sejumlah pertanyaan klasik, namun sampai saat ini belum mampu kita jawab dengan tuntas, dan disusul dengan sejumlah hasil pengamatan penulis dan pengamatan orang lain tentang keadaan pendidikan Indonesia sekarang ini. Bagaimanakah cara memanusiakan anak sebagai manusia seutuhnya? Berjalanlah mengelilingi kota Jakarta atau kota-kota besar lainnya di Indonesia, berapa banyak remaja berpakaian seragam yang duduk bergerombol di pinggir jalan entah menanti apa?, mereka merokok sambil jongkok, berbicara setengah berteriak diselingi tawa terbahak-bahak. Melangkah ke mal dan plaza yang bertaburan banyaknya di kota-kota besar sekarang ini, kita akan menemukan gadis- gadis remaja berpakaian seronok dengan lirikan menggoda. Mereka berganti seragam sekolah di toilet dengan gesitnya. Lain lagi di sebuah desa terpencil di pulau Sumatera. Saat mobil berjalan ter- seok-seok mendaki pegunungan yang berliku, dari atas bukit berhamburan anak- anak berseragam merah putih menuruni bukit dengan riangnya. Berdegup dada kita jika menyaksikan betapa berbahayanya jika mereka tergelincir dan ditelan jurang di kiri kanannya atau terhempas di jalan aspal di bawah bukit. Pada saat lampu merah menyala di perapatan jalan, berapa banyak anak yang mengerumuni kendaraan Anda, sambil menengadahkan tangan! Bagaimana anak-anak tersebut memekarkan diri, bagaimana nasib dan masa depan mereka? Masih ingatkah peristiwa pembunuhan yang terjadi di salah satu sekolah ter- kemuka di Surabaya, sejumlah siswa menghabisi guru, hanya karena masalah nilai rapor. Bagaimana pula seorang guru dengan napsu biadab memperkosa anak santrinya di salah sebuah pondok pesantren di Jawa Barat? Sisihkanlah waktu Anda beberapa menit, lalu duduklah di perbatasan Kota Makassar dengan Kab. Gowa pada pagi dan sore hari. Berapa banyak anak usia sekolah (usia produktif) yang memakai sepeda pancal mencari dan menjadi buruh kasar di Makassar? Tentu saja masih terdapat sejumlah permasalahan lain yang senada dengan peristiwa-peristiwa tersebut yang juga Anda amati di sekeliling kita. Siapa yang peduli dengan kondisi tersebut? Padahal ada ungkapan yang mengatakan bahwa “jumlah anak-anak di Indonesia hanya sekitar 25% dari total jumlah penduduk, namun sangat menentukan (100% ) masa depan bangsa ini” Apakah masih ada guru yang mengajak anak didiknya membahas kehidupan dalam keluarga, mendengarkan anak membicarakan perasaannya, dan mendesain rancangan pembelajaran secara terpadu (intelektual-emosional-spiritual) terkait dengan kehidupan nyata yang dekat dalam keseharian anak? Dalam berkomunikasi dengan anak, tidak sedikit guru kurang memiliki kemampuan untuk mendengar. Sebagian lebih banyak berbicara daripada mendengar. Kita terlalu miskin dari kemampuan mendengar. Seakan-akan tidak punya waktu untuk memahami perasaan anak. Sering pula kita tidak terampil untuk membaca bahasa tubuh yang diperlihatkan anak yang sedang diajak berbicara. Negeri ini kurang mencintai anak-anak ...!!! Apa yang terjadi dengan sistem pendidikan nasional kita ?