Anda di halaman 1dari 8

ETIKA KEDOKTERAN & PATIENT SAFETY

Prof.Dr.dr. Muhammad Ilyas, Sp.Rad (K)


Departemen Radiologi, FK-UNHAS

Introduksi
Etik (Ethics) berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti akhlak, kebiasaan,
watak, perasaan, sikap, yang baik dan layak. Menurut kamus kedokteran, etika adalah
pengetahuan tentang perilaku yang benar dalam suatu profesi. Profesi (professio
berarti pengakuan) merupakan pekerjaan yang memerlukan pendidikan dan latihan
tertentu, memiliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat seperti ahli hukum,
dosen, dokter, apoteker dan lainnya. Etik profesi merupakan seperangkat perilaku
anggota profesi dalam hubungannya dengan orang lain
Etik profesi kedokteran mengatur perilaku para dokter dan dokter gigi dalam
hubungannya dengan pasien, keluarga, masyarakat, teman sejawat dan mitra kerja.
Rumusan perilaku para anggota profesi ini disusun oleh organisasi profesi bersama-
sama pemerintah menjadi suatu kode etik profesi yang bersangkutan. Kode etik
tenaga kesehatan mengacu pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)

Prinsip dasar etika kedokteran


Etika kedokteran mempunyai 3 azas pokok yaitu:
1. Otonomi: Kemampuan ini dianggap dimiliki oleh seorang remaja maupun
dewasa yang memiliki pengertian adekuat terhadap tiap kasus yang
dipersoalkan dan memiliki kemampuan untuk menanggung konsekuensi
dari keputusan yang secara otonomi atau secara mandiri diambil.
2. Bersifat dan bersikap amal, berbudi baik: Primum Non Nocere (janganlah
berbuat merugikan/salah) yang berarti hendaknya berbuat baik, dan dapat
dimulai dengan kegiatan yang merupakan awal kesejahteraan para
individu dan masyarakat
3. Keadilan: Azas ini bertujuan untuk menyelenggarakan keadilan dalam
perlakuan antar manusia
Kode Etik Kedokteran Indonesia
Kode Etik Kedokteran Indonesia didasarkan pada asas-asas hidup
bermasyarakat yaitu Pancasila. Profesi dokter telah terbukti sebagai profesi yang
luhur dan mulia dan ditunjukkan oleh 6 sifat dasar yaitu sifat ketuhanan, keluhuran
budi, kemurnian niat, kesungguhan kerja, kerendahan hati serta integritas ilmiah dan
sosial. Agar dalam hubungan tersebut keenam sifat dasar dapat tetap terjaga, disusun
KODEKI yang merupakan kesepakatan dokter Indonesia bagi pedoman pelaksanaan
profesi dan terjabarkan dalam butir-butir kode etik kedokteran

Etika Radiologi
Ilmu radiologi saat ini telah memasuki era baru. Kredibilitas dan popularitas
pencitraan di masyarakat dan di komunitas medis meningkat, dengan kesan bahwa
saat ini tidak ada penanganan yang dilakukan tanpa konfirmasi pencitraan dan tidak
ada pasien yang dapat dipulangkan tanpa eksklusi lesi dengan pencitraan. 3,4
Dalam radiologi, walaupun tidak secara langsung berinteraksi dengan pasien,
namun dibalik setiap gambar terdapat pribadi seseorang, sehingga prinsip etika
kedokteran tidak dapat diabaikan dalam praktik sehari-hari. Konsep mengenai
tanggung jawab dokter radiologi dalam hubungan antara dokter dengan pasien
dirangkum menjadi tujuh elemen, yang mencakup ketepatan pemeriksaan pencitraan,
proses inform consent, proteksi pasien, interpretasi gambar, komunikasi dokter-
pasien, pendidikan berkelanjutan, dan peningkatan kualitas yang berkelanjutan. 3,4,5

1. Ketepatan pemeriksaan pencitraan


Setiap hari lebih dari 10 juta prosedur diagnostik dilakukan dan pada 10-15
tahun terakhir, dosis radiasi dalam radiologi diagnostik telah meningkat sampai batas
yang mengkhawatirkan. Pasien berisiko dan seringkali mendapat paparan radiasi yang
melebihi dosis populasi umum, dan pada kasus pemeriksaan yang tidak tepat, tidak
mendapat manfaat dari pemeriksaan tersebut. 4,6
Walaupun saat ini belum ada penelitian yang dapat menyimpulkan hubungan
linear antara radiasi pencitraan diagnostik dengan kejadian kanker, namun kerusakan
4,6
yang disebabkan oleh radiasi tidak dapat diabaikan. Tujuan radiologi adalah untuk
mendapatkan informasi dengan menggunakan modalitas yang membatasi paparan
radiasi “as low as reasonably achievable” (ALARA). Terkadang menggunakan
teknologi seperti MRI dan ultrasound dibandingkan CT scan dapat memberikan
informasi, dan menghindari penggunaan radiasi pengion6. Oleh karena itu sebagai ahli
yang mengerti akan konsekuensi dan keuntungan pemeriksaan pencitraan, dokter
radiologi dapat berpartisipasi dalam panel konsensus dengan klinisi lainnya untuk
membuat pedoman praktisi dalam menentukan pemeriksaan yang tepat bagi pasien.

2. Informed consent
Seorang dokter radiologi harus berpartisipasi dan mengerti elemen dari
informed consent yang meliputi memberikan informasi kepada pasien seperti
informasi pemeriksaan dan alternatifnya, serta konsekuensi dari tiap tindakan dan
menekankan akan prinsip otonomi pada pasien yang kompeten untuk memutuskan
tindakan yang akan dilakukan terhadap tubuhnya sendiri.4

3. Proteksi pasien
Dokter radiologi bertanggung jawab untuk memproteksi pasien pada saat
pemeriksaan atau prosedur intervensi dengan mempertimbangkan keamanan pasien,
waktu pemeriksaan, persiapan resusitasi dan pemantauan pasien. Proteksi pasien juga
mencakup melindungi pasien dari pemeriksaan yang tidak sesuai indikasi4

4. Interpretasi gambar
Seorang dokter radiologi bertanggung jawab atas proses akuisisi, analisa dan
interpretasi berbagai gambar medis dan proses dalam memberikan interpretasi gambar
yang baik meliputi pemantauan kualitas gambar dan performa dalam interpretasi,
mencegah kesalahan interpretasi terutama kelalaian dalam deteksi dan rekognisi.

5. Komunikasi dengan klinisi dan pasien


Komunikasi dapat dimulai dengan penjelasan prosedur pemeriksaan dan
mendiskusikan apakah pemeriksaan tersebut sesuai indikasi dan diskusi hasil
pencitraan dengan pasien atau keluarga. Komunikasi yang jelas pada klinisi juga
penting untuk memastikan penggunaan optimal dari pencitraan untuk kepentingan
pasien. Seperti tertulis dalam American College of Radiology: “Apabila terdapat
penemuan yang penting atau signifikan, dokter radiologi harus menyampaikannya
segera pada dokter pengirim”.
Masalah lain yang sering menjadi sumber konflik adalah pada praktik
radiologi intervensi dimana diagnosis dan perawatan klinis dilakukan oleh dokter
radiologi, atau dengan meningkatnya penggunaan teknik pencitraan oleh non-
radiologis. Oleh karena itu komunikasi yang lebih baik antara kedua belah pihak
untuk mengintegrasikan diagnosis dan penanganan pasien sangat diperlukan.
6. Pendidikan dan peningkatan kualitas yang berkelanjutan
Seorang dokter perlu untuk selalu belajar dan meningkatkan kualitasnya.
Pembelajaran memerlukan pemikiran kritis mengenai suatu pertanyaan, dan mengaui
keterbatasan diri, serta belajar dari kesalahan. Kesalahan medis merupakan aspek
dalam praktik kedokteran yang tidak diinginkan namun tidak juga dapat dihindari.
Kesalahan dalam pelaporan dapat meliputi kesalahan dalem interpretasi,
keterlambatan diagnosis, kesalahan melaporkan sisi, kesalahan dalam pengetikan.3,4
Diagnosis yang terluput merupakan penyebab kasus malpraktik paling sering
yang melibatkan dokter radiologi. Dalam konteks radiologi muskuloskeletal,
diagnosis terluput yang paling sering adalah fraktur, yang paling sering pada femur,
tulang navicular, dan tulang cervical, dan kanker yang terkait dengan tumor tulang
pada foto polos. Kondisi trauma merupakan “ladang” untuk kesalahan medis: pasien
yang tidak stabil, anamnesa yang tidak lengkap, pengambilan keputusan yang dipacu
oleh waktu, keterlibatan banyak disiplin ilmu, dan seringkali personil junior yang
bekerja lewat waktu pada departemen emergensi. Kegagalan untuk mengidentifikasi
fraktur merupakan kesalahan diagnostik yang paling sering, mencakup 41-80% dari
semua kesalahan diagnostik dalam unit gawat darurat. Cidera ortopedik yang terluput
paling sering terjadi pada area periartikular, bahu, dan kaki.

PATIENT SAFETY PELAYANAN RADIOLOGI


Instalasi Radiologi merupakan salah satu bagian pelayanan rumah sakit oleh
sebab itu pelayanan radiologi tidak hanya terfokus pada tujuan pelayanan radiologi
dalam memanfaatkan radiasi tetapi juga tetap mempertimbangkan dan memperhatikan
pada tujuan system keselamatan pasen. Selama ini instalasi radiologi dalam
melaksanakan pelayanan kesehatan melalui pemanfaatan radiasi pengion dan non
pengion sangat terarah pada keselamatan terhadap radiasi karena diketahui pemakaian
radiasi pengion mengandung resiko bila digunakan tanpa mengkuti dan taat pada
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1014/MENKES/SK/XI/2008 dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 410/MENKES/SK/III/2010 Tentang Standar pelayanan radiologi diagnostik di
sarana pelayanan kesehatan. Pelayanan radiologi sebagai bagian yang terintergrasi
dari pelayanan kesehatan secara menyeluruh merupakan bagian dari amanat undang-
undang dasar 1945 diana kesehatan adalah hak fundamental setiap rakyat dan amanat
undang-undang no 23 tahun 1992 tentang kesehatan. Bertolak dari hal tersebut serta
makin meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, akan
pelayanan radiologi sudah selayaknya diberikan pelayanan yang berkualitas.
Pelayanan radiologi merupakan pelayanan kesehatan yang menggunakan sinar
peng-ion ataupun bahan radioaktif sehingga penggunaan bahan tersebut mempunyai
dua sisi yang saling berlawanan, yaitu dapat sangat berguna bagi penegakan diagnosa
dan terapi penyakit dan di sisi lain akan sangat berbahaya bila penggunaannya tidak
tepat dan tidak terkontrol, terlebih lagi bila di lakukan oleh tenaga yang tidak
kompeten atau bukan radiographer. Untuk itu setiap pengguna, penguasa ataupun
pelaksana pelayanan radiologi harus senantiasa menjamin mutu pelayanannya yaitu
harus tepat dan aman baik bagi pasien, pekerja maupun lingkungan atau masyarakat
sekitarnya.
Dengan meningkatnya jumlah sentra dan fasilitas pelayanan radiologi maka
dimungkinkan semakin meningkatnya jumlah pasen yang dilakukan pemeriksaan
sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa semakin banyak jumlah pasen yang menerima
radiasi dan kemungkinan semakin besar peluang terjadinya KTD. Oleh sebab itu
diharapkan petugas kesehatan harus semakin hati-hati untuk tidak menambah
penderitaan pasen dengan terjadinya KTD.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dan mungkin timbul pada proses pelayanan
radiology diagnostic antara lain :
1. Pada saat menerima surat permintaan pemeriksaan radiologi
a. Kurang/tidak teliti dalam mengidentifikasi pasen
b. Kurang paham klinis yang membuat kesalahan pembuatan foto
c. Tidak bertanya apakah pasen hamil atau tidak ( wanita subur )
d. Pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal bila diperlukan pemeriksaan dengan
bahan kontras Gadolium/Iodium intravena
d. Skrining pasen terhadap bahan metal dan ferromagnetic sebelum pemeriksaan
bila perlu dengan metal detector.(pemeriksaan MRI)
e. Tidak memasukan peralatan medis berbentuk/berbahan metal ke ruang
pemeriksaan MRI.
2. Pada saat dilakukan pemeriksaan.
a. Saat memindahkan pasen ke meja pemeriksaan
b. Terlalu banyak memanipulasi obyek
c. Memakai peralatan kurang steril
d. Tidak menggunakan peralatan disposable
e. Terjadinya KTD pada penggunaan bahan kontras sehingga :
– Harus ada inform consent sebelum dilakukan pemasukan bahan kontras
– Harus ada pemeriksaan laboratorium mengenai fungsi ginjal
– Gunakan bahan kontras yang relatip aman
– Harus dilakukan oleh dokter atau didalam pengawasan dokter
– Ada standar kedaruratan medik radiologi
g. Terlalu lamanya paparan terhadap radiasi (seperti pada flouroscopy)
h. Pengulangan pemeriksaan
– Salah penyudutan arah sinar dan sentrasi
– Under dan upper eksposure
– Tidak ada marker
– Kesalahan tindakan medic oleh resident/radiolog
– Salah positioning
– Kesalahan unit pesawat yang disebabkan oleh kalibrasi yang tidak ruti atau
tidak adanya QC peralatan radiologi
3. Sesudah pemeriksaan
a. Efek bahan kontras
b. Tindakan setelah pemeriksaan ( Intervensional )
c. Efek radiasi ( dosis tinggi Intervensional )
Jadi pada hakekatnya semua pemeriksaan atau tindakan radiologi harus
dilakukan apabila ada permintaan dari dokter yang mengirim dan dilengkapi dengan
klinis yang jelas dan dikerjakan sesuai dengan standar operational Prosedur dan
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten
Proteksi radiasi sangat diperlukan tidak hanya kepada pasien namun juga
untuk petugas yang melakukan pemeriksaan radiologi. Tujuan proteksi radiasi adalah
untuk mencegah terjadinya efek deterministik yang membahayakan dan mengurangi
peluang terjadinya efek stokastik. Selain itu proteksi radiasi bertujuan melindungi
para pekerja radiasi serta masyarakat umum dari bahaya radiasi yang ditimbulkan
akibat penggunaan zat radioaktif atau sumber radiasi lain.
Prinsip dasar proteksi radiasi yang diterapkan yaitu pengaturan waktu dimana
seorang pekerja radiasi yang berada di dalam medan radiasi akan menerima dosis
radiasi yang besarnya sebanding dengan lamanya pekerja tersebut berada di dalam
medan radiasi, pengaturan jarak ( Paparan radiasi berkurang dengan bertambahnya
jarak dari sumber radiasi ), dan Penggunaan perisai radiasi untuk penanganan sumber-
sumber radiasi dengan aktifitas sangat tinggi. Paparan radiasi dari suatu kegiatan
harus ditekan serendah mungkin, dan dosis radiasi yang diterima oleh seseorang
dalam menjalankan suatu kegiatan tidak boleh melebihi nilai batas yang telah
ditetapkan oleh instansi yang berwenang.
Upaya Proteksi Radiasi Terhadap Pasien, Petugas dan Masyarakat Umum :
1. Pemeriksaan radiologi khususnya yang berhubungan dengan paparan radiasi
hanya dilakukan atas permintaan dokter.
2. Pemakaian apron maksimum terutama pada sinar primer.
3. Pemakaian teknik kV tinggi.
4. Jarak fokus ke pasien tidak boleh terlalu dekat.
5. Daerah yang disinari harus sekecil mungkin,
6. Pasien yang hamil, terutama trimester pertama dianjurkan menghindari
paparan radiasi
7. Selama penyinaran berlangsung, petugas berdiri di belakang penahan radiasi.
8. Pintu berpenahan radiasi timbal selalu ditutup selama dilakukan penyinaran.
9. Selama penyinaran berlangsung, setiap orang termasuk perawat yang
menyertainya harus berlindung di balik penahan radiasi.
Keselamatan dan keamanan pasien (patient safety) merupakan sebuah prioritas
strategik, Dalam menetapkan capaian-capaian peningkatan yang terukur untuk
medication safety sebagai target utamanya. Keselamatan pasien harus menjadi ruh
dalam setiap pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Tuntutan akan keselamatan
pasien harus direspons secara proaktif oleh semua pihak dan harus menjadi sebuah
gerakan yang didasari pertimbangan moralitas dan etik. Patient safety harus jadi suatu
gerakan menyeluruh dari semua pihak yang terkait dengan pelayanan kesehatan.
Kesimpulan
Sebagai seorang dokter radiologi, walaupun tidak secara langsung berinteraksi
dengan pasien, namun dibalik setiap gambar terdapat pribadi seseorang, sehingga
prinsip etika kedokteran tidak dapat diabaikan dalam praktik sehari-hari. Banyak area
radiologi yang memerlukan perhatian dari sudut pandang etik dan aplikasi dari prinsip
dasar etika yaitu autonomy, nonmaleficence, beneficence, dan justice. Konsep
mengenai tanggung jawab dokter radiologi dalam hubungan antara dokter dengan
pasien dirangkum menjadi tujuh elemen, yang mencakup ketepatan pemeriksaan
pencitraan, proses inform consent, proteksi pasien, interpretasi gambar, komunikasi
dokter-pasien, pendidikan berkelanjutan, dan peningkatan kualitas yang
berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hanafiah JM, Amir A. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, 4th ed. Jakarta:
EGC; 2007.
2. IDI. KODEKI 2012. http://www.mkekpbidi.org/kodeki
3. Raymond J, Trop I. The practice of ethics in the era of evidence-based
radiology. Radiology 2007; 244(3)
4. Armstrong JD. Morality, Ethics, and Radiologist Responsibilities. American
Journal of Radiology 1999;173
5. Lozano KDS. Radiologists’ Ethical and Professional Obligations. American
Medical Association Journal of Ethics 2007; 9(11)
6. Malone J. Ethical Issues in Clinical Radiology. Radioactivity in the
Environment 2013; 19(7)
7. Barron BJ, Banja J. Radiologic Reporting: The Ethical Obligation of the
Interpreting Physician to Provide an Accurate Report. American Roentgen Ray
Society 2013; 201
8. Pinto A, Brunese L. Spectrum of diagnostic errors in radiology. World Journal
of Radiology 2010; 2(10)
9. David B. Larson , Key Concepts of Patient Safety in Radiology. RSNA.2015
10. Yuan-Hao, Patient safety during radiological examinations. BMJOpen. 2016

Anda mungkin juga menyukai