuk memberi makna pada tindakan
dalam sejarah.197
Dalam spiritualitas Islam dan Syarî’ah-lah bermula dari munculnya gerakan
pembaharuan Sufi (ortodoks) bertujuan mengintegrasikan kesadaran mistik dengan
syarî’ah Nabi, hal tersebut bermula dari pertengahan kedua abad ke-3 H/9 M dengan
kegiatan tokohnya, seperti al-Kharrâz mengemukakan subsistensi/survival
(kelanggengan/baqâ) untuk memperluas dan memperbaiki doktrin al-Bustamî tentang
’annihilasi’ (fana’). Apa yang nampaknya ingin diartikulasian dari pencipta doktrin
adalah bahwa subsistensi adalah suatu perkembangan spiritual dimana Yuhan
mengenugrah manusia dengan penemuan kembali dirinya.198 Dalam Islam setidaknya
terdapat Empat fase Spiritualitas Islam; pertama; Fase pra Sufistik yang meliputi Al-
Qur’ân, elemen-elemen ritual yang utama dalam Islam, dan peristiwa Mi’raj Nabi.
Kedua; Fase Sufisme periode pertama seperti Hasan Al-Bashrî (w.110 H/728 M),
Dzunnûn al-Mishrî (w. 246 H/861 M), Rabi’ah ’Adawiah (w. 185 H/801 M), Abû
Yazîd al-Bisthâmi, al-Muhâsibi (w. 243 H/875 M), dan al-Junayd al-Baghdâdi.

mendukung keberadaan hokum Islam pada awal hijriah diantaranya, M.M. al-Azami, Noel J. Coulson.
SD. Goitein, dan Wael B. Hallaq. Lihat artikel Goitein yang diulas oleh Faisar dalam buku yang sama,
34-53
197
Fazlur Rahmân, Islam, terj.oleh Ahsin Muhammad (Penerbit Pustaka, Bandung cet. 3. 1997,
hal. 183-184.
198
Lihat Kasyf al-Mahjûb, oleh Abu ‘Ali al-Hujwirî, karya yang berharga tentang doktrin-
doktrin Sufi, terj. Inggris R.A Nicholson (Gibb Memorial Studies), hal. 242 dst. Lebih lanjut lihat
uraian Rahman dalam Islam, 198-199.
91

Warisan mereka sampai kepada kita melalui sekumpulan ucapan yang terdapat pada
karya tulis ulama’ sesudahnya. Tahapan ini berawal dari Hasan Al-Bashrî hingga
masa al-Niffâri (w. 354 H/965 M). Ketiga; Fase pembentukan kepustakaan Sufistik
yang menunjukkan Sufisme sebagai satu modus kesadaran diri spiritualitas yang
meliputi semua aspek kehidupan dan masyarakat. Fase ini bermula dari al-Sarrâj (w.
465 H/ 988 M); hingga masa al-Qusyairi(w. 465 H/ 1074 M). Keempat; Karya-karya
gabungan dari para Sufi abad tujuh Hijriah seperti Attar, Rûmî (w. 672/1273 M) dan
Ibn ‘Arabi (w. 638/1240 M).199

Kemudian pada abad 4 H/10 M, al-Kalabadzî (w. 385 H/ 995 M) dengan


mengutip seorang otorita Sufi (Hallâj) mengatakan; subsistensi (baqa’) adalah
maqamât (station) Nabi-nabi yang dianugrahi Tuhan kedamaian dan itegritas
(sakinah),karena apapun yang mereka peroleh tidaklah menghalangi mereka untuk
melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah diperintahkan Tuhan’.200

Klaim-klaim kaum Sufi diatas yang dijadikan Junaid al-Baghdâdi sebagai


sasaran kritik baik dalam batas esoterik maupun praktek lahiriah mereka. Ia tidak
menolerir dan menolak konsep Sufi tentang ‘tahapan-tahapan’ dalam kesadaran
manusia, dan mengatakan mereka telah mati dalam keadaan menjadi tawanan dari
buah khayalan mereka. Sebagai konsekwensinya Ia menjawab dengan
mengemukakan prinsip bahwa pengetahuan (ilmu) mempunyai prioritas atas gnosis
(ma’rifah) dan larangan memiliki prioritas terhadap pembolehan.201 Hasil dari proses
doktrin Sufi mengasilkan kategorisasi yang berpasangan antara lain; (1)
199
Michael A.Sells, diterj. Dari Early Islamic Mysticism, oleh D.Slamet Riyadi,(Sufisme Klasik;
menelusuri tradis teks Sufi), Mimbar Pustaka Bandung 2003, 22-25.
200
Michael A.Sells, diterj. Dari Early Islamic Mysticism, oleh D.Slamet Riyadi,(Sufisme
Klasik; menelusuri tradis teks Sufi), Mimbar Pustaka Bandung 2003, 22-26 diadopsi dari kitab
Ta’arruf oleh Kalabâdzî Lihat Rahman dalam, Islam, , terj.oleh Ahsin Muhammad (Penerbit Pustaka,
Bandung cet. 3. 1997, hal. 198-199..
201
Diadopsi dari kitab Ta’arruf oleh Kalabâdzî, Rahman menguraikannya kembali dalam,
Islam, terj.oleh Ahsin Muhammad (Penerbit Pustaka, Bandung cet. 3. 1997, hal. 198-199.
Penafsiran-penafsiran yang dilakukan Massignon harus dilakukan dengan hati-hati, sebab lanjut
Rahman terkadang subyektifitasnya masih terasa kental. Lihat Rahman dalam, Islam, , terj.oleh Ahsin
Muhammad (Penerbit Pustaka, Bandung cet. 3. 1997, hal. 198-199.
92

ketidaksadaran dan ‘sadar’ (2) ‘unitas’ dan perbedaan (3) ‘absensi’ dan presensi’(dari
diri, dihadapan Tuhan, dan pengalaman mistik). Walaupun para Sufi belum dan tidak
mampumerumuskan secara ekslplisit hubungan organis antara kategori-kategori
dialektis mereka, namun doktrin mereka secara material memberikan sumbangan
kepada penyelamatan hubungan mereka dengan ortodoksi (kompromi adoks) seperti
yang dilakukan oleh Ibnu Khâfif (w. 371 H/981 M).202

Tafsir Sufi disinyalir sudah muncul pada akhir abad ke-2, dengan gaya tutur
yang tidak linear dan bentuk bahasanya pada awal-awal munculnya diawali dengan
kata kunci dari Al-Qur’ân, sebut saja sekumpulan ujaran yang dinisbahkan kepada
Imam Ja’far al-Shâdiq (w. 148 H/765 M), tafsir ini memunculkan kontroversial
seputar hubungan sufsime dengan syi’ah yang bermula dari ‘Ali (sebagai
pemimpin).203
Simbolisme huruf dalam Tafsir Ja’far diawali dengan frase: Dengan nama
Allah yang Maha pengasih dan Maha Penyayang,”frase ini dianggap bagian integral
dari surah tersebut. Seperti ‘bismi’ (dengan nama). Kemudian huruf pertama pada
potongan frase tersebut; ba’, sîn, mîm, dan setiap huruf akan dikaitkan dengan satu
kata kunci dengan kata dasar dari ketiga huruf itu.204
Kemudian generasi selanjutnya seorang Sufi yang berdisiplin tinggi; Shal ibn
Abdullâh al-Tustari (w.283 H/986 M).205 Karyanya merupakan ucapan-ucapannya
yang dikumpulkan oleh muridnya yaitu Muhammad ibn Sâlîm (w. 297 H/ 909 M),
pengaruh Sahl terhadap karya-karya Sufi pada masa berikutnya sangatlah dominan
202
L.Masignon dalam recoil de texts inedits, hal. 80. dalam Rahman dalam, Islam terj.oleh
Ahsin Muhammad (Penerbit Pustaka, Bandung cet. 3. 1997, hal. 198-199.
203
Diadaptasi dari naskah Paul Nwyia dalam Le tasîr Mysticue Attribute a Ja’far Shâdiq Edition
critique, “Melanges de Unicersite Saint Joseph 43 (Beirut, 1968) hal. 181- 23. Nwyia mengumpulkan
beberapa karya tafsir yang disandarkan pada Ja’far al-Shâdiq (w. 148/765 M) dari Haqâiq at-Tafsîr
karya al-Sulami (w. 412 H/ 1021 M) yang diteliti oleh Nwyia bahwa Ja’far hidup di Madinah selama
masa peralihan dari kekhalifahan Bani Umayyah di Damaskus kepada Bani ‘Abbâsiyyaah di Baghdad.
204
B untuk bahasa arab ba’: S untuk bahasa arab Sîn, M untuk bahasa arab Mîm .
205
Muhammad Shal ibn Abdullah al_Tustari, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm (Cairo: Dâr al-Kutub
al-Gharbiyyah al-Kubrâ, 1329 H/ 1911). Lebih lanjut lihat Gerhard Bowering, The Mystical Vision of
existence in Classical Islam: The Qur’anic Hermeneutics of the Sufi al-Tustari (w. 283 H/ 896 M)
(Berlin:Walterde Gruyter, 1980)
93

sehingga ia dipuji karena telah mengungkapkan tema-tema Sufi yang cukup penting
diantaranya; perjanjian primordial antara Tuhan dengan manusia (kalimat tauhid),
pancaran yang abadi dari cahaya Muhammad (al-Nûr Muhammadî), pandangan yang
menyatakan bahwa hanya Tuhan yang berhak untuk mengatakan ‘Aku’ dan
pandangan bahwa akhirnya setan akan dibebaskan. Sejatinya al-Tustarî banyak
dipengaruhi oleh Sufi periode awal yang cukup terkenal yaitu Dzû al-Nûn al-Mishrî
(w. 246 H/861 M). Pada gilirannya, ia banyak mempengaruhi pemikiran beberapa
Sufi penting dalam sejarah Sufi seperi al-Junayd, al-Hallâj, dan Muhammad ibn
Salim (w. 297 H/ 909 M).206
Penerimaan kepada mukjizat dan kewalian pun disinyalir tumbuh sangat luas
pada abad 4 H/10 M, dan bahkan filosof rasional sekaliber Ibnu Sina memberikan
ruang dan tempat kepadanya dalam sistem anti-atomisnya, walaupun ia menerangkan
mukjizat tersebut sebagai efek ‘alamiah’ dari kelebihan kekuatan pikiran (mind) atas
benda (matter). Gerakan pembaharuan Sufisme bermula dari mulai beredarnya
hadits-hadits baru pada abad ini 3 dan 4 H/ 10 M ini yang bermuara ganda untuk
menggalakan Sufisme dan menariknya pada wilayah ortodoks. Hal ini terlihat
semenjak munculnya karya-karya Sufi pada perempat akhir abad 4 H/10 M seperti al-
Luma’ oleh al-Sarrâj (w. 377 H/987 M) dan pengantar menuju jalan Sufi oleh
Kalabâdzî untuk menggalakan Sufisme moderat dengan struktur ide-ide yang
konsisten yang menunjang langgengnya ortodoksi/pemahaman rigid atas teks.
Kegiatan ini kemudian diikuti pada tahun 438 H/1047 M oleh al-Qusyairî (w.465

206
Lingkungan tempat al-Tustarî hidup dan mengajar telah dijelaskan oleh Bowering (Mystical
Vision, hal. XX); adalah al-Tustari seorang penduduk Persia, Privinsi Khurasan, meninggal di Bashrah,
kota metropolitan arab yang terletak didataran rendah Irak. Tustari hidup dalam satu wilayah yang
selama beberapa abad peradaban Iran dan dinasti Susian tela membatasi dan membuat garis tradisi
cultural sepanjang Mesopotamia Utara. Hidupnya sendiri dihabiskan didua wilayah terebut ketika
kekhalifahan Abasiyah (abad ke-3 sampai 9 H) menguasai dan menyerap tradisi Iran dan Hellenis
kedalam pengaruhnya, kemudian mencampurkannya dengan kebudayaan arab dari peradaban Islam
yang baru berkembang.
94

H/1073 M) dengan bukunya ‘Utusan (Risalah) Qusairiyyah’ yang masyhur, sebagai


manifesto sintesa antara Sufisme dan theologi ortodoks.207
Kemudian gerakan ini mencapai puncaknya pada masa al-Ghazâli (w. 505 H)-
Hujjatul Islâm- penulis, Ia tidak hanya membangun kembali (reorientasi) Islam
ortodoks, namun juga pembaharu Sufisme, dengan membersihkannya dari unsur-
unsur tak Islami serta mengabadikannya kepada paham Islam yang ortodoks. Melalui
pengaruhnya Sufisme memperoleh restu dai Ijma’(konsensus masyarakat).208
Apabila ilmu ushul fiqh dianggap sebagai metode yang bertanggung jawab
atas (dasar) dalam berijtihad untuk memahami Nash al-Qur’ân dan istinbath hukum,
maka sedikit sekali celah kesalahan dari ilmu ini yang akan menyebabkan mandegnya
Ulama’ dalam berijtihad karena ia merupakan Induk dari ilmu Maqâshid Syarî’ah
yang mempunyai tatanan kokoh, sebagai dasar asli dan tumpuan awal penyangga dari
sesuatu yang berada diatasnya. Dengan kata lain pengejawantahan integral/general
atas konsep-konsep yang partikular dari kaidah-kaidah fiqhiyyah secara khusus.
Dengan demikian celah-celah kesalahan diatas berawal/bersumber dari keinginan
untuk memperluas cakupan ilmu ushul dengan memasukkan hal-hal yang tidak
diperlukan oleh Mujtahid dalam beristinbat hukum.209
Kalupun al-Syâtibî (1388 M) dipandang sebagai pendobrak gagasan kembali
Ilmu Ushul menjadi kokoh dengan Maqâshid al-Syarî’ah, seperti yang disinyalir
beberapa pakar dan peneliti diatas. Lain halnya dengan Ibn ‘Âsyûr dia meletakkan
Maqâshid al-Syarî’ah sebagai ilmu tersendiri tidak lagi menginduk pada ilmu Ushul
Fiqh, karena ilmu Maqâshid al-Syarî’ah baginya sangat berhubungan erat dengan

207
Fazlur Rahman, Islam terj. Ahsin Muhammad (Pustaka, Bandung cet. 3. 1997, hal. 200-203.
208
Fazlur Rahman, Islam hal. 202-205. dari sinilah kemudian lahir organisasi Sufi, sampai pada
perkembangan sekte dan gerakan pembaharuan modern dan perkembangan modern serta neo
modernisme seperti yang diklaim Fazlur Rahmân bahwasanya ia masuk dalam kategori ini.
209
Lihat Ibn Mandzûr (Abû Fadl Jamâluddîn Muhammad ibn Mukrim (w. 117 H) dalam Lisan
al-arab “Dâr Lisân al-Arab” Beirut, jld. 3 hal. 128., lihat juga Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr ath-
Thabarî (w. 310 H), tafsir ath-Thabarî Jâmi’ al-Bayân ‘an ta’wîl ayy al-Qur’ân, tahqiq Ahmad
Mahmûd Muhammad asyakir Dâr al-Ma’arif, Mesir, jld. 3 hal.57. dan Ibn ‘Atiyyah, Muharrar al-
Wajîz fî tafsîr al-kitâb al-‘azîz tahqiq Abdullah al-Anshari dan Sayyid abdul ‘ali Ibrahîm, cet. 1, jld 1
Qatar 1409 H/1988, hal. 487.
95

penelitian lain, yang mempunyai muara esensi tujuan sama yakni penelitian tentang”
Norma-norma/aturan sosial Kemasyarakatan yang Islami” (The rule of Islamic
Civilization), yang menurut kaca mata Ibn ‘Âsyûr, pemerhati penelitian tentang tema
besar ini dan (Maqâshid Syarî’ah) membutuhkan kaidah-kaidah yang lebih luas (tidak
terikat dengan konversi persepadanan dengan qiyas), rinci dan detail dari kaidah-
kaidah ushul fiqh.

BAB III
96

PRINSIP-PRINSIP TAFSÎR DAN FORMULASI MAQÂSHID IBN ‘ÂSYÛR

Aktifitas penafsiran al-Qur’ân yang dilakukan oleh para intelektual Muslim,


dari dulu hingga kini, bahkan masa yang akan datang selalu berada dalam satu
bingkai teoritik yang sama, sebagaimana ditegaskan oleh Andrew Rippin, yakni to
explain the text and to explore its ramifications as fully as possible, as well as to
make the text understandable.210 Tetapi muncul sebuah persoalan, yakni bagaimana
seharusnya seorang muslim menafsirkan al-Qur’ân, sehingga pesan-pesan ilahi yang
terekam di dalamnya dapat ditangkap secara baik dan benar.

A. Prinsip-prinsip dasar penafsiran Ibn ‘Âsyur


Dalam kesempatan lain Ibnu Âsyûr menyatakan bahwa terdapat dua karakter
mufassir dalam menyikapi tafsir sebelumnya. Pertama; mereka cenderung mengekor
(taqlid) pada apa yang didapat dari pendahulunya. Kedua; mereka yang menolak
bersikap apriori terhadap tafsir-tafsir yang telah ada sekian abad sebelumnya.
Menurut Ibn ‘Âsyûr satu karakter lagi bagi mufassir yang mencoba menjembatani
dua karakteristik diatas. Bagi mereka yang masih bertali pada mufassir diatas maka
kami akan membersihkan dan menambahkan (melengkapinya), dan hampir tidak
pernah kami membuang atau menganulir dari tafsir sebelumnya. Karena lanjut Ibn
‘Âsyûr dengan membuang karya-karya umat yang terpuji berarti telah mengingkari
nikmat dan keistimewaan sebelumnya, segala puji bagi Allah Rabbul ‘Âlamin yang
telah menunjukkan dan mengukuhkan harapan dan mempermudah jalan kebaikan
ini.”211
Sebagai pengantar untuk kitab tafsirnya, Ibn ‘Âsyûr menulis sebuah
mukaddimah yang dibaginya menjadi 10 bagian, antara lain;

210
Andrew Rippin, Muslims; Their Religious Beliefs and Practices, Vol II, (New York;
Routledge; 1995), hal. 85. lihat Bab II hal 5.
211
Ibnu ‘Âsyûr “al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” hal. 7-8
97

Pengantar Pertama Ibnu ‘Âsyûr (1973 M) berbicara tentang tafsir dan ta’wil,
dia menegaskan tafsir merupakan ilmu Islam yang pertama, menurutnya orang
pertama yang mengkodifikasi tafsir yaitu ‘Abdul Mâlik ibn Juraij (80-149 H). Banyak
dari riwayat Ibnu Juraij diambilkan dari Ibn Abbas walaupun figur sekaliber Ibnu
Abbas (sahabat) banyak juga yang mengklaim dengan riwayat-riwayat yang tidak
jelas jluntrungnya (israiliyyât), hal saling mengklaim dan melegitimasi tafsir dan
ta’wîl kelompok ini sudah terjadi pada Ibnu Abbâs.212
Perhatian kepada persoalan-persoalan linguistik itu bermuara pada upaya
penetapan pola relasi antara teks dan maknanya. Secara umum, relasi tersebut bersifat
tekstualis, dalam arti bahwa pemaknaan apa pun terhadap al-Qur`ân tidak boleh
bertentangan dengan teks (al-Qur`ân dan hadits).213 Pada praktiknya kemudian,
prinsip tentang tekstualisme dalam tafsir ini bersinggungan dengan, paling tidak, dua
hal: takwil dan pembatalan teks (ta‘tîl al-nash).214
Menurut sebagian ulama klasik ta’wil sepadan (makna) dengan tafsir, dimana
ta’wil dianggap sebagai tafsir Al-Qur’ân, sama dengan ta’wîl Al-Qur’ân.215 Ta'wîl
merupakan sisi lain dalam memotret –dan memahami- cakrawala teks al-Qur'ân,
selain ta'wîl terdapat beberapa istilah yang menunjukkan pada pengungkapan makna
al-Qur'ân seperti tafsîr, bayân, syarh, dan terjemah. Dari beberapa term tersebut, term

212
Ibnu ‘Âsyûr “at-Tâhrîr wa at-Tanwîr” hal. 10-17
213
Teks al-Qur`ân bahkan ditempatkan di atas bahasa—bukan bahasa yang menjadi kriteria
benar atau tidaknya teks, melainkan teks yang menentukan apakah sebuah kaidah dalam bahasa Arab
bisa dianggap benar atau tidak. Lihat G.E. von Grunebaum, “I‘djâz”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.],
The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition. Bandingkan dengan al-Suyuti, Al-Itqân, vol. 1, hal. 9.
214
Istilah “ta‘tîl al-nash” berasal dari Yûsuf al-Qardâwî. Lihat al-Qardâwî, Dirâsah fi Fiqh
Maqâsid al-Syari‘ah: Bayna al-Maqâshid al-Kulliyyah wa al-Nushûs al-Juz`iyyah (Kairo: Dâr al-
Syurûq, 2006), hal. 4.
215
Muhammad ‘Alî Shabûniy, al-Tibyân fî ulûm al-Qur’ân, Maktabah al-Ghazâli Damaskus
1401 H, hal. 62-63. seperti Mujahid (w.104 H) murid dari Ibnu Abbâs (w. 68 H) –Tarjûman al-
Qur’ân-, yang berpandangan bahwa mayoritas ulama memahami ta’wil sebagai tafsir al-Qur’ân,
namun demikian sebagaian ulama’ mempunyai perspektif berbeda antara tafsir dan ta’wîl terdapat
perbedaan yang jelas dikalangan mufassir khalaf (kontemporer) kedua istilah ini. Menurut mereka
tafsir mengacu pada arti dhâhir ayat-ayat Al-Qur’ân. Sementara ta’wîl mengacu pada bermacam-
macam kemungkinan makna yang dikandung ayat Al-Qur’ân.
98

yang popular atau mendominasi saat ini adalah term tafsir dibanding dengan term
ta'wîl dalam memahami makna al-Qur'ân.
Meskipun istilah yang mendominasi saat ini adalah istilah tafsir, akan tetapi
dalam catatan sejarah istilah ta'wîl yang lebih dahulu muncul dari pada istilah tafsir.
Rasulullah Saw. pernah mengungkapkan lafadz tersebut ketika mendo'akan Ibn
Abbas (w. 68 H) agar Allah Swt. Memberikan pemahaman dalam hal ta'wîl kepada
Ibn Abbas (…allâhumma faqqihhu fî ad-dîn wa 'allimhu at-ta'wîl). Pada masa tâbi'
at-tâbi'in, istilah ta'wil lebih populer. Di zaman Imam at-Thabari misalnya -pengarang
kitab Jâmi' al-Bayân fi Ta'wil Ayy al-Qur'ân- diterangkan, bahwa lafadz ta'wîl lebih
banyak di ulang daripada lafadz tafsir. Ini di buktikan bahwa kata tafsir hanya
disebutkan sekali (al-Furqân ayat 33), sedangkan lafadz ta'wîl terulang lebih dari
sepuluh kali.216
Ta’wîl dengan segala perdebatan mengenai definisi dan pembatasannya
menganut asumsi tentang dua level makna: zhâhir -bâtin, haqîqî-majâzî, qarîb-ba‘îd,
muhkam-mutasyâbih, jâzim-muhtamil, atau ma`tsûr-manzûr.217 Dalam pandangan
ortodoksi Sunni, pembagian dua level makna ini bersifat biner, dalam arti bahwa
kategori yang kedua harus merujuk kepada, dan dibatasi oleh, kategori pertama.
Lebih jauh lagi, perumusan makna pada kategori kedua harus selalu dilakukan dalam
wilayah yang diizinkan oleh kaidah-kaidah bahasa Arab. Dengan demikian, makna
bâtin, majâzî, ba‘îd, mutasyâbih, muhtamil, dan manzhûr hanya bisa diterima apabila
ia tidak bertentangan dengan makna zhâhir , haqîqî, qarîb, muhkam, jâzim, dan
ma`tsûr serta tidak menyimpang dari aturan-aturan bahasa.218

216
Lihat Mannâ’ Khâlîl al-Qaththân, Mabâhits fî ulûm al-Qur’ân, Mu’assasah al-Risâlah,
Beirut, 1983, hal. 327. lihat redaksi ayat yang secara bahasa dalam (QS. 25 :33). Lihat juga Yusuf al-
Qaradhâwi, berinteraksi dengan al-Qur`ân, Gema Insani Press , Jakarta 1999, hal. 233.
217
Tentang konotasi takwil dengan dua level makna ini, lihat al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-
Mufassirûn, vol. 1, hal. 13-16 dan Musâ‘id al-Thayyâr, Mafhûm al-Tafsîr wa al-Ta`wîl wa al-Istinbât
wa al-Tadabbur wa al-Mufassir (www.ahlalhadeeth.com), hal. 52-60.
218
Menurut al-Jâbirî, bahkan kelompok Sunni dan Muktazilah sebetulnya sepakat bahwa takwil
tidak boleh melanggar batasan-batasan yang ditetapkan dalam bahasa Arab. Perbedaan di antara kedua
kelompok tersebut sebetulnya terletak hanya dalam penentuan ayat-ayat mutasyâbihât. Lihat al-Jâbirî,
Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, hal. 59-60. Sementara itu, menurut al-Dzahabî, untuk menerima takwil
99

Ta’wîl dalam perspektif Ibnu ‘Âsyûr menyerupai pandangan yang pernah


diusung pendahulunya seperti al-Zamakhsyari dan ‘Ali Shabuny, , termasuk al-
Qaththân, sedangkan al-Tsa’labiy, Ibn A’raby, dan Abû Ubaidah, ketiga terakhir ini
mereka mengadopsi pandangan Râghib al-Asfahâny yang menyatakan persamaan
antara tafsir dan ta’wîl dalam mukaddimah kitab tafsirnya Tahrîr wa al-Tanwîr,
sebagian Ulama berpandangan bahwa tafsir menerangkan makna Zhâhir (tersurat)
sedangkan Ta’wîl menjelaskan makna mutasyâbih (tersirat), mereka berpandangan
bahwa ta’wîl adalah dengan membalikkan makna lafadz dari makna yang tersurat
kepada makna lain yang tersirat didalamnya sebagai keterangan atas ayat tersebut
dalam hal ini Ibnu ‘Âsyur menyatakan sebagai ma’nâ ushûliy.219
Seperti halnya penafsiran firman Allah ”‫ ”یﺨﺮج اﻟﺤﻲ ﻡﻦ اﻟﻤﻴﺖ‬dengan makna
‘mengeluarkan seekor burung dari telur’ (menetaskan telur) penafsiran seperti inilah
yang kemudian disebut tafsir, adapun dengan menafsirkannya ‘mengeluarkan seorang
muslim dari lembah kekufuran’ hal ini merupakan ta’wîl , dan masih banyak
kemungkinan/ibarat yang lain dalam ta’wîl ini, dikarenakan ta’wîl menyerupai makna
awal (tafsir) dan merupakan awal sumber jika dikembalikan kepada tujuan yang
dimaksud (ghâyah maqshûdah) dari sebuah lafadh, dan tujuan yang dimaksud dari
lafadh ini adalah makna itu sendiri dan makna diatas (ta’wîl) bergantung kepada apa
yang dikehendaki oleh Mutakallim (Allah), begitu halnya dengan tafsir, daripadanya
tidak disandarkan kecuali terdapat makna yang rinci (logis) yang tersembunyi.220

makna batin, para ulama telah menetapkan dua syarat. Pertama, makna batin itu sesuai dengan makna
zahir yang ditetapkan dalam bahasa Arab. Kedua, ada teks yang dengan tegas mendukung keabsahan
makna batin tersebut. Lihat al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 82.
219
Ibnu ‘Âsyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr hal. 15-17.
220
Ibnu ‘Âsyur al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 16-17, Lihat perbedaan pandangan Ibn ‘Âsyûr
dengan Al-Syâtibî dalam penafsiran “al-kitâb” dalam penafsirannya terhadap ayat “mâ farratnâ fil-
kitâbi min syay’”, dengan tiga kategori prinsipnya Pertama, argumen berdasarkan ayat-ayat al-Qur`ân
sendiri, seperti “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu….” (al-Mâ`idah [5]: 3),
“…Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam al-kitâb…” (al-An‘âm [6]: 38), serta “…Dan
Kami turunkan al-kitâb kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu…” (al-Nahl [16]: 89), dalam Al-
Syâtibî, Al-Muwâfaqât, vol. 3, hal. 276; dan vol. 4, hal. 10. Al-Syâtibi menyatakan bahwa al-Qur`ân
mengandung prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, seluruhnya tanpa terkecuali. Memiliki pengetahuan
tentang al-Qur`ân sama seperti memiliki pengetahuan tentang syariat Islam secara general, al-Râzî
mendukung prinsip tersebut dengan argumen-argumen yang nyaris sama dengan argumen-argumen al-
100

Selanjutnya Ta’wîl disinonimkan dengan interpretasi atau memalingkan


makna (reklamasi). Yaitu seseorang mufassir memalingkan makna ayat al-Qur’ân
dari berbagai kemungkinan makna yang lain.221 Sebagian Ulama’ menganggap bahwa
Ta’wîl sinonim dari tafsir.222 Pada kesempatan yang lain ta’wil juga disebut sebagai
tadbîr (meditasi), taqdîr (kontemplasi), dan tafsir (interpretasi).223............ adapun
terkait dengan hal ini, ditegaskan dalam Al-Qurân bahwa tidak ada yang (mampu)
mengetahui Ta’wîl nya kecuali Allah’ beserta “al-Râsikhûn fi al-‘ilm” (QS. 3:7).
Sebuah kutipan dari al-Dzahabî berikut ini memperlihatkan bagaimana dua
level makna itu diperlakukan dalam kegiatan interpretasi al-Qur`ân. Setiap makna
bahasa Arab yang pemahaman al-Qur`ân tidak bisa dibangun kecuali di atasnya
adalah termasuk kategori zhâhir . Maka untuk memahami zhâhir al-Qur`ân, tidak
diperlukan syarat tambahan selain menaati kaidah-kaidah bahasa Arab. Setiap makna
yang ditarik dari al-Qur`ân secara tidak sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab
sama sekali bukanlah termasuk tafsir al-Qur`ân…Siapa pun yang memiliki pendapat
di luar hal itu, maka pendapatnya tidak dapat diterima. Sedangkan [untuk memahami]
makna bâtin, pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa Arab saja tidak memadai.
[Selain kaidah-kaidah bahasa], dibutuhkan juga cahaya yang diletakkan Allah ke
dalam hati manusia agar ia bisa memiliki pandangan yang terbuka serta pemikiran
yang jernih. Artinya, tafsir bâthin bukanlah sesuatu yang berada di luar kandungan
lafadz al-Qur`ân….”224
Akan tetapi orientasi tekstual dalam tafsir itu tidak sama dengan literalisme
yang kaku. Ortodoksi Sunni menolak penafsiran yang terlampau literal seperti apa

Syatibî. Lihat Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtîh al-Gayb (Beirut: Dâr al-Fikr, cet. 3, 1985), vol. 12, hal.
225-228. Ibn ‘Âsyûr lebih menyetujui pendapat yang menyatakan bahwa makna pada ayat di atas
adalah ketentuan Allah di zaman azali, bukan al-Qur`an. Dia juga menyatakan bahwa pilihannya itu
berseberangan dengan pilihan al-Râzî dan al-Syatibi. Lihat Muhammad al-Thâhir ibn ‘Âsyûr, Al-
Tahrîr wa al-Tanwîr (Tunis: al-Dar al-Tunisiyyah li al-Nasyr, 1984), vol. 7, hal. 217. Al-Syâtibî, Al-
Muwâfaqât, vol. 3, hal. 276; dan vol. 4, hal. 10.
221
Muhammad Ali Shabûniy, al-Tibyân fî ulûm al-Qur’ân, hal. 62-63.
222
Muhammad Ali Shabûniy, al-Tibyân fî ulûm al-Qur’ân, hal. 62-63.
223
Muhammad Ali Shabûniy, al-Tibyân fî ulûm al-Qur’ân, hal. 62-63.
224
Al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 82.
101

yang dilakukan oleh kelompok Zhâhiriyyah.225 Artinya, memang ada pengakuan


terhadap konteks, namun pengakuan tersebut hanya dibatasi pada konteks linguistik
yang tidak melampaui teks, seperti siyâq al-kalâm dan munâsabah, atau konteks
historis yang juga didasarkan pada teks, seperti asbâb al-nuzûl. Sedangkan
kontekstualisasi yang melampaui teks cenderung tidak diterima kecuali jika ada teks
lain, seperti dalam konsep naskh, yang menguatkannya.
Perdebatan tentang teks dan konteksnya itu juga terlihat dalam persoalan ta‘tîl
al-nash. Perubahan-perubahan di bidang sosial dan budaya, terutama pada masa
modern ini, melahirkan perdebatan mengenai hubungan antara teks al-Qur`ân dengan
realitas kehidupan. Pertanyaannya adalah: bagaimana menafsirkan beberapa ayat al-
Qur`ân yang terkesan bertolak belakang dengan perkembangan sosial? Beberapa
pemikir muslim modern, seperti Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî226 di Maroko, Nasr
Hâmid Abû Zayd227 di Mesir, Mohammed Arkoun228 di Prancis, dan A. Muqsith
Ghazali229 di Indonesia, berpendapat bahwa lafaz teks bisa dibatalkan berdasarkan

225
Al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 19. Bandingkan dengan Yûsûf al-Qaradhâwî,
Dirâsah fi Fiqh Maqâshid al-Syarî‘ah, hal. 45-50. Bahkan R. Brunschvig menyatakan bahwa jika
dibandingkan dengan kelompok-kelompok lain dalam Islam, Zâhiriyyah berada di “batas terjauh dari
ortodoksi” (at the furthest limit of orthodoxy). Lihat Abdel-Majid Turki, “al-Zâhiriyya”, dalam C.E.
Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition.
226
Secara tersirat, al-Jâbirî menekankan perlunya hukum waris yang terdapat dalam al-Qur`an
untuk ditafsirkan dengan mempertimbangkan kondisi sosial, budaya, dan sejarah yang terus berubah.
Lihat Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî Al-Turats wa al-Hadatsah: Dirâsat wa Munâqasyat (Beirut: al-
Markaz al-Tsaqafî al-‘Arabî, 2001), hal. 54-56.
227
Untuk analisis tentang penafsiran Nasr Hâmid Abû Zayd terhadap ayat-ayat yang berbicara
mengenai posisi kaum wanita dalam Islam, termasuk tentang hukum waris, lihat Yusuf Rahman, “The
Hermeneutical Theory of Nasr Hâmid Abû Zayd”, hal. 181-189.
228
Al-Qaradhâwi, Dirâsah fi Fiqh Maqâshid al-Syarî‘ah, hal. 87. Untuk kajian yang lebih
terperinci tentang posisi Arkoun dalam penafsiran ayat-ayat mîrâts, lihat Jilani Ben Touhami Meftah,
“Al-Fahm al-Hadatsi li al-Nash al-Qur`ânî: Âyata al-Mîrats Namûdzajan Tatbîqiyyan” dalam Buhûts
Mu`tamar Manâhij Tafsir al-Qur`an al-Karim wa Syarh al-Hadîts al-Syarîf (Kuala Lumpur: Dept. of
Qur`an and Sunnah Studies, Kulliyyah of IRKHS, IIUM, 2006), hal. 887-894
229
Menurutnya, Maqâshid al-syarî‘ah merupakan sumber hukum pertama dan primer dalam
Islam, di atas al-Qur`ân dan hadits. Dengan demikian, jika teks sebuah ayat dalam al-Qur`an
bertentangan dengan maqâshid, maka yang harus didahulukan dan diberi prioritas adalah maqâshid,
bukan teks. Jika prinsip ini diterapkan dalam tafsir al-Qur`an, maka kontradiksi-kontradiksi antar ayat
akan dengan mudah diatasi tanpa harus memaksakan interpretasi yang sewenang-wenang. Lihat A.
Muqsith Ghazali, “A Methodology of Qur`anic Text Reading”, dalam ICIP Journal, vol. 2, no. 4,
Agustus 2005.
102

maslahat tertentu. Sebagai rujukan, salah satu ulama masa lalu yang sering dikutip
mendukung pendapat tersebut adalah Najm al-Dîn al-Tûfi, seorang juris abad 7-8
Hijriah yang bermazhab Hanbali.230
Dengan sruktur Rigiditas yang dibangun di atas prinsip sentralitas teks al-
Qur`ân, tentu saja pandangan tentang keabsahan pembatalan teks al-Qur`ân demi
sesuatu di luarnya itu ditolak keras oleh para ulama ortodoks.231 Teks hanya bisa
dibatalkan (di-naskh) oleh teks yang lain, baik berupa ayat al-Qur`ân yang lain
maupun hadits Nabi, bukan oleh sesuatu di luarnya dan bukan pula oleh maslahat
yang tidak memiliki landasan tekstual.
Dalam pengantar Kedua Ibnu ‘Âsyûr memaparkan tentang istimdâd
(perangkat pengetahuan sebagai alat bantu) penafsiran yang sudah ada sebelum ilmu
itu ada. Seperti ilmu gramatikal, linguistik arab, ushûl al-fiqh, ilmu kalam, ilmu
ma’ânî dan bayân, ilmu badî, peran (majâz), dan syair-syair arab untuk mengenalkan
beberapa kosakata al-Qur`ân, al-Qirâ’ât, akhbâr al-‘arab, Ibn ‘Âsyûr juga
menggunakan pendekatan salaf (atsar) yang mementingkan sisi nukilan.
Selengkapnya lihat kembali pada bab 2 tesis ini.232
Pada pengantar Ketiga Ibnu ‘Âsyûr menerangkan tentang keabsahan tafsir
tanpa nukilan (ma’tsûr) dan makna tafsir berdasarkan nalar (bi ar-ra’yi). Ibnu ‘Âsyûr
menghindari penafsiran dengan akal yang pernah dilarang langsung oleh Nabi
Muhammad Shallawwahu ‘alaih wasallam, Abu Bakar r.a pernah juga melarang
mereka-reka makna al-Qur`ân. Namun disisi lain dia membolehkannya, dengan dasar
bahwa; ‫ إن اﻟﻘﺮﺁن ﻻﺗﻨﻘﺪي ﻋﺠﺎﺋﺒﻪ‬bahwa keajaiban Al-Qur’ân tidak akan pernah habis
untuk dikaji sampai hari akhir (kiamat), dan tafsir dalam hal ini juga mempunyai

230
Najm al-Dîn al-Thûfî lahir pada tahun 675 H. di Tûfah, sebuah desa yang tidak jauh dari
Baghdad, dan meninggal dunia di Hebron pada tahun 716 H.. Karyanya yang kontroversial tentang
maslahah adalah Kitab al-Ta‘yîn fiî Syarh al-Arba‘în, atau juga dikenal dengan Risâlah al-Imam al-
Tûfî fî Taqdîm al-Maslahah fî al-Mu‘âmalat ‘ala al-Nash. Lihat W.P. Heinrichs, “al-Thûfî”, dalam
C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition.
231
Al-Qaradhâwî menyebutnya sebagai Ta‘tîl al-nash bi ism al-mashâlih wa al-maqâshid. Lihat
al-Qaradhâwî, Dirâsah fi Fiqh Maqâshid al-Syarî‘ah, hal. 85.
232
Ibnu ‘Âsyûr “al-Tâhrîr wa al-Tanwîrhal. 18-27.
103

peranan dalam menyingkap kandungan-kandungan makna didalamnya seiring dengan


berkembangnya metode-metode penafsiran al-Qur’ân.233
Dalam hal ini Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr memaparkan ungkapan Imam
al-Ghazâli dan Al-Qurthûbi yang menyatakan ketidaktepatan dengan mengatakan dari
setiap apa yang diutarakan Sahabat dalam tafsir kesemuanya bersumber dari
pendengaran langsung atas ungkapan Nabi Muhammad saw. dengan dua alasan;
pertama; Nabi Muhammad saw. belum pernah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’ân
kecuali hanya sedikit seperti yang disinyalir dari hadits ‘Aisyah yang menyatakan;
‫ﻦ‬
‫ﺝ ْﺒ ِﺮیْﻞ إیﱠﺎه ﱠ‬
ِ ‫ﻦ آﺘﺎب اﷲ إﻟّﺎ ﺁیَﺎت ﻡﻌ ُﺪ ْودَات ﻋﻠّﻤ ُﻪ‬
ْ ‫ن رﺱُﻮل اﷲ یﻔﺴﱢﺮ ِﻡ‬
َ ‫;ﻡَﺎآﺎ‬Yang dimaksud oleh
Ibnu ‘Âsyûr dengan gagasan yang tercela yaitu ketika bersifat betikan ide (khâtir)
tanpa dilandasi oleh argumen gramatikal dan linguistik arab yang valid, atau hanya
bersifat kecenderungan madzhab saja. Kedua; mereka berbeda pandangan dan
pendapat dalam tafsir dalam pelbagai/banyak hal, yang tidak mungkin untuk
disatupadukan antar (keduanya). Ibnu ‘Âsyûr mempertegas bahwa tafsir tidak hanya
beroperasi pada nukilan (ma’tsûr), hal tersebut akan mempersempit makna dan
sumber penafsiran Al-Qur`ân. Sebab nukilan dari sahabat juga tidak banyak
melainkan hanya (sedikit).234 Lain halnya dengan pandangan al-Dzahabi Pertama,
penafsir meyakini sesuatu lalu membawa lafaz al-Qur`ân untuk mendukung
keyakinannya itu. Dengan kata lain, penyimpangan ini terjadi akibat perhatian yang
terlampau besar kepada makna dengan mengabaikan lafaz. Kedua, penafsir
menginterpretasi al-Qur`ân hanya memperhatikan lafaznya tanpa memperhatikan
konteks [kronologis] untuk menyingkap makna leksikal.235
Selanjutnya, Ibn ‘Âsyûr mengadopsi pandangan Syarifuddîn ath-Thiby dalam
syarh al-Kasyâf kemudian menjelaskan panjang lebar mengenai makna tafsir
berdasarkan nalar (bi al-ra’yi). Dikatakan bahwa pra syarat penafsiran yang shahîh
diantaranya; bahwa penafsiran hendaknya sesuai redaksi lafadz dengan tidak

233
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, hal. 28
234
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” hal. 29-37
235
Al-Dzahabi, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 17-19.
104

membebani lafadz / bebas dari pembebanan (makna lafadz), serta hendaknya


penafsiran tidak berkecenderungan condong terhadap salah satu pandangan/madzhab
(partikular) namun harus bersifat general, dan bagi Fakhrudin al-Râzi (shâhib al-
Kasysyâf) mereka yang tidak sependapat dengan pandangan diatas termasuk dalam
golongan yang menyimpang /bida’at-tafâsîr.236
Setidaknya terdapat lima jawaban, mengenai syubhat tentang kekhawatiran
atas penafsiran berlandaskan nalar perspektif Ibn ‘Âsyûr diantaranya; pertama; yang
dimaksud dengan nalar tersebut hanya sebuah ide yang terbersit (khâtir) tanpa
landasan dari ketentuan hukum-hukum syari’at dan tujuannya (maqâshid al-
Syari’ah), kedua; nalar/ide tersebut tidak melihat kesinambungan makna antar ayt
yang satu dengan yang lain, ketiga ide/nalar tersebut berkecenderungan pada satu
kelompok/madzhab yang mengakibatkan ta’wil dengan nalar yang tidak terkait
dengan makna ayat tersurat. keempat; yaitu penafsiran ayat dengan nalar yang
berlandaskan redaksi lafadz kemudian mengklaimnya bahwa hasil penafsirannya
tersebut tepat tanpa menghiraukan (penafsiran/makna) yang lain dan hal ini sama
saja dengan mereduksi ruang dari penta’wil al-Qur’ân itu sendiri, kelima; tujuan dari
penalaran tafsirnya (bi al-ra’yi) menafikan kekhawatiran dan kehati-hatian dalam
menelaah dan mena’wilkan terkesan dipaksakan (tergesa-gesa), disnilah kelengahan
subyektifitas Ulama’ terkait dengan hal ini.237
Pada pengantar Keempat Ibn Âsyûr menjelaskan bahwa penafsir harus
mengerti tentang unsur-unsur pembentuk perubahan (baik level individu maupun
sosial).238 Diantaranya: pertama, reformasi keyakinan; kedua reformasi etika; ketiga,
reformasi legislasi hukum; dan keempat, reformasi politik penyelenggaraan umat.
Kemudian dia memaparkan bahwa diantara mufasir ada yang membatasi diri pada hal
yang lahiriah saja dari teks, sebagian yang lain mencari kesimpulan dari apa yang
berada dibalik teks yang lahiriah itu. Hal inilah yang memungkinkan para pendahulu
236
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr hal. 30.
237
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” hal. 31-37, lihat selengkapnya pada bab 2. lihat juga
Abdul Qâdir Muhammad Shâlih, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘ashr al-Hadîts, hal. 110-119.
238
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr hal. 38.
105

kita untuk membuat detil-detil hukum. Ibnu ‘Âsyûr juga menerangkan tentang
hubungan antara Al-Qur`ân dan ilmu pengetahuan. Pada pengantar keempat secara
khusus ditulisnya untuk mengkaji tujuan seorang mufassir dalam menafsirkan al-
Qur`ân (fîmâ yahiqqu an yakûna garadh al-mufassir).239
Ibn ‘Âsyûr menyatakan bahwa ada hikmah-hikmah tertentu di balik pilihan
Allah untuk menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur`ân. Namun demikian,
kenyataan bahwa al-Qur`ân diturunkan kepada bangsa Arab itu tidak berarti, tulisnya;
Bahwa hukum-hukum syariat hanya diperuntukkan bagi mereka atau bahwa ia
ditetapkan demi kepentingan-kepentingan mereka belaka. Kenyataan bahwa syariat
bersifat umum dan abadi, serta bahwa al-Qur`ân adalah mukjizat yang berlaku terus-
menerus sepanjang masa, menolak [kebenaran anggapan] itu.”240
Ibn ‘Âsyûr kemudian merumuskan delapan tujuan dasar (al-Maqâshid al-
ashliyyah) dari diturunkannya al-Qur`ân, yaitu pertama; memperbaiki dan
mengajarkan akidah; kedua; mengajarkan nilai-nilai akhlak yang mulia; ketiga;
menetapkan hukum-hukum syariat; keempat; menunjukkan jalan kebaikan kepada
umat Islam (siyâsah al-ummah); kelima; memberikan pelajaran dan hikmah dari kisah
bangsa-bangsa terdahulu; keenam; pengajaran syari’at sesuai dengan perkembangan
zaman; ketujuh; al-targhîb wa al-tarhîb; kedelapan; membuktikan kebenaran risalah
Nabi Muhammad saw.241
Dengan demikian maka tujuan seorang mufassir adalah; dengan menjelaskan
apa yang mampu dipahaminya dari kehendak Allah dalam al-Qur`ân dengan
penjelasan sesempurna mungkin (bi atamm bayân), selaras dengan apa yang
dikandung oleh maknanya (yahtamiluhû al-ma‘nâ) dan tidak bertentangan dengan
lafaznya (walâ ya`bâhu al-lafdz). [Penjelasan itu bisa berupa] segala sesuatu yang
dapat menjelaskan maksud dari Maqâshid al-Qur`ân, atau segala sesuatu yang

239
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, hal. 38-39.
240
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, hal. 38-39
241
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, hal. 40-41
106

menjadi dasar bagi pemahaman yang sempurna terhadapnya, atau apa pun yang bisa
memerinci dan menjabarkan Maqâshid tersebut….”242
Tentang tafsir saintifik atau tafsir yang menghimpun persoalan-persoalan
keilmuan dari berbagai disiplin yang berhubungan dengan tujuan-tujuan al-Qur`ân,
menurut Ibn ‘Âsyûr, adalah salah satu dari tiga cara dalam melakukan tafsir atas al-
Qur`ân.243
Ibn ‘Âsyûr mengakui bahwa al-Syâtibî termasuk salah satu penentang paling
keras dari tafsir semacam ini, dan bahwa seluruh argumen al-Syâtibî berpusat pada
satu prinsip: status al-Qur`ân sebagai sebuah kitab yang diturunkan kepada bangsa
yang ummî sehingga pemaknaan apa pun terhadapnya tidak boleh keluar dari batas-
batas ke-ummi-an itu.244
Pandangan diatas oleh Ibn ‘Âsyûr dikritisi dengan mengatakan bahwa;
“prinsip ini lemah karena enam alasan. Pertama, ia didasarkan pada anggapan bahwa
al-Qur`ân tidak bermaksud melakukan transformasi bangsa Arab dari satu kondisi ke
kondisi yang lain. Anggapan ini batal berdasarkan apa yang telah kami kemukakan
pada bagian sebelumnya. Allah sendiri berfirman, “Itulah sebagian dari berita-berita
gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah engkau
mengetahuinya dan tidak [pula] kaummu sebelum ini….” (Hûd [11]: 49).245
Kedua, Maqâshid al-Qur`ân merujuk kepada [prinsip] keumuman dakwah
serta bahwa ia merupakan mukjizat yang abadi. Karena itu, al-Qur`ân mesti

242
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr hal. 40-43
243
Dua cara lainnya adalah, pertama, penafsiran yang membatasi diri pada makna-makna dasar
(al-Dzâhir min al-ma‘nâ al-ashlî) dan, kedua, penafsiran yang menguraikan persoalan-persoalan
hukum, akhlak, teologi, dan sebagainya. Lihat Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 42.
244
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 44.
245
Redaksi ayatnya;
sπt6É)≈yèø9$# ¨βÎ) ( ÷É9ô¹$$sù ( #x‹≈yδ È≅ö6s% ÏΒ y7ãΒöθs% Ÿωuρ |MΡr& !$yγßϑn=÷ès? |MΖä. $tΒ ( y7ø‹s9Î) !$pκÏmθçΡ É=ø‹tóø9$# Ï!$t7/Ρr& ôÏΒ šù=Ï?

∩⊆∪ šÉ)−Fßϑù=Ï9
107

mengandung hal-hal yang bisa dipahami oleh orang-orang yang hidup di masa
penyebaran ilmu pengetahuan.246
Ketiga, ketika generasi terdahulu (salaf) menyatakan bahwa keajaiban-
keajaiban al-Qur`ân tidak ada habis-habisnya (al-Qur`ân lâ tanqadî ‘ajâ`ibuhû),
maka yang mereka maksud adalah makna-maknanya. Jika pendapat al-Syâtibî benar,
maka keajaiban al-Qur`ân akan berakhir karena jenis-jenis maknanya juga terbatas.
Keempat, salah satu mukjizat al-Qur`ân adalah bahwa ia, dengan lafadznya yang
singkat (ma‘a îjâz lafdzihî), mampu memuat makna-makna yang tidak mampu
dicakup oleh sangat banyak buku. Kelima, kadar pemahaman orang-orang [Arab]
yang menjadi objek pertama dari khitâb al-Qur`ân memang hanya terbatas pada
makna-makna dasarnya. [Tetapi] di luar makna-makna dasar tersebut, terdapat
makna-makna lain yang bisa dipahami oleh orang-orang tertentu dan tidak bisa
dipahami oleh orang-orang yang lain. Keenam, tentang anggapan bahwa generasi
salaf sama sekali tidak membicarakan hal-hal [di luar batas-batas ke-ummî-an] itu;
jika [yang dimaksud dengan hal tersebut adalah] apa pun yang tidak merujuk kepada
Maqâshid al-Qur`ân, maka kami sepakat dengan al-Syâtibî. Tetapi, menyangkut hal-
hal yang merujuk kepada Maqâshid al-Qur`ân, kami tidak sepakat bahwa generasi
salaf itu hanya berhenti pada makna-makna zhâhir ayat al-Qur`ân.247
Mereka justru memberikan penjelasan, perincian, dan penjabaran tentang
ilmu-ilmu yang mereka geluti. Maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mengikuti
jejak mereka dalam disiplin-disiplin ilmu lain yang bertujuan untuk mengabdi pada
Maqâshid al-Qur`ân atau untuk menunjukkan luasnya ilmu-ilmu keislaman (al-‘ulûm
al-Islâmiyyah). Apa yang berada di luar tujuan tersebut, jika digunakan untuk
menjelaskan makna al-Qur`ân, maka ia pun termasuk tafsir (tâbi‘ li al-tafsîr) dengan
alasan bahwa ilmu-ilmu rasional (al-‘ulûm al-‘aqliyyah) mengkaji hal-ihwal sesuatu
sebagaimana adanya (‘alâ mâ hiya ‘alayhi). Sedangkan sesuatu yang melebihi hal itu
246
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 44-45. Lihat juga Rasyîd Ridhâ dalam
Tafsîr Al-Qur’ân, vol. 11. hal. 243.
247
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 44-45. Lihat juga Rasyîd Ridhâ dalam
Tafsîr Al-Qur’ân, vol. 11. hal. 243.
108

[yakni yang tidak digunakan untuk menjelaskan makna al-Qur`ân] tidak dapat
dianggap sebagai tafsir, namun ia [bisa menjadi] pelengkap bagi pembahasan-
pembahasan akademis serta menjadi pembelokan (istithrâd) ilmu pengetahuan demi
kepentingan-kepentingan tafsir dengan tujuan agar sumber-sumber pengambilan
(muta‘âtâ) tafsir menjadi lebih luas dan mencakup berbagai disiplin ilmu
pengetahuan.”248
Kemudian dalam pengantar Kelima, Ibn ‘Âsyûr mengkhususkan berbicara
soal konteks turunnya ayat (asbâb an-nuzûl), Ibn ‘Âsyûr mengutip pandangan Ulama’
ushul yang mengatakan;
"‫ "ﺍﻟﻌﺒﺭﺓ ﺒﻌﻤﻭﻡ ﺍﻟﻠﻔﻅ ﻻﺒﺨﺼﻭﺹ ﺍﻟﺴﺒﺏ‬dinsinyalir bahwa tidak semua ayat-ayat Al
Qur’ân memiliki kronologi sebab-sebab turunnya ayat, hal ini perlu ditekankan
karena seringkali membuat ragu serta praduga-praduga bahwa Al Qur’ân diturunkan
dengan sebab-sebab tertentu, walaupun dimaklumi sebagiannya diketahui melalui
proses kronologi sebab-sebab turunnya ayat (tsabatat binnaql), yang kemudian dapat
membantu penafsiran dalam memahami pesan-pesan moral Al Qur’ân melalui pintu
masuk kronologi tersebut, dari sinilah Ibn ‘Âsyûr mulai mengkritik para Mufassir
sebelumnya yang gandrung (berlebihan) dengan konteks turunnya ayat. Dia
mengibaratkan bagai mengulur tali kepada orang orang yang tak dikenal, maka akan
berakibat fatal. Hal ini disebabkan mereka (mufassir) tidak memilah mana diantara
riwayat-riwayat yang dijadikan sandaran kronologis turunnya ayat lemah atau kuat,
kategori Perawinya dapat dipercaya atau tidak, sampai pada taraf inilah Ibn Âsyûr
menjadikan pertimbangan untuk menfokuskan perhatiannya pada asbâb nuzûl ini.249

248
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 44-45. coba bandingkan pandangan ini
dengan gagasan yang dikemukakan oleh Rasyîd Ridhâ yang mengatakan bahwa tidak masuk akal
seorang Nabi yang Ummi yang kita kenal sejarah hidupnya, mampu dengan akalnya atau bisikan
hatinya untuk membuat prinsip-prinsip ilmiah itu, yang mana melampaui seua jenis kitab, baik kitab-
kitab samawi sebelumnya maupun buku-buku karya ilmiah dizaman yang paling maju/global
(teknologi), filsafat dan perundang undangan, sekalipun. Yang masuk akal adalah hal tersebut
merupakan wahyu dari Allah yang dilimpahkan kepada Nabi terakhir, sehingga tidak dibutuhkan lagi
wahyu sesudahnya. Lihat Rasyîd Ridhâ dalam Tafsîr Al-Qur’ân, vol. 11. hal. 243.
249
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 46-.47
109

Al-Syâtibî (W.1388 M)250 mengatakan dalam kitabnya al-Muwâfaqât bahwa


mengetahui asbâb al-nûzûl (historical context) adalah wajib bagi orang yang ingin
mengetahui makna Al-Qur’ân.251 Artinya mengetahui sebab berarti mengetahui
muqtadâ al-hâl.252 Sedangkan mengabaikan asbâb al-nûzûl, akan berimplikasi pada
pemaknaan subyektif dan keluar dari apa yang menjadi pesan dan maksud ayat-ayat
al-Qur’ân.253 Oleh karena itu, adalah sangat penting harus bagi orang yang ingin
menyelami ilmu al-Qur’ân untuk mengetahui adat kebiasaan -secara makro-
masyarakat Arab; baik itu kebiasaan dalam gaya bicara maupun aktifitas, dan
mengetahui situasi-kondisi sosial kemasyarakatan saat wahyu diturunkan, walaupun
di sana tidak ada sebab khusus yang mengiringi turunnya wahyu tersebut. Jika hal ini
diabaikan, tentu hal yang sulit dihindari adalah hasil penafsiran yang rancu.254
Dalam hal ini Syahrûr mengcounter pandangan al-Syâtibi, dalam buku
pertamanya; al-Kitâb wa al-Qur’ân; Qirâ’ah Mu’âshirah ia sampai pada sebuah
kesimpulan bahwa asbâb al-nûzûl tidak berlaku bagi al-Qur’ân,255 namun, ia hanya
berlaku pada ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum dan tafsîl al-kitâb (ayat-ayat
muhkamât dan mutasyâbihât).256

250
Ia adalah Abû Ishâq Ibrahîm b. Mûsa b. Muhammad al-Lakhmi al-Garnati Al-Syâtibî. Lihat
lebih lanjut Khayr al-Din al-Zirikli, Al-A‘lâm: Qâmûs Târâjim li Asyhâr al-Rijâl wa al-Nisâ` min al-
‘Arâb wa al-Musta‘ribîn wa al-Mustâsyriqîn, vol. 1 (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, cet. 9, 1990),
hal. 75. Bandingkan dengan ‘Umar Ridhâ Kahhalah, Mu‘jam al-Mu`âllifin: Târâjim Musânnifi al-
Kutub al-‘Arâbiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1957), hal. 118.
251
Lihat al-Syâtibî, Al-Muwâfaqât Fî ushûl al-Syarî’ah, juz III, jil, II, (Beirut: Dar al Kutub al
Ilmiyah: tth), hal. 258. Ulama-ulama lain yang menyatakan pentingnya pengetahuan terhadap Asbâb
al-nûzûl dalam penafsiran al-Qur’ân - dengan gaya bahasa yang mirip dan bahkan sama- bisa
ditemukan dalam buku-buku ulûm al-Qur’ân, yang mana tidak terlepas dari pendapat al Wâhidi, Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Daqîq al ‘Aid.
252
Lihat al-Syâtibî, Al-Muwâfaqât Fi ushûl al-Syarî’ah, hal. 258.
253
Lihat al-Syâtibî, Al-Muwâfaqât Fi ushûl al-Syarî’ah, hal. 261.
254
Lihat al-Syâtibî, Al-Muwâfaqât Fi ushûl al-Syarî’ah, hal. 258..
255
Istilah “Al-Qur’ân” dalam pandangan Syahrûr tidak sama dengan yang umumnya dipahami
kebanyakan orang. Menurutnya al-Qur’ân adalah kalam Allah yang diturunkan satu kali waktu dengan
bentuk bahasa Arab pada bulan Ramadlan, sesuai dengan ayat al-Qur’ân al Baqarah: 185 dan al Qadr:
1. Lihat Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qur’ân; Qirâ’ah Mu’âsirah, cet VI, (Lebanon: Syirkât
al-Matbû’at: 2000) hal. 93. Sementara itu ayat-ayat yang turun secara gradual selama 22 tahun lebih,
oleh Syahrûr disebut sebagai Tanzîl al-hakîm.
256
Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qur’ân; Qirâ’ah Mu’âsirah, cet VI, (Lebanon: Syirkât
al-Matbû’at: 2000) hal. 93.
110

Nashr Hamid Abû Zaid menilai bahwa bagi Syahrur; al-Qur’ân adalah sebuah
teks tanpa konteks apapun. Ia adalah teks yang berdiri sendiri tanpa ada keterkaitan
dengan sejarah ataupun masyarakat yang menjadi tujuan pewahyuan. Nabi hanyalah
seorang penerima, dia tidak memiliki peran selain menerima dan menyampaikan.
Perannya hanya terbatas pada cara yang dijalaninya dalam kehidupan sebagai contoh
pertama, atau sebagai variasi pertama dari beragam variasi perwujudan al-Qur’ân
lainnya. Teks ilahi yang independen secara mutlak semacam ini menentukan aturan
penafsirannya hanya didasarkan pada struktur linguistik.257
Dalam perkembangan selanjutnya, yakni dalam bukunya yang keempat; Nahw
Usul Jadîdah Li al-Fiqh al-Islâmi, Syahrûr, sebagaimana juga gurunya, mengajak
kepada umat Islam untuk menjauhkan asbâb al-nûzûl dari ilmu-ilmu al-Qur’ân.258
Dia juga menganggap bahwa konsep asbâb al-nûzûl dan naskh merupakan cacat
terbesar dalam ulûm al-qur’ân, sebagaimana ilmu tajwîd dan ilmu qirâ'at.259
Ia berpendapat bahwa asbâb al-nûzûl, yang jadi pegangan itu, sebenarnya
hanyalah menjelaskan sejarah bentuk penafsiran atau pemahaman pada abad ketujuh
dan proses interaksi manusia dengan ayat-ayat al-Qur’ân pada saat itu. Sedangkan
saat ini, pemahaman atau penafsiran itu sudah tidak diperlukan lagi, karena makna al-
Qur’ân itu eksis pada dirinya sendiri (kainûnah), sehingga ia tidak terikat pada proses
perjalanan sejarah (sairûrah). Sementara asbâb al-nûzûl, sebagaimana telah
diketahui, terkait erat dengan ruang, waktu dan personal saat itu (terkait proses
perjalanan sejarah). Jika berpegang teguh kepada asbâb al-nûzûl dalam memahami
Tanzîl al-Hakîm (al-Qur’ân), maka akan menghasilkan suatu pandangan adanya
hubungan antara ayat dan sebabnya, sebagai hubungan antara peristiwa sebagai akibat
(al-ma’lûl) dan penyebabnya (al-‘illah). Maka, ketika alasan dan sebab ini hilang,
maka ayat dan hukum yang ada di dalamnya berubah menjadi ayat yang harus

257
Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhûm al-nash: Dirâsah fi ‘ulûm al-Qurân (Beirut: al-Markaz al-
Tsaqafi al-‘Arabi, edisi II, 1994).
258
Muhammad Syahrûr, Nahw Usûl Jadîdah Li al-Fiqh al-Islâmi, hal.93-94.
259
Muhammad Syahrûr, Nahw Usûl Jadîdah Li al-Fiqh al-Islâmi, hal. 230.
111

dipahami secara histories-temporal belaka, sehingga al-Qur’ân tidak lagi Shâlih likulli
zamân wa makân.260
Disamping mengabaikan Asbâb al-Nuzûl dalam pembacaan al-Qur’ân,
Syahrur juga mengritik asbâb al-nûzûl yang biasa dijadikan pegangan oleh umumnya
sarjana muslim dalam menafsirkan al-Qur’ân. Keseriusannya itu, ia wujudkan dalam
sub bab khusus yang berisi tentang bukti-bukti kelemahan dan ketidaklayakan asbâb
al-nûzûl dimasukkan sebagai bagian dari ulûmul qur’ân. Bukti-bukti itu antara lain; a)
adanya doktrin keadilan sahabat yang ditanamkan dalam jiwa umat Islam, dan 2)
adanya fanatisme madzhab dan golongan dalam transmisi periwayatan. Hal ini
didasarkan pada riwayat-riwayat yang disajikan dalam kitab asbâb al-nûzûl karya al-
Wâhidi dan al-Suyûti. Lebih-lebih karya al-Suyûti merupakan pelengkap kitab karya
al-Wâhidi.261
Pandangan Ibn ‘Âsyûr tentang asbâb al-nuzûl ini ia mengadopsi pandangan
Ulama’Ushûl yang menyatakan "‫"اﻟﻌﺒﺮة ﺑﻌﻤﻮم اﻟﻠﻔﻆ ﻻ ﺑﺨﺼﻮص اﻟﺴﺒﺐ‬, begitu juga ia
mengadopsi pandangan al-Wâhidî yang menyatakan bahwa tidak diperkenankan
perkataan (penjelasan) mengenai asbâb nuzûl Al-Qur’ân kecuali dengan riwayat
(shahih) dan pendengaran langsung dari mereka yang meyaksikan langsung turunnya
(ayat-ayat) Al-Qur’ân.”262
Ibn ‘Âsyûr memetakan keshahihan sanad riwâyat yang dapat dipakai dalam
menggunakan Asbâb nuzûl menjadi lima bagian: Pertama: bahwasannya maksud dari
sebuah ayat bergantung pada pemahaman tujuan/sasaran yang hendak dicapai dan
mengetahuinya sesuai pengetahuan ilmu asbâb nuzûl adalah wajib bagi setiap

260
Muhammad Syahrûr, Nahw Ushûl Jadîdah Li al-Fiqh al-Islâmi, hal. 230. Bandingkan
dengan pandangan ‘Âbid al-Jâbiri dalam Takwîn ‘Aql al-Arabi, ia menegaskan bahwa jika al-Qur’an
dikaji dengan kacamata metodologi ilmiah modern, maka harus meposisikannya sebagaimana teks-teks
lainnya. Namun lanjutnya, ia lebih menekankan pada pembacaan atas asbâb al-Nuzûl dan mencari
makna ideal sebuah teks “Maqâshid al-Syarî’ah”, karena kedua istilah disamping menekankan pada
pembacaan sekitar teks dan motif-motif dari sebuah teks, bukan makna literal teks, tetapi apa yang
menjadi tujuan dari teks yang sebenarnya. Kedua istilah ini terkait erat dengan konsep asl dan far’
dalam bahasa yang kemudian metodologinya diaplikasikan al-Jâbiri dalam menafsirkan al-Qur’ân.
Lihat Takwîn ‘Aql al-‘Arabi ( Beirut: Markaz Dirâsat al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1989), hal. 123.
261
Al-Suyûthi, Lubâb al-Nuqûl Fî Asbâb al-Nûzûl, (Beirut: Dar Ihya’ al ‘Ulum; tth), hal. 13.
262
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” hal. 46-48.
112

mufassir. Seperti penafsiran ayat-ayat yang mubhamât (samar-samar kejelasannya)


dibawah ini;
"‫ "ﻗﺪ ﺱﻤﻊ اﷲ ﻗﻮل اﻟﺘﻲ ﺗﺠﺎدﻟﻚ ﻓﻲ زوﺝﻬﺎ" "یﺄیﻬﺎ اﻟﺬیﻦ ﺁﻡﻨﻮا ﻻﺗﻘﻮﻟﻮا راﻋﻨﺎ وﻗﻮﻟﻮا اﻥﻈﺮﻥﺎ‬dengan
redaksi ayat yang didalamnya terdapat “‫“ وﻡﻦ اﻟﻨﺎس‬.
Kedua, kejadian-kejadian yang menyebabkan diberlakukannya hukum-hukum
syari’ah dan bentuk-bentuk kejadian tersebut tidak menunjukkan globalitas pesan
ayat yang kontradiktif dengan keterangan ayat baik dalam kekhususanayat,
keumuman dan keterikatan (muqayyad) sebuah ayat, sinkronisasi keterangan sebuah
ayat dengan prosesi sebab-sebab turunnya ayat. Ketiga, kejadian-kejadian yang
banyak dicontohkan dalam Al-Qur’ân akan tetapi dikhususkan/diperuntukkan pada
individu/personal yang dikemudian diterangkan dasar-dasar hukumnya dan balasan
bagi mereka yang melanggarnya. Keempat, kejadian-kejadian yang diperbincangkan
dalam Al-Qur’ân yang bertautan dengan ayat sebelum dan sesudahnya
menggambarkan apa yang telah terjadi pada zaman dahulu para salaf yang maksud
ayat tidak lain adalah kejadian-kejadian para salaf tersebut. Dalam hal ini Ibn ‘Âsyûr
merujuk pada al-Itqân karya Jalâluddîn al-Suyûthi keterangan didalamnya terdapat
banyak contoh tentang hal diatas. Kelima, penjelasan tentang perihal yang global,
dengan menerangkan yang mutasyâbihat.263
W. Montgomery Watt berpandangan bahwa kitab al-Wâhidi memiliki banyak
cacat, tidak lengkap dan tidak konsisten264. Bahkan hanya memuat riwayat-riwayat
yang menceritakan peristiwa-peristiwa yang tanggal kejadiannya tidak diketahui.
Agaknya Watt dalam hal ini mengadopsi pandangan al-Suyûti.265
Demikian juga dengan Kenner dalam penelitiannya ia menulis tentang tafsir;
bahwa Tuhan menurunkan wahyu dalam konteks yang tidak hampa dari sejarah

263
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” Dar-el Tunisiyah linnasar. T. th. hal. 47-50.
264
W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, terj. Lillian D. Tedjasudhana
(Jakarta: INIS, 1998), hal. 95.
265
W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, hal. 95.
113

manusia, dan interpretasi. Interpretasi terhadap wahyu merepresentasikan unsur


kesejarahan yang berlaku di saat itu.266
Belakangan Izzat Darwaza mengelaborasi pandangan pendahulunya dengan
menyatakan Al-Qur’ân dan seluruh bagiannya (surat, ayat, dan juz) merupakan satu
rangkaian yang sistematis, stilistik,dan kronologis. Makna yang benar, baik temporal
maupun siruasional, hukum khusus dan umum menurutnya tidak akan dapat dicapai
secara baik/sempurna tanpa mempertimbangkan konteks al-Qur’ân. Dengan
melepaskan konteks ayat akan mendistorsi yang bukan hanya makna bahkan tujuan
(maqâshid) al-Qur’ân. Disisi lain ia menjelaskan bahwa terkadang rasionalisasi
terhadap pewahyuan ayat-ayat tertentu tidak seirama dengan konteksnya. Kepada
pembaca ia memperingatkan untuk tidak menerima riwayat secara sembrono. Karena
jika asbâb nuzûl itu benar, boleh jadi ada rujukan pada peristiwa yang terjadi sebelum
ayat turun. Dan itu tidak berarti bahwa peristiwa tertentu merupakan satu-satunya
sebab turunnya ayat.267
Oleh karena itu wahyu tidak saja memiliki transendental yang bersifat abadi
dan melampaui peristiwa-peristiwa, tetapi juga mengandung nilai-nilai transhistoris,
artinya wahyu diturunkan oleh Tuhan dalam sejarah, karena itu wahyu Tuhan adalah
respon yang konkrit terhadap sejarah, terhadap kurun waktu tertentu.268
Pengantar Keenam, Ibnu ‘Âsyûr berbicara panjang soal aneka ragam bacaan
(al-qirâ’at), diterangkan bahwa soal perbedaan ini mengandung dua implikasi.
Pertama, bacaan yang tidak terkait dengan pemaknaan Al-Qur`ân. Kedua, yang
terkait dengan pemaknaan dari beberapa sisi. Pada perbedaan pertama seperti
perbedaan dalam pembacaan huruf, harakat, kadar mad, pelembutan (takhlif),

266
Kenner Cragg, The Event of The Qur’an; Islam and Its Scipture, (London: George Allen and
Unwin; 1971), hal 17.
267
Setelah menyebutkan asbab nuzul Q.S. al-Mâidah [9]:79 dan Fushilat [41]:22. pada bab
empat sambil menunjukkan kelemahan Mufassir awal, dengan bersungguh-sungguh Darwaza
menyatakan bahwa banyak riwayat yang sesuai dengan asbâb al-Nuzûl yang diwarnai oleh konflik
konvensional dalam masyarakat Muslim, dan karenanya, tidak dapat diterapkan, Lihat ‘Izzat Darwaza,
al-Qur’ân al-Majîd (Dâr Gharb al-Islâmi, cet- 2000/1421 H). 217-224. lihat lebih lanjut tulisan Ismail
K. Ponawala dalam, Jurnal PSQ (Pusat Studi al-Qur’ân) Vol.1.No.1, Januari 2006 hal. 125-148.
268
Kuntowijoyo, Iman dan Realitas, (Yogyakarta: Shalahuddin Press; 1985), hal 21.
114

penekanan (jahr), dan lainnya. Kesemuanya itu tidak terkait dengan tafsir, inilah yang
menjadi anutan pendahulu, diantaranya Abu Ali al-Farisi, penulis “al-Hujjah fi al-
qirâ’at”. 269
Adapun perbedan yang kedua mencakup perbedaan dalam soal membaca
huruf dalam satu kalimat, seperti kalimat “maaliki yaumi ad-din” (dengan bacaan
panjang di huruf mim), dan “maliki yaumi ad-din”(pendek diawal) disini Ibnu
‘Âsyûr tidak menegaskan secara gamblang perbedaan tersebut, hanya menekankan
bahwa semua itu merupakan keinginan Allah agar tercipta kekayaan makna. Mungkin
juga hal tersebut menambah kelenturan struktur kalimat dalam Al-Qur`ân. Seperti
halnya cerita Hisyam Ibn Hakim ibn Huzâm dan Sayyidina Umar dalam Shahîh
Bukhâri mendengarkan bacaan Hisyam surat al furqân, selesai shalat keduanya
mengadu kepada Rasulullah maka setelah keduanya membacakan ayatnya Rasulullah
tidak menyalahkan keduanya kemudian Beliau bersabda;
"‫ﺤ ُﺭﻑٍ ﻓﹶﺎ ﹾﻗ َﺭﺃُﻭﺍ ﻤﺎﺘ َﻴﺴّﺭ ِﻤ ﹾﻨ ُﻪ‬
ْ ‫ﺴﺒْﻌ ِﺔ َﺃ‬ ّ ‫ ِﺇ‬،‫ﻜﺫﺍﻟﻙ ُﺃ ﹾﻨ ِﺯﹶﻟﺕﹾ‬.....
َ ‫ﻥ ﻫﺫﺍ ﺍﻟﻘﹸﺭﺁﻥ ُﺃ ﹾﻨﺯِل ﻋﻠﻰ‬

“Sesungguhnya Al-Qur`ân itu diturunkan dalam tujuh dialek (sab’at ahruf) dan
bacalah dengan apa yang termudah menurut (lidah) kalian!.”270

Kemudian pada pengantar Ketujuh, Ibnu ‘Âsyûr memaparkan tentang kisah-


kisah dalam Al-Qur`ân. Menurutnya (Maqâshid Qasas Al-Qur’ân) itu semua
berfungsi bagi kaum muslim untuk menguasai wawasan global tentang dunia, dan
memotivasi mereka untuk menjadi penguasanya, sekalipun mereka itu dalam kondisi
memmprihatinkan dan berpecah-pecah. Kisah juga mengandung pengertian bahwa

269
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 55.
270
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 56. diterangkan juga bahwa redaksi hadits
diatas hanya penulis cantumkan sebagian saja, terdapat dua pendapat tentang hadits ini sebagian
memandang hadits ini mansukhan dan sebagian Ulama’ melihatnya muhakkaman mereka yang
memandang mansukh dari mayoritas Ulama’ antara lain; Abû Bakar Bâqillâni, Ibn ‘Abd al Barr, Abû
Bakar Ibn ‘Araby, al Thabarî dan al Thahâwiy, kemudian Ibn Uyainah dan Ibn Wahab keduanya
berpandangan bahwa hal tersebut (qirâ’at) merupakan rukhsah dari Allah untuk bangsa arab pada masa
keemasan Islam (shadr Islam), dan dihapusnya dialektika mereka dengan dialek Quraisy, ini jiga
didukung pendapat Ibn ‘Arabi pengarang kitab Ahkâm al Qur’ân. Lihat lebih lanjut hal. 57-59.
115

kekuatan Allah Ta’ala diatas semua kekuatan dan keilmuan Allah diatas segala-
galanya.271
Secara etimologi qisas jamak dari kalimat qissah, menurut pakar bahasa al-
‘azhar al-Qashash (kisah) adalah masdar (kata benda) dari ‫ یﻘﺺ‬-‫ ﻗﺺ‬yang berati
mengisahkan/ sebagai cerita dari suatu kejadian yang sudah diketahui sebelumnya.
Menurut al-Laits al-Qashash berarti mengikuti jejak.272
Musthafâ Sulaiman memberi pengertian tentang kisah ini dari aspek bahasa
berdasarkan redaksi al-Qur’ân (surah Yusuf 12;3) pada redaksi ayat ‘naqushshu’
disana diartikan dengan kami jelaskan kepadamu dengan sebaik-baik penjelasan,
sedang pendefinisiannya adalah suatu kepercayaan atas kebenaran sebuah sejarah
yang jauh dari kebohongan atau khayalan.273
Demikian juga Sayyid Quthb dalam karyanya Tashwîr al-Fanni fî al-Qur’ân,
diterangkan bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’ân bukanlah karya seni yang terpisah
dalam hal subyek, metode penyajian, dan pengaturan-pengaturan kejadiannya,
sebagaimana yang terdapat pada kisah seni bebas yang bertujuan menunaikan
penyajianseninya tanpa ikatan tujuan. Kisah adalah satu sarana al-Qur’ân diantara
sekian banyak sarananya mempunyai berbagai tujuan kekagamaan. Al-Qur’ân adalah
kitab dakwah sebelum segala sesuatunya. Dengan demikian kisah merupakan salah
satu sarana al-Qur’ân untuk menyampaikan dakwah ini dan mengokohkannya.
Kedudukan kisah dalam hal ini sama dengan gambaran-gambaranyang disajikan
tentang hari kiamat, nikmat surga dan azab neraka. Sama dengan bukti-bukti yang
diketengahkannya tentang hari berbangkit, untuk menunjukkan kekuasaan Allah.
Juga sama halnya dengan syari’at-syari’at yang dirincinya serta tamtsil-tamsil yang
dibuatnya, dengan tema-tema lain yang disebutkan dalam al-Qur’ân. Kisah dalam al-
Qur’ân baik temanya, metode penyajiannya, hingga pengaturan-pengaturan

271
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 64-69.
272
Ibn Mandzûr, Lisân al-‘Arab, hal.345.
273
Musthafâ Muhammad Sulaiman, al-Qishash fî al-Qur’ân al- Karîm, (Qâhirah; Mathba;ah al-
Âmanah, 1994), cet. Ke-1, hal.16 dan 18. bandingkan dengan Muhamed Ahmad Khalafullah alfann al-
qashashisy fî al-Qur’ al karîm (Mu’assasah al-intisyâr al-‘Arabiy) edisi ke IV 1999, hal. 147.
116

kejadiannya tunduk kepada tuntutantujan-tujuan agama, pengaruh dari ketundukan ini


terlihat menonjol melalui ciri-ciri tertentu. Meski begitu, ketundukan total kepada
tujuan agama ini tidak akan menghalangi keberadaan karateristik seni dalam
penyajiannya, terutama keistimewaan al-Qur’an yang terbesar dalam
menyampaikanungkapan, yaitu tashwîr atau gambaran.274
Dalam karya Mohamed Ahmad Khalafullah yaitu Stories in the holly Qur’ân275
ditegaskan bahwa; esensi tujuan dari kisah-kisah al-Qur’an adalah pengarahan dan
penjelasan (taujîhât al-dîniyyah) dari risalah kenabian (mâ jâ’a bihî al-Islâm) dari
dasar-dasar aqîdah dan membersihkan dari segala bentuk pengingkaran terhadap
pandangan, perkiraan-perkiraan serta pemikiran dan akidah yang melenceng
(bâthilah).276
Kisah-kisah dalam perspektif Ibn ‘Asyur adalah suatu informasi mengenai
kisah-kisah dalam al-Qur`ân masa lampau (ghâibah) yang terjadi. Kisah-kisah
tersebut dijelaskan, bahwasannya ia berfungsi bagi kaum muslim untuk menguasai
wawasan global tentang dunia, dan memotivasi mereka untuk menjadi penguasanya,
sekalipun mereka itu dalam kondisi memmprihatinkan dan berpecah-pecah. Kisah
juga mengandung pengertian bahwa kekuatan Allah Ta’ala diatas semua kekuatan
dan keilmuan Allah diatas segala-galanya.277
Tujuan utama (ghardh al-asliy) dari kisah-kisah dalam al-Qur’ân perspektif Ibn
‘Âsyûr antara lain:

274
Sayyid Quthb, Tashwîr al-Fanni fî al-Qur’ân terj. keindahan al-Qur’ân yang menakjubkan,
(Jakarta, Rabbâni Press), 2004), cet. Ke-1, hal. 275-276.
275
Lihat karya Muhamed Ahmad Khalafullah, al-Fann al-Qashashiy fî al-Qur’an al-karîm,
(Mu’assasah al-intisyâr al-‘Arabiy) edisi ke IV 1999, hal. 149.
276
Muhamed Ahmad Khalafullah, al-Fann al-Qashashiy hal.225
277
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 64-69.
Redaksi ayat-ayat yang menunjukan tentang kisah-kisah dalam Al-Qur’ân;
‫ﻥ ﹶﻗ ْﺒﻠِﻪِ ﹶﻟﻤِﻥَ ﺍ ﹾﻟﻐﹶﺎ ِﻓﻠِﻴﻥَ{ ]ﺴﻭﺭﺓ‬
ْ ‫ﺕ ِﻤ‬ ‫ﻥ ﹸﻜ ﹾﻨ ﹶ‬ ْ ‫ﻥ َﻭِﺇ‬
َ ‫ﺤ ْﻴﻨﹶﺎ ﺇِﹶﻟ ْﻴﻙَ َﻫﺫﹶﺍ ﺍ ﹾﻟ ﹸﻘﺭْﺁ‬
َ ‫ﺤﺴَﻥَ ﺍ ﹾﻟ ﹶﻘﺼَﺹِ ِﺒﻤَﺎ َﺃ ْﻭ‬ ْ ‫ﻥ ﹶﻨ ﹸﻘﺹﱡ ﻋَﹶﻠ ْﻴﻙَ َﺃ‬
ُ‫ﺤ‬
ْ ‫ﹶﻨ‬
،[3 :‫ﻴﻭﺴﻑ‬
.[76 :‫ﻥ {]ﺴﻭﺭﺓ ﺍﻟﻨﻤل‬ َ ‫ﺨ ﹶﺘِﻠﻔﹸﻭ‬
‫ل َﺃ ﹾﻜ ﹶﺜﺭَ ﺍﱠﻟﺫِﻱ ُﻫ ْﻡ ﻓِﻴ ِﻪ َﻴ ﹾ‬َ ‫ﺴﺭَﺍﺌِﻴ‬
ْ ‫ﻋﻠﹶﻰ َﺒﻨِﻲ ِﺇ‬ َ ‫ﻥ َﻴ ﹸﻘﺹﱡ‬
َ ‫ﻥ َﻫﺫﹶﺍ ﺍ ﹾﻟ ﹸﻘﺭْﺁ‬‫ } ِﺇ ﱠ‬:‫ﻭﻗﺎل‬
117

a. Keterabatasan pengetahuan ahli kitab (yahudi dan nasrani) ketika itu, tentang
informasi mengenai Nabi-nabi dan kaum-kaum bersama mereka merupakan suatu
tantangan yang dahsyat bagi mereka (yahudi dan nasrani) dan sebagai bukti
mu’jizat al-Qur’ân bahwa argumentasi mereka lemah atas kaum muslimin,
pengecualian bagi mereka yang memiliki pengetahuan yang dalam (al-Râskhûn fî
al-‘ilm), (surah Hûd; 49) 278 keterangan tentang inilah yang diklaim Ibn ‘Âsyur
bahwa mufassir sebelumnya belum menyebut dan menerangkan manfaat dari
kisah-kisah dalam al-Qur’ân.
b. Kemanfaatan yang kedua yaitu etika syari’ah (adab al-syari’ah) adalah
pengetahuan tentang sejarah masa lalu (syari’at pada masa Nabi-nabi sebelum
nabi Muhammad) bahwa disebutkannya kisah-kisah mereka sebagai urgensi
syariat islam dengan disebutkannya para pelaku syari’at (bidzikri târikh al-
musyarri’în), (surah Ali Imrân 3;146)279
c. Diantara urgensi dari kisah-kisah al-Qur’ân, adalah kemanmanfaatan atas
pengetahuan mengenai hirarki sejarah secara berurutan (tarattub al-musabbabât)
sesuai dengan sebab-musabab diturunkannya al-Qur’ân (asbâbihâ), mengenai
baik buruk (suatu urusan), penghancuran dan perubahan (pembangunan) melalui
proses, sebagai peringatan dan contoh ( untuk ditiru (litaqtadliya al-ummah wa
tahazhzhuri), kemudian ia kutip (surah an-Naml;52)280
d. Diantara manfaat kisah adalah sebagai nasehat diperuntukkan orang-orang
musyrikin (ketika itu), bagi mereka yang hidup dan bertemu dengan
kaum/golongan yang membangkang terhadap utusan Allah (rasul-rasul) kepada

278
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 65.
Redaksi ayatnya adalah;
َ‫ﻥ ﺍ ﹾﻟﻌَﺎﻗِﺒَ ﹶﺔ ِﻟ ﹾﻠ ُﻤ ﱠﺘﻘِﻴﻥ‬
‫ﺼ ِﺒ ْﺭ ِﺇ ﱠ‬
ْ ‫ﻥ ﹶﻗ ْﺒلِ َﻫﺫﹶﺍ ﻓﹶﺎ‬
ْ ‫ﺕ ﻭَﻻ ﹶﻗ ْﻭ ُﻤﻙَ ِﻤ‬
‫ﺕ ﹶﺘ ْﻌﹶﻠ ُﻤﻬَﺎ َﺃ ﹾﻨ ﹶ‬
‫ﺏ ﻨﹸﻭﺤِﻴﻬَﺎ ﺇِﹶﻟ ْﻴﻙَ ﻤَﺎ ﹸﻜ ﹾﻨ ﹶ‬
ِ ‫ﻥ َﺃ ﹾﻨﺒَﺎ ِﺀ ﺍ ﹾﻟ ﹶﻐ ْﻴ‬
ْ ‫ﻙ ِﻤ‬
َ ‫ِﺘ ﹾﻠ‬
279
Redaksi ayatnya;
‫ﺴ ﹶﺘﻜﹶﺎﻨﹸﻭﺍ ﻭَﺍﻟﱠﻠ ُﻪ‬
ْ ‫ﻀ ُﻌﻔﹸﻭﺍ َﻭﻤَﺎ ﺍ‬
َ ‫ل ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ َﻭﻤَﺎ‬
ِ ‫ﺴﺒِﻴ‬
َ ‫ﻥ ﹶﻜﺜِﻴ ٌﺭ ﹶﻓﻤَﺎ َﻭ َﻫﻨﹸﻭﺍ ِﻟﻤَﺎ َﺃﺼَﺎ َﺒ ُﻬ ْﻡ ﻓِﻲ‬
َ ‫ل َﻤ َﻌ ُﻪ ِﺭ ﱢﺒﻴﱡﻭ‬
َ ‫ﻲ ﻗﹶﺎ ﹶﺘ‬
‫ﻥ ﹶﻨ ِﺒ ﱟ‬
ْ ‫ﻥ ِﻤ‬
ْ ‫ﻭَ ﹶﻜَﺄ ﱢﻴ‬
(146) ‫ﻥ‬ َ ‫ﺤﺏﱡ ﺍﻟﺼﱠﺎ ِﺒﺭِﻴ‬ ِ ‫ُﻴ‬

280
Redaksi ayatnya sebagai berikut: [52- 50 :‫ﻅﹶﻠﻤُﻭﺍ { ﺍﻵﻴﺔ ]ﺍﻟﻨﻤل‬
‫ﹶﻓﺘِ ﹾﻠﻙَ ُﺒﻴُﻭ ﹸﺘ ُﻬ ْﻡ ﺨﹶﺎ ِﻭ َﻴ ﹰﺔ ِﺒﻤَﺎ ﹶ‬
118

mereka. Pembangkangan (mereka) terhadap perintah Allah, dan mereka saling


menasehati untuk menentang kepada pendahulu mereka. Bagaimana mungkin
bumi ini (dapat) diwarisi oleh orang-orang yang shalih? Kemudian Ibn ‘Âsyur
mengutip ayat (surah al-a’râf 7: 176, surah yusuf 12: 111, surah al anbiyâ’
21:105), pada surah terakhir kisah-kisah yang disebut Ibn ‘Âsyûr yaitu para
pembohong-pembohong utusan-utusan Allah (rusul), seperti dalam kisah
kaumnya Nabi Nûh dan kaum ‘Ad (yang membangkang tidak mempercayai
risalah kenabian), ashâbul aikah dan ahl al-rassi.281
e. Dalam hikayah kisah-kisah terdapat sulûk uslûb al-taushîf dan perbincangan
(uslûb) masih asing bagi penduduk arab ketika itu, hal baru bagi ilmu balaghah
yang banyak mempengaruhi penyair-penyair arab, yang merupakan I’jâz al-
Qur’ân, juga sebagai inspirator ilmu badi’, mereka tidak akan mampu
mendatangkan semisalnya (uslub badi’) kecuali dengan (kebiasaan menelaahnya
secara mendalam), hal ini terdapat pada kisah-kisah (yang diceritakan al-Qur’ân)
seperti keadaan manusia penghuni surga dan neraka kelak, dan mereka yang
berada di antara pagar surga (ashâbul a’râf), hal ini terdapat pada surah al-A’râf ,
sebagaimana telah diterangkan pada mukaddimah sebelumnya mengenai
peringatan atas kelemahan mereka (bangsa arab), dari pertentangan-
282
pertentangan.
f. Manfaat dari kisah-kisah selanjutnya bahwasannya keadaan bangsa arab yang
ummiy dan kebodohan, hal tersebut yang menyebabkan petunjuk al-Qur’ân belum
mampu mereka tangkap secara logika (rasio)/ mencerahkan mereka, kecuali
dengan hal-hal yang kongkrit/ terdeteksi oleh indra manusia (bimâ yaqa’ tahta al-
hiss).termasuk dari manfaat disebutkannya kisah-kisah ini untuk memperluas
pengetahuan (tawsî’ li ‘ilm muslimin) mereka orang-orang muslim karena
keberadaan mayoritas umat dan keadaan (mereka sebagai i’tibar-penulis),

281
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 66.
282
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 66.
119

sebagaimana firman Allah menunjukkan kelalaian mereka sebelum Islam (surah


Ibrâhîm :14;45).
g. Kemanfaatan ketujuh dari kisah al-Qur’ân yaitu menekankan kepada umat
muslimin atas pengetahuan atas keluasan (pengetahuan alam), keberagaman
(kelebihan) mereka (umat-umat terdahulu) dampai terhindar dari teka-teki tipu
daya mereka. Sebagaimana Allah dalam al-Qur’ân menasehati kaum ‘Ad, dalam
(surah fushshilat 41:18).
h. Faedah dari kisah ini diharapkan agar tumbuh dalam benak kaum muslimin
keinginan kuat (himmah) untuk menguasai alam, sebagaimana umat sebelumnya,
dengan tujuan mereformasi dekadensi moralitas orang-orang arab dimana mereka
mengorbankan satu sama lain dalam pencapaian suatu kemulyaan(idz radlû minal
‘izzah biightiyâli al-‘arab, liyakhrujû minal khumûli alladzî kâna ‘alaihi al-
‘arab). 283
i. Manfaat yang kesembilan dari kisah-kisah al-Qur’ân, sebagai penekanan
pengetahuan bahwa kekuatan mutlak hanya milik Allah, dan pertolonganAllah
bagi mereka yang menolong (agama) Allah, dan jiak mereka berpegang teguh
pada persiapan yang matang dan bersandar hanya kepada Allah (untuk menerima
petunjuk Allah), maka mereka (makhluk) akan terhindar dari
penguasaan/eksploitasi orang lain. Sebagaimana al-Qur’an (surah al-anbiyâ’
21:88).284
j. Dengan megelaborasi qasas al-Qur’ân ini, akan bermanfaat pada signifikansi
sejarah peradaban dan syari’ah, yang kesemuanya itu dapat menjadikan
pengetahuan tersendiri bagi umat muslim dari kebutuhan primer (yuftaqq adzhân

283
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 66-67. bandingkan dengan gagasan
Muhammad Izzat Darwaza tentang formulasi al-Qasas dalam [al-Qur’ân al-Majîd] fî Muqaddimah al-
Tafsîr al-Hadits,[Kairo; Isa al-Babiy al-Halabiy wa syuraka’uh, 1964/Dar al-Gharb al-Islamiy, 2000
M] cet.2. jilid 1. juz.1 hal. 162-178.
284
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 67.
120

muslimîn liilmâm bifawâid al-madaniyyah) maupun sekunder.-penulis-, kemudian


Ibn ‘Âsyûr mengutip al-Qur’ân (surah yûsuf 12:76)285
Kemudian pengantar Kedelapan, Ibnu ‘Âsyûr berbicara tentang nama, jumlah
ayat, susunan, dan nama-nama lain Al-Qur’ân, diterangkannya secara rinci. Dia juga
menjelaskan bahwa ayat terpanjang dalam al-Qur’ân adalah ayat surah al-Fath;[48
25] dan surah al-Baqarah; [2:102]. agaknya penulis kitab ini memfokuskan di
pengantar kedelapan ini soal susunan atau runtutan ayat. Ibn ‘Âsyûr mengatakan;
bahwa itu semua sudah ditentukan oleh Nabi langsung, sesuai dengan turunnya
wahyu. Sebagaimana maklum Al-Qur’ân diturunkan secara bertahap (munajjaman)
dalam kurun waktu 23 tahun.286
Dalam perspektif Ibn ‘Âsyûr pengertian al-Âyat berarti suatu maksud/ukuran
dari redaksi al-Qur’ân yang tersusun (Miqdârun min al-Qur’-ân murakkabun),
misalnya “‫”واﻟﻔﺠﺮ‬ yang maksud darinya adalah bersumpah dengan dengan waktu
fajar (uqsimu bi al-fajri). Atau disebutnya sebagai sambungan/pertautan (ilhâqan)
seperti huruf-huruf muqaththa’ah dalam setiap pembukaan surah (fawâtih al-suwar) .

‫ ﻃﺲ‬،‫ اﻟﻤﺮ‬،‫ اﻟﺮ‬hal disamping bersifat tawqîfî juga merupakan sunnah yang diikuti
kebenarannya dengan tidak membedakan satu dengan yang lainnya. Bagian ini
dinamakan dengan Âyât karena ia temasuk bagian dari al-Qur’ân (min mubtakirâti al-
Qur’ân) dalam al-Qur’ân ayat 7 dari surah Ali Imran [3] redaksinya adalah:
‫ﺕ‬
‫ﺤ ﹶﻜﻤَﺎ ﹲ‬
ْ ‫ﺕ ُﻤ‬
‫ﺏ ِﻤ ﹾﻨ ُﻪ ﺁﻴَﺎ ﹲ‬
َ ‫ل ﻋَﹶﻠ ْﻴﻙَ ﺍ ﹾﻟ ِﻜﺘﹶﺎ‬
َ ‫ ُﻫ َﻭ ﺍﱠﻟﺫِﻱ ﺃَﻨﺯ‬dan pada ayat 1 dari surah Hûd [11] yang
redaksinya adalah: ‫ﺭ‬
ٍ ‫ﺨﺒِﻴ‬
‫ﺤﻜِﻴ ٍﻡ ﹶ‬
َ ‫ﻥ‬
ْ ‫ﻥ ﹶﻟ ُﺩ‬
ْ ‫ﺕ ِﻤ‬
‫ﺼﹶﻠ ﹾ‬
‫ﺕ ﺁﻴَﺎﺘﹸ ُﻪ ﹸﺜﻡﱠ ﹸﻓ ﱢ‬
‫ﺤ ِﻜ َﻤ ﹾ‬
ْ ‫ﺏ ُﺃ‬
ٌ ‫ ﺃﻟﺭ ِﻜﺘﹶﺎ‬disebutkan
dalam kedua surat disamping (Ali Imran [3:7] dan Hud [11:1]) redaksi yang
menerangkan tentang Âyât, dinamakan ayat sebagai bukti bahwa redaksi tersebut
merupakan wahyu dari sisi Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad
shallawwah ‘alaih wasallam, karena ia juga mencakup dari batasan paling tinggi
dalam kajian balaghah Nazhm al-kalâm. Sebagai bukti bahwa al-Qur’ân bukan buatan

285
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 67.
286
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 70-92.
121

manusia, sebagaimana ketidakmampuan pakar balaghah dan pakar sastra arab ketika
ditantang oleh Nabi untuk mendatangkan surah semisal seperti redaksi al-Qur’ân
mereka tidak mampu mendatangkannya, maka dilemahkannya mereka (fa’ajazû ‘an
ta’lîfi mitsla sûrah min sûrah).287
Sedangkan al-Sayûthi berpandangan bahwa diantara kesesuaian antara ayat-
ayat dan surat-suratnya serta hubungan yang kuat, keterkaitan dan keterikatan yang
kokoh antara ayat-ayatnya dan surat-suratnya merupakan bagian dari tiga puluh lima
bentuk ke i’jâz-an al-Qur’ân, kekunikan susunan dan keharmonisan kalimatnya juga
termasuk bagian dari I’jâz al-Qur’ân.288
Selanjutnya atas dasar inilah Ibn ‘Âsyûr (w. 1973) menekankan bahwa
keterangan tentang ayat redaksinya tidak ditemukan dalam al-Taurah, al-Injîl, ini
merupakan kekhususan yang tidak terdapat pada bahasa Ibrâniyyah dan Ârâmiyyah.
Berkata Abû Bakar Ibn ‘al-‘Arabi pembatasan-pembatasan ayat termasuk dari
mu’dhalâti al-Qur’ân, ada yang panjang dan pendek, terdapat juga yang
disela/diputus sebelum akhir, dan ada pula habis sampai konteks pembicaraan selesai
(wa minhu mâ yanqathi’u wa minhu mâ yantahî ilâ tamâmi al-Kalâm), demikian juga
al-Zamakhsyari ayat-ayat dalam al-Qur’ân merupakan masalah tawqîfî.289
Kemudian Ibn ‘Âsyûr menambahkan agaknya tidak terlampau jauh (lâ
yab’adu) penetapan ukuran ayat (an yakûna ta’yîn miqdâru al-Âyah) mengikuti pada
kronologis turunnya (taba’an liintihâ i nuzûliha) dan permasalahan yang berkaitan
dengannya (wa ammâratihi wuqû’i al-fâshilah).290

287
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 74.
288
Lihat al-Sayûthi, Mu’tarak al-aqrân fî I’Jâz al-Qur’ân (Dâr al-Fikr al-‘Arabi, tt), juz I-III.
Ibn al-Hashar dan Ibn al-Anbari juga demikian. keduanya meyakini bahwa susunan letak surat-surat
dan ayat-ayatnya (urutan surat sama dengan hubungan ayat dan huruf saling melekat) dan sepenuhnya
merupakan petunjuk langsung dari Nabi Muhammad saw. Berdasarkan wahyu.
289
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 75.
290
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 74. keterangan tentang al-fawâshil ia
merupakan kalimat-kalimat yang redaksinya menyerupai atau mendekati/mirip dengan jatuhnya huruf
yang terakhir ( tatamâtsalu fî awâkhiri hurûfiha aw tataqâraba), dengan dibarengi kemiripan shighat
al-nutq, yang kemudian redaksinya diulangi dengan penekanan pengulangan yang merupakan bentuk
nadham dalam pelbagai redaksi ayat-ayat yang banyak, yang kebanyakan qarîb min al-asjâ’ fî kalâmi
al-Masjû’. Thâhir Ibn ‘Âsyûr menyimpulkan bahwa sesungguhnya al-fawâshil itu kesemuanya sampai
122

Dalam (mukaddimah kedelapan); ditulis bahwa al-Sûrah merupakan suatu


bagian dari al-Qur’ân (qit’atun min al-Qur’ân) yang ditandai dengan permulaan dan
pengakhiran (mu’ayyanatun bimabdain wa nihâyatin) yang keduanya tidak akan
pernah berubah, al-sûrah tersebut dinamai dengan nama-nama yang khusus
(musammâtun biismin makhsûsin) yang terdiri dari 3 ayat atau lebih yang memiliki
tujuan global dengan membawa pesan-pesan makna ayat-ayat dalam surah tersebut.
al-sûrah tersebut berkaitan ereat dengan kronologi turunnya ayat (Nâsyiun ‘an asbâb
al-Nuzûl), dan juga mengandung keserasian makna-makna antar surah di balik teks
(muqtadlayât mâ tasytamilu ‘alaihi min al-ma’ânî al- mutanâsibati). Kemudian
penulis juga mengemukakan pandangan mufassir tentang tema tersebut sebagai
perbandingan, karena hal tersebut dapat menyingkap urgensi gagasan maqashid dan
prinsip tafsirnya, khususnya pada surah al-Baqarah.291
Dalam pengantar Kesembilan, Ibn ‘Âsyûr berbicara tentang makna-makna
yang dikandung oleh kalimat-kalimat Al-Qur’ân,. Dia menegaskan, bahwa itu semua

pada akhir ayat, walaupun perbincangan (al-kalâm) yang terjadi (al-ladzî taqa’u fîhi) belum sempurna
dari maksud dan tujuan (al-ghard) dari konteks pembicaraan tersebut (al-masûq ilahi). Dan jika telah
sampai pada tujuan yang dimaksud dari konteks ayat yang diperbincangkan (al-kalâm), dan belum
terjadi (sampai tujuannya) ketika habisnya al-fâshilah (rima) maka, pada konteks perbincangan ayat
tersebut belum selesai (falâ yakûna muntahâ al kalâm) dan belum menjadi akhir konteks ayat tersebut
(nihâyata âyah). Seperti dalam sûrah (Shâd [38:1]): ‫ ص واﻟﻘُﺮ ﺁن ذِي اﻟﺬآﺮ‬Keterangan jumlah (‘Adu) ayat
disamping menunjukan ukuran ayat yang belum selesai (konteks pembicaraannya) karena penyebab
berhentinya adalah al-fâshilah, hal ini sangat jarang ditemukan dalam al-Qur’an.290 Dalam kasus
disamping al fawâshil ayatnya terjadi pada pembukaan/ permulaan surah, yang terbangun atas satu
huruf terbuka (uqîmat ‘alâ harfin maftûhin) yang disusul dengan alif sebagai bentuk mad kemudian
datang setelahnya huruf (ba’dahû alif maddin ba’dahâ harfun), seperti bentuk misal berikut: ،‫ﺷﻘﺎق‬
‫ ﻋﺠﺎب‬،‫ آﺬَاب‬،‫ ﻡﻨﺎص‬, dan masih banyak bentuk fawâshil misalnya yang terbangun (buniyat) dari huruf
yang madhmû musyabba’ bi al-wâwi,ataupun dari huruf berkasrah musyabba’ bi al-Yâ’i al-sâkinah,
yang datang setelahnya satu huruf contohnya; ‫ ﻡﻦ ﻃﻴﻦ‬،‫ ﻥﺬیﺮ ﻡﺒﻴﻦ‬،‫ إذ یﺴﺘﻤﻌﻮن‬،‫ أﻥﺘﻢ ﻋﻨﻪ ﻡﻌﺮﺿﻮن‬, dan apabila
tujuan yang dimaksud (al-ghardh) sampai pada konteks ayat yang terakhir sedangkan al-fâshilah
datang setelahnya maka ayat tersebut belum dapat dikatakan selesai (takûna al-Âyah ghaira
muntahiyah) meskipun ayat tersebut masih terlalu panjang, seperti contoh berikut:
‫ﻗﺎل ﻟﻘﺪ ﻇﻠﻤﻚ ﺑﺴﺆال ﻥﻌﺠﺖ "إﻟىﻘﻮﻟﻪ" وﺥﺮّراآﻌﺎ وأﻥﺎب‬, dari rangkaian ayat disamping menunjukkan jumlah
satu ayat.
291
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 84. terdapat redaksi hadits yang menguatkan
pandangan ini diriwayatkan Abû Dawûd dari Zubair:
‫ث‬
ُ ‫ل َأﺗَﻰ ا ْﻟﺤَﺎ ِر‬ َ ‫ﻦ اﻟ ﱡﺰ َﺑ ْﻴ ِﺮ ﻗَﺎ‬
ِ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ‫ﻋﺒﱠﺎ ِد ْﺑ‬َ ‫ﻦ َأﺑِﻴ ِﻪ‬ ْ‫ﻋ‬َ ‫ﻋﺒﱠﺎ ٍد‬َ ‫ﻦ‬ ِ ‫ﺤﻴَﻰ ْﺑ‬ ْ ‫ﻦ َی‬ْ‫ﻋ‬ َ ‫ق‬ َ ‫ﺱﺤَﺎ‬ ْ ‫ﻦ ِإ‬ ِ ‫ﺤ ﱠﻤ ِﺪ ْﺑ‬
َ ‫ﻦ ُﻡ‬ ْ‫ﻋ‬َ ‫ﺱَﻠ َﻤ َﺔ‬
َ ‫ﻦ‬ ُ ‫ﺤﻤﱠ ُﺪ ْﺑ‬
َ ‫ﺡ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ُﻡ‬
َ ‫ﺤ ٍﺮ‬ ْ ‫ﻦ َﺑ‬ُ ‫ﻲ ْﺑ‬ ‫ﻋِﻠ ﱡ‬َ ‫ﺡ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ‬
َ
‫ل ﻟَﺎ َأ ْدرِي وَاﻟﱠﻠ ِﻪ‬َ ‫ﻋﻠَﻰ َهﺬَا ﻗَﺎ‬ َ ‫ﻚ‬ َ ‫ﻦ َﻡ َﻌ‬ ْ ‫ل َﻡ‬َ ‫ب َﻓﻘَﺎ‬ ِ ‫ﺨﻄﱠﺎ‬ َ ‫ﻦ ا ْﻟ‬
ِ ‫ﻋ َﻤ َﺮ ْﺑ‬
ُ ‫ﺴ ُﻜ ْﻢ { ِإﻟَﻰ‬ ِ ‫ﻦ َأ ْﻥ ُﻔ‬
ْ ‫ل ِﻡ‬ ٌ ‫ﺥ ِﺮ َﺑﺮَا َء َة } َﻟ َﻘ ْﺪ ﺝَﺎ َء ُآ ْﻢ َرﺱُﻮ‬ ِ‫ﻦﺁ‬ ْ ‫ﻦ ِﻡ‬ِ ‫ﻦ اﻟْﺂ َی َﺘ ْﻴ‬
ِ ‫ﺥ َﺰ َﻡ َﺔ ِﺑﻬَﺎ َﺗ ْﻴ‬
َ ‫ﻦ‬ ُ ‫ْﺑ‬
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
َ ‫ل اﻟﱠﻠ ِﻪ‬ ِ ‫ﻦ َرﺱُﻮ‬ ْ ‫ﺴ ِﻤ ْﻌ ُﺘﻬَﺎ ِﻡ‬
َ ‫ﺷ َﻬ ُﺪ َﻟ‬
ْ ‫ﻋ َﻤ ُﺮ َوَأﻥَﺎ َأ‬
ُ ‫ل‬ َ ‫ﻈ ُﺘﻬَﺎ َﻓﻘَﺎ‬ْ ‫ﺡ ِﻔ‬
َ ‫ﻋ ْﻴ ُﺘﻬَﺎ َو‬َ ‫ﺱﱠﻠ َﻢ َو َو‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬َ ‫ل اﻟﱠﻠ ِﻪ‬ ِ ‫ﻦ َرﺱُﻮ‬ ْ ‫ﺴ ِﻤ ْﻌُﺘﻬَﺎ ِﻡ‬ َ ‫ﺷ َﻬ ُﺪ َﻟ‬
ْ ‫ِإﻟﱠﺎ َأﻥﱢﻲ َأ‬
‫ﺥ ِﺮ َﺑﺮَا َء َة‬ ِ ‫ﺿ ْﻌ ُﺘﻬَﺎ ﻓِﻲ ﺁ‬ َ ‫ﻀﻌُﻮهَﺎ ﻓِﻴﻬَﺎ َﻓ َﻮ‬ َ ‫ن َﻓ‬ ِ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻘﺮْﺁ‬
ْ ‫ﻈ ُﺮوا ﺱُﻮ َر ًة ِﻡ‬ ُ ‫ﺡ َﺪ ٍة ﻓَﺎ ْﻥ‬
ِ ‫ﻋﻠَﻰ‬ َ ‫ﺠ َﻌ ْﻠُﺘﻬَﺎ ﺱُﻮ َر ًة‬
َ ‫ت َﻟ‬
ٍ ‫ث ﺁیَﺎ‬ َ ‫ﺖ َﺛﻠَﺎ‬ ْ ‫ل َﻟ ْﻮ آَﺎ َﻥ‬ َ ‫ﺱﱠﻠ َﻢ ُﺛﻢﱠ ﻗَﺎ‬
َ ‫َو‬
123

menyangkut sebagian hubungan antara struktur kalimat, makna dan beberapa


persoalan bahasa.292
Bangsa arab diciptakan dengan diberi kemampuan sastra yang tinggi dan
pemahaman [otak] cerdas. Sehingga pujangga-pujangga mereka banyak
menggunakan istilah-istilah (majâz) dalam berkomunikasi. Seperti Majaz, Isti’ârah,
Tamtsîl, Kinâyah, al- ta’rîdl, wa al-Amtsâl, Isytirâk wa al-Tasâmuh fî al-isti’mâl, al-
istifhâm fî al-Taqrîr aw al-Inkâr dll. 293
Pengantarnya Kesepuluh, dalam karya tafsirnya mengulas panjang lebar
tentang kemu’jizatan Al-Qur`ân. Kemu’jizatan merupakan dasar universal bahwa
Al-Qur`ân merupakan mu’jizat Islam dengan menantang para penentangnya, dan
memepersilahkannya untuk menandinginya apabila mampu untuk membuat surat
semisal Al-Qur`ân, namun Al-Qur`ân pun menjelaskan bahwa manusia tidak akan
pernah mampu walaupun diantara mereka terdapat para ahli syair, pakar-pakar bahasa
waktu diturunkannya Al-Qur`ân sampai detik ini dan sampai hari dibangkitkannya
manusi kelak, tidak akan yang ada yang menandinginya. Inilah konsep yang agaknya
banyak dilupakan oleh para ahli tafsir menurut Ibn 'Âsyûr. Yang mana mereka dibuat
sibuk oleh detil-detil mu’jizat sembari melupakan pangkal dan akarnya. Ini pula yang
menyebabkan mereka berbeda-beda dalam menunjukkan sisi kemu’jizatan Al-
Qur`ân.
Sumbangan terpenting dari Ibnu ‘Âsyûr diantara para mufasir ialah ulasannya
yang sekilas merangkum tentang bagaimana Al-Qur`ân menjadi pelopor dalam
keistimewaan struktur kalimatnya (Îjâz). Dia tidak terikat pada satu bahasa, tapi
berbeda-beda dalam satu surah. Bahkan dalam tiap-tiap surah terdapat dialek
tersendiri. Sebagian bersifat sinambung dan bagian yang lain tidak sinambung, begitu
juga pada variasi awal surahnya.294

292
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 93-100.
293
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 93-100.
294
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 101-121.
124

Dalam pandangan Ali Iyâzi dalam karyanya pengantar tentang penafsiran Al-
Qur`ân dan ulûmul Qur’an dalam karya monumental Ibnu ‘Âsyûr ini setara dengan
pengantar Ibnu Khaldun (bapak sosiologi) tentang sejarah dalam karyanya Al-
Muqaddimah.295
B. Maqâshid al-ashliyyah dalam tafsir Ibn ‘Âsyûr
Delapan tujuan dasar (al-Maqâshid al-ashliyyah) dari diturunkannya al-
Qur`ân dalam pandangan dan rumusan Ibn ‘Âsyûr antara lain; pertama, memperbaiki
dan mengajarkan akidah [yang benar]; kedua, mengajarkan nilai-nilai akhlak yang
mulia; ketiga, menetapkan hukum-hukum syariat; keempat, menunjukkan jalan
kebaikan kepada umat Islam (siyâsah al-ummah); kelima, memberikan pelajaran dan
hikmah dari kisah bangsa-bangsa terdahulu; keenam, menyiapkan umat Islam untuk
menerima dan menyebarkan ajaran-ajaran agamanya; ketujuh, al-targîb wa al-tarhîb;
kedelapan, membuktikan kebenaran risalah Nabi Muhammad saw.296 Maqâshid al-
asliyah (8 tujuan dasar) penafsiran dalam tafsir a
a. Memperbaiki dan Mengajarkan dasar-dasar Aqîdah
Ketika berbicara tentang ‘Aqidah Ibn ‘Âsyûr memulainya dengan
menyatakan; bahwa hendaknya Aqidah harus diajarkan dan doktrin dengan benar
karena ini merupakan sebab yang paling utama untuk menghiasi serta memperbaiki
akhlak umat (li islâhi khalq), karena aqidah yang benar mampu membantu untuk
menghilangkan ketidak patuhan diri dari perihal yang tidak berdasar, aqidah juga

295
Gamal al-banna, tafsir al-Qur’an al-Karim baina al-qudama’ wa al—muhadditsin, versi
terjemahan dari judul ini oleh Novriantoni dkk. Dalam evolusi tafsir hal 138 Qisthi Press 2004.
296
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 39-41. bandingkan dengan konsep
maqashid al- asâsiyyah (tujuan pokok) al-Qur’ân yang dikemukakan oleh Rasyîd Ridha yang
kemudian ia membagi maqâshid al-Qur’an tersebut menjadi sepuluh bagian; pertama; perbaikan tiga
sendi agama, yakni iman kepada Allah, iman kepada hari akhirat, dan perbuatan baik (amal shaleh).
Kedua; perbaikan pemahaman tentang wahyu dan kerasulan. Ketiga; pemberdayaan potensi diri
manusia.keempat; perbaikan hubungan sosial kemasyarakatan dan politik. Kelima; penegasan
karakteristik ajaran Islam. Keenam; penjelasan prinsip-prinsip dasar pemerintahan Islam. Ketujuh;
perbaikan sistem pengelolaan harta. Kedelapan; perbaikan aturan perang dan perjanjian damai.
Kesembilan; pemenuhan hak-hak perempuan. Kesepuluh; pembebasan budak. Lihat lebih lanjut dalam
Tafsir al-Qur’ân, vol. 11, hal. 186-255. lihat juga al-Wahyu al-Muhammady (Maktabah al-Islâmî),
hal. 29,30, dan 166-340.
125

mampu mensucikan qalb dari gejala-gejala keragu-raguan yang tumbuh (dalam diri)
seperti indikasi syirk kepada Allah subhanahû wa Ta’âla dan penyakit hati (al-isyrâk
wa al-duhriyyah) dan segala bentuk penyakit yang berkaitan dengan keduanya.297
Dalam hal ini Ibn ‘Âsyûr mengutip surah [QS. Hûd 11:101];
‫ﺐ‬
ٍ ‫ﻏ ْﻴ َﺮ َﺗ ْﺘ ِﺒ ْﻴ‬
َ ‫ﻲ ٍء ﱠﻟﻤﱠﺎ ﺝَﺎ َء أ ْﻡ ُﺮ رﺑﱢﻚ وﻡَﺎ زَادُوهُﻢ‬
ْ ‫ﺷ‬
َ ‫ن اﷲ ﻡِﻦ‬
ِ ‫ﻦ دُو‬
ْ ‫ﻲ ی ْﺪﻋُﻮن ِﻡ‬
ِ ‫ﻋ ْﻨ ُﻬ ْﻢ ﺁﻟﻬ ُﺘﻬُﻢ اﻟّﺘ‬
َ ‫ﺖ‬
ْ ‫ﻏ َﻨ‬
ْ ‫ﻓﻤَﺎ أ‬
Gharad/maksud dan tujuan dari tafrî’ [klasifikasi] ini yaitu menjelaskan
keadaan kaum musyrikin arab (ketika itu) yang menyembah dan mengharap
kemanfaatan pada patung dan berhala. Mereka kaum (musyrikin) mengira bahwa
dalam beribadah, pendahulu mereka juga menyembah berhala, kemudian dugaan-
dugaan tersebut semakin kuat karena faktor peninggalan dan pengaruh mereka
terhadap kaum musyrikin arab setelahnya masih sangat dominan.298
Disandarkannya lafadz ‫ ﻵﻟﻬﺘﻬﻢ‬kepada Tuhan-tuhan yang mereka (kaum
Musyrikin) sembah dan berharap kemanfaatan dari berhala dan patung-patung
sesembahan mereka, sebagai sebab-sebab kerugian mereka bertambah, hal tersebut
disebabkan pengaruh dari kepercayaan (I’tiqâd) mereka terhadap berhala dan patung-
patung yang mereka jadikan sandaran dan harapan kemanfaatan dari benda yang
mereka buat sendiri, walhasil kerugian yang mendalam disebabkan ketamakan
mereka dalam menyembah dan mengharap kepada berhala-berhala itu keselamatan
dari musibah-musibah yang menimpanya, kemudian ketika mereka mendengarkan
peringatan dan ancaman siksa, mereka tidak menghiraukannya dan mereka tidak
bertaubat.299
Dalam karya Ibn ’Âsyûr ushûl al Nizhâm al-Ijtimâ’I fî al-Islâmî ditulis; bahwa
penelitian yang mengkaji tentang hakikat ketuhanan mampu ditangkap oleh “fitrah”
yang terdapat pada setiap individu manusia, hal ini diabadikan dalam al-Qur’ân surat
al-A’râf 7:172].300 Diterangkan; manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan

297
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 40.
298
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 12, hal. 158-159.
299
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 12, hal. 159-160.
300
Ibn ‘Âsyûr, Ushûl al-Nizhâm al-Ijtimâ’i fi al-Islâm, hlm 42-45. redaksi ayatnya sebagai
berikut;
126

sempurna [dari makhluk lain], telah diletakkan [integrated] dalam setiap fitrah
[kemanusiaan] suatu power [fikir] untuk menyatakan kebenaran. Yang apabila
tumbuh pada perkembangan akidah yang benar maka akal sehatnya akan menerima
dan ridha pada norma-norma [al-fikr al mushîb]. Dan sebaliknya apabila tumbuh
dengan mainside yang salah, akan mengukuti jalan fikiran yang salah.301
Pada penanaman akidah yang benar akan menumbuhkan pada pola fakir yang
positif, dan akan membuahkan perbuatan/ perilaku yang terarah sehingga akan
tercapai sebuah kesuksesan duniawi dan ukhrawi.302

b. Penanaman dasar Akhlak


Akhlak dalam definisi kamus umum bahasa Indonesia berarti budi pekerti,
watak dan tabiat.303 Keterangan mengenai akhlak dalam al-Qur’ân terdapat pada [QS.
al-Qalam 68:4] ; ‫ﻈ ْﻴ ٍﻢ‬
ِ‫ﻋ‬
َ ‫ﻖ‬
ٍ ‫ﺥُﻠ‬
ُ ‫ﻚ َﻟ َﻌﻠَﻲ‬
َ ‫ وإ ّﻥ‬ketika Sa’îd ibn Hisyam bertanya kepada ’Aisyah
istri Nabi Muhammad shallawwahu ’alaih wasallam tentang akhlak Nabi, ’Aisyah
istri Nabi menjawab bahwasannya akhlak Nabi adalah Al-Qur’an. Terdapat pula
keterangan dalam kitab Muwatha’ karangan Imam Mâlik;304 sebagai perawi haditsnya
dengan redaksi; ‫ق‬
ِ ‫ﺥﻠَﺎ‬
ْ ‫ﻦ ا ْﻟَﺄ‬
َ‫ﺴ‬
ْ‫ﺡ‬
ُ ‫ﺖ ِﻟُﺄ َﺗ ﱢﻤ َﻢ ﻡﻜﺎرم‬
ُ ‫ ُﺑ ِﻌ ْﺜ‬maksud dan tujuan diutusnya Nabi
Muhammad shallawwahu ’alaih wasallam dapat dimaklumi oleh mayoritas bangsa
arab pada masa Nabi Muhammad saw. Khususnya Sahabat-sahabatnya.305

¡ !$tΡô‰Îγx© ¡ 4’n?t/ (#θä9$s% ( öΝä3În/tÎ/ àMó¡s9r& öΝÍκŦàΡr& #’n?tã öΝèδy‰pκô−r&uρ öΝåκtJ−ƒÍh‘èŒ óΟÏδÍ‘θßγàß ÏΒ tΠyŠ#u ûÍ_t/ .ÏΒ y7•/u‘ x‹s{r& øŒÎ)uρ

∩⊇∠⊄∪ t,Î#Ï≈xî #x‹≈yδ ôtã $¨Ζà2 $¯ΡÎ) Ïπyϑ≈uŠÉ)ø9$# tΠöθtƒ (#θä9θà)s? χr&

301
Ibn ‘Âsyûr, Ushûl al-Nizham, hal. 42-57.
302
Ibn ‘Âsyûr, Ushûl al-Nizham, hlm 45-73. lihat juga Ismail Hasani, Nazariyyah...hal. 263-
272.
303
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1995 hal. 25.
304
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 12, hal. 159-160.
305
Lihat penafsiran Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, hal. 63-65.
127

Akhlak [mulia] sebagaimana ditegaskan oleh ustadz ’Allâl al-Fâsi ia dapat


dijadikan ukuran [miqyâs] setiap kemaslahatan dan sebagai dasar/pondasi
tujuan/maksud dari sekian tujuan-tujuan ideal dalam agama Islam.306

c. Penetapan dan Penjelasan Hukum-hukum Syari’at


Penetapan hukum-hukum syariat ini dibagi menjadi dua; pertama;
hukum-hukum yang bersifat General (‘Âmmah) dan kedua; Hukum-hukum yang
Partikular (khâshshah). Kaitannya dengan ini Ibn ‘Âsyûr mengutip surah [QS. an-
Nisâ’ 4:105] dengan surah [QS.al-Mâidah 5:48].307 Yang bersifat umum yaitu segala
interpretasi tentang makna-makna hukum yang diberlakukan/diaplikasikan pada
setiap hukum-hukum syari’at atau yang melingkupinya, mempunyai target dan
tujuan-tujuan ideal secara general. Ia juga merupakan tumpuan dasar pelestarian
norma-norma sosial kemasyarakatan guna mewujudkan kemaslahatan umum.308
Berbeda dengan Maqâshid al-Khâshshah dalam perspektif Ibn ’Âsyûr adalah segala
interaksi sosial manusia satu dengan yang lain untuk mewujudkan kemaslahatan
umum, dan bermanfaat bagi mereka secara berkesinambungan.309
Pada dasarnya al-Qur’ân telah mengkodifikasi segala bentuk perundang-
undangan syari’at pada secara global dan general, juga tidak ketinggalan keterangan
partikular/juz’iy yang memiliki urgensitas untuk menjelaskan (hukum-hukum
syari’at) secara detail. Dalil yang menyatakan keterangan secara general dan

306
‘Allâl al-Fâsî, Maqâshid al-Syarî’ah wa makârimuha, hal. 189. baca juga Ibn ‘Âsyûr, ushûl
al-Nizhâm, hlm 74-82. lihat juga Ismail Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid, hal. 263-272.
307
Lihat, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 5 hal. 190-193 dan vol 6 hal. 222-225.
308
Ibn ‘Âsyûr, Ushûl al-Nizhâm, hlm 45-73. lihat juga Ismail Hasani dalam Nazhariyyah al-
Maqâshid, hal. 231-254. bandingkan dengan Izzat Darwaza berpandangan bahwa makna hukum
umum dan khusus, serta keadaan temporal dan situasional dapat dicapai dengan memperhatikan dan
mempertimbangkan konteks/kronologis. Disebabkan konflik konvensional yang terjadi dan riwayat
yang ditunjukkan mufassir awal banyak yang tidak sesuai dengan relevansi dan kronologis ayat maka
tidak dapat diterapkan. Al-Qur’ân al-Majîd, hal. 217-224
309
Ibn ‘Âsyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyah, hlm 51. lihat juga Ismail Hasani dalam
Nazariyyah al-Maqâshid, hal. 249-255. bandingkan dengan pendapat Abdul ‘Aziz ibn ‘Abd al-
Rahman al-Rabîah, ‘ ilm Maqâshid al-Syâri’. Hal. 193-196.
128

perjelasan secara detail termaktub dalam surah [QS. an-Nahl 16:89] dan [ al-Mâidah
5:30];310
Maksud dari kedua ayat yang bergaris diatas adalah penyempurnaan (petunjuk)
hukum-hukum syari’at secara global yang inheren sebagai pemahaman dan
penjelasan didalamnya dengan istinbath hukum dan metode qiyas. Al-Syâtibi berkata;
karena al-Qur’ân memang membawa pesan yang mencakup segalanya, dan hukum-
hukum syari’ah telah sempurna dengan datangnya al-Qur’ân, tidak menjelaskan
secara detail perihal hukum-hukum sebelumnya sebelum al-Qurân secara detail akan
tetapi pesan-pesan yang terdapat didalamnya menunjukkan generalitas.311

d. Strategi Pemberdayaan Umat (Siyâsah Ummah)


Pada etape keempat ini hendaknya mufassir mempunyai pandangan bahwa
diturunkannya Al-Qur’an (syari’ah) tidak lain mempunyai tujuan utama/agung yakni
kemaslahatan baik secara individu, kelompok, umat (ahwâl fardiyyah, al-jamâ’iyyah,
wa al-‘umrâniyyah) serta menjaga kestabilan norma-norma syariat (hifdzu
nidzâmihâ), hal inilah yang menjadi pesan utama (maqâshid syari’ah), agar maksud
dan tujuan ideal yang hendak dicapai dapat maksimal dan sesuai dengan apa yang
dikehendaki ar-Rahmân ar-Rahîm, maka manusia sebagai khalifah dibumi harus
mempunyai strategi/konsep (siyasah) mengatur umat. Seperti petunjuk al-Qur’ân
untuk menyatukan umat manusia [QS.Ali’Imrân 3:103], dan [QS.al-an’âm 8:159],

310
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 14 hal. 250-254, vol. hal. 102-108;

| ≈Gt 3
= Å 9ø #$ 
š ‹ø =n ã
t $Ζu 9ø “¨ Ρt ρu 4 Ï ω
I σà ≈¯ δ
y ’
4 ?n ã
t #´‰‹κÍ −
y 
š /Î $Ζu ⁄ø _
Å ρu ( Ν
ö κÍ ¦
Å 
à Ρ&r 
ô ΒiÏ Ογ
Î Šø =n æ
t #‰
´ ‹γ
Î ©
x π7 Β¨ &é ≅
eÈ .ä ’ûÎ ]
ß èy 7ö Ρt Πt θö ƒt ρu

-89:‫ﺍﻟﻨﺤل‬- 
t ϑ
Ï =Î ¡
ó ϑ
ß =ù 9Ï “
3 u ³
ô 0ç ρu πZ ϑ
y m
ô ‘u ρu “‰ è ρu & 
Y δ ó «
x ≅
eÈ 3
ä 9jÏ $ΖY ≈‹u ;ö ?Ï

u ö î
x π> Á
| Κu ƒø Χx ’ûÎ § Ü
ä Ê
ô #$  y ùs 4 $ΨY ƒŠÏ Ν
Ç ϑ z ≈=n ™
ó }
M #$ Ν
ã 3
ä 9s M
à ŠÊ
Å ‘u ρu LÉ ϑ
y è÷ ΡÏ Ν
ö 3
ä ‹ø =n æ
t M
à ϑ
ô ÿo Cø &r ρu Ν
ö 3
ä Ψo ƒŠÏ Ν
ö 3
ä 9s M
à =ù ϑ
y .ø &r Πt θö ‹u 9ø #$ 4

-3:‫ﺍﻟﻤﺎﺌﺩﺓ‬- ÒΟ‹Ïm§‘ Ö‘θàxî ©!$# ¨βÎ*sù   5ΟøO\b} 7#ÏΡ$yftGãΒ


311
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 40.
129

kemudian diintegrasikan dengan surah [QS.al-anfâl 8:46] dan [QS. Al-syûrâ


42:38].312
‘Allâl al-Fâsi membagi Siyâsah menjadi dua yaitu pertama; Siyâsah Zâlimah
yaitu yang diharamkan syari’at, sementara yang kedua adalah Siyâsah ‘Âdilah yakni
yang mengeluarkan kebenaran [al-haq] dalam jurang kezaliman. Banyak mencegah
kezaliman, mencegah kerusakan guna mencapai pada tujuan-tujuan syari’at yang
ideal (maqâshid al-syarî’ah).313

e. Al-Maqâshid al-Ashliyyah al-Qasas al-Qur’ân


Mengenai Qasas al-Qur’ân sebagai pelajaran dan hikmah umat-umat
terdahulu Ibn ’Âsyûr menyitir [QS.Yusuf 12: 3];

∩⊂∪ 
š =Î 
Ï ≈ót 9ø #$ 
z ϑ
Ï 9s &Ï #Î 7ö %s ΒÏ M
| Ψ2
à β)Î ρu β
t #u ö )
à 9ø #$ #‹
x ≈δ
y 7
y ‹ø 9s )Î $! Ζu ‹ø m
y ρ÷ &r $! ϑ
y /Î È
Ä Á
| )
s 9ø #$ 
z ¡
| m
ô &r 7
y ‹ø =n ã
t È
 )
à Ρt 
ß tø Υ
w

Dan kisah-kisah Al-Qur’ân sebagai peringatan umat setelahnya yang (berbuat)


seperti mereka, selain peringatan dan hikmah, terdapat juga pelajaran [bagi mereka
yang berfikir].314 [QS. Al-An’âm 6: 90 dan QS. Ibrâhîm 14:45];

312
Lihat penafsiran Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 4, hal. 29-36; vol. 8, hal. 191-
194; vol. 10 hal. 29-32; vol. 25 hal. 111-113; Redaksi ayatnya sebagai berikut;

Λä s
ó 7t ¹
ô 'r sù Ν
ö 3
ä /Î θ=è %è 
t ÷ /t #
y 9© 'r ùs [ #! y‰ã
ô &r Λ÷ ä Ζ.ä Œø )Î Ν
ö 3
ä ‹ø =n æ
t !
« #$ M
| ϑ
y è÷ ΡÏ #( ρã .ä Œø #$ ρu 4 #( θ%è § 
x ?s ω
Ÿ uρ $èY ‹ϑ
Ï _
y !
« #$ ≅
È 7ö tp ¿2 #( θϑ
ß Á
Å Gt ã
ô #$ ρu

∩⊇⊃⊂∪ β
t ρ‰
ß Gt κö Es /÷ 3
ä =ª èy 9s µÏ GÏ ≈ƒt #u Ν
ö 3
ä 9s !
ª #$ 
ß iÎ 6t ƒã 7 x .x 3 $κp ]÷ ΒiÏ Ν.ä x‹)
y 9Ï ≡‹ s Ρ'r ùs ‘Í $Ζ¨ 9#$ 
z ΒiÏ ο; t 
ø m
ã $
x ©
x ’
4 ?n ã
t Λ÷ ä Ζ.ä ρu $ΡZ ≡θu z
÷ )Î 
ÿ µÏ FÏ Κu è÷ ΖÏ /Î

∩⊇∈∪ β
t θ=è èy 
ø ƒt #( θΡç %.x $ÿo 3Ï Νκå ♦ã 6mÎ ⊥t ƒã Ν
§ èO !
« #$ ’<n )Î Ν
ö δ y Ρ¯ )Î 4 > 
è á Βø &r $! ϑ ó «
x ’Îû Ν
ö κå ]÷ ΒÏ M
| ¡
ó 9© $èY ‹u Ï© #( θΡç %.x ρu Ν
ö κå ]s ƒŠÏ #( θ%è § ùs 
t %
Ï !© #$ β
¨ )Î
[159:‫]اﻷﻥﻌﺎم‬

∩⊂∇∪ β
t θ)
à 
Ï Ζƒã Ν
ö γ £ ΒÏ ρu Ν
ß ≈Ζu %ø —y ‘u $ϑ ö ηæ Ζu ÷ /t “
3 ‘u θ©
ä Ν
ö δ
è ã Βø &r ρu οn θ4 =n Á
¢ 9#$ #( θΒã $%s &r ρu Ν
ö κÍ 5hÍ t 9Ï #( θ/ç $f
y Gt ™
ó #$ 
t %
Ï !© #$ ρu

313
‘Allâl al-Fâsî, Maqâshid al-Syarî’ah wa makârimuha, hal. 54-55. baca juga Ibn ‘Âsyûr,
ushûl al-Nizhâm, hal. 208 .
314
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 7 hal 354-361; vol. 13 hal. 248-249. bandingkan
dengan Izzat Darwaza dalam al-Tafsîr al-Hadits pandangannya tentang narasi patriarkhi, nabi-nabi dan
bangsa-bangsa kuno yang disebutkan dalam al-Qur’ân dijelaskan; pertama; bahwa hal tersebut
tidaklah asing bagi orang-orang arab, kedua; bukan sebagai model penuturan sejarah, akan tetapi untuk
130

∩ ⊃∪ 
š ϑ
Ï =n ≈èy =ù 9Ï “
3 t .ø ŒÏ ω
 )Î θu δ
è β
÷ )Î ( #· _
ô &r µÏ ‹ø =n ã
t Ν
ö 3
ä =è ↔t ™
ó &r ω
H ≅%è 3 ν÷ ‰
Ï Ft %ø #$ Ν
ã γ
ß 1‰
y γ
ß 6Î ùs ( !
ª #$ “‰
y δ
y 
t %
Ï !© #$ 7
y ×Í ≈¯ 9s ρ' &é

∩ ⊆∈∪ Α
t $Vs øΒ{
F #$ Ν
ã 3 Ÿ ρu Ο
ä 9s $Ψo /ö u Ñ ó γ
Î /Î $Ζu =ù èy ùs y#‹ø .x Ν
ö 6
à 9s 
š ¨ 6t ?s ρu Ο
ó γ
ß ¡
| 
à Ρ&r #( θþ ßϑ=n ß
s 
t %
Ï !© #$ 
Ç 6
Å ≈¡
| Βt ’ûÎ Ν
ö Gç Ψ3
s ™
y ρu

f. Pengajaran syari’at sesuai dengan perkembangan zaman

Urgensitas pendasaran ilmu syari’ah dan informatika sebagai ikon dua


keilmuan yang saling berkaitan, karena keduanya menjadi mainstream bangsa Arab
dari golongan ahlu kitab. Al-Qur’ân menambahkan dengan pengajaran hikmah
sebagai barometer rasio/akal dalam berdebat (mujâdalah), dan penjelasan yang benar
(shihhatu istidlâl), dari pelbagai dimensi akademis dialogis (bagi mereka yang
melenceng/tersesat dari neraca syari’at) dan seruan agar melakukan penelitian yang
diniatkan untuk menyingkap hikmah dibalik (al-nadhr).315

Dalam hal ini Ibn ’Âsyûr mengutip [QS. Al Baqarah 2:269]; bab ini
memerlukan perhatian dan kajian yang mendalam karena, mampu menyingkap
kearifan dalam dalam berpengetahuan (uyûnul ma’ârif), dan membuka tabir mata
(hati) pada kebutaan kepada ilmu pengetahuan. Dan sebagai peringatan dan
introspeksi atas ilmu yang dianugrahi dengan kemanfaatan untuk orang lain, karena
hal ini tidak dimiliki komunitas orang pintar bangsa arab ketika itu. Mereka hanya
terpukau dengan kemahirannya yang bersifat eksakta, sedangkan orang-orang bijak
diantara mereka juga dianugrahi kecerdasan ilmu-ilmu eksakta dan mereka (orang

menggambarkan moral, mempertajam fokus perhatian dan mendukung pesan-oesan dasarnya, untuk
mendukung argumenntasinya ia mengutip surah QS.[ar-Rûm [30]; 9, al-Qashash; [28];58], al-Shaffât
[37]; 137-138 dll. Lihat juga‘Ashr al-Nabi, [Dâr al-Yaqshah al-‘Arabiyyah, Damaskus 1960, hal.
466.lihat juga pandangan ‘Aisyah ‘Abd al-Rahmân bint al-Syâthi’, al-Tafsîr al-Bayâni li al-Qur’ân al-
Karî, (Cairo, 1986), hal. 11-12.
315
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, berkaitan dengan ini Izzat menekankan bahwa dalam
menyingkap makna yang benar, hukum umum dan khusus, serta keadaan temporal dan situasional
dapat dicapai dengan memperhatikan dan mempertimbangkan konteks. Banyak konflik konvensional
yang terjadi dan riwayat yang ditunjukkan mufassir awal tidak sesuai dengan kronologis ayat maka
tidak dapat diterapkan. Al-Qur’ân al-Majîd, hal. 217-224
131

bijak) bijak dan rendah diri (al-’urafâ’u)... dalam al-Qur’ân (QS. Al-’Ankabût 29:43,
dan QS. Az-Zumar 39:9]; serta dengan menyebut [QS. Al Qalam sebagai peringatan
atas kelebihan (orang-orang yang melakukan penelitian) dengan menulis.316

g. Motivasi dan Ancaman (Al-Targhîb wa al-Tarhîb)


Pada bab ini ibn ‘Âsyûr menekankan, agar mufassir mampu menjelaskan dan
merinci nasehat-nasehat, peringatan-peringatan; mengenai ancaman dan kabar
gembira, kesemuanya termasuk dalam ayat-ayat yang mengandung janji dan ancaman
(alwa’du wa al-wa’îd) Allah bagi umat-Nya. Dan sebagai balasan dan
hambatan/tantangan bagi mereka yang membangkang.317
h. I’jâz al-Qur’ân sebagai bukti risalah Kenabian
Kebenaran risalah Kerasulan Muhammad saw. Selaras dan didukung oleh
bukti-bukti yang melemahkan/melumpuhkan lawan dengan tantangan dan bantahan
secara langsung (yatawaqqaf alâ dalâlati mu’jizah ba’da al-tahaddiy). 318
Al-Qur’ân merupakan mu’jizat baik lafadz maupun maknanya, yang terbukti dengan
bantahan dan tantangan secara langsung. Mufti Tunis dan syaikh Zaitunah (yang
didedikasikan kepada Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyur pada tahun 1932), ketika
menjelaskan mengenai kemu’jizatan al-Qur’ân ia menyitir surah [QS. Yûnus 10:38]

∩⊂∇∪ t %Ï ‰
Ï ≈¹
| Λ÷ ä Ψ.ä β)Î !
« #$ β
È ρŠß ΒiÏ ΟFç è÷ Ü
s Gt ™
ó #$ 
Ç Βt #( θã
ã Š÷ #$ ρu &Ï #Î V÷ ΒiÏ ο; ‘u θ¡
Ý /Î #( θ?è 'ù ùs ≅
ö %è ( µç 1u It ùø #$ β
t θ9ä θ)
à ƒt Π÷ &r

Dan untuk mengetahui kemu’jizatan ini secara detail, pengetahuan mengenai asbâb
an-Nuzûl memiliki urgensi sebagai pintu masuk keterangan tentang suasana/keadaan

316
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 3 hal 60-64; vol. 20 hal. 255-256; vol. 23 hal 348-
351; vol. 29 hal. 57-59 [surah 109:1].
317
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 40-41.
318
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb
dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut
merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad
saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad
saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan
yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi
Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26
132

turunnya al-Qur’ân pada zaman Nabi Muhammad saw. Ketika itu. Pandangan /
konsep induktif (istiqrâ’iy) ini seiring dengan pendapat al-Ghazâli dalam karyanya
Ihyâ’ ulûmuddîn.319
Ayat diatas diturunkan di Makkah begitu juga surah al-Baqarah 23 dan 24,
sebagian tantangan juga dilontarkan kepada mereka (orang kafir) ketika di Madinah,
dan mereka dibikin oleh Allah terpukau dengan datangnya Al-Qur’ân, baik dari segi
ilmu balaghah, dan hikmah dari hukum-hukum syari’at didalamnya. Tak seorangpun
mampu mendatangkan redaksi surat walaupun mereka memanggil pakar-pakar sastra
diantara mereka ketika itu atau sampai hari kiamat, bahkan mereka mendatangkan
sihir dan tandingan-tandingan yang membahayakan dan menjerumuskan mereka
sendiri. Dalam hal ini Nabi berpesan;
‫ ﻭﺍﻟﺴﻴﻑ ﺁﺨﺭﹰﺍ ﻓﻠﻡ ﻴﻌﺎﺭﻀﻭﺍ ﺇﻻ‬، ‫ ﺍﻟﺤﺠﺔ ﺃﻭﻻ‬- ‫ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺴﻠﻡ‬- ‫ﻭﻗﺩ ﺠﺭﺩ ﻟﻬﻡ ﺍﻟﻨﺒﻲ‬
، ‫ ﻭﻤﺎ ﺃﻋﺭﻀﻭﺍ ﻋﻥ ﻤﻌﺎﺭﻀﺔ ﺍﻟﺤﺠﺔ ﺇﻻ ﻟﻌﻠﻤﻬﻡ ﺃﻨﻬﻡ ﺃﻋﺠﺯ ﻤﻥ ﺍﻟﻤﻌﺎﺭﻀﺔ‬، ‫ﺍﻟﺴﻴﻑ ﻭﺤﺩﻩ‬
‫ ﻭﻤﺎ‬، ‫ ﻓﺈﻨﻬﻡ ﻤﺎ ﻓﻌﻠﻭﺍ‬، ‫ } َﻭﻟﹶﻥ ﹶﺘ ﹾﻔ َﻌﻠﹸﻭ ﹾﺍ { ﻤﻌﺠﺯﺓ ﺃﺨﺭﻯ‬- ‫ ﺘﻌﺎﻟﻰ‬- ‫ﻭﺒﺫﻟﻙ ﻴﻅﻬﺭ ﺃﻥ ﻓﻲ ﻗﻭﻟﻪ‬
. . . ‫ﻗﺩﺭﻭﺍ‬

Dalam tafsir Ma’âlim al-Tanzîl karya Al-Baghawî, dengan mengadopsi pandangan


al-Farrâ’ diterangkan bahwa surah Yûnus 38 menerangkan kemu’jizatan al-Qur’an
yang ditampakkan langsung oleh Allah Rabb ‘Âlamîn kepada kaum yang
membangkang dan menentang risalah kenabian, dan kemu’jizatan al-Qur’an tidak
dapat dilepaskan dari Kekuasaan Allah subhanahu wa Ta’âla.
Ia juga mengadopsi pandangan Abû Ubaidah yang menafsirkan ‫ َأ ْم‬sebagai ‘‫ ’ﺍﻟﻭﺍﻭ‬atau

‫ ﺃﻱ‬, kemudian ‫ ﺍ ﹾﻓ ﹶﺘﺭَﺍﻩ‬ia tafsirkan dengan akhlak Nabi Muhammad yang mecerminkan
isi Al-Qur’ân, dan kalimat ‫ﺭ ٍﺓ ِﻤ ﹾﺜِﻠ ِﻪ‬
َ ‫ل ﹶﻓ ْﺄﺘﹸﻭﺍ ِﺒﺴُﻭ‬
ْ ‫ ﹸﻗ‬sebagai bentuk tantangan atas

319
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb
dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut
merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad
saw. Yang diutus Allah Subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad
saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan
yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi
Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26
133

kemampuan mereka untuk menandingi al-Qur’ân, selanjutnya ‫ﻁ ْﻌ ﹸﺘ ْﻡ‬


‫ﺴ ﹶﺘ ﹶ‬
ْ‫ﻥ ﺍ‬
ِ ‫َﻭﺍ ْﺩﻋُﻭﺍ َﻤ‬
ditafsirkan dengan mintalah pertolongan kepada mereka yang ‫ﻥ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ‬
ِ ‫ﻥ ﺩُﻭ‬
ْ ‫ِﻤ‬
menyembah selain Allah (untuk mendatangkan semisal surah Al-Qur’ân), ‫ﻥ ﹸﻜ ﹾﻨ ﹸﺘ ْﻡ‬
ْ ‫ِﺇ‬
‫ﻥ‬
َ ‫ ﺼَﺎ ِﺩﻗِﻴ‬kalau kalian memang termasuk golongan orang-orang yang dapat dipercaya.320

320
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb
dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut
merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad
saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad
saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan
yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi
Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26
134

C. Maqâshid al-Qur’ân/Asliyyah dan Urgensitasnya bagi ilmu al-Qur’ân


Maqâshid al-Qur’ân sebagaimana yang dikemukakan Râsyid Ridhâ dalam
karyanya al-Wahyu al-Muhammady, ditulis bahwa ia menguraikan Maqâshid al-
Qur’ân kedalam penafsiran (tafsir al-Manâr dan tafsir al-Qur’ân al-Hakîm), dalam
bentuk kaidah-kaidah (qawâ’id), dan prinsip-prinsip dasar [Ushûl], bagi setiap surah
dan di akhir penasiran masing-masing surah, setelah lebih dahulu menguraikan
kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip pada setiap ayat-ayat yang terdapat pada surah.321
Penilaian yang sama juga dilakukan oleh Khalil al-Daghâmin tentang
wajibnya berupaya mewujudkan Maqâshid al-Qur’ân ketika mufassir hendak
menafsirkan al-Qur’ân. Disini terlihat bahwa Ziyâd Khâlil al-Daghâmin menilai
Rasyîd Ridhâ yang sejalan dengan kedua gurunya al-‘Afghâni dan Muhammad
‘Abduh, mereka mewajibkan penerapan Maqâshid al-Qur’ân dan penafsiran al-
Qur’ân. 322
Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud ilmu al-Qur’ân diistilahkan dengan
ulûm al-Qur’ân bima’na idhâfi, yakni ilmu al-Qur’ân yang menunjukkan sejumlah
pengetahuan yang berkaitan dengan al-Qur’ân ilmu-ilmu al-Qur’ân tersebut antara

321
Râsyid Ridhâ berbicara panjang lebar mengenai Maqâshid al ’asasiyyah (tujuan pokok)
sebab yang menjadi sasaran semua kekacauan dan kerusakan, yang mana dikeluhkan oleh intelektual
saat ini. Adapun mebahasnya secara lengkap maka tentu tidak tercapai kecuali dalam buku besar atau
beberapa buku yang menghimpun kesemua Maqâshid al-Qur’ân yang dilengkapi dengan uraian
tentang urgensinya bagi (kajian ilmiah) dan umat manusia, baik didunia maupu akhirat kelak. Hal ini
saya uraikan dalam tafsir al-Manâr dengan menampilkan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip dasar
setiap surah secara global-general, diakhir penafsirnannya masing-masing setelah terlebih dahulu
menguraikannya ketika menjelaskan ayat-ayatnya). Lihat lebih lanjut Muhammad Rasyid Ridhâ,
alwahyu al Muhammady (Maktabah al-Islami), hal.29 dan 3.
322
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb
dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut
merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad
saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad
saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan
yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi
Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26
135

lain: ‘ilmu tafsîr, ilmu al-qirâ’ât, ilmu al-rasm, ilmu al-asbâb nuzûl, ulûm al-dîn wa
al-lughah. 323
Perbincangan dari kajian Maqâshid al-Qur’ân perspektif Ibn ‘Âsyûr (1296-
1393 H- 1879-1973 M),324 dan perkembangan penelitiannya ini bukan saja
mengedepankan cara kerja akal dan pemenuhan rasionalitas yang integral, namun
dibalik itu juga terbersit ide-ide besarnya untuk mewujudkan kemurnian penafsiran,
dan menghindari mereka mufassir yang tidak mengetahui tujuan penafsirannya (min
al-Inhâi man yufassiru al-Qur’ân bimâ yadda’îhî bâtinan yunâfî maqshûdu al-
Qur’ân), yang membedakan diantara mereka (al mufassir) adalah konsep dan prinsip-
prinsip yang mendasari penafsiran (al-Maqâshid allatî nazala al-Qur’ân libayânihâ)
untuk menyingkap tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penafsirannya.
Selanjutnya dapat kita diketahui dan dijangkau korelasi suatu penafsiran (al mufassir)
dengan tujuan (al-ghâyah) yang hendak dicapai. Dengan cara mengukurnya melalui
prinsip-prinsip penafsirannya (miqdâru mâ awfâ min al-Maqshad wa mâ
tajâwazahu). Dari sinilah pembaca dapat membedakan mereka yang keluar dari
koridor prinsip-prinsip dan tujuan penafsirannya, dan perbedaan dari uraian dan

323
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb
dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut
merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad
saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad
saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan
yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi
Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26
324
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb
dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut
merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad
saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad
saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan
yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi
Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26.bandingkan
dengan Izzat Darwaza dengan gagasannya bahwa al-Qur’ân dibagi dengan al-Ushûl wa al-Wasâil, Al-
Qur’ân al-Majîd, hal. 5-275
136

rincian makna tiap-tiap penafsirannya, yang kemudian mengutarakan kesimpulan


beberapa pendapat Ulama’ yang menguasai dari pelbagai disiplin keilmuan. 325
Al-Qur’ân yang diturunkan sebagai kitab petunjuk umat Manusia, demi
tercapainya kemaslahatan umat manusia (amra al-Nâs kâfatan) dan sebagai
kesejahteraan bagi mereka (rahmatan lahumlitablîghihim murâdullâh minhum).
Sebagaiman firman Allah dalam (surah an-Nahl [16:89]).326
Dalam karya tafsirnya at-Tahrîr wa at-Tanwîr Ibn ‘Âsyûr mencoba
mengaitkan dan mengelaborasi pokok-pokok prinsip teori Maqâshid-nya dengan
penelitian lain yang mempunyai esensi dan muara tujuan yang sama, yakni penelitian
tentang ”Peletakan Dasar Norma-norma/aturan sosial Kemasyarakatan yang Islami”
(the rule of Islamic Civilization/ushûl al-Nizhâm ijtimâ’i al-Islâmiy). Menurutnya,
Hal ini disebabkan karena kajian-kajian teori Maqâshid yang diaplikasikan dalam
penafsiran akan mencerminkan dan menghasilkan tujuan-tujuan ideal (Maqâshid al
syari’ah al Islâmiyah) yang dimaksud/hendak dicapai. Demikian halnya dengan
kajian yang mendasarkan norma/aturan pada tatanan kehidupan sosial
kemasyarakatan yang sesuai dengan neraca syari’at Islam.327
Dengan demikian, tujuan seorang mufassir hendaknya; menjelaskan apa yang
mampu dipahaminya dari kehendak Allah dalam al-Qur`ân dengan penjelasan
sesempurna mungkin (bi atamm bayân), selaras dengan apa yang dikandung oleh

325
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb
dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut
merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad
saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad
saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan
yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi
Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26
326
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr hal. 38. redaksi ayatnya sebagai berikut:
|=≈tGÅ3ø9$# šø‹n=tã $uΖø9¨“tΡuρ 4 ÏIωàσ¯≈yδ 4’n?tã #´‰‹Íκy− šÎ/ $uΖø⁄Å_uρ ( öΝÍκŦàΡr& ôÏiΒ ΟÎγøŠn=tæ #´‰‹Îγx© 7π¨Βé& Èe≅ä. ’Îû ß]yèö7tΡ tΠöθtƒuρ

∩∇∪ tÏϑÎ=ó¡ßϑù=Ï9 3“uô³ç0uρ Zπyϑômu‘uρ “Y‰èδuρ &óx« Èe≅ä3Ïj9 $YΖ≈u‹ö;Ï?

327
Ibn ‘Âsyûr, Ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islam hal. 21. lihat juga al-Mâisâwî dalam
Maqâshid al Syarî’ah al-Islâmiyah, hal. 90-91.
137

maknanya (yahtamiluhû al-ma‘nâ) dan tidak bertentangan dengan lafadznya (walâ


ya`bâhu al-lafdz). [Penjelasan itu bisa berupa] segala sesuatu yang dapat menjelaskan
maksud dari Maqâshid al-Qur`ân, atau segala sesuatu yang menjadi dasar bagi
pemahaman yang sempurna terhadapnya, atau apa pun yang bisa memerinci dan
menjabarkan Maqâshid tersebut….” 328

Bagi Ibn ‘Âsyûr (w. 1973) metode-metode penafsiran yang digunakan pakar
tafsir diklasifikasikan menjadi tiga bagian; pertama; penafsirannya hanya
memperhatikan sisi yang tampak (al- iqtishâr ‘ala dhahir), dari keaslian makna segi
susunannya (min al-ma’nâ al-ashliy littarkîb), dengan penjelasan dan keterangan, hal
ini disebutnya sebagai al-ashliy.329 Kedua; perhatian/fokus penafsirannya dengan cara
menyingkap makna dibalik teks (istinbâth maknâ min warâ’i al-dhâhir) berdasarkan
lafadz-lafadz/susunannya sesuai dengan diksi (dalâlah al lafdz awi al-Maqâm), dan
tidak menafikan penggunaan susunan kalimatnya beserta tujuan al-Qur’ân (wa lâ
yujâfîhâ al-ist’mâl wa lâ al-Maqshad al-Qur’ân). Hal ini seperti susunan-susunan dan
termasuk dari khashâish al-lughah al-‘arabiyyah yang termasuk didalamnya kajian
mengenai ilmu balaghah seperti ta’kîd (penekanan) suatu lafadz yang menjelaskan
tentang pengingkaran (lawan dialog) (inkâr al-mukhaththab) atau keragu-raguannya.
Ketiga; dimana penafsirannya berupaya menyingkap masalah-masalah
(problematika) (an yajlib al-masâil) kemudian menarik dan mengaitkannya antara al-
masâ’il dan makna (limunâsabati baynahâ wa bayna al-ma’nâ), atau bertambahnya
pemahaman mengenai makna lafadz yang mendukung, atau sebagai pendukung
antara makna al-qurâniy dengan disiplin ilmu pengetahuan yang berkaitan
dengannya, sebagai bagian tujuan dari tujuan-tujuan syari’at (maqâshid al-tasyrî’)
sebagai tambahan bentuk peringatan darinya, dan juga sebagai bantahan bagi mereka
yang mengabaikan (aw liraddi mathâin) dan tidak mengakui keberadaan peringatan
tersebut (man yaz’amu annahu yunâfîhi) sebagai esensi hukum syari’at dan sebagaian

328
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 41- 42.
329
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 42.
138

kehendak Allah dari keterangan ayat tersebut, namun hanya sebagai tujuan
memperluas sebagaimana dikemukakan pada mukaddimah ke -2 pada prinsip tafsir
Ibn ‘Âsyûr.330

Pada metode/cara yang kedua telah banyak diklasifikasikan oleh ‘Ulama’


dalam kajian-kajian hukum, demikian juga dalam ilmu akhlak, al Âdab (etika),
sebagian besar telah dilakukan penelitiaannya oleh Hujjah al-Islâm al-Ghazali (w.505
H), mufasir belum dapat dikatakan ilmunya mendalam walaupun ia
mengklasifikasikan pelbagai keilmuan namun tidak mengintegrasikannya tujuannya
dengan Maqâshid al-Qur’âniyyah, karena didalamnya terdapat keterpautan yang erat
dengan pelbagai problematika (al-umûr Islâmiyyah) seperti penafsiran firman Allah
“Wa kallamallâhû Mûsâ taklîmâ” disebutkan pakar/ahli ilmu kalam dalam penetapan
“Kalâm al Nafsi”dengan berbagai keterangan dan alasannya, dan pandangan dari
beberapa kalangan madzhab dalam kasus tersebut. Demikian halnya dengan
menafsirkan hikayat dalam al-Qur’ân mengenai Nabi Musa dengan Nabi Khidr yang
syarat dengan segenap etika antara Mu’allim dan Muta’allim sebagaimana tindakan
al-Ghazali. Sejalan dengan ini Ibn ‘Âsyûr mengutip pandangan Ibn al-‘Arabi yang
mengatakan; “ia mendiktekan (amlâ ‘alaihâ) pada hikayah tersebut lebih dari 800
problematika (mas’alah).331

Dalam cara yang ketiga berusaha menyingkap persoalan ilmiah dari pelbagai
disiplin keilmuan yang bertautan dengan keterangan ayat. Baik dari sebagiannya yang
menumbuhkan makna ayat dengan bitalwîhimmâ (apa yang dimaksud ayat).

330
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 42. bandingkan dengan formulasi
penafsiran komprehensif yang dikemukakan Izzat Darwaza dalam al-Tafsîr al-Hadits [Dâr al-Gharb
al-Islâmiy] hal. 5, ia juga meneliti suatu istilah yang disebutnya dengan ‘metodologi percontohan’
[exemplary methods] dalam memahami al-Qur’an dan tafsirnya sebagai evaluasi atas kontribusinya
terhadap hermeneutika al-Qur’ân. Lihat juga Abdullah Saeed mengenai pendekatan penafsiran secara
kontemporer dalam Interpreting the al-Qur’ân; towards acontemporary approach,[Routledge; taylor
and Francis group] london and Newyork] cet-1 2006, hal.8.
331
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 42. lihat juga prinsip-prinsip yang mendasari
Izzat Darwaza dalam penafsiran al-Qur’ân komprehensif dan bernuansa modern, Al-Qur’ân al-Majîd,
hal. 5-275
139

Sebagaimana penafsiran “Wa man yu’ti al hikmata faqad ûtiya khairan


katsîrâ”disebutkan bahwa klasifikasi ulûm al-hikmah dan kemanfaatannya termasuk
pada keterangan ayat yang menyatakan “khairan katsîran”. Hikmah disini bukanlah
merupakan makna ashli walaupun ia merupakan disiplin ilmu yang mandiri
(istilâhiyyan), makna aslinya tidak terjangkau (la yafûtu), adapun
klasifikasi/tingkatan ilmu hikmah inilah sebagai akselerasi untuk memahami hikmah
tersebut. sebagaimana dalam ayat yang berbunyi “kaylâ yakûna dûlatan bayna al-
aghniyâi minkum” cabag-cabang/klasifikasi ilmu perekonomian (‘ilm iqtishâdi al-
siyâsiy) dan pembagian harta secara umum, seperti syari’at zakat, harta peninggalan
(al-mawârîts), dan mu’amalah al murakkabah/ interaksi sosial yang melibatkan harta
dan pekerjaan (min ra’si mâlin wa ‘amalin) keterangan disamping menunjukkan
keterangan ayat yang bersifat ‘menumbuhkan’ (tûmi’u ilahi al-Âyah îmâ’).332

Urgensi Maqâshid al-Qur’ân akan nampak apabila penafsiran seorang


mufassir dibarengi dengan mendasarkan prinsip-prinsip general [keumuman dakwah],
selanjutnya prinsip-prinsip tersebut terefleksikan pada aplikasi penafsirannya secara
konsekwen. Disinilah keunikan gagasan Ibn ‘Âsyûr terjawab, disisi lain keunikan
penelitian ini dalam mengintegrasikan gagasan Maqâshid dan prinsip tafsirnya akan
menjadi sebuah kajian tersendiri. Pada bab selanjutnya akan diuraikan tenatng
aplikasi maqâshid dalam penafsiran yang dibatasi penulis padaayat-ayat hukum
shalat, puasa dan zakat.

332
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 43.
140

BAB IV
APLIKASI MAQÂSHID DALAM PENAFSIRAN
DAN RESPON AKADEMIK TERHADAPNYA

Setelah dikemukakan gagasan Maqâshid dan prinsip-prinsip penafsirannya


yang tertuang dalam sepuluh pengantar yang tidak kurang dari 130 halaman,
kemudian Ibn ‘Âsyûr (1297-1394 H) -mengkritisi para mufassir- yang tidak
mendasari penafsirannya dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai pada
penafsirannya. Ia menulis; “hendaknya seorang mufassir berupaya menjelaskan
tentang apa yang mampu dipahaminya dari kehendak Allah dalam al-Qur`an, dengan
penjelasan sesempurna mungkin (bi atamm bayân), selaras dengan apa yang
dikandung oleh maknanya (yahtamiluhû al-ma‘nâ) dan tidak bertentangan dengan
lafaznya (walâ ya`bâhu al-lafzh). Penjelasannya bisa berupa segala sesuatu yang
dapat menjelaskan maksud dari Maqâshid al-Qur`ân, atau segala sesuatu yang
menjadi dasar bagi pemahaman yang sempurna terhadapnya, atau apa pun yang bisa
memerinci dan menjabarkan Maqâshid tersebut.”333
Urgensi dipilihnya sub judul ayat-ayat hukum karena penulis ingin
mengungkap dan membuktikan sejauh mana teori yang dibangun Ibn ‘Âsyûr dalam
pengantar tafsirnya pada bab IV mengenai prinsip tafsirnya teraplikasikan secara
utuh. Kemudian dikomparasikan dengan penafsiran sebelum dan sesudahnya sebagai
dasar untuk memotret sejauh mana perbedaan dan keunikan penafsirannya dengan
mufassir lain secara gradual.
Selanjutnya penulis memilih dan membatasinya pada bidang ibadah shalat dan
zakat dalam surah al-Baqarah. Sebagaimana dititiktekankan Ibn ‘Âsyûr dalam
beberapa karyanya, dalam mengungkap kajian ‘ilm Maqâshid al-Syarî’ah, memiliki

333
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 41-42. Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyah,
(Dâr al-Nafâes Urdun 2001), hal. 390-392. juga Ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islâmi,(Dâr al-Suhnûn li
al-Nasr wa al-Tawzî’) 2006. hal. 150-158. lihat juga penelitian yang dilakukan oleh Muhammad
Baltâjî dalam, Umar Ibn al-Khaththâb fî al-Tasyrî’, (Dâr al-Salam li al-Thaba’a wa al-Nasyar wa al-
Tawzî’ wa al-Tarjamah) cet-2, 2003 M/1424 H, hal. 35-39.
141

korelasi dan keterpautan yang erat penelitian mengenai pendasaran norma-norma


sosial Islam [Ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’î fî al-Islamî], penelitiannya tidak saja
membutuhkan kaidah-kaidah yang lebih luas dan elastis (mimma yaj’alu min al-
dlarûrî al-bahts ‘an qawâ’id awsa’u), upaya memposisikan manusia secara egaliter
(hurriyyah) juga mempunyai porsi dan peluang yang sama, yaitu dalam “kebebasan”
sesama makhluk sosial [publik]. Adapun hukum yang dimaksud disini hukum Islam
itu sendiri dalam artian ‘Seperangkat norma hukum dari Islam sebagai Agama, yang
berasal dari wahyu Allah, Sunah Nabi, tentang tingkah laku manusia mukallaf yang
diakui dan diyakini mengikat bagi agama Islam.’334
Upaya-upaya untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia ini terekam dan
diabadikan dalam (surah an-Nahl 16:89).335 Tujuan utamanya (Qashdu al-A’lâ) yakni
untuk mempertahankan dan memperjuangkan perbaikan secara individu (shalâh al-
ahwâl al fardiyyah) yang bersandar pada perilaku/tabiat dan upaya menjaga kesucian
diri (tahdzîb al-nafs wa tazkiyatuha). Targetnya perbaikan keyakinan (shalâh al-
I’tiqâd), karena i’tiqâd sebagai sumber (masdhar) perbaikan tumpuan dasar etika (al-
Âdâb) dan berfikir (al-tafkîr). selanjutnya, kesalehan individu tersebut diupayakan
semaksimal mungkin untuk memperbaiki perilaku diri (al-sarîrah al-khâshshah)
dengan ibadah yang (al-dhâhirah) seperti shalat, dan tidak nampak (al-Bâthinah)
seperti; meninggalkan hasud, dengki dan sombong. Perbaikan secara kelompok (al
Jamâ’iyyah) memprioritaskan kemaslahatan individu karena ia (fardiyyah)

334
Lihat Amir Syarifuddîn, Ushûl Fiqh, (penerbit Logos, cet-1 1997) hal. 4-5. lihat juga uraian
Said Agil Husin, Al-Qur’ân membangun Tradisi Kesalihan Hakiki, (Ciputat Pers Jakarta, cet-1 2002),
hal. 230-238.
335
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 38-39. lihat karyanya Ushûl al-Nizhâm al-
Ijtimâ’i fî al-Islâmi, hal. (terbitan Tunis hal. 21/terbitan kerjasama Dar al-Salam Mesir, hlm 38). lihat
juga Maqâshid al-Syarî’ah (Dâr al-Nafâis Urdun) cet-2. 2001-1241 H) hal. 113. lihat juga tulisan putra
Thâhir Ibn ‘Âsyûr yaitu al-Fâdhil Ibn ‘Âsyur dalam al-Tafsîr wa Rijâluhu, hal. 228., redaksi ayatnya
sebagai berikut;
|=≈tGÅ3ø9$# šø‹n=tã $uΖø9¨“tΡuρ 4 ÏIωàσ¯≈yδ 4’n?tã #´‰‹Íκy− šÎ/ $uΖø⁄Å_uρ ( öΝÍκŦàΡr& ôÏiΒ ΟÎγøŠn=tæ #´‰‹Îγx© 7π¨Βé& Èe≅ä. ’Îû ß]yèö7tΡ tΠöθtƒuρ

∩∇∪ tÏϑÎ=ó¡ßϑù=Ï9 3“uô³ç0uρ Zπyϑômu‘uρ “Y‰èδuρ &óx« Èe≅ä3Ïj9 $YΖ≈u‹ö;Ï?


142

merupakan bagian dari kelompok. Kemudian kemaslahatan umum secara


berkelanjutan (pembangunan) [al-’umrâniyyah], dengan menjaga stabilitas keamanan
dan melestarikan ketentraman norma-norma Islam secara gradual, dan upaya
mengawal kemaslahatan umum (al-jamâ’iyyah) serta menghindarkannya dari
pertentangan yang bersifat temporal, hal ini oleh Ibn ‘Âsyur disejajarkan dengan ilmu
umrân dan al ‘ilm al-Ijtimâ’.336
Sebagaimana dijelaskan bahwa tujuan pembumian al-Qur’ân untuk
menjelaskan, merinci dan melestarikan tujuan-tujuan agama (mâ yarji’ ilâ hifdz
maqâshid al al-dîn) sebagaimana termaktub dalam (surah Shâd 38:29). Ibn ‘Âsyûr
memandang bahwa penyingkapan atas kehendak Tuhan (murâdullâh) secara
sempurna sangatlah mustahil (karena keterbatasan manusia), namun baginya tujuan
dari penelitiannya bersifat mungkin terjadinya (al-imkân al-Wuqû’iy) dengan segala
kemampuan dan kompetensi pengetahuan dan bukan atas dasar rasio (al-‘aqly).
Walaupun pada akhirnya penelitian (tafsir) tersebut tidak dapat maksimal/sempurna
dalam menyingkap kehendak Allah.337
Pembuktian akan kebenaran risalah Nabi Muhammad menjadi prioritas utama
dalam kajian penelitian ini, berikut akan penulis kemukakan prinsip-prinsip tafsir
(Maqâshid al-ashliyyah) Ibn ‘Âsyûr (1978 M) yang diaplikasikan sebagai landasan
dasar dalam penafsirannya.

336
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 38. lihat juga karyanya Ushûl al-Nizhâm al-
Ijtimâ’i fî al-Islâmi, keterangan dan korelasi prinsip-prinsipnya tertuang dalam buku ini sehingga
hampir seluruh dari isi buku ini adalah pikiran-pikiran pokok Ibn ‘Asyur dalam mensinergikan dengan
karya tafsirnya yang disusunnya selama kurang lebih 40 tahun sehingga dalam rihlahnya tersebut Ibn
Âsyûr banyak menjumpai problematika umat yang kemudian memotivasi dirinya untuk menggagas
konsep-konsep/aturan masyarakat Islam yang egaliter dan berperadaban yang dikorelasikannya dengan
gagasan Maqâshid nya, (Dâr al-Salâm li al-thabâ’ah wa al-Nasyar wa al-tawzî’ wa al-tarjamah dengan
Dâr al-Suhûn li al-Nasyar wa al-tawzî’) cet-2. 2006, hal. 41-114. lihat dan baca juga tulisan Ayâd
Khâlid al-Thabbâ’, dalam Muhammad Thâhir Thâhir Ibn ‘Âsyûr Allâmah al-Fiqhi wa Ushûlihi wa al-
Tafsîr wa ulûmihi, (Dâr al-Qalam, Damaskus) cet-1 2005
337
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 38-39, lihat dan bandingkan; tentang
Maqâshid al-Qur’ân dalam Rasyîd Ridhâ Tafsir al-Qur’ân, vol. 11, hal. 256; lihat juga Rasyîd Ridhâ
dalam, al-Wahyu Muhammady, hal. 342-343.
143

A. Aplikasi Maqâshid al-ashliyah pada ayat-ayat Hukum


Ismaîl Hasani dalam tesisnya (1993) pada bab Taqshîd al-Nushûsh wa al-
Ahkâm al-Syar’iyyah mensinyalir bahwa al-Syâtibî dan Ibn ‘Âsyûr menggunakan
lafadz taqshîd, maksud dan tujuan yang akan dihasilkan adalah; pertama;
menyingkap makna dibalik teks dari kehendak peletak Syari’at (Maqâshid al-Syâri’),
kedua; mengungkap sisi kemaslahatan dari hukum-hukum syari’at [yang
diberlakukan].338
Tujuan-tujuan dasar (Maqâshid al-asliyah) pada ayat-ayat hukum (Shalat dan
zakat) perspektif Ibn ‘Âsyur didasarkan pada; pertama; menutup batas aurat (satr
al-‘Âwrah) bagi mereka yang menunaikan shalat (fî khalwatihi) guna memotivasi diri
dan berupaya tidak meremehkan kebiasaan (‘adami al-istikfâf bi al-“Âdât al-
Shâlihah) sebagai pembiasaan dan penekanan atas kehormatan/wibawa [diri]. Kedua;
penekanan atas perintah shalat ini (al-‘Ankabût: [29;45]), dimaksudkan untuk
kemashlahatan diri (al-Shalâh al-Nafsânî), klasifikasi pembagian waktu shalat dari
pagi hingga petang guna memperbaharui aktifitas dzikr (yatajaddadu al-tadzkîr),
sedangkan pengulangannya untuk menancapkan ketakwaan dan menjauhkan diri dari
berbagai bentuk kemaksiatan sehingga ketakwaan [diri] menjadi miliknya, hendaknya
aktifitas shalat [mulai subuh-Isya’] mampu mengeliminir (mamhuwwah) kemaksiatan
[diantara waktu shalat subuh dan isya’] dengan kebaikan [yang meliputi] pada waktu-
waktu tersebut (Hûd: [11;114]).339
Ketiga; perintah shalat berjamaah [diutamakan di Masjid], selain menegakkan
syiar-syiar Allah serta memerangi dan menjauhi kesyirikan, juga dapat
menumbuhkan rasa persaudaraan dan perasaan aman, tentram dan kemaslahatan yang
menaungi [mereka], sebagai upaya untuk mengeliminir dan mencegah suatu bahaya

338
Lihat Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, (al Ma'had Al-
‘Â'limiy lil fikri al Islamiy, Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 133. lihat juga karya ‘Abdul Qâdir
Muhammad Shâlih dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Ashri al-Hadîts,(Beirut; Dâral-Ma’rifah,
2003, T.th) hal.133-141.
339
Lihat Ismaîl Hasani, Nazhariyyah al-Maqâshid hal. 136-138. lihat dan baca karya ‘Abdul
Qâdir Muhammad Shâlih dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Ashri al-Hadîts,(Beirut; Dâral-
Ma’rifah, 2003, T.th) hal. 133-141.
144

(daf’u al-dlarar). Penekanan tujuan ini persatuan dan persaudaraan umat muslim
tercermin kesehariannya pada waktu (shalawat al-khams), setiap minggu sekali pada
hari jum’at (shalat al-jumu’ah), setiap tahunnya [shalat idul fitri dan Qurban), sebagai
aplikasi dan implementasi (inqidlâ’u) sunnah: (al-Hajj).340
Keempat; keterangan dua raka’at shalat jum’at (al-Jumu’ah:[62;9]), dan duduk
diantara dua khutbah boleh jadi dapat menggantikan dua rakaat, sebagaimana
Mayoritas pakar fikih. Demikian juga dengan peniadaan bacaan surah pada dua
raka’at terakhir merupakan bentuk keringanan/kemudahan yang diberikan Allah
(qasd al-Syâ’ri’) pada hambanya dalam penyelesaian [penyempurnaan] sholat (al-
Baqarah [2:185]). Kemudian Ibn ‘Âsyûr juga menitik beratkan perhatiannya [dalam
perintah shalat] dengan [rahasia pembangunan Ka’bah sebagai Kiblat umat Muslim
dalam shalat], bahwa dijadikan-Nya umat Islam sebagai penduduk pribumi (takwîn
ummah ashîlah), dari anak cucu Nabi Ismaîl as. Yang memiliki sifat kesempurnaan
selaku umat yang memiliki kesiapan secara potensial untuk menerima/mengemban
(allatî tu’ahhilahâ litalaqqîya) syarî’ah terakhir (syarî’ah al-Khâtimah). Tujuan-
tujannya diantaranya; memperbaiki perilaku (shâlih al-sîrah, al-Ka’bah sebagai
simbol (rumzun) ketauhidan, penisbatan dan pengutamaan (umat ashilah) penduduk
pribumi dan pengutamaan tempatnya dari yang lain, bukti Kekuasaan Allah sebagai
jawaban atas panggilan dan do’a mereka (Taskhîrullâh Ta’âla ijâbata al-Nâs
lida’watihâ).341

340
Lihat Ismaîl Hasani, Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 140-142. lihat dan
baca kembali tulisan ‘Abdul Qâdir Muhammad Shâlih dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Ashri
al-Hadîts,(Beirut; Dâral-Ma’rifah, 2003, T.th) hal. 109-152.
341
Sifat disini oleh Ibn ‘âsyûr dibagi menjadi empat yaitu; otak yang cemerlang (jûdatu al-
Adzhân), kuatnya hafalan (quwwah al-tahfîz), peradaban yang gemilang serta cemerlang (bisâthah al-
hadlârah), dari norma-norma hukum, dan dijauhkan dari pengaruh sejarah-sejarah umat terdahulu (wa
al-bu’d ‘an al-ikhtilâth baqiyyah umam al-Âlam). Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 7, hal. 57, Maqâshid
al-Syari’ah al-Islâmiyah, hlm 93. Lihat lebih lanjut dalam tesis Ismaîl Hasani, Nazhariyyah al-
Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 140-141. lihat dan baca juga tulisan ‘Abdul Qâdir Muhammad Shâlih,
al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Ashri al-Hadîts hal. 109-152.
145

Selanjutnya Ibn ‘Âsyûr juga menekankan bahwa zakat tidak diberikan kepada
golongan kafir, tujuannya adalah memprioritaskan umat muslim guna menumbuhkan
kebiasaan rasa kekeluargaan dan kesetaraan status sosial.342
Sebagaimana Râsyid Ridhâ, ia menggunakan dan menerapkan Maqâshid al-
Qur’ân dalam penafsiran al-Qur’ân, prinsip-prinsip Maqâshidnya dirumuskan dalam
bentuk kesatuan tema (Wihdah al-Mawdhû’al-Suwar) atau tafsir tematik dalam
konteks surah-surah al-Qur’ân.343 Demikian halnya yang dilakukan oleh Al-Biqâ’î
dalam Nadzm al-Durar fî Tanâsub al-Âyah wa al-Suwar,344 belakangan Sa’îd Hawwa
juga mengeksplorasi gagasan ini dalam karya monumentalnya al asas fi al-Tafsîr.345
Dalam konteks penafsiran al-Qur’ân al-Wahdat al-mawdhû’iyyah diartikan
sebagai langkah yang ditempuh oleh mufassir untuk menyingkap tema-tema yang
terdapat pada suatu surah dalam perspektif ayat-ayatnya yang tersusun secara
sistematis, serasi, stylistik, dan memiliki karakter I’jâz guna menghantarkan kepada

342
Yang dimaksudnya kafir disini adalah mereka yang bercampur [kehidupannya] dengan
umat muslim sementara tidak diizinkan [agama] (ghayr al-muadzdzîna lahum) mereka termasuk yang
konsekwen terhadap janji dan bertanggung jawab dan para tetangga dekat (wa al-Jîrân). Lihat Ismaîl
Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, (al Ma'had Al-‘Â'limiy lil fikri al Islamiy,
Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 142. lihat dan baca kembali tulisan ‘Abdul Qâdir Muhammad
Shâlih dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Ashri al-Hadîts, (Beirut; Dâr al-Ma’rifah, 2003, T.th)
hal. 109-152.
343
lihat lebih lanjut dalam Tafsîr al-Qur’ân,vol.5, hal. 269, bandingkan mereka yangmenyebut
Rasyid Ridha menafsirkan secara tematik diantaranya Muhammad Ziyad al-Dhaghâmin dalam
‘manhaj’ hal. 202. dan Mahmud Syaltût , an Mahmud Syaltût, Tafsir al-Qur’ân al-Karim (Kairo: Dâr
al-Syurûq, 1988), cet. Ke-11. lihat juga tulisan Ahmad al-Syirbasi pandagnannya tentang metodologi
tafsir, Qishshah al-Tafsîr, (Kairo: Dâr al-Kalâm, 1962), hal. 164.
344
Nama lengkapnya Burhânuddîn Ibrâhîm bin Umar al-Biqâ’î, Nazhm al-Durar fî Tanâsub al-
Âyah wa al-Suwar, (Kairo: Dâr al-Kitab al-Islâmi, tt) juz 1. hal. 5-6. bandingkan dengan Mustansir Mir
The Sûra as Unity dalam, Approaches to the Qur’ân, dengan mengadopsi gagasan yang dibangun oleh
Izz Abd al-Salâm (1181-1262) that the Qur’ân, revealedas it was under extremely diverse circumtances
and in period of more than twenty years, could not possibly have continuity an coherence (irtibât).
G.R. Hawting and Abdul Kader A. Sharef, Approaches to the Qur’ân, (London and Newyork), hlm
.211.
345
Nama lengkapnya Saîd Muhammad Daib Hawwa, lahir pada tahun 1935 di Hamat Suriah.
Pada tahun 1987 ia terkena penyakit stroke yang tidak kunjung membaik kemudian pada 1987 ia
meninggal dunia di rumah sakit Islam ‘Ammân Yordania. Lihat Sa’îd Hawwa, hâdzihî tajribatî wa
hâdzihî syahâdatî, hal. 7 dan 119, lihat juga ‘Asâs fî tafsîr, (Dâr al-Salâm li al-Thabâ’ah wa al-Nasyar
wa al-tawzî’) cet.6, 1424 H-2003 M, Jld I. hal.11, lihat juga al-Musytasyar Abdullah al-‘Aqil, mereka
yang telah pergi,Tokoh-tokoh Pembangun Pergerakan Islam Kontemporer,(Jakarta al-I’tishâm cahaya
umat, 2003) hal. 409. bandingkan dengan Muhammad ‘Ali Iyâzi, al-Mufassirûn Hayâtuhum wa
manhajuhum, hal. 136.
146

muara tujuan dan maksud akhir yang hendak dicapai (bulûghan ilâ maqâshid al-
nihâiyyah).346
Tema-tema dalam al-Qur’ân yang terkesan berserakan tidaklah kontradiktif
dan bertentangan, hal ini sejalan dengan pandangan Mahmûd Hijâzi dalam al-Wahdat
al-Mawdhû’iyyah fî al-Qur’ân al-Karîm, ia merupakan kesatuan tema yang koheren,
padu, dan komprehensif. Kemudian tema-tema yang berkaitan tersebut dikumpulkan
pada dari berbagai tempat surat, untuk mengungkap makna dan korelasinya dengan
tema umum yang dibahas, guna mewujudkan tujuan yang hendak dicapai.347 Al
Dhagâmin berpendapat bahwa al-Wahdat al-Mawdhû’iyyah fî al-Sûrah merupakan
suatu integrasi seluruh orientasi yang dalam surah dalam penetapan dan pengukuhan
satu tema/topik tertentu dalam surah tersebut, setiap surah yang memuat pikiran
pokok menjadi ciri utama surat yang ditetapkan oleh tujuan yang terkonsep
didalamnya.348
Alasan penulis mengemukakan sub judul ayat-ayat hukum dalam surat al-
Baqarah karena surat ini selain merupakan surah terpanjang, ia juga mencakup segala
problematika kehidupan seperti temanya yang memprioritaskan pondasi keimanan,
dan kriteria orang beriman dengan yang tidak. Kemudian aplikasi konsep dan

346
Imrân Sumaih Nazzâl, al-Wahdat al-Târîkhiyyah li al-suwar al-Qur’ânîyyah, (‘Ammân:Dâr
al-Qurrâ’ 1427 H/2006 M), h. 92. bandingkan dengan penafsiran Muhammad Syaltut ia
mengelompokkan ayat ayat yang ada dalam surah menurut tujuan poko dan tema-temanya. Kemudian
baru ia tafsirkan ayat-ayat sesuai kelompok tujuan atau tema pokoknya masing-masing lihat tafsir al-
Qur’ân al-Karîm, (Kairo: Dâr al –Syurûq, 1988), cet-11. pandangan Ahmad al-Syirbashi dalam,
Qisshah al-Tafsîr, mengatakan ‘ada metode lain dalam tafsir yaitu dengan mengungkapkansecara
global tema-tama, daksud-maksud dan tujuan-tujuan pokok sura, dan diantara orang yang menonjol
dalam menggunakan metode ini adalah Syeikh Syaltût, baik dalam kuliah-kuliahnya maupun tulisan-
tulisannya. (Qisshah Tafsir, (Kairo: Dâr al-Kalaâm, 1962), hal. 164.
347
Muhammad Mahmud Hijâzi, al-Wahdat al-mawdhû’iyyah fî al-Qur’ân al-Karîm, (Zaqâziq:
Dâr al-tafsir, 1424 H/ 2004),h. 28-29. bandingkan dengan Ahmad Syarqâwi bahwa Wahdat al
mawdhu’ adalah keberadaan satu tema tertentu dalam al-Qur’an yang terebar dalam berbagai tenpat,
dalam ragam bentuk yang variatif, yang mengacu pada prinsip-prinsip kesesuaian, sikron, dan
harmonis, hubungan antara komponen yang terdapat didalamnya. Seandainya ayat- ayat yang
mengusung satu tema tersebut diintegrasikan, akan membentuk struktur bangunan yang kokoh dan
akan tercipta satu rajutan simponik yang indah dan mempesona. Lihat Ahmad Muhammad Syarqâwi,
al-wahdat al-mawdhû’iyyah li al-Qur’ân al-Karîm, http://www.saaid.net/bahoth/65.zip
348
Ziyâd Khâlil Dhaghâmin, al-Tafsîr al-mawdhû’i wa manhajiyyah al-bahtsi Fîhi
(‘Ammân:Dâr al-‘Ammâr 2007 M), hal. 205
147

formulasi penafsirannya (Maqâshid ‘ashliyah) dikomparasikan dengan gagasan


penafsiran sebelum dan sesudahnya untuk melihat dan menemukan urgensi/Maqâshid
al-ashliyah dalam penafsirannya.

Latar belakang dinamakannya surat al-Baqarah secara umum didalamnya


diceritakan kisah al-Baqarah dimana Allah memerintahkan Banî Isrâîl ketika itu
untuk menyembelihnya sebagai bentuk pengabdian atas perintah Allah, karena buruk
sangka mereka kepada Allah dengan pemahaman yang konotatif (sû’u fahmihim)
sebagaimana dikisahkan (al baqarah [2;67-71]), dalam pandangan Ibn ‘Âsyûr cerita
tentang kisah al Baqarah sebagai pengkhususan yang membedakan (tamyîzan) dari
surah-surah yang lain karena terdapat ‫ ﺁﻟﻢ‬،‫ﺁل‬. dari beberapa huruf al-muqaththa’ah
karena bisa jadi huruf-huruf muqaththa’ah tersebut dijadikan/sebagai nama surat
yang diceritakan sebagaimana: ‫ ص‬،‫ ﻃﻪ‬،‫ یﺲ‬, berkaitan dengan ini sabda Nabi
“Innahâ sinâmu al-Qur’ân” ‘sesungguhnya surah al-Baqarah merupakan
keistimewaan/puncak al-Qur’ân, dan keistimewaan dari setiap sesuatu (benda)
menunjukkan kelebihan, dan ini (surah al baqarah) tidak demikian karena itu ia
termasuk pengutamaan (tasyrîf).349

Secara garis besar tujuan dari surah al Baqarah perspektif Ibn ‘Âsyûr dibagi
menjadi dua; pertama; bagian yang menerangkan bahwa agama Islam yang tinggi
dan melangit (sumuww) menjadi agama yang terpilih dari agama-agama sebelumnya
–(sebagai rahmat alam semsesta-penulis), terdapat luhurnya petunjuk didalamnya
(‘uluww hadiyyah) dan norma-norma (ushûl) yang mengatur guna perbaikan diri
(tathhîrihî al-nufûs), kedua; bagian yang menerangkan serta menjelaskan syari’at-
syari’at (norma) agama agar diikuti (liatbâ’ihi) sebagai upaya mewujudkan
kemaslahatan sosial masyarakat secara makro (wa ishlâhi mujtamaihim). Pada
349
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 203. Muhammad ‘Abduh dan Râsyid Ridhâ
dalam Tafsur al-Manâr ditulis bahwa; surah al baqarah merupakan surah yang terpanjang, ia diletakkan
setelah alfatihah merupakan keutamaan terendiri. Kemudian disimpulkan didalamnya terdapat;
Dakwah al-Islâm wa ahkâmuhu, wa qawâiduhu, lihat Muhammad ‘Abduh Ta’lîf Râsyid Ridhâ Tafsir
al-Manâr (Dâr al-Manâr, cet-2 1366 H 1947 M) Jld. 1, hal. 105-111.
148

keterangan terakhir penulis menemukan konteks kesamaan dengan karya-karya Ibn


‘Âsyûr dalam peletakan dasar Ilmu Maqâshid dan Norma-norma sosial
kemasyarakatan yang egaliter.350

Surah ini turun setelah Nabi Hijrah ke Madinah. Ayat-ayatnya berjumlah 286
ayat. Begitu banyak persoalan yang dibicarakannya, tidak heran, karena mengingat
masyarakat Madinah ketika itu sangat heterogen, baik dalam suku, agama maupun
kecenderungan. Misalnya peristiwa yang terekam didalamnya pengalihan kiblat [ayat;
142], atau perintah puasa [ayat; 183], dijadikan sebagai masa awal turunnya surat ini,
dan [ayat; 281] sebagai akhir ayat al-Qur’an yang diterima oleh Nabi Muhammad

350
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 203. lihat juga Abdul Ghaffar Abdur Rahîm,
al-Imâm Muhammad ‘Abduh wa Manhajuhu fi al-Tafsir,(Kairo:Dâr al-Anshâr, T.th.) hal. 354-357.
lihat tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarîah al Islâmiyah, Dâr el
Nafâis- Urdun, 2001. hal. 90-99. dikatakan bahwa keterpautan antara kajian Maqâshid al-Syari’ah
dan pendasaran ilmu social kemasyarakatan yang egaliter sangat ereat dan kajiannya membutuhkan
kaidah-kaidah yang lebih luas dari sementara kaidah-kaidah yang dipakai pakar ushûl fiqh (ahwaju ilâ
qawâid awsa’u min qawâid ahl ushûl), juga karyanya Ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’î fî al-Islâmi,(Dâral-
Suhûn lo al_nasyar wa al-Tawzî’, 2006) hal.38- baca juga Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin
‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ Maktabah Muluk Fahd al-wathaniyyah atsna al-
Nasyr, hal. 41-43.
bandingkan dengan pendahuluan penafsiran Rasyîd Ridhâ dalam Tafsîr al-Manâr (Dâr al-
Manâr, cet-2 1366 H 1947 M) Jld. 1, hal. 112-121, dia mengatakan dalam kaidah-kaidah yang terdapat
dalam surat al-baqarah tidak kurang dari 33 kaidah ditulisnya sebelum mulai menafsirkan surat al
baqarah. Kemudian Râsyîd Ridhâ mengatakan:
‫ وإﻥﻤﺎ وﻋﺪﻥﺎ‬،‫ ویﻤﻜﻦ اﻟﺰیﺎدة ﻋﻠﻴﻪ ﺑﺎ اﻟﺘﺄﻡﻞ ﻓﻴﻬﺎ وﺗﺪﺑﺮهﺎ‬،‫هﺬا ﻡﺎ ﻓﺘﺢ اﷲ ﺑﻪ ﻋﻠﻲ ﺑﺘﺼﻔﺦ ﺻﺤﺎﺋﻒ اﻟﺴﻮرة دون ﺗﻼوﺗﻬﺎ‬
‫ واﷲ یﻘﻮل اﻟﺤﻖ وهﻮ یﻬﺪي اﻟﺴﺒﻴﻞ‬،‫ﺑﺘﻠﺨﻴﺼﻬﺎ ﺑﺎﻹﺝﻤﺎل دون اﻟﺘﻔﺼﻴﻞ‬
Bandingkan juga dengan apa yang ditulis oleh Sayyid Thanthawi dalam al-Tafsîr al-Wasîth, ia
menegaskan tujuan-tujuan global dari al-Baqarah dibagi menjadi tiga; pertama; mengenai pondasi
keimanan dan kemanfaatan petunjuk-Nya (Âmana bihi wantafa’a bihidâyatihi) yang mengakibatkan
kebahagiaan (dunia dan akhirat), kedua: bagian yang ingkar lagi menyombongkan diri (qismun jahada
wa istakbara) dan menyukai kejahilan daripada petunjuk-Nya, mereka menjadi menyesal karena tidak
mendapatkan kebaikan dan Iman kepada Allah), kemudian bagian ketiga yaitu umat yang diuji oleh
Allah mereka adalah golongan buruk kaum Munafik yang menampakkan pertentangan langsung
kepada Allah, tidak kuang dari 13 ayat yang menyebutkan kebohongan-kebohongan dan penyakit
yangmelekat di hatimereka, kepicikan mereka tersurat dalam surat ini. Lihat lebih lanjut dalam
Muhammad Sayyid Thanthâwi, al-Tafsîr al-Wasîth, (Nahdhah Mishr, Mesir cet-1 Januari 1997) hal.
27-36. demikian juga Quraish Shihab, ditulis bahwa al-Baqarah merupakan al-Sinâm yang berarti
puncak karena tiada lagi puncak petunjuk setelah kitab suci ini, dan tiada puncak setelah kepercayaan
kepada Allah Yang maha Esadan keniscayaan hari kiamat. Ia dinamai juga az-Zahrâ’ berarti terang
benderang karena kandungan surah ini menerangi jalan dengan benderang menuju kebahagiaan dunia
dan akhirat, serta menjadi penyebab bersinar terangnya wajah siapa yang mengikuti petunjuk-petunjuk
surah ini kelak di kemudian hari. Lihat Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur’ân. (Jakarta, Lentera Hati, 2000, cet-1, hal. 82.
149

saw. (dalam sejumlah riwayat disebutkan). Ini berarti bahwa surah al-Baqarah secra
keseluruhan turun dalam masa sepuluh tahun. Karena perintah pengalihan kiblat
terjadi setelah sekitara 18 bulan Nabi Muhammad saw. berada di Madinah, sedang
ayat terakhir yang turun beberapa saat/hari sebelum beliau wafat, tepatnya tanggal 12
rabi’ul awwal tahun 13 Hijriah.351

Al-Zamakhsari (467-538 H) dalam tafsirnya al-Kasysyâf mensinyalir bahwa


pada akhir-akhir Surah al-Baqarah merupakan harta benda (kanzun) dibawah
singgasana (‘Arsy), sebagaimana hadits dari Ibn ‘Abbâs yang menyatakan; bahwa
barang siapa yang membaca surat al-Baqarah pada dua ayat terakhir ini [2:284-287]
kafatâhu (dijaga-Nya dari godaan setan dan bencana), dalam redaksi hadits yang lain
diterangkan ia (surah al-Baqarah) merupakan sebuah harta benda dari bawah
singasana yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad tidak kepada yang lain,
berikutnya juga diterangkan dalam hadits yang lain ia juga merupakan harta dari
surga, barang siapa yang membacanya setelah (shalat) ‘Isya ia akan diganjar seperti
shalat malam. –yang terakhir ini riwayatnya matruk.352

Muhammad Sayyid Thantâwi melihat bahwa selain merupakan surat


terpanjang, ia mempunyai Munâsabah dengan surah al-Fatihah yang isinya
merupakan dasar-dasar mengenai hukum-hukum ketuhanan dan nilai-nilai ubudiyah
sebagai perunjuk jalan yang lurus secara global dan general, kemudian berikutnya
surah al-Baqarah menjelaskan dengan memerinci tujuan-tujuan tersebut, sehingga
bahasan yang terdapat pada surah al-Fatihah sebagai petunjuk dan pengarahan
petunjuk tersebut menjadi jelas. Keutamaan surat ini menjadi ketara disebabkan

351
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 203. bandingkan dengan Rasyîd Ridhâ
dalam Tafsir al-Manâr (Dâr al-Manâr, cet-2 1366 H 1947 M) Jld. 1, hal. 112-121
352
Lihat penafsiran al-Zamakhsari dalam al-Kasysyâf, (Dâr al-Kotob al-‘Ilmiyyah, 1995-1415
H) cet-1.hal.329-329. redaksi haditsnya sebagai berikut;
‫ﻦ َأﺑِﻲ‬
ْ‫ﻋ‬َ ‫ﻦ َیﺰِی َﺪ‬
ِ ‫ﻦ ْﺑ‬
ِ ‫ﺡ َﻤ‬
ْ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ‬َ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬
َ ‫ﻦ َیﺰِی َﺪ‬ ِ ‫ﻦ ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ َﻢ ْﺑ‬
ْ‫ﻋ‬َ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ْﻌ َﺘ ِﻤ ِﺮ‬
ِ ‫ﻦ َﻡ ْﻨﺼُﻮ ِر ْﺑ‬ ْ‫ﻋ‬ َ ‫ﺤﻤِﻴ ِﺪ‬ َ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ا ْﻟ‬
َ ‫ﻦ‬
ُ ‫ﺝﺮِی ُﺮ ْﺑ‬
َ ‫ﺡ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ‬
َ ‫ﻦ َﻡﻨِﻴ ٍﻊ‬
ُ ‫ﺡ َﻤ ُﺪ ْﺑ‬
ْ ‫ﺡ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأ‬
َ
‫ل َأﺑُﻮ ﻋِﻴﺴَﻰ َهﺬَا‬ َ ‫ﻗَﺎ‬. ‫ﺥ ِﺮ ﺱُﻮ َر ِة ا ْﻟ َﺒ َﻘ َﺮ ِة ﻓِﻲ َﻟ ْﻴَﻠ ٍﺔ َآ َﻔﺘَﺎ ُﻩ‬ ِ‫ﻦﺁ‬ ْ ‫ﻦ ِﻡ‬ِ ‫ﻦ َﻗ َﺮَأ اﻟْﺂ َی َﺘ ْﻴ‬
ْ ‫ﺱﱠﻠ َﻢ َﻡ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ‬ َ ‫ل اﻟﱠﻠ ِﻪ‬ ُ ‫ل َرﺱُﻮ‬ َ ‫ ﻗَﺎ‬: ‫ل‬ َ ‫ي ﻗَﺎ‬ ‫ﺴﻌُﻮ ٍد ا ْﻟَﺄ ْﻥﺼَﺎ ِر ﱢ‬
ْ ‫َﻡ‬
‫ﺢ‬
ٌ ‫ﺻﺤِﻴ‬ َ ‫ﻦ‬ ٌ‫ﺴ‬ َ‫ﺡ‬َ ‫ﺚ‬ ٌ ‫ﺡﺪِی‬
َ
150

beberapa hadits yang menguatkan keistimewaan dari surah yang lain dalam al-
Qur’ân, seperti hadits yang menjelaskan bahwa ‘Rumah yang dibacakan surah ini (al
baqarah) tidak akan dimasuki oleh setan, dan sebaliknya rumah yang tidak pernah
dibacakan al-Qur’ân didalamnya digambarkan seperti kuburan’. Diriwayatkan oleh;
Ahmad, Muslim, al-Tirmidzi, dan al-Nasâ’i dari Abû Hurairah; kemudian terdapat
pula hadits oleh Ibn Hibbân dalam shahîh , dari Sahl Ibn Sa’ad yang menerangkan
keistimewaan surat ini.353
1) Perintah shalat dan zakat dalam surah al-Baqarah
Memahami pengertian satu kata dalam rangkaian satu ayat tidak dapat
dilepaskan dari konteks kata tersebut dengan keseluruhan kata-kata dalam redaksi
ayat tersebut. karena tujuan (ghardun) ini memiliki nilai tambah dalam keterpautan
dalam kajian kequr’anan dan memiliki korelasi yang kuat (ittishâlu al-matîn) dengan
dengan penafsiran. Disebabkan instrumen-instrumen yang terkait dengannya (mâ
yatahqqaqu fîhi) sangat diperlukan (yuntafa’u bihi) dalam mayoritas tema-tema pada
pembuka-pembuka surah (fawâtihu al-suwar) al-Qur’ân, dan ketertautan munâsabah
antara satu (ayat/surah) dengan yang lain, sebagai bekal yang cukup bagi mufassir
dalam penafsiran.354

353
Lihat Muhammad Sayyid Thanthâwi, al-Tafsîr al-Wasîth, (Nahdhah Mishr, Mesir cet-1
Januari 1997) hal. 27-28. bandingkan dengan pandangan Mutawalli al-Syârâwî dalam Tafsir al-
Sya’râwi, (Dâr akhbâr al-Yaum, Mesir 1991), hlm 91-97) karena ketawadhu’annya al-Sya’râwi
menyatakan karyanya bukan sebagai tafsir namun dia menyebut sebagai khawâtir
(betikan/interpretasi), dalam surah al-bawarah terdapat pijakan Iman atas risalah (al-Imân bi al-ba’ts),
pendasaran metode Da’wah di Makkah, ayat ayat yang turun di Madinah disinyalir sebagai sumber
hokum-hukum social Islam, dan hokum Mu’âmalah, disebutkan hikmah al-Qur’ân dan ‘ilmu yang
dianugrahkan Allah kepada Nabi Muhammad shallawwah ‘alaih wasallam, kisah penciptaan manusia
pertama Adam,kisah Nabi Ibrahim dalam kontemplasinya mencari Tuhan (pengokohan keimanan, dan
kisah peletakan bat pertama ka’bah, dan penyampaian tentang musuh Islam yang nyata selain Syetan
yaitu Yahudi). Lihat juga Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fî Dhilâl al-Qur’ân, (Dâr al-‘arabiyyah-
Beirut, tt), hlm 24. Sayyid Quthb menyatakan didalamsurah ini digambarkan pondasi keimanan
kepadaNabi-Nabi yang diutus kepada mereka dan kitab-kitab yang diturunkannya, dan kaitan
pembukaanya dan penutupan terdapat dua sifat yaitu sifat orang-orang mu;min dan Khashâish Iman.
354
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr Muqaddimah al-Tsâminah, vol. 1, hal. 70. baca dalam
mukaddimah sebelumnya (hal. 8) ia mengatakan “amma al-bahtsa ‘an Tanâsub mawâqi al-suwar
ba’dlahâ itsri ba’dlin falâ arâhû haqqan alâ al-mufassir“. bandingkan dengan pandangan Abdullah
Dirâz dalam, Al-Naba’ al ‘Adzîm, Nazharât al-Jadîdah fî al-Qur’ân,hal. 211. Ia menyatakan bahwa
setiap hal dalam al-Qur’an merupakan bentuk kemu’jizatan, kebalaghahan ungkapannya juga mukjizat,
151

Perintah shalat dan zakat sebagai pondasi agama ayat 43 dalam surah Al-
Baqarah [2]:43);
‫ﻥ‬
َ ‫ﻭَﺃﻗِﻴ ُﻤﻭْﺍﻟﺼﱠﻼﺓ ﻭَﺁﺘﹸﻭﺍﻟﺯﱠﻜﺎﺓ ﻭَﺍ ْﺭ ﹶﻜ ُﻌﻭْﺍ ﻤ َﻊ ﺍﻟﺭﱠﺍ ِﻜ ِﻌ ْﻴ‬.....
yang artinya kurang lebih; "Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah
kepada-Ku bersama orang -orang yang ruku.” Adalah perintah melakukan syiar
Islam setelah perintah memeluk akidah Islam.355

pola pendidikannya termasuk dari mukjizat, validitas informasinya merupakan mu’jizat, formulasi
syariatnya yang abadi adalah mukjizat, ilmu-ilmu didalamnya nafsiyah maupun kauniyah mengenai
keduanya adalah mu’jizat, dalam keserasian dan sistematisasi ayat-ayat al-Qur’an dalam bentuk yang
kita kenal ini merupakan bentuk kemukjizatan diatas mukjizat. Al-Sayûthi, Tanâsuq al-Durar fî
Tanâsub al-Suwar, hal. 69.
Lihat juga pandangan Saîd Hawwâ (w.1989) misalnya, mufassir berkebangsaan Siria ini
mengatakan bahwa kesatuan dalam dalam ayat atau kelompok ayat adalah keberadaan satu ayat atau
satu kelompok ayat dalam surah-surah al-Qur’ân yang memiliki kerunutan dan ketertautan konteks
yang sistematis yang terikat dalam satu hubungan yang kuat antara bagian-bagian dalamstruktur ayat
atau kelompok ayat tersebut. kemudian Saîd Hawwa berusaha mengelaborasi hubungan bagian satu
ayat dengan bagian lainnya. Seperti ketika menafsirkan ayat 148 dari surah al-Nisâ’ [4] yang berbunyi:
∩⊇⊆∇∪ $¸ϑŠÎ=tã $·è‹Ïÿxœ ª!$# tβ%x.uρ 4 zΟÎ=àß tΒ ωÎ) ÉΑöθs)ø9$# zÏΒ Ïþθ¡9$$Î/ tôγyfø9$# ª!$# =Ïtä† ω *
Kalimat ‫ وآﺎن اﷲ ﺱﻤﻴﻌًﺎ ﻋﻠﻴﻤًﺎ‬klausa yang mengiringi lafal ‫ ﻡﻦ ﻇﻠﻢ‬dalam ayat tersebut. Saîd Hawwa melihat
bahwa kata ‫ ﺱﻤﻴﻌًﺎ‬mengacu kepada pengaduan kepada pihak yang terdzalimi (syakwâ al-madzlûm), dan
kata ‫ ﻋﻠﻴﻤًﺎ‬sebagai bentuk yang mengacu pada kedzaliman yang dilakukan oleh pihak yang berbuat
dzâlim (zulm al-mazlûm). Saîd Hawwa‘Asâs fî tafsîr, (Dâr al-Salâm li al-Thabâ’ah wa al-Nasyar wa al-
tawzî’) cet.6, 1424 H-2003 M, Jld II. hal.1217
355
Lihat lebih lanjut penafsiran ayat ini dalam al-Tâhrir wa al-tânwîr vol 1. hal. 472.
bandingkan dengan penafsiran Musthafâ al-Marâghî yang menafsirkan ayat ini dengan gambaran (rûh
al-shalâh), setelah ajakan Iman kepada bani Israîl telah disampaikan, kemudian mereka diperintah
mengerjakan shalat sebagai amal shâlih dan pondasi iman, dan untuk membersihkan kepribadian
mereka (litutahhir nufûsahum) sebagaimana mereka diminta untuk membayar zakat sebagai bentuk
syukur dan mempererat hubungan sosial kemasyarakatan, dengan mengeluarkan sebagian hartanya,
sebagai bentuk solidaritas kepada sesama (limuwâsâh ‘iyâlullâh wa hum al-fuqarâ’) (antara yang kaya
dan miskin saling bergotong royong, dan memberi perlindungan satu dengan yang lain), kemudian al-
Marâghi menyebutkan hadits ‘al mu’minu lil mu’mini kal bunyân yasyuddu ba’dlahum ba’dlan’ lihat
Ahmad Musthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghi, (Syirkah maktabah wa mathba’ah musthafâ libâb al
hilabi Mesir) cet-1, 1946 M-1365 H, hal. 99.
lihat juga redaksi penafsiran Muhammad ‘Abduh dalam tafsir al-Manâr yang menafsirkan
setekah ajakan iman yakin kepada bani isrâîl mereka diminta untuk menunaikan shalat dan membayar
zakat sebagai bentuk solidaritas kekeluargaan dan kemaslahatan diantara mereka (muwâsâh l’iyâlihi
wa musâ’adah’alâ mashâlihim alltî hiya malâku mashlahatihi) bagi ‘Abduh ketiga perintah diatas
tertata rapi secara hirarkis; menunaikan shalat sebagai berntuk pertama yang merupakan rûhul ‘ibadah
dan ujian keikhlasan dalam mengerjakannya, kemudian membayar zakat sebagai bentuk penyucian diri
dan kekuatan iman, berikutnya ruku’ bersama orang-orang yang ruku’ sebagai gambaran (sûrah)
shalat/sebagiannya, sebagai penghambaan diri secara khusu’ dihadapn keagungan-Nya. Lihat
Muhammad Abduh dengan ta’lif Râsyid Ridhâ tafsîr al-Manâr (Huqûq thaba’ah wa al-tarjamah
mahfûdhah liwaratsatihi/ Dâr al-Manâr 1948/1366 H) cet. 2, hal. 294.
152

Dalam tafsir ayat ini Mahmûd syukrî al-Alûsi (w. 1270 H) menafsirkan dalam
karya monumentalnya Rûh al-Ma’ânî diterangkan bahwa shalat dan zakat sudah
menjadi maklum (lâm lil’ahdi awi al-jinsi) sebagaimana dilakukan kaum muslimin.
Didahulukan perintah shalat karena tujuannya yang utama (lisyumûli wujûbihâ), yaitu
dituntut dengan ikhlas dan senantiasa mengharap ridha Allah (al-tadlarru’
lilhadrah), dan ia merupakan aktifitas tubuh/badan (ibadah) yang paling utama, dan
membayar zakat merupakan pembersihan harta dari kotoran dan diri dari sifat
kikir.356
Perintah bertunduk (ruku’) setelah perintah zakat, karena shalat orang-orang
Yahudi berbeda dengan shalatnya orang-orang Muslim, mereka (Yahudi) tidak
menggunakan ruku’ sebagaimana orang muslim. Keterangan selanjutnya tentang
“‘al-Râki’în” ada pendapat yang menyatakan mereka adalah para Sahabat Nabi,
disisi lain diartikan sebagai isyarat (jins al dhâhir), ruku’/ketundukan merupakan
tanda-tanda keridhaan dan meumbuhkan sifat mulia. Sebagai bukti keikhlasan dalam
beribadah atas kecintaan kepada sang Khâliq.357
Jadi, ayat "Dan berimanlah (kamu: bani Israil) pada apa yang Aku (Allah)
turunkan .....([2] :41) maksudnya (al-maqshadu) adalah Iman kepada Nabi
Muhammad shallawwâhu ‘alaih wasallam juga kepada perantara wahyu dan
tujuannya. Yang menjadi pengantarnya adalah ayat; “Dan ingatlah nikmatku.....
.([2]:40), sampai ayat .....maka takutlah kepadaku ([2]:48), yang sementara targetnya
(ghâyah) adalah ayat ”Dan berimanlah pada apa yang saya turunkan karena
membenarkan apa yang bersamamu. Kemudian impementasi tujuannya adalah ayat
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat ([2]:43). Dibalik itu juga terdapat larangan
dari perbuatan merusak yang dan menghalangi dari hal-hal yang telah diperintahkan,
sesuai dengan bentuk perintahnya.358

356
Lihat Syihabuddîn Sayyid Mahmud al-Alûsi, Rûh al-Ma’âni wa sab’ al-Matsâni, (idârah
thab’ah al-munîriyyah wa dâr al-Turats al-‘rabiy Beirut Libanon), hlm 248.
357
Al-Alûsi, Rûh al-Ma’âni wa sab’ al-Matsâni, hlm 248-9.
358
Lihat lebih lanjut penafsiran ayat ini dalam al-Tâhrir wa al-tânwîr vol 1. hal. 472. lihat dan
bandingkan juga perbedaan penafsiran Ibn ‘Âsyûr dengan Abu Bakar al-‘Arabi mengenai syarat
153

Firman Allah," ‫ " وَأﻗِﻴ ُﻤﻮْاﻟﺼﱠﻼة‬adalah perintah pada pondasi Islam yang paling
agung setelah perintah Iman dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan
sebaliknya (ta’ridl) sindiran kepada orang-orang Munafik, diterangkan bahwasannya
iman adalah perjanjian primordial (‘ahdun qalbiyyun) antara (hamba dengan
Tuhannya), indikator perjanjian tersebut dengan ucapan (lâ yadullu ‘alaihi illa al-
nutqa). Ucapan lisan (iman) sesuatu yang mudah. Ia bisa saja diucapkan walau hati
tidak membenarkannya, sebagaimana halnya orang-orang munafik yang dilukiskan
oleh ayat 8 pada surah ini. Nah untuk membuktikan kebenaran ucapan itu mereka
dituntut agar melaksanakan shalat, karena shalat merupakan aktivitas yang
menunjukkan keagungan kepada Allah semata, dan sujud kepada-Nya merupakan
bukti pengingkaran terhadap berhala-berhala. Demikian juga dengan zakat, karena
dengan menyisihkan secara tulus sebagian harta yang dimiliki tidak akan dilakukan
kecuali oleh mereka yang percaya kepada hari kemudian, lebih-lebih bila disalurkan
kepada upaya pengukhan agama atau menghadapi musuh-musuh Allah dan Rasul-
Nya. sebagaimana ayat yang menyebutkan “wa idzâ laqûlladzîna âmanû qâlû
âmannâ.........(al Baqarah 2:14).359

Seseorang yang tidak menghubungkan ayat tentang perintah shalat dan zakat
dengan ayat sebelumnya yaitu tentang ayat yang menunjukkan syukur atas nikmat
(udzkurû ni’matiya allatî an’amtu ‘alaikum.....) dan pelaksanaan janji (promise)
antara hamba dengan tuhannya, tidak akan dapat menyingkap tujuan-tujuan ayat
(aghrâdh al-âyât), untuk mewujudkannya juga memerlukan instrumen hubungan

wudhu sebelum diturunkannya penjelasan dalam surah al-Mâidah [5:6], Abu Bakar al-‘Arabi
menafsirkan bahwa wudhu merupakan kebiasaan orang Makkah sebelum adanya ayat yang
menjelaskan tentang kewajiban wudhu ini sebelum shalat, karenanya ia ada dan sedah diwajibkan
sebelum ayat ini turun, hal ini dibantah oleh Ibn ‘Âsyur yang menyatakan bahwa ditetapkannya
‘ightisâl’ sebelum wudhu, dan Nabi tidak melakukan shalat kecuali mengambil wudhu sebelumnya.
Disebutkannya hukum wudhu oleh al-Qur’ân saat itulah mulai diberlakukannya [kewajiban] wudhu
sebelum shalat. Lihat perbedaan ini dalam, Abû Bakar Ibn al-‘Arabi, ahkâm al-Qur’ân, tahqîq ‘Ali
Mumammah al-Bajâwî,(Dâr al-Ma’rifah) jld. 2. hal. 558. dan Thâhir Ibn ‘Âsyûr, al-Tahrîr wa al-
Tanwîr, (Dâr Tûnîsiyyah linnasar, t.th) juz1. hlm 331.
359
Lihat Thâhir Ibn ‘Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr (QS. Al-Baqarah [2]:40-48), vol. 1 hal. 472-
4,
154

kronologis (asbâb al nuzûl), karena dengan menggunakan instrumen tersebut akan


menghasilkan makna dan rangkaian pemahaman yang jelas dan terperinci.360
Al-Râzi (544-604 H)361 menafsirkan ayat “aqîmû al-shalâh” bahwa Allah
menyeru kepada mereka (yahudi) mereka beriman kemudian melarang untuk berbuat
keji dan mencampuradukkan yang haq dan bâthil (lubsu al-haq bi al-bâthil) dengan
menyembunyikan keterangan risalah kenabian (wa kitmânu dalâil al-nubuwwah ),
kemudian disebutkan perintah syari’at dengan suatu keharusan (lazamahum) syari’at
bagi mereka seperti shalat ia merupakan ibadah yang paling utama (a’dham al-
‘Ibâdât al-badaniyah) dan zakat yang merupakan ibadah kekayaan yang paling utama
(a’dham al-‘Ibâdât al-Mâliyah).362
Terdapat beberapa keterangan/penjelasan mengenai hal ini: pertama tidak
diperbolehkan mengakhirkan keterangan yang global dari waktu
diturunkannya/diwajibkannya (khitâb), setelah keterangan yang disampaikan Nabi
Muhammad tentang rukun-rukun shalat, seakan Allah berfirman ’dirikanlah shalat
seperti yang kalian ketahui’. Kedua; pandangan golongan mu’tazilah bahwa shalat
adalah jenis-jenis syari’ah (asmâ’ syar’iyyah), ia merupakan hal baru dalam ajaran
syari’at maka mustahil keberhasilan atas perintah tersebut berhasil sebelum
ditetapkannya syari’at. Kemudian mereka berbeda pandangan pada definisi shalat;
ada yang berkata secara etimologi shalat berarti doa (al-Du’â’) berkata al-A’syî ;363
yang lain mengatakan shalat berarti suatu keharusan (alluzûm)364, ketiga; firman

360
Lihat Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr vol 1. hal. 472. lihat juga Muhammad Ahmad al-
Gharmawiy, al-Islâm fî ‘ashr al-‘ilmiy, Dâr al-Kutub al-haditsah al-Sa’âdah, Kairo, 1978, h. 405.
361
Nama yang dikenal adalah Fakhruddîn, ‘Allâmah alkabiîr dzû al-Funûn Muhammad ibn
‘umar ibn al Husain ibn Hasan ibn ‘Ali al-Taymî al-Bakrî al-Tihbri al-Ashl, al-Râzî lihat dalam ‘sair
a’lâm Nubalâ’ (16/54/t.5411), juga dalam Bidâyah wa al- Nihâyah (8/560). Tafsîr al-Fakhru al-Râzi ,
jld.1.juz 1, hal. 5.
362
Muhammad al-Râzi Fakhruddîn, Tafsîr al-Fakhru al-Râzi, (maktabah al-tawtsîq wa al-
dirâsât fî Dâr al-Fikr, cet. 1, 2005) jld.1. juz 3, hal. 44.
363
Muhammad al-Râzi Fakhruddîn, Tafsîr al-Fakhru al-Râzi, (maktabah al-tawtsîq wa al-
dirâsât fî Dâr al-Fikr, 1426 H) cet.1, jld.1. juz 3. hal. 44. redaksi syairnya;
‫وﻗﺎﺑﻠﻬﺎ اﻟﺮیﺢ ﻓﻲ ذﻥﱢﻬﺎ وﺻﻠﻲ ﻋﻠﻲ ِذﻥﱢﻬﺎ وارﺗﺴﻢ‬،‫ﻚ ﻡﺜﻞ اﻟﺬي ﺻﻠﻴﺖ ﻓﺄﺗﺼﻤﻲ ﻋﻴﻨًﺎ ﻓﺈن ﻟﺠﻨﺐ اﻟﻤﺮء ﻡﻀﻄﺠﻌﺎ‬
َ ‫ﻋﻠﻴ‬
364
Muhammad Fakhruddîn al-Râzi, Tafsîr al-Fakhru al-Râzi, (maktabah al-tawtsîq wa al-
dirâsât fî Dâr al-Fikr 2005 M) jld 1.juz 3. hal. 44 redaksi syair ‫ﻟﻢ أآﻦ ﻡﻦ ﺝﻨﺎﺑﻬﺎ ﻋﻠﻢ اﷲ وإﻥﻲ ﺑﺤﺮﱢهﺎ اﻟﻴﻮم ﺻﺎﻟﻲ‬
155

Allah dalam surah al-baqarah [2;43] kepada orang Yahudi, menunjukkan


bahwasannya mereka tidak mengimani syariat-syari’at yang dibawa oleh Nabi.365
Berbeda dengan pandangan Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsîr al-Munîr ia
menafsirkan ayat (al Baqarah [2:40-43]) khitâb/redaksi ayat diperuntukkan kepada
keturunan Nabi Shalih Ya’kûb as. (putra Nabi Ishak) agar mereka mengikuti jejak
orang tua mereka dalam penunaian hak-hak Allah, dan diseru untuk berfikir dan
mensyukuri nikmat Allah atas keselamatannya dari provokasi Fir’aun dan bala
tentaranya (min al-anjâ’i min fir’aun), dan mereka diseru agar bersyukur atas nikmat
yang telah dianugrahkan Allah dengan mengaplikasikan perintah-Nya dengan taat
(wasysyukrûllâh ‘alâ ni’amihi biimtitsâli al-awâmirihi wa ithâ’atihi), (dan tidak lupa
menjauhi larangan-larangan-Nya-penulis).
Larangan untuk berkhianat terhadap perjanjian primordial antara hamba dan
Khâliq dengan Iman kepada Allah dan Rasulnya. Selanjutnya dalam perintah shalat
al-Zuhaili menulis shalat digambarkan dengan ruku’, ini disebabkan shalatnya
Yahudi tidak menggunakan ruku’ (sebagaimana al-Râzi, ‘Abduh dan Râsyid Ridhâ,
Ibn ‘Asyûr), dan perintah zakat perintah yang berkaitan langsung dengan shalat.
Korelasi antar keduanya shalat sebagai tiang agama untuk menyucikan diri (dari keji
dan munkar-penulis)(tazkiyatun nafs), dan zakat sebagi bentuk (amal) untuk

berkata yang ain redaksi shalat diambil dari al mushallî yang berarti kuda (al-faras) yang diikuti
sesamanya.
365
Muhammad al-Râzi Fakhruddîn, Tafsîr al-Fakhru al-Râzi, (maktabah al-tawtsîq wa al-
dirâsât fî Dâr al-Fikr 2005 M) jld 1.juz 3. hal. 45. bandingkan dengan pandangan Abû Hayyân (w. 745
H) dalam, al-Bahru al-Muhîth,(Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, cet-1 2001/1422 H) juz 1. hal. 325-337. Abû
Hayyân (w.745 H) menafsirkan bahwa ketiga ayat tersusun sedemikian tepat dan serasi. Hal ini terlihat
jelas dengan perintah-Nya pertama kali kepada Bani Israil untuk mengingatkan nikmat Allah yang Dia
anugrahkan kepada mereka, karena ini akan mengantar mereka untuk mencintai-Nya dan taat kepada-
Nya, selanjutnya untuk memenuhi perjanjian primordial yang telah dijalin antara mereka dengan Allah
swt. Yang didorong dengan janji Allah untuk untuk memenuhi pula janji-Nya kepada mereka,
kemudian diperintahkan-Nya agar takut terhadap mereka takut akan siksa-Nya jika mereka tidak
memenuhi janjinya tersebut. dengan demikian perintah untuk memenuhi janji diapit oleh perintah
mengingat nikmat anugrah-Nya dan perintah agar takut kepada-Nya. Perintah beriman merupakan
perintah meninggalkan kesesatan dan larangan mencampur adukan yang hak dan yang bathil serta
menyembunyikan kebenaran dan sekaligus merupakan perintah untuk meninggalkan penyesatan
terhadap orang lain.
156

penyucian harta kekayaan, dan keduanya sebagai bentuk syukur atas ni’mat yang
telah dianugrahkan Allah.366
Zakat disini mampu menstimulasi tumbuhya asuransi bersama (al-takâful al-
ijtimâ’iy) diantara sesama manusia sebagai (makhluk sosial), si Kaya membutuhkan
pertolongan si miskin dalam (suatu hal), demikian juga simiskin membutuhkan
bantuan secara materi dari si kaya. Berkata al-Jashshâsh dalam ahkâm al-Qur’ân;
bahwa yang dintisarikan dari perintah ayat diatas tidak lain adalah; penunaian shalat-
shalat fardhu dan mengeluarkan/membayar zakat-zakat yang wajib.367
Perintah shalat dan penunaian zakat adalah perbuatan/amal yang mulia disisi
Allah yang menunjukkan keagungan dengan bersujud kepada-Nya, serta berserah diri
kepada-Nya. Perbuatan demikian ini tidak dilakukan oleh kalangan musyrik
dikarenakan mereka berbuat syirk (yang tampak dengan perbuatannya), sementara
ahlu al-kitâb tidak melakukannya (menunaikan ibadah ini) karena kebiasaan (ibadah)
mereka berbeda. Diterangkan juga bahwa esensi dari zakat adalah dengan berinfak
sebagai pencitraan diri (‘azîzun ‘ala an-nafs), bagaimana seseorang melakukan hal ini
sementara dirinya tidak meyakini akan kemanfaatan ukhrawi dari tindakan/perbuatan
baik ini, lebih-lebih zakat tersebut dapat sampai kepada kalangan musuh (tawanan)
yang dimaksud dalam agama.368

366
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, (Dâr al-
Fikr Mu’âsir, Beirut Libanon) juz. 1.jld 1-2, hal. 149-152. lihat juga Ahkâm al-Qur’ân juz 1/24.
367
al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr juz. 1.jld 1-2, hal. 149-152.
368
Thâhir Ibn ‘Âsyûr dalam al Tâhrir wa al Tânwîr vol. 1 hal. 473. lihat penafsiran Quraish
Shihâb dalam Tafsîr al-Mishbâh, pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân, ( Lentera Hati, cet-1 2000
M) Juz. 1. hal. 165-173. ayat 43 dalam surah al-Baqarah ditafsirkan setelah mengajak untuk memeluk
Isam dan meninggalkan kesesatan dan penyesatan, maka perintah utama yang disampaikan setelah
larangan itu adalah shalah yakni dengan melaksanakan shalat dengan memenuhi rukun dan saratnya
secara bersinambung dan mnunaikan zakat dengan sempurna tanpa mengurangi dan menangguhkan
serta menyampaikan dengan baik kepada yang berhak menerimanya. Dua kewajiban pokok ini
merupakan rangakaian hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Keduanya ditekankan,
sedangkan kekwajiban lainnya dicakup oleh penutup ayat ini, yaitu ruku’lah bersama orang-orang
yang ruku’ dalam arti tunduk dan taatlah pada ketentuan-ketentuan Allah sebagaimana dan bersama
orang-orang yang taat dan tunduk. Penampilan ayat diatas merupakan susunan yang serasi, yang pada
awalnya mengingatkan nikmat-nikmat Ilahi, kemudian guliran akhirnya berisi perintah untuk tunduk
dan patuh kepada-Nya.
157

Oleh karena itu perintah menunaikan pondasi (untuk) penguatan agama Islam
yaitu shalat dan menunaikan zakat yang targetnya (ghâyah) adalah penunaian
perintah beriman. Perbuatan amal/ibadat (shalat dan zakat) tidak akan dapat
ditunaikan secara maksimal (lâ yatajasysyamahuma) kecuali mereka benar-benar
memiliki integritas dan kualitas keimanan yang benar-bebar kokoh kepada Allah.369
Keterangan ayat mengenai (ketidakseriusan dan faktor kemalasan) orang-
orang munafik dalam beribadah terekam pada (surah al-Nisâ’ [4:142], surah al-Mâ’ûn
[107:3-5]), ditegaskan juga dalam redaksi hadits “shalat isya’ merupakan shalat yang
paling berat (penunaiannya) bagi kalangan munafik” Pada keterangan ayat
dijelaskan bahwa mereka yang meninggalkan shalat tanpa udzur syar’i dari waktu-
waktu yang telah ditetapkan sampai habis masa/waktu shalat, merupakan bukti bahwa
mereka meninggalkan shalat (tariku al-Shalâh) sebagai bukti nyata robohnya (intifâ’)
iman dalam diri mereka, namun menurut madzhab Maliki (sebagaimana Ibn ‘Âsyûr-
penulis) apabila mereka masih mengklaim dirinya beriman maka; boleh diperangi
sebatas dan/ sampai (mereka menunaikan shalat), sebagai bentuk pencegahan hal
yang berimplikasi pada keburukan dan menjaga stabilitas pemeluk agama itu sendiri.
(man’an li-Dzarî’ah hazm al millah).370
Kemudian keterangan ayat selanjutnya menyebutkan ‫ﻦ‬
َ ‫وَا ْر َآ ُﻌﻮْا ﻡ َﻊ اﻟﺮﱠا ِآ ِﻌ ْﻴ‬
merupakan penekanan (ta’kîd) makna shalat, karena praktek shalat orang-orang
Yahudi tidak memakai ruku’, sehingga tidak ada alasan/bantahan bagi mereka
(yahudi) yang mengaku shalat sebagaimana shalat orang-orang muslim dengan dalil
diatas. Kalimat râki’în adalah isyarat dan penjelasan agar prasyarat shalat (rukun,

369
(QS. Al-Baqarah [2]:40-48), lihat lebih lanjut penafsiran ayat ini dalam al tâhrir wa al tânwîr
vol. 1 hal. 473
370
lihat l penafsiran ayat ini dalam Ibn’Âsyûr, al-Tâhrir wa al-Tânwîr vol. 1 hal. 473, redaksi
ayatnya;
š χρã .ä ‹
õ ƒt ω
Ÿ ρu ¨ t ρâ #! t ƒã ’
} $Ζ¨ 9#$ β 4 <n $¡
| .ä #( θΒã $%s οÍ θ4 =n Á
¢ 9#$ ’<n )Î #( θþ Βã $%s #Œs )Î ρu Ν
ö γ
ß ã
ã ‰
Ï ≈z
y θu δ
è ρu !
© #$ β
t θã
ã ‰
Ï ≈ƒs †
ä 
t )
É 
Ï ≈Ζu ϑ
ß 9ø #$ β
¨ )Î

∩ ∈∪ β
t θδ
è $™
y Ν
ö κÍ EÍ ξ
Ÿ ¹
| ã
t Ν
ö δ
è 
t %
Ï !© #$ ∩⊆∪ 
š ,#jÍ Á
| ϑ × ƒ÷ θu ùs dan ayat: ∩⊇⊆⊄∪ ξ
ß =ù 9jÏ ≅ W Š=Î %s ω
 )Î !
© #$
158

syarat sah) suatu kelaziman yang harus dilakukan sebelum menunaikan ibadah shalat
ini.371
Penafsiran ayat berikutnya (ayat [2:44]) adalah mengecam pemuka-pemuka
agama Yahudi yang sering kali memberi tuntunan tetapi melakukan sebaliknya. Kata
(al birr) berarti kebajikan dalam segala hal, baik dalam keduniaan dan akhirat,
maupun interaksi. Sementara mayoritas pandangan Ulama’ menyatakan bahwa al-
birr mencakup tiga hal; kebajikan dalam beribadah kepada Allah swt. Kebajikan
dalam melayani keluarga, dan kebajikan dalam melakukan interaksi dengan orang
lain. Namun apa yang dikemukakan diatas belum mencakup semua kebaikan, karena
agama menganjurkan hubungan yang serasi dan seimbang dengan Allah, sesama
manusia, lingkungan dan siri sendiri. Segala sesuatu yang berkaitan dan
menghasilkan keserasian dalam keempat unsur tersebut adalah suatu kebajikan,
demikian Quraish Syihab menambahkan.372
Pada ayat (45:2) ‘‫ﻦ‬
َ ‫ﺷﻌِﻴ‬
ِ ‫ﺨﺎ‬
َ ‫ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ‬
َ ‫ﺼﻠَﺎ ِة َوِإ ﱠﻥﻬَﺎ َﻟ َﻜﺒِﻴ َﺮ ٌة ِإﻟﱠﺎ‬
‫ﺼ ْﺒ ِﺮ وَاﻟ ﱠ‬
‫ﺱ َﺘﻌِﻴﻨُﻮا ﺑِﺎﻟ ﱠ‬
ْ ‫’وَا‬
diterangkan bahwa tujuan utama (al-maqshûdu al-ashliy) ayat ini ditujukan pada Bani
371
Bandingkan dengan penafsiran Muhammad al-Râzi Fakhruddîn, Tafsîr al-Fakhru al-Râzi,
(Maktabah al-tawtsîq wa al-dirâsât fî Dâr al-Fikr 2005 M) jld 1.juz 3. hal. 45, yang menafsirkan
bahwa ayat yang berbunyi warka’û ma’a al Râki’în disebutkan oleh Allah redaksi ruku’ disini karena
shalat Yahudi tidak memakai ruku’ sebagaimana shalat muslimin.disebutkan dua kali perintah pertama
menunjukkan penunaian shalat itu sendiri, dan kedua perintah berjama’ah dalam shalat, tujuan dan
maksud dari perintah ruku’ adalah ketundukan dan kepatuhan (rukû’ dan khudlû’) dalam definisi
bahasa sama.
372
lihat lebih lanjut penafsiran ayat ini dalam al tâhrir wa al tânwîr vol. 1 hal. 474-5.

tβθè=÷Gs? öΝçFΡr&uρ öΝä3|¡àΡr& tβöθ|¡Ψs?uρ ÎhÉ9ø9$$Î/ }¨$¨Ψ9$# tβρâß∆ù's?r& ∩⊆⊂∪ tÏèÏ.≡§9$# yìtΒ (#θãèx.ö‘$#uρ nο4θx.¨“9$# (#θè?#uuρ nο4θn=¢Á9$# (#θßϑŠÏ%r&uρ

(#θà)≈n=•Β Νåκ¨Ξr& tβθ‘ΖÝàtƒ tÏ%©!$# ∩⊆∈∪ tÏèϱ≈sƒø:$# ’n?tã ωÎ) îοuÎ7s3s9 $pκ¨ΞÎ)uρ 4 Íο4θn=¢Á9$#uρ Îö9¢Á9$$Î/ (#θãΖŠÏètFó™$#uρ ∩⊆⊆∪ tβθè=É)÷ès? Ÿξsùr& 4 |=≈tGÅ3ø9$#

∩⊆∉∪ tβθãèÅ_≡u‘ ϵø‹s9Î) öΝßγ¯Ρr&uρ öΝÍκÍh5u‘


Bandingkan dengan Mushtafâ al-Marâghi menafsirkan (al Baqarah 2:44-46) khitab ini kepada
ahl kitab dari golongan (al-ahbâr wa Ruhbân) dimana mereka memberikan nasehat namun mereka
tidak melaksanakannya sendiri, menyerukan taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mencegah
kemaksiatan namun mereka tidak melaksanakan seruannya sendiri. Lihat lebih lanjut Ahmad Musthafâ
al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghi, (Syirkah maktabah wa mathba’ah musthafâ libâb al hilabi wa aulâduh
Mesir) cet-1, 1946 M-1365 H, hal. 101. bandingkan dengan gurunya Muhammad ‘Abduh tafsîr al-
Manâr ta’lif Rasyid Ridhâ (Huqûq thaba’ah wa al-tarjamah mahfûdhah liwaratsatihi/ Dâr al-Manâr
1948/1366 H) cet. 2, hal. 296. lihat juga Quraish Syihab, Tafsîr al-Misbâh, 174-5.
159

Israil sebagai petunjuk guna membantu mereka melaksanakan segala apa yang
diperintahkan oleh ayat-ayat yang lalu. Petunjuk yang dikandung ayat ini sungguh
pada tempatnya, karena setelah mereka diajak disertai dengan janji dan ancaman,
maka dapat diduga keras bahwa tidak ada lagi jalan masuk bagi setan kedalam hati
mereka, tidak ada juga tempatnya untuk mundur bahkan kini mereka telah bersiap
siap untuk melaksanakan perintah-perintah Allah. Namun demikian, kebiasaan lama
masih memberatkan langkah mereka. Ayat ini menyodorkan resep yang amat ampuh
agar mereka dapat melangkah maju menuju kebajikan. Kandungan resep ini adalah
shalat dan sabar.
Al-Shabr dalam pandangan Ibn’Asyur yaitu menahan diri dari sesuatu yang
tidak berkenan dihati, ia juga berarti ketabahan. Imam al-Ghazali dalam karyanya
ihya ulûmuddîn mendefinisikan sabar sebagai ketetapan hati melaksanakan tuntunan
agama menghadapi rayuan nafsu. Secara umum kesabaran dibagi menjadi dua bagian
pokok: pertama; kesabaran jasmani yang berarti menerima dan melaksanakan
perintah-perintah keagamaan yang melibatkan anggota tubuh seperti sabar dalam
melaksanakan ibadah haji yang mengakibatkan keletihan, atau sabar dalam menerima
ujian dan cobaan penyakit, penganiayaan dan semacamnya. Kedua adalah sabar
Rohani menyangkut kemampuan menahan kehendak nafsu yang dapat mengantar
kepada kejelekan, seperti sabar dalam menahan amarah, ataupun menahan nafsu
seksual yang bukan pada tempatnya.373
Kemudian as-shalah dari segi bahasa adalah do’a, dari segi syari’at islam ia
adalah suatu “ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri
dengan salam” ia juga mengandung pujian atas limpahan dan anugrah karunia-
Nya.mengingat Allah dan karunia-Nya akan dapat mengantar seseorang terdorong
untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Serta dapat mengantarnya
tabah dalam menerima cobaan atau tugas yang berat. Demikian juga shalat akan dapat
373
Ibn ‘Âsyûr, al Tâhrir wa al Tânwîr vol. 1 hal. 474. Bandingkan dengan penafsiran al-Imâm
Abû Abdullah Muhammad Ibn Ahmad al-Anshâri al-Qurtûbi (671 H) dalam, al-Jâmi’u al-Ahkâmi al-
Qur’ân,(Dâr al-kutub al-Ilmiyyah, Beirut Libanon), hal. 252-255.
160

membantu manusia menghadapi segala tugas dan bahkan petaka dengan tegar, tenang
dan tabah.
Penegasan ayat ini bermakna Mintalah pertolongan dengan mengukuhkan
jiwamu dengan sabar yakni menahan diri dari segala tantangan dan ujian hidup-
penulis- dan dengan shalat yakni dengan mengaitkan jiwa dengan Allah swt. Serta
mermohon kepada-Nya guna menghadapi segala kesulitan serta memikul segala
beban karena sesungguhnya yang demikian itu (shalat dan sabar).374
Sesungguhnya ia sungguh berat atau beban yang akan kamu pikul sungguh
berat kecuali bagi orang-orang yang khusu’ yaitu orang-orang yang tunduk dan yang
hatinya merasa tenteram dengan berdzikir kepada Allah. Ia juga berarti sabar dan
shalat harus menyatu sebagaimana diisyaratkan oleh penggunaan bentuk tunggal
untuk menuju keduanya (innahâ –‫إﻥﻬﺎ‬- sesungguhnya ia, bukan innahumâ - ‫إﻥﻬﻤﺎ‬-
sesungguhnya keduanya). Ini berarti ketika kita shalat atau bermohon, kita haruslah
bersabar dan ketika menghadapi kesulitanpun harus bersabar, dan kesabaran itu harus
dibarengi dengan Do’a kepada-Nya.375
Pada penafsiran ayat ini al-Qurtûbi memulainya dengan keterangan; pertama
sabar adalah menahan diri (al habsu fi al lughah) dari sesuatu yang tidak berkenan
dihati; kedua; Allah memerintah hambanya untuk bersabar dalam melaksanakan
keta’atan (al-shabru ‘ala al-Thâ’ah) sebagaimana pandangan al-Ghazali (w.505 H)
tentang sabar –penulis. Dan apabila seseorang yang telah bersabar tidak melakukan
kemaksiatan maka ia telah bersabar dalam ketaatan. Namun al-Nuhâs menambahkan
dengan mengatakan orang yang bersabar atas musibah tidak dikatakan kepadanya
sebagai penyabar (shâbirun), namun diakatakan kepadanya bersabar dalam hal ini

374
Lihat Ibn’Âsyûr, al-Tâhrir wa al-Tânwîr vol. 1 hal. 474. lihat juga al-Qurtûbi (671 H) dalam,
al-Jâmi’u al-Ahkâmi al-Qur’ân, hal. 252-255.redaksi ayatnya:
∩⊇⊃∪ 5>$|¡Ïm ÎötóÎ/ Νèδtô_r& tβρçÉ9≈¢Á9$# ’®ûuθム$yϑ¯ΡÎ)

375
Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 1 hal. 474. Bandingkan dengan penafsiran al- al-
Qurtûbi (671 H) dalam, al-Jâmi’u al-Ahkâmi al-Qur’ân, (Dâr al-kutub al-Ilmiyyah, Beirut Libanon),
hal. 252-255.
161

(shâbirun ‘alâ kadzâ), adapun sabar dalam arti yang mutlak seperti tertuang dalam
surah al Zumar [39:10].376
ketiga; penyebutan shalat disini adalah pengkhususan ibadah shalat dari ibadah
yang lain dari segi penekanan/pengulangan, disisi lain ia padu dengan kesabaran-
penulis- dan shalat disini dalam ari ta’wil menurut al-Qurtûbi adalah al-syar’iyyah,
sebagaimana dalam surah al-anfâl [8:45], al-tsabât dalam ayat tersebut adalah sabar,
dan al-dzikr pada ayat tersebut adalah do’a. Keempat; sabar dari segala keburukan
(al-adzâ) dan keta’atan menahan hawa nafsu dari pelbagai ujian dan problematika
hidup, ini merupakan akhlaqpara Nabi dan orang-orang shaleh. Berkata al-Thabari
sesungguhnya iman itu keyakinan dalam hati dan diucapkan oleh lisan dan
diimplementasikan seluruh anggota tubuh, bagi mereka yang belum mampu bersabar
dalam perbuatan dengan segala konsekwensinya,iman mereka belum kokoh (lam
yasthiqq al-îmân bi al-ithlâq). Sabar dalam melaksanakan syariat-syariat agama
merupakan pancaran sinar pada tubuh (nadhîr al-ra’s min al-jasadi li al-insâni) tidak
akan dapat sempurna kecuali dengan penunaian syariat tersebut.377
Sementara khusyu’ merupakan (sifat) ketenangan hati dan keengganannya
mengarah kepada kedurhakaan (sukûn wa inqibâdl ‘an tawajjuhi ilâ al-ibâyah aw al-
‘isyân). Yang dimaksud orang yang khusyu’ dalam ayat ini adalah mereka yang
menekan hawa nafsunya (dzullila nafsuhu wa kasru sûratihâ) dan membiasakan
dirinya menerima dan merasa tenang menghadapi ketentuan Allah (serta selalu
mengharapkan kesudahan yang baik (wa tathlubu husnu al-‘awâqib) (ber-
khusnuzhzhan kepada Allah-penulis-). Ia bukanlah orang yang terpedaya oleh nafsu
(an lâ taghtarr bimâ tuzayyinuhû al-syahwah), namun senantiasa mempersiapkan
dirinya untuk menerima dan mengamalkan kebajikan.
Orang yang khusu’ dimaksud oleh ayat adalah mereka yang senantiasa takut
lagi mengarahkan pandangannya kepada kesudahan segala sesuatu sehingga dengan

376
Al-Qurthûbi, al-Jâmi’u al-Ahkâmi al-Qur’ân, hal. 252-255.
377
Al-Qurthûbi, al-Jâmi’u al-Ahkâmi al-Qur’ân, hal. 252-255.
162

mudah ia meminta bantuan sabar yang membutuhkan tekanan gejolak nafsu dan
mudah juga baginya melaksanakan shalat kendati kewajiban ini mengharuskan
disiplin waktu serta kesucian jasmani, padahal boleh jadi ketika itu ia sedang
disibukkan oleh aktifitas (al-isytighâl) yang menghasilkan (bimâ yahwî aw bima
yuhashshilu) harta atau kelezatan (mâlan aw ladzdzah).378
Urgensitas penafsiran pada perintah shalat dan zakat ini terlihat ketika tujuan-
tujuan ideal dari shalat diterangkan secara mendetail dan rinci oleh Ibn ‘Âsyûr,
sebagaimana dia mengklasifikasikan shalat, sabar, dan khusu’ sebagai pondasi
keimanan dalam meraih kesuksesan duniawi maupun ukhrawi. Intisari penafsiran dari
ayat diatas sebagai berikut ; penekanan atas pentingnya ibadah shalat dan
keutamaannya karena ia merupakan hubungan dialog (shilah wa liqâ) antara hamba
dan Pencipta (al-Khâliq), iringan kesabaran juga merupakan satu kesatuan dengan
shalat yang tidak dapat dipisahkan, khusu’ adalah dengan membiasakan untuk
mendahulukan kewajiban kepada Allah dan memperbarui niat untuk selalu
mengharap ridha-Nya.379

2) Perintah puasa dan hikmahnya dalam surah al-Baqarah


Setelah dikemukakan panjang lebar pada sub judul pertama tentang al-Sinâm
keistimewaan/ (puncak/zahrâ’/terang benderang) surah al-Baqarah, perintah puasa
berikut ini juga terdapat pada surah al-Baqarah [2:183-186],
perintah/ajakan/panggilan mesra ini Kepada setiap orang yang memiliki iman walau
seberat apapun.380

378
lihat lebih lanjut penafsiran ayat ini dalam Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr vol. 1 hal. 478-
80. Bandingkan al-Qurtûbi (671 H) dalam, al-Jâmi’u al-Ahkâmi al-Qur’ân,(Dâr al-kutub al-Ilmiyyah,
Beirut Libanon), hal. 254-5.
379
Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 1 hal. 474.
380
Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 2, hal. 154-160 bandingkan dengan lihat penafsiran
Quraish Shihâb dalam Tafsîr al-Mishbâh, pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân, ( Lentera Hati, cet-
1 2000 M) Juz. 1. hal. 375-376.
163

Kemudian Ibn ‘Âsyûr (w. 1393 H) menjelaskan kewajiban puasa ia


merupakan Ibadah (al-râmiyah) untuk melatih dan menyucikan diri. Redaksi perintah
Diwajibkan atas kamu ini agaknya tidak menunjuk siapa pelaku yang mewajibkan.
Ini untuk mengisyaratkan apa yang diwajibkan ini sedemikian penting dan
bermanfaat pagi setiap orang/individu bahkan kelompok, yang seandainya bukan
Allah yang mewajibkannya niscaya manusia sendiri yang mewajibkannya, demikian
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbâh.381
Para pakar mendefinisikan puasa sebagai menahan diri, sebagaimana maklum
penetapan waktunya, ayat pertama menjelaskan secara global kemudian penjelasan
rinci pada redaksi ayat berikutnya sampai [2:87]. Menahan diri dibutuhkan semua
orang, kaya miskin, muda tua, lelaki perempuan, sehat atau sakit, orang modern atau
primitif masa lalu, bahkan perorangan maupun kelompok, selanjutnya ayat ini
menerangkan bahwa kewajiban yang dibebankan itu adalah, sebagaimana diwajibkan
pula atas umat terdahulu sebelum kamu. Puasa orang-orang muslim berbeda dengan
puasa orang Yahudi dan Nasrani, Budha dalam batasan dan prakteknya tidak sama.
Mereka berpuasa berdasar kewajiban yang ditetapkan oleh tokoh-tokoh agama
mereka, bukan melalui wahyu Ilahi atau petunjuk Nabi.
Pakar-pakar perbandingan agama menyebutkan bahwa orang-orang Mesir
kuno pun sebelum mereka mengenal agama samawi-telah mengenal puasa. Dari
mereke preaktek puasa beralih kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Puasa juga

381
Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 2, hal. 154-160 lihat penafsiran Quraish Shihâb
dalam Tafsîr al-Mishbâh, pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân, ( Lentera Hati, cet-1 2000 M) Juz.
1. hal. 375-376. lihat juga Lihat Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, (al
Ma'had Al-‘Â'limiy lil fikri al Islamiy, Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 142-146, ditulis bahwa
tujuan-tujuan puasa perspektif Ibn ‘Âsyûr ada dua; pertama adalah Nafsânî [ruhani] dapat mewujudkan
manfaat dalam berperilaku (al-takhalluq) menahan keinginan-keinginan yang disukai, bersabar atas
kelezatan [makanan] untuk perut dan al-farj, mengingatkan pada keadaan fakir, memantapkan
spiritualitas ruhani diri, menguatkan instink untuk senantiasa mensyukuri nikmat Allah, kedua; Jismânî
guna membiasakan dalam penyesuaian manajemen hidup (anzimat al-Ma’âsy), mengistirahatkan pola
makan (irâhah Jihâz al-Hadlmî/metabolisme tubuh)guna membangun kesehatan secara optimal.
164

dikenal dalam agama-agama penyembah bintang. Agama Budha, Yahudi, dan kristen
demikian juga.382
Ibn Nadhim dalam karyanya “al-Fahrasat” menyebutkan bahwa agama
penyembah bintang berpuasa tiga puluh hari dalam setahun, ada pula puasa sunnah
sebanyak 16 hari ada juga yang 27 hari. Puasa mereka sebagai penghormatan kepada
bulan, kepada bintang Mars yang mereka percayai sebagai bintang nasib, dan
demikian juga kepada matahari. Agama Budha dikenal puasa sejak terbit sampai
terbenamnya matahari, dan puasa empat hari dalam sebulan, mereka menamainya
“uposatha” (hari pertama, sembilan, ke lima belas, dan kedua puluh. Bagi Ibn ‘Âsyûr
penafsiran “min qablikum” sebagaiman umat sebelum kalian (Islam datang) seperti
Yahudi Puasa orang Yahudi 40 hari, dan dikenal beberapa macam puasa sebagai
bentuk penghormatan pada peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah mereka, seperti
mereka menamai puasa peleburan dosa dengan kabbûr, pada hari kesepuluh bulan
ketujuh mereka sebut dengan tisrî dll. Demikian juga dengan agama kristen.383
Ibn ‘Âsyûr (w. 1973) melihat perbedaannya bukan hanya pada praktek,
terdapat beberapa tujuan-tujuan (aghrâdlan) dari perbedaan ini: pertama;
memperhatikan perintah ibadah ini dengan niat sungguh-sungguh (dalam
pelaksanannya/ al-tanwîhi bihâ), yang telah diwajiban Allah sebelum umat muslim
tidak lain karena kemanfaatan dan kemaslahatan, serta ganjaran yang besar, karena
(ganjaran dan kebaikan didalamnya) sehingga menumbuhkan keinginan yang kuat
untuk bertemu/melaksanakan ibadah puasa ini, agar mereka tidak membeda bedakan
dengan umat sebelumnya -karena berbeda jauh-.
Tujuan kedua; kemiripan/kesamaan perintah puasa dengan umat terdahulu
sebagai bentuk peringanan terhadap (tahwînan ‘alâ) kaum muslimin (al mukallifin)

382
Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 2, hal. 154-160 lihat penafsiran Quraish Shihâb
dalam Tafsîr al-Mishbâh, pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân, ( Lentera Hati, cet-1 2000 M) Juz.
1. hal. 375-376.
383
Quraish Shihâb dalam Tafsîr al-Mishbâh, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân, ( Lentera
Hati, cet-1 2000 M) Juz. 1. hal. 375-376. bandingkan dengan Thâhir Ibn ‘Âsyûr dalam al Tâhrir wa al
Tânwîr vol. 2, hal. 157.
165

pada pelaksanaan perintah ibadah puasa ini. Tujuan yang ketiga; pengaruh yang kuat
atas (kewajiban puasa sebagaimana umat terdahulu) untuk menunaikan perintah
puasa ini dengan optimistis ( dengan do’a harapan) (biquwwah tafawwuq),
sebagaimana dilakukan umat terdahulu.384
Penjelasan tentang hikmah dari puasa ini sebagaimana redaksi yang terakhir
pada ayat [2:183], keterangan mafûl liajlih pada kalimat ‫آﺘﺐ‬, dan kalimat ‫ﻞ‬
ّ ‫ﻟﻌ‬
merupakan bentuk istiârah untuk makna “‫”آﻲ‬ ataupun bentuk tamtsîliyyah untuk
menggambarkan hikmah dari kehendak Allah atas perintah puasa yaitu menjadi
golongan orang-orang yang bertakwa. Taqwa berarti meninggalkan segala bentuk
kemaksiatan, terdapat dua kategori kemaksiatan yang harus dijauhi dalam perspektif
Ibn ‘Asyur pertama menjauhi hal-hal yang sudah maklum yang menjadikan
ketenangan/jernih dalam berfikir (yanja’ fi tarkihi al-tafakkur) seperti; minum khamr,
judi, mencuri, ghasb dll. Maka akan bermuara pada hasil yang telah dijanjikan Allah
yaitu ‘menjadi orang yang beruntung’-penulis-, dan ancaman bagi mereka yang
melakukan perbuatan tersebut. yang kedua; hal ini tumbuh dalam tabiat/karakter
manusia yaitu tumnbuhnya syahwat nafsu yang menjadikannya marah, syahwat
makan dan yang lain, yang menumbuhkan kekuatan hawa nafsu untuk berbuat
‘maksiat’. Karenanya seorang muslim mu’min hendaknya menjaga dan melindungi
dirinya dari kekuatan kadar-kadar hewani ini muncul dengan melakukan puasa

384
Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 2, hal. 156-157, bandingkan dengan penafsiran al-
Qurtûbi (671 H) dalam, al-Jâmi’u al-Ahkâmi al-Qur’ân,(Dâr al-kutub al-Ilmiyyah, Beirut Libanon) juz
2, hal. 183-184. dengan mengutip hadits Qudsi diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah:
‫ﻋ ْﻨ ُﻪ‬
َ ‫ﻲ اﻟﱠﻠ ُﻪ‬
َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻦ َأﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر‬ ْ‫ﻋ‬
َ ‫ﺐ‬
ِ ‫ﺴ ﱠﻴ‬ َ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻤ‬
ِ ‫ﻦ ا ْﺑ‬ْ‫ﻋ‬ َ ‫ي‬
‫ﻦ اﻟ ﱡﺰ ْه ِﺮ ﱢ‬ ْ‫ﻋ‬
َ ‫ﺧ َﺒ َﺮﻧَﺎ َﻣ ْﻌ َﻤ ٌﺮ‬
ْ ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ِهﺸَﺎ ٌم َأ‬
َ ‫ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ‬َ ‫ﻦ ُﻣ‬ُ ‫ﻋ ْﺒ ُﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ‬
َ ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨِﻲ‬
َ
‫ﺢ‬ِ ‫ﻦ رِﻳ‬ ْ ‫ﻋ ْﻨ َﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ِﻣ‬
ِ ‫ﺐ‬
ُ ‫ﻃ َﻴ‬ ْ ‫ف َﻓ ِﻢ اﻟﺼﱠﺎ ِﺋ ِﻢ َأ‬ُ ‫ﺨﻠُﻮ‬ ُ ‫ﺟﺰِي ِﺑ ِﻪ َو َﻟ‬ْ ‫ﺼ ْﻮ َم َﻓ ِﺈ ﱠﻧ ُﻪ ﻟِﻲ َوَأﻧَﺎ َأ‬
‫ﻦ ﺁ َد َم َﻟ ُﻪ ِإﱠﻟﺎ اﻟ ﱠ‬
ِ ‫ﻋ َﻤ ِﻞ ا ْﺑ‬
َ ‫ﺱﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َل ُآﻞﱡ‬ َ ‫ﻋ َﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ‬
َ ‫ﻲ‬
‫ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬
ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﻚ‬
ِ‫ﺴ‬ ْ ‫ا ْﻟ ِﻤ‬
Kemudian ia menjelaskan dikhususkannya ibadah puasa ini karena ia milik Allah walaupun
semua Ibadah dinisbahkan kepada-Nya, terdapat penekanan pada ibadah puasa ini, dari sekian ibadah
yang lainnya. Rahasia tersebut diantaranya; pertama; puasa dapat mencegah dan menahan kelezatan
pada diri beserta syahwatnya, hal ini tidak terdapat pada ibadah yang lain. Kedua; adanya rahasia
antara (hamba dan Tuhannya) dibalik penunaian ibadah ini yang tidak ditampakkan kecuali bagi-Nya.
Karenanya puasa dikhususkan dari sekian ibadah, yang boleh jadi dikerjakannya karena riya’ dan
dibuat-buat, sekali lagi terdapat pengkhususan ibadah puasa dari yang lain.
166

sebagaimana mestinya, lebih-lebih seperti puasanya Nabi Dawud ‘alaihi al-shalah wa


al-salam.385

Kemudian Ibn ‘Âsyûr menekankan dengan mengutip hadits Nabi “al-Sawmu


Junnah” bahwa target yang hendak idcapai adalah ketakwaan, menurut para pakar
terdahulu dari golongan (al mâliyyîn dan al-Hukamâ’u al- Isyrâqiyyîn) hikmah puasa
menurut mereka yakni meminimalisir dengan upaya penyucian dan menghindarkan
dari sifat-sifat Hewani dalam diri semaksimal mungkin (biqadri al-imkân), atas
dasar/dikarenakan dalam diri manusia mempunyai dua kekuatan; pertama ia bersifat
rohani yang melekat (rûhâniyyah munbatstsah) yaitu perasaan yang meliputi indra
manusia, kedua; Hewani yang juga melekat (hayawâniyyah munbatstsah) pada setiap
jasmani/anggota tubuh manusia. Karenanya akibat-akibat yang ditimbulkan
bersumber dari keduanya karena ketidak seimbangan antara ruhani dan jasmani,
untuk mencapai tujuan puasa yang dimaksud hendaknya menyeimbangkan makanan
(al-ghidâ’u). Kalaupun kekuatan ruhani yang dipupuk dengan menyedikitkan
makanan yang masuk, maka sifat-sifat kemalaikatan dalam diri manusia akan muncul
bahkan mencapai pengetahuan ma’rifat (mengetahui hal-hal yang tidak mampu
dicapai oleh nalar).386

385
Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 2, hal. 157. bandingkan dengan Quraish Shihâb
dalam Tafsîr al-Mishbâh, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân, ( Lentera Hati, cet-1 2000 M) Juz.
1. hal. 377. ditulis bahwa kewajiban puasatersebut dimaksudkan agar kamu bertakwa yakni terhindar
dari segala macam sanksi dan dampak buruk, baik duniawi maupun ukhrawi. Jangan diduga ia
diwajibkan kepadamu sepanjang tahun. Tidak! Malainkan hanya beberapa hari tertentu, dan
itupunmasih meliha kondisi kesehatan dan keadaan kalian, karenanya barang siapa diantara kamu
yang sakit yang memberatkan baginya puasa, atau menduga kesehatannya akan terlambat pulih bila
berpuasa atau benar-benar dalam perjalanan bukan perjalanan yang biasa yang mudah, sehingga ia
berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa pada hari-hari yang lain, baik berturut-turut maupun tidak,
sebanyak hari yang ditinggalkan itu.
386
Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 2, hal. 159
167

B. Respon akademik terhadap gagasan Maqâshid dan penafsiran Ibn ‘Âsyûr

Sebelum penulis mengemukakan pandangan dan penilaian terhadap gagasan


Ibn ‘Âsyûr, penulis menemukan satu tulisan tentang pengarang al-Tahrîr wa al-
Tanwîr secara komprehensif, dia adalah Ismaîl Hasani dengan judul Nadhariyyatu al-
Maqâshid ‘ind Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, dimana ia memaparkan sejarah
hidupnya, rihlah ilmiahnya, mulai dari gagasan pendasaran ‘Ilm Maqâshidnya dan
prinsip-prinsip penafsirannya, teman dan keluarganya, serta berbagai problematika
tentang perjalanan hidupnya, selama masa peralihan (al-Isti’mâr ilâ al-Istiqlâl al-
Siyâsî).387
Ibn ‘Âsyûr (1296-1394 H/1879-1973 M) dikelompokkan Abdul Ghoffâr
‘Abdul Rahîm dalam Abnâ madrâsâh ‘Abduh, disebutkan dalam pandangannya corak
pemikirannya dan penafsirannya sejalan dengan Muhammad ‘Abduh, Ibn ‘Asyûr
telah meringkas pendapat dari mufassir klasik dan pandangan pakar tafsir modern
(jama’a fîhi khulâshah Ârâ’i al- Sâbiqîn wa zubdatu afkâri al-Mu’âsirîn) yang
kemudian dituangkannya dalam penafsiran dengan gaya bahasa sastra (uslûb adabiy)
dan keindahan susunannya (wa taqsim ‘ala badî’). Abdul Ghofar Abdur al-Rahîm
(guru besar tafsir di Universitas al-Muluk Jeddah) membagi gagasan Ibn ‘Âsyûr
menjadi dua kesimpulan besar; pertama bahwa tujuan-tujuan (aghrâduhâ)
penafsirannya dipusatkan pada titik tolak dari petunjuk agama yang agung (al-
Qur’ân) sebagai petunjuk, sumber hukum dan sebagai upaya penyucian diri (sammû
hâdzâ al-dîn mâ sabaqahû wa uluww hadiyyati wa ushûl tathhîri al-nufûs). Kedua;

387
Lihat Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, (al Ma'had Al-
‘Â'limiy lil fikri al Islamiy, Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 75-82. dikutip dari al-Shahabiy al-
‘Atîq, al-Tafsîr wa al-Maqâshid ind Syaikh Muhammad Thâhir Ibn ‘Asyûr (Dâr Tûnis al-Sanâbil,
1410 H/1989 M) cet-1., hal. 11. Lihat juga dan baca lebih lanjut, Ayâd Khâlid Thabbâ’, ‘Ulamâu wa
Mufakkirîn Mu’âshirîn, lanmahâtu min hayâtihim wa ma’rifatun bimu’allafâtihim, (Dâr al-Qalam,
Damaskus, cet-1, 2005) hal. 7. lihat juga karya ‘Abdul Qâdir Muhammad Shâlih dalam al-Tafsîr wa
al-Mufassirûn fî al-‘Ashri al-Hadîts, ia mengelompokkan Ibn ‘Âsyûr dalam deretan pakar tafsir umum
kontemporer (tafsîr al-‘Âm), disejajarkan dengan beberapa Mufassir diantaranya Muhammad
Jamaluddin al-Qâsimî dengan karyanya Mahâsin al-Tâ’wîl, dan shafwatu al-Tafâsîr karya monumental
‘Ali al-Shâbûnî.
168

bagian yang menerangkan pokok-pokok syari’at agama sebagai pengawal dalam


implementasi kehidupan (liatbâ’ihi) dan memperbaiki aturan-aturan masyrakat secara
luas untuk mewujudkan kemaslahatan umum.388
Pandangan Abdul Ghaffâr diatas tidak seluruhnya diamini oleh penulis,
terutama pada prinsip-prinsip penafsiran, dan dasar pemikiran antara keduanya
terdapat perbedaan yang signifikan, terlihat pada aplikasi Maqâshid al-Qur’ân pada
ayat-ayat hukum surah al-Baqarah sebelum sub bab ini.389
Iffat Syarqâwi menyimpulkan bahwa metode yang digunakan Thâhir Ibn
‘Âsyûr dengan karya tafsîrnya ia kelompokkan dalam corak penafsiran dengan
nuansa modern,390 dimana Ibn ‘Âsyûr berupaya mengkombinasikan tafsir Riwâyat391
dan tafsir Dirâyat,392 cara ini dipakai pakar tafsir sebelumnya seperti; Fakhruddîn Al-
Râzi (1209 M/554 H) dalam tafsir al-Kabîr,393 Tafsir Jawâhîr karya Thântâwi
Jauharî, Tafsir al-Manâr karya Muhammad 'Abduh (w.1905 M) yang ditulis oleh

388
Disebutkan dalam pengelompokannya Musthafâ al-Marâghî, Syaikh Muhammad Syaltût,
Abdullah Darrâz, Muhammad Bâhi, Syaikh Muhammad Muhamamad al-Madanî dll. Lihat Abdul
Ghoffâr, Abdurrahîm, Al Imam Muhammad 'Abduh wa mânhâjuhu fî al tafsîr, Mesir: Al markaz Al
Arâbi li ats tsaqâfah wal ulûm, 1980, hlm 357. Bandingkan dengan apa yang ditulis oleh Abdullâh
Mahmud Syahatah dalam karyanya manhaj al-Imam Muhammad Abduh fi tafsir al-Qur’ân al-karim
(Kairo:al Majlis al a’lâli Ri’âyah al funûn wal adab wa al- Ulûm al Ijtimâ;iyyah 1963, hal. 33. dan
karyanya yang berjudul ahdâf kulli sûrah wa maqâsiduhâ fî al-Qur’ân al Karîm, (Mesir; Haiah al-
Mishriyyah, 1986), hal. 93-94.
389
Lihat prinsip-prinsip penafsiran Ibn’Âsyûr dalam al-Tâhrir wa al-Tânwîr vol. 1 hal. 38-41.
dan lihat gagasan Ibn ‘Asyur dalam peletakan dasar ilmu Maqâshid al- syarî’ah karyanya berjudul
Maqâshid al-syarî’ah al-Islâmiyyah, tahqîq Thâhir al-Maisâwi, Dâr al-Nafâis-Urdun 2001, hal. 90-93.
bandingkan dengan tafsir al-Manâr juz.1. hlm 36, lihat foot note ke-14.
390
Iffat Syarqâwi, qâdhâya insâniyyah fi ‘âmâl al-mufassirin, Mesir: maktabah Syabâb, 1980
hal 80, lihat juga uraian Ali Iyâzi tentang Ibnu ‘Âsyûr dalam al mufassirun hayâtuhum wa
manhajuhum, Mu'assah Thaba'ah wa an Nasyr wizârah al Islâmi, cet-1. hal. 240-246.
391
Tafsir Riwayat atau bi al ma’tsur adalah tafsir yang dikutip dari al Qur’an, Hadits, atsar
sahabat dan tabi’in. Lihat: Muhammad Husain al Zahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Maktabah
Mus’ab bin Umair al Islâmiyah, juz I h.112
392
Tafsir Dirâyat atau bi al-Râ’yi adalah tafsir al Qur’ân yang didasarkan pada ijtihad. Lihat:
Muhammad Husain al Zahabi, al Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz I h.183.
393
Tafsir mafâtih al-Ghayb (al-Kabir) karya al-Imam Fakhruddin al-Razi (544 H) tafsir ini
tergolong penafsiran bi al-Ra’y/dirâyah/ma’qul/bi al-ijtihad, tafsir ini mengutamakan penyebutan
hubungan antar surah-surah Al-Qur’ân dan ayat-ayatnya satu sama lain, dengan membubuhkan
pendapat para filosof, ahli ilmu kalam, sesekali menyimpang ke pembahasan tentang ilmu matematika,
filsafat, biologi dan lainnya. Secara global tafsir ar-Razy lebih pantas untuk dikatakan sebagai
ensiklopedia dalam ilmu alam, biologi, dan ilmu-ilmu yang berhubungan secara langsung atau tidak
dengan ilmu tafsir dan semua ilmu yangmenjadi sarana untuk memahaminya (tafsir ‘Ilmi)
169

muridnya Râsyid Ridhâ (1865-1935), yang ketiganya disinyalir mengembangkan


tafsir ‘ilmi, demikian juga Ibn ‘Âsyûr (fî istiâ’nah bi al-nadhariyyâh wa al-kusyûfât
al-’ilmiyyah al-haditsah fî tawdîhidalâlah wa ma’âni al-âyâh) namun urgensi dari
penelitian ilmiah ini memprioritaskan bahwa pengetahuan al-Qur’ân merupakan
pengantar sebagai kitab hidayah bagi akal kepada ketauhidan dan petunjuk hati
kepada pemantapan Iman.394
Kemudian Ibn ‘Âsyûr mengelaborasi sumber penafsirannya dengan metode
Muqârin dan corak filologik (balâghiah) penulis melihat bahwa gagasan Ibn ‘Âsyûr
berbeda dengan pandangan 'Abduh sebagaimana dinyatakan oleh ‘Abdul Ghoffâr
Abdur Rahîm. Tafsir Ibn Âsyûr juga memiliki kekhasan dengan menambahkan
penjelasan pada makna-makna mufradat (kata demi kata) dalam surah-surah dan ayat-
ayat Al Qur'ân, serta membatasi, meneliti ulang, dan menambahkan/melengkapi dari
yang telah dilakukan sebagian mufassir sebelumnya.395
Ahmad Raisuny dalam disertasinya (1995) “Nazhariyyah al-Maqâshid ind al-
Imâm al-Syâtibi” menyebutkan bahwa Ibn ‘Âsyûr tidak hanya mengelaborasi
gagasan al-Syâtibi, (laisa mujarrada taqdîm “tanbîhât jadîdah wa amtsilati jadîdah”,
ia juga memberikan terobosan baru bagi disiplin keilmuan tentang Maqâshid.
Kemudian gelar Al-Mu’allim al-Tsâni disematkan kepadanya oleh Ahmad al-

394
Komentar Golziher dalam penafsiran 'ilmi bahwa; "Al Qur'ân mencakup hal segala hakikat
ilmiah yang diungkapkan oleh pendapat-pendapat kontemporer (pada masanya), terutama pada
bidang filsafat dan sosiologi" lihat mazâhib al tafsir al Islamiy terj.dalam bahasa arab oleh 'Abd
Mun'im al Najjâr, al Sunnah Muhammadiyyah, Kairo, 1955, h. 375. lebih lanjut lihat al-Syâtibi dengan
komentarnya tentang tafsir ilmiy, muwafaqât,Dar al Ma'rifah, Beirut t.th. Jilid 2 hal. 80-2. dalam
penafsiran ilmiy Ibnu Taimiyah juga mengomentari tafsir Ar-Râzi dengan mengatakan mengandung
segala sesuatu kecuali tafsir itu sendiri. Kemudian belakangan komentar Ibnu Taimiyyah tersebut
diulangi oleh Manna' Al Qatthan yang dinisbatkan pada karya Thanthâwi Jauhari. Lihat dalam
mabâhits fi ulûm al-Qur’ân Mannâ’ Khalil al-Qaththân (Studi ilmu-ilmu al-Qur’ân), al-Mansyûrat al-
‘ashr al-hadits) cet. 3, 1973.
395
Ibn’Âsyûr, al-Tâhrir wa al-Tânwîr al-râbi’ah” hal. 8-9 Dar-el Tunisiyah linnasar. T. th. .
perbedaan terebut seperti prinsip dan penafsiranya pada ayat-ayat hokum sebagaimana penulis uraikan,
Ibn ‘Âsyur mengeksplorasi dengan teori gradual dan sementara Muhammad ‘Abduh dan Rasyîd Rihâ
menggunakan prinsip-prinsip kaidah yang tidak kurang dari 33 (kaidah) yang dituangkanya sebelum
menafsirkan sinâm al-Qur’ân atau surat al-Baqarah. Lihat foot note. 14.
170

Raisyûni, karena gagasannya dipandang menjembatani pengkajian maqâshid sebagai


pendasaran ilmu Maqâshid al-syarî’ah.396

Ibn ‘Âsyûr (w.1973 M) sebagaimana dikatakan oleh Murid Abid al-Jabiri


yaitu abdul Majîd al-Shaghîr bahwa ia telah mengumumkan (yu’linuhâ) cara pandang
sejarah ilmiah dan metodologis yang digunakan untuk penelitian dan peletakan dasar
ilmu Maqâshid al-Syarî’ah yang berbeda dengan kajian ilmu ushul al-syarî’ah
(ushûlul fiqh) yang banyak dipengaruhi pendapat al-Syatibi (w.1388 M), gagasan ini
mengelaborasi pandangan al-Syâtibi mengenai Maqâshid yang selama ini menginduk
pada ilmu ushul fiqh dengan ilmu Maqâshid al-Syarî’ah. Ibnu ‘Âsyûr melihat bahwa
peneliti yang berkecimpung pada ilmu ini membutuhkan kaidah-kaidah yang lebih
luas dari sekedar kaidah yang selama ini digunakan pakar ushul (ahwaju ilâ qawâid
awsa’ min qawâ’id ahl ushûl fiqh). Mereka yang menggunakan kaidah-kaidah ushul
dalam dalam memberikan solusi kemaslahatan dengan memberikan contoh-contoh
illat kemaslahatan problematika hukum-hukum kemudian dengan menggunakan
metode qiyas untuk mengukur kesamaan (illat), namun tidak memperhatikan esensi
dari kesimpulan hukum-hukum (hikmah al-tasyrî’) yang memungkinkan
bertumbuhnya problematika (illat-illat) hukumnya berkembang.397
Setelah melihat beberapa respon akademik dan penilaian terhadap gagasan
dan konsep yang dibangun Ibn Âsyur dari konstruksi pemikiran Islam dan tafsirnya,
paling tidak dalam prinsip-prinsip tafsirnya telah dituangkan sebelum menafsirkan
dalam mukaddimah bab IV (fîmâ yahiqqu an yakûna gharad al-mufassir) hampir dari

396
Ahmad Al Raisyuni, cet IV th 1995 hal 335-341. bandingkan dengan gagasan yang dibangun
oleh ustadz ‘Allâl al-Fâsi dalam Maqâshid al-syar’ah al- Islâmiyah wa makârimuha, Mu’assasah
‘Allâl al-Fâsi, wa mathba’ah al-Najâh al- hadîtshah (Dâr al-Baidhâ’, cet-4) 1411 H/1991 M, hlm 5.
lihat juga al-Maysâwi Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyah , hal. 139.
397
Abdul Majîd Turkî Manâzharat fî ushûl al-Syarî’ah bayna ibn Hazm dan al-Bâjî, oleh Abdul
al-Shabûr Syâhin, hal. 361,484 dan 511. lihat Maqâshid al-Syarîah al-Islâmiyah hal. 5-6. lihat juga
tahqîq dirâsah al-Mâysâwî dalam Maqâshid al Syarîah al Islâmiyah, hal. 96-99. baca juga Abdul
Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ hal. 41-43. lihat juga Ibn ‘Âsyûr
dalam ushûlu al-Nizhâm... hal. 21.
171

setiap bagiannya Ibn ‘Âsyur mengkritik terhadap pemikiran, keyakinan, dan realitas
kemasyarakatan yang menyimpang dari petunjuk Al-Qur’ân.398

C. Ibn ‘Âsyûr dan ortodoksi penafsiran Kontemporer


Sebagaimana tulisan Abdul Ghaffâr ‘Abdur Rahîm mengelompokkan Ibn
‘Âsyur dalam Abnâ’ Madrasah Abduh, namun setelah penulis menelaah dengan
seksama dari metode, corak, dan aplikasi Maqâshid al-Qur’ân dalam penafsirannya
memiliki perbedaan sebagaimana penulis sampaikan pada bab sebelumnya, namun
penulis juga menguatkan pandangan Abdul Ghaffâr disisi lain, penulis mensinyalir
bahwa Muhammad ‘Abduh dan Râsyid Ridhâ selain pernah menjadi guru Ibn ‘Asyûr
mereka [berdua] juga pioner dalam mengenalkan pendekatan metode penafsiran yang
bercorak sosial kemasyarakatan (adab al-Ijtimâ’iy), yang nampaknya dalam tafsir Ibn
‘Âsyûr juga demikian.399
Demikian juga dengan ‘Abdul Qâdir Muhammad Shâlih dalam al-Tafsîr wa
al-Mufassirûn fî al-‘Ashri al-Hadîts, ia mengelompokkan Ibn ‘Âsyûr dalam deretan
pakar tafsir umum kontemporer (tafsîr al-‘Âm), disejajarkan dengan beberapa
Mufassir diantaranya Muhammad Jamaluddin al-Qâsimî dengan karyanya Mahâsin
al-Tâ’wîl, dan shafwatu al-Tafâsîr karya monumentalnya ‘Ali al-Shâbûnî.400

398
Lihat prinsip-prinsip penafsiran Ibn’Âsyûr dalam al-Tâhrir wa al-Tânwîr vol. 1 hal. 38-41.
bandingkan dengan prinsip-prinsip Muhammad Rasyîd Ridhâ dalam tafsir al-Manâr juz.11. hlm 104.
lihat juga tilisan Mahmud Syahatah, Manhaj al-Imâm Muhammad ‘Abduh fî Tafsîr al-Qur’ân al-
Karîm, (Kairo:al-Majlis al-A’lâ li Riâyah al-Funûn wa al-adab aw al-Ulûm al-Ijtimâiyyah, 1963),
hal.45; lihat juga Quraish Shihab, Studi Kritis, hal. 74.
399
Disebutkan dalam pengelompokannya Musthafâ al-Marâghî, Syaikh Muhammad Syaltût,
Abdullah Darrâz, Muhammad Bâhi, Syaikh Muhammad Muhamamad al-Madanî dll. Lihat Abdul
Ghoffâr, Abdurrahîm, Al Imam Muhammad 'Abduh wa mânhâjuhu fî al tafsîr, Mesir: Al markaz Al
Arâbi li ats tsaqâfah wal ulûm, 1980, hlm 357. Bandingkan dengan apa yang ditulis oleh Abdullâh
Mahmud Syahatah dalam karyanya manhaj al-Imâm Muhammad ‘Abduh fi tafsir al-Qur’ân al-Karîm
(Kairo:al Majlis al a’lâli Ri’âyah al funûn wal adab wa al- Ulûm al Ijtimâ;iyyah 1963, hal. 33. dan
karyanya yang berjudul ahdâf kulli sûrah wa maqâsiduhâ fî al-Qur’ân al Karîm, (Mesir; Haiah al-
Mishriyyah, 1986), hal. 93-94.
400
Lihat lebih lanjut tulisan ‘Abdul Qâdir Muhammad Shâlih (Muhamad Shalih al-Alûsi) dalam
al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Ashri al-Hadîts, (Dâr al-Ma’rifah Beirut Libanon), cet-1. 2003 M-
1424 H, hal. 109-152. lihat juga karya al-Fâdhil Ibn ‘Asyûr dalam al-Tafsîr wa rijâluhu, (Kairo; Dâr
172

Pembahasan terpenting untuk diperhatikan mengenai rigiditas/ortodoksi


adalah bahwa ortodoksi/rigiditas kerap dihubungkan dengan dinamika sosial, politik,
dan budaya pada masa tertentu. Dengan kata lain, sebuah teori, pendekatan, atau
asumsi yang pada suatu masa tidak menjadi bagian dari ortodoksi bisa menjadi
bagian darinya pada masa yang berbeda; begitu pula sebaliknya. Pada masa mihnah
(218-234 H./833-848 M.),401 misalnya, pendapat bahwa al-Qur`ân merupakan sesuatu
yang diciptakan (makhlûq) dianggap sebagai bagian dari ortodoksi.402 Sementara
pada masa-masa berikutnya, pendapat sebaliknyalah yang dianggap ortodoks.
Demikian pula dengan metode tafsir mawdhû‘î. Pada tahun 1967, ketika Muhammad
Mahmûd Hijâzî menulis disertasinya yang kemudian diterbitkan dengan judul al-
Wihdah al-Mawdhû‘iyyah fî al-Qur`ân al-Karîm, metode tafsir Mawdhû‘î masih
ditolak oleh banyak petinggi Universitas al-Azhar.403 Belakangan, metode ini menjadi
legitimasi ortodoks tafsir Sunni.
Karya Muhammad Husayn al-Dzahabî al-Ittijâhât al-Munharifah fî Tafsir al-
Qur`ân al-Karim: Dawâfi‘uhâ wa Daf‘uhâ, Analisis terhadap karya ini untuk
menarik garis pembatas antara ortodoksi/rigiditas dengan deviasi dalam tafsir.

al-Salâm 2007) hal. 242. ia adalah putra dari Thahir Ibn ‘Âsyur yang meninggal sebelum Ibn ‘Asyur
wafat (1973) yaitu sekitar tahun 1970.
401
Mihnah adalah sebuah prosedur yang digunakan untuk menguji pendirian teologis seseorang
menyangkut persoalan: apakah al-Qur`an diciptakan (makhluq) atau tidak. Prosedur ini diberlakukan
oleh khalifah al-Ma`mûn serta dua khalifah lain setelahnya (al-Mu‘tashim dan al-Wâtsiq). Untuk detail
yang lebih rinci, lihat M. Hinds, “Mihna”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of
Islam, WebCD Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003). Pencabutan dekrit mihnah oleh al-
Mutawakkil pada tahun 234 H./848 M., berikut persekusi balasan yang dilakukan kaum tradisionalis
Sunni terhadap kaum rasionalis Muktazilah, kerap dianggap sebagai momentum paling penting bagi
terbentuknya ortodoksi Sunni. Lihat W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), hal. 253-254. Bandingkan dengan G.H.A. Juynboll,
“Sunna”, dalam C.E. Bosworth dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition. Sejak saat itu,
lawan politik dan ideologis terkuat kelompok Sunni praktis tinggal kelompok Syi‘ah. Dan tidak berapa
lama kemudian, apa yang disebut kelompok Sunni, secara sederhana, menjadi identik dengan sebuah
kelompok mayoritas di luar Syi‘ah. Lihat Jonathan P. Berkey, The Formation of Islam: Religion and
Society in the Near East, 600-1800 (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), hal. 141.
402
J. R. T. M. Peters, God’s Created Speech: A Study in the Speculative Theology of the Mu‘tazilî
Qâdhî l-Qudhât Abû l-Hasan ‘Abd al-Jabbâr bn Ahmad al-Hamadânî (Leiden: E. J. Brill, 1976), hal.
1-3.
403
Mohamed El-Thâhir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdu‘i: A
Comparative Historical Analysis” dalam Papers of the International Conference on the Qur`an and
Sunnah: Methodologies of Interpretation, hal. 126-127.
173

Melalui penafsiran-penafsiran yang dianggap menyimpang, kita bisa mengetahui di


mana batas-batas terluar dari ortodoksi sekaligus menilai apakah penyimpangan-
penyimpangan itu telah cukup terliput dalam pemetaan yang telah dilakukan pada
bagian sebelumnya.
Al-Dzahabî membagi tafsir menjadi dua: bi al-ma`tsûr dan bi al-ra`y.
Penyimpangan dalam tafsir bi al-ma`tsur terjadi akibat kesalahan pada sanadnya.
Sementara itu, sebagian besar penyimpangan dalam tafsîr bi al-ra`y terjadi dalam dua
hal berikut. Pertama, penafsir meyakini sesuatu lalu membawa lafaz al-Qur`ân untuk
mendukung keyakinannya itu. Dengan kata lain, penyimpangan ini terjadi akibat
perhatian yang terlampau besar kepada makna dengan mengabaikan lafaz. Kedua,
penafsir melakukan interpretasi terhadap al-Qur`ân dengan hanya memperhatikan
lafaznya dan mengabaikan konteksnya.404
Dari sini, dapat kita lihat bahwa al-Dzahabî mengembalikan sebagian besar
penyimpangan tafsir kepada kegagalan sang penafsir untuk mengapresiasi prinsip
orientasi tekstual (prinsip pertama) dalam tafsir al-Qur`ân. Maka ketika al-Sulamî (w.
412 H.) menyatakan bahwa perintah “uqtulû anfusakum” dalam surah al-Nisâ` [4]:
66 bermakna “memerangi hawa nafsu”,405 al-Dzahabî menganggapnya sebagai makna
yang “tidak dikehendaki” (gayr murâdah) oleh teks al-Qur`ân.406
Akan tetapi, sebagaimana telah dijelaskan di atas, orientasi tekstual itu tidak
sama dengan literalisme. Karena itu, penafsiran kata “mubsirah” dalam surah al-Isrâ`
[17]: 59 dengan makna “[unta yang] bisa melihat”, meski sah secara literal, dianggap
salah oleh al-Dzahabî lantaran ia tidak memperhatikan konteks ayat (siyâq al-
kalâm)—konteks yang sepenuhnya digali dari relasi antar bagian teks itu sendiri.
Kata “mubsirah” dalam ayat tersebut seharusnya dimaknai sebagai “bukti yang jelas
tentang kebenaran kenabian”.407

404
Al-Dzahabi, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 17-19.
405
Al-Sulami, Haqâ`iq al-Tafsîr (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), hal. 154.
406
Al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 19.
407
Al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 22. Bandingkan dengan al-Qurthubi, Al-Jâmi‘
li Ahkâm al-Qur`ân (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.) vol. 1, hal. 27.
174

Selanjutnya, al-Dzahabî menguraikan penyimpangan-penyimpangan tafsir


yang dilakukan oleh tujuh kelompok, yaitu para penutur dongeng dan kisah (al-
akhbâriyûn wa al-qushsuas), para ahli nahw yang berafiliasi kepada mazhab nahw
tertentu, orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa
Arab, kelompok Muktazilah dan Syi‘ah, kelompok Khawârij dan para sufi, para
pendukung tafsir saintifik (al-tafsir al-‘ilmî), serta para penyokong gerakan
pembaharuan dalam tafsir.
Penyimpangan yang dilakukan oleh kelompok al-akhbâriyyûn wa al-qushas
sebagian besar disebabkan oleh fakta bahwa asumsi-asumsi teologis yang terkandung
dalam penafsiran mereka itu bertentangan dengan apa yang dirumuskan dalam teologi
Sunni (bertentangan dengan prinsip ketiga. Maka ketika al-Khâzin (w. 741 H.)
mengutip sebuah kisah panjang tentang penderitaan Nabi Ayyûb dalam tafsirnya atas
surah al-Anbiyâ` [21]: 73-74,408 al-Dzahabî menyangkal kandungan kisah tersebut
dengan menulis, “Al-Qur`ân dan hadits (al-naql) telah menyatakan dengan tegas
bahwa para pemimpin pasti memiliki sifat-sifat fisik yang istimewa, yang bisa
melekatkan wibawa pada diri mereka….”409
Para penganut mazhab nahw yang fanatik, menurut al-Dzahabî, seringkali
mengorbankan riwayat yang sahih demi teori linguistik yang mereka yakini
(bertentangan dengan prinsip pertama). Al-Zamakhsyarî (w. 538 H.) dan Ibn
‘Athiyyah (w. 546 H.), dalam tafsir mereka berdua terhadap surah al-An‘âm [6]:
137,410 menolak sebuah qirâ’`ah yang mutawâtir dengan anggapan bahwa qirâ`ah

408
Al-Khâzin, Lubâb al-Ta`wîl fî Ma‘âni al-Tanzîl (ttp.: Dâr al-Fikr, tt.), vol. 3, hal. 268-273.
409
Untuk mendukung pernyataannya ini, al-Dzahabî mengutip surah al-Baqarah [2]: 247,
“Dan nabi mereka berkata kepada mereka, ‘Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thâlut menjadi
raja kalian.’ Mereka menjawab, ‘Bagaimana mungkin Thâlut memperoleh kerajaan atas kami,
sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya, dan dia tidak diberi kekayaan yang
banyak?’ [Nabi] menjawab, ‘Allah telah memilihnya [menjadi raja] kalian dan memberikan kelebihan
ilmu dan fisik.’ Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa pun yang Dia kehendaki, dan Allah
Maha luas, Maha Mengetahui”. Lihat al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 35-36.
410
Lafadz ayat tersebut adalah sebagai berikut.
öΝèδäτ!$Ÿ2tä© öΝÏδω≈s9÷ρr& Ÿ≅÷Fs% šÅ2Îô³ßϑø9$# š∅ÏiΒ 9ÏWx6Ï9 š¨y— šÏ9≡x‹Ÿ2uρ
175

tersebut bertentangan dengan mazhab nahw yang mereka anut.411 Terhadap


kecenderungan tersebut, al-Dzahabî menyatakan, “…Tidaklah layak bagi al-
Zamakhsyarî maupun bagi orang lain untuk menjadikan mazhab nahw yang dia anut
sebagai penilai kitâbullâh. [Sebaliknya], kitâbullâh adalah sumber yang harus dirujuk
dan dijadikan argumen untuk menghakimi setiap pertentangan yang terjadi di antara
para ahli nahw.”412
Diskursus penelitian tafsir yang mengkaji Maqâshid sebagai metodenya
dengan tujuan dan maksud menyingkap kehendak al-Syâri’ dibalik makna teks
perspektif Ibn ‘Âsyûr (w.1393 H), sejajar dengan pengkajian pendasaran norma-
norma hukum-hukum syari’ah dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, dalam
pandangan Ibn Âsyûr dibagi menjadi dua tingkatan; pertama; Tujuan-tujuan ideal
yang hendak dicapai dalam interaksi sosial kemasyarakatan (Maqâshid), dengan
senantiasa melestarikan dan menjaganya serta mengaplikasikannya dalam konteks
kehidupan sekarang dan akan datang. Kedua sebagai aspek perantara (wasîlah) yang
selalu mengiringi dan mengikuti keadaan dari aspek pertama (Maqâshid) diatas.413
Penafsiran dan prinsip-prinsip yang dibangun Ibn ‘Âsyûr berupaya
mewujudkan esensi dari problematika kehidupan sosial dengan tujuan-tujuan
idealnya (Maqâshid) dengan (wasîlah) sebagai perantara pada kajian selanjutnya.
Kajian mua’malah (tujuan dan segala aspeknya) diatas belum ada yang membahasnya
secara mendalam dan rinci, kecuali yang telah diadopsi, seperti kajian yang pernah
dilakukan oleh Izz al-Dîn bin ‘Abd al-Salâm dengan kaidah-kaidah-nya, dan
mengelaborasinya dengan kajian al-Qarâfî. Kemudian Ibn Âsyûr menyederhanakan
kajiannya, nampaknya disejajarkan dengan kajian Sadd Dzarî’ah (menutup celah
yang memungkinkan terbukanya pintu kedurhakaan), karena terdapat

411
Al-Zamakhsyarî, Al-Kasysyâf, vol. 2, hal. 66-67 dan Ibn ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz fî
Tafsir al-Kitab al-‘Azîz (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), vol. 2, hal. 349-350.
412
Al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 43.
413
Lihat Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islam, al-Syirkah al-
Tûnîsiyyah littawzî’ (Tunis) dan Dâr al-Wathaniyah lilkitab (al-Jazâir), 1985, hal. 21. lihat juga tahqîq
dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarîah al Islâmiyah, Dâr el Nafâis-
Urdun, 2001. hal. 413.
176

kemiripan/kesamaan, dan disebut demikian karena pencegahan bahaya sebagai


perantara dan titik awal bertumpunya untuk mencapai tujuan-tujuan ideal yang
dimaksud.414
Bagaimanapun juga Ibn’Âsyûr memiliki kekurangan sebagai mufassir disalah
satu sisi, dan tegas dalam artian tidak menolerir misalnya pada mereka yang
mengklasifikasikan ketidakrunutan tata letak surah sebagaimana dituangkannya pada
mukaddimah, salah satu sisi ini ia dapat dikategorikan pada sebuah pandangan yang
rigid, karena Ibn ‘Âsyûr tidak mengemukakan alasan-alasannya kenapa hal itu tidak
layak diperbincangkan, disisi lain merupakan kontribusi pada kajian kequr’anan
dalam wilayah tidak perlu diperdebatkan (tawqifi).415
Pada akhirnya elaborasi metode kontemporer/kontekstual dalam memahami
al-Qur’an terus berkembang sejalan dengan berkembangya informatika dan
globalisasi, mulai dengan mengklasifikasi tema-tema secara objektif, kemudian
menata, melacak, (waktu maupun tempat) dengan memotret urgensitas asbâb al-nuzûl
dalam melikat konteks turunnya ayat, (baik keumuman lafadznya maupun
kekhususan sebabnya), penelusuran kemurnian/keaslian arti linguistik, yang
kemudian dikonfirmasikan dengan karya-karya tafsir sebelumnya, sementara faham
sektarian, dan riwayat berbau isrâiliyyât harus dihindarkan.416

414
Lihat tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al-Syarîah al-
Islâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 413.
415
Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 1, hal. 8. lihat juga uraian Ayâd Khâlid Thabbâ’, ,
‘Ulamâu wa Mufakkirîn Mu’âshirîn, lanmahâtu min hayâtihim wa ma’rifatun bimu’allafâtihim, (Dâr
al-Qalam, Damaskus, cet-1, 2005) hal. 7
416
Lihat ‘Âisyah ‘Abd Al-Rahmân Bint al-Syâthi’, al-Tafsîr al-Bayâni li al-Qur’ân al-Karîm,
(Kairo, Dâr al-Ma’ârif , 1968), cet-2, Jld. 1, hal.10. lihat juga Issa J. Boulatta dalam Modern Exegesis:
A Study of Bint Shâthi’s Methods”, The Moslem World, vol. 64 (1974), hal. 107. baca juga disertasi
Ahmad Syukri Shaleh dalam, Tafsir al-Qur’ân Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahmân (GP
Press dengan Sultan Thaha Press 2007) cet-1, hal. 1-7.
177

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan

Elaborasi Maqâshid yang dibangun Ibn ‘Âsyûr (1296-


1393H/1879-1973 M) tertuang dalam beberapa karyanya
dinyatakan bahwa keterpautan antara kajian Maqâshid al-Syarî’ah
dan Pendasaran ilmu sosial kemasyarakatan Islam yang egaliter
(ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islâmi) sangat erat, kajiannya-pun
membutuhkan kaidah-kaidah yang lebih luas dari sementara
kaidah-kaidah yang digunakan pakar ushûl fiqh (ahwaju ilâ qawâid
awsa’u min qawâid ahl ushûl). Berbeda dengan kajian ilm ushûl
yang disinyalir pembahasannya tidak kembali pada esensi Hikmah
al-Tasyrî’, ia hanya berputar-putar pada problematika Istinbath
hukum dari Nash Sharîh melalui kaidah-kaidah yang digunakan
pakar (fuqahâ’) untuk beristinbath hukum, bersumber dari cabang-
cabang ataupun sifat-sifat (‘illat) hukum yang diambil dari Al-
Qur’an. Hal inilah yang disinyalir penulis mempunyai korelasi dan
keterpautan erat antara konsep Maqâshid al-Syari’ah dengan
prinsip-prinsip penafsirannya [Maqâshid al-Ashliyyah].
Secara makro, karakter/cirikhas dasar-dasar penjelasan
fiqhiyyah (yatamayyaz mu’dhami ushûl al-istidlâliyyah) bersandar
pada dugaan (al-dzann). Problematika al-Qath’iy dan al-dzannîy
sebagai dasar [parameter] perbedaan dari argumentasi-
argumentasi (Hujjiyyah), pengaruhnya terefleksi pada kajian fiqh
(alladzî in’akasa atsaruhu fî fiqh). Bertolak dari penjelasan tersebut,
Ulama fikih berupaya mengeliminir perbedaan-perbedaan
(argumentasi) sebagai dasar penegasan kaidah-kaidah/bukti-bukti
178

(al-istidlâl) pada kerangka reformulasi ilmu ushûl (fî ithâri


‘amalihim al-Tajdîdî).
Bagi Ibn ‘Âsyûr, pendasaran ilmu Maqâshid sebagaimana proyek ilmiah
yang membuka kran/jalan pada orientasi al-syar’î (Masâlik al-tafaqquh) pada
pendasaran tujuan ideal sebagai penyatuan pandangan dan gagasan teoritis para
Fuqahâ’ (al-tawhîd fî al-tashawwurât al-nazhariyyah li al-Fuqahâ’).
Kemudian Ibn ‘Âsyûr merumuskan delapan tujuan dasar (al-
Maqâshid al-ashliyyah) dari diturunkannya al-Qur`ân, yaitu
pertama; memperbaiki dan mengajarkan akidah; kedua;
mengajarkan nilai-nilai akhlak yang mulia; ketiga; menetapkan
hukum-hukum syariat; keempat; menunjukkan jalan kebaikan
kepada umat Islam (siyâsah al-ummah); kelima; memberikan
pelajaran dan hikmah dari kisah bangsa-bangsa terdahulu;
keenam; menyiapkan umat Islam untuk menerima dan
menyebarkan ajaran-ajaran agamanya; ketujuh; al-Targhîb wa al-
Tarhîb; kedelapan; membuktikan kebenaran risalah Nabi
Muhammad saw.
Melalui penilaian terhadap prinsip-prinsip tafsir Ibn ‘Âsyur dan gagasan
elaborasi Maqâshid-nya dapat diinferensikan, secara lebih spesifik beberapa poin
berikut ini; Pertama, Ibn Âsyûr merupakan pioner mufassir kontemporer, karya
tafsirnya bersifat Umum dalam artian karyanya dapat dikelompokkan pada pelbagai
jenis penafsiran klasik dengan resep modern, hal tersebut
tercermin dari segi pembahasannya yang fleksibel. Kajian
penafsirannya secara teoritis berupaya mewujudkan elastisitas
makna, dengan menghindari penafsiran yang rigid hal ini dapat
ditangkap dari asal judul kitab ini [Tahrîr ma’na al-sadîd wa Tanwîr
al-‘aql jadîd] . Pendasaran dan upaya penafsirannya (disejajarkan
179

sebagaimana membangun tatanan norma-norma sosial/ushûl al-


Nizhâm al-Ijtimâ’i) guna merealisasikan pencapaian kemaslahatan
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan berkemanfaatan secara
berkesinambungan.
Kedua, Ibn ‘Asyûr mengingatkan dengan menekankan;
hendaknya tujuan dan maksud seorang mufassir [dalam
penafsirannya] didasari pelbagai disiplin keilmuan mengenai
penafsiran kemudian diaplikasikan; dengan menjelaskan apa yang
mampu dipahaminya dari kehendak Allah dalam al-Qur`ân dengan
penjelasan sesempurna mungkin (bi atamm bayân), selaras dengan
apa yang dikandung oleh maknanya (yahtamiluhû al-ma‘nâ) dan
tidak bertentangan dengan lafaznya (walâ ya`bâhu al-lafdz).
[Penjelasan itu bisa berupa] segala sesuatu yang dapat
menjelaskan maksud dari Maqâshid al-Qur`ân, atau segala sesuatu
yang menjadi dasar bagi pemahaman yang sempurna terhadapnya,
atau apa pun yang bisa memerinci dan menjabarkan Maqâshid
tersebut.
Ketiga, Maqâshid al-Qur`ân merujuk kepada [prinsip]
keumuman dakwah serta bahwa ia merupakan mukjizat yang
abadi. Karena itu, al-Qur`ân mesti mengandung hal-hal yang bisa
dipahami oleh orang-orang yang hidup di masa penyebaran ilmu
pengetahuan, relevansi Al-Qur’ân sebagai kitab petunjuk umat
Manusia (shâlih likulli zamân wa makân) semakin kokoh dengan
pelbagai pendekatan dan pemahaman [tafsir]. Kesemuanya itu
guna tercapainya kemaslahatan umat manusia (amra al-Nâs
kâfatan), sebagai manifestasi ketentraman dan kesejahteraan
hidup yang diperuntukkan mereka [umat Muhammad] sesuai
180

dengan skenario kehendak Allah [terhadap makhluk-Nya],


(Rahmatan lahum litablîghihim murâdullâh minhum).
Pada akhirnya, kajian Maqâshid al-Qur’ân dalam perspektif Ibn
‘Âsyûr, dan perkembangan penelitiannya ini bukan saja
mengedepankan cara kerja akal dan pemenuhan rasionalitas yang
integral, namun dibalik itu juga terbersit ide-ide besarnya untuk
mewujudkan kemurnian penafsiran, dan menghindari mereka
mufassir yang tidak mengetahui tujuan penafsirannya (min al-Inhâi
man yufassiru al-Qur’ân bimâ yadda’îhî bâtinan yunâfî maqshûdu
al-Qur’ân), hematnya, bahwa yang membedakan diantara mereka
(al mufassir) adalah konsep dan prinsip-prinsip yang mendasari
penafsiran (al-Maqâshid allatî nazala al-Qur’ân libayânihâ) untuk
menyingkap tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam
penafsirannya.
Selanjutnya, suatu penafsiran (al-Mufassir) dapat kita
jangkau dan diketahui penjelasannya dari korelasi dengan tujuan
(al-ghâyah) inheren dan integrated yang hendak dicapai [mufassir]
dalam penafsirannya tersebut. Dengan kata lain, mengukurnya
melalui prinsip-prinsip penafsirannya (miqdâru mâ awfâmin al-
Maqshad wa mâ tajâwazahu). Dari sinilah pembaca dapat
membedakan mereka yang keluar dari koridor prinsip-prinsip dan
tujuan penafsirannya, dan perbedaan dari uraian dan rincian makna
tiap-tiap penafsirannya, yang kemudian mengutarakan kesimpulan
beberapa pendapat Ulama’ yang menguasai dari pelbagai disiplin
keilmuan.

B. Saran-saran/Implikasi penelitian
181

Kontribusi Ibn ‘Âsyûr bagi kajian-kajian ilmu tafsir dan pendasaran ilmu
Maqâshid masa depan tidaklah terletak pada persoalan apakah dia ortodoks atau
heterodoks, tetapi pada konsep dan gagasan teoretis yang guna mewujudkan tatanan
disiplin metodologi keilmuan yang integral. Kajiannya mampu mempengaruhi
pandangan dan pemahaman komunal cenderung primitive menjadi terbuka, elastis,
dan liberal dalam artian [tidak alergi pada disiplin keilmuan & aplikasi metode
produk barat], guna mencapai suatu kesimpulan general. Tentunya sejalan dengan
upaya mewujudkan kemaslahatan umum/makro, berkesinambungan pada tatanan
masyarakat madani, egaliter dan berperadaban secara Islami. Apa yang dilakukan
dalam penelitian ini barulah pada tahap elaborasi terhadap beberapa konsep rumusan
teoritis tersebut, dan mulai pada tahap pengembangan dan aplikasi.
Salah satu yang menarik dari gagasan Ibn ‘Âsyûr adalah konsepsinya tentang
keharusan mempertimbangkan kemaslahatan, kebebasan (Hurriyyah) dalam aplikasi
teoritisnya. Ia bertitik tolak dari lintas batas yang particular, untuk mewujudkan
makna elastis, tidak sekedar menggunakan kaidah-kaidah pakar [ahl] fiqh namun juga
mengkorelasikannya pada sebuah “nilai” atau dengan kata lain hikmah al-Tasyrî’.
Akan sangat berharga apabila dilakukan penelitian tentang bagaimana menafsirkan
sebuah tema dalam al-Qur`an melalui, pertama, pengurutan ayat-ayat tentang tema
tersebut secara kronologis, lalu, kedua, kategorisasi ayat-ayat yang bersifat general
untuk dijadikan dasar bagi penafsiran ayat-ayat lain yang lebih partikular, untuk
kemudian menghasilkan, ketiga, perumusan pandangan al-Qur`an tentang tema yang
bersangkutan melalui sebuah analisa interpretatif yang sistematis. Dengan cara
tersebut, teori Ibn ‘Âsyûr tentang tajâwaz al-manhâ al-Tajzî’î dalam memahami
norma-norma hukum syarî’ah dengan susunan yang berbeda-beda, yang kemudian
dapat diaplikasikan, dinilai, serta diuji.
Dapat dilakukan penelitian lain yang lebih aplikatif, empirik dengan model
bentuk kajian atas pengaruh gagasan Ibn ‘Âsyûr terhadap penafsiran ayat-ayat hukum
oleh para ilmuwan dan pemikir Indonesia di masa modern. Kajian tersebut menarik,
182

sebab, Indonesia posisinya [sebagai Negara berkembang], dengan masyarakatnya


yang heterogen; mulai agama, ras, suku, gerakan-gerakan dan aliran tertentu
didalamnya terakomodir dibawah naungan Republik. Karenanya, hukum Islam dapat
diterapkan lebih fleksibel, elastis dan liberal (tentunya tidak menafikan prinsip-
prinsip Hikmah Tasyrî’) melalui konsep ilmu Maqâshid al-syarî‘ah. Namun perlu
pencermatan dan evaluasi [korelasi] dari pandangan Ibn ‘Âsyûr tentang gagasan dan
pemahaman teks al-Qur`an (penafsiran), kemudian diinterpretasikan dan digunakan
dalam konteks gerakan toleransi dan pengembangan keberagamaan di Indonesia.
Mengingat Indonesia mayoritas pemeluknya adalah Islam. Agaknya tidak berlebihan
penulis mengutip pandangan Shabbir Akhtar dalam Qur’ân and The Secular Mind,
(British Library 2008, hlm. 164). Ia optimis bahwa Indonesia -dengan mayoritas
pemeluk agama Islam terbesar di dunia-, disinyalir satu-satunya Negara dan
penduduknya [diprediksi] mampu berkembang secara proaktif sinergis sejalan dengan
misi dan tujuan-tujuan Syara’ (Maqâshid al-Syarî’ah).
183

DAFTAR PUSTAKA

Abd Al-Salam, al-Imam Izzuddin, Abdullah Yahya al-Kamali "Maqâshid al syariah


fi dhâu'I fiqh al Muwâzanah” (Dar Ibn Hazm,cet 1 Beirut-Lebanon)

--------, Qawâid al-Ahkâm fî Mashâlih al-anâm, (Beirut; Lubnân Dâr al-Jîl 1980)
Abduh, Muhammad, Rasalah tawhîd, (Dar al-Ihya’ al-ulum) cet.2 1977

Abdur, Rahmân, ’Abdur Rahîm Ibn Abdullah al-Dirwisy, al-Syarâ’i’al-Sâbiqâh,


(Huqûq al-Thaba’ mahfûdzah li al-Mua’llif, Riyadh)

Abdurrâhim, ‘Abdul Ghaffar, Al-Imâm ‘Abduh wa manhajuhu fî Tafsîr, Mesir: Al


Markaz Al-Arâbi li ats tsaqâfah wal ulum, 1980

Abu Zayd, Naqd al-Khitâb al-Dînî (Kairo: Sina li al-Nashr, edisi Pertama, 1992).
Abu Zayd, Nashr Hamid, Mafhûm al-nash: Dirâsah fi ‘ulûm al-Qurân (Beirut: al-
Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, edisi II, 1994)
.
Al-Akk, Khâlid ‘Abd al-Rahmân, Usul al-Tafsir wa Qawâ‘iduhu, (Beirut: Dar al-
Nafais, cet. 2, 1986)

Ali, al-Shirâzi Abu Ishâk Ibrahîm bin syarh Luma’,ed. Abd Majîd Turki, (Dâr al-
Gharb al-Islami, 1988 vol.I

Al-Alûsi, Syihabuddîn Sayyid Mahmud, Rûh al-Ma’âni wa sab’ al-Matsâni, Idârah


thab’ah al-munîriyyah wa dâr al-Turats al-‘rabiy Beirut Libanon

Al-Âmidiy, Syaifuddîn, al-Ihkâm fî ushûl al-ahkâm, (Beirut; Dâr al-Kutub al-


‘Ilmiyah 1983)

Al-Anshari, Zakariya, Al-Hudûd al ‘Anîqah wa al Ta’rifât al Daqîqah, Beirut: Dar al


Masyari’,1425 H/ 2004 M.

Arkoun, Mohammed, “Rethinking Islam Today” dalam Mapping Islamic Studies,


[ed] Azim Nanji

Al- Atîq, al-Shahabiy, al-Tafsîr wa al-Maqâshid ‘ind Syaikh Muhammad Thâhir Ibn
‘Asyûr (Dâr Tûnis al-Sanâbil, 1410 H/1989 M)

Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur`an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2000.
184

Al-Baidhâwi dalam, Anwâr al-Tanzîl wa asrâr al-Ta’wîl, (Beirut, Dâr al-Kutub al


‘ilmiyyah 1993/ 1413 H)

Al-Bâji, Abu al-Wâlid bin khalaf, Ihkâm fushûl fî ahkâm al-ushûl, Abd Majîd
Turki,ed. (Beirut, Dar al-Gharb al-Islami, 1986)

Balbás, L. Torres dan G.S. Colin. “Al-Andalus”, dalam Bosworth, C.E., dkk. [ed.].
The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition. Leiden: Brill Academic
Publishers, 2003.

Baltâjî, Muhammad, Umar Ibn al-Khaththâb fî al-Tasyrî’, (Dâr al-Salam li al-


Thaba’a wa al-Nasyar wa al-Tawzî’ wa al-Tarjamah) cet-2, 2003 M/1424 H

Al-Banna, Gamal, tafsir al-Qur`ân al-Karim baina al-qudama’ wa al—muhadditsin,


(terjemahannya, evolusi tafsir, Qisthi Press 2004 hal 138).

Al-Bashri, Abu al-Husayn. Kitab al-Mu‘tamad fi Ushûl al-Fiqh. Damaskus: al-


Ma‘had al-‘Ilmi al-Faransi li al-Dirasat al-‘Arabiyyah, 1964.

Bausani, A. “Bab”, dalam The Encyclopedia of Islam, WebCD Edition, 2003.

Berg, Herbert. The Development of Exegesis in Early Islam: The Authenticity of


Muslim Literature from the Formative Period. Richmond: Curzon Press, 2000.

Berkey, Jonathan P. The Formation of Islam: Religion and Society in the Near East,
600-1800. Cambridge: Cambridge University Press, 2003.

Al-Biqâ‘i, Burhân al-Din Abû al-Hasan Ibrahim ibn ‘Umar. Nazm al-Durar fi Tansub
al-Ayat wa al-Suwar. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995.

Boullata, Issa.J. [ed.]. “Sayyid Qutb’s Literary Appreciation of the Qur’an”, Literary
Structures of Religious Meaning in the Qur’an. Surrey: Curzon Press, 2000.

--------, Books Reviews: Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural


Interpretation” The Muslim World 67 (1977)
--------, Modern Qur’an Exegesis’ A study of bint al-Syâti’ method’. The presents
Status of Tafsir Studies’ in The Moslem World, vol. 72, 1982

Al-Bûty, Sa’îd Ramadhân, Dhawâbit al-Maslahah fî Syarî'ah Islâmiyah (muassasah


Risalah, 1987)

Calder, Norman, “Tafsir from Tabari to Ibn Kathir: Problems in the description of a
genre, illustrated with reference to the story of Abraham”, dalam G.R.
185

Hawting dan Abdul-Kader A. Shareef [ed.], Approaches to the Qur’an


(London dan New York: Routledge, 1993)

Calder, Norman, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, dalam Farhad Daftary [ed.].
Intellectual Traditions in Islam (London: I.B. Tauris, 2000)

Dahlan, ‘Abdul ‘Aziz (editor) ”Ensiklopedia hokum Islam” (PT. Ichtiar baru van
hoeve cet-7 2006)

Darrâz, ‘Abdullah, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî‘ah. Beirut: Dar al-Kutub al-


‘Ilmiyyah, T.th.

Dirrâz, Al-Naba` al-‘Azim: Nazarat Jadidah fi al-Qur`ân. Kuwait: Dar al-Qalam, cet.
4, 1977.

Darwaza, Izzat Muhammad, al-Tafsir al-Hadîts, Beirut Dâr al-Gharb al-Islâmi, 2000,
cet-2
Dhaghâmin Ziyâd Khâlil, al-Tafsîr al-mawdhû’i wa manhajiyyah al-bahtsi Fîhi
(‘Ammân:Dâr al-‘Ammâr 2007 M)

--------, manhaj Ta’amul ma’a al-Qur’ân fi fikri syeikh Rasyîd Ridhâ,(Universitas


Kuwait, dalam Majalah al-syarî’ah wa dirâsat al-Islâmiyyah).

Duski. “Metode Penetapan Hukum Islam Menurut al-Syatibi”: Suatu Kajian tentang
Konsep al-Istiqrâ` al-Ma‘nawî”. Disertasi pada Program Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006.

Al-Dzahabi, Muhammad Husein, Al-Tafsir wa al-Mufassirûn, juz I, (T.tp.: Mush’ab


bin Umar: 2004)

Dzirikli, Khayr al-Din Al-A‘lam: Qâmus Tarâjim li Asyhar al-Rijâl wa al-Nisâ` min
al-‘Arâb wa al-Musta‘ribin wa al-Mustasyriqin, vol. 1 (Beirut: Dar al-‘Ilm li
al-Malayin, cet. 9, 1990)

Al-Farmawi, Abd Hayy, “al Bidâyah fi Tafsir al Maudu'I” Kairo, al- Haharah al-
arabiah, cet. Ke-2, 1977

Al-Fâsî, Ustadz ‘Allâl, Maqâshid Syarî’ah Islâmiyyah wa Makârimuhâ, Maktabah


Wihdah al-‘Arabiyyah, al-Dâr al-Baidhâ’ 1963

Fayyûmi, Ahmad dalam al-Misbah mu’jam Arab-arabi (Beirut Maktabah Lubnân,


1990
Fierro, Maribel. “Al-Shatibi”, The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition, 2003.
186

Gätje, Helmut. The Qur'ân and Its Exegesis: Selected Texts with Classical and
Modern Muslim Interpretations, terj. Alford T. Welch. Oxford: Oneworld
Publications, 1997.

Al-Gharmawiy, Ahmad, al-Islâm fî ‘ashr al-‘ilmiy, Dâr al-Kutub al-haditsah al-


Sa’âdah, Kairo, 1978

Ghazali, A. Muqsith. “A Methodology of Qur`anic Text Reading”, dalam ICIP


Journal, vol. 2, no. 4, Agustus 2005.

Al-Ghazâli, Abu Hâmid, Al-Mustashfâ min ‘Ilm al-Ushûl, Beirut: Mu`assasah al-
Risalah, 1997.
--------, al-Mankhûl min ta’lîqât al-Ushûl edt. Muhammad Hasan Haytu (Dar al-Fikr
Damaskus, 1980)
--------, Jawâhir al-Qur’ân wa Duraruhu (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988),
cet. Ke-1
--------, Syifâu al-Ghalîl fî bayâni al-Syibhi wa al-makhîl wa masâlik al-ta’lîl tahqîq
Ahmad al-Kubaysî (Baghdad Mathba’ah Irsyâd 1971/1390 M)

Al-Ghazâli, Muhammad, Nahw Tafsîr Mawdhû‘i li Suwar al-Qur`ân al-Karim.


Kairo: Dar al-Syuruq, cet. 3, 1997.

Goldziher, Ignaz. Madzâhib al-Tafsir al-Islami, terj. ‘Abd al-Halim al-Najjar. Kairo:
Maktabah al-Sunnah al-Muhammadiyyah, 1955.

Grunebaum, G.E. von. “I‘djaz”, dalam The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition,
2003.

Günther, Ursula. “Mohammed Arkoun: “Towards a radical rethinking of Islamic


thought”, dalam Suha Taji-Farouki [ed.]. Modern Muslim Intellectuals and the
Qur’an. Oxford: Oxford University Press, 2004.

Al-Hafanawi, Muhammad Ibrahim. Dirâsat fi al-Qur`ân al-Karîm Kairo: Dar al-


Hadits, T.th.
Hallaq, Wael B. “A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul
al-Fiqh”. Cambridge: Cambridge University Press, 1997.
Hamadah, Farûq, Madkhal ilâ ulûm al-Qur’ân wa al-tafsîr, Maktabah al-Ma’ârif,
Rabat Marroco, 1997
Hammâdi Al- 'Ubaidi, Ibn Rusyd wa 'ulûm al-Syarî’ah al Islâmiyah, (Dar el Fikr al-
'Arabi-Beirut).
Hans Whr, a Dictionary of Modern Written Arabic (Beirut Maktabah Lubnân, 1980),
cet. Ke-3
Hasan, Muhammad Ali, al-Manâr fî ulûm al-Qur’ân, Dâr al-Arqâm, cet-I, amman
187

Hasani, Ismail. Nadzâriyyah al Maqâshid ind imâm Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr,
cet-1 th 1995

Hawwa, Sa’îd, al-‘Asâs fî tafsîr, (Dâr al-Salâm li al-Thabâ’ah wa al-Nasyar wa al-


tawzî’) cet.6, 1424 H-2003 M

Hayyân, Abû (w. 745 H) dalam, al-Bahru al-Muhîth,(Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, cet-1
2001/1422 H)Hawting, G.R dan Abdul-Kader A. Shareef [ed.], Approaches to
the Qur’an (London dan New York: Routledge, 1993)

Hidayat, Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (Teraju Jakarta) cet.II 1996

Hijâzi, Muhammad Mahmud, al-wahdat al-mawdhû’iyyah fî al-Qur’ân al-Karîm,


(Zaqâziq: Dâr al-tafsir, 1424 H/ 2004

Ibn ‘Âsyûr, (tahqiq) Muhammad Thâhir Al-Maisâwi, Maqâshid al syaria'h Al


Islâmiyah, (Dar al Nafais Urdun, cet-2 2001)
--------, Alaisa al-Shubhu Biqarîb, (Dar-el Tunisiyah li al-Nasyar dan Dâr al-Salâm,
cet-1 2006 M/1428).
--------, al-Harakah adabiyyah wa al-Fikriyyah fî Tunis, (Kairo; Nasyr Ma’had al-
Dirâsah al-‘Arabiah)
--------, “ Al-Tahrîr wa at-Tanwîr” (Dar-el Tunisiyah linnasar. T. th).
--------, Ushûl Nidhâm al-Ijtimâ’î, (Dâr al-Suhnûn li al-Nasyar wa al-Tawzî’ 2006)

Ibn ‘Âsyûr, Muhammad al-Fâdhil, al-Tafsîr wa Rijâluhu, (Dâr Tûnisiyyah li al-


Nasyr)
--------, Tarâjum al-a’lâm (Dâr Tunisiyyah li al-Nasyr)
--------, Kasyfu al-Mughtî ‘an al-Maânî wa al- alfâdz al-Wâqi’ah fî al-
Muwatha’(Syirkah al-Tunisiyyah li al-Tawzî’, 1976

Ibn ‘Atiyah, Muharrar al-Wajîz fî al-Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, tahqîq ‘Abdul al-Salâm
‘Abd al-Syâfî Muhammad (Beirut, Dâr al-Kutub al ‘ilmiyyah 1993/ 1413 H)

Ibn al-‘Arabi, Abû Bakar, Ahkâm al-Qur’ân, (tahqîq ‘Ali Muhammad al-Bajâwî,
(Beirut; Dâr al-Ma’rifah)

Ibn al-Qayyim, Miftâh al-Dâr al-Sa’âdah wa Mansyûrah wilâyah al-‘Ilm wa al-


Idârah, (Mesir, Mathba’ah al-Sa’âdah) 1323

Ibn al-Qayyim, Syamsu al-Dîn Abû Abdillah Muhammad bin Abi Bakar, I’lâm al-
Mu’awwiqîn ‘an Rabb al-‘âlamîn, tahqîq ‘Abd Rauf Saîd, (Maktabah
Kulliyyah al-Azhariyah 1967)
188

Ibn Khaldûn , al-Muqaddimah (Beirut; Dâr al-Fikr T.th)


Ibn Manzhûr (Abû Fadl Jamâluddîn Muhammad ibn Mukrim) (w. 117 H) “Dâr Lisân
al-Arab” (Beirut:Libanon)

Ibn Rabî’ah, ‘Abdul Azîz bin ‘Ali ‘Abd ar-Rahmân ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’
(Riyadh, Maktabah Muluk Fahd al-Wathaniyyah atsnâ al-Nasyr, cet-1 2002 )

Ibn Taimiyyah, al-Fatawa ( al Ribath; Maktabah Maâ’rif) 32/324. baca juga al-Qiyâs
fî al Tasyrî’al-Islâmi, (Beirut, Libanon,; Dâr al-âfâq al-jadîdah) cet-4 1980

Ibn Taimiyyah, I’lâm al-Muwaqqiîn ‘an Rabb al-‘Alamin, tahqîq Muhammad


Muhyiddin ‘abd al-Hamîd (Beirut Libanon, Dâr al-Fikr, Mah’baah al-
Sa’âdah).

Ibn Taimiyyah, Muwâfaqât al-sharîh al-Ma’qûl li shahîh manqûl, Cairo 1321.

Ibn, Sa’ad, Thabaqât al-Kubrâ, t.th. jld.5

Ikhwan, Muhammad Nur Kritik Kontemporer Atas Pemikiran Islam: Wacana Baru
Filsafat Islam, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003)

Iyazi, Ali, Al-Mufassirun Hayâtuhum wa Manhajuhum, Mu'assah Thaba'ah wa an


Nasyr wizârah al Islâmi, cet-1,1373 H.

J.M.S Baljon, Modern Muslim Interpretation Leiden,: E.J.Brill 1968

Al-Jâbiri, ‘Abid, “Nahnu wa al-Turats Qirâ’ah Mu’âsirah fî turâtsinâ al-Falsafî”,


(Casablangka:al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1986)
--------, ‘Abid, Bunyâh al-‘Aql al-‘Arâbi: Dirâsah Tahliliyyah Naqdiyyah li Nuzum
al-Ma‘rifah fi al-Tsaqâfah al-‘Arâbiyyah (Beirut: al-Dar al-Bayda`, cet. 7,
2000)
--------, ‘Abid, Muhammad ‘Âbid al-Jâbiri, Wijhâh al-Nazâr (Beirut: Markaz Dirâsat
al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1994), cet. 4
--------, ‘Abid, Turats wa al-Hadatsah Dirâsah wa al-Munâqasah (Beirut, Markaz al-
Tsaqafî al-‘Arabi, 1991)

Jansen, J.J.G, Diskursus Tafsir al-Qur’ân Modern, Tiara wacana, Yogyakarta, 1997
--------, The Interpretation of the koran in modern Egypt, Leiden,: E.J.Brill 1974)

Johnston, David, “A Turn in the Epistemology and Hermeneutics of Twentieth


Century Usûl al-Fiqh”, dalam Islamic Law and Society, Edisi 11, No. 2, Juni
2004
189

Al-Juwayni Abû al-Maâ’lî, al-Burhân fî ushûl al-fiqh, tahqiq Abd al-‘Azîm al-Dayb,
(Mesir, Dâr al-Anshar 1400) cet-2

Kahhalah ‘Umar Ridha, Mu‘jam al-Mu`allifin: Tarâjim Musânnifi al-Kutub al-


‘Arâbiyyah, vol. (Beirut: Dar Ihyâ` al-Turâts al-‘Arâbi, 1957)

Kamalî, S.A.Abu Kalâm Azad’s Commentary on The Qur’ân’, in The Moslem world,
vol. 49, 1959

Al-Kaylânî, ‘Abd al-Rahmân Qawâ‘id al-Maqâshid ‘Inda al-Imâm al-Syâtibi, al


Ma'had Al a'limiy lil fikri al Islamiy 1421 H/2000 M

Khâlid, ibn ‘Utsman al-Sabt, ”Qawâ ‘id al-Tafsir Jam‘an wa Dirâsatan” (Kairo: Dar
Ibn ‘Affan, 1421 H.)

Al-Khâlidî, Shalâh ‘Abd al-Fattah, Al-Tafsir al-Mawdû‘î bayna al-Nazariyyah wa al-


Tatbîq

Makhluf, Husain, Syajarat al-Nûr al-Zakiyyah fî thabaqât al-Mâlikiyyah, (Beirut:Dâr


al-Kitab al-’Arabiy, cet, 1, 1349 H

Makhlûf, Louis, Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam (Beirut Dâr al-Masyriq, 1986) cet.
Ke-28

Al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghi, (Syirkah maktabah wa mathba’ah musthafâ libâb al


hilabi wa aulâduh Mesir) cet-1, 1946 M-1365 H

Meftah, Jilani Ben Touhami, “Al-Fahm al-Hadatsi li al-Nash al-Qur`ânî: Âyata al-
Mîrats Namûdzajan Tatbîqiyyan” dalam Buhûts Mu`tamar Manâhij Tafsir al-
Qur`an al-Karim wa Syarh al-Hadîts al-Syarîf (Kuala Lumpur: Dept. of
Qur`an and Sunnah Studies, Kulliyyah of IRKHS, IIUM, 2006)

Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, [Yogyakarta: Rake Sarasin2000] .


Al-Munawwar, Said Agil Husain, Al-Qur’ân membangun Tradisi Kesalihan Hakiki,
(Ciputat Pers Jakarta, cet-1 2002)

Naim, Abdullah Ahmed versi (terj.) "Dekonstruksi Syariah" (LKis Yogyakarta cet.
IV 2004)

Nasuhi, Hamid, Dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan
Disertasi), Jakarta: CeQDA Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, ,
2007 M.
190

Al-Qaradhâwi, Yusuf, Dirâsah fî fiqhi Maqâshid al syarî’ah baina al Maqâshid al


kulliyah wa al nushûs al juzi’yah ( Kairo, Dâr al Syurûq cet. I 2006 )

--------, Kaifa nata’âmal ma’a al-Qur’ân, diterj. Oleh (gema Insani Press. Cet 1 1999)
Al-Qarâfi, Syarh tanqîh al-fushûlfî ikhtishâri al-Mahsûl, (Kairo Mesir; Dâ al-Fikr
Lithaba’ah wa tawzi’wa al-nasyr 1973/1393 H) cet-1

Al-Qaththân Mannâ’ Khâlîl, mabâhits fî ulûm al-Qur’ân, Mu’assasah al-Risâlah,


Beirut, 1983

Qutb, Sayyid, Fî Zilâl al Qur’ân, (Dar Ihya al Kutub al Arabiyah, t.th).

Rahman, Fazlur, Islam and Modernity (University of Chicago Press, 1984)


--------, the Major Themes of The Qur’ân, Minneapolis: Bibliotheca Islmamica, 1994.

Al-Raisyuni, Ahmad. Nadzâriyyah al Maqâshid ind imâm Al Syatiby, cet IV th 1995

Al-Râzi, Muhammad Fakhruddîn, al-Mahsûl fî ilm ushûl al-fiqh, tahqîq Tahâ Jâbiri
Fayâdh Alwâni (Mathbû’at Jâmiah al-Imam Muhammad Ibn Saûd al
Islâmiyyah) cet-1.
--------, Tafsîr Mafâtih al-Ghayb (al-Fakhru al-Râzi) , (maktabah al-tawtsîq wa al-
dirâsât fî Dâr al-Fikr, cet. 1, 2005)

Ridhâ, Muhammad, Rasyid, Al-Wahyu al Muhammady, (Mesir: Az zahro li al-I’lam


al-Araby 1988)
--------, Tafsir al Manâr, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1420 H/ 1999 M.
--------, Tafsir al-Qur’ân al-Hakim, (Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, 1999) cet. 1

Rippin, Andrew, Muslims; Their Religious Beliefs and Practices, Vol II, (New York;
Routledge; 1995)

SG.Vesey- Fitzgerald, "Nature and Sources of the Shari'a" dalam Law in the middle
East, Khadduri- Liebensny, T.th.

Al-Shabûniy, Muhammad Ali, al-Tibyân fî ulûm al-Qur’ân, Maktabah al-Ghazâli


Damaskus 1401 H

Shadr, Baqr, Ijtihâd wa al-tajdîd fî fiqh al-Islâmiy (Beirut: Mu’assasah al-Dauliyyah


cet.1 1419 H/1999 )
--------, al-Sunan al-Târîkhiyyah fî al-Qur’ân (Beirut: Dâr al-Ta’âruf li al-Mathba’ât)

Shâlih, ‘Abdul Qâdir Muhammad, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Ashri al-


Hadîts,(Beirut; Dâral-Ma’rifah, 2003, T.th)
191

Shihab, M. Quraish, Membumikan al Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam


Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2006)
--------, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000
--------,Rasionalitas Al Qur’an, Studi Kritis atas Tafsir al Manar”, Jakarta: Lentera
Hati1428 H/ 2007 M.

Sumaih, Imrân Nazzâl, al-wahdat al-Târîkhiyyah li al-suwar al-Qur’ânîyyah,


(‘Ammân:Dâr al-Qurrâ’ 1427 H/2006 M)

Al-Suyûthi, Jalâluddîn Abdur Rahmân al-itqân fî ulûm al-qur’ân (Beirut; Maktabah


al-Tsaqafiyyah, 1973 )
--------, Bughyah al-Wu’ât fî thabaqât al-lughawiyyîn wa al-Nuhat, tahqîq Abû Fadl
Ibrâhîm, (’Isa al-Bâb al-Halabî 1384 H cet-1)
--------, Lubâb al-Nuqûl fi asbâb al-Nuzûl (Dar Tunisiyyah li al-Nasyr Tunis 1981)

Al-Syâfi'I, Abu Abdullah Muhammad bin Idris, al-Risâlah tahqîq Ahmad


Muhammad Syâkir, (Kairo, cet-2 1979)
--------, Al-Umm, (Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariah 1961)

Syahâtah, ‘Abdullâh Mahmûd Bashâ`ir Dzawî al-Tamyîz fî Lathâ`if al-Kitâb al-‘Azîz,


Ahdâf Kulli Sûrah wa Maqâsiduhâ fî al-Qur`ân al-Karîm (Kairo: al-Hay`ah
al-Mishriyyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, cet. 3, 1986)
--------, “Muqâtil ibn Sulayman: Dirâsah ‘an al-Mu`allif”, Al-Asybah wa al-Nadhâ`ir
fî al-Qur`ân al-Karîm (Kairo: Al-Hay`ah al-Misriyyah al-‘Ammah li al-Kitab,
cet. 2, 1994)

Syahrûr, Muhammad, al Kitab wa al Qur’an: Qirâ’ah Mu’asirah ( Damaskus: al


ahali li al Tiba’ah wa al Nasyr wa al Tawzi’, 1990)

Syaltût, Mahmud tafsir al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo: Dâr al –Syurûq, 1988), cet-11.
--------, al-Islam ‘Aqidah wa al-Syari'ah’ (Matbaah al-Azhar-Kairo 1951)
--------, min Hadyi al-Qur’ân (Dar al-Kutub al-‘arabiy li al-Thaba’ah wa al-Nasyr)
--------, ilâ al-Qur’ân al-Karîm (Kairo; al-Idarah al-‘Ammah li al-Tsaqafah al-
Islamiyyah, t.th.)

Syamsuddîn, Muhammad Syaikh Mahdi, al-Ijtihâd fî al-Islam, majalah Ijtihâd (Dâr


al-Ijtihâd Beirut)1411/1990

Al-Syârâwî, Mutawalli, Tafsir al-Sya’râwi, (Dâr akhbâr al-Yaum, Mesir 1991)

Syarifuddîn, Amir, Ushûl Fiqh, (penerbit Logos, cet-1 1997)

Syarqâwi, Ahmad Muhammad, al-wahdat al-mawdhû’iyyah li al-Qur’ân al-Karîm,


192

Syarqâwi, Iffat, Qâdhâyâ Insâniyyah fi ‘amal al mufassirin, mesir: maktabah Syabâb,


1980

Al-Syâtibî, Abû Ishâk, al-I’tishâm tahqîq Muhammad Rasyîd Ridhâ.


--------, al-Muw^afaqât fî ushûl al-Syarî’ah, dhabt wa ta’lîq Abdullâh Darrâz, (Beirut;
Dâr al-Ma’rifah t.th)

Al-Syirbashi Ahmad, Qisshah al-Tafsîr, (Qisshah Tafsir, (Kairo: Dâr al-Kalaâm,


1962)

Al-Thabarî, Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr Jâmi’ al-Bayân ‘an ta’wîl ayy al-
Qur’ân, tahqiq Ahmad Mahmûd Muhammad asyakir (Dâr al-Ma’arif, Mesir)

Thabbâ’, Ayâd Khâlid, ‘Ulamâu wa Mufakkirîn Mu’âshirîn, lanmahâtu min


hayâtihim wa ma’rifatun bimu’allafâtihim, (Dâr al-Qalam, Damaskus, cet-1,
2005)

Al-Thahâwî, Musykil Atsar, jld. 3, hlm. 186. lihat juga komentar Fuat Sezgin dalam
Târikh Turats ‘Arabiy

Thanthâwi, Muhammad Sayyid, al-Tafsîr al-Wasîth, (Nahdhah Mishr, Mesir cet-1


Januari 1997)

Al-Tirmidzî, âbu ‘Abdullah al-Hakim, as-Shalâh wa Maqâshidihâ, tahqîq Husni


Nasrun Zaidan, Dâr el Kitâb al-‘Arabiy Mesir, 1965.

Turkiy, Abdul Majid, Manâdharat fî ushûl al-Syarî’ah bayna ibn Hazm dan al-Bâjî,
(Beirut Dâr al-Gharb al-Islamiy cet. 1414 H/ 1994)

Ubaidi, Hammâdî dalam Ibnu Rusyd wa al-ulûm al-syarî’ah al-Islâmiyah,( Dar-el


Fikr al-Arabiy, 1991)
Ursula Günther, “Mohammed Arkoun: ”towards a radical rethinking of Islamic
thought”, dalam Suha Taji-Farouki [ed.], Modern Muslim Intellectuals and the
Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004)

Ushama, Thameem, Metodologies the Qur’anic Exegesis, terj. Hasan Bashri dan
Amroeni, Riora Cipta, Jakarta, 2000

Wafiq, Sonia, “Manhaj al-Tafsir al-Mawdhû‘i wa al-Hâjah ilayh”, Buhûts Mu`tamar


Manâhij Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm wa Syarh al-Hadîts al-Syarîf

Al-Wâjidi, Muhammad Farid, al-Mushaf al-Mufassar (Kairo: Mathâbi Dâr al-Sya’b,


1977), hal. 95.
193

Watt, W. Montgomery, Bell’s introduction to the Qur’ân, (Edinburgh University


Press, Edinburgh, 1977)

Yunus Mahmud, Kamus Arab- Indonesia (Jakarta:Hidakarya, 1990)

Yusuf Hamid Al-Alim, Al-Maqâshid al-‘Âmmah li al-syariah Islâmiyah, (Darul


Hadits, Cairo)

Zafzaf, Muhammad, al-Ta’rîf bi al-Qur’ân wa al-hadits, Maktabah al-Falâkh, Kuwait


1984

Al-Zamakhsari al-Kasysyâf, (Dâr al-Kotob al-‘Ilmiyyah, 1995-1415 H)

Al-Zarkasyi, Imam Abdullah, al-burhân fî ulûm al-Qur’ân , (Mesir, Dâr al- Ihyâ al-
kutub al-‘arabiy), 1957

Zarqâni Al-, Muhammad ‘Abdu al-Adhîm Manâhil al-Irfân fî ulûm al-Qur’ân,


(Kairo:Dâr al-Hadits, 2001)

Al-Zuhaili, Wahbah, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj,


(Dâr al-Fikr Mu’âsir, Beirut Libanon)

http://www.saaid.net/bahoth/65.zip
http://www.hadielislam.net
http://www.tafseer.com
http://www.waqfeya.com
http://www.dar el-nafaes.com
194

Anda mungkin juga menyukai