Anda di halaman 1dari 17

10.

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN


Definisi Penyidikan Pajak
Bagi Wajib Pajak yang tidak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya
dengan baik dan benar, maka salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah,
khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selaku badan yang memiliki kewenangan
dibidang perpajakan secara konsisten akan melakukan tindakan penyidikan di bidang
perpajakan kepada Wajib Pajak. Penyidikan merupakan suatu proses keberlanjutan dari
proses pemeriksaan yang mengindikasi adanya bukti permulaan. Bukti permulaan itu
sendiri merupakan suatu keadaan, benda, ataupun bukti yang dapat memberikan petunjuk
atas adanya suatu tindak pidana perpajakan. Dengan adanya pengumpulan dari bukti dan
petunjuk-petunjuk lainnya dapat membuat suatu tindak pidana di bidang perpajakan
menjadi lebih jelas atau ditemukan titik terangnya sehingga dapat membantu petugas
yang berwenang dalam penyidikan untuk menemukan tersangka dari kasus tindak pidana
perpajakan.
Apabila bercermin pada Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP), khususnya pada Pasal 1 angka 31 menjelaskan bahwa penyidikan
pajak atau lebih tepatnya disebut dengan penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan
merupakan suatu rangkaian tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh penyidik untuk
dapat mencari dan mengumpulkan bukti-bukti yang kuat. Kegiatan penyidikan atas
tindak pidana dibidang perpajakan ini dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dalam Undang-Undang (UU) Hukum Acara Pidana. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pengertian penyidikan pajak yaitu proses penyidikan, yang bertujuan untuk
mengumpulkan bukti petunjuk tambahan, yang berfungsi untuk proses kelancaran
pembayaran pajak dari wajib pajak.
Perlu diketahui oleh wajib pajak bahwa kegiatan penyidikan ini merupakan salah
satu agenda penting dalam bidang perpajakan. Maka dari itu berdasarkan ketentuan
tersebut maka wajib bagi wajib untuk patuh dan mendukung proses kelancaran
penyidikan terhadap pajak. Wajib bagi wajib pajak untuk membantu kelancaran jalannya
proses dan kegiatan yang dilakukan oleh petugas pemeriksaan pajak. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan membantu kelancaran proses penyidikan, tidak menyembunyi bahan
bukti penyidikan pajak dan membantu penyidikan dengan memberikan informasi yang
dibutuhkan. Pada kegiatan penyidikan ini segala pencarian akan ditik beratkan pada
penemuan dan pengumpulan barang bukti, yang dapat membantu dalam proses penemuan
kegiatan pidana dalam bidang perpajakan.
Sesuai dengan ketentuan pada KUHAP atau UU Hukum Pidana, penyidikan
termasuk salah satu rangkaian agenda penyidik yang dilakukan untuk pengumpulan bukti
untuk menemukan titik terang dan tersangka dari tindak pidana tersebut. Terdapat subjek
yang dikenakan risiko ancaman tindak pidana pajak ini, yaitu:
a. Wajib pajak
b. Petugas pajak
c. Pihak ketiga yang membantu penyelesaian baik dalam proses, sebelum atau sesudah
kegiatan pidana pajak ini terjadi
Tujuan dari Penyidikan Pajak
Direktorat Jenderal Pajak melakukan penegakan hukum dibidang perpajakan
dengan menjadikan proses penegakan hukum ini sebagai upaya terakhir. Hal ini
disebabkan karena Undang-Undang pada dasarnya memberikan kesempatan bagi Wajib
Pajak yang melakukan kesalahan dibidang perpajakan, baik sengaja maupun tidak
sengaja untuk dapat memperbaiki, membetulkan, dan mengungkapkan
ketidakbenarannya tersebut terkait pelaporan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT). Maka,
apabila Wajib Pajak tidak menggunakan kesempatannya dalam melakukan perbaikan
SPT ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan melakukan proses penegakan hukum,
berupa pemeriksaan atau penyidikan. Penegakan hukum dibidang perpajakan ini harus
dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan tujuan:
1. Agar aktivitas penerimaan pajak dapat berjalan dengan baik dan lancar.
2. Memulihkan kerugian atas pendapatan negara.
3. Memberikan efek jera kepada pelaku penyelewengan pajak dan efek gentar kepada
calon pelaku penyelewenang pajak.
4. Memberikan keadilan dan kepastian hukum dengan menjunjung tinggi nilai
integritas.
Dasar Hukum Penyidikan Pajak
Tentunya sudah diketahui bahwa dalam bidang perpajakan memiliki ketentuan
dan aturan yang bersifat mengikat. Hal tersebut menjadi salah satu dasar dan acuan, yang
dapat digunakan oleh semua pihak yang berkepentingan dalam bidang perpajakan.
Sehingga nantinya dapat memiliki standar dan rambu rambu yang sama, dalam proses
penyelesaian kegiatan dalam bidang perpajakan. Penyidikan pajak juga menjadi salah
satu kegiatan resmi dalam bidang perpajakan. Maka dari itu terdapat standar dan dasar
hukum, yang mengatur mengenai kegiatan ini. Berikut ini adalah dasar hukum
pelaksanaan kegiatan penyidikan pajak:
1. UU No. 6 Tahun 1983
Dasar hukum terkait pelaksanaan kegiatan penyidikan pajak secara resmi
diatur dalam UU KUP atau UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Kegiatan
Perpajakan. Secara khusus diatur dalam pasal 1 dan ayat 31. Dalam ayat tersebut
secara jelas menerangkan bahwa penyidikan tindak pidana pajak atau penyidikan
pajak merupakan salah satu rangkaian proses dan kegiatan dalam bidang perpajakan.
Dimana dalam prosesnya tindakan ini dilakukan oleh seorang penyidik pajak, yang
bertujuan dalam pengumpulan bukti yang bersifat kuat. Sehingga dapat diketahui
bahwa kegiatan penyidikan terhadap tindak pidana ini dapat dilakukan sesuai dengan
ketentuan hukum, yang berlaku di dalam UU (Undang-Undang) hukum acara pidana.
2. UU No. 28 Tahun 2007
Selain itu ketentuan mengenai kegiatan penyidikan pada pajak juga diatur
dalam UU ini, tepatnya pada pasal 43A - pasal 44B. Dimana dalam pasal tersebut
secara jelas menerangkan adanya kegiatan penyidikan pajak, yang bertujuan untuk
kelancaran penerimaan negara dari wajib pajak.
3. UU No. 11 Tahun 2022
Selanjutnya terdapat UU No. 11 Tahun 2022 mengenai Cipta Kerja yang di
dalamnya memuat mengenai aturan dan dasar penyidikan pajak tersebut. Dijelaskan
bahwa penyidikan pada pajak ini termasuk salah satu proses keberlangsungan dari
hasil pemeriksaan pajak. Dimana hal ini dilakukan untuk tujuan penerimaan bukti
lanjutan dari bukti permulaan, yang akan digunakan untuk membuktikan adanya
tindak pidana dalam bidang perpajakan.
Asas-Asas Hukum dan Norma Penyidikan
Asas-asas hukum yang berlaku termasuk :
1. Asas Praduga Tak Bersalah adalah bahwa setiap orang yang disangka dituntut atau
dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan
hukum tetap
2. Asas persamaan di muka hukum adalah bahwa setiap orang mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dimuka hukum tanpa perbedaan
3. Asas Hak memperoleh bantuan/penasehat hukum adalah bahwa setiap tersangka
perkara tindak pidana di bidang perpajakan wajib diberi kesempatan memperoleh
bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan
pembelaan atas dirinya sejak dilakukan pemeriksaan terhadapnya
Norma Penyidikan
1. Dalam melakukan tugasnya penyidik pajak harus berlandaskan kepada ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, KUHAP dan hukum pidana yang berlaku
2. Penyidik pajak sebagai penegak hukum wajib memelihara dan meningkatkan sikap
terpuji sejalan dengan tugas, fungsi, wewenang serta tanggung jawabnya
3. Penyidik pajak harus membawa tanda pengenal pajak dan surat perintah penyidikan
pada saat melakukan penyidikan
4. Penyidik dapat dibantu oleh peetugas pajak lain atas tanggung jawabnya berdasarkan
izin tertulis dari atasannya
5. Penyidikan dilaksanakan berdasarkan Laporan Bukti Permulaan dan Surat Perintah
Penyidikan
6. Penyidik pajak dalam setiap tindakannya harus membuat Laporan dan Berita Acara
Kewenangan dalam Proses Penyidikan Pajak
Dengan mengacu pada Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang KUP, terdapat 11
wewenang penyidik dalam menjalankan tugasnya:
1. Berwenang dalam mencari, menerima, mengumpulkan, serta meneliti hal-hal yang
berkaitan dengan keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana dibidang
perpajakan.
2. Penyidik berwenang dalam melakukan penelitian, pencarian, dan pengumpulan
keterangan terkait orang pribadi atau badan yang mendukung kebenaran dalam
perbuatan yang dilakukannya terkait tindak pidana perpajakan.
3. Melakukan permintaan yang berkaitan dengan keterangan dan bahan bukti yang
berasal dari orang pribadi atau badan terkait dengan tindak pidana dibidang
perpajakan.
4. Berwenang untuk melakukan pemeriksaan terkait buku, catatan, serta dokumen
lainnya yang berkenaan dengan tindak pidana dibidang perpajakan.
5. Berwenang dalam kegiatan penggeledahan dalam tujuan untuk mendapatkan bahan
bukti pencatatan, pembukuan, serta dokumen lainnya, dan berwenang melakukan
penyitaan terhadap barang bukti tersebut.
6. Berwenang untuk melakukan koordinasi atau meminta bantuan kepada tenaga ahli
dalam melaksanakan tugas penyidikan.
7. Berwenang meminta seseorang untuk berhenti atau meninggalkan ruangan atau
tempat yang bersangkutan saat berlangsungnya proses pemeriksaan dan berwenang
memeriksa identitas dari orang, benda, atau dokumen yang dibawanya.
8. Berwenang untuk melakukan pemotretan terhadap seseorang yang berkaitan dengan
tindak pidana dibidang perpajakan.
9. Berwenang untuk melakukan pemanggilan orang sebagai tersangka atau saksi untuk
dimintakan keterangannya.
10. Berwenang untuk menghentikan proses penyidikan.
11. Berwenang untuk melakukan tindakan lainnya demi kelancaran penyidikan.
Selain itu, petugas penyidik juga diwajibkan untuk memberitahukan kepada
penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atas
dimulainya proses penyidikan dan menyampaikan hasil dari penyidikannya sesuai
dengan aturan yang berlaku dalam UU Hukum Acara Pidana. Penyidik juga berwenang
melakukan kolaborasi dengan Polri, Kejaksaan, serta Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) dengan tujuan untuk memberikan keadilan dan kepastian
hukum yang menjunjung tinggi nilai integritas. Tak hanya itu, dukungan dari Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan lembaga perbankan
juga diperlukan agar penegakan dari hukum pidana ini berjalan efektif.
Kegiatan Penyidikan
1. Penyidikan tindak pidana perpajakan dilaksanakan berdasarkan surat perintah
penyidikan yang ditandatangani oleh Dirjen Pajak atau Kepala kantor Wilayah DJP
2. Penyidik memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil
penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur undang-undang hukum
acara pidana yang berlaku
3. Untuk menambah atau melengkapi petunjuk dan bukti permulaan yang sudah ada,
penyidik pajak berwenang memanggil tersangka, saksi, atau saksi ahli melalui surat
panggilan. Dalam hal yang dipanggil tidak ada di tempat maka surat panggilan
diterimakan kepada keluarganya atau ketua RT atau ketua RW atau Kepala Desa atau
orang lain yang dapat menjamin bahwa surat panggilan tersebut akan disampaikan
kepada yang bersangkutan
4. Apabila tersangka atau saksi atau saksi ahli tidak memenuhi panggilan tanpa alasan
yang patut dan wajar atau menolak untuk menerima dan menandatangani surat
panggilan, kepadanya diterbitkan dan disampaikan panggilan kedua. Apabila masih
bersikap sama maka penyidik pajak dapat meminta bantuan Polri untuk
menghadirkan yang bersangkutan
5. Sebelum penyidikan dimulai, penyidik pajak harus memberitahukan kepada
tersangka hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari penasehat hukum serta
menjelaskan apa yang disangkakan kepadanya dengan jelas dan dalam bahasa yang
dimengerti
6. Apabila Saksi diperkirakan tidak dapat hadir pada saat persidangan maka
pemeriksaan terhadapnya dilakukan terlebih dahulu diambil sumpahnya oleh
penyidik pajak
7. Apabila tersangka atau saksi dikhawatirkan akan meninggalkan wilayah Indonesia
maka penyidik pajak dapat segera meminta bantuan kepada Kejaksaan Agung untuk
melakukan pencekalan
8. Dalam melakukan penyidikan penyidik pajak harus memperhatikan asas hukum dan
norma penyidikan yang berlaku
Alur Penyidikan Pajak
Salah satu tindak lanjut pemeriksaan bukti permulaan adalah proses penyidikan.
Merujuk Pasal 1 angka 31 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP),
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang
dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti. Proses penyidikan
bertujuan untuk menemukan bukti dan tersangka yang melakukan tindak pidana dalam
bidang perpajakan. Proses pelaksanaan penyidikan dijelaskan pada Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ/2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyidikan Tindak
Pidana di Bidang Perpajakan. Proses penyidikan pajak terdiri dari tujuh tahapan, yaitu:
1. Persiapan Penyidikan
Pada tahap ini dilakukan penerbitan Surat Perintah Penyidikan (SPRINDIK) dan
penerbitan Surat Pemberitahuan dimulainya Penyidikan (SPDP).
2. Penindakan dan Pencegahan
Dalam tahap penindakan dan pencegahan dilakukan beberapa kegiatan yaitu
pemanggilan tersangka, sanksi dan/atau ahli, penangkapan dan/atau penahanan,
penggeledahan dan penyitaan.
3. Pengolahan Barang Bukti
Pada tahap ini penyidik melakukan pengelompokan, penyortiran, penyimpanan
hingga pengembalian barang bukti.
4. Pemeriksaan Tersangka dan Saksi
Pemeriksaan tersangka dan saksi adalah serangkaian tindakan penyidik untuk
mendapatkan keterangan, kejelasan, dan kecocokan tersangka dan/atau saksi dan/atau
barang bukti maupun tentang unsur-unsur tindak pidana di bidang perpajakan yang
telah terjadi, sehingga kedudukan atau peranan seseorang, Barang Bukti, maupun
unsur-unsur tindak pidana di bidang perpajakan menjadi jelas.
5. Laporan Kemajuan Pelaksanaan Penyidikan
Penyidik membuat laporan kemajuan yang dilakukan secara periodik satu bulan
sekali. Laporan kemajuan juga dapat disusun Ketika ada tindakan tertentu sebagai
dasar pelaksanaan gelar perkara.
6. Pemberkasan
Penyidik menyerahkan Berkas Perkara, Tanggung Jawab Tersangka dan Barang
Bukti kepada Jaksa/Penuntut Umum, melalui Penyidik POLRI sesuai ketentuan yang
berlaku
Penghentian Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan
Dengan mengacu pada UU KUP Pasal 44A, menyatakan bahwa penyidikan dapat
dihentikan prosesnya apabila tidak ditemukan cukup bukti atau peristiwa yang menjamin
hal tersebut termasuk kedalam tindak pidana dibidang perpajakan. Selain itu, apabila
peristiwa tersebut sudah kadaluwarsa atau tersangkanya dinyatakan meninggal dunia,
maka proses penyidikan dapat diberhentikan. Ada beberapa alasan yang membuat
penyidikan akhirnya dihentikan oleh PPNS, antara lain:
a. Wajib pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan.
b. Pengungkapan ketidakbenaran tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan
pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasinya.
c. Tidak terdapat cukup bukti.
d. Dalam proses penyidikan, diketahui bahwa peristiwa/perbuatan yang dilaporkan
bukan merupakan tindak pidana perpajakan.
e. Demi hukum.
Selain itu, pertimbangan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan juga dapat dilakukan oleh Kejaksaan Agung. Hal ini diatur dalam Pasal 44B
Ayat (1) UU HPP. Aturan tersebut, menyebutkan bahwa untuk kepentingan penerimaan
negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu enam bulan sejak
tanggal surat permintaan. Namun, upaya penghentian penyidikan sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 44B Ayat (1) UU HPP dapat dilakukan apabila telah memenuhi
beberapa ketentuan sebagai berikut.
1. Wajib pajak atau tersangka melunasi kerugian pada pendapatan negara yang
disebabkan karena kealpaan dalam mengisi SPT, ditambah dengan sanksi
administratif berupa denda sebesar satu kali jumlah kerugian pada pendapatan negara.
2. Wajib pajak atau tersangka melunasi kerugian pada pendapatan negara yang tertuang
dalam Pasal 39 UU KUP, ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar
tiga kali jumlah kerugian pada pendapatan negara.
Sebagai informasi, Pasal 39 UU KUP menyebutkan bahwa ancaman pidana
dapat dijatuhkan pada wajib pajak yang melakukan salah satu dari beberapa
pelanggaran sebagai berikut:
a. Tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
b. Tidak menyampaikan SPT.
c. Menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak
lengkap.
d. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar.
e. Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan pembukuan, pencatatan, atau
dokumen lainnya.
f. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.
Jika salah satu atau beberapa pelanggaran ini dilakukan, dan menimbulkan
kerugian pada negara, maka wajib pajak dapat dipidana dengan penjara selama-
lamanya tiga tahun dan/atau denda setinggi-tingginya sebesar empat kali jumlah
pajak yang terhutang yang kurang atau yang tidak dibayar.
3. Wajib pajak atau tersangka melunasi jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti
pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39A UU KUP. Pelunasan ini ditambah dengan
sanksi administratif berupa denda sebesar empat kali jumlah pajak dalam faktur pajak,
bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
Seperti diketahui, Pasal 39A UU Nomor 28 tahun 2007 menyebutkan, bahwa
sanksi pidana dapat dijatuhkan pada wajib pajak yang melakukan salah satu
pelanggaran sebagai berikut:
a. Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi
yang sebenarnya.
b. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak (PKP).
Jika wajib pajak melakukan salah satu dari pelanggaran yang telah disebutkan
dalam Pasal 39 UU KUP, maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat
dua tahun dan paling lama enam tahun. Selain itu, wajib pajak juga dihadapkan
dengan sanksi denda. Jumlahnya, minimal dua kali, dan maksimal enam kali, dari
jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak,
dan/atau bukti setoran pajak.
Berdasarkan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 55/PMK.03/2016,
Pasal 6, 7, dan 8 menyatakan bahwa Menteri Keuangan dapat menyusun surat permintaan
penghentian penyidikan apabila Menteri Keuangan menyetujui permohonan penghentian
atas proses penyidikan yang diajukan oleh Wajib Pajak. Namun, untuk penghentian
proses penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan tidak dapat dilakukan oleh Jaksa
Agung apabila perkara pidana tersebut telah dilimpahkan kepada pengadilan. Dan
penghentian atas tindak pidana hanya dapat dilakukan apabila Wajib Pajak telah melunasi
utang pajak yang tidak atau kurang dibayarkan atau yang tidak seharusnya dikembalikan.
Selain itu, penghentian proses penyidikan juga dapat dilakukan apabila Wajib Pajak telah
membayar sanksi administrasi berupa denda 4 kali lipat dari jumlah pajak yang tidak atau
kurang dibayarkan, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.
Contoh Kasus Penyidikan Perpajakan
Seperti yang diketahui bahwa akhir-akhir ini terdapat kasus Rafael Alun
Trisambodo menghebohkan publik selama dua minggu terakhir. Bermula dari pamer
gaya hidup dan penganiayaan yang dilakukan sang anak, Mario Dandy Satrio, harta
Rafael pun menjadi sorotan. Rafael yang merupakan sebelumnya menjabat Kabag Umum
Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Selatan II harus menghadap Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Pegawai eselon III tersebut menjadi sorotan karena memiliki harta dalam jumlah
yang fantastis yakni Rp 56,10 miliar. Namun, tidak hanya itu, KPK dan Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan adanya dugaan tindakan
pencucian uang yang masif. Bahkan, informasi terakhir, PPATK menemukan transaksi
Rp 500 miliar dari 40 rekening terkait dengan Rafael. Hingga saat ini, publik pun masih
menanti kelanjutan dari kasus ini karena KPK berjanji akan memanggil kembali Rafael.
Di luar kasus ini, masyarakat sebenarnya sudah berulang kali mendapatkan kisah
kasus pajak sebelumnya. Bahkan, beberapa di antaranya merupakan kasus sindikat besar.
Untuk itu, berikut merupakan contoh 10 kasus pajak yang pernah terjadi di Indonesia.
1. Gayus Tambunan
Kasus Gayus berawal dari laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) mengenai jumlah kekayaannya yang fantastis. Kasus tersebut
mencuat pada tahun 2009. Gayus yang saat itu pangkatnya masih golongan IIIA
memiliki kekayaan sekitar Rp 100 miliar. Padahal gajinya saat itu hanya Rp 12,1 juta
per bulan. Atas temuan PPATK tersebut, Bareskrim Polri melakukan penyidikan pada
Oktober 2009. Kasus Gayus kemudian dikembangkan lebih jauh termasuk membidik
atasannya hingga orang-orang yang membantunya. Tak kurang ada 27 nama yang
terseret kasus Gayus dan menegaskan banyaknya mafia pajak di DJP. Gayus dan
dengan dibantu rekannya melakukan praktek makelar yakni memanipulasi laporan
keuangan perusahaan agar pembayaran pajaknya lebih kecil. Kasus Gayus membuat
stigma pegawai pajak sangat negatif di masyarakat.
2. Angin Prayitno
Kasus Angin Prayitno mencuat pada sekitar 2021, saat itu Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan surat penyidikan atas pejabat pajak
tersebut. Saat itu, Mantan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan pada Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) tahun 2016-2019 tersebut akhirnya menjadi tersangka setelah
dinyataan terlibat tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji terkait dengan
pemeriksaan perpajakan tahun 2016-2017. Bersama Awang, KPK juga menetapkan
lima tersangka lain termasuk Dadan Ramdani selaku Kepala Subdirektorat Kerjasama
dan Dukungan Pemeriksaan pada DJP dan Ryan Ahmad Ronas selaku konsultan
pajak.
Angin diduga menerima suap dan gratifikasi mencapai Rp 50 miliar dari tiga
perusahaan, yaitu PT Jhonlin Baratama, PT Gunung Madu Plantations, dan PT Bank
Pan Indonesia (Panin). Deretan orang yang terlibat dalam pusaran suap Angin
semakin panjang setelah KPK menangkap Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
Pratama di Bantaeng, Sulawesi Selatan, Wawan Ridwan pada November 2021.
Tersangka lain yang terseret kasus ini adalah Alfred Simanjuntak yang menjabat
sebagai Ketua Tim Pemeriksa pada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan pada
Direktorat Jenderal Pajak.
3. Dhana Widyatmika
Kasus pajak terbesar ketiga melihatkan pegawai pajak Dhana Widyatmika.
Kejaksaan Agung menahan Dhana pada Maret 2012 atas dugaan penerimaan
gratifikasi senilai Rp 2,5 miliar atas kepengurusan utang pajak PT Mutiara Virgo.
Dhana juga didakwa melakukan pemerasan dan pencucian uang. Oleh Pengadilan
Tipikor Jakarta, Dhana divonis hukuman penjara tujuh tahun pada November 2012.
Dia kemudian melakukan banding ke Mahkamah Agung tetapi hukumannya malah
diperberat menjadi 10 tahun.
4. Abdul Rachman
KPK menangkap Supervisor Tim Pemeriksa Pajak KPP Pare, Abdul Rachman
atas dugaan suap dari pihak pembangunan Jalan Tol Solo-Kertosono. Dia diduga
menerima imbalan sebesar Rp 1 miliar untuk menyetujui restitusi pajak yang diajukan
Tri Atmoko (TA) selaku Kuasa Joint Operation China Road and Bridge Corporation
(CBRC) yang terdiri dari PT Wijaya Karya, dan PT Pembangunan Perumahan. Kasus
hukum Abdul Rachman masih berlangsung dan belum diputuskan vonis
5. Bahasyim Assifie
Bahasyim divonis 10 tahun penjara oleh hakim di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan pada Februari 2011. Majelis hakim menilai Bahasyim melakukan korupsi
dengan menerima suap dari wajib pajak Kartini Mulyadi senilai Rp 1 miliar saat
dirinya menjadi Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII DJP
pada Februari 2005. Majelis hakim juga memerintahkan harta kekayaan Bahasyim
yang diduga berasal dari hasil korupsi senilai Rp 61 miliar dan US$ 681.153 disita
untuk negara.
6. Tomy Hindratno
Tommy terciduk Operasti Tangkap Tangan (OTT) KPK saat menangani kasus
pajak PT Bhakti Investama pada 2013 silam. Tommy diyakini menerima suap sebesar
Rp 280 juta. Oleh Pengadilan Tipikor Jakarta,Tommy dihukum 3,5 tahun penjara.
Dia naik banding dan malah mendapat tambahan hukuman lebih panjang yakni 10
tahun oleh Mahkamah Agung.
7. Eko Darmayanto dan Muhammad Dian Irwan Nuqisra
Eko dan Dian divonus sembilan tahun penjara pada Desember 2013.
Keduanya terbukti menerima suap sebesar S$ 600 ribu untuk pengurusan pajak PT
The Master Steel, menerima Rp 3,250 miliar terkait pengurusan pajak PT Delta
Internusa, dan sebesar US$ 150 ribu untuk pengurusan kasus pajak PT Nusa Raya
Cipta (NRC).
8. Handang Soekarno
Handang terciduk OTT KPK apda November 2016. Tim Satgas KPK juga
menyita uang berupa dolar Amerika Serikat yang setara dengan Rp 1,139 miliar.
Handang dijatuhi hukuman 10 tahun penjara setelah terbukti bersalah menerima suap
Rp 1,9 miliar dari Direktur PT EK Prima Ekspor Indonesia (EKP) Ramapanicker
Rajamohanan Nair.
9. Pargono Riyadi
KPK menangkap Penyidik Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta
Pusat Pargono Riyadi dan pengusaha Asep Yusuf Hendra pada 9 April 2013. Pargono
dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara karean terbukti memeras wajib pajak dalam
pengurusan pajak pribadi Asep.
10. Kasus Pajak Dealer Jaguar-Bentley
KPK menahan empat pegawai pajak yang terlibat dalam kasus pajak PT
Wahan Auto Ekamarga (WAE) pada Oktober 2019. Keempat pegawai pajak tersebut
adalah Yul Dirga (Kepala Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Tiga,
Kanwil Jakarta Khusus), Hadi Sutrisno (Supervisor Tim Pemeriksa Pajak PT WAE
di Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Tiga), dan Jumar dan M Naim
Fahmi (ketua dan anggota tim pemeriksa pajak PT WAE). Pegawai pajak tersebut
diduga meneripa suap restitusi pajak PT WAE senilai 5,3 miliar pada 2015 dan Rp
2,7 miliar pada tahun pajak 2016. Dalam dakwaan, mereka terbukti menerima
US$96.375 dari Komisaris PT WAE Darwin Maspolim. PT WAE adalah perusahaan
penamaman modal asing yang memiliki bisnis dealer hingga servis berbagai merek
mobil ternama dari Jaguar, Bentley, Land Rover, hingga Mazda.

11. STUDI KASUS


Berikut merupakan contoh hasil pemeriksaan Wajib Pajak tahun 2020 yang
diperoleh data-data sebagai berikut:
1. Mutasi debet dan mutasi kredit rekening koran dan buku kas:
No Nama Bank dan Buku Kas Debet (Rp) Kredit (Rp)
a Bank:
1. Bank A 50.000.000 75.000.000
2. Bank B 35.000.000 50.000.000
3. Bank C 30.000.000 25.000.000
b Buku kas 85.000.000 75.000.000
Jumlah 200.000.000 225.000.000
Penambahan kas/bank yang bukan merupakan penghasilan:
No Nama Transaksi Jumlah (Rp)
a Mutasi antar rekening dan setoran Wajib Pajak 46.000.000
sendiri
b Pencairan pinjaman 45.000.000
c Penggantian biaya 5.000.000
Jumlah 96.000.000

2. Kredit pajak yang dipotong/dipungut dari pihak lain:


No Nama Transaksi Jumlah (Rp)
a PPh Pasal 23 Sewa Kendaraan 165.000
b PPh Pasal 22 Bendaharawan Pemerintah 225.000
Jumlah 390.000

3. Kutipan sebagian Neraca Komparasi Wajib Pajak per 31 Desember yaitu sebagai
berikut:
Tahun Pajak
No Uraian
2020 (Rp) 2019 (Rp)
Harta
a Piutang Usaha Pihak Ketiga 15.000.000 10.000.000
b Tanah dan Bangunan 170.000.000 160.000.000
c Aktiva Tetap Lainnya 115.000.000 111.000.000
d Dikurangi: Akumulasi 50.000.000 49.000.000
Penyusutan

Kewajiban dan Ekuitas


a Uang Muka Pelanggan 10.000.000 5.000.000
b Pendapatan Ditangguhkan 20.000.000 15.000.000
Terdapat piutang Wajib Pajak yang dibayar dengan utang (offset) kepada pembeli
yang sama sebesar Rp19.610.000,00.

4. Penghasilan bruto yang dilaporkan di SPT PPh Badan Wajib Pajak (dalam Rp):
1. Peredaran usaha = 90.000.000
2. Penghasilan dari luar usaha:
a) Sewa kendaraan = 11.000.000
b) Keuntungan penjualan aktiva mesin = 1.000.000
3. Penghasilan yang dikenakan PPh Final:
a) Jasa Giro = 1.000.000
103.000.000

5. Data pada SPT Masa PPN Wajib Pajak (dalam Rp):


Terutang PPN
Uraian Jumlah (Rp)
1. Penerimaan
a. Tunai
1) Penerimaan kas dan bank
2) Penerimaan non penghasilan/non objek: 200.000.000
a) Mutasi antar rekening sendiri -/- (46.000.000)
b) Pencairan pinjaman -/- (45.000.000)
c) Penggantian biaya yang PM -/- (5.000.000)
telah dikreditkan
(96.000.000)
b. Non Tunai
1) Bupot PPh 23 sewa kendaraan +/+ 165.000
2) Bupot PPh 22 Bendaharan diterima +/+ 225.000
3) Piutang yang dilunasi dengan +/+ 19.610.000
utang (offset)
20.000.000
124.000.000
2. Akrual
a. Saldo awal piutang usaha -/- (10.000.000)
b. Saldo akhir piutang usaha +/+ 15.000.000
c. Saldo awal uang muka pelanggan +/+ 5.000.000
d. Saldo akhir uang muka pelanggan -/- (10.000.000)
e. Saldo awal pendapatan ditangguhkan +/+ 15.000.000
f. Saldo akhir pendapatan ditangguhkan -/- (20.000.000)
(5.000.000)
Penghasilan bruto akrual termasuk PPN 119.000.000
PPN dipungut sendiri:
1. PPN dipungut sendiri pada SPT Masa PPN WP 9.000.000
2. PPN dipungut sendiri yang tidak ada aliran uang
masuk ke kas/bank dan PPN dipungut sendiri
yang difakturkan antar waktu:
a. PPN atas pemberian cuma-cuma dan sampel (1.250.000)
b. PPN atas pemakaian sendiri (850.000)
c. PPN atas penggantian biaya yang difakturkan (500.000)
d. PPN atas penyerahan antar cabang (400.000)
e. PPN penyerahan tahun sebelumnya yang (500.000)
difakturkan tahun ini *)
f. PPN penyerahan tahun ini yang difakturkan 1.000.000
tahun berikutnya *)
(6.500.000)
Penghasulan bruto menurut Pemeriksa 112.500.000
Penghasilan bruto menurut SPT PPh Badan:
1. Peredaran usaha = 90.000.000
2. Penghasilan sewa kendaraan = 11.000.000
3. Keuntungan penjualan aktiva mesin = 1.000.000
4. Nilai buku penjualan aktiva mesin = 4.000.000
5. Penghasilan jasa giro = 1.000.000
(107.000.000)
Koreksi penghasilan bruto 5.500.000
*) PPN Dipungut Sendiri yang berasal dari faktur pajak yang dibuat tidak sesuai dengan masa
dilakukannya penyerahan perlu dipastikan tahun pajaknya sesuai ketentuan yang berlaku.

Koreksi ini harus dibuktikan dengan pengujian lainnya apakah peredaran usaha, penghasilan
dari luar usaha, atau tambahan kemampuan ekonomis lainnya.

Ekualisasi Dalam Rangka Menguji Penyerahan BKP/JKP


Berdasarkan bukti yang ada dan hasil pengujian arus uang dan utang piutang tersebut
diperoleh keyakinan bahwa koreksi adalah merupakan peredaran usaha yang kurang
dilaporkan, berikutnya Pemeriksa Pajak melakukan pengujian penyerahan objek PPN dengan
teknik ekualisasi untuk memastikan jumlah penyerahan yang terutang PPN dengan
penghitungan sebagai berikut:
Uraian Jumlah (Rp)
1. Peredaran usaha menurut Pemeriksa Pajak *) 95.500.000
2. Ditambah:
a. Pemberian cuma-cuma dan sampel +/+ 12.500.000
b. Pemakaian sendiri +/+ 8.500.000
c. Penggantian biaya telah difakturkan +/+ 5.000.000
d. Penyerahan antar cabang +/+ 4.000.000
e. Penyerahan tahun sebelumnya yang
Difakturkan tahun ini +/+ 5.000.000
f. Saldo akhir uang muka penjualan +/+ 10.000.000
g. Saldo akhir pendapatan ditangguhkan +/+ 20.000.000
h. Penghasilan sewa kendaraan +/+ 11.000.000
i. Harga jual aktiva mesin +/+ 5.000.000
Jumlah 81.000.000
3. Dikurangi:
a. Penyerahan tahun ini yang difakturkan
tahun berikutnya -/- (10.000.000)
b. Saldo awal uang muka penjualan -/- (5.000.000)
c. Saldo awal pendapatan ditangguhkan -/- (15.000.000)
Jumlah (30.000.000)
Jumlah penyerahan seluruhnya 146.500.000
Penyerahan non BKP/JKP 0
Penyerahan BKP/JKP menurut Pemeriksa Pajak 146.500.000
Penyerahan BKP/JKP menurut Wajib Pajak 141.000.000
Koreksi Penyerahan BKP/JKP 5.500.000
*) Sesuai hasil pemeriksaan peredaran usaha.
DAFTAR PUSTAKA

CNBCIndonesia.com. 2023. 10 Kasus Pajak Terbesar Sepanjang Sejarah RI, Siapa Nomor 1?.
Tersedia pada https://www.cnbcindonesia.com/news/20230309163335-4-420353/10-
kasus-pajak-terbesar-sepanjang-sejarah-ri-siapa-nomor-1 (diakses tanggal 26 Juli
2023).
Indrawulan, Triana. 2023. Alur Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Tersedia
pada https://ortax.org/alur-penyidikan-pidana-pajak (diakses tanggal 26 Juli 2023).
Jatmiko, Agung. 2022. Mengenal Proses Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan. Tersedia
pada https://katadata.co.id/agungjatmiko/ekonopedia/6293b669b6039/mengenal-
proses-penyidikan-tindak-pidana-perpajakan (diakses tanggal 26 Juli 2023).
Pertapsi.or.id. 2021. Mengenal Definisi dan Tujuan Penyidikan di Bidang Perpajakan.
Tersedia pada https://pertapsi.or.id/mengenal-definisi-dan-tujuan-penyidikan-di-
bidang-perpajakan (diakses tanggal 25 Juli 2023).
Priantara, Diaz. 2011. Kupas Tuntas Pengawasan, Pemeriksaan, dan Penyidikan Pajak. 02.
Jakarta : PT Indeks. ISBN : 978 979 062 109 1.
Proconsult.id. 2022. Penyidikan Pajak: Tujuan, Kasus dan Dasar Hukum. Tersedia pada
https://proconsult.id/penyidikan-pajak/ (diakses tanggal 26 Juli 2023).
Sandra. 2021. Mengenal Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Tersedia pada
https://www.pajakku.com/read/60f13fde58d6727b1651ad78/Mengenal-Penyidikan-
Tindak-Pidana-di-Bidang-Perpajakan (diakses tanggal 25 Juli 2023).

Anda mungkin juga menyukai